SAJAK SAYANG NA SIPUANG
tetabuh gonrang sipitu-pitu, pada mandiguri
tetabuh gonrang sidua-dua, pada mangililiki
kami gualkan
kami tarikan
untukmu kekasih hati
o, na sipuang, na sipuang
(onaha... i huda-hudai do namatei...)
engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih
engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang
melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan
melalui hembusan angin harapan diterbangkan
adakah lebih indah dari cinta seorang ibu
sejak kandungan harapan ditasbihkan
setelah lahir kasih mengalir seperti air
ketika dewasa menggudang segala cita
o, na sipuang, na sipuang
(sonaha...i toping-toping do namatei...)
ditalun-talun kisahmu tersiar
ditalun-talun kisahmu terkabar
di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy
di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i
adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu
tak sempat tasbihkan harapan
tak sempat mengalirkan kasih
tak sempat membaca cita-cita
o, na sipuang, na sipuang
kami tabuh gonrang
demi menjeput
segala riang
tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
kami gualkan
kami tarikan
untukmu kekasih hati
2013
Negeri Kepompong
kali ini dia tidak melahirkan kupu-kupu,
tetapi ular bersayap kupu-kupu.
kali ini dia tidak menghisap madu,
tetapi darah semanis madu-madu
kali ini dia tidak menghadirkan warna-warna,
tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam
2013
Bulan
bulan
seperti belajar menata, tentang
bagaimana berselimut cahaya,
bagaimana mengintip dari balik jendela, atau
bagaimana bersembunyi di balik dedaunan muda
bulan
seperti belajar menata, tentang
keindahan seindah kerdipan mata
nyaman senyaman di antara bunga di taman
atau merebut hati pemuda-pemuda tampan
tapi, bulan
sampai sekarang belum faham tentang
kerinduan cahaya dan embun yang jatuh dari
ujung daun
Pertemuan
seperti belajar menata, tentang
bagaimana berselimut cahaya,
bagaimana mengintip dari balik jendela, atau
bagaimana bersembunyi di balik dedaunan muda
bulan
seperti belajar menata, tentang
keindahan seindah kerdipan mata
nyaman senyaman di antara bunga di taman
atau merebut hati pemuda-pemuda tampan
tapi, bulan
sampai sekarang belum faham tentang
kerinduan cahaya dan embun yang jatuh dari
ujung daun
Pertemuan
jangan lagi atas nama cinta,
siapa yang berburu saat kegelisahan
sebenarnya lindap di perjamuan
maka sepotong daging apalah artinya,
dijajakan dan betapa lalat berhamburan
sepanjang temaram lantas di manakah perbedaan
selembar kain yang mewangi,
atau justru sepotong daging membusuk
padahal janji juga telah dibacakan,
telanjur batu lihatlah ketakutan
seperti mengiris jantung sendiri
Harap
siapa yang berburu saat kegelisahan
sebenarnya lindap di perjamuan
maka sepotong daging apalah artinya,
dijajakan dan betapa lalat berhamburan
sepanjang temaram lantas di manakah perbedaan
selembar kain yang mewangi,
atau justru sepotong daging membusuk
padahal janji juga telah dibacakan,
telanjur batu lihatlah ketakutan
seperti mengiris jantung sendiri
Harap
akankah kebusukan ini dipestakan
dengan umpatan dalam perhelatan agung,
berjubah kata atas nama
meski diam-diam pelacur pun bisa bertanya
sebenarnya lapar ditahtakan
demi kepentingan siapa,
namun jangankan kembali
bersujud membunga yang sungguh dirindu pesona
dan wanginya
bersedekap saja kita kerap enggan:
sebab nyatanya kembali bersujud,
katamu, menatap ada dusta!
* Juli 2011
(Oleh: Shafwan Hadi Umry)
MENURUT teori otonomi semantik perbedaan makna tidak dapat diatasi, karena makna bukanlah apa yang dikatakan penyair, tetapi "apa makna puisi itu bagi berbagai pembaca yang peka". Sebuah tafsiran dapat dipandang bahwa yang satu sama tepatnya dengan tafsiran yang lain, sepanjang tafsiran itu "peka" atau"masuk akal".
Penafsiran atas puisi menimbulkan dua kutub yang berdiri pada posisi yang berbeda. Jika makna terbaik bukan milik pengarang, maka makna itu pastilah milik kritikus, dan dalam hal ini sang kritikus adalah "penyair makna terbaik". Bilamana makna dikaitkan pada serangkaian kata-kata maka kita tidak mungkin melepaskan diri dari penyair sebagai pemilik puisi.
Perdebatan ini selalu muncul ketika kritikus/pengamat sedang membahas puisi-puisi sang penyair. Selalu timbul ketegangan, konflik dan kepentingan yakni kepentingan pengamat sebagai kritikus dan kepentingan penyair sebagai pemilik puisi.
Inilah "kekacauan" dalam teori yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu sering pengamat atau kritikus gamang untuk memasuki dunia otonom penyair yang menulis karya puisi. Kritikus dihadapkan pada persoalan makna tafsiran atas puisi.
Hirsh sang kritikus menawarkan apa yang disebut prinsip determinacy (Heraty, Hidup Matinya Seorang Pengarang, 2000:64).
Prinsip ini adalah kemampuan untuk memaknakan ulang yang memungkinkan kita, membuat penafsiran. Jika makna tidak dapat diulang kembali, maka ia tidak dapat diaktualkan orang lain dan karenanya tidak dapat dipahami atau ditafsirkan.
Determinacy adalah sifat dwi-makna yang diperlukan agar ada sesuatu yang dapat diwujudkan kembali. Ia mutlak diperlukan agar sesuatu makna dapat diteruskan pada orang lain. Memang, sebagian besar makna kata tidak persis dan kabur. Ia memiliki daerah perbatasan antara keambiguan (makna ganda) dan ketunggalan.
Makna kata memiliki identitas diri pada kurun waktu yang berkaitan dengan sejarah atau waktu.
Dalam pembicaraan ini kita menampilkan beberapa puisi penyair (menurut pilihan dan pertimbangan tertentu).
Pertama, puisi karya penyair Sulaiman Djaya dari Banten (Mazmur Musim Sunyi, 2000). Simaklah kata-kata di bawah ini:
Bacalah dengan nama piring, gelas, sendok, dan buku-buku, juga sepotong kue bolu di antara baris-baris angka dan kalender tua. Di bawah Maret yang agak coklat dan sudut-sudut yang tak saling menyapa, benda-benda saling sibuk menghitung apa yang tak sempat kaubaca dalam diam mereka yang dungu dan bisu, bagai lembar-lembar sebuah fiksi kesukaanmu.
Kudengar gerimis berjingkat-jingkatan di sudut matamu, dan senja tiba-tiba telah berubah menjadi rumah-rumah yang tak satupun memiliki jendela.
Namun, kau masih sempat memandang beberapa ekor burung dan unggas yang melintas. juga tiang-tiang biru sebuah istana yang pernah kauceritakan.
Puisi penyair di atas benar-benar memadukan dunia realitas dan dunia mimpinya. Dunia keseharian seorang penyair yang bertemu dengan kebutuhan fisikal manusia yakni makan, minum bermain menikmati alam dan membaca. Bagi sang penyair alam dan kebiasaan adalah teman manusia setiap hari. Sesekali ia memimpikan sebuah istana suatu gambaran dunia kekuasaan.
Pada puisi yang berjudul "Monolog" ia mengakui dirinya untuk belajar menyimak berita yang tidak semuanya sesuai dengan fakta. Penyair menulis;
Saya tahu seorang penyair harus belajar
Menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku
Tapi di luar kalimat tak pernah terjadi apa-apa,
Di luar kalimat segalanya berubah kapan saja
Seperti cuaca.Namun tidak juga
Saya mesti menyimak semua berita
Yang semakin tak membuktikan apa-apa.
Pada puisi "Mantra dari Negeri Para Sultan" penyair melakukan referensi ke masa lalu. Kata-kata yang dipakai untuk membangun semacam "the time tunnel" sebuah lorong waktu masa lalu yang dicurahkan ke masa kini. Simaklah puisi yang di anggap terindah dalam kumpulan puisi ini.
Misalkan kau Bandar di kota tua, aku adalah seorang kapiten muda yang mencari sirih dan lada dari Banten dan kapur dari Barus. di atas bentangan layarku , langit menyisir rambutnya yang perawan. saat itu aku adalah Diogo de Couto yang berangkat dari Coromandel dan Calcutta. Sedangkan kau seorang putri Ong Tien dari Tiongkok yang terdampar di Teluk Karangantu saat hendak ke Tuban dan aros baya.
Pada puisi "Cello Serenade" penyair memahami puisi dengan cara berpuisi.
Biarkan puisi mencari takdirnya sendiri
Karena puisi tak cuma nukilan kata-kata
Bahkan bahasaku seumpama
Bulu-bulu yang lepas dari sayap
Penyair kedua adalah Raudah Jambak asal kota Medan. Ada dua puisi yang sempat terekam dalam lembaran Budaya Analisa (18 Mei 2008).
Puisi "Pada Kalender-kalender yang Tak Lagi Terbaca" penyair menuliskan kecemasan dan keresahannya tentang perpisahan masa lalu yang dimetaforakan pada kalender yang setiap bulan berganti dan akhirnya tertinggal dan mungkin terkoyak bersama kenangan. Kita baca ulang kembali puisi tersebut.
Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, aku susun catatan-catatan kita
Angin mengelus dingin ubun-ubunku
Bersama genangan airmata
Stasiun ini pun telah lama tak lagi
menunggu janji setia, yang tertinggal
Hanya serpihan hati dari gores tangan
Berwarna derita
Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, rindu dendam telah lama buram
Mengenangmu, entah di mana berimba.
Stasiun sebagai terminal selalu menjadi inspirasi beberapa penyair untuk menangkap lanskap "terminal" suatu simbol perhentian sementara, suatu yang menawar janji untuk tidak setia.
Secara paradoks setiap waktu trem dan kereta api mengangkut manusia tetapi belum tentu mengangkut diri penyair, stasiun tetaplah sebuah penantian sementara kereta yang ditunggu tetap hadir mengangkut penumpang tetapi belum tentu kita penumpangnya.
Pada puisi "Tentang hujan daun dan kau" penyair ini berkata;
Sederas deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu, menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Baris-baris takdir menghadirkan bau amis
Meranting sepanjang jalanan bercabang
Dan daun-daun yang melayang rebah
Sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
Langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
Sepenuh tangis memeluk risau
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan…
Ada tiga simbol yang dipakai penyair yakni hujan, daun dan kau. Simbol, hujan untuk menampilkan kedatangan rahmat Tuhan karena itu orang yang sadar tentang rahmat Tuhan akan bertahan penuh kesabaran.
Namun, tidak dengan daun, lambang takdir yang "meranting selama perjalanan hidup seseorang manusia" dan akhirnya gugur layu menunaikan takdirnya.
Suatu simbol awal kehidupan dan akhir kematian. Kemudian "kau" dipakai sebagai media dialog antara penyair dengan seseorang mungkin anak istri, murid atau teman-teman yang dianggap akrab dengan kehidupan penyair.
Beberapa puisi yang ditulis oleh dua penyair pilihan bulan ini membuktikan bahwa pendekatan determinacy sebagai alternatif memahami dan menafsir puisi menurut kita adalah suatu makna dapat diteruskan pada orang lain.
Semua ini berdasarkan identitas diri kepenyairan. Oleh karena tanpa identitas diri komunikasi maupun ketepatan dalam tafsir tidak akan mungkin terjadi.
Perdebatan ini selalu muncul ketika kritikus/pengamat sedang membahas puisi-puisi sang penyair. Selalu timbul ketegangan, konflik dan kepentingan yakni kepentingan pengamat sebagai kritikus dan kepentingan penyair sebagai pemilik puisi.
Inilah "kekacauan" dalam teori yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu sering pengamat atau kritikus gamang untuk memasuki dunia otonom penyair yang menulis karya puisi. Kritikus dihadapkan pada persoalan makna tafsiran atas puisi.
Hirsh sang kritikus menawarkan apa yang disebut prinsip determinacy (Heraty, Hidup Matinya Seorang Pengarang, 2000:64).
Prinsip ini adalah kemampuan untuk memaknakan ulang yang memungkinkan kita, membuat penafsiran. Jika makna tidak dapat diulang kembali, maka ia tidak dapat diaktualkan orang lain dan karenanya tidak dapat dipahami atau ditafsirkan.
Determinacy adalah sifat dwi-makna yang diperlukan agar ada sesuatu yang dapat diwujudkan kembali. Ia mutlak diperlukan agar sesuatu makna dapat diteruskan pada orang lain. Memang, sebagian besar makna kata tidak persis dan kabur. Ia memiliki daerah perbatasan antara keambiguan (makna ganda) dan ketunggalan.
Makna kata memiliki identitas diri pada kurun waktu yang berkaitan dengan sejarah atau waktu.
Dalam pembicaraan ini kita menampilkan beberapa puisi penyair (menurut pilihan dan pertimbangan tertentu).
Pertama, puisi karya penyair Sulaiman Djaya dari Banten (Mazmur Musim Sunyi, 2000). Simaklah kata-kata di bawah ini:
Bacalah dengan nama piring, gelas, sendok, dan buku-buku, juga sepotong kue bolu di antara baris-baris angka dan kalender tua. Di bawah Maret yang agak coklat dan sudut-sudut yang tak saling menyapa, benda-benda saling sibuk menghitung apa yang tak sempat kaubaca dalam diam mereka yang dungu dan bisu, bagai lembar-lembar sebuah fiksi kesukaanmu.
Kudengar gerimis berjingkat-jingkatan di sudut matamu, dan senja tiba-tiba telah berubah menjadi rumah-rumah yang tak satupun memiliki jendela.
Namun, kau masih sempat memandang beberapa ekor burung dan unggas yang melintas. juga tiang-tiang biru sebuah istana yang pernah kauceritakan.
Puisi penyair di atas benar-benar memadukan dunia realitas dan dunia mimpinya. Dunia keseharian seorang penyair yang bertemu dengan kebutuhan fisikal manusia yakni makan, minum bermain menikmati alam dan membaca. Bagi sang penyair alam dan kebiasaan adalah teman manusia setiap hari. Sesekali ia memimpikan sebuah istana suatu gambaran dunia kekuasaan.
Pada puisi yang berjudul "Monolog" ia mengakui dirinya untuk belajar menyimak berita yang tidak semuanya sesuai dengan fakta. Penyair menulis;
Saya tahu seorang penyair harus belajar
Menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku
Tapi di luar kalimat tak pernah terjadi apa-apa,
Di luar kalimat segalanya berubah kapan saja
Seperti cuaca.Namun tidak juga
Saya mesti menyimak semua berita
Yang semakin tak membuktikan apa-apa.
Pada puisi "Mantra dari Negeri Para Sultan" penyair melakukan referensi ke masa lalu. Kata-kata yang dipakai untuk membangun semacam "the time tunnel" sebuah lorong waktu masa lalu yang dicurahkan ke masa kini. Simaklah puisi yang di anggap terindah dalam kumpulan puisi ini.
Misalkan kau Bandar di kota tua, aku adalah seorang kapiten muda yang mencari sirih dan lada dari Banten dan kapur dari Barus. di atas bentangan layarku , langit menyisir rambutnya yang perawan. saat itu aku adalah Diogo de Couto yang berangkat dari Coromandel dan Calcutta. Sedangkan kau seorang putri Ong Tien dari Tiongkok yang terdampar di Teluk Karangantu saat hendak ke Tuban dan aros baya.
Pada puisi "Cello Serenade" penyair memahami puisi dengan cara berpuisi.
Biarkan puisi mencari takdirnya sendiri
Karena puisi tak cuma nukilan kata-kata
Bahkan bahasaku seumpama
Bulu-bulu yang lepas dari sayap
Penyair kedua adalah Raudah Jambak asal kota Medan. Ada dua puisi yang sempat terekam dalam lembaran Budaya Analisa (18 Mei 2008).
Puisi "Pada Kalender-kalender yang Tak Lagi Terbaca" penyair menuliskan kecemasan dan keresahannya tentang perpisahan masa lalu yang dimetaforakan pada kalender yang setiap bulan berganti dan akhirnya tertinggal dan mungkin terkoyak bersama kenangan. Kita baca ulang kembali puisi tersebut.
Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, aku susun catatan-catatan kita
Angin mengelus dingin ubun-ubunku
Bersama genangan airmata
Stasiun ini pun telah lama tak lagi
menunggu janji setia, yang tertinggal
Hanya serpihan hati dari gores tangan
Berwarna derita
Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, rindu dendam telah lama buram
Mengenangmu, entah di mana berimba.
Stasiun sebagai terminal selalu menjadi inspirasi beberapa penyair untuk menangkap lanskap "terminal" suatu simbol perhentian sementara, suatu yang menawar janji untuk tidak setia.
Secara paradoks setiap waktu trem dan kereta api mengangkut manusia tetapi belum tentu mengangkut diri penyair, stasiun tetaplah sebuah penantian sementara kereta yang ditunggu tetap hadir mengangkut penumpang tetapi belum tentu kita penumpangnya.
Pada puisi "Tentang hujan daun dan kau" penyair ini berkata;
Sederas deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu, menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Baris-baris takdir menghadirkan bau amis
Meranting sepanjang jalanan bercabang
Dan daun-daun yang melayang rebah
Sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
Langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
Sepenuh tangis memeluk risau
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan…
Ada tiga simbol yang dipakai penyair yakni hujan, daun dan kau. Simbol, hujan untuk menampilkan kedatangan rahmat Tuhan karena itu orang yang sadar tentang rahmat Tuhan akan bertahan penuh kesabaran.
Namun, tidak dengan daun, lambang takdir yang "meranting selama perjalanan hidup seseorang manusia" dan akhirnya gugur layu menunaikan takdirnya.
Suatu simbol awal kehidupan dan akhir kematian. Kemudian "kau" dipakai sebagai media dialog antara penyair dengan seseorang mungkin anak istri, murid atau teman-teman yang dianggap akrab dengan kehidupan penyair.
Beberapa puisi yang ditulis oleh dua penyair pilihan bulan ini membuktikan bahwa pendekatan determinacy sebagai alternatif memahami dan menafsir puisi menurut kita adalah suatu makna dapat diteruskan pada orang lain.
Semua ini berdasarkan identitas diri kepenyairan. Oleh karena tanpa identitas diri komunikasi maupun ketepatan dalam tafsir tidak akan mungkin terjadi.
No comments:
Post a Comment