Thursday 27 September 2012

Nihilisme Sampai Sampan Zulaiha

Damiri mahmud. Ketika membicarakan "Sampan Zulaiha" dalam tulisan yang lalu, saya tidak berpretensi sebagai guru dan Hasan Albana sebagai murid. Kalau dalam tanggapannya Mihar Harahap (MH) menyebut posisi kami seperti itu, itu tentulah asumsi MH saja. Dalam pembicaraan kali ini saya pun lebih memfokuskan diri kepada teks mungkin untuk melengkapi tesis saya terdahulu atau sekali gus sebagai respons terhadap Supri Harahap dan MH. Protagonis Tiurmaida adalah tokoh yag melankolik. Sebagaimana orang yang bersifat melankolik dia pendiam, berusaha mengisolasi diri, pemurung, sayu dan tidak nyambung dibawa bermusyawarah. Dia bukanlah prototipe perempuan di suatu daerah atau etnis tertentu. Dia bisa ditemui di mana saja tentu dengan mengubah nama dan aksesori yang melekat pada latar. Demikianlah serupa halnya dengan tokoh ibu dalam "Parompa Sadun…", Ompu Gabe dalam "Ceracau Ompu Gabe", Sarma dan Saipe dalam "Horja", Wak Bandi dalam "15 Hari Bulan", bapak Zulaiha dan Zulaiha dalam "Sampan Zulaiha". Mak Odah dalam "Hanya Angin…", Rabiah dalam "Rabiah", (Bukankah MH telah menemukan "Rabiah" di Mesir?) bahkan mungkin Risda dalam "Rumah Amang Boru" lebih jauh adalah seorang melankolia! Apa yang dapat dimainkan pengarang dengan prototipe seragam seperti ini? Melihat alur, gerak dan terutama narasi dengan gaya berlebih-lebihan dapat kita simpulkan bahwa buku ini berisi cerpen-cerpen melodrama. Demikianlah kita lihat semua kisah berakhir dengan kesialan, kesedihan dan kematian. Kisah-kisah melodrama yang dengan begitu pengarang selalu berusaha mengharu-birukan pembaca terasa berlebih-lebihan dan tidak wajar. Mengapa Ompu Gabe harus mati sungguhan saat berlakon di tiang gantungan? Bukankah dia telah membesarkan anak-anaknya selama 22 tahun menarik beca. Tentu hal itu telah menjadikannya matang sebagai manusia yang mempunyai sikap sebagaimana yang dikatakannya bahwa Teresia adalah pengkhianat? Jadi kalau dia harus mati di tali gantungan karena kecewa tak melihat bekas istrinya itu bukankah ini suatu yang cengeng? Tiurmaida yang dikutuk, kematian anak dan suami yang terpasung lalu bekerja sebagai pemecah batu. Tak cukup kesedihan itu dideritanya dia mati tertimbun tanah longsor. Tokoh Ibu dalam "Parompa Sadun…" mengapa harus mati "hanya" tak mendapat cucu lelaki? Dalam "Horja" tokoh Saipe akhirnya mau dijodohkan dengan Tunggul, membuat Saima, ibunya bukan main girangnya. Pesta besar-besaran pun disiapkan. Di hari H-nya, Saipe lari kawin dengan Gindo tak lupa "menilap" uang persiapan pesta. Tamu-tamu berdatangan, bukannya melihat penganten sebagai niat semula, tapi melayat Saima yang terkapar mati. Haji Sodung orang kaya, telah empat kali naik haji lalu kematian isteri. Niat hati mau "ganti tikar" tapi dihalang-halangi oleh Risda yang bermanis-manis, tapi habis-habisan mengerjai mertua. Bukannya Haji Sodung mendapat "kawan tidur’ di hari tua, harta pun amblas awak tinggal di rumah jompo! Mak Odah tak diberi kesempatan untuk hidup senang atau hanya sederhana. Suaminya mati, anak lelakinya hilang di perantauan, anak perempuannya pula tak pulang-pulang hidup berumah tangga di Jerman. Celah Mak Odah untuk hidup wajar akhir tertutup. Dia menampik pinangan seorang duda kaya dan hiduplah dia kesepian dan merana. Wak Bandi? Nasip pensiunan itu lebih tragis lagi. Niat sucinya untuk naik haji kandas karena tambak yang diusahakannya musnah ditelan banjir dan dia mati tenggelam. Cerita tragis ini mencapai puncaknya dalam "Sampan Zulaiha". Seorang anak dara yang cacat disiksa ayahnya sedemikian rupa tanpa ada yang memperhatikan, menggubris dan menolongnya seolah mereka hidup hanya berdua. Akhirnya matilah dia tenggelam di laut. Inilah kisah-kisah melodrama yang "memilukan dan menyayat hati" (dalam tanda petik). Kisah yang direkayasa pengarang seperti yang disebut oleh SH hampir semua cerpen dalam SZ berkisah kemurungan yang dinarasikan dengan panjang berjela-jela. Atau kata MH bahwa HB memasung para tokohnya, sehingga konflik tidak berkembang wajar menjadikan logika rendah. Pada sisi lain, cerpen-cerpen melodrama selalu menghadapi resiko. Oleh karena perhatian pengarang teristimewa menitikberatkan kepada alur dan narasi yang berlebih-lebihan sisi lemahnya adalah penokohan jadi terabaikan. Dalam semua cerpen SZ protagonis dan dramatis personae adalah mesin atau robot yang digerakkan oleh pengarang. Sebagai pembaca kita tidak ikut bersedih hati ketika Tiurmaida dirundung malang, tidak sempat terpana dengan nasib Ompu Gabe yang lehernya terjerat benaran di tali gantungan. Bahkan tak merasakan nasib malang Wak Bandi dan sadism yang dialami Zulaiha. Kita keenakan dan keasyikan oleh kesibukan pengarang dengan gayanya memukau sehingga hampir tak sadar akan nasib yang menimpa sang protagonis. Mestinya pada cerita dengan penokohan (characterization) yang berhasil kita harus ikut merasakan pahit-manisnya keadaan tokoh. Atau bersimpati kepada seseorang protagonis dan berantipati terhadap lawannya. Lebih jauh bahkan kita selalu cenderung mengidentifikasikan diri terhadapnya. Seperti disebut SupriHarahap (SH), cerpen-cerpen itu cenderung diam tak bergerak. Jika Hasan tidak lihai bermain dengan bahasa, maka pembaca menemui kelelahan dan kejenuhan, katanya. Saya setuju. Bahkan kepiawaian Hasan bermain dengan bahasa sampai pada tingkat riskan. Dari satu tokoh ke tokoh yang lain dari masing-masing ceritanya Hasan seperti menikmati permainan bahasanya. Dia seperti tersihir mengolah kata demi kata yang indah di saat protagonisnya mengalami nestapa! "Uwak Bandi kehabisan tenaga, kehilangan doa. Tubuhnya dilumpuhkan air pasang. Kepalanya terdongak ke langit. Ei, mengapa dalam gontai-kuyup pandangan, dia menyaksikan Haji Sazali melayang ke pekarangan langit, menuju bulan? Haji Sazali tersenyum sambil melambaikan tangan, semacam kibasan ajakan. Uwak Bandi ingin menyahut lambaian itu. Bentang tangannya tengah berjuang menjadi benteng. Air enyandera Uwak Bandi. Bahkan, memerosokkan tubuhnya ke nganga lubang. Tenaga Uwak Bandi tinggal ampas. Tubuhnya timbul tenggelam, dihisap dihembuskan air pasang. Ah, adakah yang mampu mendengar gelepar tangisnya di perut air? "Haji Sazali, tega nian kau meninggalkanku…" (SZ hal. 101-102) Tingkat permainan bahasa lengkap dengan berbagai partikel dan klise yang menggelikan menurut hemat saya sudah di atas ambang keprihatian terhadap tokoh yang dihadapinya dalam keadaan sekarat. Apakah ini sebuah gejala nihilisme? Mengingat dengan permainan kata seperti itu nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan kita sebagai pembaca merasa terusik. Nihilisme yang menggalakkan kehidupan pesimisme, kematian dan bunuh diri serta senda gurau yang berlebihan sebagai ciri-cirinya. Semua cerpen Hasan dalam buku ini tokoh-tokohnya mengalami kehidupan yang buram, kematian dan bunuh diri yang dinarasikan dengan gaya yang indah dan kocak. Lagi pula nihilisme selalu menyalahi dalam berkehidupan sosial dan berkeluarga. Kita lihat dalam cerpen "15 hari Bulan" Uwak Bandi adalah seorang yang sudah sepuh, pensiunan. Mengapa untuk ambisinya naik haji dia dibiarkan seorang sendiri membanting tulang membuka tambak lagi yang memang punya resiko tinggi? Tak ada yang mencegahnya. Seolah dia hidup seorang diri padahal dia punya keluarga. Biasanya dalam sebuah cerpen realisme protagonis selalu dijaga oleh penulis untuk memenangkan misi atau moral cerita. Dalam cerpen Chairul Harun "Budi" adalah seorang pensiunan letkol yang miskin bernama Marzuki berkunjung ke Jakarta. Dalam bus kota dia dihimpit para pencopet, sehingga pingsan. Seorang penumpang menolongnya. Menurunkannya dan membawanya dengan taksi ke rumahnya. Dia dirawat dengan seksama. Setelah sembuh, si penolong menerangkan mengapa dia menolongnya. Ternyata Letkol Marzuki semasa PRRI pernah menjadi komandan yang sempat menyelamatkan nyawa si penolong. Letkol pensiunan itu bersimpati. Ketika akan pulang ke kediamannya dia diam-diam berjanji dalam hati untuk mengambilnya menjadi menantu. Tapi sebaik letkol Marzuki pulang, lelaki itu buru-buru pindah rumah. Dia takut jantung Marzuki akan copot kalau mengetahui bahwa penolongnya itu raja copet di Jakarta. Kalau kita telisik dalam cerpen "15 Hari Bulan" tokoh Uwak Bandi adalah orang baik-baik saja. Bahkan cita-citanya setelah pensiun pun sangat baik pula. Naik haji. Mengapa pengarang meruntuhkan keingingan protagonis dengan menghadapkannya bermuka-muka dengan alam sebagai tokoh durjana atau antagonis? Inilah keabsurdan cerita ini. Cerita-cerita absurd yang banyak dibuat oleh Sartre, Camus, Kafka sebagai pemuka sastra nihilisme. Di Indonesia kita kenal Budi Darma, Afrizal Malna, Nirwan Dewanto, Joko Pinurbo dan para sastrawan postmodernisme umumnya ikut menyuarakan nihilisme dalam karya-karyanya. Nihilisme yang mengoyak tatakrama dan tata kehidupan sosial diperjelas dalam cerita "Sampan Zulaiha". Di sini ironi permainan kata-kata pengarang dengan kesadisan antagonis mencapai puncaknya. Pengarang seperti keasyikan atau maniak keindahan. Setelah bapaknya menikamkan runcing cuban, pisau penyirat jala, ke kening Zulaiha yang bersimbah darah, muncul kutipan ini: "Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Zulaiha sejak lampau, tak pernah menabung, takut. Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir darah bertebar di atas kepala Zulaiha. Bunyi petir macam suara nenek sihir. Menakutkan. Zulaiha tak kecut. Dia tegak menghadap laut. Kilat melesatkan cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk laut. Angin mendaki menghempas. Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa, atau menyahut siapa? Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam, menguyupkan tubuh Zulaiha yang timpang. Dia tadahkan lekuk tangan ke laut. Aha, Zulaiha hendak mendekap siapa? Tidak mendekap siapa-siapa. Malam itu, bukan dendam kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri." (SZ hal. 69-70). Bukankah gaya dalam narasi itu malah memberi sugesti terhadap perbuatan bunuh diri. Apalagi kalau kita kaji bahwa cerpen ini telah mengoyak tatakrama kehidupan, kekerabatan dan kekeluargaan. Ayah, si tokoh durjana , begitu bebas melakukan penyiksaannya. Tak ada sistem yang bisa menghambatnya. Baik keluarga, padahal dia menyiksa di hadapan ibu dan anak-anaknya, ataupun kerabat dan masyarakat, yang ikut menyaksikannya membantai si anak di hadapan mereka.

No comments: