Tuesday, 7 July 2015

Konser Musikalisasi Puisi Kolaborasi.....

Komunitas Seni Nan Tumpah bersama Komunitas Home Poetry (7 Keliling, Medan) dan Wing Sentot Irawan (Mataram) akan menggelar Konser Musikalisasi Puisi di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat (Sumbar), pada 14 Februari 2015.
“Konser musikalisasi puisi merupakan event konser musik yang masih jarang di Kota Padang dan sedang berusaha kami gencarkan kehadirannya,” kata salah seorang pendiri Komunitas Seni Nan Tumpah, Mahatma Muhammad di Padang, Kamis.
Menurut dia, pada tahun 2013, Komunitas Seni Nan Tumpah juga pernah bekerjasama dengan Sanggar Seni Dayung-dayung menggelar event ini di Teater Utama Taman Budaya Sumbar dan menjadi satu-satunya iven konser musikalisasi puisi di Padang sepanjang tahun 2013 hingga 2014.
“Acara kali ini diselenggarakan untuk mengisi kekosongan event konser musikalisasi puisi yang diusahakan hadir secara konsisten oleh Komunitas Seni Nan Tumpah,” tambah dia.
Kali ini, Komunitas Seni Nan Tumpah akan menghadirkan kelompok 7 Keliling, kelompok musik tradisi-modern yang menggeluti proses penciptaan musik alternatif termasuk musik teater/film, musik tari dan juga musikalisasi puisi.
Kelompok tersebut telah terlibat konser musikalisasi di sejumlah kota seperti Medan, Binjai dan Pekanbaru.
Kelompok 7 Keliling bersama Sanggar Rumput Hijau (SMAN 2 Binjai) telah melahirkan album musikalisasi puisi bertajuk “Melainkan”, dan juga merupakan pendamping kelompok musikalisasi puisi yang pernah beberapa kali meraih predikat juara Lomba Musikalisasi Puisi Nasional tingkat SMA.
Selain itu, juga akan ada Wing Sentot Irawan, seniman asal Lombok yang memaknai hidup dengan mengayuh sepeda dan berkampanye cinta lingkungan melalui teater dan musikalisasi puisi.
Hampir seluruh bagian Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara sudah dijelajahinya dengan sepeda sambil berorasi lingkungan melalui seni sastra dan teater.
Dia bersepeda sejak tahun 2006, usai memutuskan mundur dari pekerjaan yang sudah mapan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kelompok 7 Keliling dan Wing Sentot Irawan akan membawakan 13 (tiga belas) lagu musikalisasi puisi dan Komunitas Seni Nan Tumpah mengambil bagian 3 (tiga) lagu.
Panitia menetapkan harga tiket Rp15.000. Untuk mendapatkannya bisa hubungi kontak personal, Robi Kurnia (0898 2799 754) atau Thahirah Amatullah di BBM 7FB0AA11.
Atau bisa juga mention ke @KSNanTumpah dan inbox Facebook Komunitas Seni Nan Tumpah. [ant/it/foto:istimewa]

Sunday, 12 April 2015

GELANGGANG SAJAK : M. Raudah Jambak




SAMBAL TERASI

Pembantumu begitu gembira begitu sambal terasi asli buatannya kau lahap begitu saja. Padahal bau busuk yang enggan singgah dari mulut dan tanganmu membuat anak-anakmu kehilangan selera.

Sayang kau tak menyadari makna hakiki sebenarnya dari bau busuk dan pedasnya.


LOTUS

Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita
Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda
Yang terus membawa harumnya kemana-mana
Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan
Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan
Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita

Maka, setelah lotus lahir dari hati kita
Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak
Ruang maupun waktu yang berdetak
Sedegup jantung. Selalu berbinar
Seterang matahari, seindah bulan 


TERATAI MERAH

Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu
Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah,
Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka?


MAWAR MERAH

Dengan segenap keyakinan, aku bertandang
Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu
Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta

Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian
Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri
Gamang apakah itu yang dinamakan cinta

Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi,
Dengan setangkai mawar ini kita akan raup
Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna  


SYAIR SAJADAH

Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing
Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air.
Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar
Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil
Menghalau segala debar

Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku
Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh
Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api
Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat

Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan
Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu
Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba.
Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah
Syair-syair basah

Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku
Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil
Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf
Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga

Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan
Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah

KOMUNITAS HOME POETRY, 2012


SEBAB AKU PEREMPUAN

Gerai  rambutku
Binar mataku
Mancung hidungku
Tipis bibirku
Maka,
Membara kelelakianmu

Tunduk kepalaku
Terbungkus tubuhku
Terbata mulutku
Perlahan langkahku
Maka,
Surut perasaanmu

Selalu Hawa yang dipersalahkan
Ketika Adam mencicipi buah keabadian
Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan
Bibit huruhara persengketaan
Yang memabukkan

Selalu Cleopatra menjadi cibiran
Ketika lelaki harus menghunus senjata
Membunuh saudara sendiri
Demi sebuah pengakuan
Dan cinta

Selalu aku merelakan pengorbanan
Untuk sebuah ketidakpastian
Dari janjijanji bersayap cumbu
Bagi kumbang
Penghisap madu

Sebab aku perempuan
Maka, perasaanku
Kau permainkan
 

BUKAN KARENA, TETAPI

Bukan karena hiba
Dan tetes air mata
melukis pilu segala warna duka
Menggores di kanvas segala luka
penuh amarah yang memerah
atau pedih segala perih
memudarkan rona
memudarkan rasa

Bukan karena apatis
hingga hasrat harus teriris 
Meninggalkan catatan
Sebuah kenangan
Di buku harian
Pada halaman-halaman tertinggal

Tetapi, karena aku perempuan
Yang merawat segala cinta
Dan kasih sayang
Di hatimu

MEMBACA POTRET KARTINI

Membacamu adalah menerjemahkan makna
Alis yang bertengger di atas bening binar matamu
Yang mengisyaratkan cita-cita
Dan cinta

Membacamu adalah mencatat patahan
Pada sketsa hidungmu yang membaui
Aroma segar nurani
Murni

Membacamu adalah menafsirkan hakikat
Keperempuanan yang disalahartikan
Tentang kesamaan
Dan kesetaraan

M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. 


KISAH FIKSI DAN KISAH IMAJINATIF

M. Raudah Jambak


SAJAK SAYANG NA SIPUANG
tetabuh gonrang sipitu-pitu, pada mandiguri
tetabuh gonrang sidua-dua, pada mangililiki
kami gualkan
kami tarikan
untukmu kekasih hati
o, na sipuang, na sipuang
(onaha... i huda-hudai do namatei...)
engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih
engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang
melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan
melalui hembusan angin harapan diterbangkan
adakah lebih indah dari cinta seorang ibu
sejak kandungan harapan ditasbihkan
setelah lahir kasih mengalir seperti air
ketika dewasa menggudang segala cita
o, na sipuang, na sipuang
(sonaha...i toping-toping do namatei...)
ditalun-talun kisahmu tersiar
ditalun-talun kisahmu terkabar
di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy
di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i
adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu
tak sempat tasbihkan harapan
tak sempat mengalirkan kasih
tak sempat membaca cita-cita
o, na sipuang, na sipuang
kami tabuh gonrang
demi menjeput
segala riang
tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
kami gualkan
kami tarikan
untukmu kekasih hati
2013

Negeri Kepompong
kali ini dia tidak melahirkan kupu-kupu,
tetapi ular bersayap kupu-kupu.
kali ini dia tidak menghisap madu,
tetapi darah semanis madu-madu
kali ini dia tidak menghadirkan warna-warna,
tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam
2013

Bulan                                             

bulan
seperti belajar menata, tentang
bagaimana berselimut cahaya,
bagaimana mengintip dari balik jendela, atau
bagaimana bersembunyi di balik dedaunan muda
bulan
seperti belajar menata, tentang
keindahan seindah kerdipan mata
nyaman senyaman di antara bunga di taman
atau merebut hati pemuda-pemuda tampan
tapi, bulan
sampai sekarang belum faham tentang
kerinduan cahaya dan embun yang jatuh dari
ujung daun         

Pertemuan
jangan lagi atas nama cinta,
siapa yang berburu saat kegelisahan
sebenarnya lindap di perjamuan
maka sepotong daging apalah artinya,
dijajakan dan betapa lalat berhamburan
sepanjang temaram lantas di manakah perbedaan
selembar kain yang mewangi,
atau justru sepotong daging membusuk
padahal janji juga telah dibacakan,
telanjur batu lihatlah ketakutan
seperti mengiris jantung sendiri
                       
 Harap
 akankah kebusukan ini dipestakan
dengan umpatan dalam perhelatan agung,
berjubah kata atas nama
meski diam-diam pelacur pun bisa bertanya
sebenarnya lapar ditahtakan
demi kepentingan siapa,
namun jangankan kembali
bersujud membunga yang sungguh dirindu pesona
dan wanginya
bersedekap saja kita kerap enggan:
sebab nyatanya kembali bersujud,
katamu, menatap ada dusta!
* Juli 2011

  • Pendekatan Determinacy dalam Puisi
(Oleh: Shafwan Hadi Umry)
MENURUT teori otonomi semantik perbedaan makna tidak dapat diatasi, karena  makna bukanlah apa yang dikatakan penyair, tetapi "apa makna puisi itu bagi berbagai pembaca yang peka". Sebuah tafsiran dapat dipandang bahwa yang satu sama tepatnya dengan tafsiran yang lain, sepanjang tafsiran itu "peka" atau"masuk akal". 
Penafsiran atas puisi menimbulkan dua kutub yang berdiri pada posisi yang berbeda. Jika makna  terbaik bukan milik pengarang, maka makna itu pastilah milik kritikus, dan dalam hal ini sang kritikus adalah "penyair  makna terbaik". Bilamana  makna dikaitkan pada serangkaian kata-kata maka kita tidak mungkin melepaskan diri dari penyair sebagai pemilik puisi.

Perdebatan ini selalu muncul ketika kritikus/pengamat sedang membahas puisi-puisi sang penyair. Selalu timbul ketegangan, konflik dan kepentingan yakni kepentingan pengamat sebagai kritikus dan kepentingan penyair sebagai pemilik puisi.

Inilah "kekacauan" dalam teori yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu sering pengamat atau kritikus gamang untuk memasuki dunia otonom penyair yang menulis karya puisi. Kritikus dihadapkan pada persoalan makna tafsiran atas puisi.

Hirsh sang kritikus menawarkan apa yang disebut prinsip determinacy (Heraty, Hidup Matinya Seorang Pengarang, 2000:64).

Prinsip ini adalah kemampuan untuk memaknakan ulang yang memungkinkan kita, membuat penafsiran. Jika makna tidak dapat diulang kembali, maka ia tidak dapat diaktualkan orang lain dan karenanya tidak dapat dipahami atau ditafsirkan.

Determinacy adalah sifat dwi-makna yang diperlukan agar ada sesuatu yang dapat diwujudkan kembali. Ia mutlak diperlukan agar sesuatu makna dapat diteruskan pada orang lain. Memang, sebagian besar makna kata tidak persis dan kabur. Ia memiliki daerah perbatasan antara keambiguan (makna ganda)  dan ketunggalan.

Makna kata memiliki identitas diri pada kurun waktu yang berkaitan dengan sejarah atau waktu.

Dalam pembicaraan ini kita menampilkan beberapa puisi penyair (menurut pilihan dan pertimbangan tertentu).

Pertama, puisi karya penyair Sulaiman Djaya dari Banten (Mazmur Musim Sunyi, 2000). Simaklah kata-kata di bawah ini:

Bacalah dengan nama piring, gelas, sendok, dan buku-buku, juga sepotong kue bolu di antara baris-baris angka dan kalender tua. Di bawah Maret yang agak coklat dan sudut-sudut yang tak saling menyapa, benda-benda saling sibuk menghitung apa yang tak sempat kaubaca dalam diam mereka yang dungu dan bisu, bagai lembar-lembar sebuah fiksi kesukaanmu.

Kudengar gerimis berjingkat-jingkatan di sudut matamu, dan senja tiba-tiba telah berubah menjadi rumah-rumah yang tak satupun memiliki jendela.

Namun, kau masih sempat memandang beberapa ekor burung dan unggas yang melintas. juga tiang-tiang biru sebuah istana yang pernah kauceritakan.

Puisi penyair di atas benar-benar memadukan dunia realitas dan dunia mimpinya. Dunia keseharian seorang penyair yang bertemu dengan kebutuhan fisikal manusia yakni makan, minum bermain menikmati alam dan membaca. Bagi sang penyair alam dan kebiasaan adalah teman manusia setiap hari. Sesekali ia memimpikan sebuah istana suatu gambaran dunia kekuasaan.

Pada puisi yang berjudul "Monolog" ia mengakui dirinya untuk belajar menyimak berita yang tidak semuanya sesuai dengan fakta. Penyair menulis;

Saya tahu seorang penyair harus belajar
Menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku
Tapi di luar kalimat tak pernah terjadi apa-apa,
Di luar kalimat segalanya berubah kapan saja
Seperti cuaca.Namun tidak juga
Saya mesti menyimak semua berita
Yang semakin tak membuktikan apa-apa.

Pada puisi "Mantra dari Negeri Para Sultan" penyair melakukan referensi ke masa lalu. Kata-kata yang dipakai untuk membangun semacam "the time tunnel" sebuah lorong waktu masa lalu yang dicurahkan ke masa kini. Simaklah puisi yang di anggap terindah dalam kumpulan puisi ini.

Misalkan kau Bandar di kota tua, aku adalah seorang kapiten muda yang mencari sirih dan lada dari Banten dan kapur dari Barus. di atas bentangan layarku , langit menyisir rambutnya yang perawan. saat itu aku adalah Diogo de Couto yang berangkat dari Coromandel dan Calcutta. Sedangkan kau seorang putri Ong Tien dari Tiongkok yang terdampar di Teluk Karangantu saat hendak ke Tuban dan aros baya.

 Pada puisi "Cello Serenade" penyair  memahami puisi dengan cara berpuisi.

Biarkan puisi mencari takdirnya sendiri
Karena puisi tak cuma nukilan kata-kata
Bahkan bahasaku seumpama
Bulu-bulu yang lepas dari sayap

 Penyair kedua adalah Raudah Jambak asal kota Medan. Ada dua puisi yang sempat terekam dalam lembaran Budaya Analisa (18 Mei 2008).
 Puisi "Pada Kalender-kalender yang Tak Lagi Terbaca" penyair menuliskan kecemasan dan keresahannya tentang perpisahan masa lalu yang dimetaforakan pada kalender yang setiap bulan berganti dan akhirnya tertinggal dan mungkin terkoyak bersama kenangan. Kita baca ulang kembali puisi tersebut.

Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, aku susun catatan-catatan kita
Angin mengelus dingin ubun-ubunku
Bersama genangan airmata

Stasiun ini pun telah lama  tak lagi
menunggu janji setia, yang tertinggal
Hanya serpihan hati dari gores tangan
Berwarna derita

Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, rindu dendam telah lama buram
Mengenangmu, entah di mana berimba.

Stasiun sebagai terminal selalu menjadi inspirasi beberapa penyair untuk menangkap lanskap "terminal" suatu simbol perhentian sementara, suatu yang menawar janji untuk tidak setia.

Secara paradoks setiap waktu trem dan kereta api mengangkut manusia tetapi belum tentu mengangkut diri penyair, stasiun tetaplah sebuah penantian sementara kereta yang ditunggu tetap hadir mengangkut penumpang tetapi belum tentu kita penumpangnya.

Pada puisi "Tentang hujan daun dan kau" penyair ini berkata;
Sederas deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu, menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata menghapus jejak perjalanan

Di setiap titik peron-peron lengang
Baris-baris takdir menghadirkan bau amis
Meranting sepanjang jalanan bercabang
Dan daun-daun yang melayang rebah

Sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
Langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
Sepenuh tangis memeluk risau
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan…

 Ada tiga simbol yang dipakai penyair yakni hujan, daun dan kau. Simbol, hujan untuk menampilkan kedatangan rahmat Tuhan karena itu orang yang sadar tentang rahmat Tuhan akan bertahan penuh kesabaran.

Namun, tidak dengan daun, lambang takdir yang "meranting selama perjalanan hidup seseorang manusia" dan akhirnya gugur layu menunaikan takdirnya.

Suatu simbol awal kehidupan dan akhir kematian. Kemudian "kau" dipakai sebagai media dialog antara penyair dengan seseorang mungkin anak istri, murid atau teman-teman yang dianggap akrab dengan kehidupan penyair.

 Beberapa puisi yang ditulis oleh dua penyair pilihan bulan ini membuktikan bahwa pendekatan determinacy sebagai alternatif memahami dan menafsir puisi menurut kita adalah suatu makna dapat diteruskan pada orang lain.

Semua ini berdasarkan identitas diri kepenyairan. Oleh karena tanpa identitas diri komunikasi maupun ketepatan dalam tafsir tidak akan mungkin terjadi. 

PSBNS sebagai Jembatan Pemersatu Negara Serumpun

PADANGPANJANG--Perhimpunan Sastra Budaya Negara Serumpun (PSBNS) akhirnya dideklarasikan di Rumah Budaya Fadli Zon, Nagari Aie Angek Jl. Raya Padang Panjang-Bukittinggi KM 6, Sumatera Barat, disaksikan puluhan sastrawan dan budayawan Negara serumpun, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand, Kamis (21/11).
Ketua Umum PSBNS Fadli Zon, usai dikukuhkan Perwakilan pendiri PSBNS Datok RM. Jasni bersama pengurus lainnya, menyampaikan latar belakang berdirinya perhimpunan ini.
“Bahasa dan sastra sebagai produk kebudayaan adalah salah satu faktor yang dapat menjembatani pemahaman antar Negara dan bangsa. Melalui karya sastra yang ditulis oleh penulis dari masing-masing Negara serumpun, kita dapat pula mengenali budaya dan bahasa dari masing-masing Negara tersebut,” ujarnya.
Penulis yang berdarah Payakumbuh itu menambahkan, semua perubahan dan perbedaan yang tercipta karena batas-batas wilayah dan politik di masing-masing Negara serumpun itu perlu direkatkan kembali melalui pendekatan yang berbasis sastra-budaya.
“Berangkat dari kesadaran itulah, PSBNS ini didirikan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Eksekutif PSBNS Free Hearty mengatakan, untuk kedepannya PSBNS akan terus berupaya memperluas jaringan dengan merangkul penulis-penulis yang ada di setiap propinsi dalam negara serumpun.
“Kita akan terus berupaya memperluas jaringan, serta yang terpenting adalah upaya membangun pembaca, melalui program-progam yang d PSBNS,” ujar Free Hearty yang juga penggagas berdirinya PSBNS.
Adapun jajaran pengurus PSBNS yang dilantik siang itu di antaranya, Fadli Zon (Ketua Umum), Free Hearty (Ketua Eksekutif), Sastri Sunatri (Sekjen), Angelina Tahir (Bendahara I), Ariany Isnamurti (Bendahara II), dan Anwar Putra Bayu (Humas).
Selain itu, juga dikukuhkan ketua chapter untuk perwakilan masing-masing negara serumpun, yakni Prof. Dr. Brahim Tengah (Brunei Darussalam), Jasni Matlani (Malaysia), Anie Din (Singapura), Phousan Jehwae (Thailand), Alexandra Araujo Tilma (Timor Leste), dan Handoko F. Zainsam (Indonesia).
Untuk perwakilan dari tiap propinsi se Indonesia, juga dibentuk ketua-ketua club, yakni Khairul Jasmi (Sumatera Barat), Anwar Putra Bayu (Sumatera Selatan), Raudah Jambak (Sumatera Utara), Dhenok Kristianti (Bali), dan Mezra Pellondo (NTT).
Usai pelantikan, dilanjutkan dengan peluncuran buku antologi cerpen “Cerita Etnik 5 Negara” dan diskusi bersama Dr. Eva Krisna dan Harris Efendi Thahar. Besok, peserta PSBNS mengikuti tour ke Maninjau dan Bukittinggi untuk mengunjungi tempat bersejarah seperti Rumah Hamka, Rumah Nur Sutan Iskandar, Koto Gadang, Rumah Bung Hatta. (Yeni)

Generasi Baru Penyair Indonesia

MARHALIM ZAINI

SEBAGAIMANA buku-buku kumpulan puisi pilihan Riau Pos terdahulu, buku ini adalah juga berisi puisi-puisi yang telah dipilih, dari yang terpilih. Terpilih dari proses seleksi setiap minggu, untuk dimuat di halaman “Puisi”— yang sejak tengah Januari 2013, hadir satu halaman. Saya, yang dipercaya untuk menjadi redaktur tamu halaman ini, sejak saat itu, menerima ratusan puisi (bahkan mungkin ribuan) yang ditulis oleh ratusan penyair dari seluruh Indonesia, tentu termasuk Riau sendiri. Dalam satu halaman itu, saya muat dua penyair (komposisinya: Riau dan luar Riau), dengan jumlah puisi beragam, dan sebuah ruang kecil tempat saya menulis kolom ihwal puisi. Dengan begitu, bedanya dengan buku terdahulu adalah, bahwa buku kumpulan puisi kali ini tentu akan lebih tebal. Gagasan satu halaman ruang puisi ini, datang dari Bang Rida K Liamsi. Tentu, ini salah satu bukti semangat, rasa cinta, dan komitmennya untuk terus mengembangkan dunia puisi (sastra) di Indonesia, terlebih untuk Riau. Menyusul setelah sebelumnya gagasan deklarasi Hari Puisi Indonesia 2012. Selain Riau Pos, yang juga punya satu halaman puisi adalah Indopos (tiap hari Sabtu), Sutardji Calzoum Bachri redakturnya. Saya, belakangan, juga diminta oleh Bang Rida, ii Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2013 dan disetujui oleh Bang Tardji, untuk juga berbagi bahan diskusi ihwal puisi lewat kolom saya di Riau Pos, untuk juga dimuat di Indopos. Jujur, saya tentu senang. Senang diberi kepercayaan oleh dua penyair senior, senang karena tiap hari saya dapat kiriman puisi dari kawan-kawan penyair se-Indonesia, senang dapat membuat saya lebih intens dan kian tak bisa berpaling dari puisi, senang karena dapat tambahan masukan, juga terlebih senang karena puisi (masih) diberi tempat “terhormat.” Bagi saya (semoga Anda juga setuju), satu halaman puisi, di media massa umum, “mengalahkan” serbuan iklan, adalah satu hal yang luar biasa, sekaligus langka. Model komposisi pemuatan penyair Riau dan luar Riau tiap minggunya, sesungguhnya hendak memberi peluang lebih besar kepada para penyair (di) Riau, untuk bisa terus hadir tiap minggu di halaman puisi ini, untuk terus berdampingan dengan para penyair dari seluruh Indonesia. Hemat saya, kata “berdampingan” harus dilihat dari (setidaknya) dua hal—yang boleh jadi paradoks; berdampingan sebagai kawan, dan sekaligus berdampingan sebagai lawan. Sebagai kawan, halaman puisi ini bisa jadi ruang tegur-sapa, ruang berkenalan, ruang percakapan, ruang berbagi. Dan sebagai lawan, bisa menjadi ruang kompetisi, ruang untuk saling mencermati capaian-capaian estetis dan ideologis, saling “menakar” kelemahan-kelebihan, dan sekaligus bagi pembaca umum; dapat turut menilai mana yang “bagus’ mana yang “lemah,” mana yang “disukai” dan mana yang tidak. Maka, saya kira, demikian jugalah cara kita melihat puisi-puisi yang termaktub dalam buku ini. Saya berupaya menyertakan semua penyair yang pernah termuat di halaman puisi Riau Pos, dengan jumlah puisi yang beragam, demi untuk memperlihatkan sebuah lanskap perkembangan iii Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2013 perpuisian Indonesia mutakhir. Agaknya, bolehlah saya menyebutnya begitu. Sebab, dalam pengamatan saya, namanama penyair yang termuat di Riau Pos, adalah (sebagian besar) juga para penyair generasi “baru” yang puisi-puisinya juga termuat di media massa lain, di luar Riau. Tanpa “mengabaikan” nama-nama penyair yang lebih dulu berproses macam; Isbedy Stiawan ZS, Raudal Tanjung Banua, Agus Hernawan, Hasan Aspahani, Hang Kafrawi, dan beberapa nama lain, saya melihat kehadiran penyair generasi baru lebih mendominasi. Mereka seperti susul-menyusul, dengan semangat bergelora, hendak tampil dengan “percaya diri” sebagai penyair muda yang berbakat. Semangat ini, penting dicermati sebagai sebuah gejala “baru” dalam perkembangan sastra Indonesia—tak hanya dalam puisi tapi juga prosa. Perkembangan baru, yang bisa “menggembirakan” sekaligus bisa juga “mengkhawatirkan.” Ketika saya sedang menulis pengantar ini, seorang teman penyair menelpon. Karena sudah lama tak bertemu, ia mengajak berbincang ringan. Salah satunya, soal kekhawatiran itu. Dia menyitir dari seorang kritikus sastra, yang sempat berbincang dengannya. Sebuah pertanyaan yang menurut saya menarik adalah; “ke mana masa depan para “penyair muda” kita hari ini?” Pertanyaan itu muncul setelah ia menilai bahwa puisi-puisi penyair “generasi baru” kita seperti tak memiliki “pondasi.” Mereka seperti—meminjam kalimat kawan penyair saya itu—pemain tenis yang tidak memakai net pembatas. Maka yang saya bayangkan kemudian adalah para pemain tenis itu dapat dengan bebas memukul bola tanpa mempertimbangkan ketepatan arah dan kekuatan pukulan. Analogi lain, yang ia sitir juga adalah, “para penyair ini seperti seseorang yang bebas tanpa pernah sebelumnya mengalami penjara.” Itu kata kritikus. Tentu, tak sepenuhnya dapat diamini, v Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2013 sebelum ada kajian-kajian yang komprehensif soal itu. Artinya, membanjirnya karya sastra kita hari ini, tidak juga baik jika sekedar dibaca sepintas lalu, tanpa melakukan pembacaan yang mendalam. Akan tetapi, di lain pihak, penting juga bagi kita (terutama para penyair generasi baru) untuk tidak mengabaikan pertanyaan dan pernyataan kritikus itu. Gaya “puisi bebas” yang terus menggejala dan menjadi kecenderungan para penyair terkini, sedikit banyak dapat memberi pembenaran bahwa ada yang seolah “lepas” dari “kampung asal” kita. Meskipun, saya selalu percaya, bahwa tiap zaman membawa perangainya sendiri—sama halnya tiap puisi yang lahir juga membawa perangainya dan nasibnya sendiri. Buku puisi ini, pun, begitu. Penjara, di zaman Rendra, atau Chairil, tentu berbeda dengan “penjara” di zaman Irham Kusuma—salah seorang penyair muda berbakat (masih duduk di bangkku SMA) yang puisi-puisinya termuat dalam buku ini. Godaangodaan untuk menjadi yang seragam, adalah penjara di zaman ini. Godaan-godaan untuk berhenti menulis puisi (dan juga menulis kritik sastra) karena tuntutan ekonomi, adalah penjara yang paling “mematikan” di zaman kini, dan saya kira juga, di masa depan.***


Bedah antologi cerpen Tikar

Bedah antologi cerpen Tikar, Sabtu, 06 Desember 2014 kerjasama Fakutas Ilmu Budaya dengan Departemen Sastra Inggris FIB USU berlangsung sukses di Gedung Serba Guna FI. Antologi cerpen Tikar ini merupakan kumpulan cerpen yang ditulis 34 cerpenis Sumut dan diterbitkan oleh penerbit Laboratorium Sastra (Labsas), 2014. Beberapa penulisnya antara lain, Raudah Jambak, Afrion, Alda Muhsi, Azizah, Annisa dsb.
Adapun komentator yang hadir antara lain Dr Siti Norma Nasution MHum,   Drs Parlindungan Purba, MHum Can Dr, dan Dr Martha Pardede, Ms. Mereka sendiri merupakan dosen-dosen besar di Universitas Sumatera Utara (USU). Sebenarnya antologi cerpen Tikar merupakan proyek dari komunitas Omong Omong Sastra. Jadi sudah dipastikan beberapa anggota OOS juga hadir di acara ini. Seperti Mihar Harahap. Begitu pula dengan  Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang juga hadir sebagai undangan. Ada Idris Pasaribu, Juhendri Chaniago, Ria Sitorus, Rayona, Anggrek, Eva Riyanty  Lubis, dan Desi Merry Christy Sihite.

Salah seorang komentator Dr Siti Norma Nasution MHum pun membedah 3 cerpen yakni yang berjudul judul Darah, Ketika Danau Toba Menjadi Saksi dan Mak.

Beliau berpendapat kalau Darah merupakan cerpen yang bagus. Hanya saja diending ceritanya terlalu menjadi heroik. Sebab si tokoh utama yang seorang penjahit bendera merah putih, dan waktu itu dia telah kehabisan stok bendera merah, dia pun membuat warna merah dari darahnya sendiri. Sedangkan Ketika Danau Toba Menjadi Saksi, baginya pembaca mengharapkan adanya warna lokal (local colour) yang berhubungan dengan etnis Toba, bahasa Toba, adat dan kebiasaan, tradisi budaya, dsb. Dan itu tidak didapatkan di dalam cerpen ini. Sehingga judulnya tidak begitu cocok dengan isi.Cerpen Mak sendiri baginya merupakan cerpen yang bagus. Hanya saja memiliki kelemahan dimana tokoh Mak ini terlalu sering muncul dan tahu banyak hal.

Semua pihak yang hadir dalam bedah antologi tersebut berhahap semoga kelak penulis-penulis Sumut semakin berkembang dan menciptakan banyak karya khususnya yang bertema lokal. (eva Riyanty Lubis/ Zakiyah Rizki Sihombing)
Tembang Bukit Kapur (Soft Cover)

Ketersediaan:Stock tidak tersedia








Format
:Soft Cover
ISBN:9791394032
ISBN13:9789791394031
Tanggal Terbit:Januari 2008
Bahasa:Indonesia
Penerbit:Escaeva
Dimensi:135 mm x 205 mm



Deskripsi:
Cerpen-cerpen yang dimuat di dalam buku ini adalah yang terbaik dari antara ribuan naskah yang diikutsertakan dalam Ajang Kreasi Kumpulan Cerpen. 1. Taman Kanak-Kanak - Setiyo Bardono 2. Surat dari Rantau - Diah Pramudiastuti 3. Buku Harian Mimin - Titon Rahmawan 4. Kota lalu, Ibu - Pinto Anugrah 5. Kalibakar - Azizah Hefni 6. Rumah-Rumah yang Bersetubuh - Iggoy el Fitra 7. Aku Seorang Junkie Kasih Sayang - Bunga Mega 8. Menunggu Kabar - M. Raudah Jambak 9. Tembang Bukit Kapur - M. Badri 10. Lelaki Berwajah Ramah dan Lelaki yang Tak Ingin Kusebut Namanya -Wetry Febrina 11. Panggil Aku Joe - Nursalam AR 12. Sisi Lain - Hasyim Ashari 13. Gadis Pemimpi - Fenty Febriyanti 14. Mata Pisau - Indarpati 15. Kota Seribu Pohon - Harry Wahyudhy Utama 16. Buku Bersampul Coklat - Fenty Febriyanti 17. Yang Tak Pernah Tertidur - Ary Wibowo 18. Boneka Gajah yang Bisa Bertelur - Rama Safra'l Rachmat 19. Membunuh Ayah - Alimuddin 20. Megatruh - Titon Rahmawan

Para Panyair dalam “Narasi Tembuni” KSI Award

Salah satu bagian acara dalam Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Cisarua, Puncak, Jawa Barat, 23-25 Maret 2012 adalah penyerahan penghargaan KSI Award. Pemenang penghargaan itu adalah Iman Budhi Santosa dengan puisi berjudul Ziarah Tembuni.

Sementara empat karya yang masuk “puisi unggulan” adalah Ritus Pisau (Anwar Putra Bayu, Palembang), Dari Utsmani ke Tsunami (Dimas Arika Miharja, Jambi), Aku, Kembarbatu, dan Telago Rajo (Jumardi Putra, Jambi), dan “Di Tepi Benteng Somba Opu” (Hasta Indrayana, Yogyakarta).
Puisi-puisi itu dibukukan dalam antologi “Narasi Tembuni” bersama 95 puisi pilihan lainnya. Menurut panitia, puisi-puisi pemenang, unggulan dan pilihan yang masuk antologi itu disaring oleh tim juri dari 2.335 judul karya 447 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Tim jurinya adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Endo Senggono, Bambang Widiatmoko, Diah Hadaning, dan Mujizah.
Pemenangnya, menurut dewan juri dalam catatannya di buku antologi,berasal dari berbagai usia dan generasi yang berbeda, datang dari berbagai komunitas di berbagai penjuru nusantara. “Dengan demikian antologi puisi Narasi Tembuni ini cukup representatif sebagai cermin atau gambaran perkembanan perpuisian Indonesia terkini,” tulis dewan juri.
Memang, melihat biodata mereka di bagian akhir buku ini, akan terlihat betapa beragamnya peserta lomba puisi KSI Award ini. Di sana kita akan menemukan nama-nama seperti Damiri Mahmud (penyair Sumatea Utara kelahiran 1945), Iman Budhi Santoso (penyair Yogyakarta kelahiran 1948), Mustofa W. Hasyim (Yogyakarta, 1954), juga Dinullah Rayes (penyair Sumbawa kelahiran 1939).
Penyair termuda adalah Hakimah Rahmah Sari dari Sumatera Barat. Hakimah lahir di Saning Bakar pada 11 Januari 1994.
Berikut adalah nama-nama penyair yang puisinya masuk dalam antologi Narasi Tembuni:
1. A. Musabbih (Muara Sebuah Kota)
2. A. Ganjar Sudibyo (Tugu Seratus Ribu Tahun)
3. Ayat Khalili (Narasi Pulau)
4. Achmad Faqih Manfudz (Prambanan)
5. Ahmad Kekal Hamdani (Kolofon)
6. Alizar Tanjung (Malin Kundang di Pantai Air Manis)
7. Anwar Putra Bayu (Ritus Pesisir & Ritus Pisau)
8. Arif Fitra Kurniawan (Hikayat Sebungkus Tahu Gimbal)
9. Arif Hidayat (Yang Mengalir dalam Sungai Perahu)
10. Badrul Munir Chair (Selat Madura)
11. Beni Setia (Petaha)
12. Budhi Setyawan (Tua Tua Ibu Kota)
13. Budi Saputra (Rumah Gadang 1928)
14. Cahyadi Willy (Majalaya)
15. Cho Chro Tri Laksono (Wiji)
16. Damiri Mahmud (Aku Berlari-lari Mencari Serumpun Serai & Halakah Panggang)
17. Delvy Yendra (Bercakap-cakap dengan Sungai)
18. Dimas Arika Mihardja (Dari Ustmani ke Tsunami)
19. Dinullah Rayes (Sumbawa)
20. Dwi S. Wibowo (Kampung Nujuman)
21. Endang Supriyadi (Bogor)
22. Evi Idawati (Perempuan-perempuan Gerabah Kasongan &
Jejak di Nol Kilometer)
23. Evi Sefiani (Eyang Sakarembong)
24. F Rizal Alief (Madura, Sajakku Bergemuruh di Tubuhmu)
25. Faizal Syahreza (Montase Kota dari Doa)
26. Fakhrunnas MA Jabbar (Maka Berangkatlah Malam Lewat Bertabur Duri Rindu Ini & Legenda Riau)
27. Faridz Yusuf (Tamasya ke Rimba Melankolia)
28. Frans Ekodhanto Purba (Tiga Percakapan dari Danau Toba)
29. Hakimah Rahmah Sari (Solok-Padang & Goa Lawa)
30. Hasta Indrayana (Di Tepi Beneng Somba Opu)
31. Heri Maja Kelana (Menuju Cikapundung)
32. Hudan Nur (Kalideres Suatu Pagi)
33. Husen Arifin (Perahu Sigigir)
34. Idris Siregar (Berguru kepada Patimpus)
35. Iman Budhi Santosa (Ziarah Tanah Jawa dan Ziarah Tembuni)
36. Irwan Sofwan (Negeri Senja)
37. Jaka Satria (Di Kota Tua)
38. Jumardi Putra (Aku, Kembar Batu, dan Telagorajo & Balada Buyung Empelu)
39. Kiki Sulistyo (Kampung Nelayan Pondok Perasi)
40. Lukman Asya (Gunung Arca)
41. M. Taufan Musonip (Gapura Kota Mandiri)
42. M. Raudah Jambak (Gurindam Sepi Ompung Parturi & Pantun Wan Abun)
43. Mahdi Idris (Acehku ya Aceh)
44. Maulana Satrya Sinaga (Kampung Paling Ujung)
45. Muhlis Al-firmany (Sumur Kuning)
46. Mustofa W. Hasyim (Stasion Kota & Menteng Raya-Cikini Raya)
47. Nurochman Sudibyo YS (Reposisi Hujan)
48. Phaosan Jehwae (Wajah-wajah Patani)
49. Pringadi Abdi Surya (Semacam Tersien Kegalauan)
50. Rifat Khan (Berteduh di Sembalun)
51. Rikzam Mohammad (Fragmentasi Penciptaan)
52. Rini Febriani Hauri (Limbung di Ujung Lambung)
53. Sofyan R.H. Zaid (Banquet III)
54. Sunaryo Broto (Kutukan Kudungga)
55. Supali Kasim (Surat untuk Tome Pires)
56. Tina Aprida Marpaung (Dari Toging ke Parapat)
57. Tjahjono Widijanto (Senja di Benteng Pendem)
58. Ulfatin CH (Yang Pergi dan Kembali)
59. Viddy A.D. Daery (Perjalanan Malam Balikpapan-Banjarmasin)
60. Wahyu Arya (Sebelum Kembali)
61. Wisnu Muhamad (Lagu Pantai Lamalera)
62. Yogira Yogaswara (Ciwidey)
63. Yori Kayama (Sebuah Kota dengan Narasi yang Panjang)

Ujung Laut Pulau Marwah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia

" Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini. 

Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya."

Begitulah tulisan pada bagian atas sampul belakang buku â€Å“Ujung Laut Pulau Marwah” yang diambil dari Pengantar Kuratorial, â€Å“Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman”. 

Buku ini diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya, â€Å“Temu Sastrawan Indonesia III” (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober lalu—setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).

Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).

Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun â€Å“sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia. 

Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, â€Å“Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul â€Å“Bustan’l Katibin” (1857), dan â€Å“Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.

Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan setelah melalui proses seleksi tentunya. 

Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.

Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk â€Å“Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni: 

â€Å“Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), â€Å“Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), â€Å“Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), â€Å“Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), â€Å“Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), â€Å“Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), â€Å“Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta).

â€Å“Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), â€Å“Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), â€Å“Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), â€Å“Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), â€Å“Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten).

â€Å“15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), â€Å“Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), â€Å“Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), â€Å“Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), â€Å“Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Pangkalpinang, Bangka-Belitung), â€Å“Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), â€Å“Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), â€Å“Bai Liang”  (Marsel Robot, Kupang, NTT), â€Å“Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau).

â€Å“Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), â€Å“Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), â€Å“Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), â€Å“Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), â€Å“Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), â€Å“Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), â€Å“Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung).

â€Å“Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), â€Å“Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), â€Å“Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), â€Å“Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan â€Å“Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).

Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).

Lepas dari itu, â€Å“Ujung Laut Pulau Marwah” terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.

Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. â€Å“Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis â€Å“Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, â€Å“Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada â€Å“kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan â€Å“Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis â€Å“Yos Gamalama”. 

Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?

Pada bagian bawah sampul belakang buku â€Å“Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk. 

Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan CGR: menyigi adalah sisipan atau celah, berbabit adalah ikut serta/terlibat secara langsung atau tidak langsung) 

Penulis, Chairil Gibran Ramadhan, lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Mantan wartawan, kini sastrawan, eseis, dan editor. Cerpennya tampil di berbagai media nasional serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan The Lontar Foundation: â€Å“Menagerie 5” (ed. Laora Arkeman, 2003) dan â€Å“I Am Woman” (ed. John H. McGlynn, 2011). Antologi tunggal pertamanya â€Å“Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Masup Jakarta, Oktober 2008), berisi 17 cerpen sastra bernuansa Betawi. 

Sebuah cerpen di dalamnya, â€Å“Stambul Panjak”, kemudian oleh BLK Jakarta Selatan dipentaskan sebagai topeng betawi di Yogyakarta (Juli 2010). Akhir 2010 terbit 3 bukunya dalam antologi bersama: â€Å“Ujung Laut Pulau Marwah” (Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Tj. Pinang, Oktober 2010)—dengan kesalahan penulisan nama pada daftar isi dan halaman dalam (kecuali pada biodata); â€Å“Kahlil Gibran di Indonesia” (ed. Eka Budianta, RUAS, November 2010); serta akan menyusul buku terbitan DKJ dari ajang â€Å“Panggung Sastra Komunitas” di TIM Jakarta (15 Desember 2010).