Pada cerita dikenal istilah ‘fiksi’ dan ‘non-fiksi’. Kebanyakan penulis menganggap dua hal itu sudah final untuk mereduksi arti kata ‘tak nyata’ dan ‘nyata’.
Ketahuilah, sekadar itu saja tak cukup.
Non-fiksi adalah upaya menulis kejadian yang sesungguhnya pernah terjadi, sedang fiksi adalah upaya mengarang cerita yang diketahui belum terjadi, atau dianggap tak akan terjadi.
Cerita non-fiksi dan fiksi menetapkan logika sebagai salah satu alat bercerita selain kemampuan penulis bersangkutan meracik ceritanya. Hampir pasti, semua kejadian yang diceritakan dalam karya non-fiksi memang sudah terjadi atau sedang berlangsung di sekitar kita, namun pada cerita fiksi, pengarang tidak sekadar bercerita tentang hal-hal yang belum terjadi (atau diduga tak akan mungkin terjadi). Pada dua genre ini, logika dalam alur kisah tetap dibutuhkan.
Lalu, jika fiksi dan non-fiksi juga tetap menjadikan logika sebagai salah satu alat utamanya dalam bercerita, lantas di manakan imajinasi penulis dapat tempat?
Imajinasi selalu dapat tempat. Penulis hanya perlu menyesuaikannya dengan apa yang ditulisnya. Jika Anda melibatkan imajinasi dalam tulisan non-fiksi (feature, laporan jurnalistik, laporan perjalanan) tidakkah Anda akan terlihat konyol? Pada tulisan non-fiksi, imajinasi berperan sebagai pelengkap deskripsi. Anda tak hanya harus menulis tentang warna, arsitektur, dibangun tahun berapa, saat Anda sedang berada di sebuah gedung tua bergaya renaisance, misalnya. Di sinilah imajinasi Anda diperlukan. Dengan berbagai data perihal kejadian penting yang pernah berlangsung di gedung tersebut, Anda bisa merekontruksi seperti apa kiranya suasana saat kejadian-kejadian tersebut berlangsung, secara imajiner.
Nah, apakah imajinasi juga dapat tempat dalam cerita fiksi? Dalam fiksi, imajinasi tentu boleh, sepanjang tak merusak logika cerita. Sebuah contoh di bawah ini:
Dalam cerita fiksi yang saya buat, saya memasukkan imajinasi tentang seorang perempuan cantik yang datang dari masa depan, berkendara roket (atau kapsul waktu) dan tiba-tiba muncul di halaman belakang rumah saya.
Ini murni fiksi yang mengandung imajinasi. Perhatikan.
“Perempuan cantik yang datang dari masa depan” bukanlah kejadian yang bisa kita temui sehari-hari. Kendaraan roket yang digunakannya (atau kapsul waktu) yang tiba-tiba muncul di halaman belakang rumahmu, juga bukan sesuatu yang bisa kau temui sehari-hari. Tapi karena ini cerita fiksi, maka sah saja saya menuliskannya demikian. Toh, semuanya logis.
Cerita yang tidak kita temui sehari-hari (atau mustahil akan terjadi di kehidupan kita sehari-hari) bukan berarti tidak akan terjadi. Logisnya: teori perjalanan antar dimensi itu ada; rancangan kapsul waktu sudah pernah di pamerkan di MIT, teori quantum yang menjadikan perjalanan antar dimensi menjadi mungkin sudah gambalang dijelaskan Albert Einstein.
Lantas di bagian mana imajinasi mengambil tempat dalam fiksi ini? Pada saat Anda mendeskripsikan “perempuan cantik” dari masa depan (yang lengkap secara jasmani, mungkin putih, wangi dan seksi). Pada saat Anda mendeskripsikan bentuk roket, kecepatannya, dan bagaimana roket itu tiba-tiba muncul di halaman belakang rumah Anda.
Di bagian mana yang aneh dari sebuah detil: seorang lelaki hamil dan kemudian melahirkan uang?
Jika detil seperti itu muncul dalam tulisan fiksi, maka antara logika cerita (fakta bahwa ada lelaki yang hamil pernah terjadi) dan imajinasi (melahirkan uang) tentu tak saling mendukung. Imajinasi dalam detil itu justru merusak logika cerita. Padahal Anda bisa berimajinasi perihal ekspresi si lelaki yang hamil, saat menjaga kehamilannya, termasuk bagaimana ekspresinya saat melahirkan (tentu tak akan sama dengan ekspresi perempuan yang malehirkan). Di bagian inilah seharusnya imajinasi penulis mengambil perannya dalam mendukung berbagai logika dalam cerita.
Contoh lain:
Pernahkah Anda mendengar tentang sebuah novel fenomenal berjudul “A Floating City” (1871) atau “The Voyages and Adventures of Captain Hatteras” (1874) yang dikarang Jules Gabriel Verne a.k.a. Jules Verne?
Dua novel fiksi ilmiah (sci-fi) ini yang paling terkenal di antara puluhan karya Jules Verne. Kisah-kisah fiksi Jules Verne seolah menentang berbagai konvensi logis di jamannya. Bagaimana dia mendeskripsikan sebuah kota terapung, atau bagaimana dia dengan gamblang menceritakan perjalanan angkasa luar, penjelajahan galaksi, dalam sebuah pesawat angkasa yang menggunakan tenaga warp. Tapi apa yang kemudian terjadi? Semua yang pernah ditulis Verne benar-benar terjadi satu abad kemudian. Ini dikarenakan logika ceritanya sebangun dengan imajinasi penulisnya.
Atau, tentu masih ingat dengan kisah Star Wars, di mana para kadet di pesawat antar bintang Enterprise menggunakan semacam gawai komputer yang disentuh dan menampilkan beragam fitur. Bukankah beberapa puluh tahun kemudian (sekarang ini) bahwa apa yang dulu secara fiksi dan imajinatif dituliskan itu menjadi kenyataan di depan mata kita: komputer dengan sistem operasi Android. Itulah fiksi-ilmiah, fiksi yang sungguh-sungguh memadukan cara bercerita dengan kemampuan imajinasi yang kuat.
Bagaimana dengan imajinasi murni?
Pada literasi asing dikenal istilah “fantasy-story” yakni sebuah genre yang benar-benar bersandar pada imajinasi. Apa saja yang Anda baca di kisah-kisah dalam genre ini, tidak ada, bahkan tak akan pernah ada. Imajinasi sungguh-sungguh mengambil semua tempat hingga tak menyisakan lagi area abu-abu di mana Anda bisa bertanya. Just enjoy teh story. Cukup nikmati saja ceritanya.
Pada imajinasi semua hal-hal yang bahkan tidak ada, boleh diadakan. Imajinasi tak butuh logika, bahkan ditendangnya jika perlu. Anda boleh berimajinasi tentang sebutir telur seukuran telur ayam yang menetaskan seekor bayi gajah, misalnya. Boleh. Atau bercerita tentang bayi yang terbang mengitari planet-planet tanpa perlu sayap atau roket, bahkan tabung oksigen. Boleh. Atau mungkin Anda mau menceritakan tentang seorang presiden republik kaya-raya yang berwajah babi. Juga boleh. Semua sah dalam imajinasi. Tak ada ruang untuk heran atau tertawa. Semakin aneh imajinasi menandakan imajinasi itu sangat kuat.
Lihatlah, betapa luar biasa apa yang bisa dilakukan otak manusia.
Kisah-kisah fantasy-story seperti “Alice in Wonderland”, atau “Peterpan”, atau “The Cronicle of Narnia” adalah sedikit dari banyak kisah imajinatif yang sangat terkenal.
Demikian, untuk membedakan seperti apa “fiksi” dan “fantasy-story”. Seperti apa cerita yang tetap bersandar pada logika, dan yang mana kisah yang sepenuhnya menghindari logika (imajinasi).
No comments:
Post a Comment