Sunday, 12 April 2015

Generasi Baru Penyair Indonesia

MARHALIM ZAINI

SEBAGAIMANA buku-buku kumpulan puisi pilihan Riau Pos terdahulu, buku ini adalah juga berisi puisi-puisi yang telah dipilih, dari yang terpilih. Terpilih dari proses seleksi setiap minggu, untuk dimuat di halaman “Puisi”— yang sejak tengah Januari 2013, hadir satu halaman. Saya, yang dipercaya untuk menjadi redaktur tamu halaman ini, sejak saat itu, menerima ratusan puisi (bahkan mungkin ribuan) yang ditulis oleh ratusan penyair dari seluruh Indonesia, tentu termasuk Riau sendiri. Dalam satu halaman itu, saya muat dua penyair (komposisinya: Riau dan luar Riau), dengan jumlah puisi beragam, dan sebuah ruang kecil tempat saya menulis kolom ihwal puisi. Dengan begitu, bedanya dengan buku terdahulu adalah, bahwa buku kumpulan puisi kali ini tentu akan lebih tebal. Gagasan satu halaman ruang puisi ini, datang dari Bang Rida K Liamsi. Tentu, ini salah satu bukti semangat, rasa cinta, dan komitmennya untuk terus mengembangkan dunia puisi (sastra) di Indonesia, terlebih untuk Riau. Menyusul setelah sebelumnya gagasan deklarasi Hari Puisi Indonesia 2012. Selain Riau Pos, yang juga punya satu halaman puisi adalah Indopos (tiap hari Sabtu), Sutardji Calzoum Bachri redakturnya. Saya, belakangan, juga diminta oleh Bang Rida, ii Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2013 dan disetujui oleh Bang Tardji, untuk juga berbagi bahan diskusi ihwal puisi lewat kolom saya di Riau Pos, untuk juga dimuat di Indopos. Jujur, saya tentu senang. Senang diberi kepercayaan oleh dua penyair senior, senang karena tiap hari saya dapat kiriman puisi dari kawan-kawan penyair se-Indonesia, senang dapat membuat saya lebih intens dan kian tak bisa berpaling dari puisi, senang karena dapat tambahan masukan, juga terlebih senang karena puisi (masih) diberi tempat “terhormat.” Bagi saya (semoga Anda juga setuju), satu halaman puisi, di media massa umum, “mengalahkan” serbuan iklan, adalah satu hal yang luar biasa, sekaligus langka. Model komposisi pemuatan penyair Riau dan luar Riau tiap minggunya, sesungguhnya hendak memberi peluang lebih besar kepada para penyair (di) Riau, untuk bisa terus hadir tiap minggu di halaman puisi ini, untuk terus berdampingan dengan para penyair dari seluruh Indonesia. Hemat saya, kata “berdampingan” harus dilihat dari (setidaknya) dua hal—yang boleh jadi paradoks; berdampingan sebagai kawan, dan sekaligus berdampingan sebagai lawan. Sebagai kawan, halaman puisi ini bisa jadi ruang tegur-sapa, ruang berkenalan, ruang percakapan, ruang berbagi. Dan sebagai lawan, bisa menjadi ruang kompetisi, ruang untuk saling mencermati capaian-capaian estetis dan ideologis, saling “menakar” kelemahan-kelebihan, dan sekaligus bagi pembaca umum; dapat turut menilai mana yang “bagus’ mana yang “lemah,” mana yang “disukai” dan mana yang tidak. Maka, saya kira, demikian jugalah cara kita melihat puisi-puisi yang termaktub dalam buku ini. Saya berupaya menyertakan semua penyair yang pernah termuat di halaman puisi Riau Pos, dengan jumlah puisi yang beragam, demi untuk memperlihatkan sebuah lanskap perkembangan iii Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2013 perpuisian Indonesia mutakhir. Agaknya, bolehlah saya menyebutnya begitu. Sebab, dalam pengamatan saya, namanama penyair yang termuat di Riau Pos, adalah (sebagian besar) juga para penyair generasi “baru” yang puisi-puisinya juga termuat di media massa lain, di luar Riau. Tanpa “mengabaikan” nama-nama penyair yang lebih dulu berproses macam; Isbedy Stiawan ZS, Raudal Tanjung Banua, Agus Hernawan, Hasan Aspahani, Hang Kafrawi, dan beberapa nama lain, saya melihat kehadiran penyair generasi baru lebih mendominasi. Mereka seperti susul-menyusul, dengan semangat bergelora, hendak tampil dengan “percaya diri” sebagai penyair muda yang berbakat. Semangat ini, penting dicermati sebagai sebuah gejala “baru” dalam perkembangan sastra Indonesia—tak hanya dalam puisi tapi juga prosa. Perkembangan baru, yang bisa “menggembirakan” sekaligus bisa juga “mengkhawatirkan.” Ketika saya sedang menulis pengantar ini, seorang teman penyair menelpon. Karena sudah lama tak bertemu, ia mengajak berbincang ringan. Salah satunya, soal kekhawatiran itu. Dia menyitir dari seorang kritikus sastra, yang sempat berbincang dengannya. Sebuah pertanyaan yang menurut saya menarik adalah; “ke mana masa depan para “penyair muda” kita hari ini?” Pertanyaan itu muncul setelah ia menilai bahwa puisi-puisi penyair “generasi baru” kita seperti tak memiliki “pondasi.” Mereka seperti—meminjam kalimat kawan penyair saya itu—pemain tenis yang tidak memakai net pembatas. Maka yang saya bayangkan kemudian adalah para pemain tenis itu dapat dengan bebas memukul bola tanpa mempertimbangkan ketepatan arah dan kekuatan pukulan. Analogi lain, yang ia sitir juga adalah, “para penyair ini seperti seseorang yang bebas tanpa pernah sebelumnya mengalami penjara.” Itu kata kritikus. Tentu, tak sepenuhnya dapat diamini, v Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2013 sebelum ada kajian-kajian yang komprehensif soal itu. Artinya, membanjirnya karya sastra kita hari ini, tidak juga baik jika sekedar dibaca sepintas lalu, tanpa melakukan pembacaan yang mendalam. Akan tetapi, di lain pihak, penting juga bagi kita (terutama para penyair generasi baru) untuk tidak mengabaikan pertanyaan dan pernyataan kritikus itu. Gaya “puisi bebas” yang terus menggejala dan menjadi kecenderungan para penyair terkini, sedikit banyak dapat memberi pembenaran bahwa ada yang seolah “lepas” dari “kampung asal” kita. Meskipun, saya selalu percaya, bahwa tiap zaman membawa perangainya sendiri—sama halnya tiap puisi yang lahir juga membawa perangainya dan nasibnya sendiri. Buku puisi ini, pun, begitu. Penjara, di zaman Rendra, atau Chairil, tentu berbeda dengan “penjara” di zaman Irham Kusuma—salah seorang penyair muda berbakat (masih duduk di bangkku SMA) yang puisi-puisinya termuat dalam buku ini. Godaangodaan untuk menjadi yang seragam, adalah penjara di zaman ini. Godaan-godaan untuk berhenti menulis puisi (dan juga menulis kritik sastra) karena tuntutan ekonomi, adalah penjara yang paling “mematikan” di zaman kini, dan saya kira juga, di masa depan.***


No comments: