Tuesday 28 January 2014

TUKANG PUNDAK


Cerpen M. Raudah Jambak
Tukang Pundak
Lampu tiba – tiba padam. Suasana yang terasa bukan hanya gelap, tapi lebih dari mencekam. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk memang tak bisa tidur. Mereka terjaga. Menanti kejadian apa yang akan datang selanjutnya. Suasana sunyi masih terasa menyeramkan. Kampung gelap. Kampung sunyi. Kampung dingin. Hanya degup jantung yang semakin kencang saja yang terdengar.
Bukan hanya sekali ini saja kejadian seperti ini. Kejadian seperti ini sudah berlangsung berkali–kali, malah sudah mulai rutin. Ini bukan perkara pemilihan pemimpin. Bukan perkara yang sering kita dengar cukup menghebohkan di surat kabar. Seperti kasus Sampit, Aceh, Ambon dan kasus haus kekuasaanlainnya.
Bagi penduduk sebenarnya hal ini cukup mengherankan. Masalahnya kejadian seperti ini sudah pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Terjadi di salah satu daerah di Labuhan Batu. Ketika itu suasana yang masih rentan. Muncul pada masa jayanya golongan merah kiri.
Golongan merah kiri ini menghimpun kekuatan dari berbagai kalangan. Mulai dari anak–anak sekolah, SD kalau perlu, sampai ke tingkat yang tidak jelas. Mereka mempengaruhi rakyat dengan propaganda, rayuan, dan juga bujukan. Mereka terkenal sangat ganas dan kejam sehingga apapun akan mereka lakukan demi meluluskan segala keinginan mereka. Tapi sesuai dengan iringan zaman, waktu ternyata berubah. Golongan merah kiri kalah.
Kekalahan mereka membawa dampak negatif. Lawan–lawan politik mereka memunculkan isu–isu yang cukup meresahkan. Munculnya istilah "Dendam Lama". Jika selama golongan kiri berkuasa dan mereka melakukan tindakan yang semena–mena. Maka, sekarang para lawan politik yang disemena – menakan waktu itu, kini bertindak semena – mena pula terutama pada golongan merah kiri.
Dan dibentuklah satu kelompok aksi yang diberi nama Aksinger. Bertugas membersihkan para pengikut, simpatisan, para kroni dan semua yang terlibat golongan merah kiri, terlepas mereka bersalah, atau hanya ikut–ikutan, atau malah terjebak. Dan jika dijumpai, maka harus dibersihkan.
Persis seperti di kampung ini, lampu tiba–tiba padam, sebagai pertanda bakal ada yang menjadi korban dari golongan merah kiri. Mereka yang tertangkap dibawa dengan truk ke daerah Pinang Lambong. Dan setelah itu mereka akan ditanyai satu persatu oleh Aksinger. Dan esok paginya rakyat akan berteriak. "Rakit… rakit… rakit… hanyut…"
Beberapa dari penduduk akan segera berlari ke arah sungai untuk melihat kejadian secara langsung. Setelah terlihat, maka akan tampak tubuh beberapa orang yang dijadikan rakit, diikat. Mereka bergelayutan tanpa nyawa, dan tanpa kepala di aliran sungai. Bau amis darah sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk di kampung itu. Dan hal itu tidak hanya berlangsung di Pinang Lombang. Tapi juga di Aek Nabara dan Aek Toa.
Pak Norta selalu menyaksikan kejadian seperti itu. Rumahnya tidak begitu jauh dari sungai dan memang Pak Norta juga satu dari sekian banyak saksi sejarah.
"Ampun Bang. Jangan dipukul Bapak kami, ya," Norta kecil meminta belas kasihan Kepala Aksinger yang hendak menangkap Haji Odah.
"Tidak, Bu. Justru kami ingin mengamankan Bapak. Mereka pasti menghabisi bapak.
"Tolonglah, Nak Nema. Kasihan Bapak. Kamu kan murid Bapak … ?
"Ya, Bang. Bapak sebenarnya tidak terlibat. Dia terjebak …" Aminah kakak Norta, mengharap.
"Bu, kalau kami yang membawa Bapak. Bapak akan aman–aman saja. Tapi kalau bukan kami yang membawa, kami tidak berani jamin."
Uraian dan deraian air mata anak beranak itu sungguh menyanyat. Morta kecil yang paling sedih. Walaupun sebetulnya dia tidak tahu apa–apa. Dia hanya bisa merasakan, akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Tapi karena tidak tahu harus lari kemana terpaksa dipaksakan juga sembunyi disekitar sawah. Berkubang dirimbunan daun – daun padi.
"Bu, ada dua puluh orang daftar orang yang dicari oleh Aksiner. Dan kebetulan Bapak masuk dalam salah satu daftar orang yang dicari. Nah. Maksud kami ingin menyelamatkan bapak supaya tidak jatuh ke tangan para Aksiner merah yang dikenal tanpa konpromi. Beritahu kami, Bu. Dimana Bapak ?"
Masih suara isak istri Haji Odah menyayat. Dia tidak menginginkan ini. Dia hanya teringat ketika beberapa orang datang kerumahnya membawa kertas yang harus ditandatangani Bapak. Dia mendengar sayup–sayup, orang–orang ini menawarkan Bapak masuk organisasi yang menjual nama agama. Bapak sebagai seorang haji menyanggupi permintaan ini. Tapi, entah mengapa kok Bapak malah dituduh orang yang tidak berTuhan? Masuk organisasi yang tidak berTuhan. Dan saat ini organisasi tersebut sudah terlarang?
"Bu, kami akan membawa Bapak ke tempat kami. Dan kami akan menyembunyikan Bapak. Kami melakukan ini, karena kami ingat jasa – jasa Bapak yang telah memberi kami ilmu pengetahuan. Bapak yang telah menjadi guru kami. Dan inilah kesempatan kami untuk membalasnya."
Istri Haji Odah terpikir. Dia ragu. Tapi akhirnya yakin. Pelan–pelan ia menghapus air matanya. Lalu mengangkat tangannya, mengarahkan jari telunjuknya ke suatu tempat.
"Bapak di sana. Di tengah pematang sawah…"
"Terima kasih, Bu. Yakinlah kami akan menyelamatkan Bapak…"
Suasana hening. Suasana tidak seperti ada perasaan yang sedang bergolak. Keprihatinan demi keprihatinan muncul ke permukaan. Dalam batin sebenarnya ada keraguan. Hati lebih menginginkan suami tercinta selamat dan sehat. Tapi yang diharapkan adalah murid dari suami. Ada warna kejujuran di mata mereka, tetapi ternyata keraguan lebih benar. Ingin rasanya melepaskan diri dari beban masalah yang sebenarnya tidak diharapkan.
Dia teringat dengan suami adiknya. Tarsih. Suaminya ketika itu tidak sempat melarikan diri. Dia terjebak. Dan pada saat itu menurut pengakuan Tarsih, yang menjemput suaminya justru mengaku untuk menyelamatkan suaminya. Dan dia percaya suaminya percaya, anak – anaknya juga percaya. Lalu dibawalah suami Tarsih dengan penuh harap keluarga. Apa lacur, keesokan harinya Tarsih pingsan, karena daftar suaminya masuk sebagai orang yang ditembak mati kemarin malam. Kepala terpisah dai badan setelah selesai melakukan kewajibannya kepada Tuhan.
Istri Haji Odah memilih untuk percaya. Lalu ditunjuknya tempat persembunyian suaminya. Pasukan Aksinger segera menuju ke lokasi. Dipimpin oleh Nema, bekas murid Haji Odah, mereka melalui rumah belakang, kemudian menaiki tapak–tapak pematang sawah. Melihat ke arah dangau. Tidak ada. Dicari di sebelahnya juga tidak ditemukan. Lalu di tempat irigasi juga tidak ada.
"Hei, kemari. Orangnya ada disini !"
Pasukan segera bergerak. Beberapa orang mengacungkan senjata. Nema menyuruh menurunkan senjata. Haji Odah terlihat ketakutan bersembunyi di balik rumputan dan daun – daun padi.
"Ampun, Ma. Jangan pukul Bapak."
"Tidak, Pak. Saya hanya ingin menolong Bapak."
"Ya, ampun. Kasihan adik – adikmu."
Nema memberi penjelasan yang akhirnya dapat dijelaskan langsung. Dan Haji Odah mau menerima. Haji Odah dibawa, berpeluk–pelukan dengan anak istrinya kemudian naik ke truk. Di dalam truk Nema mengawasi Haji Odah, mengajaknya untuk berbicara. Diperlakukan selayaknya orang istimewa. Dalam pembicaraan itu, Nema kembali meyakinkan Haji Odah, dan sekali lagi Haji Odah percaya. Dan pembicaraannya yang akrabpun terbina.
Sesungguhnya Nema memang hendak menolong Haji Odah. Tidak ada maksudnya untuk mencelakakan guru yang sangat dikaguminya. Kekhawatirannya hanya jika Haji Odah jatuh ke tangan Aksinger merah, yang menghabisi korbannya di tempat tanpa sempat di tanya. Dan keyakinannya setelah mendengar instruksi dari komando utama agar mengamankan dua puluh orang dalam daftar cari.
Tapi, Nema sangat marah. Nema menelan kemarahannya dalam hati. Dia merasa bersalah karena salah menafsirkan kata "pengamankan" dari komandannya. Nema merasa malu. Tidak bisa menyembunyikan wajahnya sendiri. Bagaimana perasaannya jika bertemu dengan keluarga Haji Odah, terutama Morta yang ketika itu menjerit, menangis supaya ayahnya diselamatkan.
Haji Odah ketika itu dibawa ke kantor, dan tanpa ditanya kepalanya ditutup dengan kain hitam. Nema ingin bertanya, tapi komandan utama yang langsung bertindak, dia terpaksa diam. Dengan kasar Haji Odah dibawa ke belakang rumah, direbahkan di tempat pembantaian. Dan Sodis sudah berada di sana sebagai tukang pundak… Bless…
Pak Morta ingat semua itu. Ingat Nema, terutama Sodis. Ingatannya yang kuat kepada Sodis karena Sodis si tukang tundak telah menjadi Bupati. Dan ingatannya makin kuat setelah kejadian yang sama mulai lagi sejak kepemimpinan Sodis. Pak Morta tahu betul tentang Sodis, tapi yang mengherankan kenapa Sodis si tukang tundak menjadi Bupati? Sekolahnya sampai sekarang tidak jelas. Dan Pak Morta mengetahui itu. Pembantaian–pembantaian selalu terjadi, layaknya yang dibantai itu bukan manusia. Layaknya seperti membuat roti.
Pak Morta pernah menyaksikan di TV bagaimana Sodis sang Bupati menyayangkan tindakan–tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Dan mengingatkan rakyat agar berhati – hati dengan segala tindakan provokasi. Pak Morta bingung. Satu sisi ia sangat bersyukur yang terdalam. Dengan kata lain mereka telah bertobat.
Masalahnya bagaimana kenyataannya? Dan Pak Morta masih ingat ketika itu temannya si Mogit, tertangkap. Ia diketahui sebagai anggota kelompok golongan Merah Kiri. Ia ditanyai tentang keberadaan pemimpinnya. Mogit yang ketika itu berumur 13 tahun, sesuai dengan umurnya yang angka sial Mogit rupanya juga bernasib sial. Setelah lewat penyiksaan – penyiksaan, dia memberitahukan tempat keberadaan pemimpinnya.
Pasukan Aksinger segera bertindak. Bersama Mogit mereka menuju lokasi. Begitu sampai, yang dicari ternyata tidak dijumpai. Mogit lantas disiksa kembali. Kali ini Mogit memberitahukan lokasi lain. Tempat kedua mereka biasa melakukan pertemuan–pertemuan rahasia. Pasukan lalu bergerak, membawa Mogit yang sudah sulit bergerak. Tiba di lokasi, Mogit disiksa kembali, karena yang dicari tidak kembali.
Mogit akhirnya disiksa berkali–kali, setelah ia menunjukkan lokasi yang tidak pasti kepada pasukan Aksinger. Dengan sadis Mogit disiksa, kemudian disiapkan untuk kubang pembantaiannya. Mata Mogit bengkak dan sulit terbuka, kakinya kaku dan sulit bergerak. Mogit dicampakkan ke lobang. Di lobang Mogit masih terlihat bergerak gerak. Pasukan Aksinger mengangkat Mogit kembali, dia ditelanjangi. Pelirnya dihantam dengan palu, seketika darah muncrat di mana–mana. Akhirnya Mogit pun terkapar tanpa nyawa.
Pak Morta mengingat itu semua. Dia kenal dengan peristiwa Mogit. Dan ia masih ingat Sodis melakukan semua waktu itu.
Lampu–lampu tiba–tiba padam. Suasana yang terasa seram sudah tidak terasa apa–apa. Kejadian itu telah biasa. Pembantaian di mana–mana sudah menu utama berbagai sumber berita. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk kini tidur nyenyak. Mereka bermimpi tentang bunga dan matahari pagi. Sudah mengetahui akan apa yang sedang terjadi. Hanya mulut mereka saja yang terkunci. Suasana sunyi, tapi di dalamnya ada api. Menerangi kampung–kampung sunyi. Degup jantung sudah biasa menari lagi.
Kejadian ini mungkin kejadian yang terakhir. Walaupun kejadian ini sudah berlangsung beratus–ratus kali. Dan ini titik akhirnya. Ini adalah perkara keadilan bukan dendam. Ini perkara kebenaran bukan kebohongan–kebohongan. Tidak menyangkut masalah korupsi, kolusi apalagi nepotisme. Bukan lagi percobaan perebutan kekuasaan. Tapi semata–mata menegakkan kebenaran.
Akhirnya, matahari telah bersinar kembali. Kejadian semalam juga bukan lagi kejadian menakutkan. Justru kejadian semalam adalah kejadian yang dinanti – nantikan. Koran dan media massa lainnya telah mengabarkan kejadian dan berita kebenaran walau lebih banyak yang ditambah–tambahkan. Dengan judul di halaman utama, Dead linenya. Tertulis dengan huruf–huruf besar dan kapital. Semua orang, semua senang, termasuk Nema, apalagi Morta yang membaca berita harian di Jakarta. Terpampang di sana gambar –gambar sebelumnya tentang sejarah yang hampir dilupakan dengan tulisan besar–besar :
"BUPATI SODIS MATI MENGENASKAN DENGAN KEPALA BERPISAH DARI BADAN."

No comments: