Thursday, 24 July 2008

MENYIASATI KURIKULUM DAN PELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH: KIAT UNTUK MAFHUM DAN BERBENAH

Pengantar

Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah awam, sementara yang berang adalah orangtua siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran itu.

Tidak kalah pentingnya pula untuk ditengarai adalah banyaknya muncul sikap sinis, pesimis, skeptis, apatis, dan bahkan selalu berprasangka buruk terhadap bakal datangnya suatu kurikulum. Kelompok ini bukan siapa-siapa tetapi justru kebanyakan adalah para guru atau juga para cerdik pandai dalam bidang pengajaran yang lebih sering memandang suatu perubahan sebagai suatu ancaman. Dari sisi atau aspek yang bersebab dari ketidakpahaman, kecenderungan semacam ini mungkin dapat dikatakan wajar, akan tetapi mengapa harus sisi negatif semacam itu yang dikemukakan?

Munculnya seloroh, keratabasa, atau plesetan terhadap metode pengajaran yang populer disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai Cah Bodo Soyo Akeh (= Siswa Bodoh Semakin Banyak)[1] atau terhadap KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sebagai Kurikulum Bakalan Konyol[2] atau Kurikulum Berbasis Kebingungan[3] maupun juga KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran[4] atau juga sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai[5] memperlihatkan adanya nada sinis itu. Sekiranya kesinisan itu muncul sebagai hasil dari suatu pelaksanaan, penerapan, maupun dari pemahaman terhadap kurikulum atau metode pengajaran yang ada untuk jangka waktu tertentu dalam sosialisasi maupun desiminasinya, tentu sikap yang sedemikian itu dapat diterima oleh banyak pihak. Akan tetapi, jika dasar kesinisan itu hanyalah penerusan belaka dari kesinisan yang ada sebelumnya tanpa mengkaji terlebih dahulu esensinya atau hanya sekadar “katanya”, maka kinilah saatnya bagi kita untuk mengaca: jangan-jangan ada dan banyak yang tidak kita mafhumi dari kurikulum yang selama ini telah diberlakukan maupun yang tengah dipopulerkan. Oleh karena itu, kalau kita mempunyai kesadaran berbenah, berbagai aspek dan kenyataan harus menjadi pumpunan perhatian maupun pertimbangan.

Realitas Kompetensi Guru

Hal pertama yang agaknya sangat perlu kita sadari adalah bahwa ditilik dari instrumental input, kualitas dan kuantitas guru di Indonesia dapat dikatakan memang sangat rendah. Padahal, suatu kurikulum yang apapun namanya atau bagaimanapun karakteristiknya, tetap selalu akan bertumpu pada sosok yang namanya guru ini. Bahkan ketika guru lebih diposisikan sebagai semacam fasilitator atau sekadar tut wuri handayani sekalipun, tidak berarti guru kehilangan peran.

Sekarang perlu kita tengok terlebih dahulu perihal kompetensi guru di Indonesia. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menyatakan bahwa guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya berjumlah 558.675 orang atau sebesar 45,2% (pada SD swasta sebanyak 50.542 orang atau setara dengan 4,1%) dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234.927 orang. Di tingkat SMP terdapat 108.811 guru negeri dan 58.832 guru swasta dari total guru sebanyak 466.748 orang (35,9%) yang dinilai tidak layak mengajar. Sementara untuk tingkat SMA terdapat 35.424 guru negeri dan 40.260 guru swasta dari jumlah keseluruhan 230.114 orang (32.8%) dinyatakan tidak layak mengajar. Sedangkan di tingkat SMK, dari jumlah keseluruhan guru yang berjumlah 147.559 orang, yang dianggap tidak layak mengajar berjumlah 20.678 orang (guru negeri) dan 43.283 orang (guru swasta) atau sama dengan 43,3%.[6] Dari data semacam ini, apa yang dapat kita sematkan sebagai komentar? Memprihatinkan, karena tampaknya banyak guru yang “asal menjadi guru” tanpa suatu tolok ukur kompetensi tertentu atau barangkali juga memang banyak guru yang “tersesat” dan salah dalam memahami bidang keilmuan. Dengan kenyataan semacam ini, profesionalisme semacam apa yang dapat diharapkan?

Bagaimana dengan para guru yang mengajar bidang sastra di sekolah-sekolah dasar maupun menengah? Dari pengalaman sebagai widyaiswara di PPPG Bahasa semenjak tahun 2001, dapat diperoleh kesan bahwa apa yang ditunjukkan oleh data dari Balitbang Depdiknas tersebut bukanlah rekayasa belaka. Dengan pengertian lain, secara diam-diam saya pun menengarai bahwa banyak guru sastra yang sesungguhnya bukan pembaca sastra atau lebih-lebih pencinta sastra. Kalaupun mereka pernah membaca karya sastra, karya-karya tersebut adalah karya-karya yang mereka peroleh atau pelajari sewaktu dulu berkuliah dan tidak sedikit pula yang hanya membaca ringkasan karya-karya sastra itu. Sekiranya dugaan ini benar, dapat dibayangkan perihal miskinnya materi maupun kreativitas dari para guru dalam pelaksanaan pengajaran mereka.

Berdasarkan gambaran yang tentu tidak sepenuhnya mampu memberikan representasi akan kondisi guru ini, kemudian jelas akan timbul pertanyaan besar berkenaan dengan kurikulum 2006 atau yang disebut dengan KTSP, yaitu dalam kaitan mencari atau memanfaatkan bahan ajar atau materi dalam silabus yang sesungguhnya leluasa dibuatnya, sementara wawasan guru bersangkutan tentang sastra sangat terbatas. Namun terlepas dari kondisi umum guru yang sedemikian ini, KTSP sesungguhnya sangat sejalan dengan dinamika sosial-politik dewasa ini yang banyak bertumpu pada ancangan desentralistik, khususnya dalam pelaksanaan otonomi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk tentu dalam pengelolaan pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah.

Maka, siap atau tidak siap, yang segera harus dilakukan adalah memperkaya atau juga menyadarkan para guru akan posisi strategis mereka sehingga sekiranya ada yang memang “tersesat” selama ini, dapat dan mampu menata atau berbenah dalam menghadapi kurikulum yang dapat dikatakan paling lengkap ini. Dikatakan paling lengkap, seperti dinyatakan oleh Idris Apandi, KTSP dapat disimpulkan mengandung prinsip pengembangan yang (1) berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; dan (7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.[7]

Pembelajaran Sastra dalam Kurikulum

Istilah “pengajaran” yang mempunyai makna ‘proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan; perihal mengajar; segala sesuatu mengenai mengajar’[8] belakangan ini sudah tidak populer lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yang kini lebih populer dan biasa diucapkan adalah istilah “pembelajaran” sejalan dengan semangat perubahan yang terjadi. “Pengajaran” banyak dianggap sebagai kurang tepat karena di dalamnya terkesan mengandung pengertian bahwa hanya pihak guru yang berperan aktif, sementara siswa atau peserta didik menerima saja apa-apa yang dicekokkan oleh sang guru. Sedangkan “pembelajaran” lebih dipilih dan dipergunakan secara formal karena di dalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan—diharapkan—juga sama-sama kreatif.[9]

Perihal pergeseran keaktifan dari yang semula lebih “dikuasai” oleh para guru dan pada gilirannya kini “dibebankan” kepada para siswa, tidak terlepas dari kebijakan, ancangan, maupun arah kurikulum yang dalam jangka waktu tertentu mengalami perubahan, diversifikasi, maupun modifikasi seiring dengan berbagai kemajuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya, seperti dinyatakan oleh Sarwidji Suwandi, penyempurnaan atau pembaruan kurikulum dilakukan dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan masa depan yang niscaya akan dihadapi oleh para siswa sehingga mereka akan mampu berpikir global dan bertingkah laku sesuai dengan karakteristik maupun potensi tempatan atau lokal.[10]

Dalam kaitannya dengan upaya memahami perubahan-perubahan yang pernah terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya lagi yang berhubungan dengan pengajaran dan pembelajaran sastra, perlu sedikit ada semacam tinjauan terhadap “perjalanan” yang sudah dilalui.

Kurikulum di Indonesia sudah berganti beberapa kali semenjak pertama kali dicanangkan pada tahun 1950.[11] Pergantian atau perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan. Akan tetapi, setiap ada modifikasi dalam kurikulum, masyarakat pada umumnya selalu memberikan tanggapan yang pada intinya kurang menggembirakan; bukan karena masyarakat itu anti-perubahan mengenai kandungan kurikulum atau anti-kemajuan, melainkan karena berdampak pada buku-buku teks yang juga berganti. Dengan bergantinya buku-buku teks atau buku-buku pelajaran itu berarti para orangtua murid harus menyediakan tambahan dana untuk membeli buku-buku tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan.

Sementara itu, menurut Suyanto, kurikulum memang harus sering diganti sesuai dengan dinamika atau perubahan dalam masyarakat. Secara periodik kurikulum memang harus diubah.[12] Perubahan kurikulum itu, menurut Tarno, dosen Universitas Nusa Cendana,[13] merupakan suatu peristiwa yang wajar dan memang perlu terjadi atau perlu dilakukan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga selalu muncul. Tanpa mengikuti perkembangan atau kemajuan yang ada, pendidikan akan jauh tertinggal. Bahwa ada semacam trauma yang melanda masyarakat luas dengan berubahnya kurikulum, hal itu tidak dapat dipungkiri. Bahkan bagi para guru sendiri, perubahan kurikulum pun tidak selamanya disambut dengan gembira. Arif Budi Christianto misalnya, seorang guru di sekolah swasta di Jakarta, menyatakan bahwa implementasi kurkikulum baru—dalam hal ini KBK—masih lebih sering membingungkan para guru.[14]

Kembali pada “perjalanan” sastra (dan bahasa) Indonesia dalam kurikulum, dapat diberikan gambaran bahwa semenjak tahun 1950 itu kurikulum telah mengalami perubahan pada tahun-tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA, sementara pada tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal, bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984—khususnya untuk SMA—nama bidang studi ini berubah menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti, serta Sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya. Namun dalam kenyataannya, menurut Tarno[15] lagi, pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu. Lebih lanjut Tarno menegaskan seperti di bawah ini.

Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.[16]

Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya.[17] Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.

Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pengajaran sastra di sekolah, bukan karena porsinya yang hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia atau alokasi waktu yang sangat minimal itu, melainkan juga karena strategi pengajarannya yang mengkhianati jatidiri sastra itu sendiri. Metode menghafal misalnya, yang dapat saja berupa menghafal nama-nama para sastrawan, menghafal peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan sastra atau peristiwa sastra, maupun menghafal contoh-contoh soal terdahulu dengan jawaban yang tersedia,[18] yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus pada ujian akhir maupun pada kuis-kuis yang diadakan, sungguh-sungguh telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra.

Dikatakan sebagai “telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra” karena sastra, bagaimanapun, adalah sebuah karya seni yang berbeda dengan ilmu alam maupun ilmu-ilmu lain yang serba dapat diukur, dihitung, maupun diduga secara tetap dan pasti. Sastra, seperti halnya karya-karya seni yang lain, harus ditempatkan dan diperlakukan sebagaimana karya fiktif, imajinatif, kreatif, serta berdimensi makna yang tidak tetap. Dengan jatidiri yang sedemikian itu, maka jika sastra juga diperlakukan sama dengan bidang ilmu lainnya, yang terjadi kemudian tentu adalah “seolah-olah” pembelajar telah memahami atau mengkaji sastra tetapi sesungguhnya bukan mengapresiasinya. Kenyataan seperti ini tentu merupakan hal yang tidak semestinya terjadi dan memang tidak boleh terjadi.

Menanggapi realitas semacam itu, banyak pengamat pendidikan maupun pengamat sastra pada khususnya, yang telah melemparkan pendapat dan kritik tajam yang pada intinya menghendaki dikeluarkannya sastra dari “bagian” bahasa Indonesia.[19] Kalau bukan suatu keinginan untuk sampai “mengeluarkan” sastra dari kurikulum, banyak pihak menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara guru bahasa Indonesia dengan guru khusus sastra.[20] Bahkan menjelang diberlakukannya kurikulum 1994, banyak isu yang beredar, yang antara lain menyebutkan bahwa pada kurikulum ini tidak akan lagi ada komponen sastra di dalam bidang studi bahasa Indonesia. Konon, bidang studi sastra akan dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, seperti ditulis oleh HD Haryo Sasongko[21] dan disinggung pula oleh Pamusuk Eneste dalam artikelnya.[22] Meskipun kenyataan yang banyak dibayangkan dan (mungkin) memang diharapkan oleh banyak peminat sastra itu tidak terwujud—karena ternyata Kurikulum 1994 masih memasukkan sastra sebagai bagian bidang ajar bahasa Indonesia—isu-isu seperti itu secara tidak langsung telah mempunyai pengaruh positif dalam memandang dan memposisikan pengajaran maupun pembelajaran sastra.

Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri. Bukan suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah teknis. Bahkan, seperti dikemukakan oleh I Wayan Artika, banyak guru sastra yang “tidak menyukai sastra”.[23] Maka, dengan “pengakuan” semacam ini, apa yang dapat diharapkan? Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.

Siasat Pembelajaran Sastra

Sejumlah gagasan, ide, rencana, tindakan nyata, serta sumbang saran melalui tulisan di pelbagai media dan kesempatan, maupun pemikiran-pemikiran positif lain yang dikemukakan oleh berbagai kalangan, telah merebak dan membawa angin perubahan dalam pengelolaan maupun praktik pengajaran dan pembelajaran sastra. Hasanuddin WS dalam tulisannya yang telah disebut di depan, mengatakan, “Apapun kondisinya, semua perbincangan yang berkaitan dengan masalah sastra dan pengajaran sastra semestinya disyukuri dan dicermati karena fenomena tersebut merupakan indikator kepedulian banyak pihak terhadap keberlangsungan kehidupan kesastraan sebagai bagian kebudayaan republik ini. Fenomena ini tampak dengan jelas menempatkan posisi sastra sebagai hal yang penting dan tidak boleh diabaikan.”[24]

Sehubungan dengan langkah nyata yang sudah dan masih dilakukan, tidak dapat diketepikan sejumlah kegiatan. Pertama, yang segera harus disebut dalam hal pemikiran serta kontribusi konkretnya adalah pihak majalah sastra Horison—di bawah “komando” Taufiq Ismail—dalam mewujudkan rencana aksinya. Ada 6 kegiatan yang pernah dan masih dilaksanakan, yaitu (1) penerbitan sisipan Kakilangit [sejak November 1996] dalam majalah Horison yang dimaksudkan sebagai wahana apresiasi sastra yang terfokus maupun sarana penampung tulisan kreatif dan opini para siswa serta guru, (2) pelatihan MMAS [Membaca, Menulis, Apreasiasi Sastra] sejak Februari 1999 yang ditujukan untuk menyadarkan maupun meningkatkan pemahaman para guru akan hakikat maupun dinamika sastra, (3) kegiatan SBSB [Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya] yang dilaksanakan sejak tahun 2000 dan disponsori oleh The Ford Foundation bagi suatu kegiatan interaktif antara para sastrawan dengan para siswa dari sejumlah sekolah di Indonesia, (4) kegiatan SBMM [Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca] yang dilaksanakan sejak tahun 2000 dimaksudkan sebagai tempat berdialog atau berdiskusi antara para mahasiswa yang sebagian telah membaca karya-karya seorang sastrawan atau lebih dengan para sastrawan itu, (5) kegiatan sayembara LMKS [Lomba Mengulas Karya Sastra] dan LMCP [Lomba Menulis Cerita Pendek] untuk para guru yang dimaksudkan sebagai sarana meningkatkan kemampuan mengapresiasi dan menulis ulasan maupun fiksi, dan (7) kegiatan SSSI [Sanggar Sastra Siswa Indonesia] yang merupakan bengkel kerja bagi upaya meningkatkan kebiasaan membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra dengan bimbingan para alumni kegiatan MMAS.[25]

Selain Horison, tidak dapat diabaikan juga adalah strategi lembaga PPPG yang terus-menerus giat mengadakan pelatihan TOT maupun penataran lain bagi para calon instruktur maupun para guru umumnya dengan melibatkan tenaga-tenaga terlatih dari Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, maupun dari lembaga lain. Meskipun dari segi jumlah masih sedikit, dibandingkan dengan jumlah guru se-Indonesia, pelatihan atau penataran semacam ini sangat efektif dalam kaitan membuka cakrawala berpikir atau bersikap mengenai dunia sastra. Dari beberapa kali pelatihan, sangat terlihat adanya perubahan yang signifikan pada diri para guru itu akan apa yang seharusnya mereka lakukan ketika mereka kembali ke sekolah masing-masing sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia. Hanya sayangnya, kegiatan yang dilaksanakan oleh PPPG ini kurang ditunjang pendanaannya oleh Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Bukan hanya aspek honorarium yang sangat kecil bagi para pelatih, tetapi juga keberlangsungannya tidak dapat terlalu diharapkan terus-menerus, sementara jumlah guru yang “harus” mengikuti pelatihan ini jumlahnya ribuan. Satu-satunya harapan adalah, para instruktur yang sudah mengikuti TOT, dapat dan mampu menularkan pengetahuan atau ilmunya kepada kolega di daerahnya. Hanya saja, hasil dari kegiatan yang terakhir ini belum dapat diperoleh gambaran maupun datanya.

Lembaga lain yang harus disebut meskipun sumbangan nyatanya dalam mengubah paradigma pembelajaran sastra tidak terlalu kelihatan akibat dari belum terencananya kegiatan, adalah HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) dan HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia) yang kadangkala mengadakan semacam pelatihan, penataran, lokakarya, seminar, atau konferensi yang berhubungan dengan masalah bahasa dan sastra. Kedua himpunan ini dinyatakan sebagai belum mempunyai rencana kegiatan yang jelas dan langsung, dalam kaitannya dengan peningkatan pembelajaran bahasa dan sastra, karena kedua lembaga ini adalah lembaga profesi yang lebih sering berkutat dengan permasalahan internalnya saja, selain memang bahwa kedua himpunan ini tidak mempunyai sumber dana yang pasti.

Apa yang digambarkan pada bagian ini, yang memberikan deskripsi perihal kegiatan yang diprakarsai oleh Horison, PPPG, HISKI, maupun HPBI, mestilah dipandang sebagai suatu dinamika positif yang memberikan sumbangan berarti bagi suatu perkembangan kehidupan sastra maupun pengajaran dan pembelajaran sastra di Indonesia dewasa ini. Jika apa yang dilakukan oleh lembaga atau himpunan-himpunan ini ditunjang pula oleh aktivitas individual yang berperspektif masa depan, seperti tumbuhnya kesadaran akan peran sentral guru dalam kurikulum, pemberdayaan aspek kreatif dalam pembelajaran sastra, pemahaman yang berwawasan luas akan materi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, kesediaan diri para guru untuk juga mereformasi sikap dan meluaskan bacaan mereka, serta terus-menerus memperbarui variasi metode pengajarannya, niscaya pembelajaran sastra akan mengarah dan menuju kepada suatu wilayah yang amat membahagiakan, bermanfaat untuk orang banyak, dan mampu meninggikan martabat guru itu sendiri maupun khazanah sastra Indonesia sendiri.

Harapan

Akhirnya memang hanya sebuah harapan. Mudah-mudahan, dengan berbagai upaya, rencana, strategi, ancangan, maupun kehendak untuk selalu mengaktualisasi diri dan menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam pembelajaran sastra, kehidupan akademis maupun kehidupan sastra itu sendiri dapat berjalan beriringan dan saling memanfaatkan. Untuk saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa gemilang dalam hal dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan, menawarkan berbagai gaya dan tema, serta diam-diam telah mampu memposisikan diri sebagai sebuah ranah yang tidak lagi seperti orang tua yang terbungkuk-bungkuk sambil sesekali batuk-batuk, tetapi telah menjelma diri sebagai gadis manis yang selalu diimpi-impikan dan dirindui banyak orang. Di Indonesia sekarang, orang cenderung tidak malu-malu lagi membawa atau membaca novel mutakhir di keramaian atau di tempat-tempat umum. Malahan, karya-karya fiksi Indonesia sekarang sudah menjadi benda hadiah untuk berbagai perhelatan dan acara.

Oleh karena itu, dengan kenyataan kesastraan yang sedemikian ini, maka sinergi antara dunia penciptaan sastra dengan dunia pembelajaran sastra sepatutnya tidak terkendala lagi. Tinggal berpulang kepada para guru sendiri, untuk bersedia membuka diri, meluaskan wawasan, serta memperkaya bacaan sastranya agar hakikat yang tersirat dalam kurikulum yang terakhir ini dapat dioperasionalkan secara maksimal.

1 comment:

ibenwah said...

Pak Raudah Jambak, mengapakah nama saya Anda hilangkan dari artikel yang sudah Anda unggah? Salam.

Ibnu Wahyudi