Tuesday, 15 April 2008

NOVEL Hidayat Banjar : DUA KAPAL SATU NAKHODA

Duka Kapal Satu Nakhoda
Satu

“Selamat sore anak manis.”
“Jadi juga kau datang,” jawab Susi dingin menahan kerinduannya.
Dengan kasih, Susi membuka jaket yang dikenakan lelaki itu. Ditepiskannya sisa hujan yang lengket di jaket berwarna hitam itu. Di luar hujan masih jatuh perlahan-lahan.
Setelah jaket itu disangkutkannya, Susi memberikan handuk pada lelaki itu.
“Nih, ganti pakaianmu yang basah itu. Nanti kau masuk angin,” tutur Susi lembut.
“Makasih Sus,” lelaki itu menyahut, kemudian mendaratkan ciuman di keningnya.
Ida diam saja, tak terlihat kerinduan di wajahnya. Biasa-biasa saja. Tetapi lelaki itu tak menanggapi, ia memasuki kamar dan bersalin.
Susi pergi ke dapur dan meneruskan pekerjaannya yang belum selesai.. Sejak pukul 15.00 tadi, hujan sudah mendera rumah mereka yang hanya punya dua kamar, satu kamar mandi, satu ruang tamu dan satu ruang dapur.
Bagi Susi, rumah mereka yang kecil itu, luas saja adanya. Karena hari-harinya, ia lalui hanya sendiri saja. Lelaki yang kini jadi suaminya itu, hanya seminggu sekali, atau dua minggu sekali, bahkan tak jarang hanya sebulan sekali mengunjungi dirinya. Dahaganya yang teramat panjang, tak mungkin terlepaskan hanya dengan pertemuan yang sedikit itu.
Ini semua memang salahnya. Susi yang merelakan lelaki itu beristri lagi. Bahkan Susi yang menjodohkan. Apakah kerinduannya karena cinta cinta mulai bersemi atau hanya sekadar dorongan aneh? Bah! Susi tak pernah rasakan cinta. Kalau benar ia cinta dengan lelaki itu, bagaimana mungkin diikhlaskannya Dodi menikah lagi.
Ya, bagaimana mungkin akan timbul cinta di dalam jiwa yang kering. Anehnya lagi, semua yang ia lalui sekarang dengan pengorbanan yang sangat mahal.
“Susi, jika Dodi kau ikhlaskan kawin menikah lagi, Ayah tidak akan akui kau sebagai anak,” ujar ayahnya memperingatkan tegas, dulu.
“Ayah....”
“Ayah tidak mau tahu dengan semua alasanmu itu.”
Susi menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Seharusnya, jika kau mau kawinkan Dodi harusnya kau minta cerai dulu.
“Ayah, aku tak tahu kenapa semua ini terjadi,” Susi sesenggukan.
Demikianlah, Susi tak peduli dengan sikap ayahnya itu. Maka jadilah ia si ‘anak hilang’. Ia ikhlaskan Didi kawain lagi.
Kini Susi jauh dari orangtuanya. Jauh dari kakak, adik, dan saudara-saudaranya. Di kota yang berdebu ini, Susi bertambah sengsara. Ia harus lalui malam dengan kesendirian yang panjang. Dodi bisa jadi lagi berdekap erat dengan keduanya. Sedang... ah, ia hanya punya internet, koran, majalah, dan buku-buku.
***
Hujan sudah mulai reda. Dodi sudah selesai mengganti pakaian basahnya. Tapi, Susi masih bermain dengan pikirannya sendiri.
Di teras rumah, Dodi bermain dengan anak tetangga. Sesekali terdengar tawa ceikikian dari mulut Dodi dan anak-anak tersebut.
“Om… om, kok lama sekali baru datang,” suara salah seorang bermanja dengan Dodi.
Hati Susi semakin ngilu mendengar ucapan itu. Ia masih terus dengan gulai ikan yang belum masak. Di teras rumah, Dodi terus asyik dengan anak-anak tetangga. Hidangan kopi dan kue sudah dia nikmati.
“Satria – nama salah seorang anak -- Om sebenarnya ingin lama-lama bersama Tante, Satria dan kawan-kawan di sini. Tapi kan Satria tahu, Om punya tugas,” jawab Dodi pada bocah lima tahun itu.
“Kapan tugasnya selesai?” tanya Satria lagi.
Dodi tak menyahuti. Susi yang mendengar dialog itu dari dapur bertambah pilu.
Saat azan Maghrib menggema, Dodi dan Ida shalat bersama. Seterusnya mereka makan bersama. Ada kebahagian di hati Dodi melihat ketabahan Susi.
Di meja makan, Ida juga bahagia. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada nyeri yang menusuk-nusuk hatinya. “Kalau aku tak berubah, kebahagiaan seperti ini hanya sesaat,” Susi nelangsa. Susi ingin setiap malam Dodi bersamanya. Ia ingin mengurus Dodisebagaimana Hawa menguru Adam. Tapi, mana mungkin itu terjadi. Kini telah ada Winda.
Selesai makan malam, Dodi dan Ida, berkeliling kota dengan sepeda motor. Karena tadinya hujan, kota tak lagi berdebu. Jalanan basah, dan sebagian ada pula yang berlumpur. Uapnya sesekali menusuk hidung Susi dan Dodi.
Lelah berkeliling, mereka minum di warung, nonton bioskop, kemudian pulang. Malam merangkak perlahan. Susi bersiap-siap akan melaksanakan tugasnya sebagai implementasi istri yang baik. Ia taburkan wewangian di tubuhnya. Dodi faham akan hal itu dan melaksanakan dengan segenap kemampuannya.
“Sus,” sapanya setelah mereka di pembaringan.
“Mmm,” sahut Susi.
Dodi meremas jemari Susi. Mencium kening, mata, bibir, dan seterusnya. Ketika Dodi ingin berbalik melakukan sebagaimana yang selama dilakukan, Susi menahan dan memeluk tubuh Dodi kuat sekali.
“Dod, aku tak ma uterus-menerus begini. Mau mau jadi istri yang utuh.” Dodi tak jadi memutar kepalanya. Ia terus mencumbu Susi. Tetapi ketika Dodi akan melakukan penetrasi, Susi memberi isyarat agar ditahan sementara.
Susi bangkit dari pembaringan dan menghidupkan taperecorder aga kuat. “Aku mau jadi istri yang sempurna,” katanya lagi sembari melumat bibir Dodi kuat sekali. Susi tahu, kalau hal ini tidak dilakukan, sampai kapan ia akan punya anak, sampai kapan ia akan melepas keperawanannya.
Saat Dodi kembali melakukan penetrasi ke vagina Susi, terdengar jeritan kecil. Semula Dodi ingin menghentikan. “Lakukanlah Dod. Aku sudah siap.” Tanpa dikomando, Dodi pun menancapkan keperkasaannya di tubuh perawan Susi. Jerit Susi melengking, tapi tak berusa menolak tubuh Dodi, justru dekapannya makin kuat.
“Sakit Dod, sakit sekali. Tapi terus kan aja. Aku sudah bertekad untuk melakukannya malam ini,” desah Susi.
Jerit susi perlahan-lahan mengecil, bahkan hilang sama sekali. Yang kemudian terdengar adalah erangan nikmat. Susi menatap langit-langit kamar, penuh bintang berkemilau. Ia merasa di awang-awang. Satwa malam bernyanyi dalam kegembiraan. Kegembiraan purba makhluk hidup.
Dodi terus berpacu, memburu puncak kenikmatan. Ida membalas semampunya. Balasan seorang perempuan yang berusaha menjadi istri yang baik. Balasan seorang perempuan yang ingin menjadi manusia utuh. “Kenapa hal ini tak kulakukan saa malam penganti dulu?” bisik Susi dalam hati.
Ternyata rasa sakit yang ditakutinya itu hanya sekejab saja berlangsung. Justru rasa sakit karena cemburu tak gampang menafikannya. Ya, Susi belakangan ini demikian cemburu pada Winda, terutama setelah kawan karib – yang juga mafunya – itu melahirkan putra pertama mereka. Sejak itu pula, Dodi sepertinya lebih focus pada anak itu.
Akhirnya Dodi puas. Keringat mengucur di tubuhnya. Demikian juga Susi. Beberapa bercak darah terlihat di sprei yang awut-awutan.
“Sus, kau lelah,” tanya Dodi sembari membelai rambut sang istri dan mengecup bibirnya.
Susi tak menjawab. Wajahnya mekar bak kuntum-kuntum bunga yang bertahun kering, kini tersiram air bening.
“Sus, sepertinya ada yang ingin kau katakan padaku.”
“Ah...tidak Dod. Lakukanlah lagi, aku ini istrimu
“Ya, aku tahu, tapi...”
“Dod.”
“Bicaralah Sus.”
“Dod, sayangkah kau padaku? Susi memberanikan diri bertanya. Selama ini ia tak pernah menuntut itu. Tapi belakangan, perasaan itu mencengkram batinnya, terlebih saat Winda melahirkan.
“Susi ragukah kau?”
Susi tak menjawab, ia meremas jemari Dodi. Dan malam pun bergulir dengan kehitamannya. Misteri hati masih tersimpan di sana.
Pagi tiba. Dodi berangkat tugas. Susi, dengan sisa kencan yang begitu dahsyat melepas Dodi dengan senyum mengembang. “Nanti malam mampirlah lagi,” bisiknya ke telinga Dodi. ***























Dua

Bagai kendaraan tanpa supir, begitulah Susi merasakan perasaannya bergerak sendiri. Ketika itu tubuhnya dirasakan bagaikan onggokan daging saja, mengikuti ke mana rasa melaju seperti tak terkedali.
Pikiran, ia memang punya, tapi juga bekerja atas perintah rasa yang tanpa cemburu. Sehari, dua hari, hingga hampir setahun perkawinannya dengan lelaki itu, menumpuklah perasaan-perasaan yang bergerak ke satu titik: suaminya harus kawin lagi. Ini adalah solusi. Demikian perasaannya berkali-kali mengatakan.
Awalnya sebuah titik yang bersemayam di ruang rasa bahwa antara kasih sayang dan seks adalah dua kutub yang saling bertolak belakang. Lama kelamaan titik yang ada membesar, sehingga menghabiskan ruang rasa. Jiwanya pun terkurung oleh semacam kain hitam yang membungkus kekuatan pikiran sehingga tak mampu sebagai penyeimbang.
Akhirnya Susi berjalanlah dengan rasa yang aneh: mengikhlaskan – bukan mengikhlaskan sebenarnya, melainkan mengikuti saja keinginan jiwanya yang bergerak seakan tanpa kendali: suaminya harus kawin lagi.
Maka ketika suatu sore, Winda sahabatnya, bertandang ke rumahnya, perempuan itu – tanpa beban – menceritakan apa yang dialaminya bersama sang suami. Sahabatnya itu cuma geleng-geleng kepala dan sepertinya tidak yakin dengan apa-apa yang diceritakan.
“Kalau saja aku kawin dengan Bang Dodi tentu dapat memuaskan lelaki itu dengan hubungan ranjang yang normal,” bisik hati Winda.
“Andaipun harus melakukan gaya yang jungkir balik, semata hanya untuk romantika, bukan karena tak dapat melakukannya secara wajar. Klimaks hubungan suami-istri seyogianya dilakukan dengan penerobosan penis ke vagina. Bukan oral,” bisik hatinya lagi.
Entah kenapa Winda begitu berani menyarankan kepadanya agar memeriksakan diri ke dokter. Sebab kemugkinan vaginanya terlalu sempit untuk ukuran si lelaki, sehingga terjadi nyeri saat penetrasi dilakukan. Atau ada kelainan psikologis yang menghantui. Mungkin juga, pikir Susi.
“Apa aku ini sakit?” Susi setengah berteriak.
“Maaf, aku hanya menduga, yang lebih tahu semua itu tentu ahlinya. Kau jangan dulu marah padaku”.
“Winda, kau harus tahu suamiku itu nafsunya sangat besar. Ia setiap malam ingin disalurkan, jadi bagaimana mengatasinya?”
“Kalau aku boleh saran, carikan saja dia wanita lain untuk istri kedua. Dalam agama kita kan halal poligami,” kata Winda. “Lagi pula kalau sempat suamimu ke pelacur, itu namanya zina, kan lebih baik menikah secara sah. Kasihan suamimu harus berdosa gara-gara ketidakmampuanmu. Mungkin kau merasa ini ide gila. Tapi, menurutku, inilah jalan yang terbaik,” tambah Winda.
“Bagaiama kalau kau saja sebagai istri keduanya. Karena kepadamu aku sedikit pun tak cemburu,” ucapan ini terlompat begitu saja dari bibir Susi.
Winda tentu saja sangat bergembira mendengar ungkapannya. Sebab sejak awal ia memang suka dengan lelaki itu. Tetapi karena lelaki itu memilih Susi, maka gejolak hatinya itu ditahan saja. Benih-benih cinta sesungguhnya telah tumbuh di hati Winda saat pertama ia menatap lelaki itu di kampus dulu. ***












Tiga

Sore yang lain, Susi berkunjung ke kediaman orangtuanya. Sudah hampir sebulan ia tak bertemu ayah dan ibu, rindu juga rasanya. Ia disambut pembantu wanita dengan hangat. Selanjutnya menuju teras belakang, tempat ayah dan ibu selalu ngobrol menikmati masa tua mereka yang tenang.
Ayah mereka memang orangtua yang baik. Sejak dulu, sepulang dari kantor tak pernah ia keluyuran ke mana-mana. Ayah kerap menikmati hidupnya bersama keluarga.
Ketika telah sampai ke tempat kedua orangtuanya duduk santai menikmati panganan kecil dan teh manis hangat, Susi mengucapkan salam hormat, yang dijawab serempak oleh kedua orangtuamya.
Ayahnya meletakkan koran yang dibaca. Sementara ibu juga meletakkan sulaman. Keduanya menyambut Susi dengan hangat. Ayah mencium kening putri semata wayangnya itu, sementara ibu memeluk erat sekali sebagai ungkapan kerinduannya.
“Ayo duduk,” perintah ibunya setelah mereka puas berpelukan. Ibu memanggil pembantu untuk menyediakan minum buatnya.
“Apa kabar suamimu?” Tanya ayah.
“Baik ayah, karirnya semakin meningkat. Mungkin tak lama lagi ia akan diangkat sebagai kepala biro. Tak lama lagi, kepala biro sekarang karena usianya sudah cukup lanjut akan ditarik ke kantor pusat, ditempatkan di posisi yang sesuai dengan usianya. Suratkabar tempat Abang kerja, memang diatur sedemikian rupa. Orang-orang yang telah berumur, tetap mendapat posisi dan dengan pendapatan yang layak. Tak ada istilah ‘pensiun’ di tempat mereka bekerja. Posisinya akan digantikan Abang”.
“Baguslah,” ayah dan ibu menjawab serempak.
Sebenarnya, kehadiran Susi ke rumah itu ingin meminta advis kepada orangtuanya tentang kondisi perkawinannya. Cuma ia tak berani menceritakan yang sebenarnya. Apa layak ia menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya, dari mulai soal hasrat mengintip, dugaan kawan-kawan bahwa dirinya lesbi, rasa cintanya yang tak pernah tumbuh kepada lelaki, dan soal hubungan ranjang yang tak wajar. Lalu apa alasannya untuk mencarikan Dodi istri kedua. Inilah masalahnya. Dari mana memulainya, pikiran ini sejak tadi sudah mengganggunya.
Daun-daun mangga dan pepohonan kecil lainnya di halaman belakang bergoyang diterpa angin senja. Sesekali kulik elang terdengar di angkasa. Kediaman tempat ia dibesarkan memang dikenal sebagai pemukiman nyaman, tempat orang-orang kelas menangah atas membentuk komunitas. Padahal, dulunya desa itu, begitu menakutkan karena sepinya.
Sekitar sepuluh tahun lalu, desa itu masih disebut sebagai tempat jin buang anak. Entah bagaimana kisahnya, pejabat-pejabat di kota mereka senang mukim di sana. Satu-satu mereka membeli tanah dan membangun rumah bagus hingga megah. Ada seorang bupati yang sampai akhir hayatnya menjadi tersangka kasus korupsi, juga tinggal di sana. Kini rumah besar si bupati nyaris tak terawat.
“Bagaimana, apa kau belum ingin punya momongan?” Ibu dan ayah seakan berlomba bertanya demikian. Ia diam tak menjawab. Pikirannya tak menentu. “Siapa sih yang tak pengen punya anak,” bisiknya dalam hati, “tapi kalau hubunganku dengan Bang Dodi dilakukan secara tidak wajar, bagaimana mungkin bisa punya anak,” bisik hatinya lagi.
“Lho, ditanya malah kok diam?” Ayah bertanya agak keras.
“Siapa sih yang tak pengen punya anak Ayah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Ibu dan Ayahmu sudah sangat pengen sekali menimang cucu. Andai Marwan, abangmu yang paling tua masih hidup tentu ia juga sudah berumah tangga. Adik-adikmu masih mau mengejar karir. Mereka nampaknya tak ingin cepat-cepat menikah. Darimulah harapan kami saat ini untuk segera menimang cucu.
Perempuan itu tambah bingung, bagaimana mengisahkan kepada ayah dan ibunya tenang ikhwal yang dialaminya ini. Hampir setahun sudah perkawinannya, ia masih tetap perawan. Entah kenapa, setiap kali suaminya ingin melakukan penetrasi ke vaginanya, ia merasakan sakit yang teramat sangat. Padahal suaminya telah melakukan rangsangan sedemikian rupa, namun tetap juga rasa sakit itu muncul bila dicoba. Inilah masalahanya, tapi, apa ia dapat menceritakan hal itu kepada ayah dan ibu.
“Sebenarnya, aku ingin meminta advis kepada ayah dan ibu tentang perkawinanku.”
“Hah, kenapa rupanya. Ada apa dengan kalian. Belum setahun berumah tangga sudah ada masalah,” tandas ayah.
“Iya, iya, kenapa rupanya,” sambung ibu pula.
“Tak ada masalah yang prinsipil. Cuma, aku ingin tanya kepada ayah dan ibu, bagaimana kalau aku mencarikan istri yang kedua untuk Bang Dodi?”
Kedua orangtua itu terperangah mendengar ucapannya yang tak disangka-sangka itu. Mereka diam beberapa jenak.
“Apa kau sudah gila?” Tanya keduanya. Pembantu menghidangkan teh manis untuknya sembari mengatakan, “diminum ya?”. Perempuan itu mengangguk.
“Kenapa, kenapa, kenapa kau berpikiran segila itu,” sergah ibu. Ia diam, masih belum ditemukannya cara untuk menjawab. Memang rasanya tak masuk akal seorang istri mencarikan suaminya istri kedua, kalau tidak ada masalah yang sangat prinsipil.
“Kenapa, apa kau tak bisa memberikan anak padanya, apa kau mandul, apa sudah kau periksakan ke dokter?” Ayah memberondongnya dengan pertanyaan bernada tinggi.
Dengan segenap keberanianya dan keringat yang mulai mengucur di jidat, ia mengatakan kepada ayah dan ibunya bahwa nafsu seks suaminya begitu besar. Tetapi ia tak berani dan tak sudi menceritakan hal yang sebenarnya bahwa hubungan mereka selama ini dilakukan dengan tidak wajar.
Ayah dan ibu diam. Keduanya masih memikirkan, sejauh apa kedahsyatan seks sang menantu sehingga putri semata wayang mereka nekad dimadu, bahkan bersedia pula mencarikan istri kedua buat suaminya.
“Sebenarnya, persoalan perkawinan kalian – bbagaimana... bagaimananya – hanya kau yang lebih tahu. Tetapi, sekadar untuk kau ketahui, dimadu itu tidak enak, menyakitkan. Memang agama kita memberi peluang kepada umatnya dalam kondisi tertentu untuk beristri lebih dari satu. Namun perkawinan yang ideal itu adalah monogami. Untuk beristri dua, tiga atau empat, itu adalah kondisi-kondisi tertentu saja. Misalnya istri mandul, istri tak sanggup melayani kebutuhan biologis suami dan lainnya. Aku tak tahu, apakah suamimu begitu kuat dalam hal seks, atau memang kau yang mandul. Tapi perkawinan kalian kan baru mendekati satu tahun, kau belum tentu mandul. Periksakanlah diri dan suamimu ke dokter, siapa di antara kalian yang sebenarnya mandul,” jelas ayah dengan nada agak tinggi.
Sore itu, meski dengan tidak menceritakan hal yang sebenarnya, Susi sudah mendapat semacam jawaban bahwa kedua orangtuanya – meski kebeberatan – namun tak dapat menolak bila suaminya kawin lagi. Cuma, perempuan itu tidak menceritakan bahwa calon istri kedua suaminya adalah Winda, sahabatnya sendiri.
Perempuan itu meninggalkan kediaman orangtuanya. Sebelum memasuki mobil, ia menyalamkan amplop kepada ibunya, yang berisi lembaran-lembaran uang. Ibunya mengucapkan terimakasih dan agar hati-hati di jalan.
Kendaraan roda empat yang dikemudikannya memang sering tak dipakai sang suami untuk bekerja. Sebagai wartawan, suaminya memerlukan gerakan cepat, sehingga lebih banyak mengendarai sepeda motor untuk berburu. Di samping lebih cepat, juga lebih hemat. ***














Empat

Usai mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah SMU Negeri favorit di kotanya, Winda menelusuri jalan menuju belokan tempat angkot menuju terminal. Dilewatinya beberapa kantor, termasuk kantor dinas pendidikan.
Antara kantor dinas pendidikan dan sebuah wisma – di seberangnya – ada jalan yang tak begitu besar. Jalan inilah yang dilintasi angkot untuk menuju terminal, yang dulunya merupakan satu-satunya terminal di kota mereka, sebelum ada terminal lain.
Di seberang jalan itu, ada sebuah wisma, tempat yang selalu digunakan untuk peryaaan pesta perkawinan, pelantikan, wisuda dan lain sebagainya. Susi yang menawarkannya jadi istri kedua – dulu – juga meresmikan pernikahannya di wisma ini.
Beberapa menit menunggu angkot, pikiran Winda yang akan dijadikan istri kedua ini menerawang tentang kisah Susi. Winda merasa aneh kenapa sahabatnya tak dapat melakukan hubungan seks secara wajar sehingga ingin mencarikan suaminya istri kedua.
“Aih, andai saja aku jadi istri Bang Dodi, tentu lelaki itu akan sangat bahagia. Aku pun akan berbahagia bila dapat bersuamikan pria sepertinya,” kata hatinya.
Asyik bermain dengan pikirannya, tiba-tiba perempuan itu disapa seorang lelaki dari sebuah sepeda motor yang berhenti di hadapannya.
“Mau pulang,” sapa lelaki itu.
Perempuan itu menatap lelaki itu dengan gembira. Jantungnya berdebar dengan keras.
“Eh, Abang, dari mana?” Rupanya yang menegurnya adalah suami Susi.
“Kantor dewan.”
“Kantor Abang di mana?”
Si lelaki menyebut nama sebuah jalan. “Tapi kalau mau Abang antar, ayoklah.”
“Tidak mengganggu Bang.”
“Masih ada waktu kok.”
Perempuan itu pun naik ke sepeda motornya.
Hari yang terik, perempuan itu ditawari makan siang. Tapi dijawab, ingin minum saja. Lelaki itu pun mengurungkan niatnya untuk makan siang, hanya minum saja.
Di warung itu, entah kenapa, Winda ingin sekali menyampaikan keluhan sahabatnya – istri si lelaki – terutama masalah keinginan Susi untuk mencarikan istri kedua bagi si lelaki.. Ia berpikir-pikir bagaimana cara mengatakannya.
“Bang, sebenarnya aku mau cerita tentang istri Abang, sahabatku itu. Tapi...” wanita itu diam.
“Kenapa, teruskan saja.”
“Ah, nanti Abang marah. Aku takut Abang marah dan tersinggung.”
“Apa, apa rupanya.”
“Soalnya ini menyangkut perkawinan Abang.”
“Ada apa rupanya dengan perkawinanku. Rupanya Susi cerita apa?.” Nada suara lelaki itu agak kuat.
“Nah, aku belum cerita Abang sudah marah.”
“Tidak, Abang tidak marah. Cuma Abang merasa aneh kenapa Adik mau bicara soal perkawinan Abang. Berarti Adik tahu sesuatu tentang perkawinan kami.”
“Aku tahu tentang Abang dan dia karena memang Susi, sahabatku mau terbuka padaku. Aku rasa, istri Abang hanya berani curhat ke aku aja.”
“Nah, ceritalah kalau begitu.”
“Ia bilang ke aku bahwa Abang sangat kuat dalam soal ranjang dan dia sangat kewalahan,” perempuan itu tak menceritakan soal hubungan ranjang si lelaki dan sahabatnya yang dilakukan dengan tidak wajar. Gadis itu tak ingin membuka semuanya. Ia sungkan.
“Busyet,” celetuknya.
“Makanya dia mau mencarikan Abang istri kedua.”
“Ah, masak sampai begitu.”
“Iya Bang. Dan dia menawarkan agar aku jadi istri kedua Abang. Bila aku mau, dia tak cemburu.”
“Gila! Betul dia ngomong begitu.”
“Aku tak mungkin bohong dengan Abang. Ini bukan main-main. Aku serius Bang.” Lelaki itu diam, pikirannya terkenang akan istrinya yang tak dapat melayaninya dengan normal. Tiap kali ia akan melakukan penetrasi ke vagina istrinya, tiap kali pula ke luar jerit kesakitan. Ia tak mau memaksa. Lelaki itu beranggapan istrinya punya kelainan mental, tapi tak dikatakannya. Ia sangat mencintai istrinya, makanya ia tak mengatakan kepada Susi bahwa sebenarnya sang istri mengidap kelainan mental. Kalau dikatakan, boleh jadi istrinya itu akan tersinggung.
Ia pun tak berani menyarankan agar sang istri memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog. Sebab istrinya sendiri tak pernah mau membicarakan hal itu. “Ini mungkin pengaruh dari masa kecilnya, melihat ayah dan ibunya bersenggama. Kemudian otak kecilnya merasa bahwa kedua orangtuanya berkelahi. Sehingga timbul persaan takut di dalam dirinya terhadap hubungan seks,” kata hati lelaki itu.
“Bang, Abang kok diam. Abang marah sama aku.”
“Tidak, Abang tidak marah. Cuma Abang merasa aneh, kenapa Susi mau merelekan suaminya beristri dua. Abang juga heran, kenapa kau sendiri tak tersinggung ditawarkan jadi istri kedua?”
“Kalau aku Bang. Tapi... Abang jangan bilang sama Susi. Sejak dulu aku sebenarnya sudah suka dengan Abang. Tetapi karena Abang suka dia dan aku adalah sahabatnya, aku tak mungkin memperlihatkan rasa itu. Aku cinta sama Abang,” desah perempuan itu. Tanpa sadar, tangannya ingin menggenggam tangan lelaki itu.
Si lelaki menariknya perlahan, ia takut dilihat orang-orang yang ada di warung itu. Lucu kan, berpegangan tangan di warung. Perempuan itu menyerumput juice jeruknya. Si lelaki juga. Suasana vakum kembali beberapa saat.
“Tidak! Ini tidak benar!” Ketus lelaki itu perlahan.
“Kenapa Bang, kenapa tidak benar. Agama kita kan membolehkan poligama.”
“Iya, tetapi ...” ia tak melanjutkan.
“Tetapi apa, Bang?”
“Kau kan sahabat istriku. Apa tidak gila ini?
“Justru karena aku sababatnya, ia tak cemburu.”
“Aih...istriku... istriku... istriku...” Desah si lelaki yang kemudian mengajak si perempuan meninggalkan tempat itu.
“Nantilah kita pikirkan, Abang pusing. Ini absurd, aneh dan konyol,” tandasnya ketika mereka akan menaiki sepeda motor usai membayar ke kasir.
“Tidak Bang, tidak ada yang aneh. Ibuku juga dimadu. Jadi, kalau benar Abang mau menjadikan aku istri kedua, maka ini adalah de javu. Abang tahu kan, kalau Ibuku dimadu. Maka kalau kita jadi, maka akulah yang memadu.
Perempuan itu diturunkan si lelaki di halaman rumahnya, kemudian membuka pintu pagar yang tak dikunci dan mempersilakan si lelaki singgah. “Tak usah, lain waktu,” jawab Dodi pelan. Pikirannya tak menentu. Namun di balik itu, ada perasaan senang di hatinya. Bukankah wanita sahabat istrinya itu termasuk gadis yang cantik juga. Di samping itu, dia pegawai negeri. Sehingga secara ekonomis, kalau Dodi mengawaninya, tidak akan jadi masalah.
Malamnya, usai membuat laporan dari kantor dan di kirim ke redaksi, lelaki itu pulang ke rumah dengan wajah masam. Sang istri menyambutnya dengan senyum, tetapi lelaki itu diam saja.
Setelah menghidangkan teh pahit dan panganan kecil kesukaannya, sang istri duduk di hadapannya di ruang tamu itu. Ia diam saja. Sang istri tahu, pasti suaminya lagi sebal atau ada masalah.
“Bang, diminum dulu, entar dingin.” Dodi diam saja.
“Kalau Abang sudah lapar, kita boleh makan malam langsung,” masih diam. Lelaki itu ingin marah, tetapi ia menyayangi istrinya. Ia sebenarnya bukan tak mau kawin lagi – terlebih jika mengingat ketidakmampuan sang istri melakukan hubungan seks secara normal, namun ia tak suka cara istrinya yang begitu terbuka kepada orang lain, walaupun sahabatnya. “Dan apa tidak aneh seorang sahabat kental punya suami satu, dua kapal satu nakhoda. Ah... kapal-kapal yang aneh,” bisik hatinya.
“Tidak, Abang belum lapar. Abang sebal, kenapa Susi begitu terbuka, begitu polos pada orang lain, meskipun sahabat sendiri.”
“Dia itu kan sahabatku.”
“Benar. Tetapi masak soal ranjang pun Susi cerita kepadanya.”
“Tidak! Aku tak cerita semuanya. Aku hanya bilang padanya bahwa Abang begitu kuat dan aku kewalahan.” Susi berbohong. Sesungguhnya perempuan itu menceritakan semua yang dilakukannya bersama sang suami.
“Lalu, apa memang benar Susi siap dimadu.”
“Kalau dengan Winda, aku mau. Aku tak cemburu,” jawab perempuan itu sembari berdiri dan mendekati kursi yang diduduki si suami dan memeluknya dari belakang. Lelaki itu diam saja.
Si istri mempertegas kepada sang suami bahwa ucapan itu bukan bergurau. Sebab, jika Dodi mau menikah dengan sahabatnya, ia sungguh-sungguh ikhlas, ketimbang berzina atau melacur.
***















Lima

Malam beranyanyi dengan iramanya sendiri. Di luar misteri kehidupan bergayutan di jendela dunia. Susi masih terlentang tanpa mengenakan selembar benang pun. Pikirannya terus bermain, tentang rasa kasih dan iba kepada sang suami. Perlahan-lahan, kembang-kembang cinta mulai tumbuh di hatinya. Namun ia takut melakukan hubungan seks sebagaimana lazimnya. Sebab, jika itu dilakukan, rasa sakit yang harus dideritanya begitu dahsyat. Persaaan inilah yang bermain di benaknya.
“Dik, apakah Adik serius menawarkan Winda sebagai isteri kedua Abang?” Tanyanya lembut sembari mempermainkan anak-anak rambut Susi. Spontan dijawab : ya. “Yang penting Abang berjanji akan tetap sayang dan memperhatikan aku,” lanjutnya.
***















Enam

Delapan bulan setelah pernikahannya dengan Dodi, ibu Susi meninggal dunia. Dokter bilang karena kanker usus. Dari upacara pemakaman sampai doa seratus hari, Winda tetap hadir menemaninya.
Bisik-bisik tentang akan dijadikannya Winda istri kedua, mulai terdengar. Sebagian ada yang mengesalkan Susi, kenapa rela melepas sang suami ke dalam dekapan wanita lain. Sebagian lagi malah mengatakan ia adalah penghuni sorga, karena siap dimadu sebagaimana istri-istri yang tulus.
Selesai acara doa seratus hari, Dodi mengajak istrinya ke kediaman Winda, membicarakan ikhwal pelamaran.
“Jika memang tekad Susi dan Abang sudah bulat, aku siap menjadi istri kedua. Cuma, karena aku pegawai negeri, aku minta pada Susi agar membuat surat pernyataan bersedia kalau Abang kawin lagi. Memang sekarang, tidak ada lagi halangan untuk itu. Sebab, sejak reformasi, peraturan tentang disipilin pegwai negeri ikhwal perkawinan yang dituangkan dalam PP 10 tidak diberlakukan lagi. Tapi, aku tak suka masalah ini jadi urusan wartawan. Ya, meskipun Abang wartawan. Siapa tahu, ada yang tak suka kepadanya, kan bisa ramai,” cerita Winda. Susi menyanggupi. Maka diaturlah rencana kapan lamaran itu dilakukan.
Setelah Susi dan suaminya pulang, Winda yang berprofesi guru itu menceritakan kepada kedua orangtuanya bahwa ia akan dijadikan istri kedua. Kedua orangtuanya tentu saja terkejut. Ayahnya merasa ini karma bagi dirinya yang punya istri dua. Sementara si ibu hanya menyarankan kepadanyaa untuk mempertimbangkan lagi niat itu.
“Bermadu itu tidak enak Nak,” katanya.
“Aku siap Bu. Aku sebenarnya memang mencintai Bang Dodi. Tetapi karena dulu ia cinta pada Susi, tentu perasaan cinta di hatiku harus kubuang jauh-jauh. Bang Dodi adalah lelaki impianku Bu,” jwabnya. Ibu diam dan ayah hanya menggeleng-geleng saja. Hatinya ngilu, tetapi mau bilang apa, dia juga punya istri dua. ***
Tujuh

Hari pernikahan Dodi dengan Winda tiba, tidak dipestakan karena ayah dan keluarga Susi keberatan atas perkawinan itu. Meski tempo hari ayah dan ibu mengatakan bahwa agama mereka memberi peluang untuk berpoligami, namun ternyata ayah tak setuju anaknya dimadu. Begitu juga saudara-saudara Susi yang lain. Orangtua dan keluarga mana yang mau terima anak atau saudaranya dimadu?
Hari bahagia Dodi dan Winda didukung Susi dengan ikut sibuk. Acara yang berlangsung di kediaman Winda itu sederhana saja dengan hanya mengundang kerabat-kerabat dekat dan teman-teman. Keluarga Susi tak satu pun hadir di acara tersebut. Mereka membencinya yang rela bermadu, bahkan dengan sahabat karib yang masih satu kelurahan. “Apa tidak gila ini,” ungkap mereka ketika itu.
Setelah pernikahan berlangsung seminggu, Winda bertandang ke rumah Susi, dengan mesra Susi memeluk dan menciumi sahabatnya itu. Anehnya Susi sedikit pun tak cemburu pada Winda. Malah ditawarkan agar berbulan madu di rumahnya. Sebab, sebenarnya Susi itu ingin mentintip mereka. Hati Susi senang sekali karena usulnya itu disetujui meskipun awalnya ditolak dengan alasan tidak etis.
Akhirnya, Susi dengan leluasa menyalurkan hobi ngintipnya. Saat-saat suaminya dan Winda – melakukan acara bulan madu di kamar sebelah kamarnya, seluruh kejadian itu diintip Susi. Menurut hematnya, tidak ada yang luar biasa. Pelayanan Winda terhadap suaminya biasa-biasa saja. “Lebih hebat aku melayaninya,” bisik Susi penuh ego.
Suatu malam ketika Winda ke luar rumah, Susi menanyakan pada suaminya, mana yang lebih hebat pelayanannya dibanding dengan Winda.
“Kamu lebih hebat darinya,” tandas Dodi. Susi senang dan bangga dengan pernyataan suaminya. Sebab, sesungguhnya di balik semua itu, ia pun menikmati hubungan suami dan Winda di kamar sebelah dengan cara mengintip. Saat-saat mengintip itulah ia mengalami orgasme, kepuasan yang puncak. Ia sama sekali tak mau menanyakan ke dokter kenapa justru kepuasan seksual didapatnya dari mengintip. Sementara jika dilakukan secara langsung, ia bukannya mendapat kenikmatan dan kepuasan, justru sebaliknya, rasa sakit yang begitu hebat.
Hari-hari dijalani perempuan itu dan sahabatnya dengan penuh keharmonisan, tak ada masalah, tak ada cemburu. Semua berjalan dalam kebiruan yang total. Cuma, Susi sama sekali tak pernah menceritakan pada Winda, soal kepuasannya saat mengintip suami dan sahabatnya itu saling pagut. Bahkan ia bisa beberapa kali orgasme menyaksikan adegan itu. Makanya, esok harinya, jika sahabatnya keramas, Susi juga keramas.
Tetangga-tetangga pada heran, bagaimana dua-dua bisa keramas. Winda pun sebenarnya juga heran. Tetapi ia tak mau menanyakan hal itu. Pikirannya hanya tertuju kepada kepuasannya bisa menjadi istri Dodi.
Hal lain yang mulai dirasakan Susi – dengan menikahnya suaminya dengan Winda – ialah, ternyata perkawinan tidak membuat wanita tersubordinasi di bawak ketiak lelaki, sepanjang wanita itu punya keperibadian, punya sikap. Seperti Winda, tetap sebagai wanita merdeka: tidak hanya di rumah saja, sebagaimana ibunya dulu dan banyak ibu-ibu tetangga lainnya.
Ibunya, sebelum kawin dengan sang ayah adalah wanita karir. Tetapi begitu bersuami – ayah meskipun tidak memaksa – meminta ibu untuk tak lagi bekerja, dan ibu tak keberatan. Akhirnya, setelah berumah tangga, ibunya yang wanita baik dan mulia itu, hanya tinggal di rumah saja: mengurus suami dan anak-anak. Inilah salah satu hal yang juga ditakutkannya terhadap perkawin ketika itu. Tapi ternyata, suaminya beda, lelaki itu, tak ingin mengubah kedua istrinya. Sahabatnya masih tetap mengajar, ia pun tetap boleh mengikuti aktivitas apa saja, sepanjang itu dalam koridor hidup berumah tangga.
Bila suaminya punya waktu yang cukup, maka Winda diantar ke sekolah untuk mengajar. Sementara ia tinggal di rumah mempersiapkan keperluan sehari-hari, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Jika waktu masih luang, ia terkadang ikut kegiatan ibu-ibu: bermain volly ball, arisan, mengaji dan lain sebagainya.
Siangnya sepulang dari mengajar, Winda membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah atau bercengkrama berdua. Terkadang mereka tertawa-tawa. Tetangga-tetangga bertambah heran, kenapa bisa satu rumah ada dua cinta, kenapa bisa dua kapal satu nakhoda? Aih... kapal-kapal yang aneh.
Jika sang suami tak ke luar pagi atau tak punya waktu yang cukup, Winda pergi ke sekolah dengan angkot. Dari rumah mereka menuju sekolah tempatnya mengajar harus naik angkot dua kali.
Ketika malam tiba, bila tak ada kesibukan, ketiganya duduk di teras rumah bercerita pengalaman masing-masing. Bercerita tentang hari-hari yang telah lalu. Susi tentu tak punya pengalaman yang banyak. Sebab, setelah tamat kuliah, tak lama kemudian ia dilamar lelaki itu.
Sesekali Susi juga mengungkapkan tentang perjuangan suaminya mempersiapkan skripsinya. Sejak skripsi itu selesai, mulailah tumbuh di hatinya perasan senang terhadap sastra. Karena ternyata hasil meja hijaunya cukup memuaskan. Indeks prestasi kumulatifnya pun lumayan, rata-rata 2,9.
“Ada pengalaman lucu saat aku mulai mengajar,” cerita Winda suatu malam. Suaminya dan Susi mendengar dengan seksama.
“Pertama mengajar, aku hanya dapat les yang tak banyak. Saat itu, aku mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia hanya di kelas tiga saja. Sementara di kelas satu dan dua, diisi oleh guru lain. Ketika akan mengajar apresiasi sastra, aku tanyakan kepada siswa-siswa, apa itu apresiasi. Serempak mereka menjawab: penggalan. Aku merasa aneh. Lalu aku tanyakan lagi siapa yang mengajarkan demikian. Mereka menyebut sebuah nama. Aduh, kok bisa begitu.”
“Mungkin si guru berpedoman pada acara “Kocek Idola” di televisi yang mengapresiasi film. Memang pada acara itu kan ditampilkan penggalan-penggalan film yang akan diapresiasi,” sambung Dodi.
“Entahlah aku tak mengerti, bagaimana murid bisa pintar, kalau gurunya saja jeblok. Tidak mendasar,” tandas Winda.
“Yah, itulah guru yang sebenarnya tak berbakat jadi guru. Ia jadi guru hanya karena terpaksa, hanya karena ketiadaan pekerjaan,” sambung Susi.
“Sama juga dengan profesi wartawan. Begitu reformasi bergulir, rezim yang lama tumbang, bermunculanlah surat-surat kabar baru. Terkadang ada yang hanya sekali dua terbit kemudian mati. Sementara kartu persnya tetap saja hidup. Maka jadilah wartawan-wartawannya WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar). Makanya ketika ada wacana yang digulirkan untuk mengganti UU Pers dengan undang-undang baru, Abang menulis di suratkabar, bila itu terjadi maka demokrasi mengalami alur mundur. Karena jika UU tersebut diganti, niscaya kebebasan pers pun akan kembali seperti semula. Pers akan berada di bawah subordinasi kekuasaan. Sebab, rancangan perubahan ke arah pengawasan pers.
Makanya ketika itu Abang menandaskan, menghadapi wartawan-wartawan bodrex, maksudnya kerjanya hanya menggalas, mencari uang dengan jalan memeras atau menderen toke-toke judi, pengusaha ilegal, juga WTS, CNN (cuma nengok-nengok), wartawan amplop dan lain sebagainya, tidaklah harus dengan merusak UU yang merupakan perisai bagi kebebas pers.
Kalau wartawan-wartawan semacam itu dapat diumpamakan sebagai tikus, dan kebebasan pers adalah rumahnya, menurut Abang adalah terlalu naif – hasrat mengusir tikus-tikus itu – dengan cara membakar rumahnya,” jelas Dodi. Susi dan Winda ikut tertawa mendengar penjelasan Dodi.
“Negara kita memang sedang sakit,” sambung Winda pula.
“Ya, masak hanya gara-gara wartawan yang tak profesional, wartawan yang tak berbakat jadi wartawan, kebebasan pers akan dicabut lagi. Bila UU yang menjadi payung bagi para wartawan itu dicabut, niscaya kebebasan pers akan terancam. Dan bila itu terjadi, niscaya kita mundur ke belakang. Bagaimana mungkin demokrasi bisa berdiri, bisa berjalan, jika persnya sebagai wathdog dibelenggu,” sambung Dodi. ***






Delapan

Susi memang sudah terlanjur mengikuti konsep kehidupan yang dibangun oleh orang-orangtua dan para pedahulu bahwa manusia harus kawin, beranak-pinak untuk mengembangkan kehidupan. Hidup sendiri, melajang sampai mati sesuatu yang tak lazim, bahkan naif.
Sebagai manusia yang dilahirkan dari keluarga normal, Susi seakan ‘dipaksa’ harus hidup secara normal pula. Lahir, menjalani masa kanak, sekolah, kuliah dan kawin. Ada memang keinginannya – ketika itu – untuk berontak terhadap lembaga perkawinan dan membiarkan perasaan yang membaluti jiwanya berjalan sendiri, tapi isapan keadaan mengalahkan keinginan. Akhirnya, perempuan itu kawinlah.
Susi masih ingat setahun yang lalu kerisauan hatinya sebelum memutuskan pilihan. Sebagaimana perempuan adanya, yang terikat dengan kondisi sosial – ketika itu – ada dua garis membentang di hadapannya. Menolak tawaran lelaki, berarti membiarkan diri jadi tua. Apakah yang ditakutkan seorang perawan dan keluarganya, kalau bukan julukan “perawan tua”. Sebenarnya dia tidak takut menyandang gelar “perawan tua”. Tidak! Dia sangat siap untuk itu? Tapi, keluarga dan lingkungan di mana dia hidup? Inilah yang menjadi persoalan.
Menerima tuntutan ibu dan ayah berarti ia harus kawin, melakukan hubungan seks yang menakutkan. Ya, selama ini ia takut berpacaran, apalagi kawin karena ada pikiran aneh di dalam jiwanya: pertemuan kelamin lelaki dan wanita adalah peristiwa menjijikkan.
Susi menatap ibunya yang sedang menyulam dengan motif gadis remaja memandang ke luar jendela, juga wajah ayah, orang yang paling dikasihinya. Jika boleh memilih, ia sebenarnya lebih senang hidup sendiri, tanpa harus bersuami. Di mata Susi, perkawinan sama saja merangkai tali ikatan yang tak dapat putus selamanya, selama hayat dikandung badan.
Bersuami bagi Susi sama saja menyerahkan nasib di bawah ‘ketiak’ lelaki, sama saja hidup di bawah subordinasi lelaki. Sementara yang ia mau, hak-hak perempuan harus disejajarkan dengan lelaki. Bersuami, menurut Susi sama saja hidup di bawah kendali lelaki, ia tak mau itu, dan ia sangat menakuti hal itu.
Namun, jika menolak tawaran lelaki, menolak hasrat ayah dan ibu yang ingin segera punya menantu, berarti membenarkan anggapan orang-orang bahwa dirinya punya kelainan jiwa atau lesbi. Aih, Susi sangat takut dengan julukan itu. Sebab, sesungguhnya ia bukan perempuan lesbi. “Kalau memang aku lesbi, aku akan hadapi semua konsekwensi logis itu. Tapi aku bukan lesbi,” teriaknya dalam hati.
Barangkali juga ayah, ibu dan keluarga lainnya telah mendengar selentingan itu, telah mendengar gosip bahwa dirinya lesbi. Sebab selama bertahun-tahun, ia terus akrab dengan sang sahabat, teman di SMA, di kampus dan satu desa dengannya. Sang sahabat tinggal di lorong yang jaraknya hanya beberapa lorong saja dari kediamannya.
“Pikirkan baik-baik Sus,” tukas ibunya pelan.
Susi diam. Hatinya bergetar sebentar. Sampai malam ini, sudah lebih lima kali ibunya mengingatkan. Ia tak ingat lagi, kapan ibunya mulai begitu: mendesaknya untuk kawin. Ia memang paham bahwa tuntutan ibu dan ayah itu adalah wajar.
“Kau dengar omongan Ibu kan?”
Susi mengangguk. Ia memang selalu mendengar apa yang dikatakan ibunya. Ia juga patuh pada ayah. Namun kedua orangtuanya pasti sekali tak mengetahui apa yang dialami dan dirasakan putri semata wayang mereka itu.
Pohon-pohon di luar rumah memancarkan bayangan hitam memanjang gelap. Itulah misteri. Misteri sudah lahir ketika dunia belum ada.
Usia misteri yang tua itu tidak pernah lapuk dimakan masa. Misteri menggayuti tiap individu. Apa yang terjadi satu dua jam, satu dua hari, satu dua bulan akan datang? Tak ada yang dapat memastikannya. Manusia hanya diberikan pengetahuan yang sedikit sekali. Cahaya yang diberikan Khalik kepada manusia hanya sedikit, tak dapat menembus ruang kegelapan yang bernama misteri.
Angin bernyanyi meniup daun-daun yang satu dua jatuh diterpanya. Semua menanti giliran, menanti kapan sesuatu naik ke permukaan dan terbaca oleh cahaya manusia.
Misteri yang dikandung Susi taklah diketahui oleh orangtuanya. Ia tak pernah cerita pada siapa pun tentang siapa dia, dan apa yang dirasakannnya dalam hidup dan kehidupan sejak dari kanak sampai menamatkan pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra milik pemerintah.
“Apalagi yang kau pikirkan. Sekolah sudah selesai. Ayah lihat pemuda itu sangat mencintaimu. Dia juga lelaki yang baik dan punya masa depan cerah. Meski agak urakan, tapi aku suka padanya. Ia jantan dan penuh tanggung jawab,” sambung ayah sambil tetap memegang surat kabarnya.
“Ayah dan Ibu, aku tahu Abang itu baik, cerdas, cekatan dan penuh tangung jawab. Tapi biarkanlah aku berpikir beberapa waktu untuk dapat memamahi makna perkawinan, makna kehidupan,” jawabnya berbohong. Karena sesungguhnya Susi tak mencintai Dodi, tak mencintai lelaki. Memikirkan tentang cinta saja pun ia takut.
Ayah dan ibu diam. Orangtua itu memang selalu bertindak demokratis terhadap anak-anaknya. Mereka sesungguhnya tidak memaksa Susi harus berumah tangga dengan Dodi. Cuma lagi, selama ini hanya ada dua teman dekat Susi: Winda dan Dodi. Teman lelakinya, ya, cuma Dodi. Itulah sebabnya ibu dan ayah ingin segera mendapat penjelasan darinya. Tambahan lagi usianya sudah duapuluh lima tahun. ***














Sembilan

Susi menerima Dodi ketika keluarga wartawan itu datang melamarnya. Ada yang mengganjal di hatinya, tetapi ia lupakan saja. Ia lupakan saja ketakutannya terhadap hubungan seks. Ia lupakan saja semua ketakutan yang bersemayam di tempurung kepalanya. Terlebih, ia tak punya alasan menolak lelaki itu. Bukankah hidup melajang sampai mati, itu merupakan ketidaknormalan? Ah...
Tiada tangis bahagia di matanya, ketika Dodi memasukkan cincin ke jari manisnya. Yang terselip di hatinya – tanpa seorang pun tahu – adalah kehambaran. Lelaki itu selama ini di matanya tak lebih sebagai abang, bukan pacar.
Wisma sudah dihias sedemikian rupa. Warna-warna cerah mendominasi ruangan pertanda kegembiraan sedang berlangsung.
Susi dan Dodi sedari tadi telah mempersiapkan diri untuk acara yang merupakan bagian teramat penting pada diri umat manusia: perkawinan. Bagi Dodi, perkawinan adalah merupakan ‘kelahiran’ kedua setelah kelahiran pertama dari rahim ibu. Sebab keyakinannya mengatakan, dengan perkawinanlah manusia sesungguhnya menemukan kesejatiannya sebagai manusia. Terlebih lelaki – menurut keyakinanya – ia dapat dikatakan tidak sempurna sebagai lelaki bila dalam usia yang layak, namun tidak peduli dengan kehidupan rumah tangga.
Pelaminan dihias sedemikian rupa. Orangtua keduanya memang menginginkan tidak ada warna etnik tertentu yang mendominasi. Begitu juga dengan pakaian adat, dipersiapkan agar mewakili berbagai etnik yang ada di wilayah mereka.
Salah sebuah ruang wisma dibuat sebagai kamar rias bagi pengantin. Hidangan pun tidak hanya nasi beserta lauk-pauk, juga ada roti jala, siomay, sate, es krim, tape, minuman-minuman segar dan lain sebagainya.
Undangan satu-satu muncul. Irama band yang dipesan sudah mulai bergema. Ayah dan ibu pasti bergembira. Mengapa tidak, anak mereka dipersunting seorang wartawan – yang di samping ganteng – juga punya masa depan cerah. Ya, Dodi adalah seorang wartawan surat kabar ibukota negara yang sangat berpengaruh. Wajarlah kalau ayah dan ibu sangat suka padanya. Tapi Susi... Ia biasa-biasa saja. Perkawinan ini baginya hanya untuk membuktikan kepada semua orang bahwa ia, bukan perempuan lesbi sebagaimana dugaan orang-orang. Perkawinan ini baginya semacam pernyataan kepada masyarakat bahwa dia adalah normal.
Ya, sejak SMP, satu persatu teman-teman telah berani – walau secara diam-diam – menyebutnya wanita lesbi, ‘Susi Lesbi’.
Naif... naif sekali. Nauzubillah. Susi memang akrab dengan Winda, tetapi hubungan mereka hanya sebatas kawan kompak. Ya, Winda adalah kawan Susi yang banyak mengerti tentangnya.
“Winda tidak sekadar teman kuliah, juga teman sejati yang benar-benar mengerti aku,” bisiknya selalu di dalam hati. Benar, mereka memang pernah berpelukan. Benar, memang mereka pernah berciuman. Tetapi sesungguhnya, tak benar Susi dan Winda pernah melakukan hubungan intim sebagaimana yang dilakukan para lesbi.
Setelah selesai dirias, Susi dan Dodi dibawa ke pelaminan. Ia biasa saja. Bergembira, namun tak bergembira sangat. Sementara, Dodi yang sarjana pertanian itu, bersinar wajahnya, bak mentari pagi yang kemilau. Impian Dodi tentang perempuan agaknya terpuasi dengan dapatnya ia meminang Susi tanpa banyak masalah. Semua berjalan lancar-lancar saja.
Begitulah seterusnya, undangan yang hadir mengucapkan selamat, berfoto bersama dan pulang. Winda pun yang ikut sibuk mengurus perhelatan itu, nampak gembira.
Di Wisma Kartini acara hanya berlangsung hingga pukul 15.30. Selanjutnya Dodi dan Susi kembali ke kediaman Susi. Memang kerabat-kerabat dekat, saudara serta famili diundang untuk hadir di rumah bukan di wisma. “Akan lebih terasa kekeluargaannya bila diadakan juga di rumah,” tutur ayah Susi ketika itu.




Sepuluh

Manakala senja menepi, undangan tak muncul lagi. Malam bernyanyi dengan misteri yang dikandungnya. Tinggallah keluarga dekat saja yang ada di rumah Susi. Winda pun telah pamit sejak tadi.
Malam merangkak dengan selimut misteri yang dikandungnya. Prahara yang mencengkram manusia adalah riwayat panjang yang tak kan pernah berakhir. Langit malam berbintang adalah perumpamaan yang paling bersahaja bagi kehidupan. Bintang-bintang yang memberi titik-titik putih pada gelap yang luas seperti sejarah panjang manusia yang kelam. Ya, kebahagiaan – jika itu memang pantas disebut – seperti bintang di malam kelam itu – hanya sedikit saja ia muncul bila dibanding dengan gelap yang ada. Luas gelap lebih memberi ruang pada kehidupan daripada titik-titik putih yang dipancarkan oleh bintang.
Begitu juga Dodi, pemahamannya tentang siapa Susi, adalah bagai bintang di malam kelam itu. Susi dikenalnya saat di kampus dulu. Tentang siapa Susi dan bagaimana masa lalunya, apa yang dialami dan dirasakannya – jangankan Dodi – kedua orangtuanya saja pun tak pernah tahu keseluruhannya.
Tentang dirinya, hanya Tuhan, para malaikat dan Susi sendiri yang tahu. Bahkan bila mungkin ditutupi, Susi pun tak ingin malaikat dan Tuhan mengetahui kenapa ia membenci hubungan seks. Tapi Tuhan mengetahui segalanya, Susi percaya itu.
Dodi kuliah di Fakultas Pertanian, sementara Susi di Fakultas Sastra. Ketika masa Orientasi Pengenalan Studi Program Kampus (Opspek) Dodi lintas di kampus Susi, karena kebetulan untuk menuju kampusnya, memang harus melalui Fakultas Sastra.
Ketika itu seorang senior Susi yang bernama Lukman Hakim Siregar membuat pertanyaan untuk dijawab cama-cami (calon mahasiswa-masiswi). “Lubang apa yang paling kecil di dalam tubuh manusia,” tanya sang senioren. Ada yang menjawab: lubang hidung, lubang pori-pori dan ada pula yang menjawab lubang dubur. Tentu saja Lukman yang ketika itu telah bekerja sebagai redaktur di salah sebuah harian ternama di kota itu, memarahi dan menggojlok mereka dengan memberikan hukuman.
Susi sebenarnya sudah tahu jawabnya, tetapi ia enggan mengangkat tangan. Lalu kepada Winda, Susi mengatakan “ayo Win dijawab aja”.
“Apa jawabnya?”
“Lubang kentut.”
“Ah jangan ngaco. Jangan mengada-ada.”
“Iya benar,” sergah Susi. Karena tak sabar, Susi lalu mengangkat tangan.
“Ayo, apa jawabnya,” sergah Lukman pula.
“Lubang kentut,” jawab Susi sembari tersenyum.”
“He, ke mari kau,” kata senioren yang lain.
Susi pun tampil ke depan. Kemeja putih terusan yang sudah kotor serta celana panjang hitam, topi runcing dari karton dan kacamata dari kawat juga dasi dari petai, membuat wajah Susi terlihat lucu. Para cami (calon mahasiswi) memang diwajibkan memakai pakaian putih terusan berikut celana panjang hitam. Sedangkan para cama (calon mahasiswa) diwajibkan memakai pakaian putih-putih, berikut topi runcing, dasi dari petai, kacamata dari kawat dan lainnya sebagaimana yang dikenakan Susi. Lucu, tentu saja.
Sesampai Susi di depan, Lukman dan kawan-kawanya kembali pasang aksi.
“He, anak manis kenapa begitu berani kau menjawab bahwa lubang yang paling kecil di tubuh manusia adalah lubang kentut. Apa alasanmu,” sergah Lukman yang mengaku PD IV (pembantu dekan empat), yang sesungguhnya hanya untuk lelucon saja.
“Coba Abang bayangkan, angin saja yang ke luar dari lubang itu menjerit, konon pula yang lain. Betapa kecilnya lubang itu,” jawab Susi sembari mempertemukan ibu jari dan kelingking. Semua pada tertawa dibuatnya, begitu juga para senioren.
Dodi yang menyaksikan acara Opspek mirip-mirip perpeloncoan itu, ikut tertawa-tawa bersama teman-temannya ketika melihat Susi digojlok sedemikian rupa. Susi masam saja.
Sejak kejadian itu, hingga akhir tahun kedua, kawan-kawan di kampus menjulukinya Susi Luken. Ia cuek saja dengan istilah itu. Namun ketika memasuki tahun ketiga, julukan ‘Luken’ telah hampir tak terdengar, diganti dengan ‘Lesbi’. Ini tidak lain karena Susi begitu akrab dengan Winda.
Esoknya, lusanya dan seterusnya mereka jumpa lagi. Kebetulan, Dodi senang menulis cerpen, puisi dan hal-hal yang berbau sastra. Bahkan ia merupakan salah seorang dari anggota teater yang cukup terkenal di kota itu. Dodi dan Lukman ternyata saling kenal karena sama-sama tertarik dengan dunia seni (sastra).
“Aku sebenarnya ingin jadi sastrawan saja,” tutur Dodi beberapa saat setelah mereka lama berkenalan.
“Sayang sekali kuliahnya Bang,” jawab Susi.
“Ah... tak masalah, Taufik Ismail juga bukan dari Fakultas Sastra. Begitu juga Putu Wijaya dan banyak yang lainnya. Taufik adalah dokter hewan. Sementara Putu Wijaya sarjana hukum. Dan aku kelak adalah sarjana pertanian. Ya, untuk bisa hidup aku akan bekerja sebagai wartawan,” tutur Dodi menjelaskan.
“Apa menjadi wartawan itu prospektif?” Tanya Susi.
“Susi harus tahu, wartawan itu adalah pekerjaan mulia. Begitu juga profesi sastrawan. Makanya, kita harus bekerja di perusahaan yang sehat. Susi tahu tidak, surat kabar tempat Abang selalu mengirim cerpen itu, honor redakturnya saja puluhan juta rupiah sebulan. Apalagi Redpel, Chiep Reporter, tentu lebih besar. Tapi, iklan yang diperoleh suratkabar itu, satu hari mencapai miliaran rupiah,” jelas Dodi. “Cerpen-cerpen Abang yang dimuat mereka, dibayar Rp 750 ribu untuk satu cerpen. Sesekali mereka juga memuat laporan perjalanan yang kami lakukan. Misalnya tentang adanya kantin di ketinggian puncak gunung dan hal-hal menarik lainnya seperti ketika kami kehabisan makanan dan harus memakan cacing tanah yang kemerah-merahan. Satu laporan perjalanan yang dilengkapi foto, surat kabar itu membayarnya Rp 1,5 juta. Satu laporan perjalanan saja, untuk hidup di kota kita ini kan sudah cukup,” cerita Dodi.
“Tapi, apa nanti Abang bisa diterima sebagai wartawan?”
“Ya, makanya mulai sekarang, Abang akan menulis terus hanya untuk surat kabar itu. Dan setahun lagi – kalau Abang sudah sarjana – Abang akan mengajukan lamaran ke surat kabar itu agar diterima sebagai koresponden, reporter, wartawan, atau sejenisnya. Sebab Abang dengar untuk menjadi wartawan surat kabar itu salah satu syaratnya harus S1,” cerita Dodi saat Susi dan dia tidak punya kesibukan kuliah di halaman kampus suatu ketika. “Yang lebih penting dari semua itu – kalau kita bisa menulis – kita dapat berkomunikasi dengan generasi yang akan datang. Artinya kita dapat mengabadikan kehidupan di dalam tulisan, terutama karya-karya yang berbau sastra. Itu pun tentu saja yang dapat mereferesentasikan zamannya. Ya, pada titik ini karya tulis merupakan potret zamannya,” lanjut Dodi.
“Apakah kalian tidak mempelajari substansi dari karya sastra?” Tanya Dodi pula.
“Abang benar. Tapi aku tak pandai menulis. Sebab, kami di Fakultas Sastra hanya mempelajari teori tentang sastra: cerpen, puisi, novel, naskah drama dan lainnya. Kami – mahasiswa yang kuliah di Fakultas Sastra – tidak diplot untuk menjadi sastrawan. Abang hitung sendirilah berapa banyak sastrawan yang punya back groud dari Fakultas Sastra,” jelas Susi.
“Maka itu, kan tak salah kalau sarjana pertanian kelak akan jadi sastrawan,” tandas Dodi.
“Siapa yang bilang salah. Cuma tadi aku hanya mengucapkan, sayang sekali ilmu pertaniannya hanya untuk jadi sastrawan”.
“Siapa bilang sayang. Dengan ilmu pertanian yang Abang miliki, nantinya Abang akan lebih dapat menerengjelaskan dalam tulisan atau karya sastra, kenapa petani-petani kita kok miskin. Dalam mekanisme industri, memang petani merupakan instrumen dari produksi. Justru itu, paradigma ini harus kita ubah. Petani, seyogianya tidak hanya jadi instrumen atau alat dari produksi. Petani harus diberdayakan agar dapat menentukan mekanisme pasar. Kalau tidak, sampai kapan pun petani kita tidak akan pernah sejahtera dan akan terus-menerus menjadi sapi perah bagi para penguasa pasar.”
“Ngomongnya sudah nyerempet ke politik ini Bang.”
“Ya, ini kan era keterbukaan. Siapa yang takut bicara politik. Cuma kita kan bicara harus punya landasan, punya teori dan alasan, kenapa petani kita sepertinya tak berdaya. Terlebih lagi nelayan. Kita harus bertanya, kenapa laut kita yang luas, dua pertiga dari wilayah kita adalah laut, tetapi nelayannya susah dan melarat. Bahkan kini tak sedikit dari nelayan kita yang sebenarnya bukan lagi nelayan, mereka telah berubah menjadi pekerja kapal ikan. Ini harus dicari sebabnya, harus diinvestigasi, kenapa sampai demikian,” jelas Dodi bersemangat. Susi tak lagi melanjutkan, ia tak mengerti soal itu.
***
Malam mulai merangkak dengan misteri yang dikandungnya. Dodi mulai memperlihatkan keinginannya sebagai seorang suami yang sah dari istri yang dicintainya. Dodi membelai lengan istrinya. Kemudian diciumnya kening, bibir dan leher Susi yang jenjang. Tapi Susi... Ia sangat tidak berselera untuk melakukan hubungan seks.
“Bang, besok aja, ya?” katanya manja.
Dodi mau marah, tapi ditahan saja. Takut ia menampilkan kesan pertama yang tak nyaman. Sebab, bagi Dodi – sebagaimana pertunjukan teater yang begitu dipengaruhi dengan teknik muncul – maka malam pengantin pun harus dijaga jangan sampai ngaco. Dodi berusaha melawan keinginannya dengan mengolah pernapasan dan memokuskan pikiran ke titik lain agar otot genitalnya tak bereaksi lagi. ***














Sebelas

Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus
Lagu kebesaran orang-orang kampus telah bergema, isyarat prosesi wisuda dimulai. Dodi kelihatan semakin gagah dengan pakaian kebesaran kampus berikut toga di ke kepalanya.
Gelanggang Mahasiswa kampus itu cukup ramai. Susi dan Winda tentu saja hadir pada hari yang bersejarah itu. Mereka memang tidak diperkenakan masuk ke ruang Gelanggang Mahasiswa yang cukup besar dan luas. Sebab, para wisudawan hanya diperbolehkan membawa dua orang undangan, selain diri mereka sendiri. Habis, jika semua orang dapat masuk ke Gelanggang Mahasiswa itu, tentu acara wisuda tak kan pernah berlangsung. Mengapa tidak, ruangan itu akan jadi tak karu-karuan dan prosesi tak kan mungkin dilakukan, jika undangan tak dibatasi. Maka yang boleh masuk ke gelanggang itu hanya Dodi dan kedua orangtuanya.
Pakaian hitam-hitam para wisudawan, mendebarkan serta mendirikan bulu roma juga. Sekian tahun bergulat di bangku kuliah menyelesaikan sedikitnya 144 SKS (Sistem Kredit Semester) – yang terkadang tak jarang dari mahasiswa harus merelakan banyak hal terjual dan tergadai – sekarang mereka menerima hadiah itu: sarjana.
Mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari desa atau kampung, kerap dengan sangat terpaksa harus menjual sawah atau ladang mereka untuk mencapai predikat sarjana (S1) yang merupakan pintu gerbang dari keberhasilan meniti karir atau menjadi pegawai negeri. Ini merupakan bagian dari sekian banyak ironi yang terjadi di republik – di mana Susi, Winda, Dodi dan lain sebagainya – dibesarkan: sekolah atau pendidikan harus dibayar dengan mahal.
Setelah jadi sarjana, terkadang tak sedikit dari mereka yang harus menganggur karena ketiadaan atau kehabisan ‘amunisi’ untuk mencari pekerjaan. Sebab, untuk bertarung di bursa kerja swasta, dibutuhkan – di samping ijazah – adalah keterampilan. Sementara tak sedikit pula dari tamatan sarjana itu hanya menguasai teori saja, mereka sama sekali tak memiliki keahlian atau skill, tak memiliki kompetensi.
Untuk menjadi pegawai negeri, polisi atau aparat negara lainnya dibutuhkan lagi ‘amnusi’ atau 3D (duit, deking dan dukun). Ada duit, tapi tidak ada deking dan relasi, kepada siapa mau diberikan uang untuk menyogok. Sementara dukun atau doa adalah faktor pelengkap.
Beda dengan Dodi, ia memang tak pernah berpikir untuk menjadi pegawai negeri atau swasta. Sejak mulai menjejakkan kaki di Fakultas Pertanian, yang ada di dalam benaknya, ilmu yang diperoleh di kampus itu hanya merupakan ‘alat bantu’ untuk menuju keinginan yang sebenarnya: menjadi seniman. Ya, kuliah di Fakultas Pertanian baginya hanya unyuk menyenangkan hati kedua orangtuanya, terutama ayah yang pegawai Dinas Pertanian. Namun begitu, Dodi tetap belajar sungguh-sungguh untuk dapat mencapai titel sarjana tepat waktu. Ya, hanya empat tahun ia dapat menyelesaikan SKS demi SKS dengan IP (Indeks Prestasi) Kumulatif 3,4. Suatu prestasi yang cukup dapat dibanggakan.
Maka wajar pula kedua orangtuanya sangat bangga pada Dodi. Pagi-pagi sekali mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara wisuda anak mereka yang sulung ini. Rini adik Dodi satu-satunya, mereka bawa juga untuk menyaksikan keberhasilan abangnya meraih titel SP (Sarjana Pertanian) dari sebuah univeristas negeri yang cukup bonafide di kota tempat mereka lahir dan dibesarkan.
Meski belakangan demikian banyak perguruan tinggi swasta hadir dan IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) juga diubah jadi universitas negeri, namun universitas negeri yang pertama di kota itu tetap jadi favorit.
Tustel, payung, makanan ringan serta seperangkat keperluan lainnya sudah dipersiapkan untuk keperluan wisuda Dodi. Orangtua Dodi memang begitu peduli terhadap masa depan kedua anaknya. Terlebih Dodi yang merupakan anak pertama.
Rini terpaksa menunggu di luar Gelanggang Mahasiswa, sebab penjagaan dari Resimen Mahasiswa cukup ketat demi terselenggaranya acara yang cukup bersejarah. Bunga-bunga bougenvil yang berwarna keungu-unguan lagi bermekaran dari pohon-pohon yang cukup rindang di halaman gelanggang. Daun-daun sawit yang tumbuh di antara trotoar pemisah jalan, bergoyang perlahan ditiup angin seakan mengucapkan selamat kepada Dodi dan wisudawan lainnya yang telah bersusah payah menyelesaikan tugas-tugas perkulihan.
Jejeran parkir telah memenuhi tidak hanya halaman Gelanggang Mahasiswa, tetapi telah pula sampai ke Fakultas Sastra, Pendopo dan gerbang kampus. Pokoknya Jalan Universitas hari itu padat dengan jejeran mobil yang parkir dan kendaraan roda dua. Karena ditata sedemikian rupa, meski padat tak sampai memacatkan jalan.
Usai acara wisuda, para sarjana baru itu ke luar gelanggang satu per satu dengan tertib dan wajah yang ceria. Dodi yang bertubuh tinggi tegap, semakin gagah dengan rambut gondrongnya. Ia diapait oleh ayah dan ibu. Matanya melirik ke sana-sini mencari seseorang, begitu tertumbuk pada Susi, lelaki muda itu tersenyum. Dengan berlari kecil Dodi memburu Susi yang sedang menunggu bersama Winda dan Rini. Keramaian gelanggang ditepis Dodi. Begitu juga kedua orangtuanya, ditinggalkan Dodi dalam upaya memburu orang yang dicintainya: Susi.
Secepat kiliat, Dodi memeluk Susi setelah mendapat ucapan selamat dari Winda, Rini dan Susi sendiri yang gelagapan diperlakukan sedemikian rupa. Sementara Winda dan Rini hanya menatap adegan yang bagai film saja. Kedua orangtua Dodi hanya senyum.
Terkesima juga Winda saat menyaksikan Dodi memeluk Susi sedemikian kuat. Terasa sekali betapa Dodi begitu mencintai Susi. Muncul perasaan aneh di dalam diri Winda menyaksikan Dodi dengan pakaian kebesaran kampus. Namun persasaan itu dia buang jauh-jauh. Ketika muncul rasa itu, muncul pula rasa berdosa, bila ia membiarkan getaran itu mejalari seluruh susunan syarafnya.
“Tidak, Dodi hanya suka pada Winda. Aku tak boleh mengganggu hubungan mereka,” bisiknya dalam hati.
Bagi Winda, mungkin juga bagi Susi, kebersamaan mereka yang panjang menimbulkan tidak saja keakraban, pun kebersatuan jiwa. Winda dan Susi merasa mereka satu. Maka, jika Susi merasa berbahagia, Winda pun harus ikut bahagia. Begitu pula sebaliknya. Pokoknya, Susi dan Winda bagai satu jiwa yang ada di dalam dua tubuh.
Justru itu, setiap kali bertemu Dodi, setiap kali pula muncul getar aneh itu, maka setiap kali lagi Winda merasa berdosa. Ia takut sekali sahabatnya sejak SMA itu tahu bahwa ada getar aneh, ada getar nikmat yang menjalari tubuhnya saat bersama Dodi. Tapi, getar itu ia benam jauh-jauh di dasar hati yang tak mungkin dan tak boleh terungkap.
“Aku cinta padamu,” desah Dodi sembari memperketat pelukannnya. Secara reflek pula, Susi membalas pelukan itu. Tanpa terasa air mata menetes di pipi Susi. Selanjutnya mereka berfoto bersama di halaman gelanggang.
Ketika Dodi menyatakan cintanya di Gelangang Mahasiswa itu, Susi menerima tanpa banyak pertimbangan. Habis, usianya sudah 22 tahun ketika itu. Apalagi yang dinantikan seorang gadis seperti Susi. Tambahan pula, teman-teman di kampus selalu mengejeknya punya kelainan, “deviasi psikologis”, celoteh mereka.
Susi mengakui memang – selama ini – tak seorang lelaki pun dapat menerobos bilik hatinya yang tertutup sedemikian rupa. Sehingga terkesan ia memang ogah dengan lelaki. Tambahan lagi, ia begitu dekat dengan Winda. Maka, wajarlah kawan-kawan mencurigainya punya affair dengan Winda. “Nauzubillah, aku mereka sangka lesbi,” kesalnya di dalam hati.
Hal terakhir inilah yang mendorong Susi, kenapa dengan mudah membuka pintu cinta kepada Dodi, tetangga – di kampus – juga kediamannya tak jauh dari kediaman Susi. Terlebih, Dodi begitu penuh perhatian, layaknya seorang abang kepada adiknya. Hal lain, Dodi telah pula lama dikenal.
Sebenarnya, ada latar belakang psikologis, kenapa Susi sepertinya enggan berpacaran. Ada perasaan di dalam jiwanya, andai ia berpacaran – yang tak dapat tidak – ada kaitannya dengan seks, susi takut kehilangan sesuatu yang dianggapnya sakral, yang tulus: cinta dan kasih sayang. Seks bagi Susi merusak kesucian cinta kasih. Inilah yang menyebabkan, tak sedikit lelaki ditolaknya ketika akan memasuki bilik cintanya.
Dodi juga sebenarnya ingin ditolak susi. Tetapi, cibiran teman-teman sangat menghantui perasaannya. Sehingga ia takut mereka sebut: lesbi.
Namun Susi juga merasa heran, kenapa ia tak berani mengatakan yang sebenarnya tentang dirinya kepada Dodi?
Malam usai wisuda sarjana Dodi, Susi terus bermain dengan pikirannya. Ada dua garis yang membentang di hadapannya. Bila ia menolak Dodi, niscaya benarlah dugaan orang-orang bahwa dirinya lesbi. Tetapi, bila ia menerima Dodi, apakah nanti lelaki itu tak kecewa kalau sesungguhnya Susi tak mencintainya? Padahal tadi di Gelanggang Mahasiswa, Susi membalas dekapan Dodi begitu hangat. Ah...kepalsuan, manusia agaknya begitu akrab dengan hal itu. Tapi, apa bisa Dodi menerima dirinya tanpa topeng, tanpa kepura-puraan, tanpa kepalsuan?***























Duabelas

Lelah bermain dengan pikirannya sendiri, akhirnya Susi tertidur di kamarnya. Malam itu ia bermimpi ngeri sekali. Susi dibawa oleh sebentuk makhluk besar menyerupai raksasa ke sebuah gua yang dindingnya dipenuhi oleh kelelawar dalam jumlah yang banyak dan besar-besar.
Makhluk menyerupai raksasa itu mengikat tangannya ke belakang dengan tali yang terbuat dari jerami. Begitu juga kaki Susi. Kemudian dari kamar di dalam gua itu, sang raksasa mengeluarkan seorang lelaki yang wajahnya menyerupai Dodi. Tangan lelaki itu pun diikat ke belakang. Seterusnya raksasa itu mencabik-cabik pakaian yang dikenakan Susi, sementara tali yang mengikat tangan lelaki tersebut dibuka.
Dengan cambuknya, raksasa memerintahkan kepada lelaki yang mirip Dodi itu mengeluarkan kemaluannya dan menyodorkannya ke mulut Susi. Bila lelaki itu membandel, maka sang raksasa mencambuknya dengan ekor ikan pari. Lelaki itu menjerit, maka sang raksasa tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema ke seluruh sudut gua.
Akhirnya lelaki itru dipaksa sang raksaa untuk menyetubuhi Susi yang terikat. Susi tak dapat melawan. Ia sangat ketakutan sekali. Rasa nyeri begitu dahsyat ketika kemaluan lelaki itu menerobos vagina Susi. Sementara sang raksasa – melihat hal itu – naik birahinya, ia pun memanggil raksasa betina. Kedua raksasa itu bercumbuan sebagaimana manusia. Susi jijik sekali melihat cara mereka bersenggama. Susi menjerit-jerit dengan bahasa yang tak dimengerti. Sang ibu dan ayah yang tidur di kamar sebelah terjaga. Ibu menggedor-gedor pintu kamar Susi. Namun Susi terus menjerit, lalu ayah pun ikut menggedor dan memanggil-manggil nama Susi.
Susi tersentak dari tidurnya, “ya, ya, ya, Ayah,” sahutnya dari kamar.
“Ada apa Nak,” tutur kedua orangtuanya.
Susi membuka pintu. Kedua orangtuanya masuk dan memeluk Susi. Ibu mengelus-ngelus bahu dan rambutnya. Sementara ayah mengambil air hangat ke dapur.
“Susi bermimpi.”
“Mimpi apa?” Tanya sang ibu.
“Ngeri sekali Bu,” jawabnya.
Ayah datang membawakan segelas air hangat dan memerintahkan agar Susi meminumnya.
“Sudah, tenangkan hatimu. Tarik napas dan bacalah doa,” kata ayah.
Setelah tenang. Susi kembali duduk di tempat tidur, sang ibu masih membelai dan menasihatinya agar jangan lupa berdoa setiap menjelang tidur. Seterusnya kedua orangtuanya kembali memasuki kamar mereka. Tinggallah Susi di kamarnya sendiri. Pikirannya sudah tenang, tetapi ia merasa aneh, kenapa dapat bermimpi sengeri itu. ***




















Tigabelas

Susi adalah anak kedua dan putri tunggal dari enam bersaudara. Wajar saja, kalau kedua orang tua lebih menyayanginya ketimbang anak-anak yang lain, terlebih ayahnya yang pegawai Departemen Pekerjaan Umum (belakangan diganti jadi Dinas Kimpraswil – Pemukiman dan Prasarana Wilayah). Susi adalah putri semata wayang mereka. Ketika sudah TK (taman kanak-kanak), Susi masih dikeloni.
Secara fisik Susi tumbuh wajar sebagaimana anak-anak lainnya. Kedua orangtuanya begitu toleran dalam mendidik anak-anaknya, maka Susi tak harus ke dapur, tak harus bermain tali. Susi bebas mau main kelereng, berkejar-kejaran. Bahkan berlari-larian dalam hujan dengan tubuh telanjang.
Orangtua Susi juga tak melarang dirinya untuk bermain perang-perangan, memakai pakaian sebagaimana layaknya lelaki. Sejak kecil Susi yang manis dan semampai itu cekatan melakukan banyak hal. Sampai ketika akan memperbaiki genteng yang bocor, orangtua tak melarang Susi memanjat. Itu pulalah sebabnya, kawan-kawan kecil Susi menyebut dirinya: Susi Tomboy.
Rasa sayang ayah pulalah mungkin yang menyebabkan Susi sampai memasuki usia TK masih tidur bersama kedua orangtuanya.
Sampai suatu malam, Susi terjaga mendengar suara ritihan yang tertahan. Susi melihat ayahnya seperti bergulat dengan ibu. Lalu ia menjerit dan memukul-mukul ibu. Dalam pikirannya, ibu sedang menyakiti ayah tersayang. Ya, memang ia sangat menyayangi ayah.
Itulah, awalnya. Susi tak boleh lagi sekamar dengan ayah dan ibunya. Ia diungsikan ke kamar sebelah. Setiap malam, Susi sulit tidur. Mulanya ia merasa tidak tentram tidur sendirian. Bukannya takut. Tapi, ia benar-benar sayang pada ayah. Dan sepertinya – sejak kejadian itu – kasih sayang ayah seakan dirampas dari dirinya. Ya, setiap malam, ada satu bulan ia sulit memejamkan mata. Hingga pukul 24.00 lebih terkadang Susi baru dapat terlelap.
Pada suatu malam, kedengaran ibu merintih, seperti suara yang ia dengar tempo hari. Mulanya Susi menempelkan daun telinga ke dinding. Namun, ketika ia menyaksikan sebuah lubang kecil, ia pun mengintip. Pada saat itu, timbul kesannya, ayah dan ibu bukannya bergulat atau berkelahi. Ia tanyakan pada Marwan – abangnya – anak pertama dari keluarga mereka. Namun, Marwan pun sepertinya juga tak mengetahui hal ini. Boleh jadi, sebab – ketika itu – Marwan baru SD kelas I.
Susi mempengaruhi Marwan untuk melakukan pengintipan seperti yang dilakukannya selama ini. Sayangnya, selama lima hari mereka melakukan hal itu, tak pernah terjadi ‘pergulatan’ ayah dan ibu sebagaimana yang diceritakan Susi. Sehingga Marwan pun bosan, lantas memutuskan untuk tidur di kamarnya sediri.
Susi pun tak lagi terseret dengan keinginan mengintip, sampai ia sudah jadi gadis kecil dan mulai mensturasi dan adik-adiknya pun telah bertambah empat orang lagi. Guru mengajinya pun pernah bercerita tentang dosa-dosa manusia yang salah satunya adalah mengintip.
Namun ketika Susi mulai remaja antara dosa dan keinginan mengintip bergayut di tempurung kepalanya. Tambahan lagi bila ia mendengar erang ibu, dorongan mengintip itu semakin kuat. Akhirnya Susi tak tahan, begitu mendengar ibu merintih di kamarnya, ia pun menyalurkan hasrat mengintipnya.
Begitulah, pada usia yang belum sepantasnya, Susi mempunyai hobi mengintip. Anehnya lagi, Susi mengalami kepuasaan saat menyaksikan ayah dan ibu saling pagut, peluk, dan cium kemudian terlentang bersama kepuasaan. Kepuasaan ibu dan ayah, sepertinya juga kepuasann Susi. Bahkan tanpa disadari, celana dalamnya basah dan mengeluarkan bau yang bagi Susi cukup nikmat untuk diendus.
Lama-lama timbul pertanyaan dalam dirinya, apakah ia memang punya kelainan mental seperti yang disebut oleh kawan-kawan? Ya, di SMA, sama sekali ia tak pernah ingin ‘berteman dekat’ dengan pria. Bagi Susi – ketika itu – hubungan pria dan wanita dalam hal seks, hanyalah dilihat dari sudut fisik. Sehingga terbentang garis di benaknya, antara seks dan cinta ada jurang pemisah yang dalam.
Seks menurut Susi dapat mengotori hubungan cinta dan kasih sayang. Justru itu, ia tak suka seks, bahkan membencinya. Susi dapat puas hanya dengan mengintip saja.
Susi memang belum pernah memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog. Atau karena ini pula teman se-SMA yang bernama Jaka, Usman, Iwan, Wandi dan lain sebagainya – ketika mereka menyatakan cinta – Susi menolak, bahkan membenci mereka. Susi takut, jika ia menerima cinta mereka, akan hilanglah rasa perkawanan dan persahabatan yang murni serta adhiluhung. Akan hilanglah kasih sayang dan cinta yang murni. Kehadiran seks akan mengotorinya.
Itu pula sebabnya Susi hanya suka berteman dengan wanita. Uniknya lagi di antara teman-teman wanita itu, hanya Windalah yang paling akrab dengannya.
Kediaman Susi dan Winda hanya beda beberapa lorong saja. Kalau Susi tinggal di Suka Jaya, Winda di Suka Subur. Sementara Dodi tinggal lebih ke hulu, orang-orang mengatakannya ‘bukit’. Karena daerah tempat tinggal Dodi memang lebih tinggi. Namun mereka bertiga masih dalam satu desa: Sukamaju. Di Desa Sukamaju itu, lorong-lorongnya diberi nama dengan sebutan ‘suka’. Suka Makmur, Suka Adil, Suka Sabar, Suka Baik dan lain sebagainya.
Susi dan Winda kerap pergi ke sekolah bersama. Mereka terkadang menyusuri Jalan Alfalah menuju Sisingamangaraja atau ke Jalan Abdul Hamid. Jalan Alfalah membelah Sisingamangaraja dan Abdul Hamid. Ke atas lagi ada Jalan Tritura yang lebih baru dan besar dibanding Jalan Alfalah.
Dari Sisingamangaraja atau Abdul Hamid, Susi dan Winda naik angkot menuju Jalan Sutomo di mana mereka sekolah. Tapi, kadang-kadang, Susi dan Winda diantar ke sekolah oleh orangtua Susi atau Winda.
Tamat SMA Susi dan Winda sama-sama mengikuti Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru, diganti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan sekarang SPMB) dengan pilihan yang sama juga. Winda pun memilih Kedokteran sebagai pilihan pertama dan Pertanian pilihan kedua untuk formulir IPA. Sementara untuk formulir IPS, Winda memilih Hukum sebagai pilihan pertama dan Sastra Indonesia pilihan kedua. ***

Empatbelas

Mula pertama Susi didekati Dodi, memang di antara mereka terjadi kekakuan. Namun, lama-kelamaan kekakuan itu berubah jadi akrab, terbuka, sehingga Susi terkadang merasa bahwa Dodi bukanlah pacar, melainkan abang kandung. Sebab, Marwan kerap melecehkan dan kasar terhadapnya. Mungkin inilah sebabnya, ketika Dodi berlaku sebaliknya terhadap Susi, dianggaplah dia abang yang melindungi.
Segala masalah Susi, diperhatikan oleh Dodi dengan teliti. Dari blus, pita, bahkan juga tas serta sepatu tak luput jadi perhatiannya. Namun Susi tak menceritakan keseluruhan dirinya pada Dodi. Ada hal yang ia simpan dalam-dalam dan menjadi rahasia hatinya: ketakutan Susi bercinta dan berpacaran.
Cinta antara lelaki dan wanita akan melahirkan roamnsa seks. Dan, seks di mata Susi akan merusak hubungan suci itu. Seks – masih menurut Susi – akan membuat wanita tersubordinasi di bawah ketiak lelaki, Susi tak mau itu sampai terjadi pada dirinya.
Ketika Susi harus membuat paper KKN (Kuliah Kerja Nyata), Dodilah yang mengetiknya di komputer dan di-print dengan rapi.
Bahkan ketika Susi telah menyelsaikan seluruh mata kuliah, Dodi sangat berperan dalam penyelesaian skirpsinya. Dorongan semangat dari Dodi pula yang membuat Susi dapat menuntaskan skirpsinya. Kalau tidak, Susi tak tahu harus berapa lama menyelesaikannya. Sebab, Susi memang tak begitu tertarik dengan sastra.
Susi ketika Sipenmaru dulu memilih Jurusan Sastra Indonesia sebagai pilihan terakhir. Ketika itu untuk masuk FS (Fakultas Sastra) universitas negeri yang cukup bonafide di kota mereka diselenggarkankan lewat Sipenmaru. Sebelumnya dikenal dengan PP1 (Proyek Printis Satu).
Susi yang di SMA jursan IPA (Ilmu Pasti Alam) boleh memilih empat jurusan. Untuk IPA, Susi memilih Kedokteran dan Pertanian. Sementara untuk IPA, Susi memilih Fakultas Hukum dan Sastra. Ternyata ia lulus di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra.
Sejak itu pulalah Susi – mau tidak mau – harus berhadapan dengan Teknik Mengarang, Apresiasi Sastra, Dramaturgi, Filsafat, Karakter dan lain sebagainya. Sejak itu pulalah Susi mulai berkenalan dengan karya-karya Sastra Indonesia sekaligus mengenal biografi pengarangnya.
Susi pun kenal dengan WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Remy Silado yang terkenal dengan puisi-puisi emblingnya dan juga penulis novel serta suka musik, Putu Wijaya, Arifin C Noor, Taufik Ismail, Sutardji Coulzum Bachri dan lain sebagainya.
Di samping mengenal para sastrawan, Susi pun mulai pula mengenal para kritikus sastra seperti A Teuw, Mursal Esten, Korry Layun Rampan yang juga sastrawan serta Paus Sastra HB Yassin dan lain sebagainya.
Sebenarnya, Susi lebih tertarik dengan karya-karya realis seperti Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis, NH Dini, AA Navis, dan lainnya. Itu tidak lain karena Susi agak sulit memahami karya-karya kontemporer yang disebut absurd atau aliran bawah sadar. Susi susah memahami karya-karya yang ditampilkan Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan lainnya.
Kalau puisi, Susi lebih tertarik karya-karya WS Rendra, Taufik Ismail, Bur Rasuanto, Sitor Situmorang, atau tokoh Angkatan 45 Chairil Anwar, dan lain sebagainya. Sedangkan karya-karya Goenawan Mohammad, Sutardji, Sapardi, dan lainnya susah dipahaminya.
Justru itu, sebenarnya Susi ingin membahas novel Harimau-harimau karya Mochtar Lubis untuk skripsinya, namun ketika hal itu dikonfirmasikannya kepada Dodi, lelaki itu menjawab, “Di samping Harimau-harimau sudah banyak dibahas orang, juga kurang menantang. Kan lebih menarik membahas masalah-masalah yang ditawarkan oleh Arifin C Noer?”
“Aku kurang mengerti filsafat. Sedangkan karya-karya Arifin penuh dengan pemikiran.”
“Karena itulah, bila membahas karya-karya Arifin seperti Sumur Tanpa Dasar akan begitu menantang dan menarik.”
“Nanti aku tak dapat menyelesaikan skripsi itu karena aku tak mengerti betul.”
“Abang akan bantu,” tegas Dodi.
Dalam mempersiapkan skiripsi Susi, Dodi mengumpulkan referensi: buku filsafat, psikologi, teori sastra, dan lainnya. Stelah kerangka (outline) skripsi selesai, Susi mengajukannya ke Pak Zainal, sang pembimbing yang juga berjanji akan membantu.
“Naskah drama ini menggambarkan sosok orang kaya yang ternyata tak dapat menikmati kekayaannya. Ia hanya dapat menghitung-hitung kekayaannya saja. Sebab, waktunya habis hanya untuk menghitung. Itulah makanya saya sangat tertarik,” jelas Pak Zainal di bawah pohon buah roda yang ada di halaman kampus.
“Maksud Bapak tokoh Jumena Martawangsa.”
“Ya betul. Jumen adalah prototipe manusia serakah, penuh prsangka dan culas. Sampai-sampai dengan istrinya sendiri – temannya sebantal – ia tak percaya.”
“Buku-buku filsafat apa yang dapat mendukung skripsi saya ini, Paj?”
“Di samping psikologi kepribadian, kau harus lengkapi dengan filsafat eksistensialisme Karl Jasper, Soren Kieckegard serta Freud,” jelas Zainal.
Hari-hari Susi disibuki dengan tugas menyelesaikan skripsi. Saat-saat lowong dari tugas, Dodi pun kerap mendampinginya. Sebab, begitu menyelesaikan kesarjanannya, Dodi langsung membuat lamaran ke surat kabar di mana ia selalu menulis cerpen, laporan perjalanan, features, dan lain sebagainya.
Susi serasa makin dekat dengan Dodi. Sesekli mereka berciuman dan saling meraba. Namun, Susi merasa aneh, ia tak pernah terangsang dengan semua itu. Ciuman dan rabaan Dodi memang dibalasnya, semata hanya untuk menunjukkan bahwa ia suka Dodi. Padahal sesungguhnya ia suka Dodi sebatas hubungan abang dan adik, bukan hubungan lelaki dan wanita sebagaimana lazimnya.






Limabelas

Susi, di samping mulai akrab dengan Dodi, juga tetap akrab dengan Winda. Dikatakan akrab, karena Susi dan Winda sering memutar VCD (video compact disk) yang disebut oleh orang-orang duaenam alias BF (blue film). Ketika menonton dengan Winda inilah Susi baru merasakan nikmat yang tak jarang sampai orgasme. Ia pun kerap bila akan sampai ke puncak, memeluk dan meraba Winda. Begitu juga teman akrabanya itu, dengan penuh kasih mendekap Susi. Tapi hanya sebatas cium dan dekapan saja. Bahkan mereka sama sekali tak pernah melepas pakaian masing-masing. Makanya bila ada selentingan yang mengatakan Susi dan Winda punya affair, keduanya hanya mengelus dada. Susi dan Winda tak pernah sekalipun melakukan hubungan lesbi sebagaimana yang dibayangkan orang-orang.
Bahkan hubungan Susi dengan Dodi, diceritakannya secara gamblang pada Winda. Jika antara Susi dan Winda terbina hubungan lesbi tentu Susi tak berani menceritakan apa-apa tentang Dodi kepada Winda. Tentu lagi, Winda akan marah besar bila tahu ‘kekasih’ hatinya ada affair dengan orang lain, meski ia lelaki.
Winda pun mengacungkan jempol kepada Dodi sebagai calon suami yang familiar. Namun di sebalik itu, sesunguhnya Winda suka sama Dodi. Tipe lelaki ideal di mata Winda, ya, seperti Dodi itulah: ganteng, cerdas, cekatan dan penuh perhatian. Begitupun rasa suka Winda itu ditahannya sedemikian rupa, sehingga tak terbaca oleh Susi. Sehingga sahabatnya itu, tak sedikit pun tahu kalau sebenarnya Winda suka Dodi.
Melihat, keintiman Susi dengan Dodi, teman-teman – termasuk Winda – menyarankan agar mereka berdua segera menikah, tanpa harus menunggu selesainya studi Susi di Fakultas Sastra. Mereka mengatakan, agar jangan sampai terjadi ‘persekot’ alias hamil duluan baru menikah.
Keintiman Susi dengan Dodi, terlihat semakin berkembang. Marawan beberapa waktu lalu – setelah Dodi sarjana – meninggal akibat tabrakan. Namun Susi tak merasakan kehilangan Marwan, posisi keabangan Marawan sejak lama sudah digantikan oleh Dodi. ***
Enambelas

Susi mengalami malam pengantin yang sedikit aneh. Tapi, ia enggan memeriksakan diri ke dokter, psikiater atau ahlinya. Dodi, sudah ingin sekali malam pengantin dilalui dengan hubungan seks. Tapi perasaan Susi hambar. Rasanya perlu didorong oleh sesuatu lebih dulu. Padahal Dodi cukup baik merangsangnya, namun Susi sendiri belum ingin.
Dodi telah membelai-belai rambut Susi, mencium kening, leher, bibir pun sudah dilumat. Tak ketinggalan gunung dua yang menonjol di dada Susi sudah sejak tadi dipermainkan sedemikian rupa. Pesawat Dodi pokoknya sudah siap memuntahkan lahar panas. Tapi, apa lacur, Susi dingin saja, tak berselera.
Tampak sekali wajah Dodi kecewa karena malam pengantin tidak dilalui dengan hubungan seks. Hanya ditolak dengan kata ‘besok’.
Esok malamnya juga demikian. Sampai Dodi membujuk apa yang Susi inginkan akan dilakukan Dodi sehingga sama-sama puas, tapi tak juga terlaksana sebagaimana lazimnya penganten baru. Maka, walau terpaksa, Susi menceritakan masa kecil dan remajanya, terutama ikhwal mengintip itu. Cuma, Susi tak menceritakan kepada Dodi bahwa dirinya dan Winda sering memutar VCD dua enam. Susi sebenarnya merasa tak pantas menceritakan ikhwal mengintip itu. Namun, kalau semua ditutupi tentu akan berakibat lain terhadap perkawinannya.
Ya, sesungguhnya Susi merasa tertekan dengan menceritakan masa lalunya itu. Namun karena dorongan Dodi yang begitu kuat untuk berhubungan seks – meskipun berat, meskipun tertekan – Susi terpaksa menceritakan peristiwa mengintip dan peristiwa masa kanaknya melihat ayah dan ibu sedang ‘bergulat’.
Dodi semula terkejut mendengar kisah Susi. Namun, sebagai orang yang suka sastra, tentu Dodi memamahi kondisi psikologis, kenapa Susi merasa tak nyaman bersetubuh.
Dodi hanya berusaha agar Susi dapat mersakan perkawinan sebagai sesuatu – yang bukan saja wajar – juga nikmat. Lelaki itu pun berusaha mencari solusi peristiwa penolakan hubungan seks itu.
Bagi seorang lelaki, penolakan seperti itu merupakan sesuatu yang sangat menjengkelkan serta menjatuhkan harga diri. Namun jika Dodi mengikutkan perasaan demikian, niscaya tidak akan ditemukan jalan ke luar.
Jadilah perkawinan Susi dan Dodi perkawinan yang aneh. Dodi – setelah bingung sampai sore berpikir keras – akhirnya menemukan jalan keluar – kamar pengantin dilengkapi dengan VCD. Dia pun mencari film yang hanya layak ditonton orang dewasa.
Pukul delapan malam Susi dan Dodi masuk ke dalam kamar, Dodi mengatakan akan memberi suprise.
Setelah lampu padam, film diputar. Apa yang Susi alami benar-benar mendebarkan jantung – seperti yang ia alami bersama Winda – melihat adegan-adegan hubungan intim itu. Akhirnya, Susi yang meminta Dodi untuk menggaulinya. Anehnya, begitu Dodi akan melakukan penetrasi, mimpi tentang raksasa di dalam gua itu membayang di tempurung kepala Susi. Akhirnya, yang dialami Susi bukannya rasa nikmat tetapi teramat sakit.
Ketika Dodi kembali mencoba melakukan penetrasi ke vagina Susi, istrinya itu menjerit dan menangis. Untung orang-orang di rumah tersebut tak mendengar jeritannya. Kalau tidak, bagaimana jadinya. Jelas saja orang-orang di rumah itu – terutama ayah dan ibu – akan menduga bahwa Dodi kasar dan tidak pandai mamuaskan istri.
Bersebab itu pulalah, seminggu usia perkawinan, pasangan itu mohon izin kepada kedua orangtua Susi untuk menempati rumah mereka yang dibeli sang suami ketika masih lajang. Uang gaji, honor tulisan, SPJ (surat perintah jalan) dan bantuan orangtuanya memungkinkan Dodi dapat membeli rumah yang layak huni . Kamarnya dua. Di dalam kamar ada kamar mandi, westafel, ruang shalat dan meja untuk Dodi menulis berita, cerpen, laporan perjalanan dan lain sebagainya.
Komputer mereka dilengkapi dengan modem serta saluran telepon ssehingga dapat mengakses internet. Lewat e-mail (di komputer) pula Dodi mengirim naskah-naskahnya ke redaksi di Jakarta.
Susi kapok dan jera melakukan hubungan seks sejak malam pengantin itu. Ia mengatakan kepada Dodi tidak akan melakukannya lagi.
Mungkin Dodi menganggap ancaman itu untuk sementara. Tetapi setelah Susi bersumpah bahwa hubungan itu baginya neraka menyakitkan ketimbang surga kenikmatan, Dodi mulai murung. Memang setelah Dodi mengemis-ngemis ditolak Susi seluruhnya, akhirnya Susi pun hanya dapat memberikan sampai batas demarkasi sehingga tidak diperkenankan lebih dari batas yang dapat membuat ia menjerit.
Sebagai seorang sarjana sastra Susi tahu benar, Dodi menderita sekali dengan legalitas terbatas itu. Namun apa hendak dikata. Susi mengatakan kepada Dodi, kalau tidak lagi cinta padanya, yah, perbuatlah sampai ia menjerit. Rupanya Dodi teramat mencintai Susi, sehingga ia menerima sampai batas yang diperbolehkan. Yah, dalam keadaan kepepet dan kasihan, akhirnya Susi dan Dodi terpaksa melakukan hubungan intim dengan gaya enamsembilan alias oral seks, sebagaimana yang dilakukan di dalam mimpi. Itu pun mereka lakukan setelah melihat situs porno di internet atau memutar duaenam. Kalau tidak, Susi sama sekali tak bergairah.
Setahun mereka dapat bertahan dengan cara begitu. Dodi tampak mulai menjauhi Susi. Karena kamar mereka dua buah, kadangkala Dodi tidak tidur sekamar dengan Susi. Dodi berada di kamar sebelah membaca serta menyibukkan diri sendiri, atau menghabiskan waktu dengan komputer serta lain sebagainya. Susi dibiarkan bermain sendiri dengan pikirannya. ***










Tujuhbelas

Beberapa bulan setelah Dodi dan Winda menikah – sahabat Susi dan sekaligus madunya itu – hamil. Uniknya lagi Susi sungguh senang meraba-raba perut Winda. Apalagi ketika Winda hamil besar. Kalau Susi memandikannya, senang sekali ia menggosok-gosokkan telapak tangannya pada pusar Winda yang menonjol karena kehamilan yang membesar itu.
Bayi pun lahir. Nah, inilah awal neraka itu. Susi mulai cemburu apabila suaminya Dodi menimang bayinya, menciuminya. Apalagi setelah melahirkan – selama empat puluh hari – Dodi tak diperkenakan bersetubuh dengan Winda – ia lebih memperhatikan bayinya daripada Susi. Wanita muda itu muak jika Dodi menceritakan tentang bayinya. Berkali-kali Susi mengucapkan pada Dodi bahwa dirinya cemburu dengan cerita-cerita itu, tapi lelaki itu tak peduli, terus saja bercerita tentang Yanto Prakoso sang bayi yang sangat dicintainya.
Cemburu kerap menjalari diri Susi. Ia bukan hanya muak dan benci pada Dodi, tetapi juga cemburu, eneg dan benci pada Yanto, si bayi mungil yang tak tahu apa-apa itu. Rasa cemburu dan muak itu memuncak manakala Susi membaca cebuah puisi yang ditulis oleh Dodi sebagai ungkapan kasihnya pada sang permata hatinya itu.
anakku, di bening matamu aku berguru
terbaca masa masa depan
yang penuh harapan sekaligus kecemasan
ada nyanyian pagi beirama embun penuh kesejukan
ada pula siang terik yang membakar kulit dan melelahkan

anakku, di bening matamu aku mengeja
ayat-ayat keilahian yang diamanatkan
ada masa lalu yang tak dapat kupintal
ada masa depan yang penuh tantangan

anakku, di matamu yang bening aku mengeja
mencari tahu tentang siapa diriku
memintal masa lalu yang tak pernah tuntas
meramal masa depan yang samar

anaku, di bening matamu aku berguru
akankah kudapatkan kesarjanaan hidup
ketika jam dinding tak lagi berdetak
ah... aku terus bertanya-tanya

Memang puisi itu belum diterbitkan, masih ada di dalam harddisk. Ketika Susi lelah membuka-buka situs di internet, juga situs porno, sebagai kompenasi rasa muaknya pada Dodi, Yanto dan Winda, ia membuka file suaminya. Maka terbacalah puisi itu, lalu di-print, dan muka wanita itu memerah menahan amarah.
Susi menggedor-gedor pintu kamar sebelah dengan kasar. Yanto terbangun dan menangis karena terkejut.
“Buka Dodi, buka Winda,” teriak Susi.
Dodi membuka pintu dengan tergesa karena terkejut, namun ia tetap menenangkan diri.
“Ada apa Sus,” tanyanya lembut.
“Baca! Baca ini!” Teriak Susi makin keras.
“Sabar Sus, ada apa,” tanya Dodi lagi sembari mengambil kertas yang disodorkan Susi. Di belakangnya Winda melihat adegan itu dengan takut dan cemas.
“Ceraikan aku! Ceraikan aku!” Sergah Susi. Dodi memeluk istrinya sembari melihat kertas yang ternyata adalah puisi yang ditulisnya beberapa waktu lalu dan belum dikirim ke redaksi.
Susi menolak tubuh Dodi. Lelaki itu terdorong ke belakang, namun masih tetap berdiri. Tetangga-tetangga mungkin sedang nguping atau mengintip adegan itu. Karena pemukiman tempat tinggal mereka masih dapat dikatakan komunitas kaum marjinal yang suka usil, suka ingin tahu urusan orang lain.
“Sabar Sus, sabar,” bujuk Dodi lagi. Susi sesenggukan.
“Aku muak dengan kalian. Besok kalian harus segera pindah dari rumah ini. Aku tak ingin lagi melihat muka kalian bertiga,” sergah Susi.
“Iya Sus, kami akan pindah. Sabar, tenangkan hatimu,” Dodi terus mendekap istrinya. Iba juga hatinya melihat Susi dalam keadaan tak karu-karaun begitu.
Dodi meminta Winda agar tidur kembali dan mendiamkan Yanto yang meraung-raung karena terkejut
Susi dibimbing Dodi kembali memasuki kamar sebelah. Amarah wanita muda itu sudah reda. Tetangga mungkin masih menunggu adegan berikutnya. Karena di antara para tetangga itu mungkin ada yang bertaruh bahwa perkawinan Dodi, Susi dan Winda tidak akan panjang. “Mana mungkin di dalam satu rumah ada dua cinta, mana mungkin dua kapal dikendalikan oleh satu orang nakhoda” bisik-bisik tetangga ketika Dodi membawa Winda tinggal bersama Susi beberapa waktu lampau.
Sampai di kamar, Susi menenggelamkan kepalanya ke bantal. Dodi maklum, rasa cemburu Susi lagi memuncak. Ia biarkan saja istrinya itu dengan perasaan yang membuncah beberapa jenak.
Selanjutnya Dodi pergi ke dapur, mempersiapkan dua gelas susu putih dan sebotol air es, dibawanya ke kamar. Susi masih sesenggukan. Dodi membelai rambut dan pundaknya.
“Sus, jangan kau biarkan cemburu bersarang di dadamu. Cemburu itu api yang akan membakar dirimu.”
“Abang sudah keterlaluan.”
Sebenarnya Dodi mau menjawab bahawa ungkapan rasa cinta pada Yanto adalah wajar. Karena sesungguhnya – ayah yang baik – pastilah cinta dan kasih pada anaknya. Tapi, hal itu tak diucapkannya. Dodi sadar, kalau itu dilakukannya, niscaya Susi kembali marah dan tak mustahil akan lebih keras lagi. Sebab, selama ini Susi tak pernah memperlihatkan rasa cemburunya. Setelah kelahiran Yantolah Susi mulai uring-uringan tak karuan.
Sementara itu di kamar sebelah, Winda – sembari menyusui anaknya – tetap berdoa agar jangan ada lagi keributan. Ia malu pada tetangga dan kedua orangtua serta saudara-saudaranya, bila mengetahui hal ini.
Dodi terus memesrai Susi. Mendekap istrinya yang masih tengkurap. Telinga Susi dipermainkan Dodi dengan lidahnya. Tak tahan oleh rasa geli, akhirnya Susi berbalik menghadap Dodi.
“Sayang besok kami akan pindah. Besok Abang akan cari rumah kontrkan,” katanya sembari mempermainkan tonjolan yang ada di dada Susi.
Selanjutnya, Dodi mencium kening, hidung, bibir, dan leher serta lainnya agar dapat membuat Susi bergairah. Akhirnya Susi mendekap Dodi erat. Entah kenapa, ada rasa nikmat menjalari tubuhnya, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
“Bang aku cemburu.”
“Iya, iya, Abang tahu. Tapi, Abang cinta kok sama Susi. Tersajung juga wanita itu mendengar ungkapan Dodi.
“Kalau Abang masih cinta pada Susi, segeralah kalian pindah.”
“Iya, iya,” jawab Dodi sembari tangannya tak henti bekerja. Satu persatu kancing kemeja tidur istrinya dibuka. Kemudian Dodi pun memelorotkan celana Susi luar dalam. Tinggallah wanita muda itu tanpa selembar benang pun. Dodi melakuan tugasnya sebagai suami yang baik. Pikirannya hanya satu: Susi harus puas sehingga tahu bahwa Dodi masih mencintainya. Dijilat Dodilah apa yang bisa dijilat, termasuk gua garba yang ada di antara kedua paha.
Ya, ya, entah kenapa, Susi dapat menikmati permainan itu. Mengerang-erang nikmatlah wanita muda itu. Tetapi ketika Dodi coba berbalik, ingin menyelesaikan permainan secara wajar, wanita itu tak memberi kesempatan. Kepala Dodi ditahannya agar terus berada di gua garba itu. Dodi paham itu dan terus melakukan tugasnya sampai sang istri puas. Sementara Susi terus menjilati bagian vital tubuh Dodi itu bagai menikmati es krim yang penuh kjelezatan. Akhirnya Susi dan Dodi puas. Lahar yang muncrat dari bagian vital Dodi ditelan oleh Susi. Ada rasa nikmat di hatinya bisa memuaskan sang suami sampai puncak.
Susi terlentang dalam kondisi lelah. Keringat tubuhnya dilap Dodi penuh kasih. Selanjutnya, Dodi mengambil segelas susu yang terletak di meja kecil dan meletakkan gelas itu ke bibir Susi. Wanita itu tentu saja menikamti romansa bening penuh kasih itu. Meski samara, perlahan-lahan ruang yang memisahkan antara cinta dan seks di benak Susi mengecil. Ya, seks sesungguhnya bukan sesuatu yang naif, yang dapat merusak hubungan kasih antara lelaki dan wanita. Bahkan justru sebaliknya, seks dapat mempererat ikatan kasih antara lelaki dan wanita.
Naluri purba itu dianugrahi Tuhan kepada umat manusia – di samping untuk berkembang biak – pun demi terbangunnya keberastuan dua tubuh. Makanya, orang-orang mengatakan kegiatan itu dengan ‘bersetubuh’. Bahkan sesungguhnya lagi, pada titik tertentu, seks tak sekadar nikmat yang profan. Seks pun dapat mengantarkan umat manusia kepada hal-hal yang sakral, yang immanen. Tentunya itu harus dilakukan atas dasar cinta kasih, bukan untuk kebutuhan sesaat, melainkan dilakukan dengan ikatan pernikahan.
Benang merah antara cinta kasih dan seks mulai membentang di tempurung kepala Susi.
Setelah Susi memegang gelas susu secara penuh, isi gelas yang satunya lagi diteguk Dodi sampai tuntas. Sesaat setelah itu Susi tertidur dalam kepuasan dan ketenangan tanpa menghiraukan apa pun.
Ditatap Dodi istrinya itu dalam-dalam. Kasih Dodi sebenarnya masih utuh kepada Susi. Cuma kasihnya kepada Yanto dan Winda, adalah bagian lain yang sesungguhnya tak dapat dibanding-bandingkan. Dodi cinta dengan Susi, sudah pasti itu, namun Dodi pun mulai tumbuh rasa sayangnya yang lain terhadap ketulusan, keikhlasan Winda yang siap berbagi. Kasih Dodi pada Yanto, beda lagi. Bayi itu adalah dirinya di masa depan. Bayi itu adalah buah dari harapan seorang lelaki terhadap kehidupan perkawinan.
Dodi menyelimuti tubuh telanjang Susi dengan seprai yang tadinya berserak tak karuan. Diciumnya kening dan pipi istrinya itu sembari mengucapkan selamat tidur, semoga mimpi yang indah.
Tak pernah sekalipun terbersit di hati Dodi – ketika masih lajang maupun setelah bermuah tangga dengan Susi – akan beristri lebih dari satu. Bagi Dodi memang perkawinan yang ideal itu adalah monogami. Tapi, entah memang suratan takdir, atau apa namanya, kini Dodi punya istri dua yang ditempatkan di dalam satu rumah. Keduanya adalah sahabat karib pula.
Saat Susi menawarkan agar Dodi kawin lagi, semula memang ditolak mentah-mentah. Tetapi karena istrinya itu mendesak, mungkin rasa takut kalau vaginanya diterobos paksa, atau juga rasa kasihnya pada Dodi yang mulai tubuh, sehingga Susi semacam memaksanya untuk kawin lagi. Susi mungkin kasihan padanya karena tak dapat menikmati hubungan ranjang secara normal.
Padahal, jika saja Susi tak memaksa kawin lagi, Dodi pun tak pernah berpikir untuk menyia-nyiakannya atau menceraikannya. Dodi benar-benar cinta pada Susi. Dodi juga tak pernah terpikir untuk melacur atau berzina dengan perempuan lain. Cuma yang ada dalam benaknya – ketika itu – jika terus-menerus melakukan oral seks, kapan punya anak. Hal inilah yang dicemaskan Dodi. Tapi sesungguhnya, jika saja Susi mau memulai, niscaya Dodi berani menyarankan agar istrinya itu memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog.
Keyakinan Dodi, apa yang dialami oleh Susi itu hanya gangguan mental. Makanya setiap kali mereka bermesraan, setiap kali pula Dodi coba melakukan penetrasi ke vagina Susi, tetapi perempuan itu tetap merasa sakit. Sehingga Dodi tak mau memaksa. Padahal bisa jadi jika gangguan mental itu dilawan, Susi dapat melakukan hubungan seks dengan wajar, dengan benar, dan mungkin tak akan bermadu sampai akhir hayat. Namun ini semua mungkin adalah garisan tangan Dodi, Susi dan Winda. Entahlah.
Lelah bermain dengan pikirannya, Dodi tidur pula di samping Susi. Takut ia meninggalkan istrirnya itu sendirian. Bilamana Dodi meninggalkan kamar itu dan Susi terjaga dari tidurnya, bisa jadi wanita itu bangkit kesalnya dan kembali berteriak-teriak seperti tadi, seperti orang yang tidak punya pendidikan. Lupa Susi bahwa dia adalah sarjana hanya karena cemburu.
Ketika azan subuh menggema, Susi, Dodi, dan Winda bangun. Susi dan Dodi mandi bersama tetap di kamar itu, Winda menjerangkan air dan menyiapkan keperluan lainnya. Setelah itu, Dodi dan Susi shalat subuh bersama, juga di kamar itu. Sedangkan Winda yang masih dalam keadaan nifas, tidak ikut serta. Yanto masih pulas tertidur.
Paginya, usai sarapan bersama, Dodi permisi untuk mencari rumah kontrakan. Sebelumnya ia menelepon ke kantor, mengatakan akan langsung ke lapangan. Rekan lain yang ada di kantor mengiyakan dan akan menyampaikan pesan Dodi kepada Pak Samin sang kepala biro. Sebagai kandidat kepala biro tentu Dodi harus disiplin. Dengan memberi laporan demikian dan mengordinasikan tugas-tugas, rekan-rekan lain akan memaklumi kerja masing-masing. Dodi pun harus dapat berbuat lebih, sekuarangnya sama baiknya dengan Pak Samin
Sejak sarapan tadi, antara Susi dan Winda tidak bercakapan. Terjadi ‘perang dingin’ di antara mereka. Sebenarnya Winda tak pernah merasakan hal-hal lain selain rasa tulus Susi mau menerimanya sebagai istri kedua. Winda senang dan sayang pada Susi. Cuma, karena sahabatnya itu lagi cemburu dan memasang aksi tutup mulut, ia tentu harus ekstra hati-hati.
Usai sarapan Susi masuk kembali ke kamar. Entah apa yang dikerjakannya, Winda tak tahu. Yang ia tahu, mempersiapkan segala keperluan Yanto, sebagai bayi yang baru berusia tiga puluh hari.
Beberapa hari setelah itu, Dodi membawa Winda dan Yanto pindah ke gang yang masih satu jalan dengan kediaman yang lama. ***










Delapanbelas

Kepergian Winda membuat Susi menderita. Sesuai dengan nasihat ulama, Susi dan Winda membuat hari-hari bergilir. Nyatanya Dodi lebih sering berada di rumah Winda.
Susi berontak dengan cara lain. Suatu kali, ia bertekad – jika Dodi menggilir – Susi berniat menyerahkan diri dan tubuhnya secara total kepada sang suami.
“Selamat sore anak manis.”
“Jadi juga kau datang,” jawab Susi singkat seakan tak bersemangat.
Dengan lembut, Susi membuka jaket yang dikenakan Dodi. Ditepiskannya sisa hujan yang lengket di jaket berwarna hitam itu. Di luar hujan masih jatuh perlahan.
Setelah jaket itu disangkutkannya ke dinding, Susi memberikan handuk pada lelaki itu.
“Nah, ganti pakaianmu yang basah itu. Nanti Abang masuk angin,” tutur Susi tetap lembut. Sebab belakangan ini benih-benih cinta telah mulai bermekaran di taman hatinya. Cuma, rasa cemburu yang begitu kuat seakan menenggelamkan rasa cinta itu ke sudut-sudut paling gelap.
“Makasih Sus,” sahut Dodi, kemudian mendaratkan ciuman di kening Susi.
Susi diam saja, tidak terlihat kerinduan di wajahnya. Ia menahan rasa itu. Padahal malam ini ia telah bertekad akan memberikan segalanya kepada Dodi. Susi mau jadi wanita yang utuh, melakukan hubungan seks dengan benar serta punya anak sebagaimana impian kedua orangtuanya dulu dan kini juga jadi impiannya. Ada juga rasa sesal di hati Susi – sampai ibunya mengehembuskan napas terakhir – ia tak dapat memenuhi keinginan orang yang paling dicintianya, setelah ayah: punya anak.
Dodi tak menanggapi sikap Susi yang – meski tetap lembut – rada dingin itu. Ia masuk kamar dan bersalin.
Susi pergi ke dapur, meneruskan pekerjaannya yang belum selesai. Sejak pukul 15.00 tadi, hujan sudah mendera rumah mereka yang punya dua kamar yang di dalamnya ada kamar madi, satu ruang tamu, satu garasi sekaligus gudang dan satu dapur serta satu kamar mandi untuk tamu yang kebetulan menginap di kediaman mereka.
Bagi Susi, rumah mereka yang sederhana itu cukup besar dan luas. Mengapa tidak, ia hanya sendiri saja di rumah tersebut, bila Dodi tak bersamanya: menggilir Winda atau pergi melaksanakan profesi kewartawanannya.
Dodi kini hanya seminggu sekali, atau dua minggu sekali, bahka tak jarang hanya seblan sekali mengunjungi dirinya. Starlet mereka hanya teronggok di garasi. Susi setiap pagi memanaskan mesinnya kemudian mematikannya kembali. Malas iabepergian. Susi memang belakangan ini lebih banya merenungi hari-hari yang pernalh berlalu. Susi mulai dahaga, tetapi ia tahan saja.
Susi tak tahun kenapa ia masih betah melayani Dodi dan ingin pula menyerahkan diri secara total kepada lelaki itu. Padahal rasa cemburunya kian hari kian membesar. Cinta? Mungkin ia telah dirasuki rasa itu.
Hujan sudah mulai reda. Dodi sudah selesai mengganti pakaian basahnya. Tapi, Susi masih bermain dengan pikirannya sendiri.
Di meja makan, Susi merasakan kebahagiaan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada nyeri yang menusuk-nusuk hatinya. “Kebahagiaan ini hanya sesaat,” Ia nelangsa. Susi ingin setiap malam Dodi bersamanya. Ia ingin mengurus Dodi sebagaimana Hawa menguru Adam. Tapi, mana mungkin itu terjadi.
Selesai makan malam, Dodi, dan Susi berkeliling kota dengan sepeda motor. Karena tadinya hujan, kota tak lagi berdebu. Jalanan basah, dan sebagian ada pula yang berlumpur. Uapnya sesekali menusuk hidung Susi dan Dodi.
Lelah berkeliling, mereka minum di warung, nonton bioskop, kemudian pulang. Malam merangkak perlahan. Susi bersiap-siap akan melaksanakan tugasnya sebagai implementasi istri yang baik. Ia taburkan wewangian di tubuhnya. Dodi faham akan hal itu dan melaksanakan dengan segenap kemampuannya.
“Susi,” sapanya setelah mereka di pembaringan.
“Mmm,” sahut Susi.
Dodi meremas jemari Susi. Mencium kening, mata, bibir, dan seterusnya. Semula Susi dingin saja, sedingin malam.
Susi menerawang. Matanya menatap langit-langit kamar. Satwa malam bernyanyi dalam kepiluan. Kepiluan purba makhluk hidup.
Doditerus berpacu, memburu puncak kenikmatan. Susi membalas semula perlahan, perlahan sekali. Kemudian, secara sadar Susi pun berpacu.
Akhirnya ketika Dodi ingin menyelesaikan secara oral saja, Susi keberatan. Ditarkannya wajah Dodi ke posisi berhadapan dengan wajahnya. Dodi semula heran, tetapi karena Susi mengangguk, Maka Dodi pun mengarahkan penisnya ke vagina susi.
Ketika Dodi akan melakukan penetrasi, Susi menjerit kesakitan. Dodi berhenti,
“Lakukanklah terus Bang. Aku ingin jadi istri yang utuh. Jangan dengar jeritanku.”
Dodi tambah bersemangat, maka jeritan Susi justru menambah gairahnya. Jeritan semula meninggi, lama kelamaan justru erangan nikmat.
Dodi puas. Di puncak lelahnya, dilihatnya Susi terkapar dengan penuh keringat. Ada beberapa tetes darah di sprai. Dodi menciumi kening Susi.
“Makasih Bang, kau telah membawa aku menjadi perempuan seutuhnya,” desah Susi. Dodi tersenyum.
“Dod, sayangkah kau padaku? Susimemberanikan diri bertanya. Selama ini ia tak pernah menuntut itu. Tapi belakangan, perasaan itu mencengkram batinnya.
“Susi, ragukah kau?”
Susi tak menjawab, ia meremas jemariDodi. Dan malam pun bergulir dengan kehitamannya. Misteri hati masih tersimpan di sana..***









Sembilanbelas

Demikianlah, Susi tak peduili dengan sikap ayah dan keluarganya ketika itu. Pokoknya, Dodi harus kawin dengan Winda. Hanya itu yang ada di benaknya. Kini orangtua yang tinggal satu-satunya dan saudara-saudaranya yang lain, menjauhi Susi.
Di kota yang berdebu ini, ia harus melalui malam dengan kesendirian yang panjang. Dodi bisa jadi sedang berdekap erat dengan Winda dan buah hatinya Yanto. Sedang Susi... ah... ia hanya punya komputer, internet, situs porno, koran dan buku-buku, selebihnya hanya sepi. Sebab, ia memang tak tertarik pergi ke diskotik atau music house.
Belakangan, ia pun sudah tak tertarik lagi membuka-buka situs porno maupun memutar blue filim. Sebal dan muak. Perjalanan penis menerobos vagina – pada tontonan itu – di mata Susi kini bagai perjalanan peston di dalam mesin untuk menggerakkan mobil, sepeda motor atau lainnya, tak ada lagi daya tariknya.
Berjalanlah kau dengan pikiran-pikiranmu dan biarkan pula Ayah bersikap. Tak usah kau usik ketenangan kami!” hardik ayahnya ketika ia berusaha menghubungi orang yang paling dicintainya itu.
Susi pernah pula memberanikan diri datang berlebaran hanya bersama Dodi saja tanpa Winda. Namun ditolak oleh ayah dan keluarga-keluarganya. Bik Iyem yang membuka pintu ketika itu mengatakan bahwa ayahnya tak mau diganggu. Sementara adik-adiknya – begitu Susi dan Dodi masuk ke rumah – pergi meninggalkan mereka. Rahmat yang sudah berkeluarga pun sponta membawa istri dan anaknya ke luar dari rumah itu. Sedih, sedih sekali perasaan Susi, tercampak begitu rupa. Dodi tentu saja kecewa dengan hal itu. Maka sejak kejadian itu, Dodi tak mau lagi ke rumah mertuanya itu.
Ketika Ramadhan sudah sampai hari yang ke-27, dengan mengucap berbagai doa, Susi coba menelepon ke ayahnya. Kebetulan yang mengangkat adalah Dayat. Adiknya itu – tahu Susi yang menelopon – spontan menutup telepon, meletakkan kembali gagangnya ke tempat semula. Susi tak putus asa, ia mencoba berkali-kali. Kali berikutnya yang mengangkat adalah Bik Iyem. Dengan memohon sangat, Susi minta dipanggilkan ayahnya.
“Bibik akan saya coba, apa Bapak mau.”
“Tolonglah Bik, Susi rindu sekali sama Ayah.”
Lalu Susi pun mencoba menyampaikan pesan itu kepada Pak Zainuddin. Semula lelaki tua itu menolak. Bik Iyem terus mendesak dan memelas, akhirnya Pak Zainuddin bersedia berbicara dengan Susi.
Begitu mendengar kata ‘halo’ dari sang ayah, Susi spontan mengucapkan asalamualaikum pada orangtua yang paling dikasihinya itu. Dengan memelas-melas, Susi meminta kesediaan ayahnya untuk menerimanya malam ini, seusai tarawih.
“Susi akan menceritakan seluruhnya pada Ayah kenapa tempo hari Susi bersikeras agar Bang Dodi kawin lagi.”
“Ha, kenapa rupanya. Masih ada yang belum kau ceritakan pada Ayah dan Almarhum Ibumu dulu?”
“Iya Ayah, Susi menyesal kenapa dulu tak menceritakannya secara tuntas kepada Ayah. Susi minta maaf Ayah. Ketika Susi tiap kali ziarah ke makam Ibu, Sus juga sudah memohon maaf berkali-kali ke Ibu. Apakah Aawah Ibu mendengar dan mau memaafkan, Sus juga tak tahu Ayah.”
Tersentuh juga hati lelaki tua itu mendengar keluh-kesah putri semata wayangnya. Lalu ia pun mempersilakan Susi datang ke kediamannya malam ini.
“Apa kau datang bersama Dodi?”
“Tidak Ayah, Susi sendiri saja. Bang Dodi lagi di rumah Winda. Tempo hari karena rasa cemburu yang begitu kuat, Susi mengusir Winda dan anaknya. Susi menyesal Ayah. Kami sudah kembali akur kok.”
Waktu tarawih usai, Susi mengeluarkan Starlet yang kebetulan tidak dibawa Dodi. Susi memang tak ikut tarawih karena kandunganya. Tetapi ia tetap berpuasa. Hatinya gembira sangat, ayah mau menerimanya malam ini.
Di jalan, ia sempatkan membeli buah-buahan dan oleh-oleh kesukaan ayah lainnya. Bik Iyem sudah menunggu di pintu pagar.
Begitu ia melihat lampu mobil Susi, Bik Iyem segera membuka pagar. Ayah pun menyambutnya. Lelaki itu terlihat tua dengan peci lobe, kemeja gunting Cina dan sarung yang dikenakannya.
Susi memeluk ayah sembari ingin mencium kaki orang tuanya itu, mohon ampun, tetapi orang tua itu menariknya ke atas.
“Ayo masuk.” Susi pun masuk sembari memberikan oleh-oleh pada Bik Inem.
“Ayah, Susi mohon maaf kepada Ayah, dulu Sus tak menceritakan, kenapa anak Ayah ini rela dan ikhlas dimadu.”
Ayah memandangi Susi, juga perutnya yang membesar.
“Sudah berapa bulan kandunganmu?”
“Delapan bulan lewat Ayah. Mungkin nanti Insya Allah, di Lebaran Susi akan melahirkan.
“Lho kok tak kau ceritakan hal itu pada Ayah dan Ibu. Andai dulu kau terbuka, tentu kau tak kan dimadu.”
“Sudahlah Ayah, barangkali sudah nasib Susi, sudah takdir Susi harus hidup serumah dengan dua cinta. Tapi sekarang Susi bahagia kok.”
“Syukurlah.”
Sejak bertemu ayahnya itu, hati Susi senang sudah. Hari terus berlalu. Sesekali Winda dan anaknya menginap di kediaman Susi.
Lebaran tiba, Susi dan Winda saling bermaafan, begitu juga ke Dodi. Seterusnya, mereka pun menuju kediaman Susi. Keluarga Susi sudah dapat menerima kenyataan bahwa apa yang dialami Susi adalah takdir yang tak dapat dihindarkan.
Habis ke rumah Susi, mereka ke kediaman Winda. Kebahagian menyertai keluarga itu. Rasa cinta Susi bertambah besar pada Dodi, begitu juga sebaliknya. Winda pun tak jauh beda.
Tepat pada lebaran ke sepuluh, saat dini hari tiba Susi merasakan sakit yang amat sangat. Dodi membangunkan Winda dan Yanto yang telah berusia empat tahun. Kemudian, Dodi mengeluarkan Starlet dari garasi, membopong tubuh Susi yang terus meringis, menaikkannya ke bangku belakang.
Winda memegangi madunya itu dengan kasih. Baginya Susi lebih dari saudara. Susi merupakan bagian dirinya yang lain. Winda merasakan sesungguhnya Susi dan dia merupakan satu jiwa yang berada di dalam dua tubuh.
Sesampainya di RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) Wahyu di Jalan Padang yang jaraknya berkisar satu kilo saja dari kediaman mereka, Susi terus meringis. Wanita itu dibaringkan di sebuh dipan yang tak begitu besar.
“Aduh Bang, Aduh Bang,” rengeknya.
“Sabar Sus, ingat Tuhan,” bujuk Dodi sembari tangannya terus memegangi tangan Susi. Sementara itu Winda memegang tangan yang sebelah lagi. Yanto yang lugu hanya melihat, pikiran kanaknya sudah mengerti bahwa ibu ‘kembarnya’ itu akan melahirkan adiknya.
Satu jam, dua jam lewat, darah sudah mulai ke luar. Tapi ketika diperiksa, ternyata baru buka dua. Menjelang subuh, pemilik RSIA, Ida Ruhiya bangun dan memberikan suntikan kepada Susi. Namun tak juga membawa hasil.
Ayah sudah hadir – tadi sebelum berangkat, Dodi meneleponnya – menunggu kelahiran cucunya dari putri semata wayang itu. Ia terus berdoa agar Susi diberi kemudahan. Setelah dua kali suntik, tak juga ada tanda-tanda dapat dilakukan partus biasa, maka Ida Ruhiya mendekati Dodi dan mengajaknya bicara enam mata: Ia, Dodi dan Ayah.
Dodi menandatangani apa-apa yang diperlukan, juga ayah. Selanjutnya dibawalah Susi ke ruang operasi. Jantung Dodi berdebar kencang, begitu juga ayah. Doa terus mereka panjatkan di hati masing-masing.
Ketika azan subuh menggema, seorang suster membawa bayi mungil berkelamin wanita kepada Dodi. Lelaki muda itu mencium bayinya, kemudian mengkomatkannya. Pak Zainuddin sebagai kakek pun ikut membaca doa.
“Istri saya Sus?” tanya Dodi.
“Sedang dijahit,” jawab suster. Setengah jam kemudian, Susi dikeluarkan dari ruang operasi dibawa ke ruang lain. Dodi menyambut istrinya itu dan mencium keningnya. Susi menyunggingkan senyum.
“Bang mana anakku,” katanya pelan. Dodi memanggil suster agar membawa bayi mungil itu untuk dilihat istrinya. Susi meraba pelan dan mencium anak yang diimpi-impikannya. Kalau bayi itu lahir sebagai lelaki maka Susi akan memberi nama Satria Pratama. Tetapi karena perempuan, maka Susi akan memilih nama yang pas untuknya.
Winda sertaYanto juga Dodi dan Pak Zainuddin tetap menunggui Susi bergiliran. Ketika Zainuddin shalat subuh bersama Winda ke masjid yang tak jauh dari RSIA itu, Dodi dan Yanto menjagai Susi. Begitu seterusnya.
Atas anjuran Susi, Winda serta Yanto kembali ke rumah mereka semula. Susi, Dodi dan Winda serta anak-anak mereka hidup di dalam satu rumah yang kembali dibangun dengan fondasi cinta dan kasih saying.***
Selesai

No comments: