Thursday, 12 November 2009

Sajak-sajak Esha Tegar Putra, Koran Kompas, Minggu, 12 April 2009

Seretan Suara

suara siapakah yang menyeretmu hingga tergelepar di tepian pesisir

dengungnya tak seperti bunyi lebah, gaungnya tak seperti desiran angin

yang beradu kian-kemari di punggung lembah. suara siapakah

yang telah menelantarkan tubuhmu hingga tak sanggup lagi merapal

isyarat kerang pecah, tak sanggup membau amisnya lendir ikan

dan seperti menemu lubang dalam, kau tak sanggup menyuarakan

sakit pada badan yang diregang oleh jarak. di tepian pesisir tanganmu

digelipatkan, dan di lain jarak (mungkin di tengah laut) kakimu

diapungkan. seakan dijadikan umpan bagi ikan-ikan bergigi tajam

suara siapakah itu, yang menghelamu jadi makhluk pendiam yang

tak sanggup mengusap jejak pasir yang melekat di kening beningmu

Kandangpadati, 2009

Pohon Agung

1

kuamati sebatang tubuhmu

seperti mengamati sebatang pohon agung

di hari yang mendung

bola matamu kelihatan cekung

seakan menenung dan menghisapku

ke dalam tempurung yang mengapung

rambut yang terjalin dan berpilin

membayangkanku akan sumbulan akar

sehabis menusuk bebatuan lapuk dengan garangnya

dan di rengkah bibirmu itu

kayu-kayu belah di kemarau yang tak sudah

kemarau yang tak memberi pertukaran pada warna sungai

punggungmu entah berwarna apa

terlihat belang-belang dengan serat menebal

seperti bekas batang terpanggang

2

tubuhmu yang sebatang pohon agung

dengan buah lebat yang begitu nikmat dulunya

sering kali aku salah duga memaknai itu. ingatanku tak cukup kuat

menerjemahkan isyarat yang kau buat di kali kesekian hujan merambat

di suatu ketika aku hanya bisa berharap

tubuhmu yang sebatang pohon agung

dijadikan tempat bergelantung. dan akan melambungkan

keinginan beburung; mengarung langit lapang yang kini murung

cuma di kerisik daun jatuh

(barangkali itu tangismu turun) dapat kusaksikan

persetubuhan nikmatmu dengan badan angin. semacam

permainan, dan hanya lenguh burukmu yang bisa kutangkap

3

aku ingin mendekat dengan penuh harap

lalu mendekap tubuhmu yang sebatang pohon agung

sembari merapal doa-doa lama yang temurun diajarkan para tetua

agar senantiasa kau bisa memahami kesakitanku, kesakitan penebang

pohon rimba—sesekali aku merupa penggetah burung

siasat apakah yang bisa merubuhkanmu

sebatang pohon agung dalam mendung

aku begitu takjub pada tangkai dan surai lebatmu

yang mengucurkan getah mentah. harapku berjaga di antara patahan

ranting, di antara runtuhan lapuk dan terbangan gabukmu

4

agar di hari yang mendung

ketuban awan segera pecah dan tempias air dapat

berburu di kedudukan tanah

hingga tubuhmu, oh, yang sebatang pohon agung

menjadi pertanda dimulainya musim berpinak

bagi sepasukan semak

Kandangpadati, 2009

No comments: