Tuesday 17 April 2012

FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTAKHIR : KOMUNITAS DAN MEDIA

Seminar Nasional Sastra Indonesia Mutakhir

Sastra sebagai Sumber Inspirasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Global

Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KKSI) II akan digelar di Wisma Argamulya Depdikbud, Cisarua, Puncak, Bogor, pada 23-25 Maret 2012. Selain pemilihan ketua KSI periode 2012-2015 sebagai agenda utama, Kongres juga akan ditandai dengan Seminar Nasional Sastra Indonesia Mutakhir dengan tema, Sastra sebagai Sumber Inspirasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Global. Diharapkan, Kongres akan dibuka oleh Mendikbud Prof. Dr. Muhammad Nuh, yang akan sekaligus akan menyampaikan orasi sastra.

Menurut ketua panitia Kongres, H. Bambang Widiatmoko, sejumlah sastrawan dan akademisi sastra terkemuka akan tampil sebagai pembicara, antara lain Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Dr. Nursamad Kamba, Dr. Sudaryono (Dimas Arika Miharja), Dr. Wahyu Wibowo, Eka Budianta, dan Dr. Mujizah. Sedangkan sebagai moderator adalah Iwan Gunadi dan Micky Hidayat.

Kongres juga akan ditandai dengan pentas sastra, dan pergelaran “api unggun sastra”. Pentas sastra akan diisi pertunjukan baca puisi oleh sejumlah penyair ternama, dan musikalisasi puisi bersama Sanggar Sesaji pimpinan Rudi Karno dari Banjarmasin, Hasta Indrayana dari Yogyakarta, dan Sarang Matahari Penggiat Sastra pimpinan H. Shobir Pur dari Tangerang Selatan.

Para penyair nasional yang dijadwalkan akan tampil membacakan sajak-sajak mereka, antara lain Habiburrahman el Shirazy, Nana Rishki Susanti, Mustafa Ismail, Iman Budi Santosa, Mustowa W. Hasyim, Evi Idawati, Rukmi Wisnu Wardani, Anwar Putra Bayu, Fakhrunnas MA Jabbar, Chavcay Syaefullah, Micky Hidayat, Jumari HS, Toto St. Radik, Husnul Khuluqi, dan Sihar Ramses Simatupang. Sedangkan ”api unggun sastra” akan menampilkan semua peserta untuk membacakan sajak-sajak mereka dengan latar belakang api unggun.

Kongres yang diadakan bertepatan dengan usia 15 tahun KSI ini juga ditandai dengan Sayembara Penulisan Puisi KSI Awards 2012 yang pengumpulan naskahnya sudah dimulai sejak Maret 2011. Dewan juri KSI Awards, yang terdiri dari Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko, Diah Hadaning, Endo Senggono, dan Mujizah, telah memilih satu puisi terbaik penerima KSI Awards 2012, empat puisi unggulan yang akan menerima penghargaan khusus, dan 95 puisi pilihan untuk dibukukan bersama sajak-sajak pemenang. Penyerahan penghargaan dan peluncuran antologipuisi KSI Awards 2012 akan dilakukan pada malam pembukaan Kongres. Kegiatan ini diselenggarakan dengan dukungan dari Bakti Budaya Djarum Foundation, Denny JA, dan Badan Bahasa Depdikbud RI.

Menurut ketua umum KSI Pusat periode 2008-2011, Ahmadun Yosi Herfanda, sayembara tersebut merupakan pelaksanaan KSI Awards yang kelima. Untuk pertama kalinya KSI Awards diberikan pada tahun 2000 kepada Toto St. Radik dengan manuskrip puisi berjudul Indonesia Setengah Tiang, KSI Awards kedua (2001) diraih oleh Agus Hernawan dengan puisi berjudul “Narasi di Tiga Hari”, KSI Awards ketiga (2002) diraih oleh Zakh Syairum Majid Surono dengan cerpen mini berjudul “Elegi Gerimis Pagi”, dan KSI Awards keempat (2003) diraih oleh Heru Mugiarso dengan manuskrip buku kumpulan puisi berjudul Perjalanan Ziarah. Saat itu, Rukmi Wisnu Wardani, meraih posisi sebagai runner-up dengan buku manuskrip puisi berjudul Banyak Orang Bilang Aku Sudah Gila.

Dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, peran komunitas sastra, termasuk KSI, sangat penting. Komunitas sastra tidak hanya menjadi wadah pembinaan calon penulis dan pengembangan apresiasi sastra masyarakat, tapi juga ikut memberi arah perkembangan corak estetika dan tematika kesastraan Indonesia mutakhir. Bahkan, secara ideologis, komunitas-komunitas sastra juga ikut mempengaruhi orientasi penciptaan para sastrawan Indonesia mutakhir.***

Jakarta, 28 Februari 2012
PANITIA KONGRES KSI II 2012
Bambang Widiatmoko
(Ketua Panitia Kongres)
Ahmadun Yosi Herfanda
(Ketua Umum KSI Pusat)

KKSI-II, Hangat dan Menyehatkan

Hidayat Banjar.

Suasana Cisarua, Puncak, Bogor yang sejuk tak membuat peserta Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) II jadi adem ayem saja. Dengan tema "Sastra sebagai Sumber Inspirasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Global" Kongres KSI yang digelar di Wisma Argamulya Depdikbud, 23-25 Maret 2012, berjalan hangat serta menyehatkan.
Mengapa tidak, selain kongres yang memilih Ketua Umum, Sekjen, Bendahara Umum dan "kabinet" KSI periode 2012-2015, berjalan demoratis. Peserta juga mendapat asupan ‘gizi’ bagi jiwa dan raga. Asupan jiwa didapat dari seminar. Asupan raga didapat dari sajian makanan dan udara yang penuh oksigen. Sayang, kongres yang diharapkan dibuka oleh Mendikbud Prof Dr Muhammad Nuh sekaligus orasi sastra -karena sesuatu hal- tidak terlaksana.

Asupan gizi berikutnya didapat dari pentas sastra dan pergelaran "api unggun sastra". Pentas sastra diisi pertunjukan baca puisi oleh sejumlah penyair ternama dan musikalisasi puisi bersama Sanggar Sesaji pimpinan Rudi Karno dari Banjarmasin serta Sarang Matahari Penggiat Sastra pimpinan H. Shobir Pur dari Tangerang Selatan.

Para penyair nasional yang tampil membacakan sajak-sajaknya, antara lain Thomas Budi Santoso, Habiburrahman el Shirazy, Nana Rishki Susanti, Mustafa Ismail, Iman Budi Santosa, Mustowa W Hasyim, Evi Idawati, Rukmi Wisnu Wardani, Anwar Putra Bayu, Fakhrunnas MA Jabbar dan lainnya.

Tidak kurang 133 orang menghadiri acara kongres yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Peserta dari Medan hadir pada kegiatan yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation dan Badan Bahasa Depdikbud RI ini antara lain: Idris Pasaribu, Juhenri Chaniago, Selwa Kumar dan saya sendiri (Hidayat Banjar).

15 Tahun KSI

Kongres yang bertepatan dengan usia 15 tahun KSI, juga diisi dengan Sayembara Penulisan Puisi KSI Awards 2012. Pengumpulan naskahnya dimulai sejak Maret 2011. Dewan juri diambil dari berbagai lapisan yang sangat independen. Dalam sayembara itu dipilih satu puisi terbaik penerima KSI Awards 2012, empat puisi unggulan yang menerima penghargaan khusus dan puluhan puisi pilihan, dibukukan bersama sajak-sajak pemenang.

Penyerahan penghargaan dan peluncuran antologi puisi KSI Awards 2012 dilakukan pada malam pembukaan kongres. Puisi penyair Medan yang ada dalam kumpulan bertajuk "Narasi Tembuni" itu antara lain Maulana Satria Sinaga, Tina Aprida Marpaung, Damiri Mahmud, Idris Siregar dan M Raudah Jambak.

Kami sampai di tempat acara tepat hari pertama (Jumat, 23 Maret 2012) malam. Padahal kami berangkat dari Medan pukul 11.50. Sampai di Cengkareng, kami menuju stasiun Branangsiang dengan Damri. Dari Branangsiang, kami naik angkot menuju Ciawi. Tersendatnya perjalanan dari Ciawi menuju Cisarua yang menyebabkan kami tak sempat istirahat.

Begitu sampai, registrasi, makan malam dan terus menuju Auditorium Wisma Arga Mulya, tempat acara diselenggarakan. Pukul 19.30 WIB acara dibuka oleh Nurhayati. Kata-kata sumbutan pun meluncurlah dari: Ketua Panitia, Ketua Umum KSI, Ketua Yayasan KSI dan doa pembuka dipimpin oleh K.H. Arsyad Indradi.

Orasi Sastra

Pukul 20.00-20.30 WIB yang seharusnya diisi orasi sastra oleh Mendikbud RI Mohammad Nuh, sekaligus membuka Kongres, ditiadakan. Orasi kebudayaan diisi oleh Prof Dr Abdul Hadi WM dengan judul Krisis Kebudayaan.

Selanjutnya musikalisasi puisi dari Sanggar Sesaji KSI Banjarmasin. Kemudian peluncuran Buku Puisi KSI Awards yang berjudul Narasi Tambuni diambil dari puisi berjudul Ziarah Tembuni karya Iman Budhi Santosa. Tercatat 2.335 judul puisi dari 447 penyair yang masuk ke pantia dan terpilih hanya 73 puisi. Beruntunglah Medan (Sumut) terwakili oleh 5 puisi.

Acara berikutnya, pengumuman pemenang lomba oleh dewan juri. Dilanjutkan dengan penyerahan kenang-kenangan sebagai tanda ucapan terima kasih kepada: Djarum, Denny JA., Badan Bahasa, Efeo, KITLV, Kepala Dinas Parbud DKI, PDS HB Jassin dan Diah Hadaning (diwakilkan).

Pada hari kedua (Sabtu, 24 Maret 2012) seusai sarapan pagi diselenggarakan Seminar Sastra Indonesia Mutakhir. Sesi pertama dengan tema Meningkatkan Manfaat Sastra sebagai Sumber Inspirasi dan Pencerahan bagi Masyarakat menampilkan Dr Nursamad Kamba, Dr. Sudaryono dan Mu’jizah dengan moderator Micky Hidayat.

Pendorong

Seminar Sesi Kedua dengan tema Meningkatkan Peran Karya Sastra sebagai Pendorong Proses Perubahan Sosial. Tampil sebagai pembicara: Prof Dr Abdul Hadi WM. Prof Dr. Eka Budianta dan Dr Wahyu Wibowo dengan moderator Iwan Gunadi.

Usai istrahat diselenggrakan diskusi tentang KSI semua daerah bersama Idris Pasaribu KSI Medan (Ketua Sidang), Lukman Asya, Ali Syamsudin Arsyi, Gito Waluyo, Jumari HS, Syaefuddin Gani, Anwar Putra Bayu, Mustofa W Hasyim, Micky Hidayat, Dr Muhammad Abdullah, Budi Setyawan, Toto ST. Radik dengan moderator Wowok Hesti Prabowo.

Setelah istrahat diselenggarakan Kongres Komunitas Sastra Indonesia II, mendengarkan Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum KSI Pusat. Selanjutnya Sidang Komisi. Komisi I: AD/ART dengan pemimpin sidang Wowok Hesti Prabowo/Idris Pasaribu. Notulen: Shobir Poerwanto. Komisi 2: Program KSI, Pemimpin Sidang: Ahmadun Yosi Herfanda/Bambang W dengan notulen: Fatin Hamama.

Komisi 3: Rekomendasi dengan pemimpin sidang: Iwan Gunadi/Sosiawan Leak. Notulen: Ayid Suyitno.

Kemudian sidang pleno 2 dengan acara pemilihan Ketua Umum KSI Pusat 2012-1015 dan Pengurus Baru. Pemimpin Sidang: Wowok Hesti Prabowo (Ketua Yayasan KSI)/Sekretaris Idris Pasaribu (Ketua KSI Medan).

Medy Loekito Terpilih

Akhirnya kongres menetapkan Medy Loekito sebagai Ketua Umum KSI periode 2012-2015 dengan sekretaris Bambang Widiatmoko dan bendahara Iwan Gunadi. Perempuan pendiri KSI ini terpilih melalui pemungutan suara, dilakukan oleh 11 orang formatur terdiri dari 6 formatur yang mewakili perwakilan KSI di seluruh Indonesia dan 5 orang formatur dari Dewan Pendiri KSI.

"Medy terpilih mengantongi 6 suara dan 11 suara yang diperebutkan," ungkap Idris Pasaribu mewakili formatur saat membacakan hasil akhir. Formatur bersidang sangat alot, memakan waktu berjam-jam. Saat-saat menegangkan sebelum terpilihnya formatur, kehadikran Medan memang sangat diperhitungkan. Kepiawaian Medan dalam kongkres ini membuat suasana menjadi hangat. Satu suara menentukan, benar-benar KSI penuh rasa persaudaraan dan menang tipis itu, membuat semua bertepuk riuh. Hasilnya, Medy Loekito menjadi Ketua Umum, Bambang Widiyanto menjadi Sekjend dan Iwan Gunadi menjadi Bendahara Umum.

Setelah ketiganya terpilih oleh formatur, mereka meneruskan sidang untuk menetapkan para wakil ketua, wakil sekretaris dan wakil bendahara. Setelah terpilihnya para wakil dan beberapa koordinator, sidang ditunda selama seminggu untuk menetapkan komisi-komisi, oleh pengurus harian yang sudah terbentuk dalam kongres. Menurut desas-desus, Medan dalam Kongres KSI ini dalam bisik-bisik mendapat p;orsi sebagai salah Seorang Ketua yakni wakil Ketua Umum. Seorang lagi mendapat posisi sebagai koordinator KSI untuk wilayah Sumatera.

Pada Penutupan Kongres sebelum acara Malam Api Unggun dimulai di halaman Wisma Arga Mulya, diselenggarakan Peresmian Cabang-Cabang Baru KSI se-Indonesia dan luar negeri. Kini, seluruhnya KSI sudah memiliki 34 buah cabang dan setiap cabang memiliki sub cabang.

Selanjutnya musikalisasi puisi oleh Hasta Indriyana. Usai itu, peserta kongres menghadiri acara api ungun yang dirangkaikan dengan peluncuran buku antalogi puisi Bima Membara. Doa Penutup dipimpin oleh H Shobir Poerwanto.

Hari ketiga Minggu (25 Maret 2012) setelah senam pagi bersama dan sarapan, peserta diajak jalan-jalan menikmati panorama perkebunan teh Gunung Mas, Berkuda, Paralayang dan lainnya. Ya, Kongres KSI II ini benar-benar hangat serta menyehatkan.

Nanang Suryadi

Komunitas Sastra

Meneropong sastra Indonesia mutakhir, tidak cukup hanya berbicara perkembangan satu dua tahun terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena komunitas sastra, misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di jagad sastra Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia sudah mengidentifikasi berbagai komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia memberikan definisi komunitas sastra sebagai:

“kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum.” (Iwan Gunadi, 2006)

Dengan melihat definisi tersebut, jika kita tengok dari perjalanan sastra Indonesia baik yang tercatat maupun yang tidak sebenarnya komunitas-komunitas sastra ini sudah berkembang sejak dahulu, walupun mungkin tidak secara resmi menggunakan kata-kata “komunitas.” Menurut saya Pujangga Baru merupakan sebuah komunitas, walaupun nama Pujangga Baru adalah nama sebuah majalah sastra. Namun di situ antara redaksi, penulis dan pembacanya ada suatu keterikatan emosional, sehingga muncullah sebuttan angkatan “Pujangga Baru”. Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dkk berinteraksi dalam Gelanggang Seniman Merdeka, yang melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Pada 1950-1960-an, kita juga bisa menemui Lekra, Lesbumi, yang walaupun berpatron pada partai atau ormas, bisa kita sebut sebagai komunitas juga. Kelompok diskusi Wiratmo Soekito yang diikuti oleh Goenawan Mohamad dkk merupakan sebuah komunitas, yang pada akhirnya melahirkan Manifesto Kebudayaan. Dari beberapa contoh yang kebetulan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia itu, dapat dikatakan bahwa komunitas sastra apapun namanya sudah berkembang sejak dahulu.

Sebuah komunitas sastra, menurut saya, tidak harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Saya memandang bahwa jika ada lebih dari satu orang melakukan aktivitas rutin bersama dengan minat yang sama yaitu “sastra” maka dapat dikatakan itulah komunitas sastra. Walaupun Afrizal Malna pernah juga mendirikan komunitas yang anggotanya dia sendiri, yaitu “Komunitas Sepatu Biru.”

Aktivitas menulis karya sastra merupakan hal yang sangat individual. Pengakuan atas karya sastra pada umumnya merupakan pengakuan terhadap karya individu penulis. Sebuah cerpen, puisi atau novel jarang sekali dibuat oleh lebih dari satu orang (jarang, bukan berarti tidak ada). Maka dimana peran atau pengaruh komunitas dalam penulisan karya sastra, jika menulis adalah aktivitas individu?
Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling berbagi.

Komunitas-komunitas sastra yang ada memiliki ciri yang hampir sama, yaitu: komunitas itu akan terus hidup jika ada individu yang sukarela menggerakkan komunitasnya. Paling tidak ada satu sampai tiga orang yang memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas komunitas, maka komunitas itu akan berjalan.
Sekarang kita lihat fenomena apa yang membedakan komunitas sastra pada beberapa tahun terakhir dengan komunitas-komunitas sastra di tahun 90-an dan sebelumnya. Teknologi informasi membawa dampak perubahan terhadap pola interaksi di masyarakat. Pada akhir 90-an teknologi informasi berupa internet memberikan peluang kepada masayarakat luas untuk dapat berkumpul dalam suatu komunitas tanpa harus hadir secara fisik. Melalui jaringan internet, para peminat sastra membentuk komunitas yang melintasi batas geografis. Komunitas komunitas sastra di dunia maya mulai muncul sejak akhir tahun 90an melalui mailing list. Contoh komunitas sastra melalui mailing list yang berdiri di akhir 90an adalah: penyair@yahoogroups.com, puisikita@yahoogroups.com, gedongpuisi@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com, bumimanusia@yahoogroups.com musyawarah_burung@yahoogroups.com, dan banyak mailing list lain yang menyusul di tahun 2000an, seperti sastra_pembebasan@yahoogroups.com dan apresiasi_sastra@yahoogroups.com.

Media Sastra Mutakhir
Gerakan Sastra Internet yang diusung pada akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa mailing list komuntas maya di atas.
Perkembangan sastra di internet saaat sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com, duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, WordPress.com menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.
Dari sekian banyak situs jaringan sosial, yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240 karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter semakin sering update semakin disuka. Menulis karya di Facebook bisa panjang lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang, facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok? Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain



Karya-karya yang muncul di Twitter, Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan buku. Kecenderungan itu sudah banyak. Misalnya:12 tahun lalu, milist bumimanusia yang diasuh Eka Kurniawan dan Linda Christanti telah menerbitkan beberapa buku. Pada masa yang sama, rekan-rekan di milist penyair, puisikita, gedongpuisi yang tergabung dalam cybersastra -YMS membuat antologi puisi. Buku serial antologi puisi “Dian Sastro for Presiden” (3 jilid) juga merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir, peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan blog.

Draft awal tulisan ini dibuat langsung di facebook.com dan twitter.com. Mungkin hal yang sama pernah dilakukan oleh banyak penggiat facebook dan twitter. Mereka langsung menulis dan pada beberapa menit berikutnya dipublish. Kecenderungan yang sama dapat dilihat pada sekitar sepuluh tahun lalu pada saat mailing-mailing list marak dan ramai digunakan, para anggota mailing list langsung menulis di emailnya masing-masing untuk saling menanggapi tulisan rekan-rekannya, bisa berupa opini atau karya puisi. Berbalas puisi di mailing list sudah terjadi sepuluh tahun lalu. Berbalas puisi dan menuangkan opini di kolom komentar facebook dan blog merupakan kecenderungan terbaru. Contoh komentar dari seorang penggiat sastra di facebook (yang saya amati sangat produktif menulis di facebook.com), yaitu Dimas Arika Miharadja:


“Komunitas semacam facebook, jika tak berhati-hati bisa bikin mabuk. Kenapa? Setiap mempublish puisi, esai, atau apapun juga terkesan dihadapi (diresepsi, diapresiasi) secara meriah dengan aneka puja-puji, minimal mengacungkan jempol tanpa kata-kata. Komunitas facebook harus dicermati antara ada dan tiada. Adanya komunitas itu baru berguna bila ada keseriusan dalam melakoni hidup dan kehidupan berkarya. Tiadanya komunitas di ruang maya ini bisa jadi disebabkan lantaran orang-orang yang berkerumun di situ tidak ada tali pengikatnya yang jelas (suka datang dan pergi tak kembali, suka-suka hati).

Apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Sabar, nanti dulu mas, masak terburu-buru. Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.

Melalui media maya ini juga mulai dapat diidentifikasi beberapa person yang bisaa memanfaatkan media ini sebagai sosialisasi-komunikasi-interaksi karya yang digubahnya. Lantaran karya sastra itu peronal atau individual sifatnya, aneka respon terhadap karya yang dipublish haruslah diiringi sikap berhati-hati. Puja-puji bisa memandegkan kreativitas, mabuk pujian, dn lepas kontrol. Sebaliknya, penyampaian kecaman atau asal kritik tanpa argumentasi yang jelas bisa jadi akan menghentikan produktivitas bagi yang tidk siap dan tidak tahan banting.

Intinya, Komunitas dan Media maya, keduanya sama-sama semu. Semua bergantung pada individu pelakunya”

Inilah salah satu contoh, bagaimana interaksi di dunia maya dapat berlangsung cepat. Opini bisa dibalas opini dalam waktu singkat. Sedangkan media konvensional seperti koran cetak, majalah cetak, jurnal cetak (segala yanmg harus dicetak) membutuhkan waktu yang cukup lama, paling tidak sehari. Komentar dari Dimas Arika Mihardja ini hanya sekitar 5-10 menit sejak artikel saya publikasikan di facebook.
Usulan Pengembangan Komunitas dan Media

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengusulkan beberapa hal untuk pengembangan komunitas dan media saat ini dan di masa mendatang. Tanpa menafikan keberadaan koran, majalah dan buku sebagai media sastra, saya mencoba mengusulkan pengembangan sastra melalui komunitas sastra di internet. Teknologi internet yang semakin terjangkau oleh semua kalangan memberikan peluang yang besar untuk semakin menggairahkan para penulis sastra untuk menulis. Penulis sastra dari generasi yang lahir tahun 70-an dan 90-an merupakan generasi-generasi yang sangat melek internet. Mereka bisa online internet sepanjang hari menggunakan handphonenya.

Berdasar pengalaman berinteraksi di berbagai jaringan komunitas sastra di internet selama ini saya menemukan banyak penulis pemula yang ingin belajar menulis di internet. Para pemula ini mencari guru yang mau mengajari mereka menulis. Tapi para penulis “mapan” di dunia nyata susah untuk diminta ilmunya (pengalaman 10 tahun lalu, dan mungkin sekarang). Mungkin kesibukan para penulis “mapan” yang menyebabkan mereka susah untuk ditanya ini itu hal hal teknis tentang penulisan. Pengalaman waktu di cybersastra, ada suatu forum akhirnya para pemula ini saling membantai karya teman-temannya (tanpa guru!). Saya melihat pembantaian karya antar teman itu bisa menjadi gesekan kreatif yang mendorong menjadi lebih baik. Beberapa alumni forum cybersastra karya-karyanya sudah banyak tampil di pentas sastra Indonesia. Mungkin kalau saling membantai karya menjadi suatu yang mengerikan, bisa dicari format lain.
Tuntutan para sastrawan “mapan” 12 tahun lalu terhadap sastra di internet menurut saya terlalu cerewet. Mereka meminta karya sastra yang berbeda dengan karya sastra media koran, majalah dan buku. Mereka meminta untuk karya-karya yang selektif yang hadir di internet. Seperti karya yang muncul di koran dan majalah. Tapi tantangan itu harus diterima! Ada upaya rekan-rekan penggiat sastra di internet untuk memaksimalkan media yang ada, misalnya dengan mengotak atik HTML, script dll. tapi masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Perkawinan berbagai media seperti video, audio, teks bisa menjadi arah pengembangan ke depan. Selain itu satu hal yang penting, yang mungkin jarang kita perhatikan, ketersediaan bahan bacaan dalam teks digital dari beberapa terbitan cetak sastra Indonesia masih sedikit ditemui. Saya mengimpikan suatu ketika kita memiliki perpustakaan maya (semacam PDS HB Jassin di dunia nyata) , juga database biografi dan karya-karya para penulis sastra di Indonesia, yang dapat diakses hanya menggunakan jaringan internet melalui handphone. Saya percaya, itu akan terjadi!

Malang, 2010

@ Musismail

Salah satu bagian acara dalam Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Cisarua, Puncak, Jawa Barat, 23-25 ​​Maret 2012 adalah penyerahan penghargaan KSI Award. Pemenang penghargaan itu adalah Iman Budhi Santosa dengan puisi berjudul Ziarah Tembuni.

Sementara empat karya yang masuk "puisi unggulan" adalah Ritus Pisau (Anwar Putra Bayu, Palembang), Dari Utsmani ke Tsunami (Dimas Arika Miharja, Jambi), Aku, Kembarbatu, dan telago Rajo (Jumardi Putra, Jambi), dan "Di Tepi Benteng Somba Opu "(Hasta Indrayana, Yogyakarta).
Puisi-puisi itu dibukukan dalam antologi "Narasi Tembuni" bersama 95 puisi pilihan lainnya. Menurut panitia, puisi-puisi pemenang, unggulan dan pilihan yang masuk antologi itu disaring oleh tim juri dari 2.335 judul karya 447 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Tim jurinya adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Endo Senggono, Bambang Widiatmoko, Diah Hadaning, dan Mujizah.

Pemenangnya, menurut dewan juri dalam catatannya di buku antologi, berasal dari berbagai usia dan generasi yang berbeda, datang dari berbagai komunitas di berbagai penjuru nusantara. "Dengan demikian antologi puisi Narasi Tembuni ini cukup representatif sebagai cermin atau gambaran perkembanan perpuisian Indonesia terakhir," tulis dewan juri.

Memang, melihat biodata mereka di bagian akhir buku ini, akan terlihat betapa beragamnya peserta lomba puisi KSI Award ini. Di sana kita akan menemukan nama-nama seperti Damiri Mahmud (penyair Sumatea Utara kelahiran 1945), Iman Budhi Santoso (penyair Yogyakarta kelahiran 1948), Mustofa W. Hasyim (Yogyakarta, 1954), juga Dinullah Rayes (penyair Sumbawa kelahiran 1939).

Penyair termuda adalah Hakimah Rahmah Sari dari Sumatera Barat. Hakimah lahir di Saning Bakar pada 11 Januari 1994.

Berikut adalah nama-nama penyair yang puisinya masuk dalam antologi Narasi Tembuni:

1. A. Musabbih (Muara Sebuah Kota)
2. A. Ganjar Sudibyo (Tugu Seratus Ribu Tahun)
3. Ayat Khalili (Narasi Pulau)
4. Achmad Faqih Manfudz (Prambanan)
5. Ahmad Kekal Hamdani (kolofon)
6. Alizar Tanjung (Malin Kundang di Pantai Air Manis)
7. Anwar Putra Bayu (Ritus Pesisir & Ritus Pisau)
8. Arif Fitra Kurniawan (Hikayat Sebungkus Tahu Gimbal)
9. Arif Hidayat (Yang Mengalir dalam Sungai Perahu)
10. Badrul Munir Chair (Selat Madura)
11. Beni Setia (Petaha)
12. Budhi Setyawan (Tua Tua Ibu Kota)
13. Budi Saputra (Rumah Gadang 1928)
14. Cahyadi Willy (majalaya)
15. Cho Chro Tri Laksono (Wiji)
16. Damiri Mahmud (Aku Berlari-lari Mencari Serumpun Serai & halakah Panggang)
17. Delvy Yendra (Bercakap-cakap dengan Sungai)
18. Dimas Arika Mihardja (Dari Ustmani ke Tsunami)
19. Dinullah Rayes (Sumbawa)
20. Dwi S. Wibowo (Kampung Nujuman)
21. Endang Supriyadi (Bogor)
22. Evi Idawati (Perempuan-perempuan Gerabah Kasongan &
Jejak di Nol Kilometer)
23. Evi Sefiani (Eyang Sakarembong)
24. F Rizal Alief (Madura, Sajakku bergemuruh di Tubuhmu)
25. Faizal Syahreza (Montase Kota dari Doa)
26. Fakhrunnas MA Jabbar (Maka Berangkatlah Malam Lewat Bertabur Duri Rindu Ini & Legenda Riau)
27. Faridz Yusuf (Tamasya ke Rimba Melankolia)
28. Frans Ekodhanto Purba (Tiga Percakapan dari Danau Toba)
29. Hakimah Rahmah Sari (Solok-Padang & Goa Lawa)
30. Hasta Indrayana (Di Tepi Beneng Somba Opu)
31. Heri Maja Kelana (Menuju Cikapundung)
32. Hudan Nur (Kalideres Suatu Pagi)
33. Husen Arifin (Perahu Sigigir)
34. Idris Siregar (Berguru ke Patimpus)
35. Iman Budhi Santosa (Ziarah Tanah Jawa dan Ziarah Tembuni)
36. Irwan Sofwan (Negeri Senja)
37. Jaka Satria (Di Kota Tua)
38. Jumardi Putra (Aku, Kembar Batu, dan Telagorajo & Balada Buyung Empelu)
39. Kiki Sulistyo (Kampung Nelayan Pondok Perasi)
40. Lukman Asya (Gunung Arca)
41. M. Taufan Musonip (Gapura Kota Mandiri)
42. M. Raudah Jambak (Gurindam Sepi Ompung Parturi & Pantun Wan Abun)
43. Mahdi Idris (Acehku ya Aceh)
44. Maulana Satrya Sinaga (Kampung Paling Ujung)
45. Muhlis Al-firmany (Sumur Kuning)
46. Mustofa W. Hasyim (Stasion Kota & Menteng Raya-Cikini Raya)
47. Nurochman Sudibyo YS (Reposisi Hujan)
48. Phaosan Jehwae (Wajah-wajah Patani)
49. Pringadi Abdi Surya (Semacam Tersien kegalauan)
50. Rifat Khan (Berteduh di Sembalun)
51. Rikzam Mohammad (Fragmentasi Penciptaan)
52. Rini Febriani Hauri (limbung di Ujung Lambung)
53. Sofyan RH Zaid (Banquet III)
54. Sunaryo Broto (Kutukan Kudungga)
55. Supali Kasim (Surat untuk Tome Pires)
56. Tina Aprida Marpaung (Dari Toging ke Parapat)
57. Tjahjono Widijanto (Senja di Benteng pendem)
58. Ulfatin CH (Yang Pergi dan Kembali)
59. Viddy AD Daery (Perjalanan Malam Balikpapan-Banjarmasin)
60. Wahyu Arya (Sebelum Kembali)
61. Wisnu Muhamad (Lagu Pantai Lamalera)
62. Yogira Yogaswara (Ciwidey)
63. Yori Kayama (Sebuah Kota dengan Narasi yang Panjang)

No comments: