Pulau Kampung
Pukau Lampung
MAKA, pada ombak di selatmu, aku belajar mengayuh lagi. Biduk tak
bercadik ini. Ke pulau-pulau di gugus Krakataumu. Dengan
cemas yang tak lagi kemas: sampailah, sampailah lekas.
Sampai ke telukmu. Tempat sebuah bandar berpelabuhan rindu.
Dan aku pelaut hendak menukar layar dengan jubah biksu dan
kamus rahasia tempat para penyair menyemai benih puisi.
AHAI, di mana nanti kutinggalkan perahu? Sedang di sini sungai-sungai
mengeruk beluk dengan bait baru, mengeduk seluk dengan larik
arus laju. Bagaimana nanti kuinginkan badai? Sedang di sini alir
lurus menuju ke muara yang satu. "Sungai telah kami terjemahkan
ke dalam puisi, siapa yang berani memaknai kedalaman? Menebak
apa yang kami tawarkan, mungkin sebuah teteduhan?"
BAIKLAH, di mana aku bisa singgah? Aku ingin sebuah kedai yang ramah.
Dan segelas kopi kampung beraroma rumah. Para perempuan menemani
dengan buku antologi dan lelaki dengan kitab sejarah. "Malam nanti
datanglah. Kita membaca wangi sejarah, dan mungkin bisa kau temukan
rahasia bagaimana menyuling atsiri ke dalam puisi." Aku termenung.
Seperti kudengar lirih bebandung.
BARANGKALI, ada situs di pelupukmu tempat para pelaut betah
membayangkan khayangan, dan aku akan menduga telah menjadi
dewa, menghafalkan pisaan, lalu memejamkan keinginan, belajar
mengerti sebisanya betapa di sini manusia mungkin berbahagia.
Atau menunggu disalin ke remang memmang.
Hak cipta pada hasan aspahani
No comments:
Post a Comment