Tuesday 11 January 2011

Ragdi F. Daye

Taman Imajinasi Bernama Fiksi



Judul : Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian;

Cerpen Kompas Pilihan 2009

Penyunting : Ninuk M. Pambudy

Penerbit : Kompas, 2010

Tebal : xxxviii + 178 halaman

Peresensi : Ade Efdira







Hari Minggu, adalah hari yang melegakan bagi kalangan yang selama sepekan terkungkung oleh rutinitas. Hari Minggu dapat dimanfaatkan untuk penyegaran, istirahat, atau bercengkrama bersama keluarga. Hari libur itu dapat digunakan untuk bersantai di rumah, pergi wisata ke luar kota, atau bermain ke taman bersama anak-anak. Taman memang meriah di hari Minggu, seperti juga koran, pada hari Minggu, koran tak cuma menghidangkan berita yang kadang menaikkan tingkat stres, tapi juga dihiasai rubrik-rubrik menghibur, seperti aneka feature, hobi dan konsultasi, artikel kesehatan, humor, serta cerpen.

Cerpen, di tengah kompleksitas dunia yang penuh sesak, kehadirannya seperti taman kota di hari Minggu bagi koran harian. Setelah sepekan penuh dengan berita-berita yang berat, cerpen hadir memberi sedikit ruang relaks dengan fiksinya. Memang, kehadiran cerpen menyimpang dari prinsip koran yang memberikan informasi akurat dan faktual. Cerpen bersifat fiktif. Namun, kefiktifan itu menjadi refleksi atas informasi-informasi lugas yang dihantarkan berita. Berita menawarkan fakta untuk memperkaya pengetahuan, sedangkan cerpen atau fiksi menjanjikan pembebasan imajinasi bagi kepuasan jiwa.

Seperti dalam cerpen terbaik buku kumpulan ini, Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian (PSHAIR) yang ditulis oleh seorang arsitek bernama Avianti Armand, imajinasi mendapat ruang kebebasannya. Tema yang diangkat cerpen ini sebenarnya sudah sering muncul dalam berita-berita mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Ada perseteruan ayah dan ibu yang mengorbankan kehidupan seorang anak. Di dalam berita telah sering kita temukan seorang istri menggorok suami, seorang suami memancung istri, seorang anak menggergaji ayah, seorang ayah memperkosa anak, atau seorang anak memutilasi ibunya. Berita-berita itu membuat kita bergidik dan mual ingin muntah. Namun dalam cerpen PSHAIR ini, ketika keinginan membunuh dan peristiwa balas dendam bergulat dengan riuh dalam imajinasi, kita mungkin jadi bisa menerima sikap seorang anak yang menancapkan pisau ke dada ayah yang selalu menyiksa ibunya.

Cerita itu hanya fiksi, hanya khayalan, bohong-bohongan. Sama halnya dengan pikiran liar kita yang berkecamuk dalam kepala; menghantamkan porselen ke kepala bos yang selalu mengintimidasi, menyumpalkan sendal ke mulut teman kerja yang suka cari muka, atau meloncat terbang dari jendela bak peterpan ketika mendapat salam mesra dari kekasih. Hanya imajinasi yang tak perlu dibuktikan kebenarannya. Namun, ketika imajinasi itu melintas dan raib tak berbekas, kita merasakan sedikit kelegaan, ada beban yang lepas meninggalkan rasa lapang seperti usai buang air besar.

Cerpen-cerpen—setidaknya beberapa buah—dalam kumpulan ini menawarkan pembebasan semacam itu. Jiwa yang sudah sumpek dibelenggu rutinitas yang bikin mumet, mendapat sedikit intermezo. Cerpen-cerpen itu tentu saja tidak serta merta berhasil mengesampingkan berita yang menyodorkan fakta, karena meskipun cerpen memainkan imajinasi, kenyataannya, fakta-fakta di masa ini begitu dahsyat, tidak terbayangkan, bahkan lebih tidak masuk akal dibanding fiksi paling ganjil. Sehingga ada sejumlah pengarang yang melontarkan pertanyaan bingung, apa lagi yang bisa ditulis cerpenis apabila fakta sudah sebegitu gila?

Kelebatan-kelebatan imajinasi dalam cerpen menjadi pori-pori yang membawa napas segar. Ada letupan kepedihan ibu dan anak dalam rumah yang penuh siksa, ada suami-istri kota besar yang mendapatkan obat kebekuan di kampung pelosok, ada seorang gadis yang menguliti kepala kucing untuk dijadikan hidangan spesial, ada senja berlumur darah di sebuah taman yang romantis, ada seorang istri brahmana yang menyiapkan kamar pengantin untuk suaminya yang dipaksa menikah lagi agar bisa jadi pendeta, dan ada tentang caleg yang membuat ‘ayat keempat’ agar bisa menjual tanah ulayat. Peristiwa-peristiwa unik itu seperti pecahan kemungkinan dalam fakta yang dapat tumbuh subur dalam cerita.

Cerita-cerita itu kemudian menjadi sebuah taman kecil. Kita dapat menghirup hawa getir atau riang ketika duduk di bawah pohon-pohonnya. Kita dapat memandang warna sentimentil atau gundah di langitnya. Kita dapat merasakan tegar pengorbanan, lincah kelicikan, atau sentakan kemarahan yang menari-nari di sana. Kita akan merasa miris, sedih, haru, atau geram. Jiwa kita tersentuh. Taman kecil itu adalah buku ini, kumpulan Cerpen Kompas Pilihan 2009.[]



>> surat kabar Haluan, Minggu 9 Januari 2011

No comments: