Sunday, 12 April 2015

Abraham Ya Abraham
Tentang sebuah cerpen berjudul “Abraham Ya Abraham”yang tertera dalam kumpulan cerpen Abraham Ya Abraham, Shafwan Hadi Umry mengungkapkan seperti berikut ini, “Abraham Ya Abraham melukiskan karakter manusia dalam bentuk karikatural yang kena hasil adaptasi dari struktur masyarakat yang mengalami pergeseran moral dan perubahan nilai-nilai. Watak manusia terkadang remang-remang sulit dimengerti. Satu saat Abraham adalah idola, di lain waktu ia dikutuk sebagai manusia berdosa. Barangkali dalam modus modern “Abraham Ya Abraham” adalah suatu prototipe manusia modern yang hidup dalam kultur uang, prinsup yang dimanipulasi oleh ambisi kekuasaan, prestise, dan petualangan...”
Abraham Ya Abraham diterbitkan tahun 1984 oleh Medan Puisi. Kumpulan cerpen A. Rahim Qahhar ini berisi 10 cerpen, yaitu: Lahar, Pipit, Gagak-gagak Putih, Ayam Siam, Abraham Ya Abraham, Lelaki yang Acap Menggigit Kuku, Penyu, Nenekmuda, Huss, Diam!, dan Pilot.
Aceh Mendesah dalam Nafasku
Inilah Bunga Rampai Menyemai Bumi Tumpah Darah yang sebagian telah dibacakan di pelbagai tempat umum, kampus, arena seni dan Taman Ismail Marzuki Jakarta. Karya-karya (cerpen, puisi, esai) yang tersiar dalam buku bertajuk Aceh Mendesah dalam Nafasku ini bersinggungan erat dengan ketidakdilan Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di bumi Indonesia, khususnya yang melanda Aceh selama puluhan tahun. Seniman-seniman dan pengamat seni dari Acehlah yang menerbitkan niat untuk mewujudkan Aceh Mendesah dalam Nafasku ini. Buku ini diterbitkan KaSUHA (Kampanye Seni untuk HAM Aceh) Banda Aceh tahun 1999 dengan editor terdiri dari Abdul Wachid B.S, Fikar W. Eda, dan Lian Sahar.
Ada 11 penyumbang cerpen dari 12 cerepen dalam Aceh Mendesah dalam Nafasku ini, mereka adalah: Hamsad Rangkuti (2 cerpen), Motinggo Busye, Mustafa W. Hasyim, Syaiful Hadi J.L, Seno Gumira Ajidarma, Teguh Winarso AS, Joni Ariadinata, Kuntowijoyo, Wisran Hadi, dan Khairul Jasmi. Dari kesebelas penulis di atas, hanya Syaiful Hadi J.L (cerpen Merah Putih) yang berasal dari Sumatera Utara. Hamsad Rangkuti juga dikenal berasal dari Sumatera Utara, tetapi kemudian hijrah dan meneruskan karir kepengarangannya di ibukota Jakarta.
Untuk penyumbang karya puisi dalam buku ini, tercatat 40 penyair. Di antaranya tersebutlha WS. Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, KH. A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Ikranegara, Hamid Jabbar, Rachmad Djoko Pradopo, Maskirbi, Jose Rizal Manua, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Isbedi Stiawan ZS. Ada juga Todung Mulia Lubis, pakar hukum kelahiran Sumatera Utara yang kini berdomisili di Jakarta. Sedangkan penulis esai terpilih antara lain: Goenawan Mohamad, Teuku Ibrahim Alfian, Umar Kayam, Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Aku Penari dan Perempuan Langit
Pada tahun anggaran 2006, Balai Bahasa Medan, sebuah institusi yang memiliki tugas dan tanggung jawab membina dan mengembangkan kemampuan apresiasi sastra masyarakat, termasuk generasi muda menyelenggarakan Sayembara Penulisan Cerpen Tingkat Remaja Sumatera Utara 2006. Sedikitnya, ada tiga hal yang menyebabkan lomba penulisan cerpen tahun 2006 lebih bermakna dari tahun sebelumnya. Pertama, para peserta tidak hanya berasal dari Medan dan Deliserdang saja, melainkan juga berasal dari Pematangsiantar, Labuhanbatu, Simalungun, Tapanuli Selatan, dan Mandailingnatal.
Kedua, panitia menerima 109 naskah cerpen. Artinya, jumlah peserta secara kuantitas menanjak dari tahun 2005, yang pada saat itu hanya diikuti 27 peserta. Meskipun setelah mengalami seleksi administrasi, hanya 91 naskah yang berhak dinilai dewan juri (Suyadi San, Sahril, dan Juliana). Sedangkan 18 naskah lainnya tidak memenuhi persyaratan lomba, antara lain karena usia peserta yang bersangkutan telah melebihi batas akhir, tidak berdomisili di Sumatera Utara, atau tidak menyertakan biodata/identitas diri. Ketiga, cerpen ”Aku Penari”karya Indah Zuhairani dan ”Anak-anak Stasiun”karya Putri Annisa yang meraih peringkat pertama dan ketiga pada tingkat provinsi meraih peringkat yang sama pada jenjang nasional. Dalam kumpulan cerpen Aku Penari dan Perempuan Langit ini, kedua penulis remaja di atas ditemani Mutiah Lilhaq, Muhammad Zulfadly, Aris Kristanto, Maya Sari, Roveny, Febrina Tri Santy, Dewi Khairani, Elisyah Hanum Hsb, Richad Yanato, Sukma, Kharunnisa, Renita Purba, dan Wesi Wena.
Dewan juri menyatakan dalam apresiasinya, ”Penggarapan gagasan mengenai kemanusiaan tampak—tanpa sengaja—menjadi senjata ampuh bagi mereka sebagai tolak ukur keberhasilan pengarang. Karuan, masalah-masalah sosial dan romantisme kehidupan manusia menghadapi tantangan zaman menjadi perhatian khusus. Betapa tidak? Ini merupakan langkah maju kaum remaja kita dalam menangkap fenomena alam. Melalui cerpen ini, mereka dapat menilai sendiri kehidupan realita sosial yang kerap kali muncul di tengah masyarakat. Jadilah mereka bercermin dengan cerpennya sendiri.”
Panitia, melalui dewan juri akhirnya memilih 15 naskah cerita pendek terbaik (lihat daftar pemenang). Sebanyak 15 naskah cerita pendek terbaik tersebutlah yang diterbitkan dalam bentuk antologi oleh Balai Bahasa Medan, Depdiknas pada tahun 2007 dengan judul Aku Penari dan Perempuan Langit. Selain itu, 10 naskah cerita pendek terbaik diikutsertakan pada Lomba Penulisan Cerpen Tingkat Remaja se-Indonsia Tahun 2006 di Pusat Bahasa, Depdiknas, Jakarta. Agus Mulia dan Hasan Al Banna bertindak sebagi editor dalam Aku Penari dan Perempuan Langit ini.
Dari Pemburu ke Terapeutik
Program penulisan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) merupakan wujud kegiatan untuk memajukan kehidupan bersastra tiga negara anggota, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Program Mastera telah berhasil menghimpun karya beberapa pengarang muda yang menulis dan mengkhususkan diri menulis dalam salah satu genre puisi, cerpen, esai, novel, atau drama.
Buku kumpulan cerpen ini adalah hasil kegiatan Mastera untuk genre cerpen putaran pertama tahun 1998 dan putaran kedua tahun 2003. Untuk keperluan program, peserta yang terdiri dari cerpenis muda tiga negara dan satu negara pemerhati (Singapura) diminta mengumpulkan dua cerpen yang sudah diterbitkan dan sebuah cerpen yang dalam proses penulisan.
Salah satu cerpenis Sumatera Utara yang diundang adalah M. Raudah Jambak. Cerpen M. Raudah Jambak yang berjudul “Anak Langit” salah satu karya yang termaktub dalam kumpulan cerpen ini. “Anak Langit”bercerita tentang anak-anak pengamen jalanan. Pengamen dieksploitasi oleh para preman untuk mencari uang dengan persyaratan uang setoran.
Dari Pemburu ke Teraeutik ini diterbitkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 dengan Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa) bersama Abdul Rozak Zaidan menjadi editor. Ada 30 judul cerpen dari 30 pengarang yang terdokumentasi dalam buku kumpulan cerpen ini termasuk M. Raudah Jambak. Beberapa nama di antaranya sudah menjadi cerpenis-cerpenis ternama di Indonesia, antara lain: Agus Noor, Akidah Gauzillah, A.S Laksana, Awan Budhy Kurnia, Helvy Tiana Rosa, Hudan Hidayat, Joni Ariadinata, Nenden Lilis A, Jajang R. Kawentar, Dyah Indra Mertawirana, dan Pipiek Isfianti. Selebihnya diisi oleh cerpeni dari Malaysia dan Brunei Darussalam, seperti: Ana Balqis, Dayang Siti Hawa binti Haji Kamis, Disa, Djohan bin Abdul Rahman, H. Masni Ahmad, Haji Lamat Haji Jaafar, Haji Nayan bin Muhammad, Mohd. Jusroh Majid, Muhd. Nasrudin Muhd. Dasuki, Noor Hasnah Adam, Ode Barta Ananda, P.H Muhammad Abd. Aziz, Rosli H.A, Rozais Al-Anamy, S.M Zakir, Saroja Theavy, Zainal Roshid Ahmad, dan Zanazanzaly.
Dalam catatan editor, Abdul Rozak Zaidan mengatakan, “Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tidak terlepas dari dua tarikan antara menjadi sajian peristiwa semata-mata pada satu sisi ekstrim dan menjadi paparan pemikiran semata-mata pada sisi ekstrim lainnya. Zaidan juga menyatakan jika ada cerpen yang berisi tuturan tentang seseorang dan lainnya menghadapi persoalan, terlibat dalm suatu peristiwa dilengkapi dengan sajian percakapan dalaman dengan dirinya atau dengan kita selaku pembacanya dan dialog dengan tokoh lain yang turut terlibat dalam peristiwanya langsung”.
Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama
Sebanyak 30 cerpen yang terdokumentasi dalam antologi Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama ini merupakan hasil Sayembara Penulisan Cerpen yang diadakan Direktorat Kepemudaan, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), Depdiknas bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI). Tahun sebelumnya, ajang bernama Festival Krativitas Pemuda ini juga sudah berlangsung dan sukses menelurkan antologi cerpen Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003). 30 cerpenis (dengan persyaratan usia harus di bawah 35 tahun) yang terpilih dalam kumpulan buku ini diundang untuk mengikuti Workshop Penulisan Cerpen di Cibubur, Jakarta pada tanggal 17-19 Desember 2004. Tujuan panitia mengadakan workshop, selain sebagai penghargaan atas prestasi yang telah diraih, juga sebagai usaha mengembangkan kualitas dan potensi.
Aishah Basar (cerpen “Bebayang”) dan Hasan Al Banna (cerpen “Limbong yang Menunggu di Laut”), dua cerpenis yang berdomisili di Sumatera Utara termasuk dari 30 cerpenis dalam kumpulan buku ini. Sedang 28 cerpenis lainnya berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Pekanbaru, Palembang, Lhokseumawe, Padang, Bali, Makassar, dan juga cerpenis Indonesia yang sedang kuliah di Amerika Serikat. 28 cerpenis muda tersebut adalah Ashary Nurdin, Azzura Dayana, Farizal Sikumbang, Candra Malik, Olyrinson, Waliyunu, Alex R. Nainggolan, Muhammad Aji, Ani Istikhoroh Anhar, Dwicipta, Cyprianus Lilik Krismantoro Putro, Badui U. Subhan, Surono B. Tjasmad, Emilia Dian Junita, Mustafa Ismail, Sihar Ramses Simatupang, Youngster Twin, Aris Kurniawan, Wayan Sunarta, Muhammad Ramadhan Batubara, S. Yoga, Noor Dinangus R, M.N Age, Nenny K. Sutardjo, Eliza V. Handayani, Lilis Rusmiati, Lis Dhaniati, dan Dewi Anjani. 30 karya dipilih dari 697 cerpen dari 411 penulis yang juga diikuti oleh penulis-penulis muda Indonesia yang sedang berdomisili di Australia, Belanda, Italia, Mesir, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Berdasarkan catatan dewan juri (Ahmadun Yosi Herfanda, Hamsad Rangkuti, Hudan Hidayat, Maman S. Mahayana, dan Mariana Amiruddin) yang juga bertindak sebagai penyunting mengungkapkan, “...gaya dan tema cerpen peserta begitu beragam, sebagian besar bergaya realis. Cerpen-cerpen bergaya realis itu pula yang berhasil menempati posisi-posisi juara dan nominasi. Ini seperti memperkuat bangkitnya kembali kecenderungan fiksi realis, setelah cukup lama cerpen kita didominasi fiksi surealis semacam karya-karya Putu Wijaya, Danarto, dan Seno Gumira Ajidarma...”
Datang Malam
Penerbit N.V. Pembangunan, Jakarta-Bukittinggi menerbitkan kumpulan cerpen Datang Malam pada tahaun 1963. Ada 7 cerpen yang tercantum dalam kumpulan karya Bokor Hutasuhut tersebut, yaitu “Bebas”, “Bayonet”, “Datang Malam”, “Ziarah”, “Tuak”, “Bon-bon”, dan “Matahari di Atas Sawah”. Sebagian besar karya-karya Bokor Hutasuhut, baik cerpen maupun novel banyak memilih tema lokal yang kental.
Cerpen “Datang Malam” yang menjadi judul kumpulan Datang Malam adalah cerpen yang bertema kemerdekaan. Sederhana tetapi memikat. Adalah pergumulan ketakutan, kerinduan, kegembiraan sebuah keluarga kecil: Ibu dan 3 orang anak tentang nasib Ayah mereka (seorang pejuang) yang hendak pulang dari persembunyiannya di gunung untuk keperluan yang mendesak demi perjuangan. Di satu sisi, mereka rindu kepada Ayah mereka, juga gembira hendak bertemu. Namun di sisi lain, mereka khawatir jika Belanda mengetahui kedatangannya, lantas menangka Ayah mereka. Ketakutan itu terjadi. Ayah mereka yang pulang tengah malam ditangkap tentara Belanda sesampainya di rumah. Tertangkapnya Ayah mereka tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan teman Ayah mereka.
Anita K. Rustapa pernah meneliti cerpen “Bebas”, salah satu karya yang tercantum dalam Datang Malam. Pada kesempatan itu, Rustapa membedah imajinasi tentang cinta dan perjuangan yang terkandung dalam cerpen “Bebas”. Dalam simpulan, Rustapa memaparkan cerpen “Bebas” sebagai berikut, “ Walaupun karya sastra itu suatu cerita imajinasi, imajinasi Bokor ini sangat mungkin dilatarbelakangi oleh tempat dan latar budaya nyata di daerahnya. Budaya daerah yang digambarkan itu setidaknya akan memperkaya pengalaman batin para pembaca. Di sinilah barangkali manfaat yang diberikan oleh karya sastra itu.
Bahwa cinta dan tanggung jawab itu bukanlah hanya milik manusia yang sudah berpendidikan tinggi dan berstatus penduduk kota, melainkan manusia desa yang tidak mengenal bangku sekolah pun mampu dan tahu akan makna cinta dan tanggung jawab. Tanpa mengusik makna niatan si pengarang, penulis berpendapat bahwa pengarang telah menciptakan suatu karya yang sederhana tetapi sangat mendidik, trutama bagi perempuan kota tanpa sepatah pun kata yang mengajari. (Majalah Bahasa dan Sastra, 2002:1190)
Denting
Denting adalah kumpulan cerpen koran Medan yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian (DKM) Desember 2006. DKM mewujudkan Denting untuk menampung perkembangan pesat satra koran dan memberikan apresiasi tulus bagi karya-karya yang bertebaran di koran-koran Medan, juga penulis-penulis Sumatera Utara.
Panitia menerima 75 naskah cerpen dari 42 penulis. Karya yang pernah terbit di koran-koran Medan dalam kurun waktu 2005-2006 adalah salah satu ketentuan yang harus dipatuhi peserta agar turut diseleksi penyunting (Damiri Mahmud, Syaiful Hidayat, Sahril). Setiap cerpenis boleh mengirimkan maksimal dua naskah cerpen, dan kedua naskah tersebut memiliki peluang yang sama untuk dipilih penyunting.
20 cerpen yang terpilih berasal dari 18 cerpenis. Para cerpenis tersebut adalah Ahmad Badren, Ardani, Hasan Al Banna, Idris Pasaribu, Idris Siregar, Irwan Effendi, Jones Gultom, M. Raudah Jambak, M. Yunus Rangkuti, Nasib TS, Novianti, Saripuddin Lubis, Sumaliman Sambas (dua cerpen), Tanty HS, Teja Purnama (dua cerpen), Istha Pelawi, dan T. Sandi Situmorang. 11 cerpen yang terpilih sebelumnya terbit di Analisa, 2 cerpen pernah dimuat Mimbar Umum, 2 oleh Medan Bisnis, 2 diterbitkan Waspada, dan 3 cerpen diterbitkan Global.
Secara garis besar, karya-karya yang termaktub dalam Denting berkisah tentang perilaku manusia modren sebagai identitas kota besar. Kenyataan itu juga diungkapkan oleh penyunting dalam Kata Pengantar, “...karya-karya yang masuk dalam kumpulan ini masih berbicara kepada kita. Ia masih berbicara banyak kepada kita, memberikan aba-aba akan kecenderungan masyarakat urban yang materialistik dan hedonik...”
Kumpulan Cerpen Sumatera Utara
Usaha penerbitan Kumpulan Cerita Pendek Sumatera Utara ini dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara melalui Bagian Proyek Pembinaan Kesenian Sumatera Utara Tahun Anggaran 1997/1998. Selain itu, menurut penerbit, kumpulan buku ini merupakan langkah awal untuk pembinaan dan pengembangan kesenian khususnya cerita pendek di Sumatera Utara.
Terhitung 14 cerpen yang tercantum dalam Kumpulan Cerita Pendek Sumatera Utara. Pengarang yang menyumbang sejumlah karya tersebut adalah Bokor Hutasuhut, Lazuardi Anwar, Zainuddin Tamir Koto, dan S. Baya. 14 cerpen tersebut ialah: Kapal Terbang, Laut, Lelaki Jakarta, Lomba, Lubang Perlindungan, Mahkamah Orang Gila, Makam, Ruang Tunggu, Sahabatku di Bulan Oktober, Sebuah Desa Terpencil, Silang, Tak Kembali Lagi, Tanduk, dan Ziarah.
Lelaki Bukan Pilihan
Kumpulan cerpen Lelaki Bukan Pilihan diterbitkan Star Indonesia Group. 3 cerpen dari kumpulan cerpen Lelaki Bukan Pilihan (2006), yaitu “Lakon Air, Mata Deknong”, “Sebab Kecamuk Perang”, dan “Tsunami” berkisah tentang keluh kesah Aceh. Ketiga cerpen tersebut ditulis tahunn 2005. Sementara 5 cerpen yang lain (Lelaki, Lelaki dan Sebilah Pisau, Sepanjang Rel Kereta Api, Trauma Zihan, serta Maryam hadir dengan beragam tema, dan ditulis antara tahun 2002 sampai 2006.
Loktong
Adalah kumpulan dari beberapa cerpen hasil Sayembara Penulisan Cerpen yang diadakan Direktorat Kepemudaan, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), Depdiknas bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI). Sejak tahun 2003, ajang bernama Festival Krativitas Pemuda ini juga sudah berlangsung dan sukses menelurkan antologi cerpen Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003). Begitu juga tahun 2004, ajang yang sama berhasil menerbitkan antologiDari ZefirSampai Puncak Fujiyama, dan tahun 2005 mempersembahkan antologi cerpen La Runduma.
Dalam sayembara tahun 2006, seorang pengarang asal Sumatera Utara, yaitu M. Raudah Jambak (melalui cerpen Bulan) terpilih masuk dalam antologi cerpenLoktong. Pada kesempatan tersebut, Mariana Amiruddin, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Hudan Hidayat didaulat sebagai dewan juri.
Muara
Antologi puisi dan cerpen Muara (1984) merupakan suatu usaha penjalinan antara pengarang Indonesia dan Malaysia. Dalampada itu, sastrawan Sumatera Utara dan Malaysia terlibat di dalam kumpulan puisi dan cerita pendek Muara ini. Buku ini diterbitkan Panitia Dialog Utara II di Medan setelah yang pertama berlangsung di Pulau Pinang, Malaysia 5-7 Agustus 1982. Forum Dialog Utara ditumbuhkan untuk mendokumentasikan sejumlah karya, baik cerpen maupun puisi dari penulis-penulis di Sumatera Utara dan Malaysia.
Para cerpenis Sumatera Utara yang terlibat di dalam buku ini yakni, Ahmad Taib, Ali Soekardi, A. N. Zaifah, A. Rahim Qahhar, D. Rifai Harahap, Idris Pasaribu, Lahmuddin Mane, M. Biya Sofyan, Mihar Harahap, Ratni Yacob, R. Effendi KS, Ristata Siradt, Sulaiman Sambas, Sutedjo N. Rahayu, Tandi Skober, dan Zainuddin Tamir Koto.
Sedangkan para penyumbang puisi asala Sumatera Utara yang terlibat di dalam buku antara lain, A.A. Bungga, A.A. Lubis, Abdul Jalil Sidin, Abdul Sukhor Embi, Aldian Arifin, Aminuddin Anhar, As. Atmadi, B.Y Tand, Damiri Mahmud, Djohan A. Nasution, Dt. A. Azmansjah, Hereman KS, Laswiyati Pisca, Lazuardi Anwar, Murni Aryanti Pakpahan, N.A. Hadian, Pangeran Amry, Ridwan Siregar, R. Lubis Zamakhsyari, Rudi Falishkan, Rusli A. Malem, Sayed Din Hidayat, Shafwan Hadi Umry, dan Wirja Taufan.
Sejak forum sastra Dialog Utara diadakan para sastrawan Sumatera Utara dan Malaysia bagian Utara, disepakati untuk melahirkan buku antologi sastra. Buku yang terbit di Malaysia diberi nama “Titian Laut” dan yang terbit di Indonesia diberi nama “Muara”.
Muara Tiga
Sastrawan Sumatera Utara dan Malaysia bagian Utara terlibat di dalam kumpulan puisi dan cerita pendek Muara Tiga ini. Buku ini diterbitkan Panitia Dialog Utara IX Medan. Forum Dialog Utara ditumbuhkan sejak sembilan belas tahun yang lalu telah menedokumentasikan sejumlah karya, baik cerpen maupun puisi dari penulis-penulis di Sumatera Utara, Malaysia, dan Aceh.
Muara Tiga disunting Suyadi San dan Mihar Harahap serta Shafwan Hadi Umry dan Rejab FI (Malaysia) sebagai penyelaras. Para cerpenis Sumatera Utara yang terlibat di dalam buku ini yakni, Baharuddin Saputra, Danil Eneste, Harta Pinem, Hidayat Banjar, M. Raudah Jambak, Supri Harahap, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, dan Yulhasni.
Sedangkan para penyumbang puisi yang terlibat di dalam buku ini, Adi Mujabir, Aishah Basar, Ezra Dalimunthe, Harun Al Rasyid, Idris Siregar, Laswiyati Pisca, M. Yunus Rangkuti, Romulus ZI Siahaan, Sahril, Said Adlin, S. Ratman Suras, Teja Purnama, Thompson HS, YS. Rat, Zainal AKA.
Ini merupakan karya sastra pertama dalam dasawarsa terakhir (1990-2000) yang memuat karya-karya sastrawan muda Sumatera Utara bersama sastrawan negara jiran, Malaysia. Muara Tiga merupakan lanjutan dari antologi Muara (1984) dan Muara 2 (1989).
Sejak forum sastra Dialog Utara diadakan para sastrawan Sumatera Utara dan Malaysia bagian Utara, disepakati untuk melahirkan buku antologi sastra. Buku yang terbit di Malaysia diberi nama “Titian Laut” dan yang terbit di Indonesia diberi nama “Muara”.
Obsesi Calon Spesialis
Buku yang ditulis Ridwan Siregar ini tanpa tahun terbit dan nama penerbit. Ini tampaknya merupakan ciri tersendiri bagi sang pengarang, karena buku-bukunya yang lain juga seperti itu. Selain cerpen, buku ini juga menyajikan sejumlah puisi.
Opstib
Cerita pendek Ali Soekardi banyak berkisah tentang kehidupan masyarakat kecil. Cerpennya yang berjudul “Abang Becak” ditulis sebagai bentuk keprihatinannya terhadap nasib abang-abang becak, begitu juga dengan cerpen “Guru dan Sekolah”. Bisa jadi ketertarikaanya terhadap tema-tema semacam itu dipicu oleh pekerjaannya sebagai wartawan.
Opstib adalah sebuah kumpulan cerpen karya Ali Soekardi yang juga menyorot sisi manusia-manusia yang menghadapi keseharian yang terkadang rumit terkadang menyenangkan. Cerpen “Opstib”bersama delapan cerpen lain: Air, Balon Pecah, Beras, Curiga, Si Amah, Teman dan Peluru, Menanti Teduh, dan Peluru hadir dengan kekhasan Ali soekardi dalam menulis cerpen, yaitu bahasa yang singkat dan mudah dimengerti oleh pembacanya. Begitu juga dengan cerpen “Opstib” yang menjadi judul kumpulan cerpen terbitan Yayasan Wiraswasta Seni Medan (1982) itu bercerita tentang nasib pegawai Pemda (pemerintahan daerah) bernama Mohammad Fadil yang dimutasikan ke sebuah kecamatan. Semula pegawai tersebut adalah Kepala Instansi di Ibukota. Tetapi tergusur karena terjaring opstib (operasi tertib). Ia turut mendapat getah dari perbuatan bawahan-bahawan keparcayaannya yang melakukan praktik korupsi. Tidak pelak, ia dan keluarganya menanggung malu dan tertekan.
Opstib merupakan kumpulan cerpen yang sebagian ditulis Ali Soekardi tahun 50-an dan 60-an. Cerpen “Balon Pecah” dan “Air” diselesaikan tahun 80-an, dan “Opstib” ditulis tahun 1978.
Pasar Mayat
Kumpulan cerpen Danil Eneste.
Perjalanan yang Belum Terungkap
Kumpulan cerpen Idris Siregar dan S. Ratman Suras, (KSK, 1999).
Rebana-I/2005
Antologi ini diterbitkan tahun 2006 oleh Harian Analisa untuk memperingati 34 tahun Harian Analisa. Sebanyak 23 cerpen dari 20 penulis dalam Rebana-I/2005ini adalah cerpen-cerpen yang termuat dalam ruang budaya Analisa yang diberi tajuk “Rebana”. Analisa melalui ruang budaya “Rebana” banyak mengasah dan mengasuh penulis-penulis yang berkualitas, khususnya asal Sumatera Utara.
20 penulis cerpen dalam kumpulan cerpen ini tidak hanya berasal dari Sumatera Utara. Misalnya Aris Kurniawan yang berkhidmat di Tangerang, Maroeli Simbolon, meskipun berasal dari Sumatera Utara, tetapi masa hidupnya banyak dihabiskan di Jakarta. Begitu juga dengan Saut Situmorang dan Hotma L. Tobing. Berikut ini adalah daftar penulis cerpen yang termaktub dalam Rebana-I/2005, yaitu: Aishah Basar (dua cerpen), Ali Yusran, Aris Kurniawan, Biolen Ferenando Sinaga, Bobo Emiry, Hasan Al Banna (dua cerpen), Harta Pinem, Herman K.S, Hotma L. Tobing, Idris Pasaribu (2 cerpen), Irwansyah, Maroeli Simbolon, Nevatuhella, Nasib TS, Pandapotan MT Siallagan, Saut Situmorang, Slamet Riadi, Supri Harahap, Richad Yanato, dan T. Agus Khaidir.
Dari 23 cerpen dalam Rebana-I/2005, tema-tema kaum urban dan kemanusiaan tetap menjadi pilihan para pengarang. Dalam Pengantar Idris Pasaribu sebagai redaktur “Rebana” mengatakan bahwa cerpen-cerpen warna lokal yang sebenarnya diharapkan muncul. Dalam Rerbana-I/2205 hanya cerpen “Ompungku Parturi” karya Supri Harahap yang kental dengan warna lokal. Selain mendokumentasikan karya-karya cerpen terbitan Analisa, Rebana-I/2005 ini juga melahirkan penulis-penulis baru semacam Bono Emiry, atau Richad Yanato yang pada saat buku ini terbit masih tercatat sebagai siswa SMA.
Sekar Boleh Menari
Pusat Bahasa Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional menerbitkan antologi Sekar Boleh Menari: Antologi Cerpen Remaja 2004 sebagai bentuk kepedulian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan minat baca masyarakat Indonesia. Buku ini terbit tahun 2004, terdiri dari 20 karya dari 20 cerpenis remaja dari beberapa daerah di Indonesia.
Sapardi Djoko Damono dalam apresiasinya terhadap antologi cerpen ini menegaskan, “Sejumlah cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku merupakan hasil pemanfaatan imajinasi dan kreativitas remaja kita. Mereka mengarang setelah ditantang oleh sayembara yang diselenggarakan Pusat Bahasa. Bagi Sapardi, serpihan karangan ini membuktikan bahwa kaum remaja kita mampu menghasilkan sesuatu yang berharga, yang berupa penghayatan mereka terhadap kehidupan. Cerita ditulis berdasarkan berbagai jenis pengalaman hidup, baik yang benar-benar pernah dialami atau yang dibayangkan pengarangnya. Setelah menjadi cerita, pengalaman atau bayangan itu menjadi pengalaman baru. Kita bisa ikut menghayati pengalaman itu. Itulah hakikat karya sastra”.
Hakikat itu jelas terkandung dalam dua cerpen hasil karya pengarang Sumatera Utara, yaitu Irwan Effendi dengan cerpen “Samin”dan Abdul Rasyid, siswa SMUN 1 Tanjung Morawa, Sumatera Utara saat itu dengan cerpen “Sebening Kasih”. Kedua pengarang muda dari Sumatera Utara tersebut patut bangga bergabung dengan pengarang-pengarang remaja dari daerah lain, seperti Bagus Dwi Hatmojo, Patrick Gidion E, Barry Tanny, Richad Theo Daeng Salasa, Ayu Diah Dwi Ambaran, Lanjar Wijiarti, Ikhtiar Hidayati, Ulil Amri, Juana Nancy Loing, Iggoy El Fitra, I Made Sudarma, Herawati, Naimah Amrullah, Joni Wijaya, Sopia Darlia, Harlin, Sri Agus M, dan Fibriani.
Seratus Cerpen
Seperti yang termaktub dalam Kata Pengantar, menerbitkan karya melalui bentuk buku adalah salah satu program Forum Sastrawan Sumatera Utara (FSSU). Disebabkan selama ini masing-masing anggota menerbitkan karyanya dengan usaha sendiri dan berbagai cara, juga karena para penerbit tidak bisa diharapkan, maka diterbitkanlah antologi cerita pendek bertajuk Seratus Cerpen tahun 1997. penerbitan antologi oleh FSU tidak semata untuk mencari keuntungan.
Disebutkan antologi Seratus Cerpen bukan berarti dalam antologi ini tercetak 100 cerpen, melainkan sebagai bagian jangka panjang untuk menerbitkan antologi cerpen jilid demi jilid. Antologi Seratus Cerpen merupakan jilid I dari FSSU.
Terdapat 5 pengarang Sumatera Utara yang termasuk menyetor cerpen dalam Seratus Cerpen ini. Mereka adalah AN. Zaifah dengan 6 cerpen (Tanah Kosong, Janda Seorang Lelaki, Bebas, Polos, Dalam Gelap, dan Daun-daun), kemudian A. Kadir Zailani Yahya dengan 3 cerpen (Di Tengah Kabut, Ibu Adik-adiknya, serta Ia masih Di Situ). M. Biya Sofyan juga turut dalam antologi Seratus Cerpen dengan 6 cerpen (Di Pasar, Terjun, Ajudan, Ziarah, Bayang-bayang, dan Situasi). 5 cerpen masing-maing berjudul Bapak Mertua, Hari Ini dan Hari Esok, Pahitnya Kebenaran, Prihatin, dan Xavarianus adalah karya S. Nathan Pardosi. Sementara karya-karya Terbit Sembiring tidak bisa dilacak dalam karena terpisah dan hilang dari antologi Seratus Cerpen.
Tamu Istana
Diawal pengatarnya pada kumpulan cerpen Tamu Istana, Damiri Mahmud memberikan paparan umum tentang karya-karya R. Effendi Ks, “Umumnya, cerita-cerita R. Effendi Ks enak dibaca. Ini barangkali karena bahasanya mudah dicerna, tidak membuat kita harus mengerinyutkan dahi oleh sintaksis dan komposisinya. Begitu juga tokoh-tokoh sepertinya adalah watak-watak yang kita kenal benar, pernah kita lihat atau kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, menjadi keinginan kita atau bahkan telah pula kita alami sendiri.”
Sedangkan tentang 20 cerpen yang terkandung dalam Tamu Istana, Damiri Mahmud menuliskan seperti berikut ini, “Melihat cerita-cerita R. Effendi dalam kumpulan cerpen Tamu Istana ini isinya memberikan tendensi yang kuat kepada masalah kelibatan sosial. Namun meskipun bagaimana dekatnya dengan kehidupan yang nyata dalam lingkungan masyarakatnya. Cerita-ceritanya ini pada hemat saya tidak dapat dikategorikan ke dalam corak realisme tapi lebih dekat kepada ekspresionisme dalam hal ini idealisme.
Kumpulan cerpen Tamu Istana diterbitkan U.D. Seroja tahun 1991. Cerpen-cerpen yang termasuk dalam Tamu Istana ditulis R. Effendi Ks antara tahun 1977 sampai tahun 1986, dan telah diterbitkan oleh beberapa majalah dan koran harian. Adapapun kedua puluh cerpen tersebut adalah: Maria, Pasien Itu Bernama Kurus, Angin Ribut, Terlalu, Pak Bahar, Setuju, Lelaki Tua Itu, Pekerja Muda, Komisi, Potongan, Tuan Oben, Harta Warisan, Wak Amat Ronggeng, Memburu Barang Antik, Carles De Gol, Golok, Tamu Istana, Mencuri, Sahabatku Khayali, dan Siapakah Dia.
Yang Dibalut Lumut
Antologi Yang Dibalut Lumut adalah dokumentasi 30 cerpen hasil Sayembara Penulisan Cerpen yang diadakan Direktorat Kepemudaan, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), Depdiknas bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI) tahun 2003. Tahun berikutnya, dari ajang yang sama terbitlah antologi Dari ZefirSampai Puncak Fujiyama. 30 cerpenis (dengan persyaratan usia harus di bawah 35 tahun) yang terpilih dalam kumpulan buku ini dijaring dewan juri dari 526 karya naskah cerpen dari 262 penulis. Melalui Festival Kreativitas Pemuda 2003 banyak bermunculan penulis-penulis yang baru terdengar namanya dan terpilih sebagai pemenang seperti Azhari dan Dyah Indra Mertawirana, bahkan belum dikenal sama sekali seperti Surono B. Tjasmad.
Aishah Basar (cerpen Namaku Suci), cerpenis yang berdomisili di Sumatera Utara termasuk 30 cerpenis dalam kumpulan buku ini. 29 cerpenis yang lain berasal dari Banda Aceh, Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Pekanbaru, Bandung, Padang, dan Surabaya. Mereka adalah Azhari, Dyah Indra Mertawirana, Surono B. Tjasmad, Badui U. Subhan,Yetty A.KA, Hary B Kori’un, Raudal Tanjung Banua, Zahra Fona, Akidah Gauzillah, EM. Ali, Ucu Agustin, Dina Amalia Susanto, Mahbub Djamaludin, Saidiman, Esthi Utami Dayaputri, Martina Uki Emilyasanti, Muhammad Rihardja, Sihar Ramses Sakti Simatupang, Muhammad Yulius, Dianing Widya Yudhsitira, M. Arman AZ. Diah Utami Puspitarini, Melvi Yendra, Syekh Ahmad Sobri, Lesmana A. Gunawan, Mustafa Ismail, Imam Muhtarom, dan Widyawati Oktavia
Berdasarkan catatan dewan juri (Ahmadun Yosi Herfanda, Hamsad Rangkuti, Hudan Hidayat, dan Maman S. Mahayana) yang juga bertindak sebagai penyunting mengungkapkan bahwa cerpen yang dikembangkan dari suatu gagasan, cerpen yang berangkat dari realitas faktua, dan cerpen yang mengandalkan penuturan puitis dan dekat dengan prosa lirik menjadi proses kreativitas penulis yang aling menonjol dalam Yang Dibalut Lumut.Selain itu, dewan juri juga mengatakan jika sejumlah cerpen yang terdapat dalam antologi ini merupakan potret sosial dan gelora zaman.
#bbsu02042014

No comments: