Yang Lebih Mencemaskan dari Bencana Gempa PDF Print E-mail
Written by Hasan Aspahani
Oct 18, 2006 at 03:57 PM
ADAKAH yang lebih mencemaskan daripada bencana gempa yang makan korban ribuan jiwa manusia? Joko Pinurbo, penyair yang menetap di Yogyakarta, yang juga korban gempa itu, dalam sajaknya "Surat Dari Yogya" (Antologi Puisi Yogya 5,9 Skala Richter, Penerbit Bentang, Komunitas Sastra Indonesia, PDS HB Jassin, dan PT Exelcomindo Pratama Tbk (XL)) mencemaskan Syamsul, "kekasih kita" itu.
Syamsul adalah tokoh dalam sajak yang disebut oleh penyairnya sebagai "sajak darurat". Syamsul dalam sajak itu adalah seorang tukang becak. Syamsul masih bisa tertawa di malam terakhir sebelum menghilang. Artinya dia masih bisa bergembira karena masih sempat membawa turis melihat korban gempa lainnya. Rumahnya juga porak poranda. Lihatlah, betapa banyak alasan untuk cemas. Kecenderungan untuk menjual segalanya atas nama perturisan telah pula dianut dan dilakoni oleh seorang Syamsul. Si korban yang menjadikan korban lain sebagai obyek wisata, jadi tontonan turis. Ah. Syamsul toh cuma orang biasa, cuma tukang becak yang mengikut saja arus besar di kotanya.
Syamsul, kekasih kita, tiba-tiba raib entah kemana.
Pada malam terakhir ia terlihat masih tertawa
bersama Saut. temannya minum bir dan bercanda.
Bahkan ia sempat mengantar sepasang turis
melihat-lihat korban gempa.
Setelah itu ia tinggalkan begitu saja becaknya
di depan rumahnya yang porak poranda.
Mental pedagang - yang melihat segalanya sebagai komoditi dan pasar - sedang meraja, meratu, mematih dan memanglima sekalian. Kota - tak hanya Yogya - akan menjelma jadi plaza raksasa. Ini hiperbola, tentu saja. Perubahan ke arah komersialisasi yang membawa banyak perubahan lain, banyak yang akan terasa baru, dan segala yang lama akan tinggal cerita, mungkin. Tetapi langkah lekas perubahan itu tidak selalu dapat dijajari oleh kaki-kaki kecil orang-orang kecil kaum Syamsul. Kaum yang gagap berubah, yang pasrah, yang akhirnya hanya bisa menganggap seakan hidup susah adalah berkah.
Bait kedua hampir separuhnya berisi kecemasan penyair dan baru di dua baris terakhir, bangunan keutuhan puisi dikembalikan lagi kepada sosok Syamsul yang disebut di awal baris bait pertama. Dikembalikan pada sarungnya yang berkibar-kibar di depan rumah. Sarung yang berkibar memang telah menjadi "milik" Joko Pinurbo. Kata sarung dalam banyak sajaknya telah menjadi metafora yang komplek dan sangat efektif sebagai salah satu jalan bagi penyair untuk menerakan semacam tanda tangannya pada sajak-sajaknya. Salah satu saja. Karena bak pesilat tangguh, Joko Pinurbo telah memiliki dan menciptakan banyak jurus persajakan baru. Ibarat pendekar ulung, dari suara tarikan nafasajaknya saja, orang sudah tahu dia adalah bukan sembarang pesilat.
Kotamu nanti bakal menjelma plaza raksasa.
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita
dan kita tak punya waktu untuk berduka
Banyak yang terasa musnah, atau barangkali
kita saja yang gagap untuk berubah,
seakan hidup miskin adalah berkah.
Entahlah. Aku hanya lihat samar-samar
sarung Syamsul berkibar-kibar di depan rumah.
Dan sajak adalah karya fiksi. Banyak penulis sajak pemula melupakan ini. Fiksi tidak melulu mengandalkan apa yang terasa - walau sajak memang harus berperasaan, tidak melulu luapan emosi - walau sajak harus beremosi dan membangkitkan emosi, tetapi juga memberi tempat pada apa yang dikhayalkan, dengan kata lain juga pada imajinasi. Adegan pada bait terakhir ini tidak akan lahir bila si penyair tidak memainkan imajinasi. Becak Syamsul datang ke rumah si aku. Becak itu diorangkan. Becak itu dibayangkan bicara seperti orang, bertanya kemanakah Mas Syamsul, tuannya itu.
Si Aku kepada si becak mengatakan bahwa Syamsul telah berubah jadi nama sebuah Kafe, lagi-lagi sebuah satire yang dahsyat. Sebuah sindiran yang hebat. Sebuah hiperbola yang tepat. Ketimbang menyebut Syamsul bekerja di kafe -- kafe lambang perubahan kota itu dan salah satu wahana ekonomi kota yang menggerus keberadaan kedai kopi tradisional atau paling tidak menyaingi dengan posisi menang duluan -- penyair menyebutkan Syamsul berubah jadi nama sebuah kafe.
Dan, ah, si aku, penyair yang mestinya berada pada barisan terakhir yang menjaga kecemasan atas perubahan tak tertahankan itu, pun telah berubah menjadi pemandu wisata. Becak itu pun tak dikenalnya lagi, dikiranya turis juga dan diajak pula berkunjung ke kafe baru bernama: Syamsul.
Suatu malam becak Syamsul datang ke rumahku:
"Apakah Mas Syamsul ada di sini?"
Kubetulkan celanaku, kurapikan sajak-sajakku:
"Syamsul masih ada. Ia tidak ke mana-mana.
Syamsul sudah menjadi nama sebuah kafe
yang baru saja dibuka. Maukah kau kuajak kesana?"
*Hasan Aspahani, penyair dan jurnalis, tinggal di Batam
Last Updated ( Oct 19, 2006 at 01:02 AM )
No comments:
Post a Comment