Wednesday 30 January 2008

Ulasan Aldian Aripin

Salah Cetak dan Salah UcapOleh: Aldian AripinGunawan Mohammad, dalam salah satu eseinya berkata, “Musuh seorang penyair bukanlah kritikus, melainkan salah cetak.” Tentu yang dimaksud apabila puisi itu disiarkan melalui media cetak. Akan halnya jika disampaikan secara lisan, musuh utama adalah salah ucap. Memang satu huruf pun dapat mengubah pengertian. Rambutnya telah putih bagaikan perak, akan jadi lain apa bila huruf p dalam kata perak jika keliru menjadi b. Oleh karena itu jika menyiarkan puisi secara cetak, usahakan agar tercapai zero errata atau tanpa kesalahan satu huruf pun. Lain halnya kalau cerita pendek atau esei, apa bila konteksnya masih nyambung maka pengertiannya dapat ditangkap.Suatu kali saya saksikan di televisi seorang petinggi sebuah partai mengucapkan belasungkawa karena bencana yang merenggut telah banyak nyawa. “Inna lillahi wa inna lillahi roji’un,” katanya, atau lagi pada hari raya dikatakan “Minal a’izin wal fa’izin.” Makanya kalau tidak dapat menguasai bahasa asing lebih baik diucapkan dalam bahasa sendiri saja. Petinggi partai yang lain berkata, “Pertemuan Golkar dan PDIP di Medan dan Palembang telah mendapat beragam interprestasi dari berbagai pihak,” yang maksud beroleh macam-macam tanggapan. Kalau hal semacam itu diucapkan di depan sejumlah orang dalam ruangan tertutup tentulah akan lain, tetapi ucapan itu disiarluaskan melalui televisi. Ada sejumlah kata-kata yang selalu salah pemakaian atau ucapan. Kata nuansa telah didaulat menjadi suasana. Padahal artinya aslinya ialah suatu perbedaan yang tipis. Kata frustrasi telah berubah menjadi frustasi. Jika kita jeli menyimak, maka akan didapatkan lagi kata atau kata-kata yang serupa itu. Kata integrasi disebut sebagai intergrasi!Kutipan-kutipan di atas adalah sebagai pengantar untuk menjenguk sebuah buku kumpulan puisi ‘Medan Puisi’, yang terbit sempena pesta penyair pada akhir Mei yang lalu, diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, dan diselenggarakan oleh ‘Laboratorium Sastra Medan’ dengan Afrion, Antilan Purba dan M Yunus Rangkuti sebagai editor. Di sini saya tak bermaksud membicarakan isi buku tersebut karena satu dan lain hal. Yang ingin saya soroti adalah kecerobohan penyelenggara yang tidak korektif, hingga banyak terdapat salah cetak juga salah pengertian. Dalam Kata Pengantar saja kita telah disuguhi kata indentifikasi sampai dua kali, sedang yang dimaksud adalah identifikasi atau pencitraan terhadap puisi mutakhir. Baru beberapa halaman saya buka, terdapat sajak Antilan yang berjudul Di Atas Kehidupan terdapat kata “bermaka suci” mungkin maksudnya bermakna suci. Dalam sajak yang sama terdapat kata “kepasraan”, barangkali maksudnya kepasrahan. Dalam sajak Ali Yusran berjudul Gelagat Laut terdapat kata-kata “daan”, “saksaiakan”, “ketikak”, “blepas”. Dalam sajak Elidawani Lubis bertajuk Suaka Kita Sama ada kata “penyanggal” sedang dalam sajak Datanglah Esok Malam Tuhan terdapat kata “malikat”.Saya baru sampai pada halaman 25 dari 313 muka buku yang dicetak mulus, tiba-tiba jadi muak dan tak berselera meneruskan membaca. Tapi saya paksakan juga walau hanya membalik-balik dan sekilas melihat sajak-sajak yang termuat. Maka sampailah saya pada halaman 41 terbaca sajak Torsa Ni Namora Pande Bosi dari M Raudah Jambak. Judul yang berbahasa Mandailing tidak dijelaskan pada catatan kaki hingga saya tidak paham artinya. Di dalamnya terdapat pula kalimat “oi, sahala na mar tondi, oi tondi na mar sahala, oi begun na mar sahala dohot na mar tondi” (begun mungkin maksudnya begu, hantu). Mar dalam bahasa lokal adalah awalan yang setara dengan ber dalam bahasa Indonesia, maka selayaknya ia bersatu dengan kata berikutnya. Jadi bukan mar sahala, atau mar tondi, tapi marsahala ataupun martondi. Keinginan Raudah menuliskan sajak itu mungkin didorong agar dikatakan sajaknya mempunyai warna lokal sebagai anak Sumatera Utara. Ia menuliskan cerita tentang Namora Pande Bosi, seorang tentara Bugis yang karena kalah berperang dengan Portugis di Selat Malaka, tak dapat pulang ke Sulawesi karena selat itu telah diblokir armada Portogis, maka ia mencari jalan ke Barus di pantai barat, karena di situ ia mungkin mendapat tumpangan kapal yang akan berlayar ke timur. Waktu itu, Barus adalah pelabuhan samudera tempat berlabuh kapal dari seluruh mancanegara. Dalam pengembaraannya menuju Barus itulah ia singgah di Sigalangan dan menginap di rumah seorang warga bermarga Dalimunte. Ketika mereka bercakap-cakap tentang siapa dan bagai mana si Pande Bosi itu sampai ke Sigalangan, maka terungkap bahwa ia menelusuri sungai ke hulu hingga akhirnya sampai ke sana. Ketika ditanya apa kepandaian khusus yang dimilikinya, ternyata ia bertugas sebagai tukang besi yang membuat senjata seperti pedang, keris, badik dan sebagainya. Si tuan rumah menawarinya untuk mukim di kampung itu sambil membuat alat-alat pertanian seperti parang, sabit, cangkul untuk membantu warga di sana. Pande Bosi setuju bermukim dan bekerja untuk membantu petani. Kemudian marga Dalimunte itu memberinya adik perempuannya untuk dinikahi serta sebidang tanah untuk lahan pertanian. Dari boru Dalimunte ini yang bernama Layan Bulan (seperti terdapat dalam sajak) lahirlah si kembar Sutan Borayun dan Sutan Bugis yang kelak menurunkan marga Lubis. Kemudian Pande Bosi kawin lagi dengan boru Harahap yang dalam riwayat digambarkan sebagai putri bunian suatu simbolisasi dari istri na ditabunihon atau istri simpanan yang disembunyikan, kelak melahirkan Si Baitang dan Si Langkitang, juga kembar. (Bukan si Baiting seperti dalam sajak).Kemudian saya teruskan membalik- balik lembar demi lembar. Urutan penyair dalam satu daerah disusun acak, walaupun diusahakan alfabetis, tapi karena editor tidak faham mana yang harus didahulukan maka susunannya tidak alfabetis lexikografis. (Maklum tidak profesional!) Sajak berikutnya yang menjadi perhatian saya adalah yang ditulis oleh Muhammad Muhar. Sajaknya berjudul Kempuhunan. Arti kata yang berasal dari Melayu Sumatera Timur ini, juga dimaksudkan untuk menunjukkan warna lokal. Terdapat catatan kaki makna kata itu sangat kepingin. Sajak itu ditutup dengan kalimat: “oh Mak oi / aku kini kempuhan”Sesudah itu saya benar-benar neg, lalu menutup buku tersebut.Medan, 9 Agustus 2007

2 comments:

OMONG-OMONG SASTRA said...

sastra memang menganut asas licenciapoetika, tapi terkadang salah ucappun bakal menimbulkan penafsiran-penafsiran baru

Ezra Dalimunthe said...

Benar. Karena itu bila mengucapkan "Rambutnya telah putih bagaikan perak" menjadi "Rambutnya telah putih bagaikan berak", penafsiran yang negatif pun muncul.