Sunday 6 March 2011

karya-karya Nina Khibrani Pasaribu (Dinda)

PUISI-PUISI



NYANYIAN UNTUK IBU YANG MEMAKAI BAJU ABU-ABU


Sinar naik ke ufuk
Kau labuhkan sepi ke penghujung
Melambai ke arahku
Lewat baju abu-abu
Kutunggu kau menghilang
Menjauh perlahan ke balik hampa dan keinginan
Namun bisik-bisik daun terus mengiringi kesunyian
Lewat baju abu-abu
Kau pergi meraih di peraduan mimpi
Tak lagi jari itik yang terus diberengi
kau mantap merajut angsa
Yang telah menanti di niagara ini
Semoga ken terus abadi


PETIR YANG MENYAMBAR


Ketika petir itu lekas menyambar di atasku
Tak henti api-api menusuk kulitku
Tak ada lagi tempat untukku
Untuk sekian lama kubiarkan mata ini terpejam
Menyambut petir yang akan luluh lantak dalam-dalam
Kuabadikan kegerahan dalam lukisan tinta
Meski kegerahan itu tak lagi kelam
Petir itu terus menyambar
Tak henti ku bersabar
Seiring laju perpisahan
Kubiarkan ia terus temaram









“Milik Kami” Yang Kau Rampas



Perut kami masih belum terisi

Pikiran kami masih dipenuhi hutang lagi

Pendidikan kami tak dapat kami penuhi

Uang kami tak sebanyak yang kau miliki



Mengertilah, hidup sedang susah

Cabai tak dapat kami nikmati

Bahkan beras mengutip di pasar pagi

Lantas, kau masih rampas harta kami?







MERAH PUTIH (bukan) TANPA MAKNA



Bersama mentari pagi yang berhembus kencang melewati

Kutatap dua warna yang terus dihormati

Sambil berkeliling kupandang satu-satu

Entah apa yang mereka hormati

Tapi tak juga dimaknai



Dari ujung anak-anak bermain

Entah apa yang mereka permainkan



Dari sela rawa beribu tikus menggerogoti brangkas bank negara

Tanpa peduli akan rakyat yang bekerja menabungnya



Bersama seorang teman

Kurekatkan kepatriotan

Tinggal anak-anak yang tak diajarkan

Juga tikus-tikus yang tak punya perikemanusiaan



Dihari istimewa

Kuberjanji akan terus setia

Pada dua warna yang selalu jadi tanda tanya

Merah putih tanpa makna

Bagi orang yang tak tahu apa itu Indonesia







NEGERI INDONESIA



Bersamanya ku berdiri tegak

Menatap dunia yang semakin rusak

Tapi ku tetap tak beranjak

Dari negeri yang banyak retak



Berkali ku coba lapangkan dada

Melawan segala masalah yang ada

Juga bencana yang melanda

Indonesia tercinta



Kini ku siap melangkah

Menyongsong kemerdekaan yang kan jadi masalah

Tapi tak apalah

Ku tetap cinta Indonesia





ISAK TANGIS DARI KAMAR SEBELAH



Dari balik selimut

Isak tangis seorang bocah tergeletak pergi ke antah berantah

Dalam kotak kubus

Kamar sebelah katanya



Decit-decit kayu tua menyaksikan

Isak-isak parau tak dipedulikan



Oh, bukan

Ia tak tonton ketidakpedulian

Yang membingungkan

Tapi betapa kehidupan menyedihkan

Diciptakan seorang yang penuh janji

Isak tangis itu sunyi kembali

Dari kamar sebelah

Dan tak terdengar apapun lagi





KAKEK TUA BUTA



Kulihat

Kakek tua menangis di atas peti

Yang akan membawanya nanti

Bersama sebercak putih di bola mata

Ia terus berorasi

Di atas peti

Hanya aku yang menatapi



Kudengar

Birunya laut, hijaunya darat, dan udara tanpa warna

Menjejak kaki di segala arah

Tanpa sebercak putih di gedungnya

Menguasai areanya



Kurasakan

Laut, darat, bahkan udara

Buta akan dunia

Tak ingat peti-peti mati

Yang membawa kakek tua abadi

Dan terus meratapi

Dengan kebutaannya yang telah menghantui








LANGIT YANG SEMAMPAI


Waktu tak akan pernah sampai
hingga tetesan terakhir sekalipun
dan aku tak akan pernah menggapai
apa yang diciptakan
meski ku telah menelanjangi langit yang semampai

pergumulan dalan hidup
tak lagi punya waktu tuk selesaikan
namun hatiku tak lagi mendendam
pada malam-malam tak berbintang




AYAH


Senyum dan derita
kau ucapkan dengan hati gundah
apa yang dapat kulakukan
ayah

Kau bagi suka duka
tanpa kau risau ada yang menggelitik sukma
tapi tetesan air mata sang bunda
mengalahkan rasa di dada

Tak tau kemana
ku akan bernagi cerita
tapi sungguh,
bagi ceritamu ayah
agar kita sama merasa
ayah
aku sayang padamu





HIDUP LAGI



Bisik pilu hati yang merajam

Bosan terangi malam

Yang tak berujung damai

Pelipur musnah diganyang amarah



Maka hidup lagi

Tuk bantai mereka yang kotor duniawi

Meski rintih kian menari

Diatas sebutir resah tak pergi



SENYUM KAN DATANG LAGI

Angan melayang

Bongkah arang pun menghalang

Wujudkan impian yang tak kunjung padam



Sebersit keraguan datang

Tak pupuskan harapan

Berlari

Terus erat semua mimpi



Pasti terjadi

Pahit lari

Dari nyata yang abadi

Kan hadir senyum lagi





IMAJINASI

Dengar!

Pintakulah pasti ada

Bebaskan cerita penuh warna

Segala oret suka duka



Lihat!

Potong ia pelan saja

Tuk lukis cerita

Tak berujung duka

Yang kuraih juga



Selongsong api membara

Hanguskan cerita kita

Hadirkan imajinasi musnah

Tuk lebih berharga











CERPEN

Aku tak punya upil?



Inilah desaku. Desa yang masih bersifat sedikit primitive ditengah hiruk-pikuknya kehidupan modern. Desa anak-anak penuh mimpi. Desa orang-orang jujur yang memegang teguh adat-istiadat serta tradisi mereka. Desa yang membesarkanku. Serta desa yang mempunyai tradisi unik, yaitu mengupil. Sebenarnya mengupil itu awalnya bukanlah menjadi suatu tradisi, tapi itu merupakan suatu hobi turun-temurun yang kemudian dianut sebagai tradisi.

Kapan saja dan dimana saja pasti warga desaku ini selalu mengupil, sebab mengupil itu seperti sudah mendarah daging pada kami. Semua orang disini selalu mengupil, kecuali aku. Aku sangat ingin mengupil, tapu fisikku tidak merestui. Ya, aku bisa dikatakan tidak mempunyai hidung layaknya manusia normal. Memang aku masih bias bernafas walaupun lubang hidungku sangat kecil. Kata ibu, aku tidak bisa mengupil.

Tradisi mengupil katanya dapat menambah semangat warga desa kami. Terutama bagi petani yang kerjanya dari dini hari hingga senja menjelang. Para petani desaku seperti tidak mengenal lelah saat bekerja karena mereka sudah mengupil sebelumnya. Mengupil juga membuat hidung warga desaku menjadi bersih. Memang menjijikkan, tapi inilah tradisi kami.

Sempat terpikir olehku untuk membuat hidung buatan. Karena saat itu aku masih kecil, aku mengutarakan keinginanku itu pada orang tuaku, tapi aku malah ditertawakan habis-habisan oleh orang tuaku. Mereka mengatakan, “Kita ini manusia yang diciptakan Tuhan. Hidung kita juga. Jadi, mana mungkin kita menciptakan hidung.”

Biasanya sore harilah yang menjadi waktu favorit warga desaku untuk mengupil. Pada saat itulah, kita akan melihat pemandangan orang-orang yang mengupil di teras rumahnya masing-masing.



***



Aku mengupil. Aku berhasil mengupil.

Saat bermain bersama teman-teman, aku mencoba mengupil, merasakan bagaimana sih rasanya mengupil yang tersohor di desaku itu. Tiba-tiba seorang temanku berteriak,

“Hei.. Ngapain kau? Mau coba ngupil? Nggak punya hidung aja pun.” Mendengar teriakan temanku itu aku langsung merasa minder. Tapi aku ingin mencoba.

Akhirnya aku mencoba mengupil, tak disangka-sangka aku berhasil mengupil. Upilku itu besar sekali. Mungkin sebesar bakso. Teman-temanku yang melihat upilku langsung terperangah, mereka belum pernah melihat upil sebesar itu. Salah seorang temanku, Budi, sibuk memanggil warga desa untuk melihat upilku.

“Mak, Pak, hee semuanya… liatlah itu upil si Bonga, besar kali. Kayak bakso.”

Akibat teriakan Budi, warga keluar dari rumahnya. Warga yang sedang mencangkul, memanjat pohon, memberi makan ayam, bergosip, bahkan yang sedang mencari kutu langsung menghentikan aktivitasnya hanya untuk melihat upil baksoku.

Berita upilku yang sebesar bakso langsung menyebar ke seluruh desa, ke desa sebelah, bahkan ke kota . Upilku kini telah terkenal di seluruh penjuru tanah air, seperti batunya Ponari yang bisa menyembuhkan penyakit. Akibatnya, desaku yang awalnya sepi, sunyi, damai, dan tenteram itu kini dipenuhi oleh banyak orang dari berbagai daerah hanya untuk melihat upil baksoku. Mata pencaharian warga yang hanya sebagai petani, kini diselingi dengan berdagang segala macam makanan dan minuman, karena orang-orang yang datang ke desaku sangat ramai, sehingga tak heran terkadang mereka merasa haus dan lapar. Pendapatan wargapun kini bertambah.

Hidupku sekarang sejahtera, sebab tak jarang orang-orang yang datang ke desaku itu memberikanku uang saku. Upilku juga seakan tidak berhenti terbentuk. Setiap jam aku pasti bisa mengupil. Aku juga mendapat uang tambahan dari orang-orang yang berniat membeli upilku sebagai kenang-kenangan.



***



Aku terbangun dari tidur lelapku. Hah, ternyata aku bisa mengupil upil sebesar bakso itu hanya mimpi. Padahal aku sangat ingin itu semua menjadi kenyataan.

Penasaran, aku mencoba mengupil. Menakjubkan, mimpiku jadi kenyataan. Upilku sekarang bahkan jauh lebih besar daripada yang ada dalam mimpiku. Upilku sekarang sebesar bola pingpong. Hahaha…

Siapa bilang aku tidak bisa mengupil?





CERPEN



Ketika putik mulai memerah



Aku tak henti memandangi pohon-pohon bunga raya di sekitar desaku. Kecintaanku pada bunga raya memaksaku untuk terus mengamati perkembangan dan pertumbuhan bunga raya di desaku. Tak ada rasa letih yang menghampiriku saat aku mengelilingi desa untuk mengamati apakah putik-putik bunga raya itu mulai memerah.

Seluruh penjuru desatelah kukitari. Masih ada 1 pohon bunga raya yang putiknya belum memerah. Mungkin sekitar 1 atau 2 minggu lagi putik-putik itu memerah.

Aku memang sangat senang melihat putik-putik pohon raya yang sudah berwarna merah, indah. Bahkan lebih indah dari sunset di pantai. Bagiku memandangi putik bunga raya itu membuatku tenang, jauh lebih tenang dibanding perasaan tenang saat mengetahui lulus ujian sekolah. Oleh karena itu, dalam waktu 1 minggu kedepan aku akan terus memperhatikan putik pohon bunga raya yang belum memerah milik Uwak Loh, tetanggaku.



***



Sore ini aku kembali melihat putik bunga raya Uwak Loh bersama Soraya, sahabatku. Aku memang sudah lama tidak bertemu Soraya, karena ia pergi ke luar kota dari 2 minggu yang lalu.

“Nita, kenapa sih kau semangat kali kalau sedangh ngeliatin putik-putik pohon bunga raya?” tanyanya padaku tepat saat kami menginjakkan kaki di depan halaman rumah Uwak Loh.

“Aku ingin semua putik-putik pohon bunga raya di desa ini memerah.” Jawabku singkat tanpa ekspresi.

“Iya. Aku tau. Tapi kenapa kau ingin putik-putik itu memerah?” tanya Soraya lagi.

“Kau akan tau jawabannya nanti.”

Aku berlalu meninggalkan Soraya yang masih terpelongo di depan halaman rumah Uwak Loh.



***



Minggu pagi yang cerah kusambut dengan raut wajah yang berbeda dengan keadaan matahari yang sedang bersemangat menyinari bumi dengan teriknya. Pagi ini kulihat ibuku memasak nasi goreng yang sedap aromanya. Bapak sedang pergi jogging bersama kepala desa. Sedangkan kedua opungku asyik berkebun. Mereka yang sudah tua saja sangat bersemangat menyambut hari ini.

Aku mengambil piring dan menuangkan nasi goreng yang mengepul ke dalamnya. Porsi sarapanku pagi ini lain dari biasanya. Piring makanku itu penuh. Maklum aku belum makan dari kemarin siang.

Sedang asyik sarapan sambil menonton acara TV favoritku, Soraya dating ke rumahku dan mengobrol bersama opungku di kebun depan rumahku.

“Nita, Soraya datang nih.” Opungku berteriak memanggilku.

Soraya masuk ke rumahku. Aku mengajaknya ikut sarapan, tapi dia menolak dan mengatakan bahwa putik pohon bunga raya Uwak Loh sudah memerah semuanya. Mendengar itu, aku segera menghabiskan nasi gorengku dan segera berjalan ke rumah Uwak Loh bersama Soraya.

Sesampainya di rumah Uwak Loh aku terpana melihat putik-putik pohon bunga raya itu memerah. Aku berlari menuju balai desa. Balai desa merupakan bangunan tertinggi di desaku yang memiliki 4 lantai bangunan. Aku segera menuju lantai 4 bangunan itu diikuti Soraya. Tampaklah desaku yang damai dikelilingi pohon bunga raya. Putik di setiap pohon itu memerah. Sungguh pemandangan yang sangat ku idamkan.

“Kenapa kau senang kali Nita?” tanya Soraya.

“Aku senang karena saat hari kematianku tiba putik pohon bunga raya di desa ini sudah berwarna merah.”

“Maksudmu?”

“Ya. Aku divonis mengidap penyakit Leukimia oleh dokter Puskesmas. Dan aku diperkirakan akan meninggal hari ini. Aku memndengarnya saat dokter itu membicarakan hal itu sama orang tuaku. Tapi mereka merahasiakannya padaku. “

Soraya terkejut atas jawabanku. “Jadi kau meninggal hari ini?”

“Ya. Kau hitung mundur dari 10 sekarang.” jawabku sambil memejamkan mata.

“10…9…8…7…6…5…4…3…2…1…”

“BRUKK..”

Tubuhku ambruk.

Ya, aku sudah meninggal sekarang. Persis seperti perkiraan dokter Puskesmas tentang hari kematianku. Tapi aku tidak takut, karena keinginan terakhirku sudah terwujud. Aku meninggal saat melihat putik pohon bunga raya terakhir yang belum memerah akhirnya memerah juga.



PENCARIAN

Kuarungi lembah-lembah Fisika

Kulayari hiruk pikuk Matematika

Kuselami seluk beluk tenses penuh warna

Kupandangi indahnya IPA

Kuselusuri belantara Sastra



Ku tak mengerti

mengapa aku di sini

tapi ku terus mencari

sampai kutemukan sendiri

arti pencarian ini



Kuingat dulu

sosok penuh kasih

mengajariku tulis baca

mengajari jari-jari

menari-nari diantara kata-kata

sehingga ku mengenal angka-angka



Kini cita telah di depan mata

Fisika, Matematika, IPA, dan Sastra

tak henti mengajakku bercerita

menemukan pencarian

yang tertunda

KEPADA IBUKU

Setetes keringat

tak berarti

di mataku



Dua tetes keringat

masih tak berarti

di mataku



Sepuluh tetes keringat

sedikit melepas bebanku



Seribu tetes keringat

mengubah kehidupanku



Kau tak tahu

Ibu

beribu tetes keringatku

bukti aku tulus

mencintaimu











TUHAN



Tuhan

andai kutahu

ku takkan bertanya



Tuhan

andai kupunya

apa lagi yang hendak ku minta



Tuhan

andai ku mati

ku takkan bertanya dan meminta

apapun lagi





TAK TERPIKIR LAGI UNTUK BERPIKIR



Entah apa lagi yang terpikir

kulukai lagi siapa saja yang kutemui



Entah lagi apa yang terpikir

kukejami lagi apa saja yang kutemui



Tapi

apa kau sempat berpikir

kau telah

menabur luka dan keji di hati

siapa saja

apa saja

yang kau temui



Aku tak mengerti

mengapa tak berguna hati

tak terpikir lagi untuk berpikir?







NYANYIAN KAUM JELATA



Bola api

di telan surga

tepiskan dunia

laksana bulan



Kita pasti bisa

menampik segala yang ada

walau asumsi mereka

memberatkan pribadi kita



Burung-burung terus juga berkicau

penderitaan lampau tak dirasa

ditelan ombak sahara

metamorfosa kemiskinan



CERPEN



Motor butut kolektor



Suara mesin terdengar sangat jelas di telingaku. Suara yang selalu kudengar setiap hari. Suara yang mungkin dapat memekakkan telingaku. Tapi, suara inilah yang memberiku makan setiap hari.

Motor butut di hadapanku ini sudah entah berapa kali diperbaiki di tempat ku bekerja sebagai montir, bengkel Adinda. Pemiliknya tak pernah bosan memasukkan motornya ke bengkel ini. Sebenarnya motor butut ini sudah waktunya diganti dengan yang baru.

Kulihat motor itu dengan saksama. Kira-kira aku harus mulai memperbaikinya dari mana. Tapi, kali ini aku harus benar-benar angkat tangan. Semua bagian motor itu sudah rusak. Tak ada harapan si pemilik motor dapat mengendarainya lagi.

“Ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Semua bagiannya sudah rusak. Tak ada harapan.” akhirnya aku mengatakan yang sejujurnya pada si pemilik motor. Sebenarnya aku tidak tega juga melihat ekspresi sedih di wajahnya.

Kulihat mata si pemilik motor itu berkaca-kaca. Dulu, si pemilik motor itu pernah bercerita bahwa motor bututnya itu adalah peninggalan almarhum ayahnya yang meninggal 30 tahun yang lalu. Saat itu ia masih berumur 10 tahun. Saat itu ayahnya mempunyai uang dari hasil kerja kerasnya bekerja sebagai buruh pabrik rendahan. Keinginannya mengajak anaknya (yang sangat ingin naik motor sampai terbawa mimpi) jalan-jalan dengan menggunakan motor membuatnya tergerak membeli motor butut tahun 60-an. Tapi, saat sedang dalam perjalanan pulang dari pabrik dengan mengendarai motor butut itu, ayah si pemilik motor itu kecelakaan dan merenggut nyawanya. Motor butut itulah satu-satunya peninggalan ayah si pemilik motor itu padanya. Oleh sebab itu, tak heran kalau pemilik motor itu sangat sedih mengetahui keadaan motornya yang sudah tidak bisa digunakan lagi.

Dengan langkah gontai, kulihat pemilik motor itu pergi meninggalkan bengkel tanpa membawa motornya ikut serta.

“Hei pak. Motornya kenapa nggak dibawa?” teriakku memanggil si pemilik motor yang sudah pergi meninggalkan bengkel.

“Sudah. Buat kamu saja.” jawabnya sambil menaiki angkot yang baru saja lewat di depannya.

Aku berusaha mengejar, tapi angkot itu tak dapat kutandingi. Sepertinya angkot itu sedang balapan dengan angkot berjalur dan bernomor sama di sampingnya. Tak ayal, 2 angkot itu saling kejar-kejaran dan berjalan sangat cepat.

Aku kembali berjalan ke bengkel. Kupandangi motor butut di hadapanku. Apa yang hendak kulakukan dengan motor ini? Sebenarnya tekstur motor ini tidak begitu jelek, unik malah. Motor ini cukup antik kalau dijual pada kolektor barang antik. Ah ya, aku jual saja motor ini pada kolektor motor antik. Tapi, apa dia mau membeli motor butut yang sudah tidak bisa digunakan ini? Ah, kucoba sajalah.



***



Akhirnya setelah pulang bekerja dari bengkel, aku memutuskan untuk pergi ke rumah kolektor motor antik dan menawarkan motor butut milik konsumen motor tadi. Tapi, aku tidak membawa motor itu ikut seta karena aku kan naik sepeda butut milikku, mana mungkin aku membawa motor butut itu.

Rumah mewah milik si kolektor telah ada di hadapanku. Segera kumasuki rumah itu setelah meminta izin dan berbincang-bincang sebentar dengan satpam rumah itu.

Agak lama juga aku menunggu pintu rumah mewah itu di buka. Aku melihat si pemilik motor butut di bengkel tadilah yang membukakan pintu. Karena heran, aku segera bertanya padanya,

“Kok bapak ada di sini? Bukannya ini rumah kolektor motor antik?” tanyaku pada sosok di hadapanku.

“Sayalah kolektornya. Ada apa kamu ke sini?” si pemilik motor (yang ternyata kolektor) itu dengan tegas balik bertanya padaku.

“Oh, ya ampun. Maafkan saya. Sebenarnya saya ke sini tadi berniat menjual motor yang bapak tinggalkan di bengkel tadi. Maafkan saya lancang.” jawabku dengan sedikit menundukkan kepala. Aku takut kalau kolektor itu marah padaku karena telah lancang berniat menjual motor peninggalan ayahnya.

“Tidak apa-apa. Motor itu sekarang milikmu. Hak kamu mau menjual motor itu atau tidak. Sebenarnya tadi saat di bengkel, saya menangis bahagia. Ayah saya dulu berpesan, kalau sudah rusak, motor itu boleh saya berikan pada orang lain. Karena walaupun sudah rusak, motor itu memiliki nilai jual yang tinggi.” Kata si kolektor itu dengan sabar sambil mempersilakanku memasuki ruang tamu rumahnya yang mewah.

“Kalau motor itu memiliki nilai jual yang tinggi, kenapa bapak tidak menjual atau mengoleksinya saja? Kenapa bapak malah memberikannya pada saya?” tanyaku antusias sambil menduduki sofanya yang empuk.

Dia tersenyum. “Justru karena motor itu memiliki nilai jual yang tinggilah makanya saya memberikannya padamu. Saya kan kolektor, masa saya menjual motor, seharusnya saya membeli motor. Lagipula ayah saya dulu juga pernah berpesan, kalau sudah rusak, motor itu bukan milik saya lagi. Saya harus memberikannya pada orang yang saya percayai untuk memiliki dan menjaga motor itu. Dan saya percaya padamu. Kamu kan montir, kamu pasti bisa menjaganya. Nah, mungkin pengetahuanmu pada motor masih kurang. Motor itu masih bisa diperbaiki. Kita juga bisa memodifikasinya agar lebih tampak menarik. Ayo.” Jelasnya. Ia mengajakku ke taman belakang rumahnya yang dipenuhi motor antik berbagai jenis dan model. Motor-motor itu terlihat menarik dengan modifikasi yang apik tanpa meninggalkan kesan vintage atau antik. Ajaibnya, sebenarnya motor-motor itu sudah rusak, tapi berkat ketelatenan anak buah si kolektor ini, motor-motor itu masih bisa digunakan.



***



Beberapa hari kemudian…

Motor butut di bengkel Adinda milik kolektor yang sekarang sudah menjadi milikku itu tampak menarik sekali. Saat aku ke rumah kolektor itu beberapa hari yang lalu, si kolektor mengajakku ke taman belakang rumahnya yang dipenuhi motor antik. Lalu, keesokan harinya ia menyuruh asistennya menjemput motor butut milikku ke rumahnya. Ia bersama anak buahnya memperbaiki dan memodifikasi motorku hingga motor itu bisa digunakan lagi dan tampak menarik dengan gaya vintage tahun 80-an.

Sekarang, aku telah siap membawa motor antikku ke jalanan dengan bangga. Berkat kolektor motor antik itu, kini aku memiliki motor bernilai jual tinggi.



BIODATA PENULIS

Nina Khibrani Pasaribu (Dinda), saat ini duduk di bangku kelas X di SMA Negeri 4 Medan. Lahir di Medan, tanggal 4 Januari 1996. Kebiasaan menulis sudah lama ditekuni, sejak kelas 4 Sekolah Dasar. Karya dalam bentuk puisi maupun cerpen sudah dimuat di harian Waspada. Kebiasaan membaca dan menulis merupakan kegiatan yang sering dilakukan di rumah bersama mama (Herni Fauziah) dan ayah (Imran Pasaribu) serta kakak-kakak (Nirma Herfina Pasaribu, Tiana Aurora Pasaribu) yang karyanya juga pernah dimuat di harian Waspada. Karya yang dikirim ini merupakan sebagian karya-karya yang sudah dimuat di harian Waspada. Terima kasih.



Salam Sastra,

Nina

No comments: