Restoe Prawironegoro Ibrahim
Apabila kita membaca kumpulan puisi, terkadang kita terkejut, oleh karena dalam satu kumpulan puisi itu, kita rasakan suara hati yang penuh penyerahan kepada Tuhan, tetapi tiba-tiba kita rasakan pula suatu puisi (sajak) yang berisikan pengingkaran. Kita rasakan cemooh yang tajam terhadap Tuhan. Kenapa bisa demikian?
Jawabnya, karena puisi (sajak) lahir dari setiap manusia. Puisi lahir dari kehidupan. Manusia mengeruk bahan kepenyairannya dari hidup ini. Dari jalan kehidupannya berbagai ragam, maka kita rasakan dalam satu kumpulan puisi berbagai ragam pernyataan hati. Bukankah dalam menempuh hidup itu seseorang bisa dan pernah merasakan kekecewaan, dan harapan.
Dari kehancuran hati seseorang mungkin bisa ditemuinya jalan penyelesaian dengan mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Hal itu diperolehnya dengan berbagai cara. Bisa oleh karena unsur-unsur kepercayaan kepada Tuhan ada dalam dirinya dari masa yang lampau. Ia memang pernah dahulu mendapat pendidikan agama dari orang tuanya, atau dari seorang guru. Jiwa agama yang selama ini tak mekar kini berkembang untuk mendapat tanah yang subur. Dan jika ia seorang penyair akan terwujudlah hal itu dalam puisinya.
Tapi bukankah seseorang menjauhkan diri dari Tuhan karena jalan tak diperolehnya. Kekecewaannya membenci segala, bahkan Tuhan sekalipun. Ia tak memperoleh ini, mungkin karena dasar pendidikan agama pada mulanya tak ada padanya. Hal inilah membuat pengingkaran Tuhan dalam puisinya, jika ia seorang penyair.
Bisa pula dalam hidup seseorang kita lihat terus selalu terjadi pergolakan antara yakin dan tidak yakin, antara pengingkaran dan penyerahan mesra. Hal inilah membuat ragam suara hati dalam sebuah kumpulan puisi.
Jika kehidupan sekitar seorang penyair merupakan faktor yang turut menentukan dalam memberi garis tema puisinya. Apakah ia hidup di tengah kota dengan segala kesibukannya, apakah ia hidup di tengah ketenangan dusun atau sebuah kota kecil. Bahkan hal ini memberikan akibat yang kuat kepada gaya pengungkapannya.
Dalam pengalaman hidup ini harus kita turutkan pula pendidikan dan buku yang telah dibaca seseorang.
Seluruh masalah kehidupan yang mengitari seorang penyair dapat kita ikuti dalam hasil-hasil karyanya. Kehidupan itu memberi corak pada ungkapan-ungkapan yang dipergunakan seorang penyair. Obsesi yang terus bergumul dalam diri penyair kadang-kadang dengan secara tak sadar sudah mewarnai puisinya. Demikianlah hidup itu memberi arti yang penuh terhadap puisi.
Karya sastra adalah jelmaan jiwa sang pengarang. Lahirnya bermacam-macam karya sastra yang mengandung berbagai masalah tentu dari orang-orang yang memang di dalam jiwanya sudah luluh masalah-masalah seperti tersebut di atas. Demikianlah kenyataannya ada karya sastra yang mengandung unsur politik, sejarah, pendidikan dan sejenisnya dan tidak sedikit pula yang mengandung unsur-unsur agama. Sampai dimana luluhnya masalah itu dalam jiwa pengarang akan tercermin pada hasil karyanya. Begitu juga sampai dimana kesempurnaan keyakinan agama seorang pengarang dapat kita ketahui dari hasil kerjanya.
Amir Hamzah, misalnya, adalah pengarang yang hati dan otaknya serta jiwa raganya terletak di tangan Tuhan. Kita ketahui dari sikapnya yang terungkap dalam sebagian sajaknya dia selalu berbicara tentang Tuhan.
Tetapi bagaimana cerita pendek "Langit Makin Mendung" karya Kipanjikusmin yang dimuat dalam majalah Horison. Mengapa cerpen itu bisa hadir di meja hijau?
Karya sastra yang mengandung unsur agama itulah yang kita perbandingkan dengan religius experience dan religion. Religious experience, pengalaman agama; suatu pengalaman yang membawa kita kepada Tuhan, menghubungkan kita dengan Tuhan, mengingatkan kita kepada sang pencipta: Allah. Suatu koreksi hidup kita sendiri dengan hidup di luar kita. Sehingga kita menceburkan diri pada muatan rohani yang besar dan lebih tinggi.
Suatu contoh pengalaman jiwa pada suatu saat kita duduk seorang diri. Terlihat oleh kita meja dari kayu. Dalam suasana yang tenang tentram itu kita berfikir meja ini dibuat dari kayu. Kayu asalnya dari pohon-pohon yang besar. Itu tumbuh dari sebutir biji yang kecil saja; biji dari bunga...dst...dst... Akhirnya kita terhenti pada suatu titik, timbulnya suatu pertanyaan dalam diri kita; dari manakah semua itu berasal? Siapakah yang mengatur segala perubahan itu; dari bunga, menjadi biji, kemudian tumbuh menjadi pohon, dan sebagainya? Manusiakah? Tidak mungkin. Akhirnya timbul jawaban pula: bahwa semua itu berasal dan diatur oleh zat di luar atau bukan manusia.
Dari melihat meja, maka muncullah di dalam diri kita bahwa di luar manusia masih ada zat lagi. Pengalaman yang muncul karena melihat meja lalu menjadi sadar adanya Tuhan, yaitu Allah SWT. Inilah pengalaman agama atau religious experience-nya.
Dan pengetahuan tentang adanya Tuhan, adanya zat yang Maha Tinggi, sebetulnya berasal dari Allah juga, Allah menciptakan, segala sesuatu di dunia ini sebagai bukti, sebagai pengajaran bagi kita untuk menyakini adanya Allah itu sendiri.
Jelaslah perbedaan antara pengalaman agama dan kesusastraan agama. Pengalaman agama itu berasal dari Allah atau zat di luar manusia jadi masih murni.
Adapun kesusastraan agama muncul dari manusia, hasil pengolahan manusia dengan Allah sebagai sumbernya. Pengalaman agama lahir dari orang-orang yang sudah dekat dengan Allah. Agama sumber yang tidak akan kering-kering bagi terciptanya kesusastraan.
Religious: re + ligare: ikatan. Menurut arti asal kata religion, maka agama dapatlah diartikan sebagai tali yang mengikat sang pencipta dengan yang dicipta. Dengan ikatan itu maka pada suatu saat yang dicipta akan kembali kepada sang pencipta.
Agama dari a + gama: datang. Dengan arti demikian orang biasanya mengartikan agama: sesuatu yang datang dari leluhur kita, dan nenek moyang kita.
Berdasarkan arti kedua asal kata itu penulis rasa lebih tepat apabila agama diartikan sebagai sesuatu yang mengikat sang pencipta dengan yang dicipta, sesuatu yang memberi kecenderungan dicipta datang kepada sang pencipta guna menyerahkan diri, menggantungkan diri, memohon ampun, memohon pertolongan, memuji dan sebagainya, sebelum dia kembali kepada sang pencipta.
Adapun cara yang dicipta menyerahkan diri, memohon diri, memuji dan sebagainya itu, selain dengan menggunakan apa yang dimiliki oleh agama itu sendiri -- mengikuti ajaran-ajarannya -- maka orang dapat menggunakan kesusastraan sebagai aliran sastra.
Sudah barang tentu penggunaan aliran itu harus disesuaikan dengan ketentuan dan agama itu. Inilah yang mestinya harus diperhatikan oleh pengarang beragama agar supaya tidak melahirkan karya sastra -- kesusastraan yang menyinggung soal-soal agama atau ajaran, hukum ketentuan agama yang sebenarnya. ***
No comments:
Post a Comment