MENYOAL SASTRA INDONESIA DI JAMBI
Temu Sastrawan Indonesia 1 berlangsung selama empat hari di Jambi, tanggal 7-11 Juli 2008. Acara yang berlangsung meriah itu dihadiri dari berbagai aliran sastra.
Pada panel pertama dilaksanakan diskusi yang bertajuk Capaian Estetis Karya Sastra Indonesia. Pada diskusi kali ini dua pembicara didaulat, yaitu Haris Efendi Tahar yang mengusung Capaian Estetik Puisi Indonesia, dan Sunaryono Basuki Ks yang mengusung Capaian Estetik Prosa Fiksi Indonesia Abad 21. Sedangkan Isbedi Setiawan dihunjuk sebagai moderator.
Dalam pertemuan itu persoalan muncul secara beragam. Salahsatunya adalah persoalan bahasa. Bahasa merupakan gramatika pikiran kita, sehingga ini menjadi sebuah sistem lahirnya karya puisi sehingga sering terjebak dan keluar dari mainstream yang lemah. Streotip bahasa gaul bukanlah pembaharuan sebagai lintas translokal. Hal ini diduga tidak jelasnya persoalan moral yang membentuk pikiran negatif dalam pikiran kita, termasuk selain trasnslokal juga transgender yang saling berpengaruh, demikian Afrizal Malna menyampaikan sedikit pandangannya, yang kemudian ditanggapi oleh beberapa rekan sastrawan.
Diantaranya adalah Aryoto. Aryoto berharap jadilah kreator atau kurator yang lebih menekankan kepada proses persiapan kelahiran karya daripada menjadi seorang komentator atau pembicara yang justru membelokkan keindahan dari sebuah karya. Sedangkan Trianto triwikromo justru meragukan pembicara yang dianggap lebih kredibel sebagai seorang kreator daripada sebagai pengulas yang dikhawatirkan lebih berpandangan yang dianggap terlalu subjektif, sehingga forum menjadi sekadar semacam polisi moral.
Tidak ada pembaharuan yang terlihat menonjol selain hanya pemberontakan terhadap streotif. Sentimentil. Kemeriahan media cetak dan elektronik justru sering diabaikan dalam perkembangan sastra moderen di bawah wadah rumah tangga sastra Indonesia.
Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran adanya keberagaman. Keberagaman itu terwujud baik pada tataran capaian estetis, kreativitas, persepsi, visi, dan misi. Keberagaman itu merupakan aset yang tiada terkira nilainya jika dihubungkan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
Menanggapi persoalan rumah tangga sastra Indonesia itu tentunya ada pembahasan-pembahasan semacam koreksi ataupun kritik yang sehat tentunya.
Sementara pada panel kedua Suminto A. Sayuti dan Korrie Layun Rampan mengusung Pengajaran Sastra Indonesia dan Regenerasi Sastrawan dan Regenerasi Sastrawan Indonesia – Problema dan Solusi. Pada panel yang kedua ini hanya Suminto yang memiliki kesiapan dibandingkan Korrie yang tidak hadir pada acara Temu Sastrawan Indonesia 1 tersebut.
Suminto yang membawa Pengajaran Sastra IndonesiaIndonesia dan Regenerasi Sastrawan, memandang tidak perlunya pembelajaran sastra di sekolah maupun menjadi bagian dari pelaksanaan ujian yang dilaksanakan di lingkungan dinas pendidikan jika sastra dianggap sebagai sekadar basa basi.
Menurut Suminto, membicarakan pembelajaran sastra ibaratnya memutar kembali kaset yang berisi “lagu lama,” yang isinya “masih terdengar sampai di sini” (meminjam baris sajak Sapardi Djoko Damono dalam Prologue). Betapa tidak! Sudah sejak tahun lima puluhan persoalan ini, paling tidak menurut catatan Ajip Rosidi, menjadi pembicaraan dan perdebatan yang tak putus-putusnya dalam berbagai forum seminar, simposium, dan upaya lain yang sejenis. Hingga kini sudah tak terhitung lagi, berapa jumlah kertas kerja, makalah, yang membicarakan persoalan-persoalan yang melilit tubuh pembelajaran sastra itu. Pandangan-pandangan yang ada itu pada prinsipnya menghendaki adanya upaya nyata agar pembelajaran sastra mampu mencapai tujuannnya yang hakiki. Persoalan yang terjadi justru pembelajaran sastra lebih sering terjebak pada persoalan sudut pandang teori yang dijadikan pijakan berikut impilkasinya dalam proses pembelajaran di sekolah.
Uraian yang disampaikan Suminto, banyak mendapat tanggapan termasuk oleh bekas mahasiswanya sendiri, Joni Ariadinata. Joni sangat menyayangkan bahwa pembelajaran sastra yang gagal justru disebabkan oleh sastrawan yang tidak memiliki upaya sosialisasi sastra ke sekolah-sekolah. Padahal menurut Joni sendiri SBSB(Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) justru telah berupaya semaksimal mungkin. Joni justru memiliki pandangan lain, Sastrawan praktisi justru harus dibantu oleh Sastrawan Akademisi, termasuk dalam keikutsertaan mereka dalam perombakan kurikulum atau pembelajaran di sekolah. Paling tidak ini adalah tanggungjawab bersama bukan hanya individu atau golongan tertentu.
Sedangkan Panel ketiga lebih mengarah kepada persoalan kritik. Misalnya, Tradisi Kritik dalam Masyarakat Anti Kritik yang dibawa Harry S Harjono, Dinamika Kritik Sastra Indonesia oleh Ahda Imran, dan Regenerasi Kritikus Sastra Indonesia oleh Afrizal Malna dan Maizar Karim.
Pembicaraan kritik sastra lebih cenderung kepada orientasi kritikus sastra Indonesia? Sehingga rata-rata pembicara maupun peserta pesimis dengan keberadaan kritikus itu sendiri. Secara garis besar, orientasi kritik sastra kita belakangan ini setidak-tidaknya memiliki tiga orientasi, yakni orientasi keilmuan dan apresiatif (objektif dan mimetik), orientasi impresionistik (ekspresif), dan orientasi pasar (pragmatik).
Orientasi kritik sastra keilmuan dan apresiatif cenderung dihasilkan staf pengajar kreatif dari perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Jenis kritik ini juga dihasilkan oleh mahasiswa sastra atau pendidikan bahasa dan sastra. Kritik ini cenderung untuk keperluan pengembangan ilmu sastra dan pembelajaran apresiasi sastra. Orientasi impresionistik cenderung dilakukan oleh sastrawan dalam upaya ekspresivitas, sedangkan yang berorientasi pasar, tergantung pada permintaan steikholder. Kritikus terakhir ini dianggap bisa berlatar akademis, sastrawan, jurnalis, ataupun tokoh-tokoh lain yang dianggap mumpuni.
Akhirnya, Afrizal Malna mengatakan masih perlukah kritikus sastra? Sebab kita bisa saja memandang dari sudut dan kedekatan untuk menuliskan sastra yang pada titik tertentu kita mencapai persoalan membaca wacana dari persoalan keberagaman makna? Demikian. Selanjutnya selamat bertemu kembali di Temu Sastrawan Indonesia II di BABEL (Bangka Belitung) yang diusung Sunli Thomas Alexander, serta Temu Sastrawan Indonesia III di Palembang yang digawangi Anwar Putra Bayu. Salam.
No comments:
Post a Comment