Thursday 12 November 2009

Selamat Jalan Sang Pembaru

Selamat Jalan Sang Pembaru

Sabtu, 8 Agustus 2009 | 04:48 WIB

Oleh Bakdi Soemanto

Pada hemat saya, meski banyak disebut sebagai dramawan, WS Rendra pada dasarnya seorang penyair.

Dikatakan demikian bukan karena hampir pada setiap kegiatan kebahasaannya—berteater, orasi budaya, menulis esai, pidato penerimaan gelar doktor honoris causa, dan lain-lain semacam itu—selalu muncul puisinya. Namun, kepenyairan dalam arti seperti dikatakan Jacques Maritain: puisi bukan dipandang sebagai bentuk sastra, tetapi roh semua kesenian, yang oleh Plato disebut Mousikè.

Selain itu, Rendra—yang sangat sering dipanggil Mas Willy— pada dasarnya amat menghayati kebatinan Jawa atau Javanese mysticism. Ini dilaksanakan dengan bertapa di tengah masyarakat. Oleh Mas Janadi, guru kebatinan Rendra waktu kecil, disebut dengan istilah manjing ing sajroning kahanan, yakni senantiasa berada di tengah- tengah keadaan aktual.

Karya awal

Yang menarik, karya awalnya, misalnya sejumlah puisi yang terkumpul dalam ”Ballada Orang- orang Tercinta” (1960), yang dipandang sebagai puisi-puisi pembaruan, maupun lakonnya yang pertama, misalnya ”Orang-orang di Tikungan Jalan” (1954), tidak mencerminkan semangat manjing ing kahanan itu.

Namun, kalau kita membacanya dengan mendalam, suasana keberpihakan Rendra kepada orang-orang cukup terasa. Keberpihakan yang baru terasa dalam nuansa-nuansa itu, kemudian tidak terdengar lagi, karena Rendra, dalam puisinya sibuk dengan berpacaran, seperti tecermin dalam kumpulan ”Empat Kumpulan Sajak” dan ”Sajak-sajak Sepatu Tua”.

Dalam hal sebagai dramawan, Rendra tampak tak bisa menghindari dampak realisme dan modernisme yang melanda Indonesia. Ia menerjemahkan lakon Anton Chekov, antara lain ”Orang Kasar”, lakon satu babak karya Von Auerbach, ”Tiga Perempuan Basah”, juga lakon ”Arms and The Man”, sebuah komedi kocak, karya George Bernard Shaw. Meski lakon terjemahan tak menunjukkan kekhasan Rendra, tetapi dalam penyutradaraan menyentuh pengalaman.

Masalah sosial

Tahun 1963, Rendra berangkat ke Amerika Serikat. Semula, ia hanya menghadiri seminar internasional yang diselenggarakan oleh Henry Kissinger, tetapi kemudian ia mengikuti kuliah di The American Academy of Dramatic Art di New York. Beberapa bulan sesudah Mas Willy berangkat, Mbak Narti, istri pertamanya, menyusul.

Selama tiga tahun, surat-surat Mas Willy dan Mbak Narti biasa-biasa saja. Namun, setelah lulus dari Academy itu ia melanjutkan studi di Theatre Department di Stony Brook University, nada suratnya berubah. Ia mulai minta dikirimi potongan-potongan koran lokal dan nasional dari Tanah Air. Di harian Bersenjata, ada berita polisi memburu-buru pelacur; di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat juga memberitakan hal itu.

Dua bulan sesudah saya mengirimkan potongan-potongan koran itu, saya menerima amplop tebal dari Mbak Narti, yang isinya sajak panjang berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Ibu Kota. Ia minta agar sajak yang masih tulisan tangan itu diketik dan dikirimkan kepada HB Yassin untuk dimuat di majalah Horison. Namun, Yassin menolak memuatnya karena terlalu vulgar. Saya terdiam dan merenung. Yassin benar, pikir saya waktu itu. Ada yang berubah secara besar-besaran pada Mas Willy, terutama dalam bersajak.

Namun, yang tidak saya ketahui saat itu bahwa kepedulian puisi Rendra pada masalah sosial sebenarnya merupakan aktualisasi dari beberapa puisi dalam kumpulan ”Ballada Orang-orang Tercinta” yang membicarakan orang tersingkir, teraniaya, juga lelaki-lelaki kesepian seperti pada lakon awal yang ditulisnya.

Yang berubah besar adalah puitikanya, meski substansinya sama. Kebingungan ini menjadi jelas saat saya menerima surat terakhirnya, sebelum Mas Willy kembali ke Tanah Air.

Isinya menceritakan bahwa di sekolah teater yang baru, ia juga belajar sosiologi.

Apa yang terjadi kemudian, ajaran kebatinan manjing ing sajroning kahanan mendapatkan aktualisasinya secara keilmuan, yang oleh Rendra disebutnya sebagai menemukan ungkapan- ungkapan modern. Ketika tiba di Tanah Air pada September 1967, Indonesia sudah berubah. Adik Mas Willy yang bungsu, Sudibyanto, sudah bekerja sebagai wartawan Kompas.

Ia segera menukarkan dollar AS menjadi rupiah dan membeli rumah di Ketanggungan Wetan. Beberapa teman: Chaerul Umam, Azwar AN, Moortri Purnomo, dan saya, mendesak Rendra agar mendirikan sanggar teater, seperti dulu sebelum ke Amerika. Namun, Mbak Narti punya pikiran lain, berteater sama dengan buang-buang tenaga, susah mendapat uang. Mas Willy menerima warning istrinya.

Namun, pikiran Rendra berubah total setelah menyaksikan pementasan ”Hamlet” yang dimainkan oleh Studi Teater Arena, yang kebanyakan aktor dan aktrisnya lulusan Asdrafi. Ia menjadi semakin yakin bahwa ada sesuatu yang kurang sehat dalam jagat teater di Yogyakarta setelah menyaksikan pementasan ”Caligula” yang disutradarai dan dibintangi oleh Arifin C Noer.

”Kita harus membentuk grup, bukan untuk produksi sebagai tujuan pokok, tetapi semacam workshop. Kita harus menata diri: organ tubuh, indra, dan batin kita,” ungkapnya sambil menikmati bubur ketan hitam di Malioboro. Inilah awal lahirnya Bengkel Teater, sebuah grup teater yang lebih banyak mengurusi aktor ketimbang pentas; sebab baginya, aktor, si manusia, adalah roh pementasan. Inilah roh lahirnya Teater Mini Kata.

”Klilip” pemerintah

Situasi politik memanas. Dan puisi-puisi kritik sosial Rendra terus mengalir. Puisi tersebut perlu sosialisasi dengan cara lebih plastis: inilah awal lahirnya poetry reading gaya Rendra: puisi yang berbicara tentang manusia tertekan, tersingkirkan, tetapi menyentuh dan memukau. Tampak sekali semangat manjing ing sajroning kahanan hasil didikan Mas Janadi.

Setelah Bengkel Teater melahirkan Teater Mini Kata, lahir pula Sekda, Mastodon-Burung Kondor, Panembahan Reso Imung dan lakon bernuansa politik lainnya. Rendra tumbuh menjadi nurani bangsanya. Karena itu, ia selalu menjadi klilip pemerintah yang otoriter. Pada penerimaan gelar doktor honoris causa di Universitas Gadjah Mada, 2008, pidato Rendra tentang kelautan sangat memukau.

Sebagai seniman, ia tidak sibuk dengan art yang lebih merupakan artefak, tetapi lebih ber-concern dengan kehidupan, manusia, dan masyarakat. Dialah Guru Besar dari Universitas Kehidupan.

Selamat jalan, Mas Willy. Karyamu membisik terus….

Bakdi Soemanto Dosen UGM dan Universitas Sanata Dharma

No comments: