Tuesday, 15 July 2008

Buku Putih Wartawan

Amin Setiamin : Mengamen dengan Puisi

Oleh :Ardani
Ada yang membedakan Amin Setiamin dengan penyair lainnya, jika penyair lain membaca puisi di pentas saja, pria ini membaca di depan pintu rumah tiap orang yang dikunjunginya, di bus-bus kota sembari menyorongkan pelastik tempat uang. Amin mengamen dengn puisi, dan itu bisa membuat dia bertahan hidup di Solo.
Puisi-puisi yang dibacakannya bagaikan orasi politik, dan puiainya cenderung berupa famplet yang mengedor semangat orang untuk mengkritisi situasi saat itu. Akibat puisi-puisinya itu sempat diburu aparat, tetapi nasib baik dia selamat, sedangkan rekannya bersama membaca puisi di bus-bus kota Wiji Tukul dikabarkan hilang. ”Tahun-tahun menjelang reformasi 1998 memang aku membaca puisi –puisi famplet,” katanya.
Lelaki bertubuh atletis ini lahir di Langga Tiga, Sigambal Rantau Prapat Kabupaten Labuhan Batu Propinsi Sumatera Utara. Mulai menulis puisi sejak SMP. Usai menamatkan SMA merantau ke Solo ingin hidup mandiri dan mengembangkan bakat keseniannya.
Di kota yang terkenal dengan lirik lagu Bengawan Solo karya Gesang, dia mulai membaca puisi-puisinya baik di pentas atau ngamen dengan puisi ke rumah-rumah penduduk dan bus kota.
Puas menikmati air Bengawan Solo merantau lagi ke Jakarta, di sit bergiat pada beberapa bidang kesenian di Taman Ismail Marzuki (TIM). Disinilah keseniannya berkembang lebih pesat.
Di tempat itu dia bergabung di Studio Oncor, ikut sebagai anggota Teater Kecil Arifin C Noor, Teater IAIN, Teater Untag. Beriat di teater sambil terus menulis puisi dan membacanya.
Sebagai anak panggung dia berlakon pada Balada Dangdut karya Putu Wijaya, berlakon dalam Film Televisi (FTV) dengan judul Kangen karya Arifin C Noor. Jia tak mentas pada lakon teater bekeja sebagai kru film. “Hidup sebagai perantau harus bisa makan, karenanya apapun harus dikerjakan. Tetapi untungnya saya masih bisa mencari makan dalam bidang seni,’ katanya mengenang.
Satu hal yang mencolok darinya sikap yang kritis yang sering diaggap tak kompromi. Tak mengherankan pula jika dia tampil membaca puisi Waduk Luka pada Peringatan Tragedi Mei 1999 di Tugu Proklamasi Jakarta yang dihadiri SPI, Kontras dan LBH.
Begitulah Amin, dalam berteater pun dia ikut berlakn pada lakon Marsinah dari Sidoarjo yang mengkisahkan buruh yang dibantai karena perotes masalah upah dan di pentaskan Teater Satu Merah Pangung pimpinan Ratna Sarumpaet, dan bersama kelompok ini ikut kelililng pentas te ater dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia. Dalam perjalanan seni teater, pernah pula didirikannya Joeroe Teater tahun 1998 di Jakarta. Karena lebih bergiat baca puisi kelompok teaternya bubar. Kini Amin masih terus menulis dan membaca puisi. Disetiap kegiatan kesenian yang melibatkan penyair dia selalu aktif. Bahkan Amin tercatat penyair yang menonjol dari Rantau Prapat dan juga namanya dikenal di Sumut dan nasional.
Nyair ini menikah dengan Lenny Marlina di Jakarta tahun 2005, dan dari pernikahan itu dia telah memiliki dua anak masing-masing Muhammad Karunia Andhika Prasetiawan dan Luthfan Zaldi Atalia Azis.
Setelah beberapa tahun menikah dengan istrinya kembali ke kampung halamannya di Rantau Prapat, dan di kota ini selain sebagai penyair dia berwiraswasta berjulan pulsa hand phone di gerai pulsa yang dimilikinya.
Tentang keseniannya, sebenarnya dia tidak lahir dari keluarga seniman, ayahnya Marin bukan seniman tetapi karyawan biasa. Keinginannya menjadi penyair mengalir begitu saja karena dia suka merangkai kata-kata puitis. Tetapi bakat perlawanan atau kritis telah dibawanya sejak kanak-kanak.
Setelah berumahtangga dan berwiraswasta, semanga keseniannya belum berhenti. Dari kota itu pula dibukukannya antologi puisi tunggalnya Nafas Angin yang diterbitkan Laboratorium Sastra (Labsas). Sebelumnya antologi puisi ungal yang telah dibukukan Waduk Luka, dan buku antologi puisi bersama Sajadah Kata.
Sedangkan beberapa pertemuan yang pernah diikutinya , tampil baca puisi pada Malam Puisi di Bulan Ramadhan 17Agustus 1996 atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), baca puisi pada dialog kebangsaan di Untag bersama Sri Bintang Pamungkas, baca puisi pada pertemuan di Teater Kecil Arifin C Noor, baca puisi ulang tahun ke-33 Majalah Sastra Horison, baca puisi pada Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007 di Medan, dan Temu Tokoh Budayawan, Seniman dan Sastrawan Sumtra Utara di Hotel Madani , 21 Mei 2008.



Medan, 7 Juli 2008



Ardani
Penulis



Biodata

Padang menjadi kota penting dalam awal kehidupan seni din saja yang bernama asli Fachruddin Basyar. Lelaki kelahiran Banda Aceh (31 Januari 1959), yang mencukupkan masa pendidikan di sekolah menengah ini, mengenali seni dalam tahun 1980. Selama di Padang, menurut catatannya, din saja termasuk aktif berkiprah sebagai pekerja teater. Dia membentuk Teater Moeka Padang bersama sejawatnya Rizal Tanjung.
Dengan itu dia mementaskan Oedipus Rex (Sophocles), Malin Kundang (Wisran Hadi), Isa AS (teater tanpa kata), Malam Terakhir (Yukio Mishima), Bantal (adaptasi A.Alin De), naskah-naskah perjuangan serta pementasan puisi. Dari data itu saja telah menunjukkan produktivitas diri din saja sebagai pekerja seni. Selama di Padang puisi-puisi din saja di publikasikan di koran Singgalang, Haluan, Semangan dan SKM Canang. Selama di Banda Aceh sering dipublikasikan di Serambi Indonesia.
Setelah berjalan ke Palembang, Jakarta, Bandung dan Medan, din saja kembali lagi ke Banda Aceh (1988). Di Aceh pun din saja menunjukkan vitalitasnya sebagai seniman. Tetapi din saja meyakini dirinya sebagai penyair barulah dalam tahun 1990. berarti din saja menggunakan masa tempaan yang cukup lama. Begitupun ada puisi-puisinya yang diciptakan sebelum 1990 telah diantologi-bersamakan seperti pada Sang Penyair (ed.Isbedy Stiawan ZS, 1985) dan KSA3 (TBA/KSA, 1990). Dalam 1993 ada empat antologi puisi yang memuat puisi-puisi din saja yaitu Nafas Tanah Rencong (DKA), Banda Aceh (DCP Production), Lambaian (Deptrans Aceh) dan Sosok (LSA).
Pada tahun 1995 terbit antologi pertama din saja berjudul Sirath (LSA). Setelah itu puisi-puisi din saja terdapat pada antologi Seulawah, Setengah Abad Indonesia Merdeka (TB Solo) serta beberapa antologi lainnya.
Di Banda Aceh din saja membentuk Teater Alam dan Lembaga Seni Aceh (LSA). din saja juga aktif sebagai anggota Dewan Kesenian Aceh (DKA), Lembaga Penulis Aceh (Lempa). Pada tahun 1993 din saja menemukan jodoh seorang wanita Aceh bernama Cut Sayuniar. Dari perkawinannya itu din saja memperoleh 7 orang anak, 1 orang meninggal dunia.
Selama di Banda Aceh, din saja bersama Teater Alam juga mementaskan drama dan pertunjukan puisi. (MNA)


S Ratman Suras : Sastrawan Spesialis Cerita Rakyat

Oleh : Ardani

Berkat latihan bertahun-tahun setahap demi setahap kemampuannya menulis sastra Semakin bagus. Sampai suatu hari dia dikenal satu di antra sastrawan yang ikut meramaikan jagad sastra Indonesia di Sumatera Utara.
“Pedagang. Loper koran, pedagang kaki lima, pengemis, pegawai , karyawan adalah pemandangan sehari-hari bagi saya, sehingga saya tertarik menuliskannya dalam ungkapan puitis, atau menceritakannya dalam bentuk cerpen,” kata pria ini yang dilahirkan di Cilacap , 8 Oktober 1965.
S Ratman Suras dibesarkan oleh orangtuanya di Cilacap sampai dia berusia 20 tahun. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Suras dan Tumiah merantau ke Jakarta mengadu peruntugan nasibnya di situ.
Di Jakarta di berjualan koran, berbagai koran terbitan Jakarta di tawarkannya di halte-halte, di pemberhentian kenderaan (lampu merah). Sedangkan waktu istrirahat dari berjulan dia pergunakan membaca koran itu, dan bila hari Minggu dibacanya karya sastra berupa cerpen, esai, dan puisi yang ada di koran-koran itu.
“Koran-koran Minggu tempat saya belajar sastra. lama-lama saya kirim puisi-puisi saya ke koran –koran. Satu kali puisi Tangan dengan Seribu Kepala karya saya dibaca diacara puisi malam Radio Tri Jaya. Wah senang sekali,” ujar pria ini dengan logat Jawanya yang masih kentara.
Dari situ termotivasi untuk lebih tekun di sastra, apalagi setelah membaca buku mngarang itu gampang karya Arswendo Atmowiloto, makin kuat keinginannya menulis, dan dia terus menulis puisi, cerpen dan cerita bersambung (cerbung). Untuk mengasah kemahirannya ikut menjadi anggota Himpunn Pengarang Muda Indonesia (Spasi) kelompk majalah Anita Cemerlang. Hsilnya , memang dia terpilih nominasi sepeluh besar nasional dalam lomba cipta puisi tingkat nasional yang diselenggarakan Bulas Sastra Kreatif Batu tahun 1996.
Sepuluh tahun di Jakarta dia coba kembali merantau dan tujuanya Medan dengan harapan di sini akan lebih baik kehidupannya. Di Medan dia ikut menjadi anggota kesenian Teater Generasi dari tahun 1994- 1995, anggota Forum Kreasi Sastra (FKS) dari 1995sampai sekarang ini, dan anggota Kedan Sastra Kecil (KSK) Deliserdang, pengurus Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan sampai sekarang, Komite Sastra Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) Priode 2005-2010.
Ratman memilih sastra sebagai kesenian yang digeluti, dan mungkin jiwa seni itu mengakir dari ayahnya yang begelut sebagai penata klir ketoprak. “Orangtua saya suka menembang dengan cerita-cerita Jawa, saya suka kata-kata puitis,” ujar ayah dua anak masing-masing Anisa Ratnasari dan Bung Bela Tahtara.
Sejak di Medan itu kemahirannya semakin terasah cerpen-cerpen dimuat di koran-koran Medan di antaranya Hr Portibi, Analisa, Mimbar Umum, Waspada , SKM Taruna Baru , Hr Sumatra, Hr Medan Bisnis, dan Koran Media Indonesia.
Akibat dari kegiatan menulis itu, masyarakat di tempat tinggalnya mempercayakan dirinya menjabat kepala linkungan. Jadilah Ratman sastrawan yang juga kepala linkungan di Jalan Sei Belutu Kecamatan Medan Baru Kota Medan.
Semula di Medan dia membangun ekonominya dengan menulis , namun hasilnya tidak cukup untuk baiaya kehidupan.” Untunglah ada tambahan lain jadi kepling dan jualan kedai nasi yang bisa menopang agar asap dapur tetap ngebul,” katanya.
Dia pernah juga ingin jadi jurnais dengan mengikuti kursus jurnalistik di Yayasan Wartawan Islam Ummul Quro, Gebongan Jawa Tengah. Dari kursus itu pula yang menambah pengetahuannya menulis. “Tetapi krap sekali saya gagal jadi wartawan,” kenangnya.
Beberapa prestasi yang pernah diraihnya di antaranya, tiga cerbungnya masing-masing, Kabut Perkawinan (1996-1998) dimuat di Surat Kabar Mingguan Taruna Baru, Satu Cinta Sejuta Luka, Bulan Pucat Pasi dimuat di koran yang sama secara berseri.
Juara penulisan cerita rakyat yang dilaksanakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera Utara dengan cerita rakyat Sri Putri Cermin memperoleh juara dua tahun 1998, Simbuyak –buyak cerita rakyat Dairi memperoleh juara tiga. Juara satu lomba cipta puisi Sumatera Utara yang dilaksanakan Dewan Kesenian Medan tahun 2004.
Selain itu cerpen-cerpennya dimuat di koran-koran dan telah pula dibukukan dalam antologi cerpen Perjalanan yang Belum Terungkap bersama Idris Siregar yang diterbitakan Kedai Sastra Kecil tahun 1997. Buku puisi tunggal Dalam Kecamuk Hujan diterbitkan KSK tahun 1997, kumpulan puisi bersama penyair Sumut Sri Putri Cermin, 1998, Tengok 2 Antologi Puisi diterbitkan Arisan Sastra (Arsas) Medan, 2001, Muara Tiga Kumpulan Puisi dan cerpen diterbitkan Forum Dialog Utara IX, 2001, buku antologi puisi Teluk Persalaman Indonesia-Malasyia-Brunai Darussalam diterbitkan Dialog Teluk Sampena negeri Sabah, Malasyia, 2001, kumpulan puisi Gugur Gunung diterbitkan Sanggar KSK Deliserdang, 1997, kumpulan pusi bersama diterbitkan SSI dan FKS Medan , 1996, Antologi Puisi Amuk Gelombang , 2005.





Medan, 3 Juli 2008



Ardani
Penulis


Thompson HS : Seniman Opera Batak
Oleh : Ardani

Dari begitu banyak orang Batak nama Thompson HS beberapa tahun terakhir ini terasa sangat menonjol dari yang lainnya karena pria lajang ini mengelola Opera Batak (PLOt) di Kota Pematang Siantar.
Pada awalnya dia menulis puisi, membaca puisi, lalu ke cerpen, dan saat ini penulis dan sutradara di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).
Thompson lahir dari keluarga yang bukan seniman, ayahnya A Huta Sohit pekerja dan ibunya T Br Manalu seorang Ibu rumah tangga yang bukan wanita karier. Mulai berkesenian sejak SMP Dimuai dari menulis puisi dan berkembang sampai kulliah di Fakultas Sastra jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU tahun 1987,” kata Thompson HS.
Saat menjadi mahasiswa Thomson menjadi anggota Teater Senat Mahasiswa (Teater SEMA) USU, dan setahun kemudian didirikannya Teater Ladang USU sekaligus menjadi pelatih akting di Teater O –USU.
Thompson, mahasiswa sastra yang unik, dia tak ingin berkutat di kampus saja dalam mempelajari sastra, sebelum selesai kuliah mengemabara ke Madura, dan Jawa Barat mencari dan belajar tentang teater dan sastra. Selain itu dia tetap menulis puisi dan dimuat di koran-koran terbitan Jakarta, Yogyakarta dan Medan.
Sampai akhirnya dia kembali ke Medan, dan di tahun 2000 didirikannya Padang Bulan Teater dan pernah memproduksi lakon pentas Telepati Keluarga HP dipentaskam di gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Jalan Perintis Kemerdekaan Medan dan di Padang Sumatera Barat. “Ini naskah saya, pementasan itu hanya sebagai ekprimen teater,” kata pria yang dilahirkan di Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, 40 tahun yang lalu.
Dia termasuk penulis puisi yang produktif, dalam kegiatan kesusastraan itu telah 150 buku antologi puisi karya –karya puisinya ada di situ. Selain itu karier teaternya sampai kini telah menyutradarai sebanyak 30 pertunjukan, dan 50 kali ikut terlibat dalam produksi pementasan teater.
Di tahun 2002, Thompson menambah satu lagi garapannya Opera Batak di Tarutung bekerjasama dengan Pemkab Taput untuk membangkitkan kembali Opera Batak. “Opera Batak tradisi yang kita angkatkan kembali ,” katanya.
Selain itu Opera Selindung yang dipimpinnya telah pentas keliling ke Tarutung, Sipaholon, Jakarta dan Medan sepanjang tahun 2005 lalu. Sedangkan dana Opera Batak Selindung itu diperolehnya dari kerjasama dengan Jerman dan Belanda.
Untuk hidupnya Opera Batak mastro Opera Batak Zulkaida Br Harahap dan Aliter Nainggolan yang diajukan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia telah mendapat tunjangan Rp 1,2 juta setiap bulannya.
Dalam waktu dekat ini Pusat Latihan Opera Batak akan mementaskan cerita rakyat Srikandi Boru Lopian di Belanda pada 28 Oktober 2008. Sebeumnya pada 2007 yang lalu cerita rakyat itu telah dipentaskan pada peringatan 100 tahun Sisingamangaraja.
Opera Batak sebagai seni pertunjukan tidak ada dalam catatan sejarah teater Indonesia. Ini adalah kesenian rakyat yang dikembangkan kembali dengan memasukkan cerita masa kini dan cerita-cerita rakyat lokal di tanah Batak.
Untuk itu pula agar Opera Batak ini berkembang kembali pada Pesta Danau Toba kesenian ini ditampilkan , dan rencananya Juni ini pentas di Jakarta .
Pilihan Thompson pada Opera Batak bukan tanpa sebab, sebagai orang Batak yang menyeleseaikan SD sampai SMU di Tarutung dia sangat prihatin terhadap kesenian rakyat Opera Batak. Dan dia ingin mengabdikan dirinya untuk kesenian etnis Batak yang mulai punah itu.
Akan tetapi sebenarnya, ada masa Thompson HS berketetapatan hati menekuni dan mendalami seni untuk mejadi pejangga ekonomi, saat mendapatkan pelatihan manajeman seni di Pusat Latihan Manjemen di Jakarta tahun 1999-2000.
“Dari situ aku percaya pekerjaan seni bisa menjadi tumpuan ekonomi. Hasilnya pekerjaanku adalah seniman, ya seperti profesi lain,” kata Thompsom yakin.
Beberapa pertemuan yang pernah diikutinya yaitu, Pertemuan Teater Mahasiswa di Padang tahun 1990, Pekan Seni Mahasiswa I di Solo tahun 1991, Festival Puisi Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika di Surabaya tahun 1992, Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka di Solo tahun 1995, Temu penyair se-Sumatra di Jambi tahun 1995, Temu Penyair Jawa-Bali di Lampung tahun 1996, Temu Sastrawan di Kayu tanam (Sumatra Barat) tahun 1997, Temu Penyair di Bengkalis (Riau) tahun 2004, Temu Penyair di Sumbar tahun 2006, Kongres Cerpen di Riau, Temu Sastrawan Sumatra di Batam tahun 2007.



Medan, 2 juli 2008


Ardani
---------
Penulis






Togu Sinambela : Pelukis Figuratif

Oleh : Ardani
Galeri Medan Seni Payung Teduh kini indentik dengan Togu Sinambela. Sebab di situ lelaki ini beberapa tahun ini terus berpameran di galeri itu. Setiap kali dia selesai melukis lalu hasil lukisannya dia pajangkan di tempat itu dalam satu kegiatan pameran. Terkadang dia pameran tunggal dan kadang pameran bersama.
Togu seperti kebayaan pelukis lainnya cenderung pendiam, namun jika tidak disibukkan dengan kegiatan melukis dia mau juga bersosialisasi dengan teman-teman di luar komunitas pelukis.
Togu lahir dari keluarga yang bukan seniman, bakat seninya mengalir begitu saja setamat SMA, dan dia berkeinginan ada di mana-mana. Dan terispirasi karya seni lukis yang ada di mana-mana, lalu pilihannya jatuh menjadi pelukis.
Untuk mewujudkan keinginannya itu dia melanjutkan pendidikannya di IKIP Medan Jalan Merbau pada tahun 1984. Selesai menjadi sarjana seni rupa tak berniat menjadi guru tapi ingin menjadi pelukis. Sejak menjadi mahasiswa dia sadar betul hanya ingin menjadi pelukis, karenanya dia sangat aktif bekarya lukis dan berpameran. “Untuk pertamakali berpameran ketika menjadi mahasiswa, dan itu sebuah keharusan bagi mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni jurusan senirupa,” katanya.
Sampai sekarang dia aktif terus melukis dan berpameran yang jika dihitung sudah lebih dari tiga puluh kali dia ikut berpameran baik tunggal maupun pameran bersama.
“Berpameran adalah sisi lain yang harus dikerjakan pelukis. Pameran itu ibaratnya promosi hasil-hasil produksi kita. Dan dari pameran itu saat atau sesudah pameran ada yang membeli lukisan itu ,”kata Togu Sinambela.
Selama menjadi pelukis dia cenderung pada aliran figuratif atau lukisan yang masih berbentuk(misalnya lukisan objek orang) dan benda-benda lainnya. Di Galeri Medan Seni Payung Teduh dipajangnya karyanya di antaranya lukisan Alfa Edison dengan temuannya listrik, dan lainnya.
Galeri Medan Seni Payung Teduh yang didirikannya pada 2003 lalu digagas oleh beberapa pelukis dan seorang teaterawan yakni Togu Sinambela, Jonson, Arifin dan Yondik Tanto (teaterawan). Galeri itu berlokasi di Jalan Belat No 101 Medan dekat dengan kantor Gubernur Sumut yang baru. Galeri itu tidak hanya menampung lukisan para pendirinya , tetapi juga kadang dipergunakan pelukis lain yang mau berpameran di situ.
Di galeri itu setiap empat bulan sekali dilakukan pameran baik pameran tunggal dan pameran bersama. Dan jika tidak terlaksana pameran dilakukan pergantian lukisan setiap dua bulan sekali. “Ini memotivasi kita agar tetap produktif bekarya, kalau tidak diprogramkan bisa tak produktif,” ungkapnya.
Sebagai seniman jadwal melukisnya tetap teratur, setiap hari dia selalu melakukan aktifitasnya itu, tak ada istilah menunggu mood. Produktifitas harus dibangun agar lukisan-lukisan itu bernilai ekonomi, sebab bagi Togu dari melukis itulah sumber penghasilannya.
Di dalam melukis suami dari Lince ini lebih sering melukis dengan cat minyak, kadang dia melukis dalam kanvas yang berukuran besar, dan terkadang yang ukuran kecil. Dalam kegiatannya itu sudah berkali-kali lukisannya diikutkan dalam pameran bersama di Jakarta dan Australia.
Tak terasa sudah dua puluh empat tahun lamanya dia melukis, hasilnya dari waktu kewaktu lukisannya semakain bermutu tulis beberapa kritikus senirupa. Sedangkan perkembangan senirupa sekarang ini menurutnya mengalami perkembangan yang cukup maju di Sumut (Medan). Perkembangan senilukis di Medan ditandai dengan bertambahnya seniman lukis dan bertambahnya jumlah galeri.” Dua puluh tahun yang lalu sedikit sekali jumlah galeri di Medan. Tetapi sekarang jumlah galeri bertambah banyak . Kondisi ini sangat positif agar tercipta pertemuan antara pelukis, pnikmat lukisan, dan pembeli. Pada akhirnya ada yang membeli lukisan,” kata Togu Sinambela yang dilahirkan di Medan pada 7 Januari 1965.
Perupa ini mengaku , semula mendirikan Galeri Medan Sini Payung Teduh disebabkan dalam berpameran akan lebih praktis dibandingkan dengan jika harus berpameran di Galeri Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Di situ harus ada izin dan birokrasi yang agak rumit, sedangkan di galeri sendiri praktis. “Tetapi biaya bangunan, listrik, air untuk sebuah galeri memang terbilang lumayan besar, dan itu pilihannya,” kata ayah dari seorang anak Amirt Sinambela.
Togu, tiap kali membuka pameran seni lukis , selalu ada penampilan reprotoar dari dlick Teater Team, sedangkan pementasan itu temanya yang berkaitan dengan senilukis. Beberapa pameran senilukis yang dibuka dengan reprotoar di ataranya Pameran Posisi yang Tepat Jonson Pasaribu pada 3 –16 Juni 2007, Pameran Harkat Tubuh Arifin 18 sampai dengan 31 Maret 2007.
Dari hasil ketekunannya itu kini Togu Sinambela dikenal sebagai perupa sekaligus pematung. Lewat Medan Seni Payung Teduh namanya mulai dikenal dikalangan kolektor senirupa Sumut-Indonesia.
Sedangkan sebagai pematung belum lama ini dia baru saja menyelesaikan Tugu Hari Kesetiakawanan Nasional yang berada dipersimpangan Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Durian Medan.
Tentang kemahirannya mematung diperolehnya dari belajar dengan I Made Patra seorang pematung dari Bali yang menetap di Medan.” Tetapi sebenarnya saya perupa yang pematung,” ungkapnya mengenang.
Di bidang seni yang digelutinya itu saling mendukung karier keseniannya, dan untuk patung karena tidak dipelajarinya dengan formal dia menambah pengetahuannya itu dengan mebaca buku-buku yang berkaitan dengan seni patung.
Dalam usianya kini, Togu telah mengukir buah dari cita-citanya itu menjadi pelukis yang akademis.



Medan, 1 Juli 2008


Ardani
Penulis


Dodi Penyanyi Cilik

Oleh : Ida Lupina

Si Dodi murid kelas dua SD itu tidaklah termasuk golongan murid yang pintar di sekolahnya. Tetapi dia disayang gurunya, karena ia rajin sekolah dan tertib. Dalam setahun tak pernah absen. Kerajinan membuat guru-guru sayang padanya. Di samping itu ia juga mempunyai kemampuan dalam menyanyi.
Kata ayah Dodi, ia memang berharap anaknya kelak menjadi penyanyi. Waktu istrinya mengandung , ia selalu menyanyikan calon bayi itu. Dan ketika anak itu lahir diberina nama Dodi. Dodi tumbuh sehat dan ketika SD ia mulai menunjukkan bakatnya menyanyi.
Kini Dodi telah duduk di kelas dua SD, dan tiap kali ada temannya berulang tahun, dia diminta untuk menyanyi dan teman-temannya merasa riang kalau ia menyanyi karena suaranya merdu dan pas betul membawakan lagu anak-anak.
Di sekolahnya jika hari Senin pagi, ia menjadi konduktor untuk memimpin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Diberi kesempatan untuk menjadi konduktor lagu wajib dijalaninya dengan baik.
Untuk kepercayaan yang diberikan itu ia berlatih membaca not lagu itu, dan berlatih di rumah. Dalam berlatih Papa dan Mamanya kadang memberikan saran-saran tentang sikap tubuhnya kalau menyanyi lagu kebangsaan. Hasilnya Senin pagi terasa sangat berarti karena ia memimpin sebagai dirijen lebih baik lagi dari sebelumnya.
Karena keberanian dan kemampunanya menyanyi serta terampil membawakan lagu Indonesia Raya, Kepala sekolah juga merasa sayang kepadanya. Tidak itu saja pada Agustusan pun ia diminta untuk membaca Teks Proklamasi pada upacara HUT Kemerdekaan RI sekolah itu.
Dodi semakin populer di sekolahnya, dan ketika ia memenangkan lomba lagu untuk anak-anak , dia menjadi contoh anak yang berprestasi di bidang seni. “Dodi, Mama ingin sekali kamu menjadi penyanyi cilik dan mempunyai album lagu untuk anak-anak. Papa telah mempersiapkan beberapa lagu untukmu. Dan juga telah menghubungi perusahaan rekaman di Jakarta. Katanya CD contoh lagu-lagumu yang direkam ayah sedang dipelajari mereka. Jika mereka setuju kamu maukan ke Jakarta,” kata Mama Dodi.
“ Iya, Ma. Aku mau. Asal singgah lihat Tugu Monas.” ungkap Dodi.
“Tentu. Nah, untuk itu kamu harus lebih giat lagi latihan,” pinta Mamanya.
Sebenarnya sudah bertahun-tahun keinginan Mama dan Papa Dodi agar anaknya masuk dapur rekaman terwujud. Andai saja Dodi telah berumur 14 tahun tentu Mamanya akan ikutkan anaknya pada lomba nyanyi di Mama Mia di Indosiar. Tetapi usia Dodi belum cukup untuk memenuhi persyaratan lomba tersebut.
Tanpa setahu Dodi, mamanya telah beberapa kali menerima penolakan dari studio rekaman musik di Jakarta. Alasannya perusahaan rekaman itu tidak berani berspekulasi. Sebab nama penyanyi cilik asal Medan belum populer. Alsan lain saat ini perusahaan lebih mengutamakan lagu-lagu populer untuk orang desawa.
Tiap kali menerima penolakan itu, Mama Dodi berusaha terus memotivasi anaknya agar giat berlatih bernyanyi. Dia ingin bakat anaknya itu terus tumbuh dan berhasil dalam bidang menyanyi itu.
Mama Dodi tidak patah arang, suatu kali ada produser studio musi yang mau merekam suara Dodi dan dengan persyaratan kaset atau CD itu biaya produksinya di tanggung Mama Dodi dengan jumlah keping CD yang terbatas, dan mereka tidak ikut memasarkannya.
Produser studio musik itu mau melakukan karena bersimpati melihat kegigihan anak dan mama ini, selain itu produser itu juga asal kota ini yang kini sukses di Jakarta.
Halimah Mama Dodi, tak ingin bakat anaknya tak tersalurkan secara maksimal, dengan menjual segala hiasan (emas, berlian) dan menguras tabungannya ia bersedia menaggung biaya produksi itu.
Dodi, mama dan papanya berangkat ke Jakarta untuk rekaman di studio musik. Ia telah masuk ke dapur rekaman. Selesai merampungkan album perdananya, sekeluarga mereka berangkat ke Tugu Monas, Taman Mini Indonesia Indah. Ke Ancol dan Dunia Fantasi.
Usai rekaman dan jalan-jalan di Jakarta, hasil rekaman album perdana itu pun selesai. Album dengan lagu pavorit Sayang Mama Papa dan beberapa lagu lainnya.
Album perdana lagu pop anak Sayang Mama Papa hanya diproduksi 10.000 keping CD dan kaset. Hal ini dimaksudkan hanya untuk di pasarkan di Medan Sumatera Utara.
Pulang rekaman di Jakarta, kini tugas Mama Dodi untuk memasarkan sendiri CD dan kaset itu. Bagi Mama Dodi ini tantangan dia telah menghabiskan begitu banyak uang agar anaknya bisa rekaman lagu. Berbekal pergaulannya dan juga karena dia juga seorang guru di TK. Mama Dodi mulai membuat gagasan-gagasan cara memasarkan CD dan kaset itu.
Dan kini selain memasarkan CD dan kaset itu Mama Dodi menjadi manajer bagi anaknya, berbagai show penyanyi cilik ia gelar di Mall atau Plaza yang diseponsori berbagai usaha. Hasilnya nama Dodi semakain berkibar di kota itu, kaset dan CD terjual.
Tidak cuma itu cara Mama Dodi menjual album lagu anak itu, tetapi juga dengan cara bergaul, teman wirid, atau tean sesama guru TK, orangtua murid menjadi pasar bagi Mama Dodi. Akibatnya 10.000 keping CD dan kaset itu laku terjual habis
Dari penjulan kaset dan CD itu Mama Dodi memperoleh untung yang lumayan besar, dari hasil penjulan itu Mama Dodi mengambil kembali modalnya , sedangkan keuntungannya ia tabungkan di tabungan Dodi untuk biaya pendidikan anak semata wayangnya itu.
Melihat tabungannya jumlahnya cukup banyak, Dodi semakin giat latihan nyanyi dan memperbaiki kemampuanya menguasai panggung. Cita-citanya untuk menjadi penyanyi cilik terkenal sebentar lagi akan terwujud. Namun, mamanya selalu mengingatkannya agar Dodi tetap mengutamakan sekolahnya.



Resensi buku :


Judul buku : Humor & Anekdot Anti Korupsi 2007
Penulis : Kumpulan Homor & Anekdot Anti Korupsi
Penerbit : Transparancy International Indonesia Kantor Daerah
Sumatera Utara dan KIPPAS
Cetakan : Pertama, Oktober 2007
Tebal : XIV+62 halaman.

Oleh : Ardani
Kegelisahan anak-anak bangsa khususnya masyarakat Sumatera Utara terhadap korupsi sudah sampai tahap akut. Sangking tak tahu harus bilang apa lagi terhadap korupsi itu, mereka terpaksa menyampaikan kritik terhadap korupsi itu dengan humor dan anekdot.
Tulisan humor dan anekdot Anti Korupsi itu dibukukan oleh Tranparancy Intrnational Indonesia Kantor Daerah Sumut dan KIPPAS, dan berisikan humor dan anekdot dari 19 penulis dan berisikan 38 cerita humor dan anekdot.
Ironis memang prilaku tercela itu telah berjemaah di negeri ini, berbagai upaya untuk memberantas korupsi telah dan sedang dilakukan dengan berdirinya berbagai lembaga Tpikor, KPK, tetapi korupsi masih jalan terus.
Tak hanya di Indonesia , rakyat terpaksa menerima suasana yang tak nyaman itu dengan humor dan anekdot. Tetapi jauh sebelumnya buku Mati Ketawa ala Rusia mengingatkan kita bahwa rakyat di sana juga menyampaikan kritiknya dengan humor. Humor ala Rusia cara rakyat menerima kenyataan dengan kritik menertawakan keadaan agar tak stress.
Humor sosial politik menurut sastrawan Danarto, disebabkan jika kehidupan sosial, ekonomi, politik mentok dan buntu, maka masyarakat akan menyikapinya dengan tiga hal. Pertama tumbuh humor sosial politik dalam masyarakat yang sengaja dilontarkan secara spontan dari alam bawah sadar. Kedua tumbuh ramalan sosial politik dalam masyarakat yang bersifat untung-untungan , dan kiga tumbuh daya kritis dalam masyarakat yang serius dalam menganalisa gejala sosial politik sampai sedetail-detailnya.
Buku Humor dan Anekdot Anti Korupsi 2007, adalah buku yang menghimpun tulisan humor dari hasil seleksi dari Lomba Humor dan Anekdot Anti Korupsi 2007 yang diselenggarakan Transparancy International Indonesia Kantor Daerah Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Lomba dimaksudkan untuk mempermalukan pelaku korupsi. Sedangkan buku humor itu sebagai sosialisasi anti korupsi.
Kritik dengan humor dan enekdot yang ada dalam buku ini ditulis oleh 19 penulis di Sumut di antaranya Herry Suranta Surbakti, Adha Patra Setiawan, Tok Ai (Dari Uhum) Raudah Jambak SPd, Coking Susilo Sakeh, Zulius Amri Edison, dan lainnya.
Simak humor dengan judul Kembang Kempis karya Adha Patra Setiawan, dia bercerita Si Dongok dengan beberapa investor asing saat meninjau Gunung Lauser dari udara.
“Wah Indah sekali, bagus untuk bisnis wisata,” ujar investor serius.
“Ya begitulah Indonesia,” jawab Dongok sombong.
“Tapi, sungai itu masih tertutup, sulit menuju ke sana.”
“Wah, gampang itu, Sir, nanti kita atur bikin jalannya ke sana!”
“Wah, hebat! Kalau air terjun bisa diatur juga?” tanya investor sambil menunjuk air terjun yang jauh dari sungai.
“Wah, gampang juga! Kalau mau, kita bahkan bisa memindahkan air terjun ke Medan!”
Ketiga investor itu menatap kagum ke arah Dongok. Dongok bangga hidungnya kembang kempis.
“Hey! Hidungmu bisa begitu ya?” jerit si Swiss.
“Ini cuma hidung, Sir, kalau ada uang komisinya , jangankan hidung saya, negara saya pun siap saya kembang kempiskan!”
Penulis humor lainnya Herry Suranta Surbakti menulis dengan judul Jubah begini humornya.
“Apa yang mebuatmu takut pada jaksa itu? Taya seorang pejabat yang terlibat kasus korupsi kepada temannya sesama terdakwa.
“Jubahnya.”
“Jubahnya?”
“Ya, soalnya kalau tidak lagi pakai jubah, Jaksa selalu sopan dan memanggil saya “Pak, Pak,” tapi kalau sudah pakai jubah selalu memanggil saya “Saudara terdakwa” sambil pakai wajah tak bersahabat.
Sedangkan Dari Uhum atau Tok Ai, pelawak kondang Medan dengan humor berjudul Tunggu Hasil. Ceritanya seorang koruptor dirawat di rumah sakit. Ibunya menjenguk dan bertanya kepada salah seorang kepercayaan yang mendampingi anaknya.
“Kelihatannya anakku sehat, kenapa tidak istirahat di rumah saja,” kata ibu koruptor.
“Masih tunggu hasil pemeriksaan ,Bu?” kata sang kepercayaan pejabat itu.
“Tunggu pemerikan apa? Laboratorium, dokter atau perawat?” tanya ibu koruptor.
“Bukan, Bu! Hasil pemeriksaan kejaksaan,” kata sang kepercayaan pejabat.

Dalam buku ini ada beberapa humor yang cukup pendek bagaikan pantun empat bait di antaranya dengan judul KPK ,karya Julius Amri Edison, Mark Up Gempa oleh Ir Jaya Arjuna.
Buku ini diberi pengatar oleh Ir Jaya Arjuna, Koordiator Daerah Sumut Transparancy International Indonesia dan di editor oleh J Anto Direktur Eksekutif KIPPAS.
Dilihat dari desain sampul dan jenis kertas cukup baik berupa kertas HVS. Di buku ini selain humor ada juga dua kartun korupsi masing-masing berjudul Korupsi Tiada Maaf Bagimu dan Korupsi Sikat Habis.
Membaca buku ini , pembaca akan tertawa bahkan akan tertawa kecut betapa korupsi telah masuk dalam segala sendi kehidupan. Koran-koran pagi setiap hari memberitakan pelaku korupsi, tetapi tak ada yang malu akan korupsi itu.
Para pelakunya pejabat (birokrat) anggota parlemen, bahkan pengusaha hitam yang disebut juga kejahatan berkerah putih. Mereka bisa menilap uang negara sampai negeri ini bisa bangkrut.
Sadar akan bahaya korupsi Pemerintah Indonesia memerangi korupsi dengan mendirikan lembaga-lembaga negara yaitu Tpikor, KPK dan partisipasi masyarakat terhadap perang terhadap korupsi melalui ICW dan LSM-LSM lainnya yang consern terhadap anti korupsi.
Bisakah korupsi akan hilang di negeri ini , dengan adanya lembaga-lembaga negara itu dan partisipasi masyarakat kita yakin korupsi dapat dibumi hanguskan, dan itu harapan semua rakyat negeri ini.
Peduli terhadap korupsi, satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Jakarta memberikan mata pelajaran Anti Korupsi pada mahasiswa semester tiga, dengan harapan calon pemimpin bangsa itu tidak akan melakukan korupsi nantinya.
Buku ini diharapkan sebagai kritik yang dapat menyentuh nurani pelaku korupsi. Barangkali dalam upaya memerangi korupsi kita perlu melakukan kritik dengan cara humor.
Sejarah mengkritik lewat humor telah dilakukan Nasruddin Hoja dari Timur Tengah. Dia tidak secara langsung mengkritik, tetapi dengan cara jenaka dengan harapan pada satu saat orang yang tertawa itu sadar sesungguhnya tertawanya sedang menertawakan diri sendiri.
Membaca buku Homor dan Anekdot Anti Korupsi memang mengundang tawa dalam kritik. Tepi bila buku ini tidak tersebar sampai ke tangan pejabat, politisi, jaksa dan pengusaha hitam rasanya kurang efektip.
Apalagi buku ini dimaksudkan untuk berpatisipasi memberantas korupsi, yang berarti sangat mendukung Inppres No 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberatasan korupsi, yang diperkuat dengan Keppres No 11/2005 tentang Tim Kordinasi Pebertasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Testipikor).



Medan, 7 Juli 2008


Ardani
Penulis


Saritem Mau Mudik

Oleh : Ardani

Jamu…..Jamu….Jamu
Suara itu sudah terbiasa terdengar di pagi hari di gang kami. Pemilik suara itu Saritem mbak jamu gendong yang menjajakan jamu racikannya sendiri. Suara si mbak sampai ketelingaku dan membangunkanku dari tidur. Saritem si mbak penjual jamu telah memulai hidupnya pagi ini.
Sejak si mbak sipenjual jamu menjajakan jamunya digangku, aku tak perlu lagi meyetel jam bekerku untuk berdering membangunkanku. Bahkan kukuk ayam berkisar milik ayah kalah merdunya dari jeritan si mbak jamu.
Suara itu makin dekat, aku bergegas bangun dari tidurku untuk menyonsong si mbak yang ada di depan rumahku. Sudah sebulan ini aku menjadi langganan tetap si mbak penjual jamu. Ada dua alasan kenapa aku menjadi langganannya. Pertama jamunya jamu tradisional yang diracik sendiri
Sejak pemberitaan di televisi nasional, saat ini jamu bungkus banyak dipalsukan. Bahannya berupa obat-obatan yang diproduksi farmasi dihaluskan lalu dibungkus dalam kemasan yang serupa. Aku dan mungkin pemirsa lainnya sama melihat tontonan berita itu. Karenannya aku memutuskan langganan jamu gendong.
Alasan kedua, sebenarnya aku malu menceritakannya. Tapi, sungguh sejak aku tahu si mbak penjual jamu masih gadis ting-ting, aku beketetapan hati mencintainya.
“Jumlah botolnya genap,” kataku setelah menghitung-hitung jumlah botol yang ada di bakulnya.
“Lho, ingin menduga-duga, ya,” sahutnya.
“Ia toh. Saya masih gadis kenapa? “ sambungnya
“Kok kamu dipanggil Saritem?” tanyaku setelah menerima segelas jamu campur telor itu.
Ia hanya memandang sekilas, lalu ia menuangkan pemanis di gelas yang ada di tanganku. Usai menerima bayaran jamu itu, ia pun berjalan kembali mengendong botol jamu itu. Di depan rumah tetangga ia berhenti untuk meladeni pelanggannya. Dari beberapa ratus meter aku masih menatapnya, dan etah apa kami beradu pandang.
Sebagai lelaki dewasa, aku rasakan makna tatapan itu. Esok, lusa dan hari-hari seterusnya aku menebar pesona, agar ia terperangkap dengan cintaku. Tebar pesona seperti politisi yang presiden itu ternyata ampuh juga kuperaktekkan kepada Saritem. Kini Saritem semakin dekat dan pendar-pendar cinta mulai tumbuh.

***
Jamu….jamu…. tet….tet…
Jamu…..jamu… tet….tet

Saritem sudah berubah, kini jamunya tidak lagi digendong. Kini ia menjajakan jamunya dengan sepeda motor. Sepeda motor saat ini tidaklah barang mewah. Sebab begitu banyak pilihan, mau kontan atau kredit, kereta China atau Jepang.
Kendati Saritem tidak lagi penjual jamu gendong, tetapi tetap saja Caping tetap dipakainya untuk menutup kepalanya. Dan karena pesonanya dengan topi itu aku mengabadikannya dengan kameraku. Hasilnya ia seperti gadis pemetik teh.
Seperti kemarin sebelum berangkat kerja , aku menemui Saritem untuk meminum jamunya. Namun, mendidih darahku di pagi itu saat kulihat Saritem dicolek-colek oleh pemuda di kampungku. Segerombolan pemuda dengan mata yang masih merah mungkin masih teler dan begadang semalaman mengganggu Saritem saat mereka membeli jamu.
Saritem di dekap, ia dibopong ke rumah kosong. Aku terperanjat dan memburu pemuda-pemuda itu. Kuterjang pintu rumah kosong yang tertutup itu, lalu kayu yang berada ditanganku kupukulkan kepada pemuda-pemuda itu. Lelaki itu terbuntang, darah bercucuran dari kepalanya, dan yang lain kutinju dengan sekuatnya, dan preman-preman kampung itu berlarian, berhamburan.
Beberapa polisi menangkapku, aku disekap di sel penjara polisi sektor. Berhari-hari aku berada di situ. Sel yang pengab di dalamnya dihuni para bromocorah, penjambret, perampok, pembunuh. Malam di sel yang pengab ada hukum rimba di sana, yang kuat jadi kepala kamar, dan yang lemah jadi tukang pijat. Untuk menyalurkan sahwat ada yang disodomi.
Saritem si mbak penjual jamu, dilahirkan 23 tahun yang lalu di Pulau Jawa, pulau yang tepadat manusianya. Pahit sungguh hidup Saritem, di Pulau Jawa hidup sulit, jumlah mbak jamu begitu banyak. Untuk mendapatkan pelangan kadang-kadang harus bergenit sedikit. Sebagai penjual jamu untuk kesehatan dan kemontokan kaum hawa tentu saja mereka prototipe perempuan-perempuan yang sehat dan montok yang membuat lelaki kelimpungan menahan hasrat.
Saritem namanya di KTP, anak buruh perekebunan di Cerebon Jawa Barat. Sebelum ke Medan sempat bertarung hidup di Jakarta. Saritem cantik dan ayu, entah apa ayahnya memberi nama itu. Padahal nama itu di Bandung tempat lokalisasi pelacuran.
Saritem wanita cantik berkulit kuning langsat, tak pantas dipanggil Saritem, dan sungguh tak pantas. Protes atas nama yang tidak cocok itu aku memanggilnya Sari. Ya hanya Sari tak ada itemnya.
Saritem bercerita kepadaku, ia bersama beberapa teman wanita yang juga penjual jamu hijrah dari Jakarta ke Medan mencari kehidupan baru berburu rezeki. Mulanya berjualan jamu gendong menyusuri satasiun bus, pajak-pajak tradisional. Menabung sedikit demi sedikit. Sari beserta temannya statusnya naik sedikit dari jamu gendong ke jamu bersepeda sampai jamu dengan kereta, dan pasarnya pun tidak lagi terminal bus, atau pajak pagi, tetapi komplek perumahan, ke gang-gang sempit perkotaan. Namun begitulah selalu ada celah pelecehan seksual.

***
Saritem mau pulang kampung , rindu ayah, ibu dan adik-adik. Namun akau mencegahnya. Ia bersikeras mudik. Mudik punya gairah tersendiri bagi perantau. Mudik , pulang kampung adalah spirit orang-orang rantau. Setelah setahun berburu rezeki di ranah orang, pulang kampung adalah kerinduan yang harus diwujudkan.
Atas spirit mudik itu Saritem bersemangat bekerja. Uangnya telah lebih dari cukup untuk pulang kampung.
“Sari, untuk tahun ini sebaiknya kamu tidak mudik saja,” pintaku.
“Bagaimana abang ini. Aku kan sudah kangen dengan ibu, ayah dan adik-adikku. Lagi pula uang yang kusimpan itu cukup untuk mudik,” kata Sari.
“Sari… Sebaiknya tidak setiap lebaran kamu mudik. Kan bisa diselang-selingi. Uang yang akan kau bawa mudik itu sebagian bisa kamu kirimkan lewat wesel atau rekening bank. Sedangkan sisanya bisa kamu pergunakan untuk keperluanmu termasuk mengembangkan usaha,” bujukku.
“Tapi. Aku rindu keluargaku.”
“Ya… kamu bisa berkirim surat, untuk tanya-tanya keadaan keluargamu.”
Sari diam menimbang-nimbang.
“Kan, kamu yang bilang tiap usai lebaran kamu tidak punya lagi sedikit uang. Karena tabungan dikuras habis,” kataku.
“Lalu lebaran ini aku kemana…” tanya Sari setelah terdiam beberapa saat lamanya.
“Ya. Sudah lebaran di Medan saja. Di rumah kami,” kataku seraya memintanya.
Di pagi kemenangan ini, aku dan Saritem dengan pakaian indah kami menuju tanah lapang dekat dengan rumahku untuh Sholat Idul Fitri. Takbir terus berkumandang , beberapa perantau merayakan hari kemenangan ini di tanah rantaunya. Kami pulang dari Sholat ID, dan tiba-tiba saja kudapti Medan sepi. Sebahagian penduduknya mudik.
“Medan sunyi sekali. Orang pada Mudik lho, Bang!” kata Saritem dengan medoknya.***


Medan, 9 Juni 2008



Ardani
Penulis













Bocah Pinggiran

Oleh : Ardani

Bocah bocah sekecil ini membantu ibu
Umur mereka baru mencapai sepuluh
Ada yang mengkais di tong sampah
Ada yang bernyanyi di angkot

Sepetang ini
Medan yang panas
Bocah lain menyemir sepatu
Mendapat upah seribu rupiah saja

Sore hujan di hari itu
Bocah bocah berlari sewakan payung
Rupiah yang payah didapat
Hati yang pasrah



Cinta

Oleh : Ardani

Sepi hari hariku
Tanpamu disisiku
Kuyakin disatu hari kitakan menyatu

Aku cinta kamu
Seperti aku mencintai diriku
Karena kau bidadariku
Biar kutunggu kau datang


Istri

Oleh : Ardani







Seperti matahari mengungkap siang
Begitulah kau hadir
Kadang panas, dingin, sejuk, lembut
Dan kadang penuh birahi

Seperti bulan pucat pasi
Kulalui malam bersamamu
Menindih dalam desah
Dan kitapun keramas

Dipuncak Sibayak

Oleh : Ardani

Keheningan di puncak Sibayak
Hanya ada deru kawah
Kau labuh lelah
Bersama sisa malam

Ketika pagi diujung salam
Para pencari belerang
Menapak jalan setapak
Memundak belerang
Sekerat demi sekerat

Dipuncak Sibayak
Jauh dari bising kota
Tempatku bersahabat dengan alam

Buku Putih Wartawan

Oleh : Ardani

Seorang wartawan diperusahaan surat kabar harian menyampaikan berita dalam bentuk tulisan. Tetapi sering juga terjadi kesalahan dalam mempergunakan bahasa tulis itu. Kesalahan semestinya tidak terjadi pada surat kabar karena tugas pers sebagai media informasi dan komunikasi massa.
Di era globalissi ini peran pers semakin luas dengan tumbuh dan beragamnya bidang informasi dari bidang ekonomi, perdagangan, keuangan (moneter), politik, hukum, kriminal, kesehatan, olahraga, pendidikan, budaya, hiburan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Untuk itulah dibeberapa surat kabat terkemuka di Jakarta dan di Medan ada panduan berupa buku putih (buku pedoman) bahasa Indonesia dan bahasa asing yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia sebagai panduan dalam menulis berita.
Buku putih di surat-surat kabar yang sangat menjaga bahasa Indonesia itu sebagai upaya keseragaman dalam menulis berita dengan maksud agar bahasa tulis yang disampaikan itu sempurna.
Masalahnya mengapa setiap perusahaan surat kabar terkemuka itu mengeluarkan buku putih, dan mengapa tidak berpegang pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau buku-buku bahasa Indonesia yang dikeluarkan Pusat Bahasa/Balai Bahasa.
Akan sangat repot bagi wartawan jika dalam menulis berita dia harus berpegang pada lima buku di antaranya buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum Pembentukan Istilah , buku Praktis Bahasa Indonesia, Pengindonesian Kata dan Ungkapan Asing.
Agar tidak repot, beberapa di antara perusahaan surat kabar itu telah menerbitkan buku putih bahasa Indonesia dan bahasa asing yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Tentu saja buku itu berisikan kosakata bahasa Indonesia dan ungkapan asing, istilah-istilah, singkatan-singkatan, menulis gelar akademis, menulis alamat, satuan-satuan yang biasa dipergunakan, ejaan yang disempurnakan sesuai dengan seri-seri buku yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa atau Balai Bahasa. Tentu saja bentuk dan kemasan buku putih bagi wartawan itu lebih praktis.
Bahasa Indonesia yang baik dan benar sangat penting bagi wartawan, wartawan yang tak beres menggunakan bahasa Indonesia dalam bentuk tulisan sangat merepotkan redaktur bahasa. Kesalahan dalam mengunakan bahasa di surat kabar itu berdampak terhadap kualitas koran. Oplah koran bisa sedikit karena tingkat kepercayaan pembaca diukur juga dari kesempurnaan media itu dalam berbahasa.
Bisnis koran adalah bisnis informasi dan komunikasi dalam kata-kata, kesalahan pemberitaan juga diralat dengan kata-kata. Selain itu hak jawab menurut UU Pers No 40 Tahun 1999 , bagi masyarakat dijawab dengan kata-kata.
Bahasa Indonesia kaya akan kosakata, tetapai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia diperlukan padanan pengindonesian dan ungkapan asing itu ke dalam bahasa Indonesia.
Seorang wartawan yang tidak mengikuti perkembangan bahasa Indonesia suatu kali terkecoh dengan issu lingkungan tentang pemanasan global disebabkan efek rumah kaca. Beberapa wartawan mengira efek rumah kaca memang sesungguhnya disebabkan rumah-rumah ruko yang berjendela kaca cermin yang ada di kota-kota Indonesia.
Begitulah jika bahasa istilah ilmu pengetahuan itu jika tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Wartawannya bingung apalagi pembacanya. Menyadari berbagai hal itu pers di luar negeri dan di Jakarta dan koran-koran berkualitas terbitan di Medan telah mendidik wartawannya tentang penulisan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Wartawan dan penulisan sains lebih banyak berhadapan dengan bahasa dan istilah ilmu pengetahuan yang kadang kala belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Begitu juga dalam bidang-bidang lain seperti keuangan (Moneter), Ekonomi, Politik, Kesehatan tetapi untunglah Pusat Bahasa dulunya sering bekerjasama dengan pemerintah dan organisasi wartawan dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Bahasa Indonesia untuk Jurnalis.
Pusat Bahasa, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, PWI di Sumatera Utara pernah melakukan kerjasama Pembinaan Bahasa Indonesia bagi Jurnalis yang berlangsung di Auditorium Pariwisata USU pada masa Gubernur Sumatera Utara dijabat Raja Inal Siregar.
Begitu pentingnya bahasa Indonesia membuat beberapa surat kabar terbitan di Medan mengunakan korektor bahasa dan penterjemah. Ini tentu saja dimaksudkan agar korannya benar-benar sempurna dalam bahasa tulis.
Sampai saat ini beberapa koran terbitan di Medan telah banyak yang mendekati sempurna dalam menggunakan bahasa Indonesia tulis itu sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mengunakan EYD.
Tetapi sangat disayangkan beberapa koran harian terbitan di Medan ada yang tidak mengikuti kaidah EYD. Ada koran harian dalam menulis judul-judul berita membuat EYD yang salah. Misalnya, dalam menggunakan kata di yang dipisah dan di yang disambung.
Menulis bahasa lisan dalam bahasa tulis akan berbeda, kata yang diucapkan Sate Padang ditulis Sate Padang seharusnya Satai Padang. Selain itu juga kesalahan dalam pembentukan kata. Perajin ditulis pengrajin yang benar perajin. Hal-hal yang kelihatannya sederhana tetapi terjadi kesalahan dalam menuliskan kata.
Terlebih lagi kesalahan dalam mengunakan bahasa tulis sangat banyak dilakukan surat kabar mingguan. Ini disebabkan rendahnya mutu pendidikan wartawannya dan tidak memperkerjakan korektor bahasa atau penyelaras bahasa.
Di tengah perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis ini Balai Bahasa Medan melalui pegawainya telah berperan aktif untuk mengisi kolom-kolom atau artikel di surat kabar tentang perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini tentunya sangat berguna bagi wartawan dan pers.
Sangat unik, koran-koran terbitan di Kota Medan untuk menuliskan nama kota dan kabupaten yang ada di Propinsi Sumatera Utara berbeda-beda. Kabupaten Deliserdang ada yang menulis Deli Serdang dan Deliserdang yang benar Deliserdang, Tebingtinggi ada yang menulis Tebing Tinggi dan ada Tebing Tinggi yang benar Tebingtinggi.
Selain itu Balai Bahasa Medan telah pula membagi-bagikan buku Pengindonesian Kata dan Ungkapan Asing yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional pada acara Temu Tokoh Budayawan, Seniman, Sastrawan Sumatera Utara di Hotel Madani, 21 Mei 2008. Buku itu telah diterima redaktur budaya atau wartawan seni dan budaya yang juga budayawan atau juga wartawan yang sastrawan untuk menambah rujukannya dalam berbahasa tulis.
Ke depan ini setelah UU Bahasa Indonesia diundangkan, kita semua berharap Balai Bahasa Medan semakin giat dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.***

Keterangan : Tulisan ini dilombakan dalam Sayembara Esai Balai Bahasa Medan

No comments: