Tuesday, 22 April 2008

rendra

SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING

Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
karena terlibat aku di dalam napasmu.
Dari bis kota ke bis kota
kamu memburuku.
Kita duduk bersandingan,
menyaksikan hidup yang kumal.
Dan perlahan tersirap darah kita,
melihat sekuntum bunga telah mekar,
dari puingan masa yang putus asa.

Posted by melodanta at 04:55 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK TANGAN

Inilah tangan seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.

Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.

Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.

Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.

Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.

Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.

Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.

Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.

Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor

Posted by melodanta at 04:55 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK S L A

Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya
Bagaimana itu mungkin ?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.

Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap bocor.”

Dan papa-papa semua senang.
Di pegang-pegang tangan ibu guru,
dimasukan uang ke dalam genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana persahabatan,
teteknya disinggung dengan siku.

Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.
Inilah ajaran tentang perundingan,
perdamaian, dan santainya kehidupan.

Ibu guru berkata :
“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
Kita harus menguasai mesin industri.
Kita harus maju seperti Jerman,
Jepang, Amerika.
Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”

Murid-murid tertawa,
dan mengeluarkan rokok mereka.

“Karena mengingat kesopanan,
jangan kalian merokok.
Kelas adalah ruangbelajar.
Dan sekarang : daftar logaritma !”

Murid-murid tertawa dan berkata :
“Kami tidak suka daftar logaritma.
Tidak ada gunanya !”

“kalian tidak ingin maju ?”

“Kemajuan bukan soal logaritma.
Kemajuan adalah soal perundingan.”

“Jadi apa yang kaian inginkan ?”

“Kami tidak ingin apa-apa.
Kami sudah punya semuanya.”

“Kalian mengacau !”

“Kami tidak mengacau.
Kami tidak berpolitik.
Kami merokok dengan santai.
Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
santai, tanpa politik
berunding dengan Cina
berunding dengan Jepang
menciptakan suasana girang.
Dan di saat ada pemilu,
kami membantu keamanan,
meredakan partai-partai.”

Murid-murid tertawa.
Mereka menguasai perundingan.
Ahli lobbying.
Faham akan gelagat.
Pandai mengikuti keadaan.
Mereka duduk di kantin,
minum sitrun,
menghindari ulangan sejarah.
Mereka tertidur di bangku kelas,
yang telah mereka bayar sama mahal
seperti sewa kamar di hotel.
Sekolah adalah pergaulan,
yang ditentukan oleh mode,
dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
Dan bila ibu guru berkata :
“Keluarkan daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa.
Dan di dalam suasana persahabatan,
mereka mengobel ibu guru mereka.

Posted by melodanta at 04:54 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API

Bagaimana mungkin kita bernegara
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama ?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba

Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
Mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
Manusia mana
Akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian ?

Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga

Kini aku sudah tua
Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku ?

Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?
Ataukah ini bau limbah pencemaran ?

Gemuruh apakah yang aku dengar ini ?
Apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan ?
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan oleh mimpi ?
Apakah aku tersentak
Oleh satu isyarat kehidupan ?
Di dalam kesunyian malam
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
Apakah yang terjadi ?

Darah teman-temanku
Telah tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh Kolot
Di Kiara Condong
Di setiap jejak medan laga. Kini
Kami tersentak,
Terbangun bersama.
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?

Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita masih sama-sama setia
Membela keadilan hidup bersama

Manusia dari setiap angkatan bangsa
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang terjadi ?
Apakah yang telah kamu lakukan ?
Apakah yang sedang kamu lakukan ?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari jawaban yang kita berikan.

Posted by melodanta at 04:54 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON

Inilah sajakku,
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
dan rokok kretek yang padam di mulutku.

Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.

Aku berjalan menempuh matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
"Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi"
Astaga, tahi kerbo apa ini !

Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.

O, kepalsuan yang diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.

Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.

Aku menatap senjakala di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
Apakah kata nurani kemanusiaan ?

O, Senjakala yang menyala !
Singkat tapi menggetarkan hati !
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !

O, gambaran-gambaran yang fana !
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Posted by melodanta at 04:53 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK SEONGGOK JAGUNG

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja

Tetapi ini :

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Posted by melodanta at 04:52 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK SEBOTOL BIR

Menenggak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.

Hiburan kota besar dalam semalam,
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?

Mengapa kita membangun kota metropolitan ?
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
dan tidak kepada pengedaran ?

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.

Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.
Jalanlalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.

Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
tidak untuk petani,
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.

Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?

Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
harus senantiasa menghasilkan….
Dan akhirnya memaksa negara lain
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
…………………………….

Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?
Apakah pemikiran ekonomi kita
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
Apakah kita akan hanyut saja
di dalam kekuatan penumpukan
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
……………………………….

Kita telah dikuasai satu mimpi
untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.

Posted by melodanta at 04:52 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK PULAU BALI

Sebab percaya akan keampuhan industri
dan yakin bisa memupuk modal nasional
dari kesenian dan keindahan alam,
maka Bali menjadi obyek pariwisata.

Betapapun :
tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,
Bali harus dibuka untuk pariwisata.
Sebab :
pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,
dan maskapai penerbangan harus berjalan.
Harus ada orang-orang untuk diangkut.
Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.

Dan waktu senggang manusia,
serta masa berlibur untuk keluarga,
harus bisa direbut oleh maskapai
untuk diindustrikan.

Dan Bali,
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.

Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia,
di muka perkemahan kaum Badui,
di sisi mana pun yang tak terduga,
lebih mendadak dari mimpi,
merupakan kejutan kebudayaan.

Inilah satu kekuasaan baru.
Begitu cepat hingga kita terkesiap.
Begitu lihai sehingga kita terkesima.

Dan sementara kita bengong,
pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,
membawa bentuk kekuatan modalnya :
lapangan terbang. “hotel - bistik - dan - coca cola”,
jalan raya, dan para pelancong.

“Oh, look, honey - dear !
Lihat orang-orang pribumi itu!
Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.
Fantastic ! Kita harus memotretnya !
................................

Awas ! Jangan dijabat tangannya !
senyum saja and say hello.
You see, tangannya kotor
Siapa tahu ada telor cacing di situ.
…………………….

My God, alangkah murninya mereka.
Ia tidak menutupi teteknya !
Look, John, ini benar-benar tetek.
Lihat yang ini ! O, sempurna !
Mereka bebas dan spontan.
Aku ingin seperti mereka…..
Eh, maksudku…..
Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja.
Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.
Look, now, John, jangan cemberut !
Berdirilah di sampingnya,
aku potret di sini.
Ah ! Fabolous !”

Dan Bank Dunia
selalu tertarik membantu negara miskin
untuk membuat proyek raksasa.
Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.

Dan kemajuan kita
adalah kemajuan budak
atau kemajuan penyalur dan pemakai.

Maka di Bali
hotel-hotel pribumi bangkrut
digencet oleh packaged tour.

Kebudayaan rakyat ternoda
digencet standar dagang internasional.

Tari-tarian bukan lagi satu mantra,
tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.
Pahatan dan ukiran bukan lagi ungkapan jiwa,
tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.

Hidup dikuasai kehendak manusia,
tanpa menyimak jalannya alam.
Kekuasaan kemauan manusia,
yang dilembagakan dengan kuat,
tidak mengacuhkan naluri ginjal,
hati, empedu, sungai, dan hutan.
Di Bali :
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan

Posted by melodanta at 04:51 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK POTRET KELUARGA

Tanggal lima belas tahun rembulan.
Wajah molek bersolek di angkasa.
Kemarau dingin jalan berdebu.
Ular yang lewat dipagut naga.
Burung tekukur terpisah dari sarangnya.

Kepada rekannya berkatalah suami itu :

“Semuanya akan beres. Pasti beres.
Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.
Kesukaran selalu ada.
Itulah namanya kehidupan.
Apa yang kita punya sudah lumayan.
Asal keluarga sudah terjaga,
rumah dan mobil juga ada,
apa palgi yang diruwetkan ?
Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.
Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.
Di rumah ada TV, anggrek,
air conditioning, dan juga agama.
Inilah kesejahteraan yang harus dibina.
Kita mesti santai.
Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.
Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.
Salah-salah malah hilang jabatan.”
………


Tanggal lima belas tahun rembulan
Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang.
Malam disambut suara halus dalam rumputan.
Anjing menjenguk keranjang sampah.
Kucing berjalan di bubungan atap.
Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.


Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :

“Hari-hari mengalir seperti sungai arak.
Udara penuh asap candu.
Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.
Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.
Tak ada yang bisa diambil pegangan.
Suamiku asyik dengan mobilnya
padahal hidupnya penuh utang.
Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.
Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.
Apakah jaminan pendidikannya ?
Ah, Suamiku !
Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,
pikirannya jelas pula.
Tetapi kini serba tidak kebenaran.
Setiap barang membuatnya berengsek.
Padahal harganya mahal semua.
TV Selalu dibongkar.
Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.
Akhirnya tertidur…….
Sementara TV-nya membuat kegaduhan.
Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.
Gampang marah soal mobil
Gampang pula kambuh bludreknya
Makanan dengan cermat dijaga
malahan kena sakit gula.
Akulah yang selalu kena luapan.
Ia marah karena tak berdaya.
Ia menyembunyikan kegagalam.
Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.
Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !”
…......................................


Tanggal lima belas tahun rembulan.
Tujuh unggas tidur di pohon nangka
Sedang di tanah ular mencari mangsa.
Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.
Di tebing yang landai tidurlah buaya.
Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.


Sang Putri yang di SLA, berkata :

“Kawinilah aku. Buat aku mengandung.
Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.
Aku membenci duniaku ini.
Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.
Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV
Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.
Suasana tegang di dalam rumah
meskipun rapi perabotannya.
Aku yakin keluargaku mencintaiku.
Tetapi semuanya ini untuk apa ?
Untuk apa hidup keluargaku ini ?
Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?
Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?
Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?
Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.
Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.
Untuk apakah kehidupan kami ini ?
Untuk makan ? Untuk baca komik ?
Untuk apa ?
Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !
Kemacetan mencengkeram hidup kami.
Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.
Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “
………....................................

Tanggal lima belas tahun rembulan.
Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya
di bawah cahaya bulan.
Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.
Akar bambu bercahaya pospor.
Keleawar terbang menyambar-nyambar.
Seekor kadal menangkap belalang.

Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :

“ Ayah dan ibu yang terhormat,
aku pergi meninggalkan rumah ini.
Cinta kasih cukup aku dapatkan.
Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.
Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.
Aku menolak untuk mengejar kemewahan,
tetapi kehilangan kesejahteraan.
Bahkan kemewahan yang ayah punya
tidak juga berarti kemakmuran.
Ayah berkata : “santai, santai ! “
tetapi sebenarnya ayah hanyut
dibawa arus jorok keadaan
Ayah hanya punya kelas,
tetapi tidak punya kehormatan.
Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?
Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?
Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?
Seorang petani lebih produktip daripada ayah.
Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.
Ayah hanya bisa membuat peraturan.
Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.
Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.
Ayah tidak produktip melainkan destruktip.
Namun toh ayah mendapat gaji besar !
Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?
tidak pernah, bukan ?

Terlalu beresiko, bukan ?
Apakah aku harus mencontoh ayah ?
Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.
Ayah dan ibu, selamat tinggal.
Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “

Posted by melodanta at 04:50 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
untuk menanam benih
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- dari zaman ke zaman

Posted by melodanta at 04:50 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK ORANG KEPANASAN

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK kepadamu
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

Posted by melodanta at 04:49 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK MATAHARI

Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.

Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !

Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.

Matahri adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !

Posted by melodanta at 04:49 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK MATA - MATA

Ada suara bising di bawah tanah.
Ada suara gaduh di atas tanah.
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya
ada tentara marah-marah.

Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.
Aku melihat isyarat-isyarat.
Semua tidak jelas maknanya.
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
menggangu pemandanganku.

Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Pendengaran dan penglihatan
menyesakkan perasaan,
membuat keresahan -
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
Tak ada yang tahu.

Betapa kita akan tahu,
kalau koran-koran ditekan sensor,
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
Koran-koran adalah penerusan mata kita.
Kini sudah diganti mata yang resmi.
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
Kita hanya diberi gambara model keadaan
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut.
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
Mata pemerintah juga diancam bencana.
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
Terasing di belakang meja kekuasaan.
Mata pemerintah yang sejati
sudah diganti mata-mata.

Barisan mata-mata mahal biayanya.
Banyak makannya.
Sukar diaturnya.
Sedangkan laporannya
mirp pandangan mata kuda kereta
yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan yang kabur,
semua orang marah-marah.
Rakyat marah, pemerinta marah,
semua marah lantara tidak punya mata.
Semua mata sudah disabotir.
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.

Posted by melodanta at 04:48 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK KENALAN LAMAMU

Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.
…………………............

Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
………….............

Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
…………..........

Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.
……...........
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
…….....
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
……….

Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..


Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
…........
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
…..........................

Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
……............

Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.

Kita telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.
…………………


Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.

Posted by melodanta at 04:47 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI

Dengan latar belakang gubug-gubug karton,
aku terkenang akan wajahmu.
Di atas debu kemiskinan,
aku berdiri menghadapmu.
Usaplah wajahku, Widuri.
Mimpi remajaku gugur
di atas padang pengangguran.
Ciliwung keruh,
wajah-wajah nelayan keruh,
lalu muncullah rambutmu yang berkibaran
Kemiskinan dan kelaparan,
membangkitkan keangkuhanku.
Wajah indah dan rambutmu
menjadi pelangi di cakrawalaku.

Posted by melodanta at 04:47 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK GADIS DAN MAJIKAN

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
tetapi jelas sudah kutahu
pelukan ini apa artinya…..

Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
Ketika tuan siku teteku,
sudah kutahu apa artinya……

Mereka ajarkan aku membenci dosa
tetapi lupa mereka ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya hidup
yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
Diajarkan aku membutuhkan
peralatan yang dihasilkan majikan,
dan dikuasai para majikan.
Alat-alat rias, mesin pendingin,
vitamin sintetis, tonikum,
segala macam soda, dan ijazah sekolah.
Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku ‘kan lari,
bila tidak ke dunia majikan ?

Jangnlah tuan seenaknya memelukku.
Aku bukan cendekiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan ke sana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya memelukku.
Ah, Wah .
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku
Ah, Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan memelukku.
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
mencium mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
Mereka pegang kedua kakiku.
Mereka tarik pahaku mengangkang.
Sementara tuan naik ke atas tubuhku.

Posted by melodanta at 04:46 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK BURUNG - BURUNG KONDOR

Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani - buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.


Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Posted by melodanta at 04:45 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK BULAN PURNAMA

Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang malam,
wajahnya yang bundar,
menyinari gubug-gubug kaum gelandangan
kota Jakarta.

Langit sangat cerah.
Para pencuri bermain gitar.
dan kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam yang permai
anugerah bagi sopir taksi.
Pertanda nasib baik
bagi tukang kopi di kaki lima.

Bulan purnama duduk di sanggul babu.
Dan cahayanya yang kemilau
membuat tuannya gemetaran.

“kemari, kamu !” kata tuannya
“Tidak, tuan, aku takut nyonya !”
Karena sudah penasaran,
oleh cahaya rembulan,
maka tuannya bertindak masuk dapur
dan langsung menerkamnya

Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
Lalu naik ke ubun-ubun
menjadi mimpi yang gemilang.
Menjelang pukul dua,
rembulan turun di jalan raya,
dengan rok satin putih,
dan parfum yang tajam baunya.
Ia disambar petugas keamanan,
lalu disuguhkan pada tamu negara
yang haus akan hiburan.

Posted by melodanta at 04:45 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Posted by melodanta at 04:44 0 comments
Labels: W.S. Rendra
SAJAK ANAK MUDA

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?

inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.

Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara

Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Posted by melodanta at 04:44 0 comments
Labels: W.S. Rendra
Newer Posts Older Posts Home

INFORMASI

A. Ajib Hamzah (1)
Abdul Hadi W.M. (6)
Abral Yusra (3)
Acep Syahril (1)
Acep Zam-Zam Noor (6)
AD Donggo (5)
Adhy Asmara (6)
Adri Sandra (4)
Aef Sanusi (2)
Afrizal Malna (2)
Agus R. Sarjono (6)
Ahda Imran (7)
Ahmad Nurullah (2)
Ahmadun Yosi Herfanda (11)
Ajip Rosidi (2)
Akhmad Sekhu (6)
Aldian Aripin (6)
Ali Hajsmy (2)
Amir Hamzah (6)
Anas Yusuf (1)
Ansar Basuki Balasikh (1)
Ari Setya Ardhi (17)
Arif Senjaya (7)
Aris Kurniawan (10)
Asa Jatmiko (22)
Aslan Abidin (4)
Asmara Hadi (1)
Chairil Anwar (17)
danta (25)
H.B. Jassin (2)
Muhammad Yamin (3)
Mustofa Bisri (10)
Profil (20)
Rustam Effendi (3)
Sapardi Djoko Damono (51)
St. Takdir Alisjahbana (3)
Subagio Sastrowardoyo (9)
Sutardji Calzoum Bachri (21)
Taufiq Ismail (18)
Toto Sudarto Bachtiar (7)
W.S. Rendra (36)

Friday, 18 April 2008





Dimuat di Kompas, MINGGU, 26 Agustus 2006

Cerpen Hasan Al Banna

Parompa Sadun Kiriman Ibu

Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata.
Semestinya Lamrina layak bersuka-cita. Bukankah hari ini telah dilangsungkan acara manjagit parompa, juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi tidur Uli yang baru berusia duapuluh delapan hari. Pada kesempatan lain ia sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina.
Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina.
Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang berombak di dadanya. Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan tangis!
Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apapun ia menyeka linangan di pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur. Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya.
Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini gelisah. Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira, bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap, usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu datang.
Hmm, ia menarik napas, berat. Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya, dan dihamparkan di atas springbed. Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh suka-cita acara manjagit parompa, acara adat Angkola menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga musti hadir. Tapi jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri dari kerabat dan tetangga.
Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli. Itulah dua kata yang tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit godang.
Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita yang Memakai).
Tapi pada simpang-siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya berperam mata sambil menikami kelebat sesal. Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit godang.
Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya berladang-ladang di belakang rumah.
Lamrina pun berangkat ke ibukota. Di sana ia menumpang di rumah amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya. Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika Masniari, kakak tertua Lamrina dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung bersama ibu, dan belum menikah.
Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya. Ia yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa. Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. “Pokoknya seagama,” begitu pesan ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina. Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan.
Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan. Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya. Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan.
Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah tenang. Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang mengasuh janin perempuan.
Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalau pun tidak, ibunya berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah pulang ke Sabatolang.
Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai. Malah di dadanya gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu. Tapi apa? Ibunya tersinggung!
“Tak senang-nya kau menerima parompa itu?” Suara ibu Lamrina sedikit tinggi dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung Lamrina berdebar, “Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau…”
“Senang-nya aku, bu…” potong Lamrina.
“Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung.” Kini suara ibunya menjurus ketus, “Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?” Pertanyaan ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara: tuut-tuut-tuut!
Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu laki-laki. Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah. Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga laki-laki sebagai penerus marga.
Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam. Belum pandai Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak punya niat untuk menikah lagi. “Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun ibu masih muda.”
Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya, perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya terlanjur tersinggung. Buktinya, sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: “Tak ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat.”
Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti baju yang teronggok di lantai. “I…bumu me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas…” Suara parau tulang Dahler yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh.
Maka meletuslah tangis Lamrina. Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf. Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami yang sabar.
Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya. Termasuk untuk membujuk Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan Mas Hadi dengan lapang dada tetap memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. “Demi menghormati arwah ibu,” kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: “Aku gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?”
Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh. Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama anaknya, “Uli, Uli, anak sayang,” serta-merta Lamrina seperti berbisik, “Ibu, Ibu, nasibmu, o, betapa malang!” Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka hatinya yang menganga-merekah.
“Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!”

Medan, 2006







Dimuat di Andalas, MINGGU, 16 Maret 2008

CERPEN
Pasar Jongjong
OLEH HASAN AL BANNA

Kabut menelungkup! Derik jangkrik mendaki kegelapan, juga menuang kelengangan. Sepasang mata Ompung Luat begitu awas menuntun kakinya menyusur jalan setapak, lembab dan berbatu. Angin tak bertiup, tapi liuk dingin menyusup juga ke tandas tulang. Ou, lelaki 76 tahun itu mendapatkan dirinya jauh lebih rerak dari usianya. Ia usap wajahnya yang berpipi cekung, seperti meraba lengkung lesung yang dangkal dan lapuk. Sambil menghalau batuk yang menggedor dada, Ompung Luat meraih sarung yang melingkar di leher, lalu diselubungkan ke tubuhnya yang geletar.
Dingin masih menunggang malam. Di sela jari Ompung Luat, tembakau bakkal dibalut daun biobio tersisa duapertiga. Tapi ia jentikkan begitu saja linting rokok kegemarannya itu ke sebalik belukar. Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting Ompung Luat—geretan sumbu berminyak lampu—tak mampu lagi memercik. Dan iya, memantik sepetik api ke pucuk rokoknya serupa hasrat yang berkarat.
Entah apa yang bersikeruh di lubuk kepala Ompung Luat. Usai isya tadi, ia, Amang Salohot, dan Marapande pergi ke rumah kepala kampung, Jabinore. Mereka menebar jala upaya untuk kesekian kalinya. Mana tahu Jabinore mau menukar arah pikiran: batal menjual kebunnya di belakang madrasah! Dan mungkin jadi, segalanya menjadi lain. Meski segenggam harapan itu akhirnya hangus menjadi legam angan. Harapan rontok, berserak, umpama daun-daun kerontang kehilangan pokok.
“Maaf, tak ada lagi wewenangku mengubah kesepakatan tempo hari.” Kalimat itulah yang dilontarkan Jabinore dengan mimik yang kemarau. Berarti ia angkat tangan! Maka Ompung Luat, Amang Salohot, dan Marapande pun bergegas menyurut langkah. Dan selama perjalanan menjemput jejak pertama, hanya ruap rokok dan sengap napas isi percakapan mereka. Ketiganya menitip suara ke perut gulita. Pun ketika berpisah di sebuah jalan bercabang, tak hendak mereka menagih kata-kata. Hanya angguk belaka tanda melepas simpul sua.
Kesepakatan soal keberadaan pasar jongjong memang sudah seminggu yang lalu tercapai. Lantas, ya, tinggal menunggu waktu, sesegera mungkin ditunaikanlah kesepakatan itu. Tetapi ada saja riak kenangan yang menghentak benak Ompung Luat. Riak yang kemudian berpusar deras, lalu mengombakkan sebuah tekad: kelangsungan pasar jongjong! Meski jika berhadap-hadap dengan mata hukum, gelung ombak tersebut terpental susut.
Pasar jongjong, sebuah pasar kecil di pekarangan madrasah. Madrasah, bangunan kayu berpekarangan tidak lebih dari sebidang lapangan voli. Memiliki empat lokal belajar. Satu ruangan besar sebenarnya, tapi disekat dengan beberapa papan tulis berkaki sehingga mencipta beberapa lokal. Di belakang madrasah melintas parit berair jernih. Dua bangkai pohon kelapa sepanjang dua meter menjadi penghubung terjal antara madrasah dengan kebun pisang milik Jabinore.
Di madrasah tersebut, para murid setingkat SD belajar mengaji dan ilmu agama, dituntun guru-guru belia tamatan pesantren tersohor, Purba Baru—Mandailing Natal. Pagi, madrasah diisi murid SD yang sekolahnya masuk siang, dan begitu sebaliknya. Madrasah itu berdiri jauh sesudah pasar jongjong berlangsung. Kalau hendak mengenal saksi hidup pasar jongjong, Ompung Luat dan Nek Arse orangnya. Mereka berdua, serta mendiang Haji Mahot dan mendiang Mursalim yang mula kali memulai aktivitas pasar jongjong. Segalanya berawal dari ketaksengajaan.
Suatu pagi 28 tahun lampau, Ompung Luat memundak sekeranjang ikan sepat tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di sawah, menunggui bunting padi yang ranum. Pagi itu ia bermaksud pulang, sekadar menjemput bekal untuk malam berikutnya. “Bawa saja ikan-ikan itu pulang,” teriak istrinya sambil mengusir burung-burung yang menghinggapi pucuk-pucuk padi, “Entah kau kasihkan sama si Rumondang, atau bagikan sajalah ke hombar balok, sama tetangga-tetangga kita itu.” Ompung Luat menjawab dengan anggukan.
Mungkin untuk mengerat penat, ia rehat tepat di tanah kosong milik Haji Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur, lantas pergi menjinjing tiga-empat ekor sepat. Ompung Luat menolak imbalan uang yang mereka sodorkan. Ya, karena niat semula sepat-sepat itu untuk dibagikan, bukan dijual. Tapi orang-orang tetap meninggalkan uang di sisi keranjang. Hampir tamat semua sepat. Tinggal untuk Rumondang saja, putrinya yang sudah berkeluarga, tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Nah, beriring masa, setiap berpapasan dengan Ompung Luat, orang-orang kampung sering bertanya soal sepat. Maka, jika berada di sawah dan terselip waktu luang, Ompung Luat rajin menjerat sepat. Kemudian ia menuju tanah kosong, menunggu orang-orang memintas, lalu menyodorkan ikan. Ia tetap tak menagih upah, tapi mereka selalu menyisipkan uang ke saku baju Ompung Luat. Kadang tak lama berdiri di situ, berlalu pulang ia. Tapi, andai terperogok warga, Ompung Luat memindahkan jinjingan sepat ke tangan orang-orang kampung.
Tapi pernah sekeranjang sepat bawaannya tak berkurang seeokor pun. Rumondang dan tetangga hanya menjumput satu-dua ekor. Sisanya banyak, bermatian pula. Ketimbang mubazir, Ompung Luat mengolahnya menjadi ikan sale. Ya, sepat-sepat itu direbus berbumbu, lalu diasapi sedemikian rupa di atas bara sampai warnanya coklat kehitaman. Bara jangan sampai menjulurkan lidah api. Karena ikan-ikan itu hanya boleh ditanak oleh kepul asap. Kalau hendak dimakan, ikan sale bisa digoreng atau digulai terlebih dulu. Oi, sedap kali rasanya itu.
Ikan sale tersebut tak tersisa ketika Ompung Luat menggelarnya di tanah Haji Mahot, keesokan pagi. Maka, meski tak setiap hari, Ompung Luat pun ketagihan menjaja ikan sale. Kemudian hari, Nek Arse turut menjual sayur-mayur tanamannya. Haji Mahot si empunya tanah tak keberatan pula. Bahkan ia pun sering menjual hasil ladangnya—kelapa dan ubi. Datanglah Mursalim, membawa telur-telur yang ditetaskan ayam kampung piaraannya.
Ompung Luat akhirnya rutin manyale ikan air tawar, dan menjajanya di tempat biasa. Sejak istrinya sakit-sakitan, lalu meninggal, ia tak kerasan lagi mengurus sawahnya yang luas. Ia serahkan itu kepada Rumondang dan menantunya. Untuk mendapatkan ikan, ia tak turun tangan lagi menangkapnya. Kalau tak dipesankan sama menantunya, ya, ia beli dari kampung sebelah. Belakangan, Ompung Luat juga menjual gadapang, ikan kering penyedap sambal tuktuk khas Tapsel.
Kian ramailah tanah milik Haji Mahot itu. Warga sering menyebutnya pasar jongjong. Mengenai itu, Ompung Luat si penciptanya. “Kan waktu itu, cuma sebentar-nya aku berdiri di situ, eh datang orang menawar ikanku. Ya, jadi kubilanglah pasar berdiri, pasar jongjong!” Begitu kisah Ompung Luat mengenang kegelian peristiwa tempo hari. Warga pun senang dengan pasar jongjong. Maklum, pasar kecamatan berjarak tiga kilometer dari kampung itu. Jauh kali rasanya kalau hanya untuk membeli sayuran atau rencah gulai.
Pasar jongjong berlangsung setiap pagi. Lepas subuh, dan berakhir sebelum oleng matahari menebas batas lohor. Sebelas tahun berlalu, berdirilah madrasah. Itu atas prakarsa orang-orang pasar jongjong. Dana pembangunannya pun kebanyakan berasal dari sumbangan mereka. Pengelolaan madrasah diserahkan kepada Haji Mahot. Ia kan pemilik tanah, juga hatobangon, tetua kampung yang dihormati. Begitupun, ia dibantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi belajar untuk murid-murid mengaji.
Jadi, di pekarangan madrasahlah aktivitas pasar jongjong berlanjut. Sesama mereka, tidak ada tempat permanen untuk menggelar lapak. Saling berpindah tiap hari. Tapi mereka tak pernah bertikai. Mereka menggelar dagangan seadanya, hanya lapak-lapak plastik pasang-buka. Tenda-tenda dipasang untuk menghalang sengat panas, atau menghindar dari hujan. Tenda-tenda ditopang galah, dan ditambatkan pada jejeran paku yang menancap sembarang di dinding madrasah. Semak, tentu. Bersampah, apalagi. Tapi usai berdagang, pekarangan madrasah akan kembali bersih.
Mmh, jika diperhatikan, kebanyakan orang-orang pasar jongjong sudah renta. Mereka tak mampu lagi menghambur peluh di sawah-ladang. Kalaupun ada yang berusia muda, hanya satu-dua. Itupun para wanita yang tak ikut bertani-berladang. Pasar jongjong sungguh berarti bagi mereka. Tapi sumpah, mereka tidak akan tersandung lapar jika pasar jongjong tak ada! Bagi mereka, pasar jongjong tidak semata luap uang. Tengoklah, mereka punya sawah-ladang yang lapang dan ternak yang berpinak. Keturunan mereka pun tetap setia memamahi gembur tanah. Andai tidur-makan saja di rumah, harta mereka pun tak akan kerontang.
Dan memanglah, bagi mereka pasar jongjong bukan soal untung rugi. Buktinya, kalau dagangan tersisa sedikit, pantang dibawa pulang, musti dibagikan. Kadang mereka tak berjualan jika ada warga yang tertimpa kemalangan. Bahkan hari jumat pasar jongjong kosong. “Hari raya kecil,” kata mereka. Ah, pasar jongjong hanya semacam alasan bagi mereka untuk tetap bersua, merajut cerita, bertukar lara, bersilang ria, bahkan menyetor amal.
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk pengajian kaum ibu, acara maulid, isra mikraj, dan rapat naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung). Pendek kata, orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. Tapi begitupun, kalau ada atap madrasah yang koyak, atau dinding melunak, mereka—orang-orang pasar jongjong—yang biasanya lebih bersegera memperbaikinnya. Pula tiap tahun, tepatnya setiap pergantian ajaran baru, orang-orang pasar jongjong bergotong-royong mengecat madrasah, meski hanya dengan cat kapur yang gampang pudar.
Terus pula, di pasar jongjong, setiap hari mereka kumpulkan uang ikhlas, semacam iuran, begitulah. Itu digunakan untuk menggaji guru-guru madrasah. Kepada para murid memang ditagih bayaran, namun tidak pula dipaksa. Bisa dikatakan, lebih dari separo murid-murid tersebut belajar secara cuma-cuma. Maka, bukankah kelangsungan madrasah tergantung orang-orang pasar jongjong? Tapi jawaban mereka begitu lugu, “Itukan untuk anak-cucu kami juga.” Mmh, pasar jongjong, rumah kebahagiaan yang tak terhingga bagi penghuninya.
Maka tak terbayangkan jika pasar jongjong tiba-tiba raib dari rak hari mereka. Kenangan puluhan tahun bakal menyerpih. Lalu, matahari esok mereka bercahaya pitam. Terlebih-lebih Ompung Luat, si penemu pasar jongjong. Semua beranjak dari kabar murah, tapi akhirnya membikin terperangah. Bah! Katanya pihak kecamatan akan membongkar madrasah. Di lokasi itu tetap madrasah yang akan dibangun. “Semacam madrasah percontohan-lah”, kata Pak Camat. “Pokoknya kita bikin permanen, bertingkat, dan tentulah lebih besar dari yang sebelumnya,” sambung beliau. Dan akhir dari keterperangahan itu adalah kepastian soal pasar jongjong akan dijungkal, digusur!
Orang-orang pasar jongjong bak disihir, tumpat alir pikir. Memang, mereka sempat lega ketika Ompung Luat mengaku masih menggengam salinan surat wasiat Haji Mahot. Isi surat bersegel itu menjelaskan bahwa tanah lokasi madrasah dan bangunan madrasah diwakafkan untuk kemaslahatan orang kampung. Termasuk untuk orang-orang yang berjualan di pasar jongjong. Surat inilah senjata terakhir yang diharapkan mampu membenamkan niat Pak Camat.
Tapi surat itu tidak bermanfaat ketika beradu khasiat dengan sertifikat tanah yang dikantongi pihak camat. Rupanya, tanpa sepengetahuan orang-orang pasar jongjong, anak-anak Haji Mahot telah menjual tanah tersebut. Haji Mahot memiliki tujuh anak, semuanya menetap di perantauan. Istri Haji Mahot, sudah lebih dulu meninggal, berselang dua tahun. Beberapa hari setelah Haji Mahot meninggal, mereka menjual seluruh harta orangtuanya untuk memudahkan pembagian warisan. Termasuklah itu tanah madrasah dan pasar jongjong.
Keadaan kian tak menguntungkan ketika pemuka kampung yang lain ikut-ikutan mendukung. Termasuk Jabinore yang rela menjual kebun pisangnya—di belakang madrasah—kepada pihak kecamatan. Tanah Jabinore itu termasuk dalam rencana pembangunan madrasah baru. “…orangtua-orangtua kami, bapak-bapak, begitu pula ibu-ibu, alim ulama, saudara-saudara, dan tuan guru kami, ini demi nama baik kampung dan masa depan generasi muda kita. Nian Allah membalas keikhlasan hadirin semua…” Begitu bunyi pidato Pak Camat ketika acara penandatanganan kesepakatan antara pihak kecamatan dengan warga berlangsung di kantor kecamatan. Ada riuh tepuk tangan, perjamuan makan, juga uang yang—katanya—sudah dibagi-bagikan?
Tapi lalu, orang-orang pasar jongjong memilih meraba sengak dada. Bagi mereka, menyulam ketabahan lebih bermanfaat ketimbang meletupkan kekecewaan, bahkan amarah. Pun mereka, sejak dulu, tidak punya watak berontak!
* * *
Subuh beranjak. Matahari terbit sejejak. Kabut masih mengapung. Di sekitar madrasah, ada gunungan pasir dan batu sungai. Bata tersusun setinggi dada. Puluhan sak semen tergeletak tak beraturan, menyemak. Bahan material lain juga sudah berjejal. Kayu-kayu tinggi-tegap menancap mengelilingi lokasi pembangunan. Hari ini madrasah sudah mulai libur, entah sampai kapan. Tapi orang-orang pasar jongjong masih diperkenankan berjualan untuk terakhir kali.
Ompung Luat menggelar lapak. Aroma ikan sale dan gadapang mengail selera. Orang-orang pasar jongjong juga menggelar jualan, seperti biasa. Apa adanya. Tapi tak ada sapa yang menghela di antara mereka. Langit senyap. Suara-suara gelap. O, Tuhan, mengapa pagi ini sorot mata mereka begitu hampa, mulut mereka dikepit luka? Mereka memang menggelar dagangan. Tapi sungguh, yang tergelar cuma kehampaan belaka.
Kehampaan yang sempurna!

Medan, 2006

















Dimuat di Suara Pembaruan, MINGGU, 30 Desember 2007

Monolog Lelaki Merindukan Pulang
Oleh Hasan Al Banna


Maka aku, betapa berhasrat hendak menggelinjangkan ikan-ikan ke pangkuanmu!
Bersebab wajahmu yang sebening pucuk jambu itu, sedikitpun tak pernah membersitkan rasa takut atau curiga tentang kesenanganku bepergian ke mana saja aku suka. Ai, sama sekali kau tidak pernah bertanya: Mengapa aku pergi? Hendak ke mana pergi? Sedang apa aku dalam pergi? Berapa lama pergi? Atau adakah nanti aku pulang setelah pergi? Kapankah pulang setelah pergi? Adakah siang hari? Adakah pulang senja hari? Adakah malam hari? Adakah tengah malam? Adakah pulang usai diseduh subuh? Atau bahkan aku tidak pulang sama sekali untuk waktu yang tak pernah tertebak olehmu. Ohoi, aku sebut kau setegar batu, tapi hatimu, sungguh sedebar salju.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Maka aku, betapa berdegup hendak tersesat di belantara cintamu!
Bersebab ketika aku selalu pergi setiap pagi, kau sama sekali tak pernah lupa menyiapkan segala sesuatu keperluanku; air hangat dan handuk untuk mandi, pakaian yang sudah dicuci bersih dan pasti sudah disetrika rapi, kaus kaki, serta sepatu dengan kilat yang berderai. Dan tentu menyusul suguhan sarapan; sepiring lontong sayur, opak, dan segelas teh hangat, juga membekaliku dengan ini dan itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah menyuruh, apalagi memerintahkanmu melakukan semua itu.
“Sudahlah, tak usah repot kali. Biar aku saja yang menyiapkan segala sesuatunya.”
“Ah, tidak mengapa. Sedikitpun aku tak pernah merasa repot mengerjakannya untukmu.”
“Aku sudah terbiasa melakukan itu.”
“Iya, aku memang belum terbiasa melakukannya. Makanya aku ingin terus membiasakan diri untuk itu.”
“Nanti kau merasa terbebani. Jika mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan yang terbeban itu, tidaklah baik.”
“Beban itu, jikapun ada adalah ibadah bagiku. Dan mengerjakan ibadah sama artinya dengan mengerjakan suatu yang baik pula.”
“Hei…”
“Pendeknya, aku tidak pernah merasa terbebani.”
“Ya, tapi…”
“Atau kau yang merasa terbebani?”
“Tidak, hanya…”
“Ya, sudah! Berangkatlah, semoga hari ini perjalananmu menyenangkan.”
Maka aku, betapa lonjak hendak terjerat di pelukanmu!
Bersebab sering bila aku tidak pulang, kau sangat sedia dan setia dalam jaga dan tidur menungguku di ruang tamu. Bagimu persoalan waktu tidak terlalu penting. Tak peduli hari adakah senja, adakah malam, adakah tengah malam, atau sekalian subuh. Dan untuk itu kau tidak pernah merasa keberatan, tidak pernah merasa dirugikan, tidak pernah merasa terhina, tidak pernah merasa diabaikan, atau tidak pernah merasa disepelekan. Lantas kau tak pula pernah memendam benci, memendam durja amarah, apalagi memendam dendam.
“Tidak perlu kau menungguiku.”
“Saat-saat yang paling kutunggu adalah saat-saat menunggumu.”
“O, aku pulang tidak tentu waktu.”
“Mhh, aku menunggumu tidak pernah menggunjingkan waktu.”
“Ya, tapi kasihanilah dirimu. Jaga kesehatanmu.”
“Aku malah lebih kasihan terhadap diriku, jika tak mampu menunggui dan menyambutmu. Malah aku jatuh sakit karena ketidakmampuan itu.”
“Mubazir namanya itu. Pekerjaan sia-sia!”
“Jika kita menikmati setiap pekerjaan itu, mubazir itu bisa jadi adalah kebutuhan. Tidaklah sia-sia. Ketahuilah, menunggumu bagiku adalah sebuah pekerjaan yang sangat nikmat. Penuh kejutan.”
“Kau kan tahu, aku punya duplikat kunci? Jadi aku bisa pulang dan masuk kapan saja tanpa menyusahkanmu.”
“Selain menikmati, kunci nikmat dari melakukan pekerjaan itu adalah ikhlas. Tentu tidak akan ada lagi kata-kata menyusahkan.”
“Aduh…”
“Sudahlah, sedikitpun aku tidak pernah merasa susah menungguimu.”
“Iya…”
“Keberatankah kau jika aku menungguimu?”
Maka aku, betapa tersirap hendak melabuhkan ciuman di dahimu!
Bersebab jika suatu kali aku tidak ingin dan tidak sedang ke mana-mana, meski itu langka adanya, kau selalu menyiapkan dan menghidangkan makan siang yang nikmat untukku; nasi hangat yang mengepul, ikan bakar yang lemak, sambal kacang dan teri yang menyengat lidah, daun ubi tumbuk yang tanak, tempe goreng yang gurih, segelas air putih hangat, dan irisan semangka yang ranum. Padahal, sama sekali aku belum selera untuk makan.
“Perutku belum lapar.”
“Makan sebelum perut lapar itu lebih baik. Dan kalau bisa, berhenti makan sebelum kenyang, malah lebih baik.”
“Aku belum selera makan.”
“Terkadang selera makan itu datang setelah terlebih dahulu mencicipi makanan yang terhidang.”
“Ya, tapi, tapi hidangkan sajalah apa adanya.”
“Bahkan yang kuhidangkan ini belum ada apa-apanya.”
“Ou…”
“Ayolah makan! Nanti dingin.”
“Tapi…”
“Mensyukuri rezeki itu perbuatan baik. Dan menikmati hidangan ini adalah salah satu perwujudan rasa syukur. Maka, silakan dinikmati.”
Maka aku, betapa bersihentak hendak memetik bertangkai senyum di bibirmu!
Bersebab pula, jika aku sedang menikmati malam di beranda, kau tidak pernah lupa menyuguhkan secangkir teh atau kopi, juga menghidangkan sejumputan penganan. Bersebab sebelum tengah malam, kau selalu menyarankanku untuk istirahat di kamar; merebahkanku, menyelimutiku, menemaniku, dan meniupkan dongeng-dongeng cinta ke telingaku. Dongeng-dongeng yang menjelma perahu, berarung ke lautan tidur, ke samudera mimpi. Padahal saat itu, sama sekali aku belum ingin beranjak ke tempat tidur. Belum seberapa ngantuk. Pokoknya, belum digoda uapan.
“Aku belum ngantuk.”
“Istirahat itu tidak mesti ngantuk.”
“Aku belum mau tidur.”
“Istirahat itu juga tidak harus tidur.”
“Aku mohon, aku belum ngantuk dan belum ingin tidur.”
“Istirahat sajalah.”
“Istirahatkan bisa juga di beranda atau ruang tamu?”
“Nanti masuk angin. Sebab angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan.”
“Akukan sudah makan, tidak akan masuk angin.”
“Angin itu tidak mengenal persoalan makan atau tidak makan.”
“Oalah…”
“Sudahlah, ayo, berbaring saja.”
“Tapi…”
“Rebahan saja. Tidak sulit kan?”
Maka aku, betapa berkelebat hendak menggantang telaga di matamu!
Bersebab sudah terlampau lama aku pergi bertandang ke rumah-rumah yang lain; menikmati tuturan ramah pemiliknya, menikmati tawaran sarapan yang selalu berbeda, menikmati hidangan makan siang yang memanjakan selera, menikmati makanan senja yang bermacam adanya, menikmati suguhan minuman yang beragam rasa-warnanya, menikmati cerita-cerita beraneka kiranya, juga menikmati tidur yang paling nyaman tentunya.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Namun ke rumah siapa pun aku pergi, dan di rumah mana pun aku berleha diri, ada yang tak bisa kutemukan, selain padamu. Entahlah!
Maka aku, betapa bergegas hendak mengunci diri di bilik hatimu!
Bersebab kau adalah rumah yang lalai mengernyit, rumah yang alpa menjewer. Bersebab kau adalah rumah yang tak pernah menghardik; tempatku mengombakkan buih-biuh pahala, sebagai lengan-lengan air yang menghanyutkanku ke dermaga sorga.
Lalu, tolong katakan padaku, siapa orang yang tak hendak hanyut ke dermaga sorga? Katakanlah!
Hah, aku?
Ops, tidak lagi!
Medan, Duaribuan

(Dewi Haritsyah Pohan, mmh, terima kasih atas ketabahanmu. Jangan pernah khawatir, aku mencintaimu!)


Dimuat di Koran Tempo, MINGGU, 9 Maret 2008

CERPEN
Kematian Bob Marley
OLEH HASAN AL BANNA

Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Para tetangga terhenyak, lalu menjenguk berdesak-desak. Kesibukan pun menjalar sedemikian rupa. Lebih-lebih kepala lorong, Haji Fadel. Perintah-perintah tumpah. Di luar, sebagian orang memasang tenda. Di beberapa sudut lorong, ditambatkan bendera sungkawa. Hujan reda tak reda. Angin timpa-menimpa. Lantas pengeras suara masjid menyala, membagikan kabar duka-cita: “…telah berpulang ke rahmatullah: Bob Marley, tutup usia tiga puluh sembilan tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka, lorong Dermawan, di sebelah rumah tuan kadi Irham. Insya Allah, almarhum dikebumikan besok, setelah sembahyang zuhur…”
Bob Marley. Demikian warga lorong Dermawan memanggilnya. Ia memang senang bernyanyi, meski tidak mahir. “Alah, suaraku angka merah, kawan,” selorohnya. Tapi kalau pesta kawin, ngayun anak, atau sunatan pakai acara keyboard, maka ia akan bernyanyi sepukul-dua pukul. Atau temuilah Bob Marley di antara lapak tuak yang berderet di ujung pelabuhan. Di sana, sambil tenggen bersama peminum lain, ia bernyanyi sampai serak. Ia suka lagu batak, juga beberapa lagu milik Rhoma Irama. Dan tak pernah ketinggalan, lagu wajib: gereja tua.
Tapi jangan silap, Bob Marley bukan penggemar Bob Marley. Mana kenal ia sama penyanyi reggae legendaris asal Jamaika itu. “Pemain bola negara mana Bob Marley?” tanyanya dengan keluguan yang sempurna. Hah, maklumlah, ia hobi segala judi, termasuk taruhan skor pertandingan bola. Padahal, sama sekali ia tak pernah hapal pemain-pemain top, bahkan nama klub eropa yang menjadi unggulannya. Pun pula hendak mengetahui riwayat Bob Marley ia?
Jadi, apa pasal orang-orang menyerunya dengan nama itu? Andaipun dicari kepersisannya secara kasat mata, paling karena warna kulit—yang gelap, atau rambut gondrongnya. Tapi tentu, ia tidak dengan sadar menjalin rambutnya menjadi gimbal. Apalagi paham dengan kandungan filosofinya; menjalin rambut adalah perjalanan jiwa, pikiran, dan spritual yang mengajarkan kesabaran. Ehem-puih! Harap diketahui, sejak lajang, rambut ikalnya yang sebahu—sewarna daun setengah masak—jarang disisir, lalu terpilin secara alamiah, menciptakan bingkahan rambut tak beraturan.
Namun, entah karena alasan apapun nama Bob Marley itu melekat pada dirinya, ia senang dengan panggilan itu. Tak ada niat protes. Tak ada nota keberatan. Maka warga pun lupa, bahkan ia sendiri alpa, jika ia pernah menyandang nama: Jusmar Gazali bin Hoesin!
* * *
Pagi meniti nyeri. Hujan kandas. Di udara bertabur wangi air mata. Di dagu pintu, tepatnya di atas kursi kayu, diletakkan baskom bergunduk beras catu. Orang-orang yang tukam, menjumput butiran beras sambil membenamkan sejumlah uang, lalu beringsut menghampiri keluarga almarhum. Di rumah duka, warga melimpah. Jenazah Bob Marley dikerumuni istri, Mak Nuridah—ibu Bob Marley—yang uzur, dan ketujuh anaknya yang terpaksa berstatus yatim. Sanak dan keluarga dekat dari luar kota, sudah labuh sebelum subuh. Isak tangis pun timbul-tenggelam.
Di luar, pelayat berbaur di sekitar tenda. Bercakap-cakap. Saling menyalam. Berbatang rokok disulut. Ada juga tergerai renda tawa. Beberapa orang sibuk mengukur, menggergaji, dan mengetam bilahan papan untuk keperluan pemakaman. Nawawi begitu tekun mengukir tulisan—Bob Marley bin Hoesin, bukan Jusmar Gazali bin Hoesin—pada sepenggal broti. Untuk nisan sementara itu. Di sudut lain, sebidang kain putih tengah disiapkan menjadi kafan. Bang Sapri baru saja beranjak ke kuburan usai mengukur lebar-tinggi tubuh Bob Marley. Keranda, selubung dan payung keranda sudah diangkut dari masjid. Tiga blong besar air, penuh. Cukuplah untuk memandikan jenazah. Kapur barus, sabun, dan wewangian telah tersedia.
Ibu-ibu duduk bersempit-sempit di ruang tengah. Tikar rompal menutupi lantai tanah, sekalian menghalau uap lembap. Berkesiur lafaz doa dan yasin. Ganti-berganti. Sekali kesempatan, nasehat mengucur, menghibur. Gemerisik bunyi bisik-bisik. Kadang nada bicara terdengar seperti dengungan kecil. Samar. Khusuk. Tapi mereka tidak sedang bergunjing! Mungkin, sedang mengais jawaban?
Hampir sejak sebulan lalu, warga Dermawan sudah heboh dengan kabar hilangnya Bob Marley. Apalagi saat itu, Wak Bardansyah hendak mengadakan perhelatan perkawinan putri sulungnya. Ada acara keyboard, tentu. Dan biasanya, Bob Marley menjadi pawang keamanan. Maka tak akan ada pemuda lorong lain yang bernyali membikin kekacauan. Biduan dan tukang keyboard pun aman dari ancaman: Dipaksa tampil sampai pagi! Hasil akhir, hajatan bersih dari buih tuak, tanpa ruap gelek, dan tak ada joget panas di atas pentas.
Namun Bob Marley raib! Wak Bardansyah terpaksa menyewa ormas pemuda setempat untuk mengurus keamanan. Pastilah itu membutuhkan anggaran tambahan. Padahal, bayaran tidak berlaku bagi Bob Marley. Bakal ia tolak itu mentah-mentah. Gantinya, susupkan saja rokok ke saku bajunya, mantaplah itu. Tapi tanpa Bob Marley, pengeluaran biaya keamanan membengkak. Tak ada kericuhan, iya. Tapi selain uang kontan, si empunya pesta musti menyediakan berceret tuak, minuman penambah energi plus rokok berbungkus-bungkus. Maka bagi Wak Bardansyah, begitu mahal harga kehilangan seorang Bob Marley. Apa boleh buat!
Entah mengapa, orang-orang di luar lorong Dermawan macam gentar setiap mendengar nama Bob Marley. Paling tidak, mereka enggan bersangkut-paut masalah dengannya. Memang, warga lorong Dermawan tahu kalau Bob Marley agen gelek. Sudah rahasia umum itu. Tapi pantang bagi Bob Marley mengedarkan daun ganja kepada anak lajang lorong Dermawan. Ia pun tak berniat menghasut mereka menyedot gelek. Malahan, si Bahrum—cucu Andung Alang, usia belasan dan putus sekolah—pernah ditempeleng Bob Marley karena kedapatan begelek.
Benar, Bob Marley gemar menenggak tuak. Namun tak pernah ia pulang sambil meracau, meski sedang tenggen habis. Bahkan, jika berpapasan dengan tetangga, ia tetap ramah dan seperti orang sadar melempar sapa. Mmh, tentang tuak, Bob Marley pernah mengancam akan membakar rumah Inang Girsang di seberang jalan lorong Dermawan. Itu terjadi kalau Inang Girsang berkeras juga membuka lapak tuak di daerah itu. Untung ancaman susut, ya, karena Inang Girsang membatalkan rencananya. “Anak-anak di lorong ini kan baik-baik, jangan pulak dikasih tuak,” Bob Marley menyodorkan alasan.
Tapi, kalau soal judi, bolehlah Bob Marley bertoleransi. Ia tak pernah melarang lajang-lajang seputaran lorong Dermawan berkartu sambil taruhan, atau main judi dadu di hadapannya. “Mainkan saja, genk! Asalkan jangan merusuh, tak ada minuman, dan jangan begelek!” Bob Marley menyilakan, tapi tak lupa meninggalkan peringatan. Sesekali, ia tergiur juga bergabung. Ya, main setarik-dua tariklah.
Andai bertanya pada tetangga tentang sosok Bob Marley, mereka menjawab apa adanya: “…o, baik orangnya itu. Ya, tak alim-alim kalilah. Solat paling hari Jumat, itupun jarang. Tapi dia itu rajin ikut wirid yasin tiap malam Jumat. Jangan sepele kelien, pandai mengaji dia. Sudah itu, kalau ada warga yang meninggal, Bob Marley giat mengurus keperluan kifayah jenazah, khususnya menyiapkan galian kuburan. Terus, biar tau saja, hampir tak pernah absen dia ikut tahlilan, genap tiga malam. Pokoknya…”
Namun, bukankah Bob Marley bertampang bajingan? Iya, badannya setipis rempeyek, compang-ramping. Tapi kata orang, wajahnya setandus bulan padam, menakutkan! Nyaris bengis dengan mata redup yang keruh, merah, dan mendidih. Dari lehernya—hingga menukik ke bahu, melintang luka lampau yang berkarat. Lalu, ada tiga tato bersarang di tubuhnya. Dua terpacak di lereng bahu, bergambar jangkar dan wanita tak berbaju. Satu lagi bergambar tweety. “Orang rumahku sukak kali filim kartun ini.” Itu kata Bob Marley sambil menunjukkan tato yang terpatri di dada kiri. “Tato ini punya istriku,” ujarnya, entah sedang menggelar kelakar.
Memang, kedengarannya seperti lelucon. Tapi menurut orang-orang—yang bukan warga lorong Dermawan, itu tidak memupus penilaian mereka terhadap Bob Marley: seorang bajingan! Warga lorong Dermawan hanya membalas tuduhan itu dengan isyarat bahu. Mereka malas membahas tabiat Bob Marley di luar yang mereka ketahui dan saksikan sendiri. Pendek kata, sebajingan apa pun Bob Marley, tak pernah sejarahnya menebar onar di lorong Dermawan. Sebaliknya, warga merasa tentram dengan keberadaan Bob Marley.
Dulu, sebuah rumah di lorong Dermawan pernah ditumpas maling. Tapi berselang setengah hari, gondolan vcd serta tivi kembali tanpa cacat, dan tanpa sempat berpindah ke tangan penadah. Entah bagaimana cara Bob Marley memulangkan barang berharga itu. Tapi yang pasti, sejak itu, tak pernah lagi rumah-rumah di lorong Dermawan menjadi sasaran maling. Maka kini, tidakkah berita hilangnya Bob Marley menggoreskan sedikit rasa was-was? Dan hei, Bob Marley, di manakah?
Desas-desus berhembus, enteng, juga serius: Bob Marley diculik jin, Bob Marley kawin lagi, Bob Marley pergi melaut berhari-hari, Bob Marley korban tabrak lari, atau jangan-jangan, Bob Marley mati dibunuh, dan mayatnya dimutilasi. Tapi prediksi itu hangus ketika seseorang menitipkan secarik kertas lusuh buat istrinya—setelah dua minggu Bob Marley hilang. Ada tulisan singkat dan kusut di situ: “…Abang ketanggok polisi, Mala. Tapi tak usah takut kau. Paling lama, dua hari lagi Abang keluar…” Lega menghela dada istri Bob Marley.
Warga pun turut lega. Tapi kembali cemas ketika Bob Marley tak kunjung bebas. Hari sudah hanyut sejumlah sebelas. Maka tanpa komando, warga berinisiatif mengumpul dana, sebagai modal bernego dengan pihak terkait. Tentu demi menjemput Bob Marley dari bilik berjerejak. Nun, niat belum sepenuh terlaksana, Bob Marley sudah pulang, tapi tak beserta nyawa. Ia kembali dari kehilangan, tapi sedang menuju ke kehilangan abadi. “Suami ibu dikeroyok sesama tahanan sel,” kata istri Bob Marley menirukan ucapan salah satu lelaki pengantar jenazah suaminya. Ketika warga menanyakan hasil visum, Mala menggeleng. Pasrah.
* * *
Siang menjelang. Menyiang. Jenazah Bob Marley sudah dimandikan. Ratap istrinya merayap, ketujuh anak ia dekap. Air mata ambruk. Duka ibarat laut tak berdermaga. Warga lorong Dermawan berkerumun. Meski tak bepekik tangis, tak melejit jerit, kepala mereka bertudung kesedihan. Di wajah mereka menggantung mendung muram. Ketahuilah, mereka sebenar kehilangan Bob Marley! Tulus.
Waktu terus menghunus. Isak meledak ketika Bob Marley segera dibungkus. Tapi mendadak kepala lorong—juga tuan kadi Irham, dan Abah Taher—tergopoh menyela. Lantas terlibat diskusi dengan pihak keluarga. Lumayan lama. Hingga membatu angin. Tapi kemudian, selesai berangguk-angguk, kepala lorong buka suara: “Jenazah akan kita usung lebih dulu ke rumah sakit, untuk divisum!”
Hadirin sepakat. Ini kematian yang janggal. Sumpah, sejak mendengar kematian Bob Marley, berkelebat kutuk, menendangi dada warga lorong Dermawan:
“Bah, keji kali kematian Bob Marley itu..!”

Medan, Mendung 2006




Dimuat di Majalah Horison, EDISI MARET 2008

CERPEN
Hanya Angin yang Terpahat
di Rahang Pintu
OLEH HASAN AL BANNA

Sehabis melekatkan pandangan pada foto yang terpacak di sebalik kaca lemari, ia menunduk! Beberapa titik air—hangat dan pudar—merembes juga dari lekuk matanya. Lagi-lagi, Mak Odah gagal memulangkan air mata ke dadanya yang lengang. Padahal, demi kebahagian orang-orang tercinta, janji hati musti ditepati. Iya, kelopak matanya yang layu, jangan lagi berputik air mata! Tapi demi Allah, itu bukan pekerjaan mudah bagi Mak Odah. Meski kalau tidak, tubuhnya yang bak perahu tua berbahu koyak, sampai kapan terlunta di samudera lara? Namun pada kenyataannya, Mak Odah tak selalu berhasil menghalau kesedihan yang datang bergerombol, dan betapa beringas menggempur. Memang, ada saja silang-pintas kenangan yang meremas kemarau dadanya sampai tandas. Lalu berperciklah saripati air mata!
Tadi, usai salat magrib, Mak Odah hendak beranjak ke beranda. Ouh makjang, di dalam rumah, gerah kali rasanya! Maka ia kepingin keluar, sekadar menggayung angin, atau sekalian berkubang dingin. Lagi pula, tak pernah betah ia meringkuk diri di kamar. Sepenat apapun badan, jarang Mak Odah bergolek-golek, atau berperam-peram mata sebelum hari sebenar terperosok ke liang malam. Padahal hari ini begitu gontai sendi-sendi tulangnya. Sebenarnya, kurang enak badan Mak Odah tadi pagi. Tapi berangkat juga ia ke tangkahan. Biasa, setiap pagi berbatas lohor, Mak Odah, sebagaimana pekerja yang lain, begitu tekun mengolah ikan gelama menjadi ikan asin belah. Mulai dari menguras isi perut, merentangnya di siring—wadah penjemur ikan, sampai kepada mengintai-intai sengat matahari. Tentu agar ikan sebenar kering.
Sepulang dari tangkahan, Mak Odah pun tak langsung ke rumah, melainkan bergegas menghimpun dahan langgade yang berpatahan di sekitar bakau. Lumayan, beberapa ikat langgade untuk kayu bakar bisa ditukar uang di kedai sampah Nek Basariah. Kadang sambil lalu, Mak Odah juga mengumpulkan buah nipah untuk dijual. Tapi kini, sudah susah ia menemukan pohon nipah. Tak apalah, hasil dari keseharian Mak Odah tersebut, dicukup-cukupkanlah itu membeli beras dan rencah lauk-pauk. Berapa banyaklah makan Mak Odah?
Tapi dari pengakuan para tetangga, tak pernah kisah kesah menghambur dari mulut Mak Odah. Termasuk jarang Mak Odah menabuh-nabuh keluh ke telinga orang banyak. Kalaupun ia sesekali bertandang, hanya untuk memulih-mulih badan yang penat, atau bersilang gurau dengan tetangga. Namun beranda rumahnya tetap menjadi tempat pelepas lelah yang indah bagi Mak Odah. Raut wajah Mak Odah seketika cerah kalau sudah berkelambu angin. Tapi entahlah pula, kenangan atas suaminya—juga kedua anaknya: Azmi dan Lastri—kadang waktu memintas juga di setapak angan Mak Odah. Menyemai-nyemai rindukah itu?
Mak Odah tinggal di perkampungan nelayan—tak jauh dari Belawan, atau sekitar 28 kilo dari Medan. Bisa dibilang Mak Odah bermukim dekat laut, meski persisnya lebih hampir ke alur—sungai yang mengandas ke muara laut. Di perkampungan itu, rumah-rumah kayu berderet dan berhadap-hadap. Hampir semua rumah berkolong tinggi, untuk menghindari pasang yang mendaki ke lantai rumah. Tentulah, rumah Mak Odah yang jangkung memudahkan tubuhnya untuk berlulur udara. Apalagi rumah panggung Mak Odah yang sederhana, berberanda pula. Dari situ, ia bebas menyaksikan gelanggang angin menggelombangkan hawa dingin ke tubuhnya.
Begitulah, Mak Odah memang senang menikmati belia malam sambil duduk di beranda. Betul, kalau tidak memandangi pohon nangka di depan rumahnya, ya, Mak Odah rajin meneguri para tetanga yang beriring pulang dari laut. Sesekali ia dihadiahi ikan segar oleh mereka. Meski satu-dua ekor, alamat suka-citalah Mak Odah. Seperti suka-citanya menyahuti teriak anak-anak yang bermain di pekarangan. Mmh, menghirup aroma amis, mendengar daunan nangka disiut angin, renyah tawa anak-anak, serta lalu-lalang nelayan adalah penyumpal nganga rindu di dada Mak Odah. Entahlah, tak sempurna malam bagi Mak Odah, kalau belum mendengar kecipak air menepuk-nepuk pantat perahu yang bersandar di sepanjang alur. Pun pula baginya, sayup klotak-klotak mesin perahu ibarat rampak gendang penghalau galau.
Maka Mak Odah, ketika lepas magrib—kalau tidak hendak mengaji—tentu akan bergegas ke dagu rumah. Tapi tadi, ketika melintasi ruang tengah, hasrat itu tersendat. Bermula dongak Mak Odah yang sejenak, kemudian sekibas senyum hinggap di bibirnya yang ranggas. Bersisian dengan jam dinding tua, ada sepasang mata, seperti tak henti melirik dan menatap Mak Odah. Sepasang mata itu sering membikin dada Mak Odah berdebab. Bisa jadi, sesekali bibirnya berhadiah senyum, tapi tak jarang pula itu membuahkan isak. Memang, itulah tatapan yang tak pernah padam dari sebingkai foto usang. Sorot mata yang senantiasa menyala, meski si empunya mata sudah terlelap di bilik tanah. Ah, suamiku, mengapa aku sendiri yang musti menyusuri gurun sepi yang tandus ini? Mak Odah hanya bisa menanggungkan sengak dada sambil membetulkan bingkai foto yang oleng.
Jujur, tak ada istri yang bercita-cita menjadi janda, ditinggal mati suami tercinta. Tapi, meski sempat dikepung badai kecemasan, Mak Odah bisa juga mencicil kelegaan di dada, ketika suaminya berangsur pulih, alhamdulillah. Memang, tubuh suaminya—yang diringkus kurus—masih ditopang tongkat penyangga. Tapi untuk tegak tanpa tongkat penyangga barang seperempat jam, suami Mak Odah sudah kuat. O, jangankan meniarapkan tapak kakinya ke tanah, menyeret langkah pun ia sudah mampu, meski perlahan. Nah, sudah pula sanggup suaminya berjalan sendiri di tempat yang landai, tanpa dituntun. Hanya, kalau hendak menjejak tangga rumah, Mak Odah musti membantunya dengan papahan.
Tempo hari, tubuh suami Mak Odah diseruduk truk ketika menumpang ojek dari simpang jalan besar. Memang, nasibnya lebih baik dibanding tukang ojek yang mati kontan. Suami Mak Odah remuk kaki, sebelah kanan, dari betis mencapai gelang kaki. Menurut analisis dokter, tulang kakinya bukan hanya patah tebu, tapi pecah menyerpih. Musti diamputasi, begitu vonis medis! Iyalah, kaki suaminya terkulai parah, seputih kapas, dan seperti kehilangan nyala darah. Memang di situ, tak ada kawah luka yang menggelegak. Tapi ujung kakinya sudah tak tentu berarah ke mana. Lalu, dua bilah pecahan tulang, runcing, menyembul dari belakang mata kaki, tepat dua jari di atas tumit.
Tapi Mak Odah tak mampu membayangkan suaminya berkaki puntung. Atas saran tetangga, lekas-lekas ia menggendong suaminya ke Medan. Di sana ada dukun patah ternama, bermarga Sembiring, orang Karo. Tentu, selain menghemat biaya, Mak Odah bisa merawat suaminya di rumah. Beberapa kali saja ia mendatangi dukun itu bersama suaminya. Lalu selanjutnya, Mak Odah sendiri yang datang mengadukan kondisi kaki suaminya, sekaligus mengantongi racikan obat pulang ke rumah. Allah Maha Pemurah! Meski melampaui 5 bulan terasa berat, tapi menyaksikan keutuhan dan kesembuhan kaki suaminya, bergirang-girang hati Mak Odah. Tidak heran, dengan semampu daya, acara syukuran pun digelar. Doa dan harapan turut ditebar.
Tapi empat hari selepas syukuran, suaminya mendadak demam. “Tak usahlah, Saodah. Tak parah panasku ini, kurasa. Hanya pening sikit kepalaku,” bantah suaminya ketika hendak diajak ke Puskesmas. Tapi itulah kalam terakhir suaminya sebelum pamit menyimpuh kepada Ilahi. Ou, tak tanggung pedihnya hati Mak Odah melepaskan kepergian suaminya dengan kaki kanan yang hampir rangkum ayun langkahnya. Astaghfirullah, setiap membayangkan peristiwa silam itu, entah umpatan apa yang berkecamuk di dadanya. Apalagi ketika bersitatap dengan suaminya, meski lewat sebingkah foto. Dan air matanya pun menitik, tangisnya mengasuh derit.
Ei, sudah, jangan menangis! Berbujuk-bujuk Mak Odah dengan hatinya. Maka ia lekas-lekas bersemarak senyum. Apalagi saat sorot mata Mak Odah tertumbuk pada sebingkai foto yang lain, tidak jauh dari foto yang tadi. Aih, serta-merta Mak Odah akan mendulang-dulang geli. Dulu, foto ukuran sepuluh inci itu sering memancing gelak mereka berdua—ia dan suaminya. “Oi, Saodah, kau tengoklah foto ini, ha,” Goda suaminya tempo waktu, “…mengapalah menganga muncung kau? Tapi iyalah, orang kampung, manalah biasa begincu dan bebedak. Jadi ketatlah mukak tu, macam karet ketapel. Sikit pun tak ada senyum kau!” Lalu berderailah tawa, sampai meluap peluh mata. “Kau tengok Abang kau ni, tampan macam Amithabachan!”
Biasanya, sembari mengepit rasa malu, Mak Odah tak akan membiarkan dirinya kalah dalam pertaruhan seloroh. “Iyalah, tampan kali memang Abang Razali-ku ini. Tapi laki-laki apalah namanya itu, tak berani menggandeng pinggangku waktu befoto, iyakan? Pas kupegang tangan Abang saja, wuih, memerah kutengok mukak Abang. Tak obah udang domam kutengok Abang waktu itu,” begitu berapi-api Mak Odah mengacung-acung bingkai foto perkawinan tersebut. “Aih, entah selama lajang, takut Abang jumpa anak gadis, iya? Oalah, matilah kita, tak pernah Abang rupanya becakap sama anak dara?” Dan mereka berdua pun bergempa tawa. Cubitan tangan susul-susulan. Memerah-memerah wajah keduanya, meniru semburat wortel.
Itu foto mereka saat bersanding di pelaminan, sudah buram dan berbercak. Upacara perkawinan yang seadanya ketika itu: Rajali dan Noor Saodah. Maklum, mereka minim dana. Begitupun, ada juga kerabat yang bermulia budi; meminjamkan baju pengantin melayu. Memang, selain nyala kuningnya pasi, kedodoran pula. Tapi lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Rajali, suaminya, berbaju teluk belanga—juntai lengannya dilipat. Ia pakai seluar yang pangkal atasnya musti digulung, seperti memakai sarung. Lalu kain sampin yang diselubungkan dari pinggang ke batas lutut, musti dibebat. Tengkulok dari kain songket yang bertengger di kepalanya, longgar, pinggir lingkarnya hampir menyentuh alis.
Tampang Noor Saodah tak lebih baik saat itu. Ia mengenakan kebaya panjang, tapi sulaman benang emasnya sudah bertanggalan. Iya, di bahunya diselempangkan juga selendang bermanik. Namun tak ada hiasan di leher, apalagi di rambutnya yang bersanggul lipat pandan. Polesan bedak di wajah Noor Saodah pun timpang, pekat sebelah. Birat merah di pipi lebih seperti bekas cakaran. Garis bibirnya yang tipis dibubuhi gincu, tapi kental betul. Celak arab yang ditoreh di alis dan di sekitar pulupuk mata, malah mencekungkan wajah Mak Odah. Lalu, ruah keringat turut pula memperparah rupa. Alirnya yang bersilang-seling membikin wajah Noor Saodah serupa tumpukan dempul.
Tapi keduanya masih kelihatan sebagai pengantin yang serasi, paling tidak itu menurut mereka. Meskipun banyak hal yang senantiasa mereka leluconkan dari foto tersebut. Bayangkan, mereka berkait lengan, tapi seperti bersihindar. Macam ada orang yang tegak di antara mereka. Lalu pula, wajah si mempelai pria entah menghadap ke mana, pandangan mempelai wanita tertunduk entah sebab apa. Beruntung kaki kedua mempelai tidak terabadikan foto. Kalau tidak, sepasang kaki mereka hanya menyungkur ke terompa kayu yang allahurobbi beratnya. Padahal, semestinya mereka memakai selop bertekad, sepatu-sendal beraksesori. Mmh, kenangan lampau yang menggantung di almari hati, kadang menjentikkan geli, kadang pula menyusupkan nyeri.
Hah, Mak Odah berhenti membolak-balik kegelian dan kenyerian itu. Ia lalu mengokang kerutan dahi, memutar pandangan, menyapu sepertiga dinding. Di luar, angin mengerling, dan riuh anak-anak seperti pecahan piring. Tapi di hati Mak Odah, masih juga hening yang setia bergasing. Dan, uh, foto itu, yang menyelip pada kaca lemari, mengapa berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Entah. Tapi mata Mak Odah tak pernah mampu menghindari foto tak berbingkai itu. Kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah mendekat, lalu menatap foto itu lekat-lekat?
* * *
Tekad Lastri teramat padat. Dan Mak Odah paham sekali watak anak gadisnya. Kalau sudah tanak kemauannya, akan ia tempuh segala litak upaya. Maka Mak Odah kehilangan kekuatan untuk membendung keputusan Lastri. Aduh, betapa ia mengerti, kematian suaminya telah mengacaukan rak hati Lastri. Iya, suaminya yang dulu berkeras hati menyuruh Lastri kuliah. Dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai nelayan, ditambah menjadi pekerja tambak milik Pak Sadiman, bisa juga suaminya mendudukkan Lastri di bangku mahasiswa. Tapi Lastri sepertinya tahu diri; sepeninggal Ayah, Mak-nya adalah tiang rapuh yang tumbuh sendiri di ladang kerontang. Tentu Lastri tak ingin menjadi benalu berbelati.
Sesungguhnya Mak Odah berniat melanjutkan kekerasan hati suaminya: Lastri musti tamat! Bukankah Lastri tinggal merampungkan skripsi, agar gelar sarjana tak semata mimpi? Tapi hidup, terkadang menyergap bersama pilihan-pilihan pahit. Sekali waktu, Mak Odah ibarat sepuntung dayung yang mampu mengayuh sampai ke pantai paling jauh. Tapi lain waktu, Mak Odah adalah galah yang mudah goyah, menunggu patah. Kewalahan juga ia menampung angguk-pikuk gelisah diri. Dan meski dengan selihai cara Mak Odah menyimpannya di laci hati, terbaca juga oleh Lastri. Maka Lastri, tak ada keraguan menentukan sikap sejati. Meski tak termungkiri, perih juga hati ketika harus meninggalkan Mak yang sendiri.
Namun Mak Odah pasrah! Tak mengapalah, hanya setahun, ia rayu-rayu diri. Lagi pula Lastri telah menanam janji: Kuliahnya tidak berhenti, hanya cuti! Dan sepulang nanti, ia siap menyelesaikan skripsi! Maka program Au Pair Mädchen memboyong Lastri ke kota Bremen, Jerman. Kebetulan, Lastri adalah mahasiswa Bahasa Jerman di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan. Usai proses seleksi, Lastri dikirim ke Bremen untuk tinggal bersama Ibu Asuh selama dua belas bulan—sesuai kontrak. Di sana, selain bekerja paruh waktu selama 5 jam, Lastri mengikuti kursus bahasa secara cuma-cuma. Ia pun berhak menerima uang saku setiap harinya.
Ah, Lastri, berakhir pergi, meski berjanji kembali. Ampun, Mak Odah rindu setengah mati, acap tertipu ilusi. Saat salat magribnya belum digenapkan doa, sering Mak Odah mendadak meninggalkan rebah sajadah. Tak sempat pun ia melepas telekung yang terkalung di kepala. Adalah bersebab ia mendengar tangkup langkah menabur derap di tangga rumah. Lastri pulang, pekik hatinya. Lalu Mak Odah yang bernapas sengal, berlari-lari dangkal menuju pintu yang terkunci. Tapi jangankan Lastri, setegur bayangan pun tak tampak tegak di antara pintu dan beranda. Mak Odah tertunduk, ke manakah sembunyi kesadaran diri?
Ah, Mak Odah, terlalu menurutkan hasutan rindu, terkenang-kenang saja kepada Lastri, anak gadis yang cuma sendiri. Dasar Lastri, kecil anaknya, tapi lincah geraknya, ia berbisik-bisik ke telinga hati. Demikian memang, sejak kuliah, Lastri hampir dipastikan telat tiba di rumah. Kebiasaan Lastri setelah membayar ongkos ojek, ialah menghamburkan sentak lari ke pundak tangga. Maka terdengarlah kelebat langkah yang berantakan. Tapi itu menjadi isyarat bagi Mak Odah untuk bersegera membuka gari pintu. Selepas tangannya direngkuh kecupan, ia akan mendapatkan Lastri berlari menerobos kamar mandi. Berwudu, lantas salat! Lastri begitu buru-buru, karena ia tahu, waktu magrib sekejap saja sudah raib.
Berkisah soal langkah, Mak Odah paling hapal rentet suara kaki Lastri ketika melintasi undakan tangga. Kalau riak kaki suaminya lebih senyap, tak jauh beda dengan Azmi. Kira-kira, seperti suara seretan, atau desis pendek orang yang tidur. Biasanya, Mak Odah membuka pintu setelah mendengar salam, atau gedoran pintu oleh Azmi atau suaminya. Aha, pasang telinga kalau hendak mendengar cecahan kaki mereka saat mendarat di anak tangga. Tapi begitupun, Mak Odah sering gagal menebak teka-teki hati: Kaki siapa yang sedang bergesek di tangga, suami atau Azmi? O-Mak, ada saja kelakuan-kelakuan mereka bertiga—suami dan kedua anaknya—yang mengguit pinggang kenangan. Tapi apa yang diharap lagi dari suaminya dan Azmi? Tinggal Lastri yang mampu menyejuk-nyejuk dada yang dikelupas pisau kenangan.
Iya, Lastri anak tahu diri, begitu puji Mak Odah. Lastri rajin berkirim surat, meski tak pernah berbalas. Nah, kalau sedang mengeja isi surat, bersinar-binar mata Mak Odah. “… di sini tempat yang menyenangkan, Mak. Ibu Asuh Lastri orangnya baik. Tapi Lastri rindu sama, Mak…” O, betapa terharu Mak Odah, kadang terburai air mata setiap menerima surat dari Lastri. “…hiih, di sini mulai masuk musim dingin. Ada salju, Mak. Tapi agak menyebalkan, karena setiap keluar rumah, harus pakai topi, syal, sarung tangan, dan jaket tebal…” Ups, Lastri, o, Lastri, dada Mak inilah sekerat langit beku yang meluruhkan salju itu, gumam Mak Odah getir sambil menyeruput bibir. Meski tak sempat hangat mata menyemburkan manik-manik berwarna tawar.
Tapi oleh surat yang lain, pernah Mak Odah diguncang-guncang isak sesudah membaca sepenggal kalimat. Tak terkata pedih hati Mak Odah saat itu, pasti. Mau tahu penyebabnya, simaklah bagian akhir dari kalimat tersebut: “…sehat-nya Mak kan? Gimana kabarnya Bang Azmi, sudah pernah mengirim kabar?…” Mak Odah tak menjawab, bahkan ia turut menukikkan tanya sambil bergelimang air mata. Azmi, Azmi, anakku, bagaimana keadaanmu di rantau sana, tak menentukah? Tapi ia bertanya dan mengharap jawab pada siapa? Tak ada serintik berita pun—dari Azmi—yang menempias ke dahaga rindunya.
Azmi, putra sulung itu memilih pergi ke Malaysia, berbekal uang penjualan perahu mesin warisan suami Mak Odah. Butir-butir harapan menggelinding juga dari terjal hati Mak Odah: Azmi kelak pengganti kepala keluarga. Melindungi Mak dan Lastri, bahkan kelak menjadi penabung lumbung ekonomi keluarga. Tapi jangankan berkirim ringgit, segeliat surat pun tak pernah menyelip ke ketiak pintu. Azmi tetap saja berkabar kabur. Lalu simpang-siur kabar yang menyebar: Azmi mati, Azmi sudah menikah, atau Azmi tertangkap Polis Diraja Malaysia dan kini di penjara, seperti menyedot-memuntah semangat hidup Mak Odah.
Tapi, biarlah, Azmi kan laki-laki, pasti tahu cara membawa diri, Mak Odah pun berhenti membusukkan luka sendiri. Jangan bersedih, bukankah sebentar lagi Lastri kembali? Lalu mengiang-ngiang bujukan hati. Tapi surat Lastri yang berikut, tidak mengabarkan rencana kepulangan diri. Dan entah mengapa, Mak Odah tak mampu menangis saat itu. Mulut hati Mak Odah terjeruji, tak keluar kata-tanya. Kelabu matanya adalah sahara, tak berkaca-kaca. Di kisut dadanya, tiba-tiba menghilang gebu rindu buat Lastri. Mak Odah hanya merasakan kakinya tak lagi menyentuh lantai rumah. Oups, siapa yang melayarkan tubuhnya ke laut lapang berlangit abu-abu, ke samudera lengang berhuni hantu. Adakah tubuhnya sedang terbengkalai di atas perahu kabut penuh kerut?
“…saat ini Lastri lagi sibuk mengurus surat-surat pernikahan. Mak tak usah khawatir, Grzegorgz seorang muslim. Ia keturunan Polandia-Albania. Lastri tahu ini berat bagi Mak. Tapi Mak ikut bahagia kan kalau Lastri bahagia? Lastri janji, kalau ada waktu lapang, kami berdua akan pulang menjumpai Mak barang sebentar. Maafkan Lastri, keputusan ini sudah Lastri pikirkan masak-masak. Lastri berharap Mak memberi doa restu. Titip salam Grzegorz sekeluarga untuk Mak. Lastri sayang sama Mak. Salam rindu…”
Ai, Lastri, Lastri, mengapa tunas janji dipijak sendiri? Mak Odah pun terbaring lemah semenjak kedatangan surat itu. Berminggu juga usia sakitnya, tapi tak bernama jenis penyakitnya. Tak mujarab resep dokter, tak berhasil mantra dukun. Beruntung kemudian, ketika surat Lastri berisi foto perkawinan datang membesuk, sedikit membangkit daya hidup Mak Odah. Sungguh, baginya, tak mudah memenggal alir darah antara Mak dengan anak. “…alhamdulillah, semua berjalan lancar, Mak. Sempat tertunda sebenarnya, karena susah juga mengurus pernikahan antar negara di Jerman. Akhirnya, kami mendaftarkan pernikahan, sekaligus menikah di kantor catatan sipil Denmark. Di sana lebih mudah, Mak. Ini, Lastri kirimkan foto Lastri dengan Grzegorz ketika berfoto di depan kantor catatan sipil…”
Sekait senyum tersangkut di bibir Mak Odah. Tak berkedip matanya menyaksikan foto ukuran jumbo tersebut. Berlatar sebuah bangunan tua dengan plang bertulis ejaan asing: TØNDER RÅDHUS, badan Lastri kelihatan lebih berisi, dan kulitnya pun tampak bersih berseri. Lastri mengenakan gaun putih-putih, berwajah bahagia dengan mulut setengah tertawa. Tangan kanan Lastri menggenggam seikat kembang berwarni. Aduh, Lastri yang lebih tinggi dari Mak-nya saja kelihatan kecil dibanding suaminya. Apalagi jika Mak bertemu menantu? Mak Odah menimang-nimang geli tak menentu. Mmh, kepala Lastri seperti terbenam di bawah ketiak suaminya. Di foto itu, Grzegorz, suami Lastri yang berkulit kemerahan, memakai kemeja liris dongker dan bercelana hitam. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, tapi alis matanya tebal.
G-r-z-e-g-o-r-z! Ah, tak lulus-lulus lidah Mak Odah melafalkan nama itu. Diam-diam, ada sebening kebahagian mendenting di gua hatinya. Lalu dipajanglah foto itu di selipan kaca lemari oleh Mak Odah. Tanpa bingkai. Dan selalu, mata Mak Odah tak pernah mampu mengelak dari foto tak berbingkai itu. Entah, kekuatan dahsyat apa yang mengajak jejak Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto itu lekat-lekat? Uh, foto itu, berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Mak Odah menjawab dengan bisu!
Maka kian laun, Mak Odah, mau tak mau, musti belajar menjadi perempuan tegar. Ia pun mencontoh kokoh karang. Tapi sekadang saat, ia tak lain adalah segantung kepompong yang terkatung. Ialah tentu, pusaran ombak waktu telah memorakkan perahu hidupnya. Bayangkan, tempo waktu, baru dua kali 40 hari—sepeninggal suaminya—berlalu, ia senyata hidup sendiri. Suami selamanya pergi. Kemudian, setelah 40 hari pertama, Azmi yang pamit diri, lalu menyusul Lastri. Tentu, semula ia berupaya ikhlas, demi kebahagiaan anak-anaknya. Sebab pula, bukankah berbeda cara orang meraih kebahagiaan, termasuk Azmi dan Lastri?
Tapi kadang-kala, Mak Odah merasakan tubuhnya seperti ruas-ruas tangga yang keropos. Lalu, kegetiran hidup berwujud belantara kaki bersepatu baja, saling berebut memijakkan tapaknya di gigil tangga. Tak jarang Mak Odah menggeser-geser tanya dalam hati: Adakah ia tubuh yang bernyawa hampa, tanpa rasa? Tapi tidak juga, kiranya! Sebagai bukti, di tengah hempas-timpa debum peristiwa, bertamulah utusan Haji Adenan—pengusaha tambak, duda berusia 61 tahun. Niat utama utusan itu: Melamar Mak Odah menjadi istri pengganti Haji Adenan. Ada sesirap rasa yang mengetuk-ngetuk dada Mak Odah. Benar, Mak Odah tak menolak. Tapi karena teringat janji dengan Lastri: Tak akan menghadiahi Ayah tiri untuk Lastri, tawaran lamaran pun terombang-ambing.
Entahlah, segala runyam diri Mak Odah timbul-tenggelam di keruh hati, riuh-dendam! Sempat ia meneguh-neguh tekad: Terima saja lamaran Haji Adenan! Namun harapan tak berlangkah kanan, terlambat. Haji Adenan sudah menggandeng pengganti. Kabarnya, seorang perawan tua yang dijemput ke kampung asal Haji Adenan, Pangkalan Brandan. Dan pun, selesailah kehendak hati! Air diteguk sebagai penawar denyut jiwa, tapi pasir penuh serpih kaca yang terasa menyesak rongga dada. Kembali, tubuh Mak Odah dibungkus tirai luka!
* * *
Kesiur angin berdebur di luar. Dahan nangka saling beradu, menjalin derak. Daun-daunnya bakal terserak-serak. Tadi, entah kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto tak berbingkai itu lekat-lekat? Lalu ketika ini, kekuatan apalagi yang menghisap pandangan Mak Odah, sehingga berpaling ke arah pintu. Udara bersuara patah, datang dan pergi. Ia seperti mendengar suara kaki yang berderap di tangga. Ia kenal derapan kaki siapa itu. Lastri? Langkah Mak Odah pun bersekilat mencapai pintu. Tergopoh-gopoh tubuhnya, tersuruk-suruk dengus napasnya! Ia kuak daun pintu berengsel serak, lalu sorot matanya menyerobot, kemudian berbelok ke curam tangga. Tapi, o, tak ada siapa-siapa. Hanya tugu angin yang terpahat di rahang pintu!
Mak Odah tertegun. Angin berdesir, perlahan, menyisir tabur ubannya yang berwarna mendung muda. Ia meraba wajah. Ah, semakin berpinak garis-garis yang saling menelikung dan bertindihan. Kerut wajah Mak Odah menyerupa jaring laba-laba yang kusut. Oi, sunyi berdentang, mencipta sumur berngarai dalam, teramat dalam, dan mengeram ribuan liang. Tubuh Mak Odah seketika dingin dan ngilu. Mendadak amis udara terasa basi, menjelma jemari berduri, lantas berkelebat memetik kabut air dari pelepah mata Mak Odah!

Medan, Hilir 2006

catatan hati : Cerpen “Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu” ini adalah kado pernikahan tak berpita bagi Lili Yuslianti dan Deniz Nis. Berbahagialah, Li, juga Niz! Oya, jangan lupa Lili berkirim kabar kepada Mak. Pandai-pandailah menghibur hatinya.

Dimuat di Kompas, MINGGU, 3 Juni 2007

CERPEN
Tiurmaida
OLEH HASAN AL BANNA



Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.
“Istirahatlah kau dulu!” Boru Pohan memberi anjuran.
“Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak,” ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke bongkahan batu.
Tiurmaida baru saja memulai pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal matahari yang melesat dari timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya.
Tiurmaida lalu berpaling langkah, menyurut sepasang kaki kembali ke rumah. Tadi, sebelum berangkat ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius yang basalemak di pisak celana, bahkan bercecer di sebagian badan. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, juga menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida harus hati-hati melaksanakan rutinitas itu. Ia tidak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Ketika hendak memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun sebaliknya, melepas kaki yang terkunci jika hendak mengenakan celana.
Tiurmaida begitu tekun mengurus Marsius. Meski Marsius tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya dalam keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yang menyuruk ke tubuh Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dari tidur yang nyenyak, demi mendiamkan Marsius yang berteriak-teriak. Marsius memang tidak leluasa bergerak, tapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Ketika itu, ia sedang menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, tapi rahang suaminya lebih dulu meretap.
Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega menyaksikan Marsius terlentang di atas dipan lapuk tak berkapuk, dan dikekang beberapa balok dan rantai. Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti sepasang sabit yang mencabik-cabik hati. Benar, terkadang tatapannya kosong bagai lorong teramat sepi. Tapi terkadang lorong itu menjadi dua tungku yang menyemburkan api. Dagu dan rahangnya seperti tebing curam, rapuh, dan penuh belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat bagian tubuh yang lain seperti liang-liang kecil yang menganga. Punggungnya terkelupas karena sudah tergeletak kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah parah saja. Memasung Marsius adalah pilihan terbaik sekaligus menyesakkan bagi Tiurmaida.
Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi. Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya, meski akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Dua hari lalu—entah yang keberapa kali—ibunya kembali datang.
“Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.”
“Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.”
“Masih muda kau itu, Tiur.”
“Iya. Tapi tak mau aku mangidolong!”
“Pikirkanlah sekali lagi.”
Tapi Tiurmaida menjawab dengan gelengan yang tegas. Ia tidak mau mangidolong, meskipun itu diperkenankan hukum kampung. Berdasarkan isyarat adat, istri pantang meminta cerai. Andai terpaksa, mangidolong adalah satu-satunya jalan, agar keinginan istri untuk berpisah dapat terwujud. Biasanya istri lari ke rumah orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka digelarlah mufakat, mengalirlah nasehat-nasehat agar suami istri yang bertikai kembali seangguk sepakat. Tapi jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak.
Namun Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan perjodohannya dengan anak namboru, anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga. Tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tigapuluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu seketika lenyap.
Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya, dan ia siap menanggung itu. Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko. Bukankah risiko yang mengintai ketika ia memutuskan menikah dengan Marsius. Ah, berkait kepedihan masa lalu masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya terang-terangan menentang Marsius sebagai calon menantu. Ketika itu, serapah apa lagi yang belum limpah? Padahal menurut Tiurmaida, alasan penolakan keluarganya terlampau mengada-ngada. Ya, hanya bersebab dendam lampau, ketika lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius.
Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius dan Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah berketatapan hati menikah dengan pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat dan agama.
Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan kepada utusan keluarga Marsius untuk duduk bersila di dalam rumahnya. Berarti ia tetap tak merestui Tiurmaida. Namun apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran ayah dan ibu Tiurmaida. Soal izin dan wali nikah, peraturan adat melimpahkannya kepada uda Tiurmaida—adik laki-laki ayahnya. Marsius dan Tiurmaida pun sah menjadi suami istri. Mereka menyusun cita-cita dan mimpi, pingin punya anak sebagai pelipur hati. Penuh harap pula mereka, kelak kehadiran anak akan melunakkan hati ayah dan ibunya.
Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka harapan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan sanak famili terus menghunus cibiran: “Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!”
Ois, dengan susah payah Tiurmaida dan suaminya mengasah kesabaran. Tak patah arang mereka pergi kian kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah dan ternak habis digadai demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang bidan yang mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di Sidimpuan—dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya berbuah hampa. Bahkan belakangan, dokter menyatakan rahim Tiurmaida bermasalah!
Itulah vonis yang mengiris. Namun Tiurmaida harus tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak, demi menikahi perempuan lain, dan punya anak. Tapi mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak ganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda.
Memang, pancaran kebahagian tetap mengguratkan keperihan. Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil bagian dalam bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan suka-cita yang mengalir ke telinga Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya dendam ayah dan ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua dengan anak? Berpekik-pekik ia dalam hati.
Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada Tiurmaida. Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran air yang menyintak Maramuda dari lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda, mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu kelezatan apa yang kelak dicecapnya.
Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius terpukul. Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah.
Peristiwa itu tidak sekali dua kali terjadi, dan akhirnya menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung. Tapi Tiurmaida harus tabah, apalagi ketika seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini keluarganya—terkhusus ibunya—sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu terlambat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega dan berusaha untuk tidak tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi ketika ibunya tak pernah penat bernasehat, juga tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya. Namun seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya, kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir kepada perjodohannya dengan Ali Tukma.
* * *
Kini karung keenam. Paling tidak ia bisa menuntaskan satu dua karung lagi, sebelum hari benar-benar terjerembab ke kubang gelap. Di sekitarnya, batu-batu—sepangkal paha—hasil longsoran terbaru masih tersisa beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih mempunyai kesempatan menukarkan tenaganya dengan uang. Tiurmaida tersenyum, lalu menatap cahaya buram yang menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di kawasan pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yang menampung serpihan batu-batu, sebelum mengirimnya dengan truk kepada para pemesan di Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yang membayarkan upah sesuai jumlah karung yang diselesaikan.
Usai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung, menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka Tiurmaida harus lekas menyelesaikan pekerjaannya, lalu menyeret karung-karung itu ke hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida musti menunggu besok untuk memperoleh upah hari ini. Padahal upahnya bakal lebih sedikit dari hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup mengerjakan dua belas karung batu dalam sehari. Sekarung batu imbalannya sembilan ratus rupiah, berarti ia akan mengantongi upah hampir sebelas ribu per hari. Tapi tidak untuk kali ini. Sebab sepetang ini, baru lima karung yang berisi. Itupun dikerjakan sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yang anyir.
Teman-teman Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang ketika mendung mengapung dari celah bukit. Beberapa malam terakhir, lebat hujan dan kesiur angin berjam-jam mengepung kawasan bukit dan kampung. Tapi malam ini Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-batu dengan sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya. Angin yang meluncur deras dari pundak bukit yang koyak kadang menggigilkan tulangnya. Tapi wajah Marsius yang memintas-mintas di serambi kenangan, menghembuskan kehangatan baru ke tubuhnya.
Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia perhatikan langit membentuk payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yang berantakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul cahaya dari rumah-rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam kilau danau. Apalagi ketika hujan terburai dari perut langit, bilah-bilah air yang dipantuli cahaya seperti percik kembang api.
Entah karena keindahan itu, hujan yang berkelebat dalam gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal tubuhnya berkelambu hujan. Tangannya menebal, tapi ou, mengapa tak mampu memental kengiluan yang menerobos luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tapi kian erat genggamannya pada martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak batu. Deru hujan, desir angin, sentak petir, juga denting batu-batu ibarat lagu-lagu yang meneguhkan semangatnya. Tapi dari arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh yang menyusup ke telinga Tiurmaida. Ia tidak paham kalau lagu itu bernada gemuruh.
Aduh!

Medan, 2005-2006