Tuesday, 24 June 2025
Mazmur di Tengah Kerusakan dan Kenangan
Mazmur di Tengah Kerusakan dan Kenangan
(I – Tanah yang Tidak Lagi Ramah) Raudah menulis: "Kami menanak air mata bersama nasi, karena langit terlalu pelit menurunkan hujan."
Chairil menjawab: "Aku ini binatang jalang! Dari kumpulannya terbuang." Dan kami tahu: Indonesia tidak hanya melahirkan puisi, tapi juga luka yang tak bisa ditulis dengan kata-kata biasa.
(II – Tubuh Perempuan dan Tubuh Negara) Di Haranggaol, tubuh perempuan menyimpan tanah dan tanah menyimpan sejarah yang tak pernah ditulis di buku pelajaran.
Di Jakarta, Chairil menulis tubuhnya sendiri sebagai medan perang waktu dan maut: "Aku mau hidup seribu tahun lagi!" Tapi Raudah diam. Ia tahu, umur panjang tak menjamin suara akan didengar.
(III – Ketika Kata-Kata Tak Lagi Diucapkan) Chairil menggempur bahasa, memaksanya menyatakan yang tak bisa dimengerti. Raudah menyulam bahasa agar luka tetap berbentuk dan bisa diwariskan diam-diam.
Mereka bertemu di bait yang tak selesai dibaca: antara dentum dan bisik, antara “aku” yang menggeram dan “kami” yang terus berdoa.
(IV – Negeri yang Tidak Sempat Pulang) Apakah Indonesia ini benar milik kita, bila suara paling lantang justru dijebloskan? Chairil menulis puisi dengan tinta amarah dan napas terputus, Raudah menulis puisi di sela sendok dan cucian piring, sambil membungkus kemerdekaan ke dalam kotak bekal anaknya.
(V – Akhir yang Tak Pernah Diakhiri) Puisi ini tidak akan selesai. Karena negeri ini belum selesai dengan dirinya sendiri. Chairil telah pergi dengan puisi yang tetap berdarah, Raudah tetap di sini dengan kata-kata yang lebih pelan tapi tak pernah kalah menggugat.
RJ
Subscribe to:
Posts (Atom)