Friday, 18 April 2008
Dimuat di Kompas, MINGGU, 26 Agustus 2006
Cerpen Hasan Al Banna
Parompa Sadun Kiriman Ibu
Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata.
Semestinya Lamrina layak bersuka-cita. Bukankah hari ini telah dilangsungkan acara manjagit parompa, juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi tidur Uli yang baru berusia duapuluh delapan hari. Pada kesempatan lain ia sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina.
Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina.
Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang berombak di dadanya. Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan tangis!
Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apapun ia menyeka linangan di pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur. Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya.
Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini gelisah. Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira, bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap, usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu datang.
Hmm, ia menarik napas, berat. Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya, dan dihamparkan di atas springbed. Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh suka-cita acara manjagit parompa, acara adat Angkola menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga musti hadir. Tapi jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri dari kerabat dan tetangga.
Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli. Itulah dua kata yang tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit godang.
Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita yang Memakai).
Tapi pada simpang-siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya berperam mata sambil menikami kelebat sesal. Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit godang.
Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya berladang-ladang di belakang rumah.
Lamrina pun berangkat ke ibukota. Di sana ia menumpang di rumah amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya. Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika Masniari, kakak tertua Lamrina dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung bersama ibu, dan belum menikah.
Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya. Ia yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa. Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. “Pokoknya seagama,” begitu pesan ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina. Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan.
Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan. Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya. Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan.
Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah tenang. Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang mengasuh janin perempuan.
Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalau pun tidak, ibunya berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah pulang ke Sabatolang.
Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai. Malah di dadanya gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu. Tapi apa? Ibunya tersinggung!
“Tak senang-nya kau menerima parompa itu?” Suara ibu Lamrina sedikit tinggi dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung Lamrina berdebar, “Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau…”
“Senang-nya aku, bu…” potong Lamrina.
“Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung.” Kini suara ibunya menjurus ketus, “Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?” Pertanyaan ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara: tuut-tuut-tuut!
Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu laki-laki. Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah. Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga laki-laki sebagai penerus marga.
Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam. Belum pandai Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak punya niat untuk menikah lagi. “Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun ibu masih muda.”
Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya, perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya terlanjur tersinggung. Buktinya, sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: “Tak ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat.”
Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti baju yang teronggok di lantai. “I…bumu me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas…” Suara parau tulang Dahler yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh.
Maka meletuslah tangis Lamrina. Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf. Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami yang sabar.
Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya. Termasuk untuk membujuk Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan Mas Hadi dengan lapang dada tetap memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. “Demi menghormati arwah ibu,” kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: “Aku gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?”
Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh. Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama anaknya, “Uli, Uli, anak sayang,” serta-merta Lamrina seperti berbisik, “Ibu, Ibu, nasibmu, o, betapa malang!” Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka hatinya yang menganga-merekah.
“Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!”
Medan, 2006
Dimuat di Andalas, MINGGU, 16 Maret 2008
CERPEN
Pasar Jongjong
OLEH HASAN AL BANNA
Kabut menelungkup! Derik jangkrik mendaki kegelapan, juga menuang kelengangan. Sepasang mata Ompung Luat begitu awas menuntun kakinya menyusur jalan setapak, lembab dan berbatu. Angin tak bertiup, tapi liuk dingin menyusup juga ke tandas tulang. Ou, lelaki 76 tahun itu mendapatkan dirinya jauh lebih rerak dari usianya. Ia usap wajahnya yang berpipi cekung, seperti meraba lengkung lesung yang dangkal dan lapuk. Sambil menghalau batuk yang menggedor dada, Ompung Luat meraih sarung yang melingkar di leher, lalu diselubungkan ke tubuhnya yang geletar.
Dingin masih menunggang malam. Di sela jari Ompung Luat, tembakau bakkal dibalut daun biobio tersisa duapertiga. Tapi ia jentikkan begitu saja linting rokok kegemarannya itu ke sebalik belukar. Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting Ompung Luat—geretan sumbu berminyak lampu—tak mampu lagi memercik. Dan iya, memantik sepetik api ke pucuk rokoknya serupa hasrat yang berkarat.
Entah apa yang bersikeruh di lubuk kepala Ompung Luat. Usai isya tadi, ia, Amang Salohot, dan Marapande pergi ke rumah kepala kampung, Jabinore. Mereka menebar jala upaya untuk kesekian kalinya. Mana tahu Jabinore mau menukar arah pikiran: batal menjual kebunnya di belakang madrasah! Dan mungkin jadi, segalanya menjadi lain. Meski segenggam harapan itu akhirnya hangus menjadi legam angan. Harapan rontok, berserak, umpama daun-daun kerontang kehilangan pokok.
“Maaf, tak ada lagi wewenangku mengubah kesepakatan tempo hari.” Kalimat itulah yang dilontarkan Jabinore dengan mimik yang kemarau. Berarti ia angkat tangan! Maka Ompung Luat, Amang Salohot, dan Marapande pun bergegas menyurut langkah. Dan selama perjalanan menjemput jejak pertama, hanya ruap rokok dan sengap napas isi percakapan mereka. Ketiganya menitip suara ke perut gulita. Pun ketika berpisah di sebuah jalan bercabang, tak hendak mereka menagih kata-kata. Hanya angguk belaka tanda melepas simpul sua.
Kesepakatan soal keberadaan pasar jongjong memang sudah seminggu yang lalu tercapai. Lantas, ya, tinggal menunggu waktu, sesegera mungkin ditunaikanlah kesepakatan itu. Tetapi ada saja riak kenangan yang menghentak benak Ompung Luat. Riak yang kemudian berpusar deras, lalu mengombakkan sebuah tekad: kelangsungan pasar jongjong! Meski jika berhadap-hadap dengan mata hukum, gelung ombak tersebut terpental susut.
Pasar jongjong, sebuah pasar kecil di pekarangan madrasah. Madrasah, bangunan kayu berpekarangan tidak lebih dari sebidang lapangan voli. Memiliki empat lokal belajar. Satu ruangan besar sebenarnya, tapi disekat dengan beberapa papan tulis berkaki sehingga mencipta beberapa lokal. Di belakang madrasah melintas parit berair jernih. Dua bangkai pohon kelapa sepanjang dua meter menjadi penghubung terjal antara madrasah dengan kebun pisang milik Jabinore.
Di madrasah tersebut, para murid setingkat SD belajar mengaji dan ilmu agama, dituntun guru-guru belia tamatan pesantren tersohor, Purba Baru—Mandailing Natal. Pagi, madrasah diisi murid SD yang sekolahnya masuk siang, dan begitu sebaliknya. Madrasah itu berdiri jauh sesudah pasar jongjong berlangsung. Kalau hendak mengenal saksi hidup pasar jongjong, Ompung Luat dan Nek Arse orangnya. Mereka berdua, serta mendiang Haji Mahot dan mendiang Mursalim yang mula kali memulai aktivitas pasar jongjong. Segalanya berawal dari ketaksengajaan.
Suatu pagi 28 tahun lampau, Ompung Luat memundak sekeranjang ikan sepat tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di sawah, menunggui bunting padi yang ranum. Pagi itu ia bermaksud pulang, sekadar menjemput bekal untuk malam berikutnya. “Bawa saja ikan-ikan itu pulang,” teriak istrinya sambil mengusir burung-burung yang menghinggapi pucuk-pucuk padi, “Entah kau kasihkan sama si Rumondang, atau bagikan sajalah ke hombar balok, sama tetangga-tetangga kita itu.” Ompung Luat menjawab dengan anggukan.
Mungkin untuk mengerat penat, ia rehat tepat di tanah kosong milik Haji Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur, lantas pergi menjinjing tiga-empat ekor sepat. Ompung Luat menolak imbalan uang yang mereka sodorkan. Ya, karena niat semula sepat-sepat itu untuk dibagikan, bukan dijual. Tapi orang-orang tetap meninggalkan uang di sisi keranjang. Hampir tamat semua sepat. Tinggal untuk Rumondang saja, putrinya yang sudah berkeluarga, tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Nah, beriring masa, setiap berpapasan dengan Ompung Luat, orang-orang kampung sering bertanya soal sepat. Maka, jika berada di sawah dan terselip waktu luang, Ompung Luat rajin menjerat sepat. Kemudian ia menuju tanah kosong, menunggu orang-orang memintas, lalu menyodorkan ikan. Ia tetap tak menagih upah, tapi mereka selalu menyisipkan uang ke saku baju Ompung Luat. Kadang tak lama berdiri di situ, berlalu pulang ia. Tapi, andai terperogok warga, Ompung Luat memindahkan jinjingan sepat ke tangan orang-orang kampung.
Tapi pernah sekeranjang sepat bawaannya tak berkurang seeokor pun. Rumondang dan tetangga hanya menjumput satu-dua ekor. Sisanya banyak, bermatian pula. Ketimbang mubazir, Ompung Luat mengolahnya menjadi ikan sale. Ya, sepat-sepat itu direbus berbumbu, lalu diasapi sedemikian rupa di atas bara sampai warnanya coklat kehitaman. Bara jangan sampai menjulurkan lidah api. Karena ikan-ikan itu hanya boleh ditanak oleh kepul asap. Kalau hendak dimakan, ikan sale bisa digoreng atau digulai terlebih dulu. Oi, sedap kali rasanya itu.
Ikan sale tersebut tak tersisa ketika Ompung Luat menggelarnya di tanah Haji Mahot, keesokan pagi. Maka, meski tak setiap hari, Ompung Luat pun ketagihan menjaja ikan sale. Kemudian hari, Nek Arse turut menjual sayur-mayur tanamannya. Haji Mahot si empunya tanah tak keberatan pula. Bahkan ia pun sering menjual hasil ladangnya—kelapa dan ubi. Datanglah Mursalim, membawa telur-telur yang ditetaskan ayam kampung piaraannya.
Ompung Luat akhirnya rutin manyale ikan air tawar, dan menjajanya di tempat biasa. Sejak istrinya sakit-sakitan, lalu meninggal, ia tak kerasan lagi mengurus sawahnya yang luas. Ia serahkan itu kepada Rumondang dan menantunya. Untuk mendapatkan ikan, ia tak turun tangan lagi menangkapnya. Kalau tak dipesankan sama menantunya, ya, ia beli dari kampung sebelah. Belakangan, Ompung Luat juga menjual gadapang, ikan kering penyedap sambal tuktuk khas Tapsel.
Kian ramailah tanah milik Haji Mahot itu. Warga sering menyebutnya pasar jongjong. Mengenai itu, Ompung Luat si penciptanya. “Kan waktu itu, cuma sebentar-nya aku berdiri di situ, eh datang orang menawar ikanku. Ya, jadi kubilanglah pasar berdiri, pasar jongjong!” Begitu kisah Ompung Luat mengenang kegelian peristiwa tempo hari. Warga pun senang dengan pasar jongjong. Maklum, pasar kecamatan berjarak tiga kilometer dari kampung itu. Jauh kali rasanya kalau hanya untuk membeli sayuran atau rencah gulai.
Pasar jongjong berlangsung setiap pagi. Lepas subuh, dan berakhir sebelum oleng matahari menebas batas lohor. Sebelas tahun berlalu, berdirilah madrasah. Itu atas prakarsa orang-orang pasar jongjong. Dana pembangunannya pun kebanyakan berasal dari sumbangan mereka. Pengelolaan madrasah diserahkan kepada Haji Mahot. Ia kan pemilik tanah, juga hatobangon, tetua kampung yang dihormati. Begitupun, ia dibantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi belajar untuk murid-murid mengaji.
Jadi, di pekarangan madrasahlah aktivitas pasar jongjong berlanjut. Sesama mereka, tidak ada tempat permanen untuk menggelar lapak. Saling berpindah tiap hari. Tapi mereka tak pernah bertikai. Mereka menggelar dagangan seadanya, hanya lapak-lapak plastik pasang-buka. Tenda-tenda dipasang untuk menghalang sengat panas, atau menghindar dari hujan. Tenda-tenda ditopang galah, dan ditambatkan pada jejeran paku yang menancap sembarang di dinding madrasah. Semak, tentu. Bersampah, apalagi. Tapi usai berdagang, pekarangan madrasah akan kembali bersih.
Mmh, jika diperhatikan, kebanyakan orang-orang pasar jongjong sudah renta. Mereka tak mampu lagi menghambur peluh di sawah-ladang. Kalaupun ada yang berusia muda, hanya satu-dua. Itupun para wanita yang tak ikut bertani-berladang. Pasar jongjong sungguh berarti bagi mereka. Tapi sumpah, mereka tidak akan tersandung lapar jika pasar jongjong tak ada! Bagi mereka, pasar jongjong tidak semata luap uang. Tengoklah, mereka punya sawah-ladang yang lapang dan ternak yang berpinak. Keturunan mereka pun tetap setia memamahi gembur tanah. Andai tidur-makan saja di rumah, harta mereka pun tak akan kerontang.
Dan memanglah, bagi mereka pasar jongjong bukan soal untung rugi. Buktinya, kalau dagangan tersisa sedikit, pantang dibawa pulang, musti dibagikan. Kadang mereka tak berjualan jika ada warga yang tertimpa kemalangan. Bahkan hari jumat pasar jongjong kosong. “Hari raya kecil,” kata mereka. Ah, pasar jongjong hanya semacam alasan bagi mereka untuk tetap bersua, merajut cerita, bertukar lara, bersilang ria, bahkan menyetor amal.
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk pengajian kaum ibu, acara maulid, isra mikraj, dan rapat naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung). Pendek kata, orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. Tapi begitupun, kalau ada atap madrasah yang koyak, atau dinding melunak, mereka—orang-orang pasar jongjong—yang biasanya lebih bersegera memperbaikinnya. Pula tiap tahun, tepatnya setiap pergantian ajaran baru, orang-orang pasar jongjong bergotong-royong mengecat madrasah, meski hanya dengan cat kapur yang gampang pudar.
Terus pula, di pasar jongjong, setiap hari mereka kumpulkan uang ikhlas, semacam iuran, begitulah. Itu digunakan untuk menggaji guru-guru madrasah. Kepada para murid memang ditagih bayaran, namun tidak pula dipaksa. Bisa dikatakan, lebih dari separo murid-murid tersebut belajar secara cuma-cuma. Maka, bukankah kelangsungan madrasah tergantung orang-orang pasar jongjong? Tapi jawaban mereka begitu lugu, “Itukan untuk anak-cucu kami juga.” Mmh, pasar jongjong, rumah kebahagiaan yang tak terhingga bagi penghuninya.
Maka tak terbayangkan jika pasar jongjong tiba-tiba raib dari rak hari mereka. Kenangan puluhan tahun bakal menyerpih. Lalu, matahari esok mereka bercahaya pitam. Terlebih-lebih Ompung Luat, si penemu pasar jongjong. Semua beranjak dari kabar murah, tapi akhirnya membikin terperangah. Bah! Katanya pihak kecamatan akan membongkar madrasah. Di lokasi itu tetap madrasah yang akan dibangun. “Semacam madrasah percontohan-lah”, kata Pak Camat. “Pokoknya kita bikin permanen, bertingkat, dan tentulah lebih besar dari yang sebelumnya,” sambung beliau. Dan akhir dari keterperangahan itu adalah kepastian soal pasar jongjong akan dijungkal, digusur!
Orang-orang pasar jongjong bak disihir, tumpat alir pikir. Memang, mereka sempat lega ketika Ompung Luat mengaku masih menggengam salinan surat wasiat Haji Mahot. Isi surat bersegel itu menjelaskan bahwa tanah lokasi madrasah dan bangunan madrasah diwakafkan untuk kemaslahatan orang kampung. Termasuk untuk orang-orang yang berjualan di pasar jongjong. Surat inilah senjata terakhir yang diharapkan mampu membenamkan niat Pak Camat.
Tapi surat itu tidak bermanfaat ketika beradu khasiat dengan sertifikat tanah yang dikantongi pihak camat. Rupanya, tanpa sepengetahuan orang-orang pasar jongjong, anak-anak Haji Mahot telah menjual tanah tersebut. Haji Mahot memiliki tujuh anak, semuanya menetap di perantauan. Istri Haji Mahot, sudah lebih dulu meninggal, berselang dua tahun. Beberapa hari setelah Haji Mahot meninggal, mereka menjual seluruh harta orangtuanya untuk memudahkan pembagian warisan. Termasuklah itu tanah madrasah dan pasar jongjong.
Keadaan kian tak menguntungkan ketika pemuka kampung yang lain ikut-ikutan mendukung. Termasuk Jabinore yang rela menjual kebun pisangnya—di belakang madrasah—kepada pihak kecamatan. Tanah Jabinore itu termasuk dalam rencana pembangunan madrasah baru. “…orangtua-orangtua kami, bapak-bapak, begitu pula ibu-ibu, alim ulama, saudara-saudara, dan tuan guru kami, ini demi nama baik kampung dan masa depan generasi muda kita. Nian Allah membalas keikhlasan hadirin semua…” Begitu bunyi pidato Pak Camat ketika acara penandatanganan kesepakatan antara pihak kecamatan dengan warga berlangsung di kantor kecamatan. Ada riuh tepuk tangan, perjamuan makan, juga uang yang—katanya—sudah dibagi-bagikan?
Tapi lalu, orang-orang pasar jongjong memilih meraba sengak dada. Bagi mereka, menyulam ketabahan lebih bermanfaat ketimbang meletupkan kekecewaan, bahkan amarah. Pun mereka, sejak dulu, tidak punya watak berontak!
* * *
Subuh beranjak. Matahari terbit sejejak. Kabut masih mengapung. Di sekitar madrasah, ada gunungan pasir dan batu sungai. Bata tersusun setinggi dada. Puluhan sak semen tergeletak tak beraturan, menyemak. Bahan material lain juga sudah berjejal. Kayu-kayu tinggi-tegap menancap mengelilingi lokasi pembangunan. Hari ini madrasah sudah mulai libur, entah sampai kapan. Tapi orang-orang pasar jongjong masih diperkenankan berjualan untuk terakhir kali.
Ompung Luat menggelar lapak. Aroma ikan sale dan gadapang mengail selera. Orang-orang pasar jongjong juga menggelar jualan, seperti biasa. Apa adanya. Tapi tak ada sapa yang menghela di antara mereka. Langit senyap. Suara-suara gelap. O, Tuhan, mengapa pagi ini sorot mata mereka begitu hampa, mulut mereka dikepit luka? Mereka memang menggelar dagangan. Tapi sungguh, yang tergelar cuma kehampaan belaka.
Kehampaan yang sempurna!
Medan, 2006
Dimuat di Suara Pembaruan, MINGGU, 30 Desember 2007
Monolog Lelaki Merindukan Pulang
Oleh Hasan Al Banna
Maka aku, betapa berhasrat hendak menggelinjangkan ikan-ikan ke pangkuanmu!
Bersebab wajahmu yang sebening pucuk jambu itu, sedikitpun tak pernah membersitkan rasa takut atau curiga tentang kesenanganku bepergian ke mana saja aku suka. Ai, sama sekali kau tidak pernah bertanya: Mengapa aku pergi? Hendak ke mana pergi? Sedang apa aku dalam pergi? Berapa lama pergi? Atau adakah nanti aku pulang setelah pergi? Kapankah pulang setelah pergi? Adakah siang hari? Adakah pulang senja hari? Adakah malam hari? Adakah tengah malam? Adakah pulang usai diseduh subuh? Atau bahkan aku tidak pulang sama sekali untuk waktu yang tak pernah tertebak olehmu. Ohoi, aku sebut kau setegar batu, tapi hatimu, sungguh sedebar salju.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Maka aku, betapa berdegup hendak tersesat di belantara cintamu!
Bersebab ketika aku selalu pergi setiap pagi, kau sama sekali tak pernah lupa menyiapkan segala sesuatu keperluanku; air hangat dan handuk untuk mandi, pakaian yang sudah dicuci bersih dan pasti sudah disetrika rapi, kaus kaki, serta sepatu dengan kilat yang berderai. Dan tentu menyusul suguhan sarapan; sepiring lontong sayur, opak, dan segelas teh hangat, juga membekaliku dengan ini dan itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah menyuruh, apalagi memerintahkanmu melakukan semua itu.
“Sudahlah, tak usah repot kali. Biar aku saja yang menyiapkan segala sesuatunya.”
“Ah, tidak mengapa. Sedikitpun aku tak pernah merasa repot mengerjakannya untukmu.”
“Aku sudah terbiasa melakukan itu.”
“Iya, aku memang belum terbiasa melakukannya. Makanya aku ingin terus membiasakan diri untuk itu.”
“Nanti kau merasa terbebani. Jika mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan yang terbeban itu, tidaklah baik.”
“Beban itu, jikapun ada adalah ibadah bagiku. Dan mengerjakan ibadah sama artinya dengan mengerjakan suatu yang baik pula.”
“Hei…”
“Pendeknya, aku tidak pernah merasa terbebani.”
“Ya, tapi…”
“Atau kau yang merasa terbebani?”
“Tidak, hanya…”
“Ya, sudah! Berangkatlah, semoga hari ini perjalananmu menyenangkan.”
Maka aku, betapa lonjak hendak terjerat di pelukanmu!
Bersebab sering bila aku tidak pulang, kau sangat sedia dan setia dalam jaga dan tidur menungguku di ruang tamu. Bagimu persoalan waktu tidak terlalu penting. Tak peduli hari adakah senja, adakah malam, adakah tengah malam, atau sekalian subuh. Dan untuk itu kau tidak pernah merasa keberatan, tidak pernah merasa dirugikan, tidak pernah merasa terhina, tidak pernah merasa diabaikan, atau tidak pernah merasa disepelekan. Lantas kau tak pula pernah memendam benci, memendam durja amarah, apalagi memendam dendam.
“Tidak perlu kau menungguiku.”
“Saat-saat yang paling kutunggu adalah saat-saat menunggumu.”
“O, aku pulang tidak tentu waktu.”
“Mhh, aku menunggumu tidak pernah menggunjingkan waktu.”
“Ya, tapi kasihanilah dirimu. Jaga kesehatanmu.”
“Aku malah lebih kasihan terhadap diriku, jika tak mampu menunggui dan menyambutmu. Malah aku jatuh sakit karena ketidakmampuan itu.”
“Mubazir namanya itu. Pekerjaan sia-sia!”
“Jika kita menikmati setiap pekerjaan itu, mubazir itu bisa jadi adalah kebutuhan. Tidaklah sia-sia. Ketahuilah, menunggumu bagiku adalah sebuah pekerjaan yang sangat nikmat. Penuh kejutan.”
“Kau kan tahu, aku punya duplikat kunci? Jadi aku bisa pulang dan masuk kapan saja tanpa menyusahkanmu.”
“Selain menikmati, kunci nikmat dari melakukan pekerjaan itu adalah ikhlas. Tentu tidak akan ada lagi kata-kata menyusahkan.”
“Aduh…”
“Sudahlah, sedikitpun aku tidak pernah merasa susah menungguimu.”
“Iya…”
“Keberatankah kau jika aku menungguimu?”
Maka aku, betapa tersirap hendak melabuhkan ciuman di dahimu!
Bersebab jika suatu kali aku tidak ingin dan tidak sedang ke mana-mana, meski itu langka adanya, kau selalu menyiapkan dan menghidangkan makan siang yang nikmat untukku; nasi hangat yang mengepul, ikan bakar yang lemak, sambal kacang dan teri yang menyengat lidah, daun ubi tumbuk yang tanak, tempe goreng yang gurih, segelas air putih hangat, dan irisan semangka yang ranum. Padahal, sama sekali aku belum selera untuk makan.
“Perutku belum lapar.”
“Makan sebelum perut lapar itu lebih baik. Dan kalau bisa, berhenti makan sebelum kenyang, malah lebih baik.”
“Aku belum selera makan.”
“Terkadang selera makan itu datang setelah terlebih dahulu mencicipi makanan yang terhidang.”
“Ya, tapi, tapi hidangkan sajalah apa adanya.”
“Bahkan yang kuhidangkan ini belum ada apa-apanya.”
“Ou…”
“Ayolah makan! Nanti dingin.”
“Tapi…”
“Mensyukuri rezeki itu perbuatan baik. Dan menikmati hidangan ini adalah salah satu perwujudan rasa syukur. Maka, silakan dinikmati.”
Maka aku, betapa bersihentak hendak memetik bertangkai senyum di bibirmu!
Bersebab pula, jika aku sedang menikmati malam di beranda, kau tidak pernah lupa menyuguhkan secangkir teh atau kopi, juga menghidangkan sejumputan penganan. Bersebab sebelum tengah malam, kau selalu menyarankanku untuk istirahat di kamar; merebahkanku, menyelimutiku, menemaniku, dan meniupkan dongeng-dongeng cinta ke telingaku. Dongeng-dongeng yang menjelma perahu, berarung ke lautan tidur, ke samudera mimpi. Padahal saat itu, sama sekali aku belum ingin beranjak ke tempat tidur. Belum seberapa ngantuk. Pokoknya, belum digoda uapan.
“Aku belum ngantuk.”
“Istirahat itu tidak mesti ngantuk.”
“Aku belum mau tidur.”
“Istirahat itu juga tidak harus tidur.”
“Aku mohon, aku belum ngantuk dan belum ingin tidur.”
“Istirahat sajalah.”
“Istirahatkan bisa juga di beranda atau ruang tamu?”
“Nanti masuk angin. Sebab angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan.”
“Akukan sudah makan, tidak akan masuk angin.”
“Angin itu tidak mengenal persoalan makan atau tidak makan.”
“Oalah…”
“Sudahlah, ayo, berbaring saja.”
“Tapi…”
“Rebahan saja. Tidak sulit kan?”
Maka aku, betapa berkelebat hendak menggantang telaga di matamu!
Bersebab sudah terlampau lama aku pergi bertandang ke rumah-rumah yang lain; menikmati tuturan ramah pemiliknya, menikmati tawaran sarapan yang selalu berbeda, menikmati hidangan makan siang yang memanjakan selera, menikmati makanan senja yang bermacam adanya, menikmati suguhan minuman yang beragam rasa-warnanya, menikmati cerita-cerita beraneka kiranya, juga menikmati tidur yang paling nyaman tentunya.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Namun ke rumah siapa pun aku pergi, dan di rumah mana pun aku berleha diri, ada yang tak bisa kutemukan, selain padamu. Entahlah!
Maka aku, betapa bergegas hendak mengunci diri di bilik hatimu!
Bersebab kau adalah rumah yang lalai mengernyit, rumah yang alpa menjewer. Bersebab kau adalah rumah yang tak pernah menghardik; tempatku mengombakkan buih-biuh pahala, sebagai lengan-lengan air yang menghanyutkanku ke dermaga sorga.
Lalu, tolong katakan padaku, siapa orang yang tak hendak hanyut ke dermaga sorga? Katakanlah!
Hah, aku?
Ops, tidak lagi!
Medan, Duaribuan
(Dewi Haritsyah Pohan, mmh, terima kasih atas ketabahanmu. Jangan pernah khawatir, aku mencintaimu!)
Dimuat di Koran Tempo, MINGGU, 9 Maret 2008
CERPEN
Kematian Bob Marley
OLEH HASAN AL BANNA
Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Para tetangga terhenyak, lalu menjenguk berdesak-desak. Kesibukan pun menjalar sedemikian rupa. Lebih-lebih kepala lorong, Haji Fadel. Perintah-perintah tumpah. Di luar, sebagian orang memasang tenda. Di beberapa sudut lorong, ditambatkan bendera sungkawa. Hujan reda tak reda. Angin timpa-menimpa. Lantas pengeras suara masjid menyala, membagikan kabar duka-cita: “…telah berpulang ke rahmatullah: Bob Marley, tutup usia tiga puluh sembilan tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka, lorong Dermawan, di sebelah rumah tuan kadi Irham. Insya Allah, almarhum dikebumikan besok, setelah sembahyang zuhur…”
Bob Marley. Demikian warga lorong Dermawan memanggilnya. Ia memang senang bernyanyi, meski tidak mahir. “Alah, suaraku angka merah, kawan,” selorohnya. Tapi kalau pesta kawin, ngayun anak, atau sunatan pakai acara keyboard, maka ia akan bernyanyi sepukul-dua pukul. Atau temuilah Bob Marley di antara lapak tuak yang berderet di ujung pelabuhan. Di sana, sambil tenggen bersama peminum lain, ia bernyanyi sampai serak. Ia suka lagu batak, juga beberapa lagu milik Rhoma Irama. Dan tak pernah ketinggalan, lagu wajib: gereja tua.
Tapi jangan silap, Bob Marley bukan penggemar Bob Marley. Mana kenal ia sama penyanyi reggae legendaris asal Jamaika itu. “Pemain bola negara mana Bob Marley?” tanyanya dengan keluguan yang sempurna. Hah, maklumlah, ia hobi segala judi, termasuk taruhan skor pertandingan bola. Padahal, sama sekali ia tak pernah hapal pemain-pemain top, bahkan nama klub eropa yang menjadi unggulannya. Pun pula hendak mengetahui riwayat Bob Marley ia?
Jadi, apa pasal orang-orang menyerunya dengan nama itu? Andaipun dicari kepersisannya secara kasat mata, paling karena warna kulit—yang gelap, atau rambut gondrongnya. Tapi tentu, ia tidak dengan sadar menjalin rambutnya menjadi gimbal. Apalagi paham dengan kandungan filosofinya; menjalin rambut adalah perjalanan jiwa, pikiran, dan spritual yang mengajarkan kesabaran. Ehem-puih! Harap diketahui, sejak lajang, rambut ikalnya yang sebahu—sewarna daun setengah masak—jarang disisir, lalu terpilin secara alamiah, menciptakan bingkahan rambut tak beraturan.
Namun, entah karena alasan apapun nama Bob Marley itu melekat pada dirinya, ia senang dengan panggilan itu. Tak ada niat protes. Tak ada nota keberatan. Maka warga pun lupa, bahkan ia sendiri alpa, jika ia pernah menyandang nama: Jusmar Gazali bin Hoesin!
* * *
Pagi meniti nyeri. Hujan kandas. Di udara bertabur wangi air mata. Di dagu pintu, tepatnya di atas kursi kayu, diletakkan baskom bergunduk beras catu. Orang-orang yang tukam, menjumput butiran beras sambil membenamkan sejumlah uang, lalu beringsut menghampiri keluarga almarhum. Di rumah duka, warga melimpah. Jenazah Bob Marley dikerumuni istri, Mak Nuridah—ibu Bob Marley—yang uzur, dan ketujuh anaknya yang terpaksa berstatus yatim. Sanak dan keluarga dekat dari luar kota, sudah labuh sebelum subuh. Isak tangis pun timbul-tenggelam.
Di luar, pelayat berbaur di sekitar tenda. Bercakap-cakap. Saling menyalam. Berbatang rokok disulut. Ada juga tergerai renda tawa. Beberapa orang sibuk mengukur, menggergaji, dan mengetam bilahan papan untuk keperluan pemakaman. Nawawi begitu tekun mengukir tulisan—Bob Marley bin Hoesin, bukan Jusmar Gazali bin Hoesin—pada sepenggal broti. Untuk nisan sementara itu. Di sudut lain, sebidang kain putih tengah disiapkan menjadi kafan. Bang Sapri baru saja beranjak ke kuburan usai mengukur lebar-tinggi tubuh Bob Marley. Keranda, selubung dan payung keranda sudah diangkut dari masjid. Tiga blong besar air, penuh. Cukuplah untuk memandikan jenazah. Kapur barus, sabun, dan wewangian telah tersedia.
Ibu-ibu duduk bersempit-sempit di ruang tengah. Tikar rompal menutupi lantai tanah, sekalian menghalau uap lembap. Berkesiur lafaz doa dan yasin. Ganti-berganti. Sekali kesempatan, nasehat mengucur, menghibur. Gemerisik bunyi bisik-bisik. Kadang nada bicara terdengar seperti dengungan kecil. Samar. Khusuk. Tapi mereka tidak sedang bergunjing! Mungkin, sedang mengais jawaban?
Hampir sejak sebulan lalu, warga Dermawan sudah heboh dengan kabar hilangnya Bob Marley. Apalagi saat itu, Wak Bardansyah hendak mengadakan perhelatan perkawinan putri sulungnya. Ada acara keyboard, tentu. Dan biasanya, Bob Marley menjadi pawang keamanan. Maka tak akan ada pemuda lorong lain yang bernyali membikin kekacauan. Biduan dan tukang keyboard pun aman dari ancaman: Dipaksa tampil sampai pagi! Hasil akhir, hajatan bersih dari buih tuak, tanpa ruap gelek, dan tak ada joget panas di atas pentas.
Namun Bob Marley raib! Wak Bardansyah terpaksa menyewa ormas pemuda setempat untuk mengurus keamanan. Pastilah itu membutuhkan anggaran tambahan. Padahal, bayaran tidak berlaku bagi Bob Marley. Bakal ia tolak itu mentah-mentah. Gantinya, susupkan saja rokok ke saku bajunya, mantaplah itu. Tapi tanpa Bob Marley, pengeluaran biaya keamanan membengkak. Tak ada kericuhan, iya. Tapi selain uang kontan, si empunya pesta musti menyediakan berceret tuak, minuman penambah energi plus rokok berbungkus-bungkus. Maka bagi Wak Bardansyah, begitu mahal harga kehilangan seorang Bob Marley. Apa boleh buat!
Entah mengapa, orang-orang di luar lorong Dermawan macam gentar setiap mendengar nama Bob Marley. Paling tidak, mereka enggan bersangkut-paut masalah dengannya. Memang, warga lorong Dermawan tahu kalau Bob Marley agen gelek. Sudah rahasia umum itu. Tapi pantang bagi Bob Marley mengedarkan daun ganja kepada anak lajang lorong Dermawan. Ia pun tak berniat menghasut mereka menyedot gelek. Malahan, si Bahrum—cucu Andung Alang, usia belasan dan putus sekolah—pernah ditempeleng Bob Marley karena kedapatan begelek.
Benar, Bob Marley gemar menenggak tuak. Namun tak pernah ia pulang sambil meracau, meski sedang tenggen habis. Bahkan, jika berpapasan dengan tetangga, ia tetap ramah dan seperti orang sadar melempar sapa. Mmh, tentang tuak, Bob Marley pernah mengancam akan membakar rumah Inang Girsang di seberang jalan lorong Dermawan. Itu terjadi kalau Inang Girsang berkeras juga membuka lapak tuak di daerah itu. Untung ancaman susut, ya, karena Inang Girsang membatalkan rencananya. “Anak-anak di lorong ini kan baik-baik, jangan pulak dikasih tuak,” Bob Marley menyodorkan alasan.
Tapi, kalau soal judi, bolehlah Bob Marley bertoleransi. Ia tak pernah melarang lajang-lajang seputaran lorong Dermawan berkartu sambil taruhan, atau main judi dadu di hadapannya. “Mainkan saja, genk! Asalkan jangan merusuh, tak ada minuman, dan jangan begelek!” Bob Marley menyilakan, tapi tak lupa meninggalkan peringatan. Sesekali, ia tergiur juga bergabung. Ya, main setarik-dua tariklah.
Andai bertanya pada tetangga tentang sosok Bob Marley, mereka menjawab apa adanya: “…o, baik orangnya itu. Ya, tak alim-alim kalilah. Solat paling hari Jumat, itupun jarang. Tapi dia itu rajin ikut wirid yasin tiap malam Jumat. Jangan sepele kelien, pandai mengaji dia. Sudah itu, kalau ada warga yang meninggal, Bob Marley giat mengurus keperluan kifayah jenazah, khususnya menyiapkan galian kuburan. Terus, biar tau saja, hampir tak pernah absen dia ikut tahlilan, genap tiga malam. Pokoknya…”
Namun, bukankah Bob Marley bertampang bajingan? Iya, badannya setipis rempeyek, compang-ramping. Tapi kata orang, wajahnya setandus bulan padam, menakutkan! Nyaris bengis dengan mata redup yang keruh, merah, dan mendidih. Dari lehernya—hingga menukik ke bahu, melintang luka lampau yang berkarat. Lalu, ada tiga tato bersarang di tubuhnya. Dua terpacak di lereng bahu, bergambar jangkar dan wanita tak berbaju. Satu lagi bergambar tweety. “Orang rumahku sukak kali filim kartun ini.” Itu kata Bob Marley sambil menunjukkan tato yang terpatri di dada kiri. “Tato ini punya istriku,” ujarnya, entah sedang menggelar kelakar.
Memang, kedengarannya seperti lelucon. Tapi menurut orang-orang—yang bukan warga lorong Dermawan, itu tidak memupus penilaian mereka terhadap Bob Marley: seorang bajingan! Warga lorong Dermawan hanya membalas tuduhan itu dengan isyarat bahu. Mereka malas membahas tabiat Bob Marley di luar yang mereka ketahui dan saksikan sendiri. Pendek kata, sebajingan apa pun Bob Marley, tak pernah sejarahnya menebar onar di lorong Dermawan. Sebaliknya, warga merasa tentram dengan keberadaan Bob Marley.
Dulu, sebuah rumah di lorong Dermawan pernah ditumpas maling. Tapi berselang setengah hari, gondolan vcd serta tivi kembali tanpa cacat, dan tanpa sempat berpindah ke tangan penadah. Entah bagaimana cara Bob Marley memulangkan barang berharga itu. Tapi yang pasti, sejak itu, tak pernah lagi rumah-rumah di lorong Dermawan menjadi sasaran maling. Maka kini, tidakkah berita hilangnya Bob Marley menggoreskan sedikit rasa was-was? Dan hei, Bob Marley, di manakah?
Desas-desus berhembus, enteng, juga serius: Bob Marley diculik jin, Bob Marley kawin lagi, Bob Marley pergi melaut berhari-hari, Bob Marley korban tabrak lari, atau jangan-jangan, Bob Marley mati dibunuh, dan mayatnya dimutilasi. Tapi prediksi itu hangus ketika seseorang menitipkan secarik kertas lusuh buat istrinya—setelah dua minggu Bob Marley hilang. Ada tulisan singkat dan kusut di situ: “…Abang ketanggok polisi, Mala. Tapi tak usah takut kau. Paling lama, dua hari lagi Abang keluar…” Lega menghela dada istri Bob Marley.
Warga pun turut lega. Tapi kembali cemas ketika Bob Marley tak kunjung bebas. Hari sudah hanyut sejumlah sebelas. Maka tanpa komando, warga berinisiatif mengumpul dana, sebagai modal bernego dengan pihak terkait. Tentu demi menjemput Bob Marley dari bilik berjerejak. Nun, niat belum sepenuh terlaksana, Bob Marley sudah pulang, tapi tak beserta nyawa. Ia kembali dari kehilangan, tapi sedang menuju ke kehilangan abadi. “Suami ibu dikeroyok sesama tahanan sel,” kata istri Bob Marley menirukan ucapan salah satu lelaki pengantar jenazah suaminya. Ketika warga menanyakan hasil visum, Mala menggeleng. Pasrah.
* * *
Siang menjelang. Menyiang. Jenazah Bob Marley sudah dimandikan. Ratap istrinya merayap, ketujuh anak ia dekap. Air mata ambruk. Duka ibarat laut tak berdermaga. Warga lorong Dermawan berkerumun. Meski tak bepekik tangis, tak melejit jerit, kepala mereka bertudung kesedihan. Di wajah mereka menggantung mendung muram. Ketahuilah, mereka sebenar kehilangan Bob Marley! Tulus.
Waktu terus menghunus. Isak meledak ketika Bob Marley segera dibungkus. Tapi mendadak kepala lorong—juga tuan kadi Irham, dan Abah Taher—tergopoh menyela. Lantas terlibat diskusi dengan pihak keluarga. Lumayan lama. Hingga membatu angin. Tapi kemudian, selesai berangguk-angguk, kepala lorong buka suara: “Jenazah akan kita usung lebih dulu ke rumah sakit, untuk divisum!”
Hadirin sepakat. Ini kematian yang janggal. Sumpah, sejak mendengar kematian Bob Marley, berkelebat kutuk, menendangi dada warga lorong Dermawan:
“Bah, keji kali kematian Bob Marley itu..!”
Medan, Mendung 2006
Dimuat di Majalah Horison, EDISI MARET 2008
CERPEN
Hanya Angin yang Terpahat
di Rahang Pintu
OLEH HASAN AL BANNA
Sehabis melekatkan pandangan pada foto yang terpacak di sebalik kaca lemari, ia menunduk! Beberapa titik air—hangat dan pudar—merembes juga dari lekuk matanya. Lagi-lagi, Mak Odah gagal memulangkan air mata ke dadanya yang lengang. Padahal, demi kebahagian orang-orang tercinta, janji hati musti ditepati. Iya, kelopak matanya yang layu, jangan lagi berputik air mata! Tapi demi Allah, itu bukan pekerjaan mudah bagi Mak Odah. Meski kalau tidak, tubuhnya yang bak perahu tua berbahu koyak, sampai kapan terlunta di samudera lara? Namun pada kenyataannya, Mak Odah tak selalu berhasil menghalau kesedihan yang datang bergerombol, dan betapa beringas menggempur. Memang, ada saja silang-pintas kenangan yang meremas kemarau dadanya sampai tandas. Lalu berperciklah saripati air mata!
Tadi, usai salat magrib, Mak Odah hendak beranjak ke beranda. Ouh makjang, di dalam rumah, gerah kali rasanya! Maka ia kepingin keluar, sekadar menggayung angin, atau sekalian berkubang dingin. Lagi pula, tak pernah betah ia meringkuk diri di kamar. Sepenat apapun badan, jarang Mak Odah bergolek-golek, atau berperam-peram mata sebelum hari sebenar terperosok ke liang malam. Padahal hari ini begitu gontai sendi-sendi tulangnya. Sebenarnya, kurang enak badan Mak Odah tadi pagi. Tapi berangkat juga ia ke tangkahan. Biasa, setiap pagi berbatas lohor, Mak Odah, sebagaimana pekerja yang lain, begitu tekun mengolah ikan gelama menjadi ikan asin belah. Mulai dari menguras isi perut, merentangnya di siring—wadah penjemur ikan, sampai kepada mengintai-intai sengat matahari. Tentu agar ikan sebenar kering.
Sepulang dari tangkahan, Mak Odah pun tak langsung ke rumah, melainkan bergegas menghimpun dahan langgade yang berpatahan di sekitar bakau. Lumayan, beberapa ikat langgade untuk kayu bakar bisa ditukar uang di kedai sampah Nek Basariah. Kadang sambil lalu, Mak Odah juga mengumpulkan buah nipah untuk dijual. Tapi kini, sudah susah ia menemukan pohon nipah. Tak apalah, hasil dari keseharian Mak Odah tersebut, dicukup-cukupkanlah itu membeli beras dan rencah lauk-pauk. Berapa banyaklah makan Mak Odah?
Tapi dari pengakuan para tetangga, tak pernah kisah kesah menghambur dari mulut Mak Odah. Termasuk jarang Mak Odah menabuh-nabuh keluh ke telinga orang banyak. Kalaupun ia sesekali bertandang, hanya untuk memulih-mulih badan yang penat, atau bersilang gurau dengan tetangga. Namun beranda rumahnya tetap menjadi tempat pelepas lelah yang indah bagi Mak Odah. Raut wajah Mak Odah seketika cerah kalau sudah berkelambu angin. Tapi entahlah pula, kenangan atas suaminya—juga kedua anaknya: Azmi dan Lastri—kadang waktu memintas juga di setapak angan Mak Odah. Menyemai-nyemai rindukah itu?
Mak Odah tinggal di perkampungan nelayan—tak jauh dari Belawan, atau sekitar 28 kilo dari Medan. Bisa dibilang Mak Odah bermukim dekat laut, meski persisnya lebih hampir ke alur—sungai yang mengandas ke muara laut. Di perkampungan itu, rumah-rumah kayu berderet dan berhadap-hadap. Hampir semua rumah berkolong tinggi, untuk menghindari pasang yang mendaki ke lantai rumah. Tentulah, rumah Mak Odah yang jangkung memudahkan tubuhnya untuk berlulur udara. Apalagi rumah panggung Mak Odah yang sederhana, berberanda pula. Dari situ, ia bebas menyaksikan gelanggang angin menggelombangkan hawa dingin ke tubuhnya.
Begitulah, Mak Odah memang senang menikmati belia malam sambil duduk di beranda. Betul, kalau tidak memandangi pohon nangka di depan rumahnya, ya, Mak Odah rajin meneguri para tetanga yang beriring pulang dari laut. Sesekali ia dihadiahi ikan segar oleh mereka. Meski satu-dua ekor, alamat suka-citalah Mak Odah. Seperti suka-citanya menyahuti teriak anak-anak yang bermain di pekarangan. Mmh, menghirup aroma amis, mendengar daunan nangka disiut angin, renyah tawa anak-anak, serta lalu-lalang nelayan adalah penyumpal nganga rindu di dada Mak Odah. Entahlah, tak sempurna malam bagi Mak Odah, kalau belum mendengar kecipak air menepuk-nepuk pantat perahu yang bersandar di sepanjang alur. Pun pula baginya, sayup klotak-klotak mesin perahu ibarat rampak gendang penghalau galau.
Maka Mak Odah, ketika lepas magrib—kalau tidak hendak mengaji—tentu akan bergegas ke dagu rumah. Tapi tadi, ketika melintasi ruang tengah, hasrat itu tersendat. Bermula dongak Mak Odah yang sejenak, kemudian sekibas senyum hinggap di bibirnya yang ranggas. Bersisian dengan jam dinding tua, ada sepasang mata, seperti tak henti melirik dan menatap Mak Odah. Sepasang mata itu sering membikin dada Mak Odah berdebab. Bisa jadi, sesekali bibirnya berhadiah senyum, tapi tak jarang pula itu membuahkan isak. Memang, itulah tatapan yang tak pernah padam dari sebingkai foto usang. Sorot mata yang senantiasa menyala, meski si empunya mata sudah terlelap di bilik tanah. Ah, suamiku, mengapa aku sendiri yang musti menyusuri gurun sepi yang tandus ini? Mak Odah hanya bisa menanggungkan sengak dada sambil membetulkan bingkai foto yang oleng.
Jujur, tak ada istri yang bercita-cita menjadi janda, ditinggal mati suami tercinta. Tapi, meski sempat dikepung badai kecemasan, Mak Odah bisa juga mencicil kelegaan di dada, ketika suaminya berangsur pulih, alhamdulillah. Memang, tubuh suaminya—yang diringkus kurus—masih ditopang tongkat penyangga. Tapi untuk tegak tanpa tongkat penyangga barang seperempat jam, suami Mak Odah sudah kuat. O, jangankan meniarapkan tapak kakinya ke tanah, menyeret langkah pun ia sudah mampu, meski perlahan. Nah, sudah pula sanggup suaminya berjalan sendiri di tempat yang landai, tanpa dituntun. Hanya, kalau hendak menjejak tangga rumah, Mak Odah musti membantunya dengan papahan.
Tempo hari, tubuh suami Mak Odah diseruduk truk ketika menumpang ojek dari simpang jalan besar. Memang, nasibnya lebih baik dibanding tukang ojek yang mati kontan. Suami Mak Odah remuk kaki, sebelah kanan, dari betis mencapai gelang kaki. Menurut analisis dokter, tulang kakinya bukan hanya patah tebu, tapi pecah menyerpih. Musti diamputasi, begitu vonis medis! Iyalah, kaki suaminya terkulai parah, seputih kapas, dan seperti kehilangan nyala darah. Memang di situ, tak ada kawah luka yang menggelegak. Tapi ujung kakinya sudah tak tentu berarah ke mana. Lalu, dua bilah pecahan tulang, runcing, menyembul dari belakang mata kaki, tepat dua jari di atas tumit.
Tapi Mak Odah tak mampu membayangkan suaminya berkaki puntung. Atas saran tetangga, lekas-lekas ia menggendong suaminya ke Medan. Di sana ada dukun patah ternama, bermarga Sembiring, orang Karo. Tentu, selain menghemat biaya, Mak Odah bisa merawat suaminya di rumah. Beberapa kali saja ia mendatangi dukun itu bersama suaminya. Lalu selanjutnya, Mak Odah sendiri yang datang mengadukan kondisi kaki suaminya, sekaligus mengantongi racikan obat pulang ke rumah. Allah Maha Pemurah! Meski melampaui 5 bulan terasa berat, tapi menyaksikan keutuhan dan kesembuhan kaki suaminya, bergirang-girang hati Mak Odah. Tidak heran, dengan semampu daya, acara syukuran pun digelar. Doa dan harapan turut ditebar.
Tapi empat hari selepas syukuran, suaminya mendadak demam. “Tak usahlah, Saodah. Tak parah panasku ini, kurasa. Hanya pening sikit kepalaku,” bantah suaminya ketika hendak diajak ke Puskesmas. Tapi itulah kalam terakhir suaminya sebelum pamit menyimpuh kepada Ilahi. Ou, tak tanggung pedihnya hati Mak Odah melepaskan kepergian suaminya dengan kaki kanan yang hampir rangkum ayun langkahnya. Astaghfirullah, setiap membayangkan peristiwa silam itu, entah umpatan apa yang berkecamuk di dadanya. Apalagi ketika bersitatap dengan suaminya, meski lewat sebingkah foto. Dan air matanya pun menitik, tangisnya mengasuh derit.
Ei, sudah, jangan menangis! Berbujuk-bujuk Mak Odah dengan hatinya. Maka ia lekas-lekas bersemarak senyum. Apalagi saat sorot mata Mak Odah tertumbuk pada sebingkai foto yang lain, tidak jauh dari foto yang tadi. Aih, serta-merta Mak Odah akan mendulang-dulang geli. Dulu, foto ukuran sepuluh inci itu sering memancing gelak mereka berdua—ia dan suaminya. “Oi, Saodah, kau tengoklah foto ini, ha,” Goda suaminya tempo waktu, “…mengapalah menganga muncung kau? Tapi iyalah, orang kampung, manalah biasa begincu dan bebedak. Jadi ketatlah mukak tu, macam karet ketapel. Sikit pun tak ada senyum kau!” Lalu berderailah tawa, sampai meluap peluh mata. “Kau tengok Abang kau ni, tampan macam Amithabachan!”
Biasanya, sembari mengepit rasa malu, Mak Odah tak akan membiarkan dirinya kalah dalam pertaruhan seloroh. “Iyalah, tampan kali memang Abang Razali-ku ini. Tapi laki-laki apalah namanya itu, tak berani menggandeng pinggangku waktu befoto, iyakan? Pas kupegang tangan Abang saja, wuih, memerah kutengok mukak Abang. Tak obah udang domam kutengok Abang waktu itu,” begitu berapi-api Mak Odah mengacung-acung bingkai foto perkawinan tersebut. “Aih, entah selama lajang, takut Abang jumpa anak gadis, iya? Oalah, matilah kita, tak pernah Abang rupanya becakap sama anak dara?” Dan mereka berdua pun bergempa tawa. Cubitan tangan susul-susulan. Memerah-memerah wajah keduanya, meniru semburat wortel.
Itu foto mereka saat bersanding di pelaminan, sudah buram dan berbercak. Upacara perkawinan yang seadanya ketika itu: Rajali dan Noor Saodah. Maklum, mereka minim dana. Begitupun, ada juga kerabat yang bermulia budi; meminjamkan baju pengantin melayu. Memang, selain nyala kuningnya pasi, kedodoran pula. Tapi lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Rajali, suaminya, berbaju teluk belanga—juntai lengannya dilipat. Ia pakai seluar yang pangkal atasnya musti digulung, seperti memakai sarung. Lalu kain sampin yang diselubungkan dari pinggang ke batas lutut, musti dibebat. Tengkulok dari kain songket yang bertengger di kepalanya, longgar, pinggir lingkarnya hampir menyentuh alis.
Tampang Noor Saodah tak lebih baik saat itu. Ia mengenakan kebaya panjang, tapi sulaman benang emasnya sudah bertanggalan. Iya, di bahunya diselempangkan juga selendang bermanik. Namun tak ada hiasan di leher, apalagi di rambutnya yang bersanggul lipat pandan. Polesan bedak di wajah Noor Saodah pun timpang, pekat sebelah. Birat merah di pipi lebih seperti bekas cakaran. Garis bibirnya yang tipis dibubuhi gincu, tapi kental betul. Celak arab yang ditoreh di alis dan di sekitar pulupuk mata, malah mencekungkan wajah Mak Odah. Lalu, ruah keringat turut pula memperparah rupa. Alirnya yang bersilang-seling membikin wajah Noor Saodah serupa tumpukan dempul.
Tapi keduanya masih kelihatan sebagai pengantin yang serasi, paling tidak itu menurut mereka. Meskipun banyak hal yang senantiasa mereka leluconkan dari foto tersebut. Bayangkan, mereka berkait lengan, tapi seperti bersihindar. Macam ada orang yang tegak di antara mereka. Lalu pula, wajah si mempelai pria entah menghadap ke mana, pandangan mempelai wanita tertunduk entah sebab apa. Beruntung kaki kedua mempelai tidak terabadikan foto. Kalau tidak, sepasang kaki mereka hanya menyungkur ke terompa kayu yang allahurobbi beratnya. Padahal, semestinya mereka memakai selop bertekad, sepatu-sendal beraksesori. Mmh, kenangan lampau yang menggantung di almari hati, kadang menjentikkan geli, kadang pula menyusupkan nyeri.
Hah, Mak Odah berhenti membolak-balik kegelian dan kenyerian itu. Ia lalu mengokang kerutan dahi, memutar pandangan, menyapu sepertiga dinding. Di luar, angin mengerling, dan riuh anak-anak seperti pecahan piring. Tapi di hati Mak Odah, masih juga hening yang setia bergasing. Dan, uh, foto itu, yang menyelip pada kaca lemari, mengapa berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Entah. Tapi mata Mak Odah tak pernah mampu menghindari foto tak berbingkai itu. Kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah mendekat, lalu menatap foto itu lekat-lekat?
* * *
Tekad Lastri teramat padat. Dan Mak Odah paham sekali watak anak gadisnya. Kalau sudah tanak kemauannya, akan ia tempuh segala litak upaya. Maka Mak Odah kehilangan kekuatan untuk membendung keputusan Lastri. Aduh, betapa ia mengerti, kematian suaminya telah mengacaukan rak hati Lastri. Iya, suaminya yang dulu berkeras hati menyuruh Lastri kuliah. Dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai nelayan, ditambah menjadi pekerja tambak milik Pak Sadiman, bisa juga suaminya mendudukkan Lastri di bangku mahasiswa. Tapi Lastri sepertinya tahu diri; sepeninggal Ayah, Mak-nya adalah tiang rapuh yang tumbuh sendiri di ladang kerontang. Tentu Lastri tak ingin menjadi benalu berbelati.
Sesungguhnya Mak Odah berniat melanjutkan kekerasan hati suaminya: Lastri musti tamat! Bukankah Lastri tinggal merampungkan skripsi, agar gelar sarjana tak semata mimpi? Tapi hidup, terkadang menyergap bersama pilihan-pilihan pahit. Sekali waktu, Mak Odah ibarat sepuntung dayung yang mampu mengayuh sampai ke pantai paling jauh. Tapi lain waktu, Mak Odah adalah galah yang mudah goyah, menunggu patah. Kewalahan juga ia menampung angguk-pikuk gelisah diri. Dan meski dengan selihai cara Mak Odah menyimpannya di laci hati, terbaca juga oleh Lastri. Maka Lastri, tak ada keraguan menentukan sikap sejati. Meski tak termungkiri, perih juga hati ketika harus meninggalkan Mak yang sendiri.
Namun Mak Odah pasrah! Tak mengapalah, hanya setahun, ia rayu-rayu diri. Lagi pula Lastri telah menanam janji: Kuliahnya tidak berhenti, hanya cuti! Dan sepulang nanti, ia siap menyelesaikan skripsi! Maka program Au Pair Mädchen memboyong Lastri ke kota Bremen, Jerman. Kebetulan, Lastri adalah mahasiswa Bahasa Jerman di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan. Usai proses seleksi, Lastri dikirim ke Bremen untuk tinggal bersama Ibu Asuh selama dua belas bulan—sesuai kontrak. Di sana, selain bekerja paruh waktu selama 5 jam, Lastri mengikuti kursus bahasa secara cuma-cuma. Ia pun berhak menerima uang saku setiap harinya.
Ah, Lastri, berakhir pergi, meski berjanji kembali. Ampun, Mak Odah rindu setengah mati, acap tertipu ilusi. Saat salat magribnya belum digenapkan doa, sering Mak Odah mendadak meninggalkan rebah sajadah. Tak sempat pun ia melepas telekung yang terkalung di kepala. Adalah bersebab ia mendengar tangkup langkah menabur derap di tangga rumah. Lastri pulang, pekik hatinya. Lalu Mak Odah yang bernapas sengal, berlari-lari dangkal menuju pintu yang terkunci. Tapi jangankan Lastri, setegur bayangan pun tak tampak tegak di antara pintu dan beranda. Mak Odah tertunduk, ke manakah sembunyi kesadaran diri?
Ah, Mak Odah, terlalu menurutkan hasutan rindu, terkenang-kenang saja kepada Lastri, anak gadis yang cuma sendiri. Dasar Lastri, kecil anaknya, tapi lincah geraknya, ia berbisik-bisik ke telinga hati. Demikian memang, sejak kuliah, Lastri hampir dipastikan telat tiba di rumah. Kebiasaan Lastri setelah membayar ongkos ojek, ialah menghamburkan sentak lari ke pundak tangga. Maka terdengarlah kelebat langkah yang berantakan. Tapi itu menjadi isyarat bagi Mak Odah untuk bersegera membuka gari pintu. Selepas tangannya direngkuh kecupan, ia akan mendapatkan Lastri berlari menerobos kamar mandi. Berwudu, lantas salat! Lastri begitu buru-buru, karena ia tahu, waktu magrib sekejap saja sudah raib.
Berkisah soal langkah, Mak Odah paling hapal rentet suara kaki Lastri ketika melintasi undakan tangga. Kalau riak kaki suaminya lebih senyap, tak jauh beda dengan Azmi. Kira-kira, seperti suara seretan, atau desis pendek orang yang tidur. Biasanya, Mak Odah membuka pintu setelah mendengar salam, atau gedoran pintu oleh Azmi atau suaminya. Aha, pasang telinga kalau hendak mendengar cecahan kaki mereka saat mendarat di anak tangga. Tapi begitupun, Mak Odah sering gagal menebak teka-teki hati: Kaki siapa yang sedang bergesek di tangga, suami atau Azmi? O-Mak, ada saja kelakuan-kelakuan mereka bertiga—suami dan kedua anaknya—yang mengguit pinggang kenangan. Tapi apa yang diharap lagi dari suaminya dan Azmi? Tinggal Lastri yang mampu menyejuk-nyejuk dada yang dikelupas pisau kenangan.
Iya, Lastri anak tahu diri, begitu puji Mak Odah. Lastri rajin berkirim surat, meski tak pernah berbalas. Nah, kalau sedang mengeja isi surat, bersinar-binar mata Mak Odah. “… di sini tempat yang menyenangkan, Mak. Ibu Asuh Lastri orangnya baik. Tapi Lastri rindu sama, Mak…” O, betapa terharu Mak Odah, kadang terburai air mata setiap menerima surat dari Lastri. “…hiih, di sini mulai masuk musim dingin. Ada salju, Mak. Tapi agak menyebalkan, karena setiap keluar rumah, harus pakai topi, syal, sarung tangan, dan jaket tebal…” Ups, Lastri, o, Lastri, dada Mak inilah sekerat langit beku yang meluruhkan salju itu, gumam Mak Odah getir sambil menyeruput bibir. Meski tak sempat hangat mata menyemburkan manik-manik berwarna tawar.
Tapi oleh surat yang lain, pernah Mak Odah diguncang-guncang isak sesudah membaca sepenggal kalimat. Tak terkata pedih hati Mak Odah saat itu, pasti. Mau tahu penyebabnya, simaklah bagian akhir dari kalimat tersebut: “…sehat-nya Mak kan? Gimana kabarnya Bang Azmi, sudah pernah mengirim kabar?…” Mak Odah tak menjawab, bahkan ia turut menukikkan tanya sambil bergelimang air mata. Azmi, Azmi, anakku, bagaimana keadaanmu di rantau sana, tak menentukah? Tapi ia bertanya dan mengharap jawab pada siapa? Tak ada serintik berita pun—dari Azmi—yang menempias ke dahaga rindunya.
Azmi, putra sulung itu memilih pergi ke Malaysia, berbekal uang penjualan perahu mesin warisan suami Mak Odah. Butir-butir harapan menggelinding juga dari terjal hati Mak Odah: Azmi kelak pengganti kepala keluarga. Melindungi Mak dan Lastri, bahkan kelak menjadi penabung lumbung ekonomi keluarga. Tapi jangankan berkirim ringgit, segeliat surat pun tak pernah menyelip ke ketiak pintu. Azmi tetap saja berkabar kabur. Lalu simpang-siur kabar yang menyebar: Azmi mati, Azmi sudah menikah, atau Azmi tertangkap Polis Diraja Malaysia dan kini di penjara, seperti menyedot-memuntah semangat hidup Mak Odah.
Tapi, biarlah, Azmi kan laki-laki, pasti tahu cara membawa diri, Mak Odah pun berhenti membusukkan luka sendiri. Jangan bersedih, bukankah sebentar lagi Lastri kembali? Lalu mengiang-ngiang bujukan hati. Tapi surat Lastri yang berikut, tidak mengabarkan rencana kepulangan diri. Dan entah mengapa, Mak Odah tak mampu menangis saat itu. Mulut hati Mak Odah terjeruji, tak keluar kata-tanya. Kelabu matanya adalah sahara, tak berkaca-kaca. Di kisut dadanya, tiba-tiba menghilang gebu rindu buat Lastri. Mak Odah hanya merasakan kakinya tak lagi menyentuh lantai rumah. Oups, siapa yang melayarkan tubuhnya ke laut lapang berlangit abu-abu, ke samudera lengang berhuni hantu. Adakah tubuhnya sedang terbengkalai di atas perahu kabut penuh kerut?
“…saat ini Lastri lagi sibuk mengurus surat-surat pernikahan. Mak tak usah khawatir, Grzegorgz seorang muslim. Ia keturunan Polandia-Albania. Lastri tahu ini berat bagi Mak. Tapi Mak ikut bahagia kan kalau Lastri bahagia? Lastri janji, kalau ada waktu lapang, kami berdua akan pulang menjumpai Mak barang sebentar. Maafkan Lastri, keputusan ini sudah Lastri pikirkan masak-masak. Lastri berharap Mak memberi doa restu. Titip salam Grzegorz sekeluarga untuk Mak. Lastri sayang sama Mak. Salam rindu…”
Ai, Lastri, Lastri, mengapa tunas janji dipijak sendiri? Mak Odah pun terbaring lemah semenjak kedatangan surat itu. Berminggu juga usia sakitnya, tapi tak bernama jenis penyakitnya. Tak mujarab resep dokter, tak berhasil mantra dukun. Beruntung kemudian, ketika surat Lastri berisi foto perkawinan datang membesuk, sedikit membangkit daya hidup Mak Odah. Sungguh, baginya, tak mudah memenggal alir darah antara Mak dengan anak. “…alhamdulillah, semua berjalan lancar, Mak. Sempat tertunda sebenarnya, karena susah juga mengurus pernikahan antar negara di Jerman. Akhirnya, kami mendaftarkan pernikahan, sekaligus menikah di kantor catatan sipil Denmark. Di sana lebih mudah, Mak. Ini, Lastri kirimkan foto Lastri dengan Grzegorz ketika berfoto di depan kantor catatan sipil…”
Sekait senyum tersangkut di bibir Mak Odah. Tak berkedip matanya menyaksikan foto ukuran jumbo tersebut. Berlatar sebuah bangunan tua dengan plang bertulis ejaan asing: TØNDER RÅDHUS, badan Lastri kelihatan lebih berisi, dan kulitnya pun tampak bersih berseri. Lastri mengenakan gaun putih-putih, berwajah bahagia dengan mulut setengah tertawa. Tangan kanan Lastri menggenggam seikat kembang berwarni. Aduh, Lastri yang lebih tinggi dari Mak-nya saja kelihatan kecil dibanding suaminya. Apalagi jika Mak bertemu menantu? Mak Odah menimang-nimang geli tak menentu. Mmh, kepala Lastri seperti terbenam di bawah ketiak suaminya. Di foto itu, Grzegorz, suami Lastri yang berkulit kemerahan, memakai kemeja liris dongker dan bercelana hitam. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, tapi alis matanya tebal.
G-r-z-e-g-o-r-z! Ah, tak lulus-lulus lidah Mak Odah melafalkan nama itu. Diam-diam, ada sebening kebahagian mendenting di gua hatinya. Lalu dipajanglah foto itu di selipan kaca lemari oleh Mak Odah. Tanpa bingkai. Dan selalu, mata Mak Odah tak pernah mampu mengelak dari foto tak berbingkai itu. Entah, kekuatan dahsyat apa yang mengajak jejak Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto itu lekat-lekat? Uh, foto itu, berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Mak Odah menjawab dengan bisu!
Maka kian laun, Mak Odah, mau tak mau, musti belajar menjadi perempuan tegar. Ia pun mencontoh kokoh karang. Tapi sekadang saat, ia tak lain adalah segantung kepompong yang terkatung. Ialah tentu, pusaran ombak waktu telah memorakkan perahu hidupnya. Bayangkan, tempo waktu, baru dua kali 40 hari—sepeninggal suaminya—berlalu, ia senyata hidup sendiri. Suami selamanya pergi. Kemudian, setelah 40 hari pertama, Azmi yang pamit diri, lalu menyusul Lastri. Tentu, semula ia berupaya ikhlas, demi kebahagiaan anak-anaknya. Sebab pula, bukankah berbeda cara orang meraih kebahagiaan, termasuk Azmi dan Lastri?
Tapi kadang-kala, Mak Odah merasakan tubuhnya seperti ruas-ruas tangga yang keropos. Lalu, kegetiran hidup berwujud belantara kaki bersepatu baja, saling berebut memijakkan tapaknya di gigil tangga. Tak jarang Mak Odah menggeser-geser tanya dalam hati: Adakah ia tubuh yang bernyawa hampa, tanpa rasa? Tapi tidak juga, kiranya! Sebagai bukti, di tengah hempas-timpa debum peristiwa, bertamulah utusan Haji Adenan—pengusaha tambak, duda berusia 61 tahun. Niat utama utusan itu: Melamar Mak Odah menjadi istri pengganti Haji Adenan. Ada sesirap rasa yang mengetuk-ngetuk dada Mak Odah. Benar, Mak Odah tak menolak. Tapi karena teringat janji dengan Lastri: Tak akan menghadiahi Ayah tiri untuk Lastri, tawaran lamaran pun terombang-ambing.
Entahlah, segala runyam diri Mak Odah timbul-tenggelam di keruh hati, riuh-dendam! Sempat ia meneguh-neguh tekad: Terima saja lamaran Haji Adenan! Namun harapan tak berlangkah kanan, terlambat. Haji Adenan sudah menggandeng pengganti. Kabarnya, seorang perawan tua yang dijemput ke kampung asal Haji Adenan, Pangkalan Brandan. Dan pun, selesailah kehendak hati! Air diteguk sebagai penawar denyut jiwa, tapi pasir penuh serpih kaca yang terasa menyesak rongga dada. Kembali, tubuh Mak Odah dibungkus tirai luka!
* * *
Kesiur angin berdebur di luar. Dahan nangka saling beradu, menjalin derak. Daun-daunnya bakal terserak-serak. Tadi, entah kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto tak berbingkai itu lekat-lekat? Lalu ketika ini, kekuatan apalagi yang menghisap pandangan Mak Odah, sehingga berpaling ke arah pintu. Udara bersuara patah, datang dan pergi. Ia seperti mendengar suara kaki yang berderap di tangga. Ia kenal derapan kaki siapa itu. Lastri? Langkah Mak Odah pun bersekilat mencapai pintu. Tergopoh-gopoh tubuhnya, tersuruk-suruk dengus napasnya! Ia kuak daun pintu berengsel serak, lalu sorot matanya menyerobot, kemudian berbelok ke curam tangga. Tapi, o, tak ada siapa-siapa. Hanya tugu angin yang terpahat di rahang pintu!
Mak Odah tertegun. Angin berdesir, perlahan, menyisir tabur ubannya yang berwarna mendung muda. Ia meraba wajah. Ah, semakin berpinak garis-garis yang saling menelikung dan bertindihan. Kerut wajah Mak Odah menyerupa jaring laba-laba yang kusut. Oi, sunyi berdentang, mencipta sumur berngarai dalam, teramat dalam, dan mengeram ribuan liang. Tubuh Mak Odah seketika dingin dan ngilu. Mendadak amis udara terasa basi, menjelma jemari berduri, lantas berkelebat memetik kabut air dari pelepah mata Mak Odah!
Medan, Hilir 2006
catatan hati : Cerpen “Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu” ini adalah kado pernikahan tak berpita bagi Lili Yuslianti dan Deniz Nis. Berbahagialah, Li, juga Niz! Oya, jangan lupa Lili berkirim kabar kepada Mak. Pandai-pandailah menghibur hatinya.
Dimuat di Kompas, MINGGU, 3 Juni 2007
CERPEN
Tiurmaida
OLEH HASAN AL BANNA
Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.
“Istirahatlah kau dulu!” Boru Pohan memberi anjuran.
“Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak,” ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke bongkahan batu.
Tiurmaida baru saja memulai pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal matahari yang melesat dari timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya.
Tiurmaida lalu berpaling langkah, menyurut sepasang kaki kembali ke rumah. Tadi, sebelum berangkat ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius yang basalemak di pisak celana, bahkan bercecer di sebagian badan. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, juga menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida harus hati-hati melaksanakan rutinitas itu. Ia tidak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Ketika hendak memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun sebaliknya, melepas kaki yang terkunci jika hendak mengenakan celana.
Tiurmaida begitu tekun mengurus Marsius. Meski Marsius tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya dalam keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yang menyuruk ke tubuh Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dari tidur yang nyenyak, demi mendiamkan Marsius yang berteriak-teriak. Marsius memang tidak leluasa bergerak, tapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Ketika itu, ia sedang menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, tapi rahang suaminya lebih dulu meretap.
Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega menyaksikan Marsius terlentang di atas dipan lapuk tak berkapuk, dan dikekang beberapa balok dan rantai. Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti sepasang sabit yang mencabik-cabik hati. Benar, terkadang tatapannya kosong bagai lorong teramat sepi. Tapi terkadang lorong itu menjadi dua tungku yang menyemburkan api. Dagu dan rahangnya seperti tebing curam, rapuh, dan penuh belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat bagian tubuh yang lain seperti liang-liang kecil yang menganga. Punggungnya terkelupas karena sudah tergeletak kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah parah saja. Memasung Marsius adalah pilihan terbaik sekaligus menyesakkan bagi Tiurmaida.
Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi. Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya, meski akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Dua hari lalu—entah yang keberapa kali—ibunya kembali datang.
“Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.”
“Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.”
“Masih muda kau itu, Tiur.”
“Iya. Tapi tak mau aku mangidolong!”
“Pikirkanlah sekali lagi.”
Tapi Tiurmaida menjawab dengan gelengan yang tegas. Ia tidak mau mangidolong, meskipun itu diperkenankan hukum kampung. Berdasarkan isyarat adat, istri pantang meminta cerai. Andai terpaksa, mangidolong adalah satu-satunya jalan, agar keinginan istri untuk berpisah dapat terwujud. Biasanya istri lari ke rumah orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka digelarlah mufakat, mengalirlah nasehat-nasehat agar suami istri yang bertikai kembali seangguk sepakat. Tapi jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak.
Namun Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan perjodohannya dengan anak namboru, anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga. Tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tigapuluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu seketika lenyap.
Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya, dan ia siap menanggung itu. Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko. Bukankah risiko yang mengintai ketika ia memutuskan menikah dengan Marsius. Ah, berkait kepedihan masa lalu masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya terang-terangan menentang Marsius sebagai calon menantu. Ketika itu, serapah apa lagi yang belum limpah? Padahal menurut Tiurmaida, alasan penolakan keluarganya terlampau mengada-ngada. Ya, hanya bersebab dendam lampau, ketika lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius.
Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius dan Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah berketatapan hati menikah dengan pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat dan agama.
Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan kepada utusan keluarga Marsius untuk duduk bersila di dalam rumahnya. Berarti ia tetap tak merestui Tiurmaida. Namun apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran ayah dan ibu Tiurmaida. Soal izin dan wali nikah, peraturan adat melimpahkannya kepada uda Tiurmaida—adik laki-laki ayahnya. Marsius dan Tiurmaida pun sah menjadi suami istri. Mereka menyusun cita-cita dan mimpi, pingin punya anak sebagai pelipur hati. Penuh harap pula mereka, kelak kehadiran anak akan melunakkan hati ayah dan ibunya.
Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka harapan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan sanak famili terus menghunus cibiran: “Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!”
Ois, dengan susah payah Tiurmaida dan suaminya mengasah kesabaran. Tak patah arang mereka pergi kian kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah dan ternak habis digadai demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang bidan yang mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di Sidimpuan—dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya berbuah hampa. Bahkan belakangan, dokter menyatakan rahim Tiurmaida bermasalah!
Itulah vonis yang mengiris. Namun Tiurmaida harus tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak, demi menikahi perempuan lain, dan punya anak. Tapi mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak ganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda.
Memang, pancaran kebahagian tetap mengguratkan keperihan. Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil bagian dalam bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan suka-cita yang mengalir ke telinga Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya dendam ayah dan ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua dengan anak? Berpekik-pekik ia dalam hati.
Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada Tiurmaida. Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran air yang menyintak Maramuda dari lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda, mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu kelezatan apa yang kelak dicecapnya.
Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius terpukul. Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah.
Peristiwa itu tidak sekali dua kali terjadi, dan akhirnya menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung. Tapi Tiurmaida harus tabah, apalagi ketika seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini keluarganya—terkhusus ibunya—sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu terlambat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega dan berusaha untuk tidak tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi ketika ibunya tak pernah penat bernasehat, juga tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya. Namun seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya, kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir kepada perjodohannya dengan Ali Tukma.
* * *
Kini karung keenam. Paling tidak ia bisa menuntaskan satu dua karung lagi, sebelum hari benar-benar terjerembab ke kubang gelap. Di sekitarnya, batu-batu—sepangkal paha—hasil longsoran terbaru masih tersisa beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih mempunyai kesempatan menukarkan tenaganya dengan uang. Tiurmaida tersenyum, lalu menatap cahaya buram yang menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di kawasan pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yang menampung serpihan batu-batu, sebelum mengirimnya dengan truk kepada para pemesan di Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yang membayarkan upah sesuai jumlah karung yang diselesaikan.
Usai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung, menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka Tiurmaida harus lekas menyelesaikan pekerjaannya, lalu menyeret karung-karung itu ke hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida musti menunggu besok untuk memperoleh upah hari ini. Padahal upahnya bakal lebih sedikit dari hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup mengerjakan dua belas karung batu dalam sehari. Sekarung batu imbalannya sembilan ratus rupiah, berarti ia akan mengantongi upah hampir sebelas ribu per hari. Tapi tidak untuk kali ini. Sebab sepetang ini, baru lima karung yang berisi. Itupun dikerjakan sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yang anyir.
Teman-teman Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang ketika mendung mengapung dari celah bukit. Beberapa malam terakhir, lebat hujan dan kesiur angin berjam-jam mengepung kawasan bukit dan kampung. Tapi malam ini Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-batu dengan sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya. Angin yang meluncur deras dari pundak bukit yang koyak kadang menggigilkan tulangnya. Tapi wajah Marsius yang memintas-mintas di serambi kenangan, menghembuskan kehangatan baru ke tubuhnya.
Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia perhatikan langit membentuk payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yang berantakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul cahaya dari rumah-rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam kilau danau. Apalagi ketika hujan terburai dari perut langit, bilah-bilah air yang dipantuli cahaya seperti percik kembang api.
Entah karena keindahan itu, hujan yang berkelebat dalam gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal tubuhnya berkelambu hujan. Tangannya menebal, tapi ou, mengapa tak mampu memental kengiluan yang menerobos luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tapi kian erat genggamannya pada martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak batu. Deru hujan, desir angin, sentak petir, juga denting batu-batu ibarat lagu-lagu yang meneguhkan semangatnya. Tapi dari arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh yang menyusup ke telinga Tiurmaida. Ia tidak paham kalau lagu itu bernada gemuruh.
Aduh!
Medan, 2005-2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment