Wednesday, 30 January 2008

Semesta Sajadah

Cerpen M. Raudah Jambak
Lelaki yang Berdiri Itu
Lelaki yang berdiri antara rumah dan mimbarnya pada taman, di antara taman-taman di surga. Berdiri atas gundukan tanah bersandar pada sebatang pohon kurma yang menangis menyaksikannya naik ke atas mimbar dari kayu. Laksana unta yang menangis kehilangan anaknya. Lalu lelaki itu memeluknya dan berkata,"mana yang kau pilih, hidup subur dan rimbun atau menjadi pohonan surga?" Lelaki itu lalu me-nguburnya di bawah mimbar empat tingkat yang kemudian menjadi puing di peti mati. Hanya tercium aroma wewangi.
* * *
Malam ini surau begitu sepi. Cuma diterangi sebatang lilin yang hampir padam dihembus angin malam. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga. Subuh masih lama. Lelaki itu baru saja mengambil wudhu. Sebelumnya, ia tersentak bangun. Mimpi itu datang lagi. Tentang seorang lelaki berwajah suci yang tengah memeluk sebatang pohon kurma.
Segera ia berdiri lurus ke arah kiblat, sambil mengangkat tinggi kedua tangannya. Setelah itu, ia telah tenggelam dalam kekhusukkannya. Raka’at demi raka’at telah dilewatinya. Di sujud terakhir, ia begitu lama mengangkat kepala. Sementara angin masih mempermainkan lilin yang terombang-ambing. Suara jangkrik mulai sayup-sayup kedengaran. Sesekali terdengar suara kucing berkelahi memecah sunyi.
Angin mulai gelisah, ia bangunkan lelaki itu bersama derit pintu dan jendela. Nyala lilin mengecil. Ia seakan mengigil. Suara kucing sayup-sayup dikejauhan. Lelaki itu masih dalam sujud panjangnya, seperti tak berkesudahan. Pelan-pelan terdengar takbir, lelaki itu lalu menyelesaikan ruku’ paling akhir, menutup dengan salam.
Dengan kekhusukan yang dalam, lelaki itu menumpahkan lautan zikir. Bersama sampan sajadahnya, ia tebarkan benih-benih do’a. Seketika berubah tunas, lalu menjadi pohon raksasa. Pucuk-pucuknya mulai meraih semesta. Lelaki itu pun dengan tertatih-tatih merih pucuknya. Ia tergesa hendak menyampaikan halnya, kepada Sang Pencipta.
Entah apa hal yang disampaikan, lelaki itu seketika itu pula terisak, di atas sajadah yang mulai membasah. Begitu menyentuh, menyambut subuh.
Sudah beratus subuh yang dilalui, bersama zuhur, ashar, maghrib dan isya. Surau hanya dipadati kesunyian. Lelaki itulah imam dan makmumnya. Lelaki itulah nazir dan jama’ah yang paling setia. Dia tetap bertahan pada hatinya. Selesai merangkai raka’at, ia lanjutkan dengan tugis rutin yang bertahun-tahun telah dilewatinya.
Ia bersihkan halaman surau dengan sapu lidi yang baru dibuatnya kemarin. Kali ini ia tidak meraba-raba. Ia menyapu dengan leluasa. Halaman surau cukup terang dengan pantulan cahaya dari sebuah masjid megah yang baru selesai dibangun dan sudah dioperasikan. Senandung baris-baris ayat masih terdengar berkumandang dipuncaknya yang menjulang. Beberapa orang jamaah, masih terlihat di sana, berba-ring di teras mesjid.
"Assalamua’laikum, Pak Badren!" begitu sapa yang kerap dilontarkan kepadanya ketika orang-orang melintas di depannya.
"Wa ‘alaikum salam, Sahabat," dengan senyum khasnya, ia menjawab,"Sudah sho-lat?"
"Oh, sudah di Mesjid itu!"
Pak Badren, si lelaki itu hanya mengucapkan hamdallah sambil memperhatikan o-rang-orang yang menyapanya, menghilang ditikungan jalan.
Perlahan ia kemasi peralatannya dan memasukkannya ke gudang. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, ia melangkah menuju kamar mandi tepas dengan peralat an wudhu’ seadanya. Ia bersihkan dirinya dari kotoran tanah yang sempat menempel ketika membersihkan lingkungan surau. Aliran air yang begitu kecil hanya mampu membersihkan tubuh alakadarnya.
Setelah itu, Pak Badren menuju ke kamar yang menempel di samping surau. Ia ke-nakan baju gunting cina hasil sedekah dari anak satu-satunya, yang kini menetap ber-sama suaminya di Jakarta. Istrinya telah lama berpulang, enam bulan sebelum perni-kahan anaknya dengan Hasan, teman Nurul, anaknya, yang sekarang menjadi pengu-saha pakaian jadi di Jakarta.
Pak Badren mengaso sejenak di teras surau yang sudah mulai reot. Bertemankan segelas kopi pahit setengah matang dan rokok daun kegemarannya, ia nikmati hasil kerjanya. Tersenyum-senyum bibirnya, ketika seorang anak tanpa sengaja memasuki areal surau yang sudah dibersihkannya. Seketika itu pula wajahnya berubah merah, ketika sebuah suara menghentak memanggil anak itu. Lebih memerah lagi, ketika suara raungan tangis anak itu membahana bersamaan dengan suara hardikan dan um-patan.
"Di situ banyak penunggunya tahu! Banyak hantunya! Mau kesambet apa?!?!?" Pak Badren tercenung,"Kalau mau main jangan sembarangan tempat, ngerti?!?!"
Pak Badren hanya mengelus dada, menarik nafas panjang. Dalam minggu-minggu terakhir ini, ia lebih banyak istighfar. Tiap malam tahajjud tak pernah ia lewatkan. Sholat sunat sudah beratus kali ia kerjakan. Sudah begitu banyak do’a yang ia panjat-kan. Berkali-kali pula kaji ia khatamkan. Ayat kursipun selalu ia lantunkan, hantu mana yang berani berdiam?
Segera ia kemasi peralatan sholat termasuk pengeras suara sederhana, sedekah dari hamba Allah dua puluh tahun yang lalu. Ia pasang kaset yang melantunkan ayat-ayat suci ke dalam radio tua. Lalu ia melaksanakan sholat sunat. Tidak berapa setelahnya suara azan terbata-bata, suara azan terpatah-patah, menandakan sholat zuhur tiba. Su-ara azan itu semakin terbata, ketika suara azan masjid sebelah menimpanya. Lebih ter bata lagi ketika menggema suara azan dari puluhan mesjid di sekitarnya.
Pak Badren menunggu, berpuluh menit berlalu. Pak Badren berdiri, dia kembali sendiri. Ia tegakkan sholat, sekilas dari sudut matanya terlihat para jama’ah datang. Segera mengambil posisi shaf. Dengan berbinar dan bersemangat, ia angkat kedua le-ngannya sambil melantunkan takbir.
Raka’at demi raka’at telah dilewati, dan berakhir pada salam. Begitu khusuknya Pak Badren sehingga ia langsung memimpin zikir dan do’a. Setelah menutup do’a Pak Badren selanjutnya mengarahkan salamnya ke jama’ah. Wajahnya berubah pucat.
Mulutnya hanya bisa menganga. Segera ia berdiri setengah berlari menuju pintu surau dan tidak mendapati siapa-siapa. Lama ia berdiri di pintu surau, setelah akhirnya ia putuskan untuk mencari.
Pak Badren segera melangkahkan kaki setelah semua pintu surau ia kunci. Sudah lama ia tidak pergi sekedar melangkahkan kaki bersilaturahmi. Itu dikarenakan kare-na selama ia pergi tidak ada yang menjaga surau. Ia tidak takut ada pencuri atau pen-dengki. Ia hanya khawatir kalau seandainya ada tamu yang datang mencari. Paling ti-dak ada yang duduk menunggu untuk mengabari.
Tidak sampai satu jam ia meninggalkan surau, sayup-sayup terdengar suara gaduh dari arah surau. Betapa terkejutnya Pak Badren demi melihat orang-orang berlarian membawa air. Lebih terkejutnya ia ketika ada asap yang mengepul, yang bersumber dari api yang tengah menjilat surau.
Sontak saja Pak Badren Berlari ke arah surau. Entah kekuatan dari mana yang men dorongnya sehingga ia begitu cepat berlari. Tidak melihat lagi ke kiri dan ke kanan. Menembus kerimunan orang-orang yang sibuk memadamkan api agar tidak melebar, menyambar mesjid yang tidak begitu jauh dari surau.
Orang-orang terkesima melihat Pak Badren yang tengah melakukan aksi penyela-matan. Peralatan sholat tua yang pernah disedekahkan. Dan lebih terkesima lagi, ketika sebuah balok kayu yang terbakar tumbang, kemudian jatuh tepat menimpa Pak Badren. Orang-orang segera menolongnya. Membopongnya ke tempat yang lebih aman, memberi pengobatan sederhana dari alat pengobatan sederhana yang terakhir diselamatkan Pak Badren sebelum ditimpa balok yang terbakar. Pak Badren seketika pingsan.
* * *
Pak Badren siuman. Pelan-pelan ia buka matanya. Ia menatapkan ke sekelilingnya. Semua kelihatan putih-putih. Termasuk pakaian yang membalut tubuhnya. Ia menco-ba-coba mengingat-ingat. Butiran air matanya menitik. Sejuta penyesalan menyeli-muti pikirannya. Dalam keadaan terisak, ia tutupi wajahnya sambil memohon berjuta pengampunan.
"Ayah sudah bangun?" seorang perempuan muda masuk. Ia duduk di samping Pak Badren, sambil mengaduk-aduk bubur yang dibawanya,"makanlah dulu. Istrahat saja. Dokter mengatakan kondisi ayah akan pulih, jika banyak-banyak beristirahat."
Pak Badren hanya diam.
"Setelah sembuh Nurul mohon ayah mau tinggal dengan kami di Jakarta. Ayah maukan?"
"Bagaimana dengan surau?"
"Ayah, sudahlah tidak usah pikirkan lagi surau itu. Lagi pula surau itu sudah rata dengan tanah sekarang."
"Apa?!?!" Pak Badren segera berdiri, ia berlari.
"Ayah tunggu!"
Pak Badren terus berlari, ia tidak perduli dengan teriakan-teriakan yang mengejar-nya. Ia berlari dengan sangat kencang. Entah kekuatan dari mana yang datang sehing-ga orang-orang tidak mampu meraihnya. Beberapa meter lagi ia sudah hampir sampai
Jika saja ia tidak menabrak sepeda yang melintas di depannya. Pak Badren terjungkal.
Ia terjatuh bergulung-gulung, dan terhenti ketika kepalanya membentur dinding pembatas jalan halaman mesjid. Jama’ah yang masih berada di mesjid segera membu- runya.
"Ayah?!?!" Hasan,menantunya yang lebih dahulu tiba meraihnya,"Ayah?!?!, Ayah, Ayah?!?!"
Orang-orang berkerumun mengeliling Pak Badren yang terkulai lemah. Matanya tak terbuka. Mulutnya terkatup begitu saja, seketika ia terdiam seribu bahasa. Nurul, anaknya memeluknya erat-erat seketika. Jeritannya membahana.
* * *
Lelaki yang berdiri antara rumah dan mimbarnya pada taman, di antara taman-taman di surga. Berdiri atas gundukan tanah. Bersandar pada sebatang pohon kurma yang menangis menyaksikannya naik ke atas mimbar dari kayu. Laksana unta yang menangis kehilangan anaknya. Lalu lelaki itu memeluknya dan berkata,"mana yang kau pilih, hidup subur dan rimbun atau menjadi pohonan surga?" Lelaki itu lalu me-nguburnya di bawah mimbar empat tingkat yang kemudian menjadi puing di peti mati. Hanya tercium aroma wewangi.
Medan, Desember 2004



Cerpen M. Raudah Jambak
Lelaki dan Senja
Burung bulbul meminta mawar merah. Mawar menjawab, aku mawar putih seputih buih air laut dan lebih putih dari salju di puncak gunung. Aku mawar kuning, sekuning rambut putri duyung yang duduk di atas batu singgasana, dan lebih kuning dari bunga narsisi yang berbunga di padang rumput sebelum penyabit datang. Aku mawar merah, semerah kaki burung merpati, dan lebih merah dari karang besar yang bergelombang di goa laut. Tetapi di musim dingin menyejukkan pembuluh darahku, dan musim salju merontokkan kuntumku, dan angin ribut mematahkan rantingku. Dan kau harus menyanyikan suara musik di bawah sinar rembulan , dan menodainya dengan darah hatimu sendiri. Dadamu harus ditembus duriku sepanjang malam. Dan darahmu mengalir di pembuluh darahku, menjadi milikku.
Burung bulbul mati tertembus duri. Dan mawar merah tercampak ke selokan. Pecinta sejati pergi bersama kereta di kalahkan gaun indah, tali sepatu perak, dan permata yang sangat mahal harganya dari bunga!
Dan burung bulbul itu adalah aku. Lalu kau, kau adalah mawar itu. Betapa aku begitu kesakitan. Bisa kau bayangkan, sejauh mata memandang sejauh itu pula aku datang. Sejauh itu pula aku terbang. Kisah kita ini bukanlah kisah Fabel La Fortane-nya William Sommerset Maugham. Juga tidak kisah Animal Farm-nya George Orwell.
"Kau bukanlah si burung bulbul itu.....!" ujarmu
Aku terkejut. Aku tidak pernah akan menyangka kau mengatakan kata-kata itu lagi. Berkali-kali aku mengingatkan dan akhirnya kau mau menurutinya. Hal itu sudah berlangsung cukup lama. Tapi kali ini setelah sekian puluh waktu, kau mengatakannya lagi.
"Kau bukanlah si burung bulbul itu....!
"Mengapa?"
Kau hanya diam. Aku tidak mau memaksa. Kubiarkan saja kau mempermainkan ujung rambutmu dengan jarimu yang lentik itu. Kau pasti tahu, aku sudah berkali-kali memintamu jadi isteriku. Alasanmu selalu itu, itu saja. Kau selalu mengatakan, aku masih ingin melanjutkan studiku. Aku mengabdi dulu kepada kedua orangtuaku. Aku harus banyak berprestasi. Dan aku ingin mencapai semua keinginanku, cita-citaku. Tetapi, aku tetaplah wanita. Sesekali aku suka tergoda, sebab kerapuhan jiwa. Dan kau selalu menentramkan hatiku pada saat aku setengah beku. Kau rela berkorban apa saja untukku. Segala milikmu adalah milikku, katamu.
"Tapi, kau bukanlah si burung bulbul itu ....!
"Sudahlah katakan saja apa maksudmu!"
"Sebab," kau terdiam sesaat, "sebab aku tidak ingin menjadi si mawar merah!"
Sejak itu kau tidak pernah lagi menampakkan diri. Sementara aku masih dengan rasa setia mencari.
Akulah si burung bulbul yang terus berkelana, mencari si mawar merah. Sepanjang pagi selalu kumulai pencarian ini. Sang fajar selalu menampar-tampar wajahku yang kehilangan sadar.
"Kau bukanlah si burung bulbul.....!" selalu kata-kata itu terngiang.
Kau lupa, aku selalu terbang kemana-mana. Setiap taman selalu kudatangi. Begitu banyak bunga. Begitu ragam warna. Begitu banyak pesona. Sepanjang musim. Kau juga lupa tak satupun yang mampu membuatku tergoda. Selalu aku memintamu.
Bersama angin dan butiran waktu, kusapa bibirmu mencacah kalimat. Kau hanya mengatakan entah. Segala keindahan hujan dan renyai pelangipun telah kupersembahkan untukmu. Lalu senja yang semerah dadamu, mengarak awan beranjak pulang. Hasratku menggeliat, maka cairkanlah aku.
Bersama hijau daun kuarahkan tanganmu menyentuh pekat jiwa. Lalu waktu, katamu gugur di bundaran pipimu. Mengalir, menghanyutkan kisah dan lagu-lagu. Kau sempat menyanyikannya di sela cadas yang kerap mematahkan kita. Genggamanpun terhempas dalam rengkuhan cintaku padamu.
Di sini, terekam beribu arti rindu. Kutambatkan senyummu di gemerlap igauku. Sungguh satu kepasrahan yang menggoda meniti hari. Sulit memahami diri. Masa kanak-kanak telah membuat kita lupa tentang camar yang akan tetap pulang ke samudera. Rangkulkan kebebasan yang rindukan tepian bersama angin, aku renta dalam ingin.
Kuharap kau tidak melupakan harapku yang mulai menguning. Usai hari, usai musim. Seperti dongeng, esok dan nanti adalah harapan dan detak jam adalah penantian.
"Aku tak mau menanti....!" ujarmu lagi.
"Aku tidak memintamu menanti. Aku memintamu."
"Tapi kau bukanlah si burung bulbul itu.....!"
"Selalu itu saja yang kau persoalkan. Akulah si burung bulbul. Aku rela menyanyikan suara musik di bawah sinar rembulan. Aku rela menodainya dengan darah hatiku sendiri. Aku rela dadaku ditembus durimu sepanjang malam. Rela mengalirkan darahku ke pembuluh darahmu, menjadi milikmu!"
"Kau hanya bisa mengobral kata. Sepanjang musim, memang kau terbang kemana-mana. Selalu kau mendatangi taman-taman, memang, sebab kau hanya sekedar tebar pesona."
Aku hanya terdiam. Selalu aku perlu dan kau berlalu. Selalu saja kau perlakukan aku sebagai pesakitan. Kukatakan aku si burung bulbul, tetapi aku bukanlah Sisypus. Sudahlah mungkin saat ini belum berpihak musim pada angin. Kukenangkan engkau saat ini. Kukenangkan butiran-butiran air bergulir setelah hujan awan di matamu. Kau katakan suaraku seperti petir, yang mengundang guntur. Kukenangkan pula saat kau memahat senyum di bukit karang hatiku, yang telah lama membatu. Aku kenangkan pula saat kau terbang bersama awan, ketika kusentuh putik hatimu. Apakah kau kenangkan juga semua?
Sudah berapa ratus kali matahari meninggi. Sudah pula berapa bulan berganti malam. Dan kau tak juga berganti keputusan. Kelopakmu yang begitu segar pada mulanya, perlahan mulai ada perubahan. Perlahan pula menjadi layu, akhirnya.
Aku juga. Pandangan terasa samar. Pendengaran juga berbeda. Padahal setiap fajar, selalu kukunjungi matahari yang perlahan meninggi. Dan setiap senja, aku selalu merasa lebih senja dari bulan. Langkahku mulai tertahan, pelan. Aku yakin, kau juga begitu. Kita sekarang sudah beranjak senja. Aku, si burung bulbul tua, tetap menantimu, si mawar merah yang juga mulai senja.
"Tapi, kau bukan si burung bulbul....!" ujarmu terbata, ketika kukunjungi kau yang rebah pasrah di ranjang pesakitan.
"Sudahlah. Aku tidak mau lagi berdebat denganmu, apakah aku si burung bulbul atau bukan. Kau si mawar merah atau bukan," aku menarik nafas panjang,"sekarang jawablah, untuk yang kesekian ratus kali, apakah kau mau menjadi isteriku?"
Kau terdiam. Kau tidak bisa lagi melontar kata. Tak bisa berkata tentang keinginan mengabdi kepada orangtua, sebab mereka telah tiada, dan kita telah menempati posisi ketuaan mereka. Bersamaan ketika kita mulai menjenguk senja. Begitu juga, kau tidak bisa bicara tentang masa depan, yang kau sendiri sudah berada di ujung jarumnya. Atau tentang cita-cita yang kau sendiri mungkin telah melewatinya. Itupun jika kau bicara tentang karir. Dan jika cita-citamu tentang bahtera rumahtangga, maka inilah saatnya.
Matamu mulai berkaca. Kau masih tetap keras kepala. Tak bisa bicara apa-apa. Pandangankupun mulai berawan. Aku sadari, walau durimu telah rontok satu-satu, kau tetap berusaha berdiri di karang hatimu. Kau si mawar merah yang tak lagi semerah kaki merpati, apalagi semerah karang besar yang bergelombang di goa laut. Di musim dingin mulai membekukan pembuluh darahmu, dan di musim salju tidak hanya merontokkan kuntummu, tetapi juga duri-durimu. Angin ribut selalu mengintip bersama jubah kematian, bersamaan dengan patahnya satu persatu ranting dan daunmu. Sementara, aku sudah terlalu tua untuk menyanyikan suara musik di bawah sinar rembulan. Darah hatiku telah lama mengering. Tak ada tempat di dadaku untuk ditembus durimu sepanjang malam, sebab semuanya telah hancur bersama durimu yang melebur. Darahku tidak lagi mengalir di pembuluh darahmu, sebab semuanya telah menjadi milikmu.
Dan waktu juga yang akhirnya angkat bicara. Kau telah membangun pusara dengan nisan sebagai gapura, dan aku mengalirkan sungai tangis mencari tempat muara. Rinduku yang melaut mulai direnangi maut. Seketika aku seperti mengurai lembaran mimpi-mimpi. Kulihat kau berubah bidadari. Merentangkan tangan, tersenyuim memanggilku.
"Kemarilah, Bulbul. Aku si mawar merah kini telah siap menghias taman hatimu....!
Aku segera meraihmu. Dalam hati, aku merangkai puisi. Dan jika ini memang mimpi, aku tidak rela bangun lagi.

Medan, 2002-2004
Cerpen M. Raudah Jambak
Menunggu Khabar
Agam, lelaki yang tak pernah mau meneteskan air matanya sepanjang pernikahan kami, meluapkan tangisnya. Air matanya seperti bah, yang menggulung kemanusiaannya. Matanya tak lepas dari layar kaca TV.
"Sudahlah, lupakan masa lalu," ujar Umi tersedu-sedu. Agam, suamiku hanya tertunduk diam, entah apa yang dipikirkannya. Abah terkesan seolah-olah tak mende-ngar. Ia menyibukkan diri bermain-main dengan anak bungsuku, Aini.
Aku beranjak ke belakang, menuju dapur, setelah menciumi tangan mereka dan mempersilahkan duduk. Di dapur, aku tengah mempersiapkan teh. Sayup-sayup kudengar suara umi yang berbicara tersedu-sedu, di antara bunyi play-station yang dihidupkan anak sulungku, Rahmat.
Aku ingat betapa waktu itu, seminggu sebelum kepindahan kami dari rumah umi dan abah. Sebenarnya niat kepindahan itu sudah lama dipikirkan oleh suamiku, dan hal itu tidak pernah kami lontarkan kepada abah dan umi. Enam tahun lamanya, setelah anakku yang bungsu berumur lima tahun dan si sulung beranjak tujuh tahun.Dan abah memanggil kami.
"Sebenarnya, Abah tidak ingin membicaraknnya....," kata-kata abah tertahan. Umi terlihat sesenggukan.
"Sudah berapa lama kalian tinggal di sini?" ujar abah hati-hati. Agam hanya diam mendengarkan. Dia memang begitu, jika berada di rumah. Terlalu berhati-hati. Apapun yang terjadi di rumah umi dan abah, yang menyinggung perasaannya, selalu ditahannya. Resiko tinggal di rumah mertua, pikirnya. Bagaimana anak-anak kami terlalu disayang pada suatu ketika, dan terlalu dikekang pada lain peristiwa. Atau keti ka adikku, Beurahim, menukar chanel TV dengan jempol kaki- di saat kami berkum-pul menonton acara anak-anak kegemaran Rahmat. Agam hanya pura-pura mengambil air putih di atas meja yang tak jauh dari TV, tak lama kemudian duduk di teras meninggalkan Rahmat yang mengurai tangisan. Lalu membakar sebatang rokok, menghisapnya, sambil memandang ke langit jauh. Tak jarang aku mencuri pandang mata nya yang berkaca.
"Mengapa kita tidak pindah saja?!" tanyaku agak keras padanya, ketika kami ber-sitegang di dalam kamar. Selalu peristiwa yang sama, tentang saudaraku, ipar kami, atau orang tuaku yang selalu menjadi titik api ketersinggungannya.
"Uang darimana?" tanyanya tertahan ,"kau tahukan gajiku tidak seberapa, walaupun aku mengajar lebih dari satu tempat," dia menarik napas,"dan kau juga tahu kan berapa honor tulisanku? Kecil! Simpananpun nol, ngerti?!" .....
Agam yang pendiam, mengomel tak berkesudahaan. Jika seperti itu, aku jadi keha-bisan akal merangkai kata-kata. Hanya diam yang akhirnya menjadi tameng senjata.Aku hanya memandangi dia seperti orang yang tengah orasi, disebabkan kebi-jakan dalam negeri tidak terkontrol lagi. Dinding kamar teras begitu panasnya, padahal udara di luar baru saja ditinggalkan hujan. Sesekali terdengar suara anak-anak kami yang berteriak saling memanggil di samping kamar.
Sebenarnya Agam pria yang lembut. Dan karena kelembutannyalah aku meyakin-kan diriku memarkirkan kendaraan cintaku padanya.Dia paling tidak suka cari ribut apalagi berkelahi, tetapi jika dipancing, apapun akan dilakukannya. Itulah yang mem-buat aku semakin takluk dihatinya. Dia cukup ringan tangan, tetapi apa yang dia ker-jakan selalu jadi bahan permasalahan. Jika dia diam saja tidak mengerjakan apa-apa dianggap tidak mampu berbuat apa-apa. Situasi seperti ini yang kerap dirasakannya di rumah umi dan abah. Padahal aku tahu, Agam orang yang sangat perduli.
"Abah bukan tidak senang kalian tinggal di sini. Abah senang, tapi..."kembali suara abah tercekat ditenggorokan.
Agam terlihat menahan geram. Betapa dia merasa dilecehkan, karena dianggap ti-dak mengikuti peraturan rumah. Tidak menjaga perasaan orang tua maupun saudara.
Tidak menjaga sopan santun dan tata karama. Tidak perduli terhadap keadaan sekitar. Dan banyak kata tidak lainnya. Agam hanya bisa menahan geram.
Hanya saja bendungan kesabaran yang begitu susah-payah ia bangun, akhirnya sia-sia. Baginya semua sudah begitu kelewatan. Dia terima segala keburukan yang di-timpakan kepadanya. Tetapi dia tidak terima, keburukan yang dia lakukan, disebab- kan didikan buruk orang tuanya. Agam mengamuk. Abah tak mau kalah. Umi semakin tersedu. Aku hanya memeluk pilu kedua anakku. Bumi serasa maupecah,kusabarkan agam. Kubisikan padanya untuk mengalah sekali lagi. Ku-ingatkan dia tentang penyakit jantung abah. Agam mulai reda. Abah masih tetap ber-api-api. Umi menepuk-tepuk dadanya, air matanya melaut.
"Baiklah," ujar Agam. Dia terkesan masih menahan gundah,"jika semua saudara menganggap saya merusak marwah keluarga...,"Agam diam beberapa saat ,"Kami akan segera pindah! Agar sauadara-saudara tidak terhalang datang dengan keberadaan saya di sini!"
"Silahkan!" Abah tak kalah garang. Umi tidak lagi tersedu, kini ia menjerit pilu. Aku hanya mampu menahan malu. Diantara isak tangisnya umi masih menyabarkan, mengingatkan bahwa Idul fitri akan datang sebentar lagi. Umi berharap kepindahan kami ditunda setelah hari raya. Umi kembali mengingatkan, sebelum berangkat haji umi dan abah akan berangkat dari rumah kakak tertua di Syah Kuala, tidak jauh dari pemakaman Syekh Abdul Rauf-tokoh suci dari Singkil, yang selalu melaksanakan ibadah sholat jumat di Mekkah.
Agam kembali terdiam. Abah tetap bertahan dalam ucapannya. Aku tidak tahu, mana yang harus kupatuhi. Aku hanya tahu dalam agama kita diwajibkan patuh pada suami, jika sudah menikah. Bukan berarti tidak mempergauli orang tua secara baik.Tentunya suka-duka harus kulewati bersama Agam, abah dari anak-anakku.
Sejak kejadian Agam menjadi lebih pendiam. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan-nya, dan aku tidak tahu apa rencana yang akan dilakukannya. Satu hari setelah kamar kami yang letaknya persis di depan, dibongkar , yang menyakitkan tanpa pemberita- huan. Rencananya, Beurahim akan memakai kamar kami sebagai kamar pengantinnya padahal waktu sudah tidak berapa lama lagi. Agam mengajak aku untuk pindah esok harinya. Aku mencoba menahan dengan alasan ketiadaan uang. Agam mengatakan akan berusaha mencari pinjaman.
Aku tak tahu bagaimana cara Agam mencari pinjaman, termasuk bagaimana ia mendapatkan rumah kontrakan.Tapi yang kutahu dia telah datang bersama mobil Pick-up, milik temannya Deurih. Berdua mereka mengangkat perabotan kami, satu-persatu dinaikkan ke atas mobil pick-up. Sementara umi terus menyanyikan rintihan-nya diselingi ‘puisi’ kemarahan abah.
Agam sudah sampai pada puncak kemarahannya.Diam. Dia tidak memperdulikan apapun, termasuk membiarkanku terpaku dalam kecemasan. Air mataku tumpah ruah, melihat mobiln pick-up itu akhirnya melaju bersama kedua anakku yang menawarkan
Rindu. Dan Agam tetap tidak memperdulikan aku, sampai aku tiba dengan kesendirianku di rumah kontrakan baru.
Tepat azan mahgrib, aku tiba, mengucap salam dan membuka pintu yang tak ter-kunci. Perabotan dan barang lain masih terlihat menumpuk di sana-sini. Aku seketika mendengar suara yang begitu kurindu, si kecil Aini, yang berdiri di muka pintu.
"Mimi, ayo puasa. Sudah azan...!" begitu kerap ia mengatakan berbuka puasa dengan kata puasa. Dia menarik tangannku, menuntunku masuk. Agam hanya diam memperhatikan, dia tengah menyuapi si sulung Rahmat. Rahmat memang begitu, dia tidak semandiri adiknya. Itupun dilakukannnya hanya kepada Agam, sebab memang Agam yang selalu telaten, menjaganya mulai dari kandungan. Sedangkan Aini, Agam tidak mau campur tangan penuh. Alasannya selalu karena Aini anak perempuan. Menjaga, katanya.
Hanya dengan isyarat mata, ia menyuruhku duduk dan ikut makan bersama. Dengan isyarat pula aku menggelengkan kepala, tanda sudah berbuka. Agam tidak meneruskan memintaku untuk makan. Dan itu yang selalu membuatku blingsatan, Agam minus rayuan. Jika berduaan itu pengecualian.
* * *
"Sudah, lupakan masa lalu ," ujar umi tersedu-sedu. Agam hanya tertunduk diam. Entah apa yang dipikirkannya. Abah terkesan seolah-olah tak mendengar. Ia bermain-main dengan si bungsu, Aini, yang katanya mirip dengan ibunya. Si sulung Rahmat masih sibuk dengan play-station-nya.
"Besok kami akan berangkat ke Syah Kuala, tak jauh dari pantai Alue Naga!" umi menarik napas,"terus kapan kalian ke rumah?"
"Beurahim ikut umi?" tanyaku hati-hati.
Umi kembali tersedu. Dia mulai bercerita panjang lebar, tentang Beurahim yang sejak pernikahannya terkesan tidak perduli, sehingga rumah sering ditinggal kosong. Terutama pada saat abah dan umi latihan manasik.Air matanya semakin menderas. Abah berpura-pura sibuk bermain dengan Aini di teras depan. Pelan matanya mulai berawan.
"Beurahim ke Tapaktuan bersama istrinya, ke rumah mertuanya." Umi menyeka air matanya perlahan,"mau merayakan tahun baru di sana, katanya!"
Agam hanya diam, memperhatikan umi yang bicara panjang lebar. Mencuri pandang pada abah yang masih berpura-pura. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Entah apa yang tergambar dari sorot matanya. Aku hanya menduga Agam takut me-langgar kutukan yang ditimpakan kepada kami. Abah pernah mengatakan bahwa kami diharamkan menginjakkan kaki di rumah abah dan umi lagi.
"Jika sudah keluar dari sini, aku haramkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini," begitu teriakan abah setelah Agam menyampaikan niat kepindahan kami.
Agam hanya diam, dia seolah sedang merangkai kata.
Sebelum pulang umi sempat memberi pesan agar kami datang menjenguk mereka di Syah Kuala, sekalian bersilaturahmi ke rumah kakak tertua. Dari sana umi akan langsung berangkat menunaikan ibadah haji bersama abah.
Kami pernah beberapa kali ke rumah kakak tertua, beberapa kali pula ke pantai Aluenaga, setelah melihat perlakuan sikap kakak dan abang ipar terhadap Agam. Beberapa kali pula mengunjungi makamnya Syekh Abdul Rauf, yang dipercaya membawa keramat sampai sekarang. Ucapan umi membuat Agam agak tersenyum, seolah-olah kami tidak pernah sama sekali mengunjungi kakak tertua. Tapi, Agam agaknya mulai mampu mengendalikan emosinya.
"Sudahlah, lupakan masa lalu. Kami akan berangkat haji sebentar lagi. Datanglah.
Umi dan abah ingin melaksanakan haji dengan tenang," umi menarik napas,"lagi pula umi tidak mau ada suara sumbang yang menanyakan kalian jika tidak datang."
Dari Banda kami ke Medan, seminggu sebelum tahun baru. Entah apa yang sedang direncanakan Agam. Aku hanya tahu, Agam mengajakku ke tempat orangtuanya di Medan. Dia hanya mengatakan seminggu setelah tahun baru akan ke Banda. Rahmat dan Aini bernyanyi sepanjang perjalanan, sampai akhirnya tertidur, kelelahan.
Sesampai di rumah mertua, belum sempat kami melepas kerinduan, si bungsu Aini muntah-muntah. Aku berpikir mungkin pengaruh dari perjalanan kami. Tidak sampai di situ, si sulung Rahmat juga ikut muntah-muntah. Agam segera mencari kelapa muda dan telur ayam kampung, untuk pencegahan. Aku hanya merasakan perasaan yang aku sendiri tidak tahu entah apa. Sampai ketika tiba-tiba gantungan kunci rumah mertua, bergoyang keras. Aku berpikir angin yang berhembus. Namun pikiran itu berubah seketika, ketika Agam segera membawa kedua anak kami keluar sambil berteriak.
"Keluar...!Ada gempa!"
Kami yang ada di rumah keluar. Kecemasan mulai menjalar di wajah kami masing-masing. Aku merasakan sesuatu yang mendebarkan tapi entah apa. Agam ma-sih memeluk kedua anak kami. Mertua terlihat menggerak-gerakkan bibirnya, berdo’a.Tetangga mulai pasang komentar. Sebagian lagi berteriak.
"Allahu akbar!"
Lima menit lebih kurang kami digoyang gempa. Setelahnya dengan perasaan was-was dan cemas kami mulai memasuki rumah masing-masing.
Setelah membaringkan kedua anak kami kembali, Agam segera mengambil remotecontrol , menghidupkan TV. Aku bergerak ke dapur mempersiapkan campuran telur dan air kelapa muda, yang belum sempat kuselesaikan. Baru lima langkah bergerak, aku tersentak, mendengar Agam berteriak.
"Tsunami ya Allah, Allahu akbar. Allahu akbar...!"
Aku segera berlari melihat apa yang terjadi. Agam lelaki yang tak pernah mau me-neteskan air matanya sepanjang pernikahan kami,meluapkan tangisnya. Air matanya seperti bah, yang menggulung kemanusiaannya. Matanya tak lepas dari layar kaca TV.
Aku masih belum menyadari apa yang terjadi. Setelah memperhatikan layar kaca TV, nafasku seperti terhenti. Detak jantung seperti tak ada lagi. Sayup-sayup aku mendengar suara Agam seperti tenggelam, meneriakkan Allahu Akbar. Samar-samar kulihat Agam memeluk tubuhku. Entah apa yang diteriakkan Agam kemudian. Aku hanya tahu, Agam tengah memelukku. Erat, erat, erat sekali.
Medan, Desember 04





Cerpen M. Raudah Jambak
Orang-orang yang Terus Berlari
Suara azan itu membahana. Azan kali ini tidak seperti biasanya. Begitu menya- yat. Suaranya bersumber dari menara, yang pangkalnya tertanam di dasar laut dan u-jungnya menyentuh awan. Bumi bergetar, langit menggelegar. Angin berwudhuk di atas permukaan gelombang. Pepohonan sedia mengambil saf paling awal. Para hewan bersegera membentang sajadah tanda. Tinggal manusia yang masih terus berlari, si- buk mengurusi diri sendiri. Lalu air menggelombang secepat cahaya.
"Angin...! Angin...!"
"Bukan angin. Air...!Air...!"
Entah siapa yang memulai, seketika orang-orang sudah bergegas menuju Baitur-rahman. Tidak sekedar melangkah kaki, tetapi berlari. Berlari terus. Beranda Baitur-rahman masih begitu jauh. Langit tak menunjukkan tanda-tanda kegelapan. Pagi itu matahari sedang mengaji.
Orang-orang terus mengerahkan langkah. Tidak terasa lagi duri-duri yang terta- nam di telapak kaki. Angin menawarkan kecemasan, menerobos masuk sampai ke tu- lang sum-sum. Rotasi waktu tak berhenti. Kaki terus berlari sampai beranda Baitur-rahman.. Sebab suara pertanda yang meraung-raung di udara, dan bumi yang meng-geliat di balik selimutnya. Beberapa diantara mereka yang berlari, terhenti. Tak lagi menafsirkan kaji matahari.
Dikejauhan senandung-senandung pantun terdengar lirih, bersama sayup-sayup takbir di beranda Baiturrahman. Antara sadar dan tidak.
Do kudoda idang, do kudoda idang/ Geulayang blang putuh talo/ Bagaih rayeuk muda seudang/ Ta jak muprang peutheun nanggro.
Do kudoda ido, kudoda ido/ Geulayang baro dhiet lagoina/ Beudoh laju linto ba-ro/ Aceh lhee sago ta peukong tema.
Do kudoda idi, kudoda idi/ Geulayang pasti rhout u banda/jak rakan banta sidi/ me prang sabi bela agama.1
Para bayi bersuka cita mendengarnya, bagai lullibu2 yang mendayu-dayu. Bersama pelukan erat ibu, senandung itu telah membawa mereka ke hadapan pencipta segala. Entah siapa yang memulai, orang-orang begitu bergairah mengejar posisi barisan jama’ah.
"Angin ...!Angin...!"
"Bukan angin. Air...!Air...!"
"Selamatkan diri. Allahu Akbar...!"
Bersama orang-orang, Agam ikut terus berlari. Pikirannya tak sempat membayang kan apa-apa. Dia hanya berharap, Uminya lebih dahulu sampai di beranda Baiturrah-man. Wanita yang telah menanamkan benih semangat dalam dirinya. Wanita yang te-lah membesarkannya, sebelum Abah sempat melihatnya terlahir ke dunia.
"Ketika itu segerombolan lalat ijo3 datang subuh-subuh sekali untuk mencari Abah mu," ujar Umi waktu itu. Agam masih begitu belia. Sambil merapikan baju sekolah Agam, Umi selalu bercerita tentang Abah. Setelah itu Umi suka bersenandung.
Beudoh rakan bek ta duek lee/ Beudoh saree tuha-muda/ Bek ta takot keu darah ile/ Jak prang kaphe poh Beulanda/ Han Aceh theun talo.4
"Apa yang terjadi setelah itu Umi?"
"Abah, kata mereka seorang cuak5. Di waktu lain abah kata mereka seorang pengacau keamanan!" Umi menarik napas,"Abah tidak mereka temukan , Cut Syari-fah, kakakmu yang lagi tertidur pulas mereka seret keluar. Besoknya Abahmu dite- mukan tewas, di atas tubuh kakakmu, yang telah kaku. Keduanya tanpa sehelai be-nangpun."
Menurut cerita Umi, Abah tidak mungkin melakukan itu. Abah hanya tahu me-ngaji. Membunuh nyamukpun Abah tidak berani. Dan menurut Umi lagi, Abah sem-pat dituduh menanam rumput surga6. Abah membantah, resikonya ladang kami pun disita. Dan terusir dari rumah. Abah menganggap itu hanya hijrah.
* * *
"Tolong!"
Agam tersentak kaget. Beranda Baiturrahman masih beberapa meter lagi. Tapi su-ara rintih minta tolong itu membuatnya terhenti. Beberapa langkah dibelakangnya, se-orang lelaki tuatersungkur. Kakinya menginjak sarung. Sementara disekitarnya orang orang terus berlari. Agam sempat tercenung. Lelaki itu tak mampu berdiri. Di bela-kangnya orang-orang masih berlari bersama air yang terus merayap, mengunyah apa saja.
Agam terperangah. Wajah lelaki itu begitu akrab diingatannya. Tubuhnya yang renta dengan baju gunting china dan lobe yang melekat di kepala, selalu menghuni hatinya. Wajah itu begitu bersih, bercahaya. Agam seperti melihat cerminnya di masa Tua.
"Kau begitu mirip dengan Abahmu, jika berpakaian seperti itu, semuanya. Mung- kin hanya kerut-merut usia yang membedakanya," begitu Umi pernah berkata, ketika Agam hendak pergi mengisi khutbah Idul Fitri, tahun lalu. Dan Agam tahu itu, ditam-bah lagi foto-foto Abah selalu menempel, memenuhi dinding kamar tidur Umi.
Agam tetap berdiri. Orang-orang terus berlari. Lelaki tua itu membenahi sarung yang terinjak oleh kakinya. Agam berlari mendekati.
"Hei, mau ke mana? Lari!" Beurahim berteriak. Kakinya begitu cepat melangkah.
Agam mendekati lelaki tua itu, memapahnya berdiri.
"Hei, apa yang kau lakukan di situ? Lari!"Usop berteriak. Kakinya bergerak terus.
Agam mendapati lelaki tua itu menantapnya ramah. Agam mengajaknya berlari. Lelaki tua itu menggeleng.
"Ini adalah hijrah, tidak perlu berlari, kemanapun kita sembunyi maut akan terus membututi."
Agam terdongak,ia begitu mengenal ciri khas ungkapan itu.Orang-orang berteriak. Mereka masih terus berlari.
Lelaki tua itu menyeimbangkan diri. Dia merasa kesulitan melangkahkan kaki. Agam menawarkan diri. Lelaki itu hanya mengangguk. Agam lalu mengendongnya. Di sekelilingnya, orang-orang hanya menoleh sebentar, lalu terus berlari.
"Lari, ayo selamatkan diri!"
"Allahu Akbar....!"
Agam terus berjalan di antara hiruk pikuk langkah kaki. Suara itu masih terus menderu-deru. Lelaki tua itu terdiam digendongan. Tubuhnya begitu ringan. Agam kembali teringat Umi. Umi setengah berlari, ketika menggendong Agam kecil. Tu-buhnya terguncang-guncang. Umi mencari tempat persembunyian. Suara tembakan beradu cepat menembus gendang telinga. Dentuman bom seperti irama degup jantung yang memecah.
Di balik persembunyian, Agam dan Umi beristirahat. Dari dalam bungkusan pa-kaiannya, Umi mengeluarkan sebilah rencong dan beberapa buah foto Umi, ketika menggelar seudati. Rencong diselipkan di bawah bantal, tempat Agam tertidur.
Belum lama rasanya Agam tertidur, ia sudah dikejutkan dengan suara erangan sakratul maut. Ia melihat Umi tengah menggenggam rencong yang telah berlumuran darah. Di sebelahnya seorang lelaki berwajah serdadu Gurkha terkapar. Dari mata Umi, butiran-butiran air pelan-pelan melaut.
"Allahu Akbar! Ayo cepat gelombang sudah datang!"
Agam tersentak. Orang-orang tersentak. Langkah-langkah kaki mulai tak beratur-an di sana-sini. Kaki mulai menginjak kaki.
"Astaghfirullah!" Agam terhenti. Lelaki tua itu tidak berada dipunggungnya lagi. Dia merasa sudah cukup berhati-hati. Air matanya kini menitik.
"Aneuk loun, aneuk loun!"7 suara seorang wanita paruh baya menghentak.
Agam kembali tersentak. Seorang wanita paruh baya berteriak. Anaknya terlepas dari gendongan. Orang-orang yang panik, menenggelamkan sosok wanita itu. Agam segera meraih anak yang terlepas itu. Dia berjanji akan lebih berhati-hati. Agam kem-bali terperangah, bocah ini adalah potret masa kecilnya. Foto masa lalunya terpam-pang jelas di ruang tamu. Agam terkenang Umi kembali.
Alahai do kudoda idi/ puteh sabun loun ayun do di/ do kudoda idi/ jantung atee beureung jang rayeuk/beujeut aneuk kamat beadee/jak prang kaphee cang beulanda/do kudoda idi/ bijeuh sawi dalam kaca/ beureung jang rayeuk banta cut di/gantoe abi paroh beulanda/8
"Tahi lalat yang ada disebelah dagu kananmu itu, membuat Umi selalu teringat Abah!" Umi selalu berkata seperti itu, jika rindunya pada Abah membuncah.
Bocah ini juga memiliki tahi lalat di dagunya yang sebelah kanan. Agam meme-luk erat bocah itu. Orang-orang terus berlari. Satu persatu mulai menyerah pada lang-kah. Satu persatu ditelan gelombang. Lainnya terus menzikirkan takdir, bersama tak-bir. Beranda Baiturrahman tinggal beberapa langkah lagi tergapai.
Perasaan bersalahmenyeruak dibenak Agam. Dia terpisah dengan Umi di antara riuh rendah orang-orang yang terus berlari. Ada yang ke bukit-bukit. Ada yang memanjat pohon kelapa. Ada yang memanjat bubungan rumah, sampai ke atap. Dan yang tidak berhasil ikut tersapu gelombang. Umi terlepas dari tangannya. Dia teringat betapa Umi, berusaha menolongnya ketika mereka sedang memancing. Sebelumnya Umi sempat bersenandung.
Si Nyak Kemawe di pantai lapan/ jikap sembilang dengan kut kadra/ bukan lhee paleh untung loun tuan/gampang di loun ka hancur belala/9
Si tajuk hias/ ini laguku bukan harta pinjam/ benih sawah semakin banyak/tapi zakatnya semakin berkurang//10
Begitu hendak melangkahkan kaki di pekarangan Baiturrahman, Agam kembali terhenti. Seorang wanita paruh baya tadi sudah menanti, ia mengenakan jilbab dan baju terusan berwarna putih. Kali ini wajahnya berseri. Ia tersenyum ramah. Wanita itu mengulurkan tangannya, meraih bocah itu, lalu pergi.
"Umi...?"
Wanita itu tidak menoleh lagi. Di belakangnya seorang wanita muda yang begitu cantik rupanya, melirik dan tersenyum pada Agam.
"Kakak Cut Syarifah?"
Wanita muda itu tidak menoleh lagi. Mereka berlalu di antara orang-orang yang terus berlari. Dan Agam melihat, di beranda Baiturrahman, seorang lelaki muda me-lambaikan tangannya. Di sebelahnya seorang lelaki tua yang hilang dari gendongan-nya tersenyum penuh wibawa. Wanita paruh baya bersama wanita muda yang tadi di-lihatnya, sudah berada di sebelah mereka. Bocah kecil itu di mana kini? Orang-orang masih terus berlari, takut untuk berhenti.
* * *
Suara azan itu membahana. Azan kali ini tidak seperti biasanya. Begitu menyayat. Suaranya bersumber dari menara yang pangkalnya tertanam di dasar laut dan ujung-nya menyentuh awan. Bumi bergetar, langit menggelegar. Angin berwudhuk di atas permukaan gelombang. Pepohonan sudah sedia saf paling awal. Para hewan bersege-ra membentang sajadah tanda. Orang-orang terus berlari dikejar air yang mengge-lombang secepat cahaya. Menghabiskan segala. Menyapu segala.
Seseorang tidak mengetahui di bumi mana ia akan mati.11
Medan, Awal Januari2005
Catatan:
1.pantun tradisi
2. semacam dddoi si dodoi
3. tentara
4. pantun tradisi
5. mata-mata
6. ganja
7. anakku-anakku
8-9. pantun tradisi
10. renggali=to’et
11. Hikayat prang Sabi-Chik Pantee Kulu
















Cerpen M. Raudah Jambak
Kolam di Belakang Rumah
Entah kenapa aku jadi lebih suka berada di belakang rumah. Sejak direnovasinya daerah di bagian belakang rumah, nyamuk – nyamuk pun sudah mulai berkurang. Kadang – kadang aku pun tertidur di atas kursi plastik yang juga baru aku beli kemarin sambil memandang bulan.
Di bagian belakang itu dipasang tegel marmar berwarna hitam. Aku juga meminta kepada tukang bangunan untuk membuat sebuah kolam di sana. Dan setelah jadi, kolam itu banyak memberikan inspirasi – inspirasi padaku tentang bulan, matahari, atau tentang apa saja.
Aku jadi lebih produktif menulis. Ide – ide selalu saja muncul mengalir bagaikan air.
Di bagian atas kolam, aku sudah memasang atap, agar cahaya matahari tidak jatuh sepenuhnya menyentuh kolam dan lantainya. Atau hujan tidak membasahi seluruh areal kolam. Di pinggir dari kolam aku menanam mawar, aster, melati, kacapiring, anggrek, dan bunga jenis rerumputan yang sengaja kutanam.
Di kolam, beberapa ekor ikan sudah mulai berenamg kesana kemari seperti ikan nila, dan beberapa ekor ikan gurami. Mereka kadang sering terlihat berkejaran. Apalagi jika giliran makan tiba, ikan – ikan itu seakan tahu apa yang akan aku lakukan. Dan aku sangat senang.
Di sekitar kolam aku begitu banyak mendapatkan kepuasan batin. Kepuasan yang belum tentu semua orang mendapatkannya. Demi mendapatkan kekuasaan, banyak orang yang tidak segan – segan mengeluarkan banyak biaya untuk itu.
Sambil memberikan makan kepada dua ekor kelinci putih yang baru dibeli kemarin. Di sini kenangan demi kenangan muncul. Kenangan masa lalu yang tidak pernah terlupakan. Terutama masa petualangan ketika muda. Dengan seorang wanita yang sempat singgah di hatiku. Gadis manis berambut panjang yang senang memelihara kelinci.
Ketika itu aku tidak begitu tertarik dengan kelinci. Tapi karena dia penyayang kelinci, maka aku berpura – pura ikut senang. Dan nyatanya sekarang aku tidak hanya pura – pura. Aku jadi menyenangi kelinci. Pembicaraan lantas jadi begitu mengalir karena seekor kelinci.
Banyak hal yang dapat kurasakan setelah adanya kulam ini. Pengembaraan batinku dapat kulalui melalui kegiatan – kegiatan di sini. Anak – anakku dapat bermain karena areal di pinggir kolam renang agak lapang.
Pernah aku bercerita dengan salah seorang temanku. Bercerita tentang kolam di belakang rumah. Tapi akhirnya berubah ceritanya, temanku itu lebih senang menceritakan istrinya. Istrinya yang egois. Semua keputusan harus istrinya yang menetapkan. Aku jadi lebih banyak diam. Padahal aku yang ingin bercerita panjang lebar tentang apa saja yang berhubungan dengan kolam itu.
"Isteriku…" katanya memulai. "Istriku orangnya penuh perhatian. Semua urusanku dan anak – anak tidak pernah luput dari perhatiannya. Cuma masalahnya dia tidak pernah menerima pendapatku tentang apa saja."
"Bagaimana dengan anak – anakmu?"
"Hampir sama kalau sulit aku untuk mengatakan berbeda."
"Kenapa? Kau lebih terkesan putus asa dibandingkan dengan kebanggaanmu kepada keluargamu?"
Dia bercerita panjang lebar. Sampai akhirnya ber5akhir dengan kebingunganku menatap kepergiannya karena hari yang mulai senja.
* * *
Embun turun. Udara berkabut. Terlihat masih samar – samar. Masih seperti biasanya. Burung terdengar menceracau. Ayam ribut, berkotek. Kelinci dan ikan masih dalam kegelisahannya. Bukan karena dingin, tapi Nuri yang tak bisa diajak kompromi. Di balik dedaunan cecak mengintip di balik dedaunan yang tumbuh di dinding. Saling berkejaran, berpagutan.
Kotek suara ayam membuat suasana semakin gaduh saja. Suaranya terdengar saling bersahutan. Melompat kesana kemari. Liar. Seolah – olah sedang melaksanakan aksi demonstrasi. Ada diantaranya hanya diam terduduk saja. Menunggu makanan.
Hujan lebat turun semalam. Dan sisa – sisa mendung masih menggumpal di langit. Matahari seakan enggan bersinar. Bunga – bunga mawar merah bermekaran menitik embun. Gemericik air jatuh satu – satu. Cecak yang tadinya saling berkejaran dan berpagutan tak terlihat lagi, tubuhnya telah menghilang dalam asbes.
Di kolam ikan gurami dan ikan mas gantian bekejaran. Saling mematuk. Lele kecil, sepat dan nila hanya bisa bersembunyi di balik bebatuan. Nuri masih menceracau. Ayam masih berkotek.
Biasanya setiap pagi tidak seperti itu. Suasana yang berlangsung secara terus – menerus berhari – hari sampai berbulan – bulan lamanya. Mulanya nuru lalu lele, kelinci dan sekarang ayam dan beberapa ekor ikan menambah suasana kolam.
Suasana riuh kembali muncul dan kali ini lebih luar biasa menyambutku membawa makanan. Untuk hewan – hewan peliharaan itu. Nuru terlihat melompat kesana – kemari. Kelinci itu mengibaskan ekornya yang putih. Ikan – ikan pun seperti tahu kedatanganku. Mereka muncul ke permukaan. Kutebarkan pelet di permukaan kolam. Mereka saling berebutan. Nuri berebut menikmati jagung – jagung muda. Ayam berebut cepat mematuk jagung dan beras. Kelinci lebih menikmati kangkungnya. Beberapa bagian dinding masih terlihat basah. Sepintas lalu penampilan terkesan sebagai pedagang daripada penulis, atau guru.
Sudah cukup lama kunikmati kegiatan ini. Terutama di saat – saat liburan kumanfaatkan untuk bersenang – senang sedikit dengan peliharaanku. Mulanya semua berlangsung biasa saja dan tulisan – tulisanku mengalir begitu saja. Tapi demi mencium bau yang tak sedap semuanya menjadi lain.
Kucari – cari sumber bau yang tercium. Kuperhatikan nuri tetap pada keributannya. Ayam tak mau kalah terutama si jago selalu berkokok. Kelinci biasa saja dengan kangkungnya, sesekali yang jantan menggoda si betina.
Matahari mulai meninggi. Awan yang menggumpal yang sempat menutup langit perlahan terbuka. Sinar matahari sudah mulai menembus menyentuh kulit bumi. Satu – persatu anggota keluarga yang lain mulai menjalankan aktivitas rutinnya. Ada yang menyapu. Ada yang mencabut rerumputan. Ada yang membersihkan setiap ruang dan lantai. Ada yang mencuci piring dari sisa sehabis makan semalam.
Demi mendengar kesibukan yang terkesan ribut itu, dua anakku yang masih kecil – kecil terbangun. Dengan langkah lucunya mereka mendekatiku. Setelah mengucek – ngucek matanya. Tidak lama setelahnya mereka sudah terlibat dalam permainannya sendiri. Tidak ada yang terlihat duduk dengan tenang.
Aku masih sibuk mencium sumber bau. Aromanya sudah mulai mengganggu anggota keluarga yang lain.
"Bau apa ini, Bang…?"
"Iih… auk…!"
semua telah gelisah. Semua heboh.
"Bau bangkai…!"
Aku hanya bisa diam. Terus mencium sumber bau yang sudah membusuk. Aku tak mau banyak bicara memang begitu kepribadian yang selalu menjadi ciri dan sifatku.
Semula aku menduga bau kandang ayam. Tapi setelah kuperiksa tidak ada tanda – tanda kematian. Ayam – ayam itu masih tetap bercengkarama sambil menikmati makanannya berupa dedak jagung dan beras. Kandang kelinci juga kuperiksa, sangkar burung juga. Semua yang kuperiksa tidak menunjukkan tanda – tanda adanya hawa kematian. Hanya bau kotoran hewan – hewan itu yang tercium.
Kuperiksa arah kolam, masih juga tidak terlihat. Dan kejenuhan mencari yang tak jelas mulai menggerogoti. Lantas aku lebih memilih menghirup baunya saja daripada mencari tak kunjung ada.
Kami sarapan beramai – ramai. Mulanya selera kami hampir hilang mencium aroma itu. Tapi karena perut sudah sangat lapar, maka rasa bau itu tidak kami gubris sama sekali. Hanya anak – anakku yang sedikit gelisah.
"Auk, Pa… auk…" si kecil Aini mendekat.
"Papa bauk kali…!"
Aku hanya menenangkan mereka sambil menyuruh supaya tetap terus makan. Kutunjuk ke arah tv agar bisa sambil nonton. Di TV terlihat seorang anak kecil yang berbentuk matahari sedang tersenyum kepada keempat boneka yang menjadi idola pada saat ini. Tingky Wingky, Dipsy, Lala dan Po. Boneka Teletubies yang saat ini sangat digemari anak – anak.
"Siap ini Tweenes, Pa." Rahmat, anak sulungku berujar.
"Hi… i… i…" suara Aini meniru bayi matahari yang sedang tertawa itu.
Udah cepat makannya sudah itu mandi, ya… !
Kedua anakku itu sudah larut dengan tontonannya sehingga begitu mendengar kata – kata istriku.
Matahari sudah mulai meninggi. Jaraknya sudah tepat di atas kepala. Semuanya kembali tenggelam dengan dirinya masing – masing. Si kecil lebih sibuk dengan pekerjaan dapurnya.
Aku sendiri masih terus merasa ragu dengan penciumanku. Dengan jaring penangkap ikan yang besar, aku memeriksa dasar kolam. Anggapanku mengatakan bahwa mungkin beberapa ekor ikan mati, dan lupa diangkat sehingga menimbulkan aroma yang tidak sedap. Mulanya aku tidak menemukan apa – apa di dasar kolam itu, tetapi begitu melihat ada sesuatu di dalam jaring penangkap ikan, aku mau muntah.
Aromanya ternyata berasal dari kolam. Ternyata ada hewan yang sudah mati membusuk di situ. Seekor kucing, kucing berbelang tiga. Kucing yang sempat aku merasa kehilangan untuk satu minggu ini. Terlihat bangkai kucing itu sudah menegang dan mengembung. Ssyup – sayup dari dalam kudengar ada yang muntah setelah kudengar dengan seksama ternyata istriku, dia tidak kuat mencium bau busuk apalagi demi melihat dari balik kaca nako ada bangkai kucing di dalam kolam.
Setelah kuangkat, tanpa pikir panjang lagi bangkai itu segera kubuang ke tanah kosong di belakang rumah.
"Kuras airnya, Bang" istriku berteriak dari dalam. "Ikan – ikannya buang juga. Sudah haram kita memakannya dia sudah makan bangkai. Iiiih… amit – amit jabang bayi."
Lagi – lagi aku diam. Ternyata kolam ini selain memberikan inspirasi juga menimbulkan masalah. Kolam yang sumber inspirasi jadi kolam penuh caci maki. Dan bagiku, cukuplah untuk ini.




Cerpen M. Raudah Jambak
Tukang Pundak
Lampu tiba – tiba padam. Suasana yang terasa bukan hanya gelap, tapi lebih dari mencekam. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk memang tak bisa tidur. Mereka terjaga. Menanti kejadian apa yang akan datang selanjutnya. Suasana sunyi masih terasa menyeramkan. Kampung gelap. Kampung sunyi. Kampung dingin. Hanya degup jantung yang semakin kencang saja yang terdengar.
Bukan hanya sekali ini saja kejadian seperti ini. Kejadian seperti ini sudah berlangsung berkali–kali, malah sudah mulai rutin. Ini bukan perkara pemilihan pemimpin. Bukan perkara yang sering kita dengar cukup menghebohkan di surat kabar. Seperti kasus Sampit, Aceh, Ambon dan kasus haus kekuasaanlainnya.
Bagi penduduk sebenarnya hal ini cukup mengherankan. Masalahnya kejadian seperti ini sudah pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Terjadi di salah satu daerah di Labuhan Batu. Ketika itu suasana yang masih rentan. Muncul pada masa jayanya golongan merah kiri.
Golongan merah kiri ini menghimpun kekuatan dari berbagai kalangan. Mulai dari anak–anak sekolah, SD kalau perlu, sampai ke tingkat yang tidak jelas. Mereka mempengaruhi rakyat dengan propaganda, rayuan, dan juga bujukan. Mereka terkenal sangat ganas dan kejam sehingga apapun akan mereka lakukan demi meluluskan segala keinginan mereka. Tapi sesuai dengan iringan zaman, waktu ternyata berubah. Golongan merah kiri kalah.
Kekalahan mereka membawa dampak negatif. Lawan–lawan politik mereka memunculkan isu–isu yang cukup meresahkan. Munculnya istilah "Dendam Lama". Jika selama golongan kiri berkuasa dan mereka melakukan tindakan yang semena–mena. Maka, sekarang para lawan politik yang disemena – menakan waktu itu, kini bertindak semena – mena pula terutama pada golongan merah kiri.
Dan dibentuklah satu kelompok aksi yang diberi nama Aksinger. Bertugas membersihkan para pengikut, simpatisan, para kroni dan semua yang terlibat golongan merah kiri, terlepas mereka bersalah, atau hanya ikut–ikutan, atau malah terjebak. Dan jika dijumpai, maka harus dibersihkan.
Persis seperti di kampung ini, lampu tiba–tiba padam, sebagai pertanda bakal ada yang menjadi korban dari golongan merah kiri. Mereka yang tertangkap dibawa dengan truk ke daerah Pinang Lambong. Dan setelah itu mereka akan ditanyai satu persatu oleh Aksinger. Dan esok paginya rakyat akan berteriak. "Rakit… rakit… rakit… hanyut…"
Beberapa dari penduduk akan segera berlari ke arah sungai untuk melihat kejadian secara langsung. Setelah terlihat, maka akan tampak tubuh beberapa orang yang dijadikan rakit, diikat. Mereka bergelayutan tanpa nyawa, dan tanpa kepala di aliran sungai. Bau amis darah sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk di kampung itu. Dan hal itu tidak hanya berlangsung di Pinang Lombang. Tapi juga di Aek Nabara dan Aek Toa.
Pak Norta selalu menyaksikan kejadian seperti itu. Rumahnya tidak begitu jauh dari sungai dan memang Pak Norta juga satu dari sekian banyak saksi sejarah.
"Ampun Bang. Jangan dipukul Bapak kami, ya," Norta kecil meminta belas kasihan Kepala Aksinger yang hendak menangkap Haji Odah.
"Tidak, Bu. Justru kami ingin mengamankan Bapak. Mereka pasti menghabisi bapak.
"Tolonglah, Nak Nema. Kasihan Bapak. Kamu kan murid Bapak … ?
"Ya, Bang. Bapak sebenarnya tidak terlibat. Dia terjebak …" Aminah kakak Norta, mengharap.
"Bu, kalau kami yang membawa Bapak. Bapak akan aman–aman saja. Tapi kalau bukan kami yang membawa, kami tidak berani jamin."
Uraian dan deraian air mata anak beranak itu sungguh menyanyat. Morta kecil yang paling sedih. Walaupun sebetulnya dia tidak tahu apa–apa. Dia hanya bisa merasakan, akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Tapi karena tidak tahu harus lari kemana terpaksa dipaksakan juga sembunyi disekitar sawah. Berkubang dirimbunan daun – daun padi.
"Bu, ada dua puluh orang daftar orang yang dicari oleh Aksiner. Dan kebetulan Bapak masuk dalam salah satu daftar orang yang dicari. Nah. Maksud kami ingin menyelamatkan bapak supaya tidak jatuh ke tangan para Aksiner merah yang dikenal tanpa konpromi. Beritahu kami, Bu. Dimana Bapak ?"
Masih suara isak istri Haji Odah menyayat. Dia tidak menginginkan ini. Dia hanya teringat ketika beberapa orang datang kerumahnya membawa kertas yang harus ditandatangani Bapak. Dia mendengar sayup–sayup, orang–orang ini menawarkan Bapak masuk organisasi yang menjual nama agama. Bapak sebagai seorang haji menyanggupi permintaan ini. Tapi, entah mengapa kok Bapak malah dituduh orang yang tidak berTuhan? Masuk organisasi yang tidak berTuhan. Dan saat ini organisasi tersebut sudah terlarang?
"Bu, kami akan membawa Bapak ke tempat kami. Dan kami akan menyembunyikan Bapak. Kami melakukan ini, karena kami ingat jasa – jasa Bapak yang telah memberi kami ilmu pengetahuan. Bapak yang telah menjadi guru kami. Dan inilah kesempatan kami untuk membalasnya."
Istri Haji Odah terpikir. Dia ragu. Tapi akhirnya yakin. Pelan–pelan ia menghapus air matanya. Lalu mengangkat tangannya, mengarahkan jari telunjuknya ke suatu tempat.
"Bapak di sana. Di tengah pematang sawah…"
"Terima kasih, Bu. Yakinlah kami akan menyelamatkan Bapak…"
Suasana hening. Suasana tidak seperti ada perasaan yang sedang bergolak. Keprihatinan demi keprihatinan muncul ke permukaan. Dalam batin sebenarnya ada keraguan. Hati lebih menginginkan suami tercinta selamat dan sehat. Tapi yang diharapkan adalah murid dari suami. Ada warna kejujuran di mata mereka, tetapi ternyata keraguan lebih benar. Ingin rasanya melepaskan diri dari beban masalah yang sebenarnya tidak diharapkan.
Dia teringat dengan suami adiknya. Tarsih. Suaminya ketika itu tidak sempat melarikan diri. Dia terjebak. Dan pada saat itu menurut pengakuan Tarsih, yang menjemput suaminya justru mengaku untuk menyelamatkan suaminya. Dan dia percaya suaminya percaya, anak – anaknya juga percaya. Lalu dibawalah suami Tarsih dengan penuh harap keluarga. Apa lacur, keesokan harinya Tarsih pingsan, karena daftar suaminya masuk sebagai orang yang ditembak mati kemarin malam. Kepala terpisah dai badan setelah selesai melakukan kewajibannya kepada Tuhan.
Istri Haji Odah memilih untuk percaya. Lalu ditunjuknya tempat persembunyian suaminya. Pasukan Aksinger segera menuju ke lokasi. Dipimpin oleh Nema, bekas murid Haji Odah, mereka melalui rumah belakang, kemudian menaiki tapak–tapak pematang sawah. Melihat ke arah dangau. Tidak ada. Dicari di sebelahnya juga tidak ditemukan. Lalu di tempat irigasi juga tidak ada.
"Hei, kemari. Orangnya ada disini !"
Pasukan segera bergerak. Beberapa orang mengacungkan senjata. Nema menyuruh menurunkan senjata. Haji Odah terlihat ketakutan bersembunyi di balik rumputan dan daun – daun padi.
"Ampun, Ma. Jangan pukul Bapak."
"Tidak, Pak. Saya hanya ingin menolong Bapak."
"Ya, ampun. Kasihan adik – adikmu."
Nema memberi penjelasan yang akhirnya dapat dijelaskan langsung. Dan Haji Odah mau menerima. Haji Odah dibawa, berpeluk–pelukan dengan anak istrinya kemudian naik ke truk. Di dalam truk Nema mengawasi Haji Odah, mengajaknya untuk berbicara. Diperlakukan selayaknya orang istimewa. Dalam pembicaraan itu, Nema kembali meyakinkan Haji Odah, dan sekali lagi Haji Odah percaya. Dan pembicaraannya yang akrabpun terbina.
Sesungguhnya Nema memang hendak menolong Haji Odah. Tidak ada maksudnya untuk mencelakakan guru yang sangat dikaguminya. Kekhawatirannya hanya jika Haji Odah jatuh ke tangan Aksinger merah, yang menghabisi korbannya di tempat tanpa sempat di tanya. Dan keyakinannya setelah mendengar instruksi dari komando utama agar mengamankan dua puluh orang dalam daftar cari.
Tapi, Nema sangat marah. Nema menelan kemarahannya dalam hati. Dia merasa bersalah karena salah menafsirkan kata "pengamankan" dari komandannya. Nema merasa malu. Tidak bisa menyembunyikan wajahnya sendiri. Bagaimana perasaannya jika bertemu dengan keluarga Haji Odah, terutama Morta yang ketika itu menjerit, menangis supaya ayahnya diselamatkan.
Haji Odah ketika itu dibawa ke kantor, dan tanpa ditanya kepalanya ditutup dengan kain hitam. Nema ingin bertanya, tapi komandan utama yang langsung bertindak, dia terpaksa diam. Dengan kasar Haji Odah dibawa ke belakang rumah, direbahkan di tempat pembantaian. Dan Sodis sudah berada di sana sebagai tukang pundak… Bless…
Pak Morta ingat semua itu. Ingat Nema, terutama Sodis. Ingatannya yang kuat kepada Sodis karena Sodis si tukang tundak telah menjadi Bupati. Dan ingatannya makin kuat setelah kejadian yang sama mulai lagi sejak kepemimpinan Sodis. Pak Morta tahu betul tentang Sodis, tapi yang mengherankan kenapa Sodis si tukang tundak menjadi Bupati? Sekolahnya sampai sekarang tidak jelas. Dan Pak Morta mengetahui itu. Pembantaian–pembantaian selalu terjadi, layaknya yang dibantai itu bukan manusia. Layaknya seperti membuat roti.
Pak Morta pernah menyaksikan di TV bagaimana Sodis sang Bupati menyayangkan tindakan–tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Dan mengingatkan rakyat agar berhati – hati dengan segala tindakan provokasi. Pak Morta bingung. Satu sisi ia sangat bersyukur yang terdalam. Dengan kata lain mereka telah bertobat.
Masalahnya bagaimana kenyataannya? Dan Pak Morta masih ingat ketika itu temannya si Mogit, tertangkap. Ia diketahui sebagai anggota kelompok golongan Merah Kiri. Ia ditanyai tentang keberadaan pemimpinnya. Mogit yang ketika itu berumur 13 tahun, sesuai dengan umurnya yang angka sial Mogit rupanya juga bernasib sial. Setelah lewat penyiksaan – penyiksaan, dia memberitahukan tempat keberadaan pemimpinnya.
Pasukan Aksinger segera bertindak. Bersama Mogit mereka menuju lokasi. Begitu sampai, yang dicari ternyata tidak dijumpai. Mogit lantas disiksa kembali. Kali ini Mogit memberitahukan lokasi lain. Tempat kedua mereka biasa melakukan pertemuan–pertemuan rahasia. Pasukan lalu bergerak, membawa Mogit yang sudah sulit bergerak. Tiba di lokasi, Mogit disiksa kembali, karena yang dicari tidak kembali.
Mogit akhirnya disiksa berkali–kali, setelah ia menunjukkan lokasi yang tidak pasti kepada pasukan Aksinger. Dengan sadis Mogit disiksa, kemudian disiapkan untuk kubang pembantaiannya. Mata Mogit bengkak dan sulit terbuka, kakinya kaku dan sulit bergerak. Mogit dicampakkan ke lobang. Di lobang Mogit masih terlihat bergerak gerak. Pasukan Aksinger mengangkat Mogit kembali, dia ditelanjangi. Pelirnya dihantam dengan palu, seketika darah muncrat di mana–mana. Akhirnya Mogit pun terkapar tanpa nyawa.
Pak Morta mengingat itu semua. Dia kenal dengan peristiwa Mogit. Dan ia masih ingat Sodis melakukan semua waktu itu.
Lampu–lampu tiba–tiba padam. Suasana yang terasa seram sudah tidak terasa apa–apa. Kejadian itu telah biasa. Pembantaian di mana–mana sudah menu utama berbagai sumber berita. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk kini tidur nyenyak. Mereka bermimpi tentang bunga dan matahari pagi. Sudah mengetahui akan apa yang sedang terjadi. Hanya mulut mereka saja yang terkunci. Suasana sunyi, tapi di dalamnya ada api. Menerangi kampung–kampung sunyi. Degup jantung sudah biasa menari lagi.
Kejadian ini mungkin kejadian yang terakhir. Walaupun kejadian ini sudah berlangsung beratus–ratus kali. Dan ini titik akhirnya. Ini adalah perkara keadilan bukan dendam. Ini perkara kebenaran bukan kebohongan–kebohongan. Tidak menyangkut masalah korupsi, kolusi apalagi nepotisme. Bukan lagi percobaan perebutan kekuasaan. Tapi semata–mata menegakkan kebenaran.
Akhirnya, matahari telah bersinar kembali. Kejadian semalam juga bukan lagi kejadian menakutkan. Justru kejadian semalam adalah kejadian yang dinanti – nantikan. Koran dan media massa lainnya telah mengabarkan kejadian dan berita kebenaran walau lebih banyak yang ditambah–tambahkan. Dengan judul di halaman utama, Dead linenya. Tertulis dengan huruf–huruf besar dan kapital. Semua orang, semua senang, termasuk Nema, apalagi Morta yang membaca berita harian di Jakarta. Terpampang di sana gambar –gambar sebelumnya tentang sejarah yang hampir dilupakan dengan tulisan besar–besar :
"BUPATI SODIS MATI MENGENASKAN DENGAN KEPALA BERPISAH DARI BADAN."










Cerpen M. Raudah Jambak
Tiga Datuk
Lama aku terpaku mendengar cerita Pak Sutan. Pertemuan kami sebenarnya bukan pertemuan yang disengaja. Di sebuah kedai kopi. Waktu itu aku sedang asyiknya membaca berita tentang pergolakan yang terjadi di Aceh. Tentang berita GAM. Beritanya sudah sangat memuncak. Berita – berita seperti itu yang selalu kubaca. Memang banyak berita yang lebih dahsyat tentang negara ini. Tentang Gur Dur maupun lawan – lawan politiknya. Tapi, hal itu justru berita biasa. Berita basi. Tentang oknum – oknum yang sedang bermain presiden – presidenan. Belajar jadi menteri – menterian, atau berlagak jadi pejabat – pejabatan.
"Ah, basi…" desisku.
"Apa yang basi?" ujar Pak Sutan tiba – tiba. Rupanya Pak Sutan sudah sedari tadi duduk tepat di depanku, tanpa kusadari.
"Oh, Pak Sutan. Sudah lama, Pak?"
"Dari tadi. Kau saja yang tidak kontrol," Pak Sutan tersenyum. "Apanya yang basi?"
Kembali aku terdiam. Kupandangi kembali koran yang baru saja kubaca. Memandang judul berita di halaman satu yang ditulis huruf tebal besar – besaran.
"Lho, ditanya apa yang basi malah diam…"
Aku tak berani menjawab. Aku kenal betul dengan Pak Sutan. Karakternya agak keras. Orangnya sangat berani. Terlalu berani malah, kalau boleh kukatakan. Pak Sutan sangat bersemangat jika diajak berbicara masalah apa saja, terutama masalah politik. Dan hampir semua masalah dikuasainya. Mungkin sesuai dengan umurnya yang sekitar lima puluhan.
Dan ketakutan ketika berbicara tentang masalah politik dengan Pak Sutan, yaitu keberanian mengungkapkan pokok persoalan dengan panjang lebar dan detail. Tidak perduli orang akan melakukan "sesuatu" padanya. Walau kita ketahui era kepresidenan sekarang tidak seperti sebelumnya, tetapi sisa – sisa kekhawatiran itukan masih ada. Era sekarang era berani buka suara selebar – lebarnya, akhirnya kebablasan. Sedangkan era sebelumnya, era mengunci mulut serapat – rapatnya. Alias berbisikpun dilarang. Era serba keterlaluan.
Bagiku pribadi Pak Sutan adalah tokoh yang cukup kukagumi. Aku banyak belajar dari caranya mengungkapkan pandangan – pandangan tentang apa saja. Mudah memunculkan pokok pembicaraan, dan mudah pula menyimpulkan jalan keluarnya. Satu dari sekian orang hebat di mataku.
Bagi kami yang sudah cukup mengenalnya, Pak Sutan ini adalah sosok yang familiar dan kebapakan. Tapi bagi yang baru saja mengenalnya, Pak Sutan sosok yang misterius dan angker. Terkesan kejam.
"Hei, apanya yang basi!"
Suara Pak Sutan mulai terdengar keras. Aku ragu, sebenarnya hal ini tak perlu kusampaikan kepada Pak Sutan. Takut Pak Sutan akan melebarkannya.
"Ini, ini Pak. Berita basi…" kusodorkan koran yang kubaca dengan judul yang besar dan tebal. Penuh keraguan.
Pak Sutan mengsmbil koran yang kuberikan. Dilihatnya sebentar. Hanya sebentar dia melihat. Selebihnya membolak – balik kertas koran itu.
"Betul. Berita basi…!"
Aku terkejut. Biasanya Pak Sutan selalu merespon setiap pokok persoalan. Apalagi ini, persoalan politik. Wah, aku terheran – heran. Perubahan besar bagi Pak Sutan. Aku jadi penasaran. Aku ingin memancing, apakah Pak Sutan sudah benar – benar tidak berminat lagi dengan masalah politik.
"Ini, ini basi tidak, Pak?!" tanyaku menyelidik sambil menunjukkan berita yang lain.
"Hampir sama."
"Apanya yang hampir sama, Pak?"
Pak Sutan agaknya mulai terpancing. Pembicaraannya melebar. Tapi aku senang. Mulai dari Ambon, Sampit, sampai Aceh. Bagiku uraian Pak Sutan ini sangat berguna dan penuh wawasan. Bagi Pak Sutan, Indonesia sedang sakit. Perawatan intensif yang harus dilakukan. Bukan pengeksploitasian yang berlebihan. Indonesia menurut Pak Sutan sedang digerogoti virus – virus dan bibit - bibit penyakit yang berusaha menyerang nadi maupun jantung kekuasaan.
"Kita tidak seperti perjuangan para pahlawan dulu." Pak Sutan mulai bercerita.
"Pahlawan kita tidak pernah pamrih dan meminta balas jasa. Kita sebenarnya harus memperluas wawasan dan cakrawala berpikir kita. Dengan cara mendidik generasi – generasi penerus bangsa. Ini tidak, sesama kita berkelahi, berbenuhan lagi."
"Menurut Bapak, pergolakan Aceh bagaimana?"
"Ini satu persoalan juga. Tapi sebaiknya kita jangan kebablasan membawa nama rakyat. Tetapi di lapangan rakyat justru dijadikan tumbal. Makanya, saya pribadi tidak begitu simpati dengan aksi – aksi yang dilakukan para revolusioner sekarang." Pak Sutan menarik nafas. "Dulu di Sumatera ini. Di tanah Deli ini. Ada tiga orang Datuj yang berjuang tanpa pamrih. Datuk Sunggak, Datuk kecik, dan Datuk Sulung."
Aku terkejut. Sampai menjadi guru seperti ini, aku justru tidak mengenal tiga datuk yang disebutkan Pak Sutan. Menurut Pak Sutan, dalam mempertahankan Tanah Deli ini dari Belanda, ketiga datuk ini mempertahankannya selama lebih kurang dua puluh lima tahun. Tidak sebanding dengan Aceh yang lebih kurang hanya lima tahun.
Perjuangan datuk ini dimulai oleh Datuk Sunggal. Lalu diteruskan oleh Datuk Kecik dan selanjutnya Datuk Sulung. Berjuang turun – temurun. Dan ketiganya sampai di buang ke Cilacap.
"Nah, ketiga datuk ini berjuang tanpa pamrih." Pak sutan meneruskan. "Mereka berjuang demi mempertahankan harga diri tanpa pamrih."
"Tapi Pak, kenapa tidak masuk ke dalam sejarah…?
"Itu satu hal yang membuat saya lebih bangga. Dan mereka selalu dikenang oleh orang – orang yang betul – betul mengenal sejarah. Yang paling akhir berjuang yaitu keturunan mereka yang sempat bergabung di PETA dengan pangkat Mayor."
"Kalau Kesultanan Deli yang sekarang bagaimana, Pak?"
"Saran saya, pelajarilah! Biar kau tahu sajarah…"
Pembicaraan selesai. Pak Sutan akhirnya meninggalkan aku dalam keadaan termenung. Pembicaraan dengan Pak Sutan membuat aku terpikir. Begitu konflik persoalan yang dialami negeri ini. Seperti yang diistilahkan Pak Sutan. Negeri ini sedang sakit.
Pernah aku membaca tentang Hang Tuah dan Hang Jebat. Persoalannya lain lagi. Kita dibingungkan dengan persoalan mana yang pahlawan dan mana yang pengkhianat.
Persoalan seperti ini semakin membuatku ngeri. Aku yang seorang guru justru tidak pernah mendengar cerita dan sejarah seperti ini dari guru – guruku sebelumnya. Atau dari bacaan – bacaan yang pernah kubaca.
Kepalaku mendadak pening. Berpikir mengenai Malin Kundang atau Sampuraga. Berpikir tentang Siti Nurbaya atau Sabai Nan Aluih. Berpikir tentang Tan Malaka atau Soekarno. Ahmad Yani Atau Soeharto. Amien Rais atau Gus Dur. Persoalan kebohongan yang selalu disuapi oleh oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab kepada masyarakat awam, sebagai anak – anak bangsa.
Aku mau muntah. Dan kurasakan sepertinya aku sudah berada di tempat tidur. Samar – samar kulihat orang sedang mengerumuni aku. Samar – samar kulihat orang – orang sedang kasak – kusuk melihatku. Dan tiba – tiba suasana gelap.
"Bangun! Mau mati apa?" Kusarakan ada seseorang yang memaksaku banguin. Pelan – pelan kubuka mataku. Samar – samar kulihat orang – orang sedang memandangiku. Kurasakan tubuhku dalam keadaan basah kuyup.
"Kau mata – mata, ya1"
Belum sempat aku menjawab, tiba – tiba beberapa orang diantara mereka mengangkatku dan mendorongku untuk berjalan. Aku melangkah gontai. Kurasakan tubuhku sangat lemah. Persendianku seakan – akan mau lepas. Mataku ditutup senapan. Banyak suara orang – orang dengan sayup – sayup dentuman bom. Tembakan – tembakan senapan. Banyak suara orang – orang yang berteriak. Aku hanya berpikir mungkin sudah pecah perang dalam upaya perebutan kekuasaan. Akhirnya masing – masing pihak tidak ada yangt mau mengalah, batinku.
"Dudukkan dia!" suara orang kudengar memberi perintah," Jangan lupa, buka ikatan matanya!"
"Baik, Datuk…"
Ikatan penutup mataku perlahan – lahan dibuka setelah sebelumnya aku didudukkan pada sebuah temtat duduk yang cukup aneh bagiku. Kupandangi sekitarku. Dihadapanku terlihat duduk dengan gagah seorang laki – laki yang sudah cukup tua. Penampilannya persis seperti datuk – datuk. Di kiri kanannya yang sedikit lebih muda dari laki – laki yang sedang terduduk. Penampilannya juga seperti datuk – datuk.
"Kau ingin memata – matai kami, Anak muda?" Datuk yang pertama bertanya.
"Kau mau jadi penjilat rupanya, ya?" Datuk kedua juga ikut bicara.
"Bilang sama majikanmu mereka tidak akan mungkin menang…" Datuk ketiga tidak tinggal diam.
Aku tertunduk. Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka tanyakan. Aku jadi merasa asing. Aku tidak mengenal orang – orang yang mengelilingiku saat ini. Aku tidak mengenal tiga lelaki tua yang berlomba menanyaiku ini.
"Jawab…!" teriak mereka serentak.
"Aku…aku… tidak tahu!"
"Tidak tahu apa?"
"Tidak tahu apa yang harus kujawab?"
"Katakan saja, bahwa kau mata – mata!"
"Mata mata? Mata – mata siapa? Aku tidak pernah ikut partai politik. Aku hanya guru. Aku Cuma tahu, aku ini mengajar. Jadi, aku bukan – bukan mata – mata.
Semua terdiam. Ada sedikit keraguan di benak mereka. Terutama yang paling tua.
"Benarkah kau ini guru, Tuan Guru?"
"Benar. Aku guru bahasa Indonesia. Bukan mata – mata seperti yang kalian tuduhkan!"
"Eh, Indonesia? Dusun daerah manapula itu?"
"Anu…" Aku bingung, sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Aku merasakan aku tidak berada di lingkungan yang semestinya. "Indonesia itu negara kita, kita sekarang."
"Maaf, Tuan Guru. Kami sangat patuh dengan semua tuan – tuan guru. Tapi tolong, jangan coba – coba mengelabui kami. Saat ini kita sedang sibuk melawah penjajah Belanda. Jadi, janganlah menipu kami."
"Melawan Belanda?"
"Ya…"
"Kalian serius?"
"Tuan Guru jangan membingungkan kami!"
"Kalian serius?"
"Tuan Guru yang harus serius!"
Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita tentang Pak Sutan. Tentang negara Indonesia yang sedang dilanda krisis moneter. Tentang Aceh, Ambon Sampit, dan sebagainya. Dan mungkin juga tentang peristiwa yang menimpaku saat ini.
"Kami tidak mengerti yang Tuan Guru ceritakan. Kami kenal Samudra Pasai, Pagaruyung, atau juga Mataram."
"Lalu bagaimana dengan kalian? Aku tidak kenal siapa kalian?"
"Wah, seluruh negeri ini sangat mengenal kami. Terutama bangsa Belanda. Kami adalah tiga Datuk. Datuk Sunggal, Datuk Kecik, dan Datuk Sulung."
"Kalian jangan coba – coba mengelabui aku. Kalian serius?"
Datuk Sunggal segera bercerita. Aku hanya mendengar heran dan takjub. Dua Datuk juga bernasib sama dengan aku. Terbawa arus waktu. Bercerita tentang perlawanan mereka dengan Belanda.
"Tapi mengapa di generasi kami kalian tidak dikenal?"
"Secara pribadi kami sangat menyayangkan. Tapi kami lebih memikirkan perjuangan kami. Biarlah kami tidak dikenal asal perjuangan kami berhasil."
Pembicaraan akhirnya melebar. Tiga datuk itu lebih tertarik mendengar perkembangan zaman setelahnya. Bahwa Belanda akhirnya berhasil di usir dari bumi Deli. Bahwa perjuangan yang mereka lakukan tidak sia – sia. Dan ternyata itu memicu mereka untuk lebih semangat berjuang. Singkatnya aku jadi penasehat mereka dalam beberapa pertempuran.
Berbagai kemenangan demi kemenangan mereka capai. Untungnya aku pernah juga membaca buku strategi perang Cina. Perjuangan pahlawan – pahlawan terdahulu yang berhasil mengalahkan lawan – lawan mereka. Dan itu membuat penasaran para jenderal Belanda. Setiap gempuran – gempuran yang mereka lakukan selalu gagal.
"Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… serbu…!
"Akhirnya kemenangan demi kemenangan kita peroleh. Tapi kita belum berhasil mengusir Belanda dari sini."
"Menurut sejarah yang kubaca. Dan informasi Pak Sutan, kalian hanya bisa mengalahkan Belanda. Dan itu hanya sementara saja. Karena di antara kalian sendiri ada pengkhianat dan aku tak tahu siapa. Kalian pun akan diungsikan oleh Belanda suatu ketika ke Cilacap."
"Ini adalah tanah kami. Bukan milik Belanda. Silahkan tanah kami dijual kepada siapa saja, tapi jangan kepada Belanda."
Aku terdiam. Aku berpikir ini adalah kesempatan untuk meluruskan sejarah. Hatiku sempat panas mendengar cerita Pak Sutan. Panas mendengar bahwa perjuangan Datuk Sunggal, Datuk Kecik, dan Datuk Sulung tidak tercatat dalam sejarah. Sejarah perjuangan bangsa. Dan ketiga datuk inipun tidak terdftar sebagai pahlawan bangsa, padahal mereka berjuang lebih lama dalam mempertahankan tanah negerinya dan harga diri.
Pak Sutan juga pernah mengatakan bahwa perjuangan mereka, merupakan perjuangan yang seharusnya sebagai contoh teladan bagi generasi – generasi sesudahnya. Jangan sampai terjadi kesimpang – siuran informasi sejarah.
"Bom…!"
Tiba – tiba Belanda menyerang pertahanan ketiga datuk dengan gencar. Tidak lama kemudian terjadi pertempuran. Aku berusaha mencari perlindungan. Pihak Belanda menyerang dengan gencar. Aku masih tetap mencari perlindungan. Aku tidak ingin mati di masa lampau. Lagipula, aku masih ingin memusatkan perhatian untuk membimbing siswa – siswaku agar mereka mau mempelajari sejarah mereka. Mau mengambil nilai – nilai positif dari sejarah – sejarah perjuangan para pahlawan.
Dari pihak datuk, korban sudah banyak berjatuhan. Aku masih terus berlari. Tiba – tiba kakiku tersandung sesuatu. Aku jatuh terjerembab. Kepalaku tepat mendarat di batang sebuah pohon. Sayup – sayup ketiga datuk itu memanggil namaku."
"Tuan Guru…"
Aku tidak bisa bergerak.
"Tuan Guru. Sampaikan perjuangan kami…"
Aku tidak bisa bergerak.
"Pak…" sebuah tangan menyentuh pundakku.
"Pak…" Kudengar suara itu tidak begitu asing. "Bapak ngantuk, ya?"
"Terimakasih, Din." Anak itu segera berlari. Aku segera membaca pesan dari Pak Sutan. Awalnya mungkin aku berpikir ada sesuatu yang cukup serius yang perlu disampaikan. Walaupun perutku terasa janggal. Kenapa dia tidak membangunkan aku. Justru dia malah pergi. Ada empat lipatan di kertas itu. Satu persatu kubaca. Hatiku merasa tidak enak juga.
Mungkin pesan ini cukup panjang, pikirku. Pesan tentang perjuangan. Pesan tentang pengajaran. Pesan tentang pengendalian diri. Dan masih banyak pesan – pesan kemanusiaan yang ingin disampaikan. Pesan pengulangan dan sebagainya. Tapi, setelah kubaca, aku cuma bisa tertawa. Pak Sutan hanya menuliskan satu kata saja, diketahui oleh tiga Datuk. Di sana tertulis kata : "M E R D E K A !" dari Datuk nan bertiga.




















Cerpen M. Raudah Jambak
Anak Langit
Deru knalpot mobil dan sepeda beradu kuat, beradu cepat. Pagi – pagi sekali manusia sudah berjejal – jejal memenuhi pojok – pojok kehidupan. Ada yang ke sawah, ada yang ke kantor, ke pabrik, ke pusat – pusat perbelanjaan, dan dimana saja. Manusia sudah sangat sibuk dengan kesibukannya mencari sesuap nasi yang makin lama makin tidak sesuap lagi. Malah menjurus kepada kerakusan dan ketamakan.
Di pusat – pusat perbelanjaan penjual sudah mulai sibuk dengan para pembelinya. Di kantor, pimpinan sudah mulai sibuk bersama bawahannya. Di sekolah, para guru mulai sibuk mengurusi murid – muridnya. Yang namanya manusia tetaplah manusia, jika sesekali bersikap seperti hewan sudah dianggap biasa. Hal itu selalu menjadi pembicaraan yang hangat. Jika ada yang bertindak sebagai malaikat atau pahlawan justru dianggap aneh dan ganjil?
Bumi yang dulunya masih segar dan murni, kini sudah dipenuhi manusia – manusia yang bertopeng. Bersembunyi dibalik pakaian kebaikan. Di jalan raya, misalnya polisi yang dianggap memiliki tugas mulia mengatur jalan raya telah dicemari oleh oknum oknum tidak bertanggung jawab yang mengakibatkan rusaknya Departemen Kepolisian. Dan guru yang dianggap pahlawan tanpa tanda jasa menjadi tercoreng diakibatkan oknum yang bertindak susila terhadap anak – anak didik mereka, masih sangat banyak lagi yang lain.
Berkat kesibukan manusia sampai – sampai mereka tidak mengenal lagi yang namanya nilai – nilai kemanusiaan. Banyak anak – anak yang ditelantarkan. Tidak diperhatikan pendidikannya, kehidupannya dan segala sisi kepentingan anak – anak itu sendiri. Seperti yang terlihat di setiap persimpangan jalan. Anak – anak yang sudah kehilangan masa kanak – kanaknya. Anak – anak yang sudah kehilangan kreativitasnya.
"Permisi Bang Supir!", seorang anak berdiri di depan pintu angkutan umum. Tidak berapa lama terlihat dia telah bernyanyi dengan peralatan musik sederhana.
Setiap hidup lampu merah beberapa orang anak berebutan mencapai mobil – mobil angkutan. Dengan kemampuan seadanya, mereka lalu bernyanyi dengan lagu yang hampir bersamaan. Lagu yang sama. Alat musik yang sama. Cara memainkan musik yang sama. Setiap anak selalu menampilkan sesuatu yang tidak terlalu berbeda jauh. Dan aku selalu memperhatikan hal – hal seperti itu.
Sebagai seorang penulis. Penulis berita ataupun penulis cerita, hal – hal seperti itu selalu menarik perhatianku. Kadang – kadang perasaanku terhadap anak – anak di setiap persimpangan jalan selalu kukaitkan dengan keberadaan Undang – Undang. Aku selalu tergelitik apakah hukum selalu identik dengan kebenaran? Salahkah Undang – Undang atau manusianya yang salah?
Perasaan – perasaan yang menggelitik seperti itu selalu menghantui perasaanku. Satu petikan dari Undang – Undang pernah kubaca, bahwa fakir miskin dan anak – anak teerlantar dipelihara oleh negara. Setelah melihat kenyataan, akhirnya aku hanya mengucapkan jalan pintas, aku yang salah baca.
Aku jadi sangat turun di persimpangan, jika menaiki mobil angkutan umum. Aku lalu mengamati anak – anak yang berebutan hendak mencapai mobil angkutan umum. Setelah berjam – jam kemudian baru tempat itu kutinggalkan. Dan besoknya tulisan di surat kabar tempat aku bekerja memuat tentang anak – anak di persimpangan jalan ini.
Aku juga sering memperhatikan anak – ank itu tidak semuanya anak – anak. Di tempat biasa mereka mangkal, kadang – kadang selalu ada orang dewasa. Bukan orang cacat sesama pengemis, tetapi orang – orang dewasa yang sehat.
Semula aku berfikir, bahwa mereka adalah orang tua dari anak – anak itu. Tetapi demi melihat perangai yang mereka tunjukkan kepada anak – anak itu, aku jadi ragu tentang keberadaan mereka. Keberadaan anak – anak yang ada digenggaman mereka. Dan keberadaan mereka sendiri.
Aku pernah melihat anak yang dipukul begitu saja dengan kesalahan yang sebenarnya tidak begitu berat. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh anak itu.
"Kalau berusaha itu yang becus!", bentak mereka.
"Tidak ada yang memberi receh, Bang".
"Jadi kau lebih suka tidak dikasih makan?" seorang lelaki kurus, hitam dan dekil menghardik. "Sudah malam ini kau tidak dapat makan".
Anak itu terdiam. Perlakuan seperti itu sepertinya sudah sering diterimhanya. Dan dia terlihat bias – biasa saja.
"Dadik, jangan lupa kalau mau makan, setoran yang banyak!".
Anak itu terdiam. Dia mengangguk pelan. Memandang laju kendaraan yang semakin cepat. Debu yang mengepul. Asap yang mengepul dan kemunafikan yang mengepul. Dadik, lelaki kecil itu hanya memandang takut ke arah lelaki kurus, hitam dan dekil yang kemudian menghilan di tekongan sebelah kanan.
Aku hanya memandang anak itu dari bawah sebuah pohon seri di pinggir jalan raya. Mungkin dalam benak Dadik perlakuan yang diterimanya tidak dirasakan begitu adil. Pandangannya masih menembus batas kecepatan mobil angkutan yang akhirnya berhenti di bawah kekuasaan lampu merah. Dadik tidak beranjak. Dia hanya melihat beberapa orang anak laki – laki dan perempuan yang sebaya dengannya berlari ke arah angkutan yang berhenti. Dia kemudian hanya melangkah pelan seolah – olah enggan setelah terngiang perkataan laki – laki kurus itu.
Tapi begitu sampai ternyata lampu telah berganti. Dadik lagi – lagi tidak mendapatkan apa – apa. Dia kembali ke tempat duduknya semula. Hangat terik matahari tidak dirasakannya. Padahal matahari tepat di atas kepala. Beberapa anak laki – laki dan perempuan sebayanya terlihat berlari – larian dan berkejaran. Beberapa diantaranya sedang asyik menghirup bekas kaleng lem banteng.
Aku merasa iba hati melihat Dadik, seperti ada beban yang sangat berat menguasai benaknya. Perlahan kulangkahkan kaki mendekati Dadik. Kuserahkan beberapa lembar uang ribuan. Kuletakkan ke dalam kalengnya. Perlahan Dadik memandangku. Lalu dengan perlahan pula dia mengambil lima lembar uang ribuan itu dan menyerahkannya kepadaku.
"Maaf, Bang. Nanti saya dimarahi". Dadik kemudian menjulurkan tangannya. "Terimakasih, Bang".
"Kenapa kamu menolak pemberian Abang?"
"Aku hanya takut dimarahi".
"Abang yakin kamu punya alasan lain".
"Aku berusaha untuk membiasakan tidak meminta tanpa ada jasa yang kuberikan!"
"Lantas apa bedanya?"
"Dengan apa?"
"Dengan yang kau lakukan sekarang?"
"Aku menyanyikan lagu sambil mengingatkan penumpang agar hati – hati dengan penumpang bertopeng alias pencopet"/
"Kenapa kau mau seperti itu?" aku menarik nafas perlahan. "Melakukan hal – hal yang belum pantas kau lakukan?"
"Terpaksa, Bang".
"Terpaksa?"
"Ibuku sakit – sakitan. Dia tidak bisa lagi mengambil upah cucian".
"Ayah atau abangmu kan ada?"
"Aku anak tunggal, Bang. Ibuku sudah lama menjanda. Orang tuaku sudah lama bercerai. Abang lihat ibu – ibu yang menjual rokok itu? Yang selalu memakai topi lebar?" Dadik diam menunggu reaksiku. "Itu ibu tiriku. Ayahku yang duduk di pinggir jalan di seberang sana".
"Maaf. Yang kedua kakinya puntung itu?"
Ya, tetapi sebenarnya puntung – puntungan. Kakinya itu dilipat."
Aku tercenung. Banyak hal yang kupelajari dari cerita Dadik. Cerita anak kecil yang terlalu cepat mengembahn beban tanggung jawab orang tuanya. Seorang anak kecil yang sudah lupa bagaimana kegembiraan masa kanak – kanaknya. Seorang anak kecil yang terlalu cepat tenggelam dalam kebuasan nafsu dunia. Dan bukan hany Dadik, masih banyak anak – anak lain yang sebaya dengannya malah ada yang jauh lebih muda darinya.
Kadang aku terkejut ketika seorang anak perempuan berumur tiga tahun, menutup knalpot sebuah sepeda motor yang berhenti di persimpangan lampu merah. Lalu meraih asap knalpot kemudian menghirupnya dalam – dalam. Kemudian diulanginya terus sampai lampu merah berganti hijau.
Kembali aku ingat Undang – Undang, fakir miskin dan anak – anak terlantar ditanggung negara. Aku berfikir negara yang mana? Mungkin bukan Indonesia pikirku. Begitu banyak anak – anak diperlakukan tidak seperti anak – anak. Ada yang bekerja di pabrik – pabrik, pertambangan, dan yang lebih dahsyatnya lagi ada yang mendapatkan kejahatan seksual. Apakah pelecehan atau persetubuhan. Laki – laki maupun perempuan. Ada pula yang merekamnya di Video dan CD yang kemudian diperjual belikan sebagai bisnis.
Kerakusan manusia yang menganggap dirinya telah dewasa sudah melampaui ambamg batas. Banyak yang lebih mementingkan diri sendiri terutama jabatan daripada mementingkan kebebasan dan kemerdekaan anak – anak.
Dadik adalah contoh dari sekian banyak kejahatan terhadap anak – anak di Indonesia bahkan di dunia. Dadik adalah contoh dari kerakusan manusia yang merasa dirinya berkuasa dan memonopoli apa saja termasuk kemerdekaan anak – anak.
* * *
Azan maghrib membahana. Laju lalu lintas mobil mulai lengang. Lampu – lampu jalanan mulai dinyalakan. Anak – anak langit mulai kembali ke sarang setelah sebuah mobil pick up, becak mesin, dan becak barang mengangkut mereka ke "pesanggrahan". Tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang tertinggal. Hanya renyah tawa mereka yang tak punya beban yang tertinggal. Tertinggal bersama Dadik yang termenung sendiri.
"Kamu tidak sholat, Dadik?"
Dadik terkejut. Dia ragu untuk mengangguk. Dia terkejut melihat aku masih mengawasinya. Tapi Dadik seperti menemukan mutiara yang telah lama hilang. Menemukan air sejuk yang menghilangkan kekeringan masa kanaknya. Aut yang kurasakan. Aku beri penjelasan hati – hati agar Dadik mau kuangkat sebagai anak angkatku. Dan sepertinya Dadik tidak menolak setelah kukatakan aku akan membiayainya sekolah sampai ia berhasil mencapai cita – citanya. Merawat ibunya yang janda di masa tuanya. Dan mendirikan sebuah panti. Panti asuhan anak – anak langit. Lalu Undang – Undang itu…?
Torsibohi, 2001




Cerpen M. Raudah Jambak
Sahur di Tengah Makam
Beberapa hari belakangan ini jalanan mulai kelihatan sibuk. Sering terjadi kemacetan. Terutama di persimpangan-persimpangan jalan. Apalagi ketika jam-jam sibuk. Pagi, misalnya persis ketika anak-anak sekolah berangkat ke sekolah. Atau para pedagang maupun pegawai yang pergi menuju ke tempat tugasnya.
Selain itu, jam-jam sibuk ketika para pedagang, pegawai maupun anak-anak sekolah kembali dari tempat tugas atau tempat belajarnya. Pemandangan seperti itu acap sekali terlihat. Terkadang ada peristiwa-peristiwa yang sebenarnya cukup membuat kita terharu, tetapi karena peristiwa yang berlangsung itu sudah beberapa kali kita lihat, maka jadi terkesan biasa.
Suasana seperti itu lebih menarik perhatianku untuk terus berkarya daripada meli-hat atau mendengar berita dari TV maupun radio. Berita para pejabat yang bagiku hanya cara untuk menutup-tutupi kebohongan mereka atau upaya untuk membodoh-bodohi rakyat. Terlebih lagi berita-berita di media massa yang sanggup membuat bulu kuduk kita berdiri.
Ada yang sok pahlawan, merasa pintar sendiri, cari untung sendiri dan masih banyak hal lain yang bagiku justru bukan untuk meredam suasana, tetapi untuk mem-bakar suasana secara tidak langsung. Provokator terselubung. Provokator yang ber-sembunyi dibalik topeng media. Provokator yang kita sendiri tidak tahu apa maunya.
Aku yang sudah terbiasa dengan berita-berita seperti itu, sudah terbiasa dengan suasana kemacetan di jalan raya hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Mengelus dada. Aku lebih baik mengurusi kepentingan perutku yang sejengkal ini, di kios yang kubuat sendiri yang ukurannya tidak selebar kios-kios yang lain.
Sengaja aku memilih tempat di sekitar dan tidak jauh dari lampu lalu lintas perempatan jalan. Dengan peralatan yang sederhana dan seadanya, maka sebuah kios kecil persis di bawah halte akhirnya terbangun. Aku hanya menjual beberapa kebutuhan anak-anak sekolah yang kebetulan tidak berapa jauh dari halte. Setelahnya beberapa teman juga mendirikan kios-kios dengan usaha yang berbeda.
Sudah lebih satu tahun aku berdagang kecil-kecilan di situ. Kalau dibilang untuk mencari duit, memang betul. Jika dibilang untuk mencari kesibukan juga ada benarnya. Pasalnya, aku lebih suka merenung dan melahirkan karya-karyaku di tempat itu. Di tambah lagi bebrapa minggu belakangan ini jalanan tidak seramai bia-sanya. Justru lebih dari sekedar ramai. Beberapa minggu belakangan ini terutama ibu-ibu dan remaja putri rajin mendatangi pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan puasa sekaligus lebaran. Selain itu untuk bulan ini ada juga suasana natal dan tahun baru.
Isteriku yang biasanya menemaniku menjaga dagangan juga mulai sibuk menda-tangi pusat-pusat perbelanjaan. Aku hanya bisa diam memandang kesibukannya yang baru. Dan justru aku merasa sedikit tenang dan leluasa merenung dan melahirkan kar-ya-karyaku. Tema-tema yang kulahirkan pun tidak jauh dari lingkungan sekitar tem-pat aku berdagang.
Tentang kecelakaan dan tabrak lari. Tentang tawuran antar pelajar dari sekolah yang tak jauh dari tempat usahaku. Tentang pencopetan atau perampokan. Tentang badan lalulintas jalan yang selalu dibongkar dengan alasan perbaikan aliran air yang rusak. Dan masih banyak lagi. Kutulis dalam bentuk puisi, cerpen, maupun artikel.
"Bang, rokok!"
Aku yang sedang menulis puisi segera bergerak melayani pembeli. Aku sedikit terkejut, walaupun akhirnya aku hanya bisa tersenyum. Aku hanya perlu maklum. Kadang persoalan seperti inilah yang selalu menantangku untuk menimbang-timbang kebenaran karya-karyaku. Atau misi suci yang diembannya. Seorang anak laki-laki yang diapit seorang anak perempuan berseragam abu-abu.
"Rokok, Bang!" anak lelaki itu menyodorkan selembar uang lima ribuan,"tiga batang."
Dan ternyata kenyataan telah memenangkan pertempurannya dengan nuraniku. Dua pelajar itu meluncur dengan kemesraan yang luar biasa di atas sepeda motornya. Hal itu berlangsung secara terus menerus. Bermain-main dipuncak kepala.
* * *
"Bang ,tidak ke kios?’
Aku hanya menggeleng.
"Lho, kenapa?"
Aku tetap menggeleng.
"Kenapa sih?" Istriku mendekatiku,"Abang sakit?"
Aku tetap diam. Sebenarnya aku tidak apa-apa, hanya malas. Suasana hatiku memang tidak menentu. Besok permulaan puasa dan nanti malam tarawih pertama. Semua perlengkapan sudah dipersiapkan istriku untuk seminggu penuh. Rendang, ayam gulai, ikan bakar juga sudah dipersiapkan istriku untuk sahur hari pertama puasa. Dia sempat berpesan supayaaku tidak lupa membangunkannya untuk memanaskan makanan yang sudah disiapkan.
"Sengaja aku memasaknya dulu, supaya ketika sahur tidak perlu masak yang macam-macam. Cukup menanak nasi dan memanaskan semua teman nasi," pelan ia mencium pipiku yang masih malas-malasan,"Jangan lupa ya, Bang. Bangunkan!"
Sayup-sayup kudengar pintu depan terbuka lalu ditutup kembali. Istriku yang keluar. Aku tidak tahu kemana. Hari ini sengaja aku tidak ke kios. Padahal hari ini, hari terakhir anak-anak sekolah, belajar. Biasanya mereka selalu jajan banyak sebelum berpuasa besok harinya. Dan sengaja tidak kubuka. Aku sudah terlanjur muak dan bosan. Muak terhadap diriku yang akhirnya putus sekolah. Bosan aku melihat para pelajar itu yang tidak pernah mau serius belajar.
Mudah-mudahan saja mereka tidak mengalami nasib seperti aku, drop out dari sekolah. Bukan karena nakal, tapi karena tidak sanggup membayar uang sekolah. Pelan-pelan aku bergerak menuju ke arah meja. Aku ingin menulis puisi. Mencari se-carik kertas yang sebelumnya telah tertulis beberapa ungkapan puisi dan aku ingin menyempurnakannya sebelum menulis puisi baru.
Berulangkali aku membongkar isi laci dan yang kucari tak kudapat. Aku mengingat-ingat secarik kertas yang telah kutulis puisi. Ungkapan batinku. Dan aku berpikir kemungkinan puisi yang sudah kutulis tertinggal di kiosku. Aku berbalik dan bergerak ke arah pintu bersamaan dengan suara ketukan yang terburu-buru dari arah pintu. Mungkin itu istriku.
"Bang. Bang. Bang! Buka pintu!"
Aku terpaku. Itu bukan suara istriku.
"Bang, buka !" suara itu berteriak keras,"Istri Abang, Bang!"
Aku terkesiap. Ada perasaan yang tidak enak. Segera kuraih kunci lalu membuka pintu.
"Istri abang kecelakaan!"
"Apa?! Dimana?!" aku segera mengajaknya bergegas.
"Di depan kios Abang . Di jalan besar itu. Mungkin sedang menyeberang menuju kios?" lelaki remaja itu menjelaskan dengan terburu-buru, "Kakak ditabrak sudaco. Sekarang di rumah sakit!"
Aku merasa geram. Aku merasa benci. Kesal. Menyesal. Aku hanya bisa berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada istriku. Kami segera beranjak menuju ke rumah sakit. Dan tidak berpikiran apa-apa lagi tentang puisi-puisiku. Apalagi kiosku. Ternyata kenyataan kembali menggedor-gedor nuraniku. Kenyataan kembali tampil sebagai pemenang.
"Di mana ruangannya, Din?"
Udin, anak lajang tetangga sebelah hanya menunjuk pos perawat. Sambil menarik tanganku, kami bergegas masuk ke ruangan rumah sakit. Bergegas menuju perawat yang sedang piket.
"Pasien perempuan yang baru saja dibawa kemari, di ruangan mana, Mbak?"
"Oh, pasien yang jadi korban kecelakaan tadi?" kami serentak mengangguk, "Ruangan 33. Lantai dua, persis di depan tangga naik."
"Terimakasih, Mbak."
Aku segera menarik tangan Udin menuju tempat yang dimaksudkan perawat. Di kiri-kanan penuh dengan ruangan-ruangan yang berisi pasien yang sedang dikun-jungi sanak-familinya. Warna putih-putih yang dominan memenuhi seluruh ruangan menjadi warna ketakutanku. Warna kecemasan. Begitu sampai, kami melihat seorang wanita yang berpakaian dokter dengan beberapa perawat.
"Bagaimana, Dok?" aku memberanikan diri bertanya.
"Anda siapa?"
"Saya suami pasien yang ada di kamar pasien itu. Suaminya!"
"Oh, syukurlah. Anda sudah datang. Kami kuatir pasien ini tidak ada keluarganya yang datang menjenguk."
"Lantas, bagaimana, Dok?"
Hening sejenak.
"Maaf, Pak," dokter itu terdiam sesaat,"Kami sudah berusaha. Istri Bapak..."
"Kenapa dengan istri saya? Kenapa, Dok?!"
"Maaf, Pak." Dokter dan para perawat berlalu.
Aku segera memasuki ruangan. Di dalam kudapati isteriku yang sedang ter bujur kaku. Di wajahnya masih tertinggal seulas senyuman. Aku tidak bisa melukiskan perasaanku. Air mataku mengalir deras. Tangisku tertahan. Aku takut menjerit. Aku takut histeris. Aku takut arwah istriku tidak mendapat ridho Allah.
Isakku tak terkendali. Sayup-sayup mengumandang suara azan. Sayup-sayup terdengar suara binatang malam. Sayup-sayup suara langit meneteskan kesedihan. Sayup-sayup terdengar kentongan, terbayang sahurku di tengah makam Sayup-sayup terdengar suara istriku diangan-angan,
"Jangan lupa ya, Bang. Bangunkan!"
Kutubul Amin, 2001













Cerpen M. Raudah Jambak
Mangkuk Udin, Bang
Seperti biasa, jalanan tak pernah kenal kompromi. Segala jenis kendaraan berseliweran menuju tujuan. Padahal lampu merah sudah menunjukkan tanda berhenti, tapi masih juga ada kendaraan yang menerobosnya. Melihat keadaan itu, aku cuma bisa tersenyum sambil membayangkan Kahlil Gibran yang menulis syair – syair cinta dengan beribu lembar kertas putih. Muhammad Iqbal, Al – Ghazali, Gimnastiar, dan masih banyak lagi persoalan kemanusiaan yang belum terselesaikan.
Aku harus melangkah dengan seribu kegundahan yang tak kumengerti, niatku ketika itu Cuma satu. Aku mau menonton drama Sampak Engtay, sebuah kisah cinta klasik dari China. Motor angkutan yang kutumpangi untung tidak penuh, mataku terus memperhatikan pemakai jalan. Tak satu orang pun luput dari pandanganku, mulai dari pejalan kaki sampai anak jalanan.
Di depan mesjid Agung, aku turun dari angkutan. Suara azan menggema dari mesjid, timbul keraguanku antara singgah melaksanakan sholat Maghrib di Mesjid Agung atau harus terlambat menonton drama Sampek Engtay. Tapi keputusanku juga untuk sholat. Kulangkahkan kakiku menuju mesjid, mencari tempat mengambil air wudhu. Udara dingin ditambah air yang dingin, membuat tubuhku sedikit bergetar.
"Bang saya jaga ya sepatunya", seorang lelaki kecil berpeci miring menatapku penuh iba.
"Saya jaga ya bang". Aku hanya berdiri terpaku, rasanya tidak mungkin sepatu bisa hilang di mesjid. Tapi karena seorang anak kecil dengan iba menawarkan jasanya menjaga sepatuku, tidak tega rasanya menolak.
"Boleh ya bang", suaranya lebih mengiba, aku mengangguk pelan. Lalu masuk ke dalam mesjid dan melaksankan sholat Maghrib. Lelaku kecil itu dengan sabar menunggu, sepertinya ia takut berlaku tidak jujur, ia tidak akan mengambil sepatu yang bukan miliknya. Melihat sepatuku yang mengkilat dan mahal, tidak menggoyahkan keyakinanya. Kejujuran begitu kuat membentengi jiwanya. Selesai sholat kudatangi lelaki kecil itu.
"Sudah sipa bang ?" Lelaki kecil tersenyum, aku mengangguk.
"Namamu siapa dik"
"Udin bang"
"Kamu sudah sholat Din"
"Sudah bang", dia menarik nafas. "Abang mau kemana".
"Mau ke Tiara nonton drama Sampek Engtay, rumahmu dimana Din"
Mendengar pertanyaanku, lelaki kecil berpeci miring itu terdiam. Matanya mulai berkaca – kaca, lalu mencoba untuk tidak memperlihatkan kedukaanya.
"Ada bioskop di sana ya Bang, Sampek Engtay itu film Indonesia ya ? Wah asyik ya bang". Aku tersenyum menebar sejuta makna, Udin lelaki kecil berpeci mering itu sungguh luar biasa. Bias – bias ketegaran dan kepintaran terpancar jelas di wajahnya. Dengan penuh kesabaran, aku coba menjelaskan awal mulai cerita Sampek Engtay.
Aku tak bisa menahan waktuku ketika Udin menyatakan keinginan ikut menonton, sambil tangannya menunjukkan uang tiga ribuan. Aku membayangkan bagamana perubahan wajah Udin, jika kukatakan karcis masuknya tiga ratus ribu dan tujuh puluh lima ribu yang paling murah. Tapi ah sudahlah, Udin memang tidak akan pernah mengerti.
Segera aku hentikan pembicaraan, pelan – pelan meninggalkan Udin sendirian. Ditangga mesjid Agung, Udin menatap kepergianku penuh harap. Ah lagi – lagi aku kembali tergelitik, nuraniku terusik antara kenyataan dan harapan, ternyata sulit untuk dipertemukan. Aku melangkah cepat menyeberangi jalan, kulihat Udin masih menatap kearahku. Tangannya melambai, aku terharu.
* * *
bangun pagi, kulihat matahari mulai meninggi. Kedua anakku Rahmat dan Aini masih tertidur lelap. Melihat istriku membersihkan rumah, aku langsung teringat kebiasaan rutinku membersihkan halaman. Mulai dari kolam di belakang rumah, kamar mandi sampai ruangan sholat.
Setelah selesai bersih – bersih, aku pun bersiap – siap mengenakan sepatu. Aku berharap tulisanku keluar hari ini di surat kabar mingguan.
"Jangan lama-lama ya bang", istriku mengingatkan. Aku beranjak ke luar sambil mengangguk pelan.
Sampai diujung jalan, kunaiki mobil angkutan menuju kantor pos. Setelah sampai disana, aku melangkah mendekati penjual koran langgananku. Kemudian mulai serius membaca tulisan di halaman budaya, mulai koran terbitan Medan sampai koran terbitan Jakarta. Aku bersorak riang dalam hati, ketika tulisanku muncul di salah satu koran lokal.
Pernah aku disindir teman-teman, karena dianggap terlalu produktif menulis. Kuhargai perhatian mereka, tapi dasar ide-ide yang ada di dalam kepalaku memberontak untuk dikeluarkan, akhirnya semua kutuliskan dalam lembaran kertas.
Aku tersenyum membaca tulisanku, lalu membayar koran dan mencari tempat duduk agar bisa membacanya lagi dengan tenang. Pelan aku berjalan ke simpang Yamin –Putri Hijau, karena banyak tempat duduk yang tersedia di situ. Kendaraan umu lalu lalang, dari kereta sampai sepeda semua beradu cepat. Aku lebih memilih keasyikanku memilih membaca koran, suara bising kendaraan di jalan raya tidak kupedulikan lagi.
Ketenanganku terusik ketika sebuah mobil angkutan umum berhenti persis di depanku. Kulihat seorang pengamen kecil duduk di pintu masuk angkutan itu, mulutnya menyanyikan lagu anak jalanan. Aku singkirkan koran. Mataku terkejut melihat Udin lelaki kecil berpeci miring, ternyata seorang pengamen jalanan.
Mobil angkutan itu bergerak, aku berdiri memandang tak percaya. Ku stop angkutan berikutnya sambil memandang keberadaan Udin. Di dalam angkutan, mataku terus melihat ke depan. Udin masih terlihat menyanyi. Di traffic light simpang Petisah, kulihat Udin turun. Aku juga turun sekitar tiga ratus meter dari tempat Udin berdiri.
Dari jauh kuperhatikan, dia masih terus menjual suaranya kepada para penumpang angkutan. Tidak semuanya memberi uang dan tidak sedikit pula yang merasa terganggu mendengar suara Udin. Kuperdekat jarak menjadi seratusd meter dari tempat Udin melantunkan suaranya, semua kegiatan Udin aku saksikan dari tempat yang berbeda.
"Bbbraaaakkk….!"
"Maaakkkk…..!"
aku terkejut, suara itu begitu keras terdengar. Serta merta aku melihat ke simpang. Satu persatu orang mulai berkumpul, kulihat beberapa orang remaja mengangkat tubuh seorang anak kecil ke trotoar jalan. Aku melangkah mendekati, sayup-sayup kudengar orang-orang bertanya. "Ada apa", mobil mana yang tabrakan" , siapa yang ditabrak" , otaknya berceceran nggak" . Suara-suara itu mengusik keingintahuanku. Penderitaan dan kesengsaraan tampaknya sekarang menjadi tontonan yang menarik.
Kulihat kerumunan orang, kembali aku mendengar suara-suara sumbang.
"Ini bukan dari kelompok kita".
"Dia sengaja mencuri lahan kita".
"Ah biarkan dia mampus, rejeki orang kok dipotong".
Macam-macam kalimat dan persolan dilontarkan tanpa berusaha sedikit lebih peduli. Kutembus kerumunan orang-orang itu, aku menduga Udin pasti ditabrak. Beberapa orangmemancarkan wajah keheranan. Aku tidak peduli, aku melihat Udin lelaki kecil itu tergeletak tak berdaya. Kepalanya terlihat berdarah, mulutnya merintih mengerang kesakitan. Dugaanku mungkin ia ingin bicara, mungkin ingin memberi pesan. Lalu kudekatkan telingaku ke mulut Udin, suaranya tak jelas terdengar.
Perasaanku makin tidak enak, rasa was-was dan detak jantungku makin tak menentu. Aku teringat Udin dengan wajah menghiba minta menjaga sepatuku, Udin yang kepingin nonton drama Sampek Engtay dengan uang tiga ribu rupiah. Udin yang tidak pernah sekolah, Udin yang sempat menyanyikan lagu anak jalanan di depan mataku, sekarang tergeletak di hadapanku.
Kulihat matanya memandang ke arah langit, terdengar suara keluar dari mulutnya, pelan dalam rintihan.
"Mangkuk…tolong ambilkan mangkukku".
Bulu tengkukku merinding, aku merasa takut, sesuatu yang menyedihkan rasanya akan terjadi.
"Tolong bang mangkukku itu, ambilkanlah". Udin terbatuk-batuk, dari mulutnya keluar darah. "Mangkuk Udin bang, tolong ambilkan mangkuk Udin, bang".
Kualihkan pandanganku kearah yang ditunjuknya. Persis di bawah traffic light, mangkuk itu tergeletaj begitu saja, tidak ada yang peduli. Pelan aku melangkah mengambil mangkuk Udin, kemudian kembali ketempat Udin berbaring. Satu persatu orang-orang mulai membubarkan diri, lalu kuserahkan mangkuk itu ketangan Udin.
"Din ini mangkukmu, sudah abang ambil. Ingat nggak Udin pada abang, kita pernah bertemu di mesjid Agung. Kamu yang menjaga sepatu abang, ingat nggak Din?".
Udin diam tanpa memberikan reaksi, aku terus mengoceh, kuguncang-guncang tubuh Udin agar ingatannya padaku pulih. Dia hanya tersenyum memeluk erat-erat mangkuknya. Matanya perlahan mulai tertutup, dia tidak bergerak lagi. Sepertinya ia terbang ke langit, ke tempat yang sangat diidam-idamkannya selama ini bertemu dengan emaknya. Udin memeluk erat mangkuk itu dalam genggamannya.
Kutubul Amin, 2002

















Cerpen M. Raudah Jambak


TAMU DIHARI KURBAN
Dua tahun sudah aku berada di kota ini. Dua tahun pula aku tidak pernah mendengar kabar berita tentang teman-teman maupun saudaraku. Dan hal itu sedikit agak menegangkan hatiku. Hidup dengan suami dan dua orang anak membuat hatiku sedikit tentram. Berhari-hari kujalani kegiatan rutinku seperti biasa.
Anak-anakku yang masih kecil-kecil memang sedikit agak merepotkan aku, sekaligus calon bayi dalam kandunganku, membuat kegiatanku agak terbabani. Sementara suamiku masih juga belum mendapat lowongan kerja sampai hari ini.
Sudah lama aku ingin bekerja, jika saja suamiku mengizinkan. Dengan berbekal sarjana pendidikan, aku yakin dapat diterima sebagai guru. Tapi suamiku selalu melarang dengan alasan bahwa laki-lakilah yang harus mencari nafkah, sedangkan perempuan berada di rumah mengurus rumah tangga. Sebagai istri yang baik, aku berusaha untuk selalu patuh, walau kadang hati ingin merontak untuk membantu suami mencari nafkah. Lagi-lagi aku ragu.
Sebenarnya aku tahu kalau suamiku tidak keberatan kalau aku bekerja,tapi ada perasaan malu, dan aku memahami itu. Ijazah SMA yang selalu jadi andalannya sulit untuk menjadi dewa penolong baginya, dan aku selalu menenangkan agar ia tidak pernah putus asa. Dan keadaannya itulah yang selalu dipertentangkan oleh orang tuaku ketika, Amran, suamiku datang untuk melamar. Kerja dimana? Tamatan universitas mana? Dan sebagainya.
Karena perasaan cinta yang menggebu-gebu, akhirnya orang tuaku tidak bisa berbuat apa-apa setelah kukatakan aku tengah mengandung. Pesta pernikahanpun diadakan sesederhana mungkin. Akhirnya aku menyandang titel sebagai Nyonya Amran. Seminggu setelah acara pernikahan itu aku diboyong suamiku pindah ke kota ini.
Perasaan hancur dari kedua orang tuaku dapat kurasakan. Paling tidak untuk beberapa lama perasaan malunya, kami coba untuk menghilangkannya dengan cara pindah kekota ini.
Awalnya memang terasa berat, tapi akhirnya semua dapat kuatasi. Paling tidak untuk saat ini, walau sebenarnya dalam hati aku rindu dikunjungi dan mengunjungi.
"Sunyi ya, bang?" ujarku ketika kami duduk sehabis makan diruang tamu.
Suamiku Cuma diam. Dia mengerti perasaanku. Dia Cuma mengelus-elus rambutnya, sambil memandang kedua anak kami yang kejar-kejaran di depan kami. Kuarahkan tangannya menuju perutku yang tinggal menunggu waktu kelahiran anak ketiga kami tiba.
Tidak terasa sebentar lagi hari raya kurbanpun tiba. Itu berarti sebentar lagi aku akan ikut kurban yang kukumpulkan sebelum kami menikah. Dan aku akan segera bersiap-siap untuk menghadapi kelahiran bayiku yang ketiga. Daging kurban itu akan kusumbangkan ka panti asuhan yang kebetulan tidak jauh dari rumah kami.
"Sunyi, ya bang." Ujarku kembali memecahkan kesunyian. Dia memang agak pendiam, ditambah beban yang ditanggungnya. Keterdiamannya begitu terasa, dan aku selalu berusaha mengajaknya untuk sejenak melupakan segala beban yang tengah menimpa.
"Abang merasa kesunyian, nggak?" kembali aku berujar. Dan kali ini sambil mendekatkan wajahyku ke wajahnya. Sementara anak kami satu persatu sudah terbuai dengan mimpinya, akibat kelelahan berlarian kesana-kemari. Untungnya walaupun mereka tidak punya teman sebaya, tapi mereka terlihat akur satu sama lain.
Suamiku kemudian pelan-pelan bergerak, mengangkat satu persatu anak kami ketempat tidur. Dua anak laki-laki yang lucu-lucu dan baik hati. Penerus keturunan suamiku yang kebetulan anak satu-satunya di keluarganya. Dan untuk anak ketiga ini dia ingin sekali mendapatkan anak perempuan.
Sehabis memindahkan anak-anak kami ketempat tidur, suamiku bergerak pelan ke arahku. Disentuhnya ujung rambutku dengan tangannya nyang kekar. Lalu diciumnya dengan lembut. Begitu pula dengan dahiku, pipi, bibir dan berakhir di permukaan perutku yang menggembung. Aku menggeliat. Bukan lantaran ciuman lembut suamiku, tetapi bayiku yang tiba-tiba bergerak merespon ciuman lembut ayahnya. Suamiku lantas duduk disisiku sambil menyentuh lembut telingaku dengan hidung mancungnya.
"Dian….," bisiknya pelan, "Kamu takut kesepian? Takut tidak mendapatkan tamu? Kamu rindu ayah-ibumu?"
Aku tercenung mendengar pertanyaannya yang beruntun. Tapi demi melihat wajahnya yang sungguh-sungguh, aku mengangguk.
"Kamu masih sabarkan?" ujarnya lagi.
Aku mengangguk kembali.
"Kamu mau mengizinkan abang pergi tiga hari pergi mencari uang? Paling tidak untuk ongkos kita berangkat ke sana. Paling lama sebelum shalat idul adha, abang sudah kembali."
Kembali aku yang terdiam. Aku membayangkan, suasana selama ini sudah sangat sunyi, apalagi tanpa suami untuk beberapa hari? Bayang ketakutan sepertinya mencekikku. Kupandang wajah suamiku dalam-dalam, ada semacam perasaan menyesal terpancar disana. Menyesal telah mengatakan sesuatu yang selama ini ditahan-tahannya. Tapi rasa cinta yang mendalam membuat kekuatanku berangsur hilang. Aku mengangguk.
"Kalau kamu keberatan, aku tidak menyesal membatalkan semuanya."
Segera kututup bibir suamiku dengan jari-jariku. Aku menggeleng. Kucium pipinya dengan lembut. Lalu kusandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang.
"Kamu jangan merasa terpaksa." Tangannya membelai lembut ujung rambutku.
"Aku tidak merasa keberatan, bang," ujarku pelan, "Mungkin setelah ini terjadi perubahan pada hidup kita."
"Mudah-mudahan."
Jangkrik malam amelantunkan lagu tembang kenangan. Angin malam telah pula merangkaikan nadanya. Bulan bertindak sebagai komposernya.
* * *
Malam ini perutku terasa nyeri. Bayi dalam kandunganku mulai meronta. Suamiku belum juga pulang. Mataku sempat memandang jam di dinding tepat pukul 01.30 WIB. Anak-anakku masih tertidur pulas.kucoba untuk menahan sampai pagi tiba, tapi ternyata tidak bisa. Mataku tak mau diajak tidur. Begitu duduk rasa sakit semakin tak terkira. Kusebu-sebut nama suamiku agar ia pulang segera. Tapi masih juga tak membantu. Ingin rasanya membangunkan kedua anakku tapi tak tega rasanya memandang wajah yang tentram itu. Pergi minta pertolongan tetangga, aku takut terjadi apa-apa ditengah jalan. Terbayang wajah ibu. Teringat ayah. Terkenang teman-teman dan saudara. Rasa sakit masih juga tidak mebantu, malah semakin menjadi-jadi
Tok…tok…tok.
Aku terkesiap. Takutku menjadi. Segera aku naik ketempat tidur dan memeluk anak sulungku yang menggeliat sebentar kemudian kembali kelihatan tenang.
Tok…tok…tok.
Kali ini kekuatannya agak keras. Aku berharap yang mengetuk pintu suamiku, tapi jika orang lain. Syukur-syukur gadis remaja tetangga yang sering datang membantu, tapi jika tidak?
Tok…tok…tok.
Peluhku mencucur deras. Tubuhku basah dipenuhi keringat. Rasa sakit tidak kunjung hilang. Kurasakan ada sesuatu yang keluar dari selangkanganku. Ketakutanku menjadi-jadi setelah darah ketubanku mulai membasah. Tubuhku tiba-tiba lemas. Pandanganku terasa gelap. Dan selebihnya aku tidak tahu sama-sekali.
Sekejap saja, aku merasa berada di sebuah pesta. Begitu banyak orang disekelilingku. Anehnya, semua memberi selamat dan menyalamiku. Aku Cuma berdiri terpaku menerima salam dan ucapan selamat dari mereka. Tamu-tamu hadir, mengalir tidak henti-hentinya. Dan dari semua tamu yang kuperhatikan, ada satu yang berpakaian agak lain dri yang lain. Dan tingkahnya tidak pula seperti yang lain-lain yang begitu menikmati suasana pesta. Dengan jubah putihnya, dia hanya melemparkan senyum ke arahku. Dalam pandanganku aku seperti mengenalnya. Pemuda dewasa yang bersahaja.
"Kak, bangun. Kak, bangun kak. Kak."
Aku segera membuka mata. Segera kutebarkan pandanganku ke segala penjuru.
"Dimana aku? Dimana suami dan anak-anakku, dan…" tiba-tiba mataku tertuju ke arah perutku, "Mana kandunganku?"
Aminah diam. Dia tidak tahu harus bicara apa. Walau akhirnya dia buka suara. Pelan, namun pasti, dia bercerita bagaimana menemukan aku tergeletak diatas tempat tidur dengan iringan jerit tangis kedua anakkusementara darah sudah memenuhi tempat tidur. Bagaimana aku dibawa ke Rumah Sakit masih dalam keadaan tidak sadar. Bagaimana anakku menangis sepanjang perjalanan. Bagaimana bayi perempuanku, menghembuskan nafas satu jam setelah persalinan. Dengan lugunya ia bercerita pelan, namun panjang lebar.
"Dan juga….," Aminah berhenti bercerita.
Air mataku mengalir deras. Aku mencoba bertahan, bersikap tegar. Suara takbir mengalun syahdu. Air mataku tak terbendung.
"Ke..ke..kenapa kamu berhenti. Aminah? Teruslah bicara. Kakak akan tabah mendengarnya. Apakah kurban kakak dibatalkan?"
Aminah menggeleng. Dia terlanjur menangis. Air matanya mengalir. Dia mungkin tidak sanggup mendengarkan dan menceritakan penderitaanku yang beruntun.
"Lantas apa, Minah…" aku memeluknya menangis bersama. Takbir tetap mengumandang.
"Abang, kak…." Aminah menahan tangisannya.
"Kenapa, Minah? Kenapa Abang? Abang sudah pulang? Mana Abang Minah? Mana?"
Aminah dengan terbata-bata menceritakan bagaimana Abang ditemukan telah menjadi mayat. Diduga dibunuh dan dirampok. Aku tidak bisa lagi menahan duka, jeritku seketika membahana dan tidak berhenti sebelum mendengar seorang pemuda tampak mengucapkan salam. Pakaiannya mengingatkan aku dengan dengan mimpiku semalam di sebuah pesta. Dan aku seperti mengenalnya dan sangat mengenalnya. Dia Amran, suamiku, dengan jubah putihnya ia melambaikan tangan pada ku, memanggilku. Penderitaanku seketika lenyap. Aku merasa sangat tenang, sangat damai. Dipelukannya seorang bayi perempuan menjulurkan kedua tangannya padaku, minta kugendong. Aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Dua orang tamu tercintaku datang memenuhi janji dihari kurban ini. Seketika kurasakan tubuhku terasa sangat ringan. Entah kekuatan dari mana, kami sudah berpelukan di angkasa. Sempat aku melirik Aminah yang tengah memeluk seonggok tubuh kaku, berurai air mata. Sempat aku melirik dua orang bocah laki-laki yang tengah tertidur lelap, persis seperti anakku. Sempat aku memanggil Aminah, tetapi dia tetap diam saja. Dia masih memeluk erat tubuh kaku di hadapannya sementara takbir terus berkumandang, mengantar sepanjang perjalanan. Aku, suami, dan anakku.
Darul Amin, 2000


























Cerpen M. Raudah Jambak
Pesta Pernikahan
BESOK acara pesta pernikahaan Andi, anak Pak Kusumo, tetangga sebelahku.Kulihat mereka telah sibuk dengan keseriusan masing-masing.Tak seorang pun kulihat bermalas-malasan.Teratak telah dipasangkan.Hiasan disana sini telah pula dipersiapkan.Karangan bunga sebagai ucapan"Selamat berbahagia telah pula memenuhi sepanjang jalan.Untung saja tidak sampai menyulitkan arus lalu-lintas jalan.Beberapa orang dari organisasi pemuda dan bergabung dengan pemuda setempat, ikut pula berjaga-jaga. Aku cuman mengintip di balik jendela.Waktu terus berlalu, aku kelelahan menunggu di ruang tamu.
"Wah,meriah sekali Pak.Selamat ya!"
"Oh,terima kasih bapak bersedia datang.
Maaf,kemarin undangannya datang terlambat!"
"Ya,tidak apa-apa Pak. Sebenarnya saya yang salah,saya pikir saya tidak diundang. Padahal saya sangat ingin sekali mendapatkan undangan dari Bapak."
‘Bapak ada-ada saja. Oh,kalau begitu langsung saja, Pak, dicicipi makanannya."
Aku mengangguk. Suara keyboard yang mengiringi seorang penyanyi terdengar asyik bagiku. Ditambah lagi selain suara penyanyi yang lembut juga joged pinggulnya yang dahsyat ‘menghipnotisku’ untuk duduk di posisi agak ke depan. Posisiku agak menguntungkan karena beberapa sisi dari tempatku duduk dapat terlihat. Posisi penyanyi keyboard sudah pasti. Posisi pengantin juga mudah terlihat. Aku menikmati sepotong rendang sambil mendengar lantunan penyanyi keyboard yang ada di atas penta kecil, tepat beberapa meter di depanku. Para pengangkat piring pun telah serius dengan tugasnya. ‘Sekuntum Mawar Merah’terdengar melenakan.Seorang bocah pengangkat piring dengan beban piring yang cukup banyak melintas di depanku terburu-buru.
"Braaak!"
Aku terkejut.
‘Sekuntum Mawar Merah’masih melantun.
"Bapak kok tidur di ruang tamu,sih?"
Ani,istriku hati-hati membersihkan pecahan kaca yang berserakan,"Lihat nih. Pot bunga yang baru dibeli kemarin tak panjang umurnya. Makanya jangan begadang!Jam segini baru bangun!". Aku telah terkejut.
‘Sekuntum Mawar Merah’telah berganti’Anggur Merah’mengetuk-ketuk gendang telingaku. Aku ternyata masih di ruang tamu.Istriku masih mengomel. Kulirik ke arah jam dinding, Ya,Tuhan. Sudah pukul sepuluh. Segera kutebar pandanganku keluar.
Lantunan Megi Z di loudspeaker terdengar mengerang. Acara pesta sepertinya segera di mulai. Karangan bunga sepertinya sudah penuh sesak, agak mengganggu pemandanganku. Beberapa orang telah memenuhi tempat pesta itu. Wah!cepat sekali hadirnya. Aneh!mereka semuanya berpakaian seragam. Bukan seragam tentara atau polisi. Baju,celana,topi dan sepatu berwarna putih. Beberapa orang yang Cuma berT-Shirt di punggungnya berlambang merpati bermahkota.Aneh!
"Kita dapat undangan mereka?"aku melirik istriku,"Undangan pesta pernikahan anak Pak Kusumo?Ada?"
Istriku memandang tajam ke arahku. Dia tersenyum mengejek.
"Makanya jangan sok cuek!"
"Ada apa?Kok aku yang sok cuek?Ada apa?"
"Eh, Bang. Jangankan kita yang punya rumah saja tidak mereka undang.Bang ,Bang…"
"Lho, kok gitu ?
"Bapak-bapak, Ibu-ibu." Suara protokol acara memecah keramain. Aku hanya memperhatikan dari jauh. Istriku lebih memilih tak peduli. Dia sibuk dengan dirinya sendiri.
"Bapak-bapak, ibu-ibu. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk menyusun kepengurusan yang baru," Protokol acara bicara panjang lebar. Aku cuam tidak habis pikir, sebuah acara pesta yang megah bisa berubah jadi acara pemilihan pengurus. Setelah kuperhatikan dengan seksama seluruh karangan bunga yang berjejer tak beraturan, seluruhnya berlambang merpati bermahkota. Wah.
"Diharapkan kita akan mendapatkan banyak suara dari daerah ini. Untuk mendukung kita seluruh penduduk kampung sudah diundang kepesta ini. Dan nama-nama yang diundang sudah kami bacakan seluruhnya. Jika sukses, maka kita akan mendapat paling sedikit tiga kursi. Hidup Merapati Hidup Mahkota !"
Nama penduduk kampung yang diundang sudah diumumkan, berarti Pak Kusumo mengundangku, batinku.
" Bu, nama kita diumumkan tidak?"
Istriku cuma tertawa cengengesan.
Kepalanya digeleng-gelengkan kekiri dan kekanan.
"Nama anak tetangga yang baru lahir seminggu diumumkan kok, Pak. Apalagi nama kita. Tapi itu sekedar ngomong, undangannya seratus tahun lagi baru ada.
He… ha…ha…"
"Saudara-saudara. Sambil menikmati suasana pesta, silahkan duduk dikelompoknya masing-masing untuk menentukan kepengurusan kedepan."
Menjelang siang, pesta semakin ramai. Para tamu semakin banyak hadir. Protokol acara semakin bersemangat mempersilahkan orang-orang tertentu untuk berpidato. Pidato yang berapi-api.
Sepanjang penglihatan, rumah-rumah disekitar pesta tertutup rapat. Dari balik jendela-jendela, mereka cuma bisa mengintip.
"Saudara-saudara. Kita dukung UUD 45 dan Pancasila. Kita dukung negara persatuan dan kesatuan. Setuju!"
"Setuju!"
"Program kita kedepan adalah meningkatkan keamanan!"
"Setuju!"
"Program kita kedepan adalah menghancurkan segala bentuk ketidak adilan!"
"Setuju!"
Entah sudah latihan atau memang sudah kesepakatan, apapun yang disampaikan disela-sela pidato kata "setuju" selalu peragam serempak. Aku tak tahu, pakah mereka tahu. Bagiku suasana nya sedikit ada kesamaan ketika aku mengikuti shalat maghrib atau shalat berjamaah. Diakhir fatihah, selalu saja kata yang terlontar bersamaan. Serentak mengucap "Amin". Dan aku tidak tahu, apakah mereka tahu? Bagiku juga berdoa . Di sela-sela doa dan penutupnya secara bersamaan selalu kata "amin" selalu diucapkan bersamaan. Aku tidak tahu, apakah mereka tahu? Maknanya? Bagimana penerapannya? Entahlah!
Menjelang petang, keyboard habis-habisan di dendangkan. Para biduan dan undangan joged sampai karatana acara pesta pernikahan Andi, anak Pak Kusumo, seperti tak nabis-habisnya.
"Tumbangkan!"
"Rubuhkan!"
"Hancurkan!"
"Bakar!"
Sekelompok pemuda dan aparat berpakaian hitam-hitam, secara brutal merubuhkan ratusan karangan bunga yang berjejer tak beraturan. Kedaan berubah total. Suasana ramai dari setiap alunan dan goyangan, kini berubah menjadi ramai karena teriakan saling mempertahankan dan merubuhkan. Aku hanya melihat hati-hati dari balik jendela. Begitu juga beberapa orang tetanggaku. Istriku semakin tidak perduli, dia hanya menonton teve.
"Hei, ini acara pesta pernikahan. Tolong jangan buat keributan!" Seseorang yang berpakaian putih-putih berlambang merpati bermahkotra berteriak. Kumisnya y6ang melintang menyebabkan dia sedikit disegani orang-orang. Dan terbukti aksi merubuhkan seketika terhenti sejenak. Seseorang laki-laki botak berpakaian hitam-hitam berlambang kalajengking bertaring, maju.
"Kalau ini memang pesta pernikahan, kami tidak akan mengganggu. Dan hanya orang bodoh yang menganggap ini pesta pernikahan. Kalian curang, melanggar kesepakatan!"
"Apanya yang curang? Siapa yang melanggar kesepakatan? Anda jangan memfitnah , Jangan sampai kami menyelesaikannya dengan jalur hukum!"
"Oh, dipersilahkan dengan hormat, kami tidak memfitnah. Pesta apa namanya, jika semua undangan memakai seragam dan berlambang merpati bermahkota? Kalian curang! Kalian telah melanggar kesepakatan!"
"Lantas apa kalian tidak curang? Apa kalian tidak melanggar kesepakatan? Kalau begitu, kalian datang kemari sebagai apa? Ha? Kalian sudah merusak ketentraman orang lain?"
"Tentram? Ha…ha…ha… Kalian ini lucu. Kalian sendiri apakah sudah menjaga ketentraman lingkungan sekitar kalian. Tidak kan? Ayo, apa lagi?"
"Kalian perusuh!"
"Kalain yang perusuh!"
"Kalian curang!"
"Kalian yang curang, melanggar kesepakatan!"
Terjadi adu mulut yang cukup sengit, antar kecurangan dan akal-akalan. Keduanya mengagungkan sebagai penjahat benaran.
"Setuju!"
Malam sudah mengelus atap rumah. Pintu dan jendela telah terkunci rapat. Pesta pernikahan berubah perdebatan. Di rumah, aku ciptakan pesta pernikahan sendiri. Kali ini istriku tidak lagi tidak perduli.

Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana

Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang

Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu

Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan

T E R A L I

Waktu hanya menyulam siang dan malam
pada kalender hening di dinding
pada tik tak tik tak jarum jam tanpa detak
bersama mimpi tanpa tepi
yang membangunkan matahari
di tepi perigi

Aku hanya mampu merangkai bahasa luka
tatapan mata tanpa daya, menetes bening pasrah
tarian itu hanya menambah derita
sepi itu begitu menyayat dalam jasad
mengajak tualang rasa kelana
ke arah yang tidak berimba

Kemarin kita masih bicara tentang cita-cita
tapi ternyata cita-cita hanya rekayasa hidup
menyelundup diantara keinginan serta
rasa pasrah dan burung-burung
yang terbang di antara jarum jam
dan kalender yang tertinggal
di bawah bantal

Waktu hanya menyulam siang dan malam
pada kalender hening di dinding
pada tik tak tik tak jarum jam tanpa detak
bersama mimpi tanpa tepi
yang membangunkan matahari
entah kemana pergi?

Medan, Juli 04 edan,03-04

MUSA YANG MEMBELAH GELOMBANG

kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang

dengan tongkat sakti-di sini tsunami angkuh berdiri menebar duri, bersama angin yang memburu mengekalkan seringainya-dalam bayang-bayang kabut

serombongan gagak memburu camar yang terbang gontai, perlahan mengintai-sementara pepohonan tafakkur, mengucap syukur - lalu membanjir

derai zikir

: telah menjadi suratan fir'aun terkubur takabbur

menafikkan takdir di tengah laut yang terbelah

sehabis ketukan do'a Musa bersama takbir

yang menggema



kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang

bersama para syuhada-di sini laut berubah raksasa

melahap apa saja, bagai sihir yang menumpahkan

muntahan air-menghantam beratus ribu pasir dalam sir-sementara tenggorokan tersekat bersama waktu

yang sekarat

:telah menjadi suratan gelombang bukanlah hujjah

para syuhada hanya hijrah, berjalan diantara

pecahan resah, membius darah-dan tsunami hanyalah

istilah, pintu hijrah menuju tempat

yang lebih indah



maka,

bangunlah wahai kekasih Sang Kekasih, sebab resah

adalah miliknya orang-orang kalah, sebab kecewa adalah miliknya para pendosa,orang-orang yang tak mengerti arti mencinta, sebab nada kutuk adalah miliknya orang-orang yang pintu hatinya tak terketuk



maka,

kemana lagi Musa pergi, bersama umi-bersama abah,

bersama inong-bersama agam, bersama geuchik-bersama teungku meunasah, bersama para syuhada yang tak mengenal arti lelah-arti menyerah, selain

membelah gelombang,menuju Allah



medan, februari 2005

Requiem Kebangkitan

Ruh saudara-saudara kami

ruhnya Muhajirin

yang hijrah

singgah

di negeri Anshor

Robbi,

betapa luka begitu menyayat

sepanjang hayat

seperti rintihan seudati

memapah saman

dari zaman ke zaman

seperti erangan hombo

melompati batu

dari waktu ke waktu



Saudaraku,

jangan pandangi cemas

yang menganga di tepi cadas

yang menguap di udara

yang hanyut di antara lumut

sebab,

akan kau temukan gairah keabadian

di pusaran warna-warna

maut hanyalah selimut

yang mendekap hangat

para Muhajirin

yang hijrah ke negeri angin

menggilir zikir

sepanjang takbir



Ruh saudara-saudara kami

ruhnya Muhajirin

yang meminjam jubah tsunami

menuju negeri tabi'-tabi'in

di antara nadi luka

di antara syair yang merintih

di antara erangan tertahan

Robbi,

betapa luka begitu menyayat

sepanjang hayat, tapi

bangkitkan semangat jiwa

saudara kami

agar terus melukis pelangi

pada kanvas hati

bersama

'Illahi anta maksudi

wa rdhoka matlubi...



medan, 2005
Tanda bahasa dan kata Jiwa

setiap tanda

tak pernah melupakan bahasa dan kata

hidup- mati,langkah-rezeki

sampai kita pun karam

dalam diam



mari kita catat

berapa jiwa yang telah tenggelam

dan peradaban kota yang berubah bagai siluman

diam-diam pergi-bersebab tsunami, tak sempat

meninggalkan pesan pada nisan

di lumpur-lumpur makam



mari kita rekam

setiap peristiwa dengan bahasa dan kata

suara anak yang berteriak memanggil ibunya

suara isteri yang menjerit memanggil suaminya

suara-suara yang tenggelam dalam suara



setiap tanda

setiap peristiwa

hanya bahasa dan kata jiwa

yang mampu merangkainya

tak mengenal ruang dan masa

lantas, mengapa harus terluka

mengapa duka berdiam pada raga

berlama-lama?



medan,februari-maret2005

Bismillah

bismillahirrohmanirrohiim
demikian kumulakan segala permulaan

sesungguhnya segala perbuatan
dimulai dengan niat

bismillahirrohmanirrrohiim
mulailah dengan langkah kanan
bismillahirrohmanirrohiim
mulailah dengan tangan kanan
bismillahirrohmanirrohiim
perkuatlah dengan husnuzon
bismillahirrohmanirrahiim
enyahkanlah segala suuzon

bismillah adalah ucapan yakin melangkah
hapus segala hujjah, hapus segala resah
anak yang mengerahkan segala pada ibu
pertiwi yang selalu gelisah
lantas, alhamdulillahirobbil'alamiin,
pertanda syukur sepanjang umur
demikianlah, sejak lahirnya anak manusia
polos dan tanpa ikatan, tak ada sepotongpun
yang terbawa dibawah nisan
lantas, mengaca pada masa lalu perlu
tetapi bertindak untuk lebih maju, justru fardhu
dari tanah akan kembali ke tanah
dari air akan kembali ke air
dari angin akan kembali ke angin
innalillahi wa innailaihi roji'un
untuk apa lagi kita saling berbantah
niat ikhlash atas ridho dan rahmat
itu pencapaian memperoleh syafa'at

mari yakinkan langkah dengan bismillah
tanamkan segala pujian hanya pada Allah
semoga segala niat memperoleh rahmah

medan-2004/2005

Matahari Tepi Pantai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta di sela-sela pegunungan
merambat pelan-pelan dalam bias cita-cita

di puncak musim angin begitu landai
pada pelepah pohon kelapa
:terdengar anak mengaji alip ba ta
riak-riak biasa dalam sebuah pemahaman
debur ombak hanya menerjang karang
seperti piatu, mengetuk pintu mimpi membuka
telapak kaki ibu
ia pun menemukan buih
yang meretas sepanjang jarak sepanjang waktu
lalu, langkah lenyapkan buih yang gaduh
di bubungan rumah jiwa kita
menetes tes sebutir embun
menetes tes sebutir keringat
menetes tes sebutir air mata
: biru itu harus tergapai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta disela-sela pegunungan
meski badai, biru itu harus tergapai

medan,5-Januari-2005

Indonesia Berkaca

telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa


26 desember 2

nun, segalanya kuyakin jadi

hening
angin
semilir
rangkuh
resah
pundak
luka
kaki
belum
sembuh
hari
dah
hampir
berganti

bertaut resah ke ujung malam, gelapgelap tuan tegap tatap aku dengan poporsenjata aduklah rasa takut hamba selama setahun menunggu nista di tungku ajal

ku tuan nan terasa kekar, kelakar tawa telah lama tahukan aku sesiapa diantara pengarang nestapa ini, panggung kecil tak bisa melampiaskan ceritanya nan berjalan tanpa sebaitpun naskah, sedang hati kita tuan tak pernah bersua dalam sedetik pun resah

ah, betapa setahun ini kuhampir terpukau oleh derita yang kau hantarkan dengan sesajian sejadijadinya

berganti
hampir
dah
hari
sembuh
belum
kaki
luka
pundak
resah
rangkuh
semilir
angin
hening

o, nestapa harihari lalu tigaratusan tusuk menjadi bayangbayang tanpa cahaya padahal mentari segarang anggukan pedang padang pasir menebas leher kaum nan tak berdosa

o, segala doa kuhujatkan ke langit-langit berpantullah dari hulu ke hilirnya penderitaan orang-orang buta, buruh tak jadijadi tuan, nelayan tak jadijadi konglomerat, petani tak jadijadi tuantanah, cukong menjadijadi, makelar menjadijadi, tukang tipu menjadijadi, menjadijadi semua kepada luakluak penindasan hingga di hari ku yang kesekian dalam hitungan tigaratusan

semilir
angin
hening
rangkuh
bayang

kunyanyikan disini bersama segumpal pujaan pada senang, kuyakinkan disini bersama sejurus harapan tenang, kugaung ke liang telingan tuan sedalam harapan kenang, kusampaikan kepada kalian, betapa kan jadinya mimpimimpi yang selama ini dikumandangkan

bayang
rangkuh
hening
angin
semilir

padi tumbuhlah senang diantara sawah letih kaum tani, hutan suburlah julang diantara tawa peladang, ikan berkumpullah tenang diantara sauh sampansampan nelayan, pengemis senyumlah, gelandangan jadilah tuantuan ramah diantara pagi esok

nun, segalanya kuyakin jadi

angin semilir nan hening merangkuh bahagia

esok
pasti
bahagia

angin semilir nan hening merangkuh bahagia

bahagia
pasti
esok

nun, segalanya kuyakin jadi 0

MUHASABAH

Dan bukit-bukit mengecap sunyi pada keheningan terpekat,
Menunggu satu detik yang mengantarkannya pada satu tahun berikutnya

Dan detak jantung yang berjalan menggandeng jarum jam itupun bersaksi,
Pada ingatan yang teracik menjadi catatan kecil terbesar tahun ini.

Tahmidnya menggema menyibak malam,
Saat memorynya menghadiri pesta rakyat, kali ini tanpa darah
Karna Negri ini telah lama lelah, lidahnya tak ingin lagi latah menjilati tinta merah yang berkali-kali tumpah dari jiwa-jiwa penghuninya

Lalu bulu kuduknya berdiri,
Dengan enggan diketuknya memory tragis yang menyaksikan dirinya tertimbun pada puing-puing bangunan dengan airmata menembus lumpur, menyetubuhi air bah.
Dan jantungnya masih berjalan bergandengan dengan jarum jam
walau entah berapa ratus ribu jantung telah diam, bungkam

Ia terpekur,
Menengadahkan kepala menatap lurus menembus jantung cakrawala,
Tapi bulanpun terlihat keruh
dan bibirnya
dan hatinya
dan jiwanya
berpeluk erat pada muhasabah yang nyaris hanyut dalam laut yang gemeretak dengan amarah membirahi

Dan..
helaan nafasnya bertasbih menggaung tembus ke bukit-bukit yang mengecap sunyi pada keheningan terpekat.
Pada satu detik yang berlalu beberapa puluh detik yang lalu, mengantarnya duduk dalam I'tiraf membuka tahun berikutnya

Matanya nanar menatap bulan yang kian keruh-
Dan pemiliknya tak pernah keruh,
Ia luluh04-medan

Puisi M. Rauda Jabak
SERATUS UNTAI BIJI TASBIH


Telah kurangkai
Seratus untai biji tasbih
Mengurai Asma–Mu
Dalam amalan
Dalam Ilahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Telah ku rangkai
Seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Tapi gejolak jiwa ini
tak mampu jua
Menampung tumpahan
Kerinduan
Yang membanjiri air mata
Padahal telah ku arungi keluasan
Laut semesta-Mu
Padahal telah kukayuh sampan
Sejadahku menuju rahmad-Mu
Telah kurangkai
Seratus biji tasbih
Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama Allah.
Puisi M. Raudah Jambak
LANGKAH – LANGKAH

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal – gumpal menjadi
Seonggok awan hitam , di antara
Mendung – mendung
Dan menjadi hujan dalam mataku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa – bisa
Teriknya dan menusuk jantung – jantung
Hingga berdarah , dan seketika detik – detik
Kematian menyelimuti jiwaku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi limbah pada pabrik – pabrik kemaksiatan
Adalah bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi – nadi darahku
Menyumbat mulutku karena tak terbiasa
Melafaskan asma – Mu
Suara azan itu adalah
Langkah – langkah kakiku
Yang terseret satu – satu.







Puisi M. Raudah Jambak
AMSAL MUHARRAM

Allah ,
Hari – hari yang tersusun dalam hurup – hurup keabadian
Pada langit , pada bumi , pada bintang ,
Pada tanah kelahiran adalah
Hijaiyah pergantian musim ke musim
Bermula dari Adam yang mempersunting Hawa
Dalam surga
Lalu , lahirlah pasangan Kabil , lahirlah pasangan Habil
Dalam belantara dunia
Allah ,
Seperti hiasan langit yang gemerlapan
Menjadi cahaya alam semesta jiwa
Adalah Ibrahim yang mencari Sang Pencipta ,
Lalu menunggu kelahiran Ismail tiba
Yang hampir terbentur dalam usia senja Siti Hajar ,
Istrinya dan Allah kembali menguji ke – Imanan
Dalam qurbannya
Allah ,
Dalam lidah cakrawala yang terikat
Bendera – bendera curiga di antara batu karang nafsu
Dan keserakahan dunia lahirlah putra cahaya
Dari rahim Aminah berbapa Abdullah
Muhammad Rasulullah merobah peta suram dunia jahiliyah




Puisi M. Raudah Jambak
Melepas Do’a Air Mata


Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyantuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga – liwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera



Puisi Abdul W. M
Tuhan, Kita Begitu Dekat

Karya: Abdul W. M
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Tuhan,
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu








Pusi Sahril
Laut Telah Tak Bertepi

Ingin kukayuh biduk ini hingga segitiga bernama
ketika magnet-magnet kutub
menarik dajal ke perutnya
tapi konon pengayuhku patah
digunting ombak melaka
dan layarku tumbang dihantam
kalimbubu dan puting beliung
kemudiku kehilangan kompas
disikut debat pariwara
hingga aku terdampar di pulau tak bernama
di situs-situs email
masih kulihat belanak mencari terumbu
antara limbah-limbah politik dan tanker keangkuhan
nelayan-nelayan hanya kuasa
sisiri pantai berlumpur
menjala anak sembilang
sisa auman pukat tauke sipit
nipah – simali-mali telah gundul
tempat lokan dan ketam kelapa bertapa
laut telah tak berpantai
ombak pun enggan bertepi
Medan, 2002
Sepeda Mini

Kulit elang di tengah siang
Saat ombak menggiring pasang
Mak Ijah masih menampi beras segantung
di ujung pantai layar sudah tak di bentang
ayah si Antan menambat sampan
tangkapan hari ini hanya bisa bayar utang
di kedainya Pak Dulah
seikat rokok daun nipah dan tambakau cina
terselip di kopiah lusuh itu. Masih belum di bayar
malam merangkak, Antan pulang mengaji
merengek minta belikan sepeda mini
lelaki itu membisu
Kubah Padang, 2002


Puisi sahril

Di Laut Harimau Mengaum
Julang angin dalam buaian
dihembuskan selat melaka, jahil
sibak untaian mayang di
kening langsat dara pesisir
dan gegap gelak di bibir pantai
dara melayu sukat kepah
menjulur kaki mandi pada jilatan
ombak pasang
nun di samudera, senandung pengayuh
sayup belai di ujung pendengaran
: oii.... nandung di nandung
angin, datanglah puan
tiupkan layar tuju tepian kuala
konon di sana belahan jiwa sendirian
tunggu kasih bawa hantaran
oii.... didong.... didong, sayang
ajat hati melabuh kasih di pelaminan
apatah dayalaut telah mengaum
dekil berbagi
bujang menghanyut berantal lengan
tetap awan, mencibir angan
trbakar rindu pada tunangan
nan tiada bertatap berbilang bulan
oh... alam mengapa engkau siksa
batin nelayan bjang pejaka
pada lembut tatap dara pejaka
pada lembu dara jelita
nan berjanji tuk hidup berumah tangga
oh... laut dimanakah engkau sembunyikan ikan
hingga aku lelah mengayuh sampan
berpeluh embun kuyupkan badan
biarpun panas – hujan tetap kutahan
oh... kasih di tepi kuala
adakah engkau menanti dengan setia
akan ikrar janji kita

Kehilangan Kepala
Cerpen S. Ratman Suras
Lelaki tua berbaju serba hitam dengan caping bambu yang juga berwarna hitam tergesa-gesa datang kekedai saya. Saya melayani, seperti biasa ia minta kopi kental dengan sedikit gula. Setelah mnyeruput beberapa kali kopinya, ia mulai bercerita, ini kali yang ketiga datang ke kedai saya. Beginilah ceritanya:
" Cerita ini terjadi kir-kira seratus tahun yang lampau, saya pertama mendengar cerita ini dari almarhum kakek saya. Kata kakek saya, beliau juga dapat dari kakenya. Kata kakeknya kakek, juga dapat cerita ini dari kakeknya. Jadi sudah berapa kakek yang menceritakan ini buat cucunya? Kalian bisa membayangkan sendiri. Tapi itu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting kalian bisa memetik pelajaran berharga dari cerita saya ini."
Para pelanggan kedai saya mulai tertarik.
"Bagus, klek. Mulai saja,"
"Iya, barangkali kelak saya bisa menceritakan cerita ini kepada cucu saya," sambung ang lain.
"Konon di sebuah perkampungan terpenci lahirlah seorng bayi laki-laki. Oleh Emaknya bayi itu diberi nama Buyung. Dengan penuh cinta, Emak itu mengasuh Buyung sampai Buynug bisa mencari makan sendiri."
"Ala itu pasti cerita anak durhaka. Seperti Malin Kundang Teluk Bayur yang terkutuk jadi batu, kan Kek?" potong Pak Ono sambil mengunyah pult ampas kepala.
"Itu sudah kuno, Kek. Jalan ceritanya semua orang sudah tahu. Cerita yang lain saja, Kek," Pinta yang lain.
"Itulah kalian sring kali memotong cerit orang, saya kan belum selesai ngomong," bela Kakek nyentrik itu.
"Lanjut!" seru saya.
" Pada suatu hari Buyung pergi merantau kengeri seberang. Di negeri orang Buyung bekerja keras. Memang tidak sesukses yang kalian duga. Buyung walaupun kerja keras, kehidupannya masi biasa-biasa saja. Cuma tidak melarut. Mungkin satu yang menjadi catatan bagi kalian, bafwa si Buyung itu kuat makan. Ia pakai teori ayam. Modalnya patok sqama ceker. Berapa hari ini dapat, itu juga yang disikat habis. Beda kan dengan Malin Kundang Teluk Bayur."
"Jadi dimana letak menarik cerita itu, Kek?sela Budi sambil menyemburkan asap rokok dan membetulkan letak gagang kaca matanya.
"Setelah sepuluh tahun Buyung di rantau tak ada perubahan hidupnya, Buyung pun pulang. Sampai di rumah, Buyung terkejut. Kehidupan Emaknya sudah berubah total. Emak Buyung di kampung sudah termasuk kaya harta. Rumahnya sudah paling bagus di kampung itu. Dari kesuksesan Emaknya inilah cerita ini mengalir. Buynug protes keras. Kira-kira begini cara Buynug menkritik Emaknya:
"Semua orang akan mati,Mak. Kita harus bagus-bagus hidup di dunia ini. Menurut pendapat saya, Emak sudah jauh melenceng dari kebenaran. Cara Emak mendapatkan harta salah. Saya kan anak Emaknya juga. Ustad bilang, anak harus berbakti sama orang tuanya. Jadi saya minta maaf, hentikan semua ini, Mak."
"Cara Emak dapatkan harta salah."
"He, dengar Buyung! Emak sudah tua. Emak tahu mana bagus dan mana yang jelek. Kalau kau tak suka cara Emak cari makan, kau kan sudah besar. Cari makan masin-masing lah kita. Kau sudah merantau, ngapai kau pulang. Sekarang kalau kau tak sukadengan Emak, pergi lah kau keman kau suka!"

PERCAKAPAN

OLEH : S. RATMAN SURAS

KAU siapa?"
"Itulah, kau selalu berpura-pura. Padahal sejak dulu kita selalu bersama. Susah senang, pahit getir, manis-asin kita reguk bersama".
"Betul. Aku tidak main-main. Aku memang tak kenal sama kau. Sumpah. Kau masih asing bagiku".
"jangan mudah bersumpah, kawan. Nanti kau termakan sumpahmu. Lidah itu berbisa dan tidak bertulang. Lidah itu biasanya melebihi binatang".
"Apa kau menuduhku binatang?!.
"Ha…ha…ha….! Kau sudah tuli rupanya, siapa yang menuduhmu binatang. He, ingat tuhan memberimu dua telinga, itu berarti kau harus lebih satu kaliuntuk mendengarkan hal-hal apa yang terjadi dilingkunganmu."
"He, bangsat ! jangan membawa-bawa nama tuhan. Siapakau sebenarnya? Jangan sok alim,sok jago, sok ustad. Belum tentu tabiatmu lebih buruk dari aku. Kau bukan kiai,sok alim, jangan khotbah disini. Tutup mulutmu dan cepat tinggalkan tempat ini. Sebelum kemarahanku muntah!".
"Sabar-sabar dulu teman. Jaga mulutmu,mata, telinga,tangan, kaki. Masih juga kau langgar. Mulutmu masih sering menghamburkan busa, memfitnah orang lain. Bicarangalor ngidul tak tak tahu arah. Kau anggap orang lain bisu.begitu juga dengan matamu. Kau masih memandang secara harfiah. Keindahan dunia. Semua wanita cantik, mulus, sintal, kilauan permata, sutera.dari sinilah kau jadi mencintai dunia".
"cukup. Tutup mulutmu dan enyahlah dari sini. Aku muak ! ".
"tunggu . aku aku belum selesai ngomong. Ini demi kebaikan kita bersama".
"kita? Ha? Apa kau tak salah dengar?"
"ya, dan aku tak tuli,kan?"
"aku sering menjerit menasehatimu setiap saat. Ketika kau melenceng dari kebenaran yang telah kita sepakati bersama, ketika tangis pertamamu pecah. Waktu itu tanganmu masih mungil".
"kau makin sinting saja".
"dengar dulu, tangan dan kakimu mungil dan berwarna merah itu. Kini telah kau lumuri dengan lumpur. Bukan sembarang lumpur lagi. Namanya lumpur dunia. Dosa. Saat kau telah mampu menggenggam dan mengepal jemarimu. Kau meraup apa saja. Kau menonjok siapa saja. Kau merasa sok jago. Kepada yang lebih kecil kau menindas. Kepada yang lebih tinggi kau tak segan-segan untuk menjilat. Kau tak ragu-ragumeraup kerikil yang bertebaran di sungai tercemar yang kau anggap sungai madu. Apakah kau tak pernah berpikir? Siapa dirimu?dari mana asalmu? Dan hendak kemana kamu? Mengapa kau masih sering keluyuran di jalan-jalan hitamberlumpur dan berdebu? Apakah kau tak melihat? Semut-semut yang merangkak menuju keabadian? Apakah kau tak mendengar? Simponi-simponi keindahan yang mengalahkan lagu seluruh ciptaan manusia? Mengapa kau tak pernah menyisakan sedikit waktu untuk merenungkan kata-kataku ini barang sejenak? ".
"sudah-sudah. Bising sekali suaramu!.
"jangan kau gunakan telinga nafsumu. Pasang mata,telinga batinmu. Buang seluruh kenikmatan dunia".
"tapi….?".
" bangkitlah. Jangan kau tunda-tunda lagi mumpung ada kesempatan.kereta api terakhir masih jauh. Matahari masih mau bangkit. Bangkitlah. Cepat".
" Kau,kau, pasti keliruya, aku bukan orang yang kau maksud. Karena aku merasa berjalan pada rel yang benar. Aku orang baik-baik. Aku bukan pencuri. Aku bukan koruptor. Sebagai meslim aku cukup taat. Sholat lima waktu tak pernah tinggal. Aku sering sedekah, untuk fakir, miskin, jangan tnya lagi. Apa kau selama ini taqk tahu, aku sedang mempersiapkan biaya. Tahun depan insya allah aku akan anik haji. Apalagi?".
" jangan mencoba menyulam angin. Tong kosong nyaring bunyinya.; air beriak tanda tak dalam. Kamu egois. Kau tak perlu melambung-lambungkan pribadimu. ]itu tak baik. Berpura-pura menjadi orang baik-baik ketika ada di mesjid.tapi giliran di jalan, di pasar, di pub, kau munafik".
" makin bodoh saja kau".
" apa? Aku bodoh, dungu? Ha…ha…ha…! Aku justru pada saat sekaraqng ini berada pada puncak kebenaran. Aku sudah menjadi manusia sempurna. Telah bertahun-tahun, aku mencari kebenaran yang sejatii.itu semua telah membawa hasil. Aku bisa meniti keberan itu sebagaimana kau menitinya. Akulah aku. Akulah hallaj".
" jangan ngawur kau. Tahu apa kau tentang Al-hallaj. Kaji kaji alif saja belum becus. Sudah membawa –bawa nama besar itu".
" barang kali kau lupa.bukankah pada minggu ini aku sedang belajar kaji diri. Dimana ada empat unsur alam yang ada pada manusia. Air,tanah,udara, dan api.kelak manusia akan kembalimenjadi empat unsur tadi. Dari air kembali ke air,tanah kembali ke tanah, angin kembali ke angin, begitu juga dengan api".
"coba terangkan lebih rinci?".
"kau justru lebuh tahu".
"kau mulai melunak? Syukurlah. Hati-hati kau. Kalau kau tak mampu mengendalikan empatunsur tadi. Kau bisa celaka. Atau kau paling tidak akan jadi sinting".
"Oh tidak mungkin. Aku sekarang angin,aku sekarang api, aku sekarang bumi, dan aku sekarang air. Aku mengapung di lautan luas. Aku berjalan disungai syariat menuju samudera ma’rifat, melalui udara tarekat. Aku menuju bukit hakekat".
"Gila kau ".
"kau yang sinting".
"hentikan ocehanmu".
"tidak, ini sudah menjadi kewajibanku. Aku harus selalu bersamamu".
"apa maumu sebenarnya? Aku kalah sekarang. Cepat sampaikan maksudmu?".
"hiduplah!".
"hanya itu".
"ya".
"gampang".
"tunggu dulu. Itu berarti kau belum ikhlas. Kau belu siap. Kau masih ragu-ragu terhadapku. Kau penuh curiga. Cintamu hanya separo-separo terhadapku . Kau terlalu menggampangkan masalah cinta. "
"Cinta? Kita bercinta rupanya?"
"Kau belum ketemu juga. Susah ngomong sama kau".
"Oke-oke aku sudah siap".
"Endapkan seluruh pikiranmu ke dalam kalbumu paling dalam".
"Kau raba debaran jantungmu. Pejamkan mata, tutup semua panca indra. Lenyapkan rasa dan karsa dunia. Rasakan. Kau dan aku begitu dekat. Begitu erat. Kita satu. Kau adalah aku dan aku adalah kau. Jangan mengembara terlalu jauh. Aku sedih bila kau selalu melupakanku. Kau sering berpaling dari suaraku. Kau kadang membuat aku stress. Apa yang kau lakukan sering melenceng dari perjanjian semula . Sekarang kau sudah tahu di mana aku bersemayam.? Ya, disitulah aku bersemayam".
"Aku jadi takut".
"Terlalu dini kau buat kesimpulan. Itu namanya kau masih kuat mengendarai nafsumu. Ingat kau jangan mau dikendalikan nafsumu.Seharusnya kau yang mengendalikannya. Pelan-pelan kau berjalan. Lihat di depanmu itu kebun apa?"
"Kebun anggur?"
"Bukan itu bukan kebun anggur. Itu hutan lebat yang masih perawan. Banyak binatang buas. Hati-hati. Gunakan mata, telinga, tangan, kaki batinmu. Sering-seringlah memberikan semua itu kepada sesama mu. Masih banyak orang lain yang lebih membutuhkan. Berikan tongkat kepada orang yang berjalan dijalan licin. Berikan obor kepada orang yang kegelapan. Dengan demikian kau akan menjadi manusia yang hidup. Hidup itu indah. Tapi ingat, kau sedang belanja di pasar sore. Sebentar saja waktumu. Matahari di dadamupun akan redup sinarnya. Ingat, pasar sore. Belilah seperlumu. Cinta, ya hanya dengan itulah kau akan bahagia. "
"Cinta dunia ya itu aku suka".
"Bukan itu hanya sarana. Alat. Untuk ke sana".
"Aku belum mau mati".
"Kau masih takut mati rupanya. Siapa bilang kau akan mati. Aku sendiri tak tahu kapan matimu. Itu rahasia-Nya".
"Aku bukan takut mati. Cuma belum siap. Aku harus mengantar anak-anakku ke masa depan yang lebih gemilang. Aku belum punya ini. Aku masih mau itu. Pokoknya aku belum siap mati. "
"Siap tidak siap kalau sudah saatnya, kau harus berangkat".
"Ya, itu aku sadari betul, bahwa setiap yang bernafas pasti akan mati".
"Syukurlah, kau sudah sadar".
"Aku dari dulu sadar, waras, aku tidak gila".
"Mau kucabut nyawamu sekarang?’
"Tidak….!Siapa kau?"
"Kau siapa?"
"Kau?"
"Aku…?"
"Kita satu kawan".
"Kau adalah aku dan Aku adalah Kau".

Medan, Oktober 2001


Kehilangan Kepala
Cerpen S. Ratman Suras
Lelaki tua berbaju serba hitam dengan caping bambu yang juga berwarna hitam tergesa-gesa datang kekedai saya. Saya melayani, seperti biasa ia minta kopi kental dengan sedikit gula. Setelah mnyeruput beberapa kali kopinya, ia mulai bercerita, ini kali yang ketiga datang ke kedai saya. Beginilah ceritanya:
" Cerita ini terjadi kir-kira seratus tahun yang lampau, saya pertama mendengar cerita ini dari almarhum kakek saya. Kata kakek saya, beliau juga dapat dari kakenya. Kata kakeknya kakek, juga dapat cerita ini dari kakeknya. Jadi sudah berapa kakek yang menceritakan ini buat cucunya? Kalian bisa membayangkan sendiri. Tapi itu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting kalian bisa memetik pelajaran berharga dari cerita saya ini."
Para pelanggan kedai saya mulai tertarik.
"Bagus, klek. Mulai saja,"
"Iya, barangkali kelak saya bisa menceritakan cerita ini kepada cucu saya," sambung ang lain.
"Konon di sebuah perkampungan terpenci lahirlah seorng bayi laki-laki. Oleh Emaknya bayi itu diberi nama Buyung. Dengan penuh cinta, Emak itu mengasuh Buyung sampai Buynug bisa mencari makan sendiri."
"Ala itu pasti cerita anak durhaka. Seperti Malin Kundang Teluk Bayur yang terkutuk jadi batu, kan Kek?" potong Pak Ono sambil mengunyah pult ampas kepala.
"Itu sudah kuno, Kek. Jalan ceritanya semua orang sudah tahu. Cerita yang lain saja, Kek," Pinta yang lain.
"Itulah kalian sring kali memotong cerit orang, saya kan belum selesai ngomong," bela Kakek nyentrik itu.
"Lanjut!" seru saya.
" Pada suatu hari Buyung pergi merantau kengeri seberang. Di negeri orang Buyung bekerja keras. Memang tidak sesukses yang kalian duga. Buyung walaupun kerja keras, kehidupannya masi biasa-biasa saja. Cuma tidak melarut. Mungkin satu yang menjadi catatan bagi kalian, bafwa si Buyung itu kuat makan. Ia pakai teori ayam. Modalnya patok sqama ceker. Berapa hari ini dapat, itu juga yang disikat habis. Beda kan dengan Malin Kundang Teluk Bayur."
"Jadi dimana letak menarik cerita itu, Kek?sela Budi sambil menyemburkan asap rokok dan membetulkan letak gagang kaca matanya.
"Setelah sepuluh tahun Buyung di rantau tak ada perubahan hidupnya, Buyung pun pulang. Sampai di rumah, Buyung terkejut. Kehidupan Emaknya sudah berubah total. Emak Buyung di kampung sudah termasuk kaya harta. Rumahnya sudah paling bagus di kampung itu. Dari kesuksesan Emaknya inilah cerita ini mengalir. Buynug protes keras. Kira-kira begini cara Buynug menkritik Emaknya:
"Semua orang akan mati,Mak. Kita harus bagus-bagus hidup di dunia ini. Menurut pendapat saya, Emak sudah jauh melenceng dari kebenaran. Cara Emak mendapatkan harta salah. Saya kan anak Emaknya juga. Ustad bilang, anak harus berbakti sama orang tuanya. Jadi saya minta maaf, hentikan semua ini, Mak."
"Cara Emak dapatkan harta salah."
"He, dengar Buyung! Emak sudah tua. Emak tahu mana bagus dan mana yang jelek. Kalau kau tak suka cara Emak cari makan, kau kan sudah besar. Cari makan masin-masing lah kita. Kau sudah merantau, ngapai kau pulang. Sekarang kalau kau tak sukadengan Emak, pergi lah kau keman kau suka!"
"Emak ngusir saya?"
"Nampaknya rumah ini tertutup pintunya untukmu."
"Baiklah kita sudah berseberangan jalan, Mak. Hari ini juga saya akan pergi dari rumah ini!"
Sambil menyeruput kopinya yang tinggal separo gelas. Lelaki tua bercaping hitam melanjutkan ceritanya. Saya agak serius mendengarkannya, tentunya sambil melayani tamu kedai saya yang lain, yang sebagian besar langganan berat saya.
"Sejak saat itulah buyung keluar dari keluarganya. Ia kerja serabutan. Kadang buyung kerja bangunan, kadang ia menjadi kenek mobil. Tidurnyapun kadang di rumah kawan-kawannya yang mau menampung, tapi yang sering ia tidur di surau kecil yang ter letak di sudut kampungnya. Di sela-sela kesibukannya, Buyung belajar mengaji. Ia pandai mengumandangkan azan. Seiring dengan usianya, kebenciannya kepada emaknya makin menjadi.. Tapi anehnya, buyung kalau disuruh orang rajinnya bukan main. Apalagi kalau di kampungnya ada orang meninggal dunia. Dari mulai mendirikan tenda, sampai menguburkan jenazah, Buyung ikut terlibat. Dimata orang asing buyung menjadi orang baik-baik. Namun di mata tetangga dekat dan saudara-saudara kandungnya Buyung dicap sebagai anak durhaka. Pernah suatu saat Ustad Salim menasehatinya. Semua nasehat orang-orang hanya dianggap angin lalu.
"Yung, para nabi telah mengajarkan kita, sorga itu terletak di bawah telapak kaki ibu."
"Sekarang ibu yang bagaimana yang di bawah tapak kakinya ada sorganya? Coba kutanya sama kalian. Pokoknya saya keluar dari batu, jadi mama sayapun batu, titik!" jawab Buyung ketus.
Lelaki tua aneh dan misterius itupun , menyeruput kopinya lagi. Pandangan matanya curiga. Saya tiba-tiba saja berpikir lain tentangnya.
"Jangan-jangan kakek ini seorang…"batin saya.
"Memangnya cara Maknya Buyung memperoleh kekayaan dengan jalan apa, Kek? Kok sampai kebencian buyung sama Emaknya sampai menggunung. Dan bapak si Buuyung apakah nggak ngasih pelajaran buatnya?" tanya Bang Iyan yang sejak tadi duduk serius menyimak cerita lelaki tua itu.
"Bagus itu memang pertanyaan yang saya tunggu-tunggu. Kalian yang di kedai ini nampaknya orang-orang kritis. Namun itu, saya jawab besok pagi. Karena saya ada keperluan lain Haripun nampaknya semakin siang. Saya buru-buru, ok? Pokoknya kalian jangan cemas dan sangsi. Cerita saya ini akan semakin seru dan menarik, "jelas lelaki tua itu tergesa-gesa. Ia lalu mengeluarkan buntelan plastik hitam dan membayar kopi
"Rerfformasi!Kalian jangan berlindung di balik tembok kata reformasi. Reformasi ini sudah kebablasan. Lihat saja bangsa ini terus terpuruk ke dalam jurang ketidakpastian. Masing-masing kita tak tahu harus berbuat apa. Para elit politik selalu lempas kontrol kalau ngomong. Sedikit-sedikit atas nama rakyat. Tapi rakyat tetap terpuruk . Demokrasi jadinya tirani. Kebersamaan jadinya kroni-kroni. Dolar terus menggila, sembako mahal. Sudah itu, hukum nggak punya nyala. Semuanya buram Orang yang selama ini bersih kita anggap kotor. Kalau sudah begini siapa yang sudah kita anggap? Semua orang mengaku nabi-nab.Reformasi banyak melahirkan nabi-nabi. Namun tak satupun nabi-nabi reformasi itu membawa pencerahan. Raden Ngabci Ronggor warsito bilang, kita sekarang berada di jaman kalbendu.
"Kek, mendingan kakek melanjutkan cerita kemarin.Kita nggak usah ikut-ikutan berpolitik. Itu urusan orang gede di sana,"pinta saya.
"Ya, ya. Hampir saya lupa. Sampai dimana cerita saya kemarin?"
"Bisnis emak buyung yang menyebabkan buyung begitu benci kepada emaknya itu,"jawab saya mewakili para langganan.
Seperti biasa lelaki tua berbaju serba hitam itu menyeruput kopinya sebelum bercerita.
" Perlu kalian ketahui, dipandang dari sisi manapun bisnis emak buyng tidak bisa di benarkan. Ia berbisnis narkoba walaupun kelas teri. Namun ia sebagai pemasok di lingkungannya. Di tambah lagi ia kini menjadi induk semangnya perempuan-perempuan malam kelas murahan. Hal ini yang membuat kebencian buyung terhadap orang tua kandungnya itu menjadi semakin menggunung."
"Pantaslah kalau begitu, Buyung benci sama Emaknya."
"Benci si benci", biar bagaimana pun ia tetap keluar dari rahim Emaknya yang harus tetap dihormati."
Para langganan saya saling pro dan kontra menyikapi ending cerita lelaki tua yang katanya, begini.
"Dan, yang membuat saya heran, kakek saya mengakhiri cerita tua dengan kebencian si Buyung yang tetap meluap-luap. Walaupun Emaknya telah diganjar hukuman selama lima tahun, karena jaringan bisnisnya terbongkar pihak berwenang."
Sejak hari itu, Lelaki tua berbaju serba hitam yang saya anggap mis-terius itu tak pernah datang lagi ke kedai saya. Cerita tentang si Buyung itu pun menguap dari benak saya begitu saja. Tak ada yang bisa saya ambil hikmanya. Entah di benak para langgana saya itu.
Sudah beberapa hari ini, koran-koran lokal membeitahukan bahwa situasi di kota saya tinggal rawan ledakan. Di mana saja, kapan saja warga kota harus waspada.
"Gawat kita. Rumah-rumah ibadah sudah menjadi sasaran empuk. Provokator sudah, menyusup ke mana-mana. Kota ini perlu siaga satu," kata Pak Rusli disela-sela menikmati kue bohong buatan istri saya.
"kita tak perlu resah, pak. Kota ini masih aman tenteram. Angkutan Kota masih berjalan pada rutenya masing-masing. Azan masih berkumandang seriap waktu solat tiba. Jangan membuat suasana kurun," sambung Bang Iyan sambil mengepulkan asap kretek-nya yang merek termahal.
"Apa kata Pak Rusli perlu kita cermati. Ada kawan saya, semalam ia melihat sendiri, di Lingkungan kumuh pinggir sungai itu tuh yang dekat kuburan. Kemarin seorang kakek tua berbaju hitam putus kepalanya. Katanya sih terkena ledakan bom rakitan sendiri," sambung Bang Toha.
"Kakek tua berbaju hitam, jangan-janan…..kakek yang dulu sering mampir ke sini," timpal saya sekenanya.
"Coba kita loper koran langganan saya menghantar koran pagi itu, kami langsung menyerbunya. Tepat sekali dugaan saya selama ini, hari itu berita tentang aktifitas sehari-hari lelaki tua berbaju serba hitam dan bercapng bambu yang juga bercat hitam itu memang salah satu aktor dibalik teror bom yang melanda dan meladak di beberapa tempat kota kamu tinggal. Dan yang membuat saya dan langganan kedai kopi saya lebih terkejut lagi di koran itu nama kakek tua itu ditulis langsung ; Buyung.



PERCAKAPAN

OLEH : S. RATMAN SURAS

KAU siapa?"
"Itulah, kau selalu berpura-pura. Padahal sejak dulu kita selalu bersama. Susah senang, pahit getir, manis-asin kita reguk bersama".
"Betul. Aku tidak main-main. Aku memang tak kenal sama kau. Sumpah. Kau masih asing bagiku".
"jangan mudah bersumpah, kawan. Nanti kau termakan sumpahmu. Lidah itu berbisa dan tidak bertulang. Lidah itu biasanya melebihi binatang".
"Apa kau menuduhku binatang?!.
"Ha…ha…ha….! Kau sudah tuli rupanya, siapa yang menuduhmu binatang. He, ingat tuhan memberimu dua telinga, itu berarti kau harus lebih satu kaliuntuk mendengarkan hal-hal apa yang terjadi dilingkunganmu."
"He, bangsat ! jangan membawa-bawa nama tuhan. Siapakau sebenarnya? Jangan sok alim,sok jago, sok ustad. Belum tentu tabiatmu lebih buruk dari aku. Kau bukan kiai,sok alim, jangan khotbah disini. Tutup mulutmu dan cepat tinggalkan tempat ini. Sebelum kemarahanku muntah!".
"Sabar-sabar dulu teman. Jaga mulutmu,mata, telinga,tangan, kaki. Masih juga kau langgar. Mulutmu masih sering menghamburkan busa, memfitnah orang lain. Bicarangalor ngidul tak tak tahu arah. Kau anggap orang lain bisu.begitu juga dengan matamu. Kau masih memandang secara harfiah. Keindahan dunia. Semua wanita cantik, mulus, sintal, kilauan permata, sutera.dari sinilah kau jadi mencintai dunia".
"cukup. Tutup mulutmu dan enyahlah dari sini. Aku muak ! ".
"tunggu . aku aku belum selesai ngomong. Ini demi kebaikan kita bersama".
"kita? Ha? Apa kau tak salah dengar?"
"ya, dan aku tak tuli,kan?"
"aku sering menjerit menasehatimu setiap saat. Ketika kau melenceng dari kebenaran yang telah kita sepakati bersama, ketika tangis pertamamu pecah. Waktu itu tanganmu masih mungil".
"kau makin sinting saja".
"dengar dulu, tangan dan kakimu mungil dan berwarna merah itu. Kini telah kau lumuri dengan lumpur. Bukan sembarang lumpur lagi. Namanya lumpur dunia. Dosa. Saat kau telah mampu menggenggam dan mengepal jemarimu. Kau meraup apa saja. Kau menonjok siapa saja. Kau merasa sok jago. Kepada yang lebih kecil kau menindas. Kepada yang lebih tinggi kau tak segan-segan untuk menjilat. Kau tak ragu-ragumeraup kerikil yang bertebaran di sungai tercemar yang kau anggap sungai madu. Apakah kau tak pernah berpikir? Siapa dirimu?dari mana asalmu? Dan hendak kemana kamu? Mengapa kau masih sering keluyuran di jalan-jalan hitamberlumpur dan berdebu? Apakah kau tak melihat? Semut-semut yang merangkak menuju keabadian? Apakah kau tak mendengar? Simponi-simponi keindahan yang mengalahkan lagu seluruh ciptaan manusia? Mengapa kau tak pernah menyisakan sedikit waktu untuk merenungkan kata-kataku ini barang sejenak? ".
"sudah-sudah. Bising sekali suaramu!.
"jangan kau gunakan telinga nafsumu. Pasang mata,telinga batinmu. Buang seluruh kenikmatan dunia".
"tapi….?".
" bangkitlah. Jangan kau tunda-tunda lagi mumpung ada kesempatan.kereta api terakhir masih jauh. Matahari masih mau bangkit. Bangkitlah. Cepat".
" Kau,kau, pasti keliruya, aku bukan orang yang kau maksud. Karena aku merasa berjalan pada rel yang benar. Aku orang baik-baik. Aku bukan pencuri. Aku bukan koruptor. Sebagai meslim aku cukup taat. Sholat lima waktu tak pernah tinggal. Aku sering sedekah, untuk fakir, miskin, jangan tnya lagi. Apa kau selama ini taqk tahu, aku sedang mempersiapkan biaya. Tahun depan insya allah aku akan anik haji. Apalagi?".
" jangan mencoba menyulam angin. Tong kosong nyaring bunyinya.; air beriak tanda tak dalam. Kamu egois. Kau tak perlu melambung-lambungkan pribadimu. ]itu tak baik. Berpura-pura menjadi orang baik-baik ketika ada di mesjid.tapi giliran di jalan, di pasar, di pub, kau munafik".
" makin bodoh saja kau".
" apa? Aku bodoh, dungu? Ha…ha…ha…! Aku justru pada saat sekaraqng ini berada pada puncak kebenaran. Aku sudah menjadi manusia sempurna. Telah bertahun-tahun, aku mencari kebenaran yang sejatii.itu semua telah membawa hasil. Aku bisa meniti keberan itu sebagaimana kau menitinya. Akulah aku. Akulah hallaj".
" jangan ngawur kau. Tahu apa kau tentang Al-hallaj. Kaji kaji alif saja belum becus. Sudah membawa –bawa nama besar itu".
" barang kali kau lupa.bukankah pada minggu ini aku sedang belajar kaji diri. Dimana ada empat unsur alam yang ada pada manusia. Air,tanah,udara, dan api.kelak manusia akan kembalimenjadi empat unsur tadi. Dari air kembali ke air,tanah kembali ke tanah, angin kembali ke angin, begitu juga dengan api".
"coba terangkan lebih rinci?".
"kau justru lebuh tahu".
"kau mulai melunak? Syukurlah. Hati-hati kau. Kalau kau tak mampu mengendalikan empatunsur tadi. Kau bisa celaka. Atau kau paling tidak akan jadi sinting".
"Oh tidak mungkin. Aku sekarang angin,aku sekarang api, aku sekarang bumi, dan aku sekarang air. Aku mengapung di lautan luas. Aku berjalan disungai syariat menuju samudera ma’rifat, melalui udara tarekat. Aku menuju bukit hakekat".
"Gila kau ".
"kau yang sinting".
"hentikan ocehanmu".
"tidak, ini sudah menjadi kewajibanku. Aku harus selalu bersamamu".
"apa maumu sebenarnya? Aku kalah sekarang. Cepat sampaikan maksudmu?".
"hiduplah!".
"hanya itu".
"ya".
"gampang".
"tunggu dulu. Itu berarti kau belum ikhlas. Kau belu siap. Kau masih ragu-ragu terhadapku. Kau penuh curiga. Cintamu hanya separo-separo terhadapku . Kau terlalu menggampangkan masalah cinta. "
"Cinta? Kita bercinta rupanya?"
"Kau belum ketemu juga. Susah ngomong sama kau".
"Oke-oke aku sudah siap".
"Endapkan seluruh pikiranmu ke dalam kalbumu paling dalam".
"Kau raba debaran jantungmu. Pejamkan mata, tutup semua panca indra. Lenyapkan rasa dan karsa dunia. Rasakan. Kau dan aku begitu dekat. Begitu erat. Kita satu. Kau adalah aku dan aku adalah kau. Jangan mengembara terlalu jauh. Aku sedih bila kau selalu melupakanku. Kau sering berpaling dari suaraku. Kau kadang membuat aku stress. Apa yang kau lakukan sering melenceng dari perjanjian semula . Sekarang kau sudah tahu di mana aku bersemayam.? Ya, disitulah aku bersemayam".
"Aku jadi takut".
"Terlalu dini kau buat kesimpulan. Itu namanya kau masih kuat mengendarai nafsumu. Ingat kau jangan mau dikendalikan nafsumu.Seharusnya kau yang mengendalikannya. Pelan-pelan kau berjalan. Lihat di depanmu itu kebun apa?"
"Kebun anggur?"
"Bukan itu bukan kebun anggur. Itu hutan lebat yang masih perawan. Banyak binatang buas. Hati-hati. Gunakan mata, telinga, tangan, kaki batinmu. Sering-seringlah memberikan semua itu kepada sesama mu. Masih banyak orang lain yang lebih membutuhkan. Berikan tongkat kepada orang yang berjalan dijalan licin. Berikan obor kepada orang yang kegelapan. Dengan demikian kau akan menjadi manusia yang hidup. Hidup itu indah. Tapi ingat, kau sedang belanja di pasar sore. Sebentar saja waktumu. Matahari di dadamupun akan redup sinarnya. Ingat, pasar sore. Belilah seperlumu. Cinta, ya hanya dengan itulah kau akan bahagia. "
"Cinta dunia ya itu aku suka".
"Bukan itu hanya sarana. Alat. Untuk ke sana".
"Aku belum mau mati".
"Kau masih takut mati rupanya. Siapa bilang kau akan mati. Aku sendiri tak tahu kapan matimu. Itu rahasia-Nya".
"Aku bukan takut mati. Cuma belum siap. Aku harus mengantar anak-anakku ke masa depan yang lebih gemilang. Aku belum punya ini. Aku masih mau itu. Pokoknya aku belum siap mati. "
"Siap tidak siap kalau sudah saatnya, kau harus berangkat".
"Ya, itu aku sadari betul, bahwa setiap yang bernafas pasti akan mati".
"Syukurlah, kau sudah sadar".
"Aku dari dulu sadar, waras, aku tidak gila".
"Mau kucabut nyawamu sekarang?’
"Tidak….!Siapa kau?"
"Kau siapa?"
"Kau?"
"Aku…?"
"Kita satu kawan".
"Kau adalah aku dan Aku adalah Kau".

Medan, Oktober 2001

Surat Putih dari Tanah Rencong
Oleh : S. Ratman Suras

Saudaraku, kuburan massal telah disiapkan. Mayat-mayat telah dibungkus plastik hitam, lalu dimasukkan ke dalam lobang besar memanjang. Tak beraturan. Seperti me-
ngubur bangkai ayam korban keganasan flu burung. Aku maklum. Sebab jumlah mayat mencapai ribuan. Ratusan lagi bahkan belum terurus. Peralatan dan petugas jumlahnya sangat terbatas. Tragedi ini memang tak hanya menguras air mata, tapi juga tenaga dan semangat.
Aceh tidak hanya melelehkan kepedihan. Kota telah mati. Lumpuh. Dimana-mana ma-yat berserakan. Di pasar, dijalan-jalan. Di trotoar dan disela-sela puing-puing bangunan runtuh. Bau busuk pun menusuk. Dalam suasana seperti ini air mata seperti tak ada harganya lagi. Akupun tak sanggup menangis.
Mungkin engkau membaca surat ini dengan air mata atau tawa. Aku percaya. Duka ini begitu cepat merambat. Televisi dan koran-koran selalu menyuarakan amuk bumi dan tsunami ini. Negeri inipun langsung berduka. Bendera setengah tiang dikibarkan selama tiga hari penuh. Nyanyian perkabungan berkumandang. Dompet peduli Aceh dibuka. Sekali lagi aku yakin. Kau juga ikut posko. Saudaraku, aku katakan jujur, aku sangat terharu. Dengan tragedi ini , rasanya persaudaraan kita lebih kental. Lebih indah dan akrab. Terimakasih saudaraku. Semua lapisan masyarakat berbaris rapi menyikapi bencana ini. Bantuan duniapun terus mengalir. Pejabat-pejabat tinggi kitapun terus hadir.
Aku melihat konvoi truk mengangkut sembako di jalan menuju Aceh tak putus-putus. Semua itu untuk kami yang terkena bencana. Ya, dengan adanya bantuan itu, kami yang disini bisa lebih bergairah lagi menatap masa depan yang sudah porak-poranda. Lewat surat ini juga aku ingin berbagi cerita. Aku juga seperti kita semua. Bahwa minggu pagi yang cerah itu akan menjadi cerita luka selamanya. Dalam hitungan menit, kota digulung ombak yang cukup tinggi. Gelombang itu begitu cepat menerjang. Sangat ganas. Sesekali orang-orang berhamburan saling menyelematkan diri. Anak-anak bahkan tak sempat lagi menjerit. Orang tua pasrah dilumat gelombang pasang. Ia datang tak permisi menggu-lung apa saja. Pasar, kantor, toko-toko, mobil, gedung, sekolah lumat dalam sekejap.
Saudaraku, aku pada waktu itu sedang santai menunggu pembeli. Maklum aku seorang pedagang yang sedang mulai berkembang. Rumahku sekitar tiga kilo meter dari tempat aku berjualan. Aku berjualan sembako dan kebutuhan lain. Pada saat bersamaan istri dan anak-anakku sedang berada di rumah. Mereka sangat setia. Istriku cantik. Aku baru punya anak dua yang sedang lucu-lucunya. Aku cukup bahagia dengan keadaanku. Banda Aceh adalah saksi hidupku. Satu yang menjadi kegemaran istriku, ia suka berkebun. Khususnya bunga. Sekitar rumahku penuh dengan aneka kembang.
Sebenarnya ada perasaan tak enak usai gempa. Namun perasaan itu aku pendam. Aku berusaha tentram bersama pedagang yang lain. Karena para pembelipun sudah mulai ramai. Perputaran uang sudah mulai berjalan. Apalagi hari libur. Hari-hari libur inilah saat-saat indah meraih untung.
Walau aku asli Aceh, saudaraku jangan dulu berpikir negatif. Aku tidak pernah ikut-ikutan sama mereka yang angkat senjata naik gunung. Aku ingin menjadi orang biasa yang ingin hidup bahagia apa adanya di negeri ini. Aku tak ingin berpolitik. Aku sudah cukup bahagia bisa membangun Aceh dari sisi lain. Bukankah sebutir pasir akan bermanfaat bagi sebuah gedung bernama pembangunan? Sebenarnya banyak saudaraku, orang Aceh yang berpandangan seperti aku ini. Negeri ini memang sangat luas. Banyak perbedaan adalah rahmat-Nya. Untuk kita saling mengenal satu-sama lain. Aku sadar itu.
Bumi serambi Mekkah ini dari dulu memang terkenal. Satu keturunan masyarakat dunia yang multi etnik dan kultur bersatu di sini. Telah banyak orang-orang alim lahir di sini dan menyebar ke seluruh negeri. Kalau saudara pernah ke Tomok di salah satu kuburan batu raja-raja di situ, ada orang kita yang konon mengembara sampai ke sana. Para wali di jawa juga masih ada hubungan darah dengan orang sini. Satu pertanyaan saudaraku, mengapa ombak besar itu menggulung kami di sini? Apa aku dan saudara-saudaraku di sini telah jauh darinya? Ini cobaan, ujian, atau azab? Saudaraku, kalau ini cobaan dan ujian, aku sabar. Kalau seandainya ini azab, aku akan tabah dan tawakal serta kaji diri, iktibar dan semuanya aku serahkan kepada-Nya. Sebab semua yang terjadi di langit, di bumi dan di laut ada dalam gengggaman-nya. Kita manusia Cuma bisa pasrah.
Kini semua telah luluh, semua telah rata dengan tanah. Anak-anak dalam sekejap jadi yatim-piyatu . Orangtua yang selamat trauma. Harta yanhg tak terhitung jumlah nya lenyap.
Saudaraku, inilah barangkali yang bisa aku sampaikan. Ya, barangkali bisa untuk men jadi pelajaran bagi kita semua. Dalam musibah ini semua sudah luluh. Segalanya kembali dari nol . Pesanku, kepada saudarsauda- ra ku yang hidup. Tabahkanlah hati kalian, janganlah larut terus dalam duka. Matahari masih mekar diufuk timur. Bangkitlah dengan
Kekuatan baru. Syukurlah kalian masih diberi umur panjang oleh-Nya. Semua ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Harta, tahta, anak-anak, istri semua amanah dan titipannya. Dalam sekejap mata kalau Dia mau mengambilnya tentu kita tak bisa me-nahannya.
Terakhir kalau ada kata-kata yang kurang berkenan, aku minta maaf. Aku sekarang tak bisa apa-apa lagi. Aku hanya bisa menatap kosong. Tanah rencong yang sebagian sudah luluh lantak. Meulaboh kopak-kapik, seperti rempeyek yang hancur. Banda Aceh puing-puing cinta yang tenggelam. Calang tenggelam dalam lumpur pekat. Pantai-pantai yang dulu indah kini rusak wajahnya.
Saudaraku, salam dari jauh. Jauh sekali. Aku tak bisa lagi turut membangun tanah ini. Sebab jasadku telah rusak. Tubuhku telah dibungkus plastik hitam dan telah dimasukkan ke dalam tumpukkan mayat-mayat di lobang besar memanjang. Ya, akulah salah satu korban keganasan gelombang pasang itu. Dan, ini surat ku yang pertama dan terakhir. Do’a kalian semua kuminta dengan tulus ikhlash; semoga aku bisa berkumpul dengan keluargaku di sana.
MEDAN, Januari 2005
Catatan Harian Seorang Perempuan Acheh
By : Nyak Mutia

Hari ini senin, tgl 1 April. Maisarah bergegas membuka kandang itiknya dan membiarkan hewan itu keluar beriringan. Bunyinya sangat ribut dan mereka berdesak-desakan keluar dari kandang sempit itu. Dia telah menyiapkan umpan itik seperti biasanya. Sambil mebiarkan itik makan dia menyiram tanaman sayur-sayuran yang begitu subur di hadapan rumahnya.
Dipandangnya bunga kaca piring yang sedang berbunga indah di sepanjang jalan masuk ke rumahnya. Keindahan itu membuat rumah petak sederhana itu kelihatan asri.
Dia berpaling ketika dia mendengar suara batuk ayahnya. Orang tua itu semakin kurus saja dan tampak lebih tua dari umurnya. Dalam hati dia sangat menyayanginya, dan sekarang semakin sayang. Lebih-lebih lagi membayangkan bahwa ayahnya yang tua itu juga harus ikut jaga malam secara bergiliran.
"neuk, ayah jak u blang dilee beuh", katanya dengan suara parau. "Geet ayah", angguk Maisarah dengan hormat. Dibelakang ayahnya dia melihat mamaknya berjalan dan membawa bekal makan siang. "Beuteugoh dirumoh beuh",suara pelan dan lembut perempuan itu memintanya hati-hati dirumah.
Maisarah kemudian larut dalam kegiatan kesehariannya, menjahit sulaman kasab untuk tirai. Sekarang memang permintaan sehap sebagai tirai yang di pasang di pelaminan sangat banyak. Cek Rosmah sebagai pengrajin sudah tidak sanggup lagi memenuhi permintaan pesanan, sehingga dia mengajarkan anak-anak gadis desa itu untuk membantunya. Mereka suka sekali melakukannya karena boleh dikerjakan di rumah sambil menjaga rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah, dan juga sambil mereka berkumpul sesama anak dara bercanda dan berbincang.
Sekarang tgl 5 April. Dua hari lagi anak Tgk. Ilyas akan menikah. Kesibukan di kampung itu bertambah lagi karena biasanya, orang membuat pesta pernikahan setelah selesai panen, tetapi karena calon menantu Tgk. Ilyas bekerja di Jakarta dan tidak punya banyak waktu cuti maka acara pernikahan di percepat. Kampung segera menjadi sangat semarak. Orang-orang datang membantu semampunya. Setiap malam anak-anak dara duduk-duduk sambil memasang pelaminan dan menghias rumah sambil bercanda sepanjang malam. Pada saat musim turun ke sawah begini, memang selalu orang datang membantu pada waktu malam, karena siang hari mereka harus ke sawah. Umbul-umbul juga sudah di pasang di ujung jalan kecil untuk masuk ke rumah pengantin.
Safiah sang dara baroe kelihatan sangat sedih dan tidak pernah tersenyum. Bisik-bisikpun beredar, karena semua orang tahu bahwa dara baroe itu punya hubungan dengan Ismail, yang kini bergabung dengan pasukan GAM. Tentu saja keluarga Tgk. Ilyas tidak setuju karena mereka menganggap itu suatu prahara. Menikah dengan GAM tentu akan menjadi duri dalam daging bagi anggota keluarganya. Hidup tidak tenang dan secara financial sama sekali tidak bisa diharap. Beda dengan calon suaminya sekarang yang tamatan perguruan tinggi dan bekerja dis ebuah bank swasta di jakarta. Bayangan kemewahan segera memenuhi hati kedua orang tua itu yang memang terkenal sangat materialistis.
Acara pernikahan semakin dekat. Kampung kelihatan semakin semarak. Biasanya malam hari orang jarang kelaur rumah, tetapi sekarang sampai pukul 10.00 dan 11.00 malam orang masih hilir mudik dari dan kerumah kenduri itu.
Malam itu Nyak Aminah sakit gigi, jadi dia bilang dia ingin pulang kerumahnya saja, karena di rumah kenduri itu sangat ribut sehingga dia enggak bisa tidur. Akhirnya dia mengambil obor dan pulang sendiri. Memang jarak rumahnya dengan rumah Tgk. Ilyas tidak terlalu jauh, hanya selang dua rumah dan malam juga belum larut, baru pukul 10.45.
Dia berjalan sendiri sambil menahan sakit gigi. Suasana sepi membuat bulu kuduknya berdiri. Tiba-tiba Nyak Aminah dikejutkan oleh sosok hitam dekat pohon pisang ketika dia melalui pekarangan rumah Abu Kade yang bersebelahan dengan rumahnya. Dia terkejut setengah mati karena sosok itu bergerak. Belum hilang rasa terkejutnya dia mendengar orang itu berdesis dekat mukanya, "diam", bentaknya sambil menghadang jalan nyak Aminah. Orang tua itu tiba-tiba jatuh terduduk lemas sambil mulutnya komat-kamit mengucapkan astaghfirullah. Nyak Aminah memang terkenal latah di kampungnya. Dalam keadaan panik dia sama sekali enggak bisa mengontrol sifat latahnya yang justru muncul menjadi-jadi. Dia kemudian melihat beberapa sosok datang mendekatinya sambil tertawa dan berbisik-bisik sesamanya. Sekarang dengan jelas dia melihat aparat (sebutan orang kampung untuk tentara RI) yang sedang mengendap-ngendap di dalam pekarangannya. "Hei Asep, makan tu nenek-nenek", suara seorang aparat mengejek temannya. Suara gaduh Nyak Aminah yang jatuh dan mulutnya yang mengumpat segala macam akhirnya membuat aparat-aparat itu berjalan menjauh meninggalkan tempat itu. Baru kemudian Abu Kade dan para tetangga yang lain berani keluar rumah yang akhirnya mengangkat Nyak Aminah masuk rumah.
Besoknya, 6 April, kampung itu riuh rendah dengan kejadian semalam, orang-orang bercerita sambil tertawa-tawa tentang kejadian nyak Aminah semalam, tentu saja dengan bumbu-bumbu sehingga cerita itu semakin lama semakin menarik. Di balik tawa canda itu, para orang tua kampung merasa seperti ada suatu kejadian yang melingkupi pernikahan yang dipaksakan ini. Kenapa tentara itu mengepung rumah Tgk Ilyas, apakah mereka sedang mengincar Ismail yang diperkirakan akan pulang karena pernikahan itu? Suasana tegang membayang di wajah orang-orang tua sementara para pemuda sibuk mempersiapkan hari pernikahan dan tidak menyadari akan adanya keganjilan itu.
Hari pernikahanpun tiba. Para tamu datang dan semua bergembira. Linto baroe kelihatan sangat bahagia dan tersenyum terus. Dia bangga sekali bisa mempersunting bunga desa itu dan juga kekasih Ismail yang menjadi rivalnya dari dulu, sejak mereka satu sekolah di SD sampai SMA di kecamatan.
Tidak demikian halnya dengan dara baroe. Dia hanya menagis dan terduduk sambil merengut di atas pelaminan Aceh yang indah dan megah itu. Wajah cantiknya tertutup dengan kepedihan hatinya yang tidak bisa disembunyikannya.
Tiba-tiba para undangan dikejutkan dengan suara tembakan beruntun dari arah pos militer yang tidak jauh dari balai desa. Suara itu jelas terdengar karena hanya 500 m dari rumah kenduri itu. Suara itu semakin dekat dan mereka mendengar suara trail meraung-raung mendekati tempat kenduri. Kepanikan menyelimuti para undangan yang segera tiarap di tanah dan ada yang mencari perlindungan di tempat-tempat yang dianggap aman.
Orang-orang di dapur, yang sedang menjaga belangong sie (belanga yang memasak daging) pun tak kalah panik. Sangking paniknya Abu Berahim, kepala masak memasukkan gulai kambing ke dalam wadah berisi air minum yang telah masak.
Suara tembakan sekarang diarahkan ke dalam pekarangan rumah Tgk Ilyas. Mereka memang tadi melihat ada sebuah honda yang melintas dengan kencang melewati rumah kenduri itu dan itu adalah honda bang Abdullah tukang ikan yang selalu menjual ikan di kampung itu. Aparat-aparat itu kemudian datang marah-marah sambil mengatakan bahwa honda tadi masuk ke pekarangan rumah kenduri. Tentu saja para tamu bingung karena mereka melihat bahwa honda itu berjalan lurus menuju ke arah Gampong Blang.
Para tentara semakin marah dan mulai membanting-banting peralatan makan dan membuang makanan yang diletakkan di atas meja. Mereka menuduh orang kampung menyembunyikan GAM yang katanya tadi memancing tembakan ke arah pos mereka.
Para tamu nampak sangat ketakutan. Orang-orang menjadi semakin panik ketika aparat kemudian membariskan semua laki-laki dan mulai memeriksa KTP mereka. Suara gaduh menjadi semakin menjadi-jadi ketika para laki-laki itu kemudian di pukul dan ditendang-tendang tanpa ampun.
Pukul 3.00 sore suasana baru reda, ketika para aparat itu meninggalkan rumah kenduri. Suasana di tempat itu kacau balau penuh dengan pecahan piring, tumpahan kuah dan makanan lain yang campur baur ditambah lagi dengan isak tangis perempuan dan anak-anak yang ketakutan setelah kejadian tadi.
Para lelaki yang sudah lemas dan babak belur, kemudian mulai mengobati luka mereka. Tidak lama kemudian mereka sudah terlihat tertawa-tawa setelah menyadari segala kegaduhan tadi. Orang-orang yang haus kemudian menyadari bahwa air minum telah bercampur dengan kuah sie kameeng sehingga tidak bisa diminum lagi. Ramli yang baru saja sembuh dari patah kaki,sekarang sudah patah lagi akibat di injak-injak oleh Pai dan sekarang dia di boyong lagi ke tukang urut dan dia menjerit-jerit ketakutan membayangkan akan di urut lagi untuk kedua kalinya, karena masih terbayang betapa sakitnya dulu dia waktu di urut.
Teungku Ilyas terduduk lemas sambil menatap kosong. Dia di kelilingi oleh orang-orang tuha gampoung yang sedang berbincang mengenai kejadian itu. Para tamu sebagiannya sudah pulang karena setelah ada kejadian orang-orang tidak boleh berkumpul-kumpul karena PAI bisa kembali sewaktu-waktu dan membuat keributan lagi.
Pak Keuchik terduduk sambil mengelus dadanya yang terasa sakit di tendang sepatu lars tentara.
"Kon lee sigo dua goe di awak bui nyan di jak peukaru geutanyo watee khanduri lagee nyoe. Ta undang salah, han ta undang pih salah. Pakriban ta undang di awaknyan pih ka saboh moto gerubak soe eek peutepat nyan. Oh lheuhnyan kon keu masalah khanduri, tapi menyou na awaknyan ka pasti kacoe buet geutanyoe" Suara Pak Keuchiek yang menggerutu memecah kebekuan diantara mereka. Mereka mengangguk mengiyakan bahwa memang kalau ada kenduri dalam kampung selalu saja aparat di Pos dekat Meunasah Tuha itu membuat keributan. Macam saja alasan mereka sehingga orang kampung tidak pernah merasa tenang berkumpul.
Malam itu suasana kampung terasa sangat sepi. Orang-orang mempercepat berada di dalam rumah karena kejadian siang tadi. Hanya beberapa orang saja yang berada di rumah teungku Ilyas sambil membersihkan bekas pesta siang tadi.
Tiba-tiba rumah itu dikejutkan dengan hilangnya dara baroe. Sang suami menanti di dalam kamar tetapi istrinya tidak pernah muncul-muncul, ketika sudah tidak sanggup menunggu lagi, pukul sepuluh dia keluar dan menanyakan mamak mertua kemana istrinya. Mamak dara baroe terkejut karena menyangka anaknya sedang di kamar bersama suaminya. Mereka menyadari bahwa dara baroenya telah hilang waktu maghrib tadi. Ketika Abu Berahim mengatakan bahwa dia memang melihat ada seorang perempuan muda berjalan tergopoh-gopoh melintasi belakang rumahnya saat malam menjelang. Dia heran karena melihat perempuan itu seperti Safiah, tetapi dia tidak percaya pada apa yang dia lihat. Enggak mungkin pikirnya dara baroe keluar maghrib-maghrib begini. Lagi pula keadaan gelap jadi dia tidak begitu perhatian.
Tgk Ilyas dan istrinya terduduk lemas sambil menatap rumah mereka yang masih berantakan setelah acara pesta tadi dan juga setelah pesta dengan PAI. Pelaminan merah masih memenuhi seluruh ruangan rumah itu. Mamak safiah menangis membayangkan bahwa anaknya telah benar-benar pergi menyusul kekasihnya yang ditentang habis-habisan oleh mereka berdua.
Berita mengenai hilangnya dara baroe menyebar bagai wabahke seluruh kecamatan itu. Semua orang tertawa mendengar berita itu membayangkan betapa orang tua Safiah yang materialistis itu harus menerima kenyataan bahwa anaknya benar-benar pergi dan memilih bergabung dengan kekasihnya, walau Ismail hanya punya cinta. Cinta mereka begitu kuat sehingga mengalahkan bayangan glamournya Jakarta. Cinta memang kadangkala tidak bisa dipahami. Tentu saja bagi yang sedang dimabuk cinta, cinta itu begitu suci mengalahkan segala batu yang menghambat jalannya….
Hari ini tgl 15 April. Pagi-pagi sekali Maisyarah datang ke rumah cek
Rosmah untuk meyerahkan kasab yang telah selesai dia buat. Cek Rosmah akan ke Banda Aceh, jadi semua pesanan sudah harus selesai hari itu. Di tengah jalan dia melihat rombongan aparat yang baru pulang dari operasi. Mereka berjalan lunglai dengan baju yang basah dan bercampur lumpur. Maisarah jadi grogi, antara berjalan atau mundur. Dia merasa lengkahnya berat. Pagi itu memang masih sepi dan jalan yang dia lalui agak sepi karena letak rumah yang berjauhan di tempat itu. Dia berusaha menenangkan diri dan berjalan tanpa menglihat ke sekeliling. Ketika dia semakin dekat dengan rombongan aparat itu, dia bisa merasakan pandangan mereka ke arahnya. Dia ketakutan sekali dan bayangan burukpun segera memenuhi benaknya. "Mau kemana dek"’ sapa sebuah suara mengejutkannya. Gelagapan dia menjawab. Kerumah kawan bang,". Kemudian dia mendengar suara ketawa-ketawa tentara itu sambil bercanda dengan temannya. Alhamdulillah bisiknya dalam hati. Dia mempercepat langkahnya ke rumah cek Rosmah.
Tgl 21 April. Ini adalah hari Kartini. Di seluruh Indonesia hari Kartini dirayakan besar-besaran. Anak-anak sekolah dengan pakaian tradisional berpawai dan melakukan upacara disekolah. Kecamatan mereka juga tidak ketinggalan turut merayakan hari Kartini. Beberapa hari sebelumnya telah diumumkan bahwa masyarakat desa diminta beramai-ramai keluar ke lapangan kecamatan untuk meramaikan acara peringatan hari kartini. Anak-anak perempuan kecil mengenakan kebaya dan bersanggul berpawai keliling lapangan dan pasar dan kembali ke sekolah. Seperti biasa masyarakat tidak paham apa makna hari Kartini karena bagi mereka tidak ada pengaruhnya sama sekali. Tetapi siapa yang bisa menolak anjuran atau lebih tepatnya pemaksaan aparat?
Tgl 25 April, kampung itu di kejutkan oleh ditemukannya dua mayat tak dikenal di dekat Mesjid kecamatan. Mayat berlumur darah itu sudah tidak berbentuk akibat siksaan berat disekujur tubuhnya. Orang kampung kemudian menguruskan fardhu kifayah seperti biasa dan menguburkan kedua mayat tanpa identitas itu.
Tgl 27 april. Hari itu Maisarah berjanji untuk bertemu dengan Azizah, temannya yang sekarang menjadi bidan desa dan bekerja di Puskesmas. Dia tiba di Puskesmas pukul 1.00 siang karena saat itu waktu istirahat. Azizah tambah cantik saja dalam balutan pakaian putih seragam rumah sakit. Kemudian mereka duduk di dalam ruang tunggu dan bercakap tentang masa lalu. Saat itu mereka melihat Raudah melewati tempat itu sambil menunduk. Maisarah heran mengapa Raudah berlalu begitu saja tanpa menghiraukan mereka yang sedang duduk-duduk dalam ruangan itu. Dia bangun hendak memanggil Raudah, tetapi tangannya di tarik Azizah. Jangan pintanya sambil menarik maisarah sampai terduduk kemabli di kursinya. Maisarah meantap heran ke arah Azizah, kenapa Azizah melarangnya memanggil Raudah. Bukankah mereka itu teman lama dan sudah beberapa bulan ini Maisarah tidak pernah bertemu dengannya, tentu dia rindu dengan teman baiknya semasa di MAN dulu.
Azizah kemudian bercerita bahwa Raudah datang untuk minta pil menggugurkan kandungan. Rupanya dia hamil dan laki-laki itu yang menjadi pacarnya selama ini adalah tentera BKO yang menolak bertanggungjawab karena dia beralasan itu adalah hasil kerja ramai-ramai dan bukan dia sendiri. Tentu saja itu tidak benar karena menurut Raudah, dia hanya berhubungan dengan Toni itu saja. Sekarang dia telah ditarik ke induk pasukannya dan Raudah bingung dengan perutnya yang semakin membesar. Puskesmas menolak untuk menggugurkan kandungan (aborsi) dia karena itu perbuatan yang terlarang dalam agama dan juga melanggar kode etik kedokteran. Entah bagaimana nasib Raudah… mereka hanya merenung berdua membayangkan penderitaan Raudah yang telah salah memilih langkah. Pantas tadi Maisyarah melihat betapa kesedihan dan rasa malu membayang pada muka Raudah.
April hampir berlalu, Maisarah menatap bulir-bulir padi yang ditiup angin. Siang itu dia terduduk di gubuk kecil yang dibuat di tengah sawah untuk tempat berteduh. Hari itu dia datang mengantar makan siang untuk kedua orang tuanya yang bekerja di sawah. Selepas sembahyang dhuhur, dia membantu mereka membersihkan rumput di sela-sela tanaman padi. Wajahnya yang putih memerah dbakar matahari. Dia memandang kedua orang tuanya yang semakin renta dan bekerja keras di sawah. Tahun-tahun terakhir ini memang tidak ada kebahagian bagi orang-orang kampungnya. Mereka bekerja semakin keras tetapi kehidupan menjadi semakin sulit. Penghidupan hanya semata-mata diandalkan dari sawah karena ke ladang mereka sudah tidak bisa lagi. Dahulu untuk menambah penghasilan mereka juga ke kebun atau ladang dimana mereka punya tanaman yang lain seperti kelapa, durian atau menanam tanaman semusim seperti kacang, timun sayur-sayuran dan tanaman-tanaman yang lain. Sejak konflik bersenjata di Aceh semakin memanas maka orang-orang kampung sudah tidak bisa lagi ke kebun. Mereka akan langsung dianggap sebagai informan GAM dan mengantar logistik untuk keperluan anggota GAM oleh aparat. Beberapa diantara mereka tidak pernah kembali lagi dan sebagiannya ditemukan sudah menajdi mayat.
Hari ini 30 April. Maisarah diminta datang ke rumah Kak nuripah. Dia bergegas datang. Kalau kak Nuripah yang panggil itu artinya ada berita dari atas. Maisarah maklum apa artinya itu. Dia mendaki satu demi satu anak tangga rumah kak nuripah dan mengetuk pintu kayu itu. "Assalamualaikum", sapanya lembut. Dari balik pintu dia mendengar jawaban "Waalaikumsalam". Dia hapal suara itu… sambil tersipu dia masuk ke dalam. Di lihatnya Rizal sedang duduk di kelilingi oleh pasukannya. Dia mencuri-curi pandang ke arah laki-laki itu yang semakin lama nampak semakin kekar saja. "Pakriban haba Mai", suara itu mengalir lembut ke dalam telinganya. "Alhamdulilah jroh cut bang", jawabnya sambil menatap ke bawah, Dia merasa hari ini bahagia sekali. Hatinya berbunga-bunga dan dag dig dug. Dia senang tetapi juga sekaligus takut kalau-kalau secara tiba-tiba PAI datang dan bagaimana jadinya mereka.
Pertemuan itu singkat saja. Mereka bergegas pergi setalah makan pisang geu thoek (pisang yang dihancurkan dengan cara ditumbuk) yang dicampur susu kental manis kesukaan Rizal. Tidak lama kemudian PAI datang satu peleton menyisir kampung mereka. Maisarah pucat pasi dan berusaha bersembunyi di dalam rumahnya. Seperti biasa orang laki-laki dan anak-anak laki-laki yang sudah baligh segera lari menyelamatkan diri. Yang tidak sempat lari menjadi sarang kemarahan PAI yang melampiaskan kebrutalan mereka ke pada orang kampung karena mereka tidak bisa menemukan pasukan TNA. Suatu pemandangan yang sudah sangat lazim bagi masyarakat kampung. Sudah menjadi makanan sehari-hari.
Dan kehidupan pun berdenyut terus, menambah semakin kental rasa ke Acehan di dalam setiap dada orang-orang Aceh, yang membuat mereka kuat bertahan hidup dalam daerah konflik. Itulah yang membuat semakin sulit mematahkan perlawanan mereka terhadap hak-hak mereka yang sekarang sedang di injak-injak oleh pemerintah Indonesia.
Hari itu April berakhir. May akan segera menjelang. Maisarah duduk termangu dibibir kolam di belakang rumahnya yang berbatasan dengan sawah sejauh mata memandang. Angin semilir menyapu pipinya yang bersih. Dia menatap bunga teratai yang tumbuh dengan suburnya dalam kolam itu. Ikan-ikan kecil berenang menari di balik daun-daun teratai memberikan pemandangan yang begitu syahdu, begitu damai. Dia ingat dahulu Rizal sering memetik bunga teratai yang banyak sekali tumbuh dalam kolam kecil dekat meunasah Tuha, yang sekarang sudah dijadikan pos Aparat. Pagi-pagi ketika Maisyarah turun tangga untuk mengambil wudhuk, maka dia akan memungut teratai itu dan menyelipkan di rambutnya yang panjang. Tadi pagi dia melihat ada teratai segar yang tergeletak dekat tangga. Dia terkejut kemudian tersenyum membayangkan kekasihnya semalam datang dan menaruh teratai itu sebagai tanda bahwa dia tadi malam pulang. Hatinya berdebar… ada kerinduan menyeruak setelah sekian lama dia tidak bertemu. Ketakutan dan rasa senang bercampur baur dalam hatinya membayangkan pahlawannya yang mempertaruhkan nyawa hanya sekedar ingin membuktikan rasa cintanya. Cinta itulah yang juga membuatnya memilih menjadi seorang martir bagi Aceh tanah yang begitu dicintainya. Dialah pahlawan sejati bagi Maisyarah …. Yang mempersembahkan cinta yang suci, bukan cinta yang berselimut nafsu yang berakhir dengan bencana. Dia menanti dengan sabar pahlawannya yang sedang berjuang untuk kemerdekaan Aceh yang hakiki.

Merdehka,
Kepada semua prajurit TNA yang saat ini sedang berjuang membebaskan tanah pusaka dari kekejaman imperialis Indonesia. Selamat berjuang, hudep sare mate beu sajan sikrak gafan saboh kerenda
17 April 2003

M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar SUARA RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED .Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081533214263.
E-Mail:mraudahjambak@plasa.com. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi puisipenyair Medan), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay), MEDITASI (antologi puisi tunggal), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara) dan beberapa kumpulan cerpen yang akan diterbitkan.











Kepada Yth :
Redaktur Majalah Horison
Bapak Jamal D.Rahman
Di:
Tempat
Salam Sastra!
Melalui surat ini saya yang bertanda tangan di bawah ini menyerahkan beberapa bu ah karya, dengan harapan dapat masuk dalam seleksi dan memenuhi persayaratan.
Nama : M. Raudah Jambak
T/tgl lahir : Medan, 5 Januari 1972
Alamat : Jl. Kapt. Muslim Gg. Jawa -lr. Muhammadiyah No. 7C
Agama : Islam
No. Rek BRI: Britama : 0053-01-019162-50-9
Mandiri : 106-00-0469993-3
Pekerjaan : Staf Pengajar di Perg. Panca Budi dan Budi Utomo, serta honorer
Mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di UNIMED
Semoga apa yang telah saya kirimkan ini berkenan dan berterima. Besar harapan saya, jika karya saya ini dimasukkan dalam penerbitan buku yang dimaksud. Akhirnya, saya ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
Wassallam,
M. Raudah Jambak






ABSURDISME, KLASIK DAN PUITIK
Oleh : M.Raudah Jambak
Begitu masuk ke dalam gedung pertunjukan, penonton seakan telah "terjebak" aura Kereta Kencana karya Eugene Ionesco, yang disadur WS.Rendra dan disutradarai Hafiz Taadi, di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara, pada 23-24 Juli 2005 lalu. Seke-liling ruangan dibungkus dengan kain hitam, tanpa menghilangkan sentuhan artistik tentu nya. Tambahan lagi artistik panggung yang "sedap" dipandang mata, dengan layar yang telah terbuka, nyaris menyedot pikiran penonton untuk segera membuat kesimpulan awal bahwa sepasang tokoh tua (Agus dan Patia) yang berusia sekitar dua abad itu, terkesan sangat kaya, dengan nuansa rumah mewah ciri khas dari rumah Prancis (bukan berarti a daptasi yang tanggung). Dan sekali lagi pikiran penonton sengaja atau tidak telah "digi ring" dengan suasana yang "simpang-siur".
Hanya saja masalahnya tidaklah sesederhana itu, dikarenakan tingkat pemikiranpenon
ton yang tidak seragam tentunya. Dan jika ada yang tidak sepaham, hal itu sangatlah wa-jar dan manusiawi sekali. Sepenuhnya adalah hak penonton, inilah inti dari pemikiran ab-surd Ionesco, Luigi Pirandello, Albert Camus, Samuel Backett,dan lain-lain. Tidak ada yang mampu menyimpulkan sebenarnya secara benar karena memang tidak ada kesimpul
an. Ia hadir dan mengalir begitu saja.
"Ionesco sendiri patut dimaknai sebagai upaya seorang avan-gardist, meskipun ia sen diri tak terlalu perduli dengan kriteria-kriteria yang euphemeral seperti itu, sebagaimana karya-karyanya, Kura-kura dan Bekicot atau Badak, yang menolak segala macam "to- peng kebesaran".
Demikian juga halnya dengan Kereta Kencana. Peristiwa yang hadir di atas panggung semakin "menyentak" pikiran kita, begitu suasana alam bawah sadar hadir dan sosok tua satu persatu muncul dengan sebatang lilin. Suasana ini telah pula "menyerap" pikiran pe- nonton untuk tak putus-putusnya tetap fokus ke arah panggung. Berkat sentuhan musik dari Achi, penonton "ngeri" untuk berkedip. Tokoh kakek yang hadir merespon suasana mistis, suasana supranatural, seolah menjadi sebuah pertanda atau simbol kematian. Lela ki tua itu mulai bergelut diantara alam bawah sadarnya, mencari sumber suara yang me-menuhi ruang "hatinya". Ia merasa begitu tertekan oleh bayang-bayang kematian yang ha dir diantara remang-remang ketakutannya. Perlahan suara-suara hayal itu menghilang dengan kehadiran nenek yang selalu hadir sebagai pengobat jiwa dari belahan jiwanya. Dan ternyata persoalan yang sama dihadapi pula oleh sang nenek, hanya saja ia lebih mampu menahan diri, belajar menghibur diri. Mencoba bertahan terhadap derasnya arus kehidupan yang dijalaninya selama dua abad dengan berbagai persoalan yang begitu kompleksnya. Dan disini hadir semacam filsafat kebosanan, dimana keduanya berusaha untuk saling menghibur, saling menguatkan. Perasaan saling menguatkan inilah yang membuat mereka bertahan dalam mengayuh sampan "senja kala".
Peristiwa hayalpun hadir untuk menghilangkan kejenuhan dalam "mendaki" tangga-tangga usia. Suatu ketika mereka mengulangi romantisme masa lalu, minum sambil me-nikmati panganan kecil yang tersedia. Di lain peristiwa mereka seperti anak-anak kecil yang mengarungi masa belia, dengan bermain layang-layang. Di waktu berikutnya mereka berhadapan ketika pertama sekali mengarungi bahtera keluarga. Mereka menimang bayi dengan senyum penuh bunga. Walaupun diantara rentetan peristiwa yang memang pasti dialami siapa saja, tak jarang kesedihan hadir begitu mendera. Mengenang bayang-bayang kematian, yang mengintip disela-sela jendela usia, menjemput. Dan hal itu berlanjut terus menerus, sampai akhirnya bayang-bayang kematian itu telah menung-gu di depan pintu.
A B S U R D I S M E

Sebagai sebuah pertunjukan, Kereta Kencana yang berdurasi lebih kurang dua jam ini, dianggap cukup berhasil. Hanya saja sebagai sebuah karya seni ada bebeapa hal yang per- lu menjadi catatan. Tokoh yang berusia dua abad itu tidak singkron dengan keberadaan ruangan yang terkesan tertata rapi. Dan bunyi tetes air dari awal sampai akhir pertunjuk kan menggambarkan seolah rumah itu dikungkungi oleh goa yang bermata air. Tokoh yang begitu ringkihnya, seperti terlalu diberat-beratkan. Air liur yang terus menerus me-ngalir memberi kesan mempersetankan penonton dengan kenyamanan menikmati per-tunjukan. Rambut dan pakaian antara terurus dengan tidak terurus, sangat bertolak be-lakang dengan keberadaan setting panggung yang cukup terjaga kerapiannya (walau tom bol lampu entah dimana letaknya).
Tambahan lagi suara yang terlalu dipaksakan ketuaannya menyebabkan artikulasi yang tidak jelas. Ketidak-jelasan itu justru diperkuat dengan sound system yang agak terganggu , tidak stabil. Wireless yang timbul tenggelam. Apakah ini yang dimaksud oleh Sutradara,"Perceraian antara manusia dan hidupnya , antara sang aktor dan pentasnya… itulah perasaan absurditas yang sesungguhnya"?
Bagaimanapun sebuah pertunjukkan, seabsurd apapun itu harus mampu menunjukkan benang merah sehalus apapun. Setting harus mampu "berbicara",mampu dimultifungsi kan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Dan konsistensi sebuah pertunjukan juga harus dipertimbangkan dalam kaitankehadirannya di dunia maya, di alam bawah sadar. Perlu ada kesingkronan antara setting yang rapi dengan tokoh yang kelihatan tidak terurus. Analisis naskah tampaknya perlu digali lagi. Dan tidak ada hu bungan dengan miscasting , dimana keberadaan kedua tokoh yang masih terkesan terba-ta-bata dalam memaksimalkan pola akting yang terkesan sangat lambat yang hampir saja mengundang rasa kantuk, jenuh atau geli dengan mengalirnya air liur secara terus mene rus dari awal sampai akhir pertunjukkan. Masih terkesan keterpaksaan berakting, belum menyertakan roh tokoh yang diperankan. Hal ini terlihat dari langkah atau bloking yang sudah paku mati.
Charles Ralo menulis, Analisis Camus tentang absurd dimulai dengan menunjukkan bahwa secara wajar orang menemukan dan cukup mudah untuk menerima kehidupan ru tinnya sehari-hari. Tetapi dalam kehidupan rutin itu suatu hari timbul ‘mengapa’ – suatu pertanyaan apakah hidup memiliki makna."
Senada dengan hal diatas, dari beberapa tulisan tentang tokoh-tokoh teter absurd dapat kita ketahui, bahwa mereka lebih dahulu telah menguasai teknik konvensional sebelum menunjukkan pengungkapan yang lain, misalnya Eugene Ionesco (kelahiran Rumania), Arthur Adamov (kelahiran Rusia), Samuel Backett (kelahiran Irlandia), Antonin Artaut (Kelahiran Prancis), Gunter Grass (Jerman Barat), Harold Pinter (Kelahiran Inggris), Ed-ward Albee (kelahiran AS), dll. Karena dasar pijakannya telah dikuasai, mereka jadi lebih kuat sewaktu memproklamirkan diri sebagai seniman absurd. Sehingga wajar jika Ionesco sendiri berkata bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai character without characters.

K L A S I K-P U I T I K
Pandangan Filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkrit hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan . Inilah mungkin yang menjadi dasar dari WS. Rendra, menyadur Les Chaises/The Chairs, 1954 (kursi-kursi) menjadi Kereta Kencana. Keajaiban, miste teri, kerinduan, alam sadar dan bawah sadar, prototype kaum pesimis yang menganggap hidup ini adalah proses menuju tragedi, simbol atau genre tragick farce (realitas yang lucu dan menyedihkan), memiliki kekuatannya tersendiri.
Dengan gaya klasik puitik, naskah Kereta Kencana, hasul polesan WS.Rendra terasa begitu kuat. Dan kekuatan Ionesco-Rendra , ini sayang kurang tergarap pada pertunjukan dari Teater Siklus ini. Dialog-dialog yang sangat puitik ini, tidak meninggalkan kesan pui tiknya sama sekali, diakibatkan artikulasi yang terputus-putus, dan sound system yang agak terganggu.
Beban itu yang agaknya muncul ke permukaannya. Filsafat kebosanan tidak hanya ha-dir dari naskah, ia juga hadir dalam setiap gesture yang dipaksakan, pandangan mata kakek yang terkesan butam dan make-up artistik yang perlahan luntur, serta keringat dan liur yang bercucuran. Hal ini jelas tidak melahirkan suasana klasik maupun puitik tentunya. Dan ketidak puitikan itu nyata hadir, ditambah lagi kecenderungan naskah operarealisme belaka.
Akhirnya, terlepas dari itu semua keberanian sutradara patut diacungi jempol. Perjua ngan pemain yang pantang menyerah, membuat pertunjukan Kereta Kencana yang diusung Teater Siklus di Gedung tertutup Taman Budaya Sumatera utara itum tetap mem beri nilai lebih. Proses kreatif yang tidak amatiran. Kesungguhan terasa begitu merasuk dengan proses kerja yang memakan waktu yang cukup lama. Sungguh dari segi art dan non-art-nya. Dan yang lebih penting penonton tetap bertahan ditempatnmya, mudah-mudahan tidak karena hujan atau alasan segan. Dan mudah-mudahan tidak. Selamat!
Juli, 2005
Penulis pengamat/penikmat teater di Medan

Puisi M. Rauda Jabak
SERATUS UNTAI BIJI TASBIH


Telah kurangkai
Seratus untai biji tasbih
Mengurai Asma–Mu
Dalam amalan
Dalam Ilahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Telah ku rangkai
Seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Tapi gejolak jiwa ini
tak mampu jua
Menampung tumpahan
Kerinduan
Yang membanjiri air mata
Padahal telah ku arungi keluasan
Laut semesta-Mu
Padahal telah kukayuh sampan
Sejadahku menuju rahmad-Mu
Telah kurangkai
Seratus biji tasbih
Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama Allah.
Puisi M. Raudah Jambak
LANGKAH – LANGKAH

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal – gumpal menjadi
Seonggok awan hitam , di antara
Mendung – mendung
Dan menjadi hujan dalam mataku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa – bisa
Teriknya dan menusuk jantung – jantung
Hingga berdarah , dan seketika detik – detik
Kematian menyelimuti jiwaku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi limbah pada pabrik – pabrik kemaksiatan
Adalah bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi – nadi darahku
Menyumbat mulutku karena tak terbiasa
Melafaskan asma – Mu
Suara azan itu adalah
Langkah – langkah kakiku
Yang terseret satu – satu.







Puisi M. Raudah Jambak
AMSAL MUHARRAM

Allah ,
Hari – hari yang tersusun dalam hurup – hurup keabadian
Pada langit , pada bumi , pada bintang ,
Pada tanah kelahiran adalah
Hijaiyah pergantian musim ke musim
Bermula dari Adam yang mempersunting Hawa
Dalam surga
Lalu , lahirlah pasangan Kabil , lahirlah pasangan Habil
Dalam belantara dunia
Allah ,
Seperti hiasan langit yang gemerlapan
Menjadi cahaya alam semesta jiwa
Adalah Ibrahim yang mencari Sang Pencipta ,
Lalu menunggu kelahiran Ismail tiba
Yang hampir terbentur dalam usia senja Siti Hajar ,
Istrinya dan Allah kembali menguji ke – Imanan
Dalam qurbannya
Allah ,
Dalam lidah cakrawala yang terikat
Bendera – bendera curiga di antara batu karang nafsu
Dan keserakahan dunia lahirlah putra cahaya
Dari rahim Aminah berbapa Abdullah
Muhammad Rasulullah merobah peta suram dunia jahiliyah




Puisi M. Raudah Jambak
Melepas Do’a Air Mata


Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyantuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga – liwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera



Puisi Abdul W. M
Tuhan, Kita Begitu Dekat

Karya: Abdul W. M
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Tuhan,
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu








Pusi Sahril
Laut Telah Tak Bertepi

Ingin kukayuh biduk ini hingga segitiga bernama
ketika magnet-magnet kutub
menarik dajal ke perutnya
tapi konon pengayuhku patah
digunting ombak melaka
dan layarku tumbang dihantam
kalimbubu dan puting beliung
kemudiku kehilangan kompas
disikut debat pariwara
hingga aku terdampar di pulau tak bernama
di situs-situs email
masih kulihat belanak mencari terumbu
antara limbah-limbah politik dan tanker keangkuhan
nelayan-nelayan hanya kuasa
sisiri pantai berlumpur
menjala anak sembilang
sisa auman pukat tauke sipit
nipah – simali-mali telah gundul
tempat lokan dan ketam kelapa bertapa
laut telah tak berpantai
ombak pun enggan bertepi
Medan, 2002
Sepeda Mini

Kulit elang di tengah siang
Saat ombak menggiring pasang
Mak Ijah masih menampi beras segantung
di ujung pantai layar sudah tak di bentang
ayah si Antan menambat sampan
tangkapan hari ini hanya bisa bayar utang
di kedainya Pak Dulah
seikat rokok daun nipah dan tambakau cina
terselip di kopiah lusuh itu. Masih belum di bayar
malam merangkak, Antan pulang mengaji
merengek minta belikan sepeda mini
lelaki itu membisu
Kubah Padang, 2002


Puisi sahril

Di Laut Harimau Mengaum
Julang angin dalam buaian
dihembuskan selat melaka, jahil
sibak untaian mayang di
kening langsat dara pesisir
dan gegap gelak di bibir pantai
dara melayu sukat kepah
menjulur kaki mandi pada jilatan
ombak pasang
nun di samudera, senandung pengayuh
sayup belai di ujung pendengaran
: oii.... nandung di nandung
angin, datanglah puan
tiupkan layar tuju tepian kuala
konon di sana belahan jiwa sendirian
tunggu kasih bawa hantaran
oii.... didong.... didong, sayang
ajat hati melabuh kasih di pelaminan
apatah dayalaut telah mengaum
dekil berbagi
bujang menghanyut berantal lengan
tetap awan, mencibir angan
trbakar rindu pada tunangan
nan tiada bertatap berbilang bulan
oh... alam mengapa engkau siksa
batin nelayan bjang pejaka
pada lembut tatap dara pejaka
pada lembu dara jelita
nan berjanji tuk hidup berumah tangga
oh... laut dimanakah engkau sembunyikan ikan
hingga aku lelah mengayuh sampan
berpeluh embun kuyupkan badan
biarpun panas – hujan tetap kutahan
oh... kasih di tepi kuala
adakah engkau menanti dengan setia
akan ikrar janji kita
selepas purnama mengikat cinta
Puisi Sahril

Gadis Pantai

selamat tidur rembulan
pada tuakak ini aku merajut mimpi
mungkin selat melaka ini hantarkan angan
pada gemerincing ringgit di seberang
hingga benang tali kasih cinta kita
terlambat di pelaminan
pulau berhala telah terlewakan
mentari tinggal sepenggalahan
malam kedua menjelang hadapan
wadah adinda tak isa terlupakan
putih pasir pantai negeri
tempat kita berkejar-kejaran
mengelak langkah pada jilatan ombak
engkau angkat rok panjangmu
aku terpana pada betismu
ah, tersipu malu kala engkau tahu
di sinar suaranya tuakak ini
aku masih ingin mewujudkan impi
Kw. Tanjung, 2002

Habis Berbilang

masih kukayuh harapan
pada angan belum kesampaian
sedang janji kian di hadapan
malu bermuka pada handai tolan
nan pasik bertanya, bilakah awak berjulang?
tak mungkin hidup membujang
padahal usia semakin membentang
sebelum petang datang
sebelum dandang meradang untuk didiang
sebelum janur habis di tebang
dan sebelum dara ke seberang
Kw. Tanjung, 2002




Puisi Sahril

Lelaki Itu

lelaki itu memikul pengayuh
tak ada kayu pada kating
jaring dan rawai tak sempat dilabuh
sebab alun gelombang menari-nari
tak sudi menayang neleyan
ikan-ikan menangis
kerang-kerang tersedu-sedan
laut mengamuk
lelaki itu memikul lelah
memikul tatap istrinya
di ujung pandang dua bocah
berlari menerpa
lelaki itu tetap memikulnya
Kw. Tanjungm, 2002

Kenduri Laut

pada pucuk nipah
saat salawat dulang menggema
sepanjang isya membelah samudera
tiga kerbau di sembelih sudah
menghanyutkan lancang
kain tuju warna
pawang menari di unggun bara
gegap riuh ratip nelayan
menembus cakrawala
dara-dara menari inai
upacara hampir di penghujung
renjis tepungtawar menebar
(salam anak cucu pada datu mambang)
pada ratu bunian, mambang tali arus
berkat lailah aillallah Muhammad rasulullah
usai pawang tunaikan kenduri
datu-datu lantunkan ayat kursi
glai daging pembuka rezeki
tubuh rebana diiringi bangsih
tanda syukur
ke hadirat ilahi
bahwa rezeki harus di bagi
agar alam dan manusia harmoni










Membaca "Rindu Kebisuan" Masril Habib

Oleh :M.Raudah Jambak
Itulah manusia. Kita. Hadirnya yang selalu mesti menjadi tempat yang di-hempas. Seharusnya mereka mengerti untuk tetap berada dalam nuraninya yang putih. Seputih warna bunga yang masih selalu mendo’akan mereka agar dapat keluar dari tekanan kehidupannya…
(Jerat:51)
Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah ungkapan yang acap singgah di gendang pendengaran kita, sebagai makhluk Tuhan. Demikian juga dengan kesepian, kekecewaan, kerinduan, dan harapan nyaris selalu menyinggahi der-maga hati kita sebagai manusia. Dan bukan tidak mungkin kegilaan-kegilaan dari gemalau pikiran kita akan berlompatan ingin menjadi apa saja atau bero-bah menjadi siapa saja.
Kita bisa menjenguk letupan-letupan nuraninya Kahlil Gibran, Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Qurrat al-Ain, Tahir Ghani, Nasir-I Khusraini, Ham-zah Fansyuri, Sulaiman Celebi,Ahmad Syauqi,Ghalib, Firdausi, Sa’adi, Hafiz, atau mungkin Al-Hallaj.
Hal ini tidak akan pernah selesai dalam goresan di tiap halaman zaman. Akan terus berulang. Seperti hal-nya antara telur dan ayam, mana yang lebih dulu, pada akhir masa (mungkin) akan tetap menjadi rahasia Sang kala. Semua akan menjadi benar, atau semua akan menjadi salah pada akhirnya tergantung cara pandang kita masing-masing.
Peristiwa yang sama akan tetap terus berulang, seperti matahari yang mati berkali-kali, akan tetapi tetap hidup di pagi hari. Itu adalah rahasia-Nya, Sang Maha Rahasia.

Hanya saja peristiwa yang sama itu diperankan oleh pelaku yang berbeda. Dan itulah kita. Manusia.
Rindu "Kebisuan" yang Merindu

Membaca "Rindu Kebisuan"-nya Masril Habib dalam sejumlah prosa liris dengan tebal 104 halaman itu, seperti membaca peristiwa yang akrab hadir di sekitar kita. Pe-ristiwa itu sebenarnya sudah sering kita alami. Selalu kita baca. Selalu diperdengar-kan.
Hal itu sudah biasa. Biasa bagi orang-orang yang intens membaca, menulis atau menikmati berbagai peristiwa. Terutama yang dibungkus dalam bingkai sastra.
Bagi orang awam atau pemula persoalan itu tentunya tidak sekedar biasa, tapi jus-tru dianggap luar biasa. Kontemplasi semakin sarat makna. Apalagi dengan pem-bungkus sastra yang penuh dengan cita warna dan rasa.
Tema-tema kesepian, kegelisahan, dan kerinduan seperti tidak pernah habis-habis-nya. Tema-tema itu nyata jelas terungkap dalam prosa liris-nya Masril Habib. Hanya saja idiom-idiom digunakan belum menunjukkan warna yang berbeda.
Dalam sebuah seni pertunjukan drama, sang aktor dianggap berhasil ketika dia mampu memerankan tokoh dalam cerita. Bukan berperan sebagai dirinya sendiri. Lain halnya dengan karya sastra, sastrawan justru dianggap berhasil ketika dia mam-pu menuangkan karakter dirinya dalam bingkai karya. Sehingga pembaca yang bagai-manapun tidak akan pernah membayangkan karakter orang lain di dalam karyanya.
Kaitannnya dengan perwajahan karya pengaruh tentu saja ada, itupun harus berhati hati. Jangan sampai terjadi pemindahan gaya, apalagi sampai tersekap di penjara plagiat.
Seperti yang tercatat pada bukunya "Nyanyian Kerinduan", disebutkan:

Tatkala seorang sastrawan hendak mengekspresikan dirinya, ia boleh memilih ben-tuk yang disukainya. Bentuk-bentuk yang lazim…Namun, kadang-kadang ia tak puas dalam salah satu bentuk itu, lalu terjadilah pengaburan batas, seperti halnya karya Masril Habib. Ia merupakan karya dari sastrawan muda yang mencoba bereksperimen dengan pembauran bentuk ini. Namun agaknya sebagai karya sastra, ia masih mendukung unsur estetik, etika, logika dan dinamika, walaupun bobot tersebut ku-rang seimbang. Tampaknya penulis mendahulukan estetika dari lainnya.

(Nyanyian Kerinduan)
Perkembangan yang tidak Berimbang

Masril yang terlahir di Rantau Prapat, 4 Maret 1975 telah berani meluncurkan dua buku sekaligus, masing-masing "Nyanyian Kerinduan" dan "Rindu Kebisuan". Rindu Kebisuan dengan tebal 103 halaman ini, mengingatkan saya dengan Javid Namah-nya Iqbal, Masnawi-nya Rumi, Sayap-sayap Patah-nya Gibran, Shah Namah-nya Firdausi Gulistan-nya Sa’adi, Diwan-nya Hafiz, dsb
Kebanyakan dari mereka sudah menjelajahi bentuk-bentuk ode, musaddas, gazal, maupun prosa liris.
Jhon L. Esposito, ada mengungkapkan bahwa pada abad –13 bentuk ungkapan pro sa liris untuk Nabis SAW muncul dan berkembang dalam berbagai bahasa-Gazal sebagai bentuk utama ekspresi putis. Bentuk ungkapan cinta dan kerinduan ini biasa-nya dipilih oleh para sufi, sejak abad –9 di jazirah Arab, yang dikumandangkan di bi-lik-bilik persinggahan (Khanaqah) dan dijadikan sarana latihan spritual, diantaranya bentuk Rubai’at, misalnya.
Cinta padamu menyisihkan tasbihku dan memberikan sajak dan nyanyian padaku .
(Kitab keabadian, Iqbal)
Masril terkesan ke arah itu, apakah Drama Manusia, Suara Penyair, Sayap-sayap Patah, Jangan Bercinta dengan Pujangga, dll,-nya Gibran. Atau Trilogi dari Iqbal, se perti Rahasia Diri (The secrets of the self), Misteri Diri (The Mysteries of Selfless-ness), dan Kitab Keabadian (Javid Namah), dsb.
Bukan berprasangka, tetapi mereka sudah lebih dulu mengenal dramatic poems ,narrative poems,dll.Hanya saja keberanian Habib perlu menjadi catatan tersendiri di bagian lembaran hati kita. Dan tidak heran jika kesimpang siuran pemikiran Habib bercampur aduk di dalamnya, apakah ini yang disebut membaptis Eksistensi?
Kita lihat dalam Melewati Malam:
Adapun jalan-jalanmu adalah tempat bumi mengukir arah, dan menjadikan tapak-tapak menjanjikan kesungguhan

Lalu:
Dan aku pun membenci
Dan kemudian:
Membenci do’amu pada ketika ini

Hal ini terasa juga pada Hidup Rindu Kekasih, Sepi Terhempas, Ratap Sungai Ke-ring, Gadis Kecil, Jerat, Dalam Kesempitan Gelap Nafas, Bisik Putik-Putik Berganti,Senyap Di Kampung Kumuh, Bulan Si Pengembara, Orang Gila dan Rindu Kebisuan.

Dalam Rindu Kebisuan ,misalnya:

Atau juga keletihan jiwa-jiwa berdo’a, menekuri jalannya dan mencari arahnya. Sebanyak matahari yang telah hadir menyinari bumi, dan sebanyak gubahan rembu-lan yang mencintai bumi.

Kemudian dia mengatakan:

Disisiku , yang selalu letih bila hari membentang, hidup di sini, mencari jalan per-tolongan, membiarkan cintaku tumbuh berkembang dan tetap berkembang.Memaha-mi Tuhan di antara semua tempat yang dilewati hidup siapapun.
Suatu ketika masril ingin seperti orang-orang zuhud (sufi), di lain waktu ia ingin menjadi orang biasa yang mencintai dan dicintai. Bebas dalam keterikatan. Setelah itu ia ingin bersunyi-sunyi dalam keramaian, ia ingin riuh dalam kesunyian. Anti-thesis, Analogi, dan berbagai ungkapan pertentangan makna berkembang hampir seluruh bagian (walau masih belum berimbang), sehingga konsistensi belum terjaga.
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Bagiamanapun Habib sudah berusaha untuk mengungkapkan segala keinginan dalam hati dan kepala. Kita perlu mem-berikan ungkapan salut. Hanya saja, janganlah kapal berhenti abadi pada dermaga yang sama, dalam pengertian berkarya.Demikian.

Medan, akhir Agustus 2005


Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana

Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang

Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu

Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan

T E R A L I

Waktu hanya menyulam siang dan malam
pada kalender hening di dinding
pada tik tak tik tak jarum jam tanpa detak
bersama mimpi tanpa tepi
yang membangunkan matahari
di tepi perigi

Aku hanya mampu merangkai bahasa luka
tatapan mata tanpa daya, menetes bening pasrah
tarian itu hanya menambah derita
sepi itu begitu menyayat dalam jasad
mengajak tualang rasa kelana
ke arah yang tidak berimba

Kemarin kita masih bicara tentang cita-cita
tapi ternyata cita-cita hanya rekayasa hidup
menyelundup diantara keinginan serta
rasa pasrah dan burung-burung
yang terbang di antara jarum jam
dan kalender yang tertinggal
di bawah bantal

Waktu hanya menyulam siang dan malam
pada kalender hening di dinding
pada tik tak tik tak jarum jam tanpa detak
bersama mimpi tanpa tepi
yang membangunkan matahari
entah kemana pergi?

Medan, Juli 04 edan,03-04

MUSA YANG MEMBELAH GELOMBANG

kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang

dengan tongkat sakti-di sini tsunami angkuh berdiri menebar duri, bersama angin yang memburu mengekalkan seringainya-dalam bayang-bayang kabut

serombongan gagak memburu camar yang terbang gontai, perlahan mengintai-sementara pepohonan tafakkur, mengucap syukur - lalu membanjir

derai zikir

: telah menjadi suratan fir'aun terkubur takabbur

menafikkan takdir di tengah laut yang terbelah

sehabis ketukan do'a Musa bersama takbir

yang menggema



kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang

bersama para syuhada-di sini laut berubah raksasa

melahap apa saja, bagai sihir yang menumpahkan

muntahan air-menghantam beratus ribu pasir dalam sir-sementara tenggorokan tersekat bersama waktu

yang sekarat

:telah menjadi suratan gelombang bukanlah hujjah

para syuhada hanya hijrah, berjalan diantara

pecahan resah, membius darah-dan tsunami hanyalah

istilah, pintu hijrah menuju tempat

yang lebih indah



maka,

bangunlah wahai kekasih Sang Kekasih, sebab resah

adalah miliknya orang-orang kalah, sebab kecewa adalah miliknya para pendosa,orang-orang yang tak mengerti arti mencinta, sebab nada kutuk adalah miliknya orang-orang yang pintu hatinya tak terketuk



maka,

kemana lagi Musa pergi, bersama umi-bersama abah,

bersama inong-bersama agam, bersama geuchik-bersama teungku meunasah, bersama para syuhada yang tak mengenal arti lelah-arti menyerah, selain

membelah gelombang,menuju Allah



medan, februari 2005

Requiem Kebangkitan

Ruh saudara-saudara kami

ruhnya Muhajirin

yang hijrah

singgah

di negeri Anshor

Robbi,

betapa luka begitu menyayat

sepanjang hayat

seperti rintihan seudati

memapah saman

dari zaman ke zaman

seperti erangan hombo

melompati batu

dari waktu ke waktu



Saudaraku,

jangan pandangi cemas

yang menganga di tepi cadas

yang menguap di udara

yang hanyut di antara lumut

sebab,

akan kau temukan gairah keabadian

di pusaran warna-warna

maut hanyalah selimut

yang mendekap hangat

para Muhajirin

yang hijrah ke negeri angin

menggilir zikir

sepanjang takbir



Ruh saudara-saudara kami

ruhnya Muhajirin

yang meminjam jubah tsunami

menuju negeri tabi'-tabi'in

di antara nadi luka

di antara syair yang merintih

di antara erangan tertahan

Robbi,

betapa luka begitu menyayat

sepanjang hayat, tapi

bangkitkan semangat jiwa

saudara kami

agar terus melukis pelangi

pada kanvas hati

bersama

'Illahi anta maksudi

wa rdhoka matlubi...



medan, 2005
Tanda bahasa dan kata Jiwa

setiap tanda

tak pernah melupakan bahasa dan kata

hidup- mati,langkah-rezeki

sampai kita pun karam

dalam diam



mari kita catat

berapa jiwa yang telah tenggelam

dan peradaban kota yang berubah bagai siluman

diam-diam pergi-bersebab tsunami, tak sempat

meninggalkan pesan pada nisan

di lumpur-lumpur makam



mari kita rekam

setiap peristiwa dengan bahasa dan kata

suara anak yang berteriak memanggil ibunya

suara isteri yang menjerit memanggil suaminya

suara-suara yang tenggelam dalam suara



setiap tanda

setiap peristiwa

hanya bahasa dan kata jiwa

yang mampu merangkainya

tak mengenal ruang dan masa

lantas, mengapa harus terluka

mengapa duka berdiam pada raga

berlama-lama?



medan,februari-maret2005

Bismillah

bismillahirrohmanirrohiim
demikian kumulakan segala permulaan

sesungguhnya segala perbuatan
dimulai dengan niat

bismillahirrohmanirrrohiim
mulailah dengan langkah kanan
bismillahirrohmanirrohiim
mulailah dengan tangan kanan
bismillahirrohmanirrohiim
perkuatlah dengan husnuzon
bismillahirrohmanirrahiim
enyahkanlah segala suuzon

bismillah adalah ucapan yakin melangkah
hapus segala hujjah, hapus segala resah
anak yang mengerahkan segala pada ibu
pertiwi yang selalu gelisah
lantas, alhamdulillahirobbil'alamiin,
pertanda syukur sepanjang umur
demikianlah, sejak lahirnya anak manusia
polos dan tanpa ikatan, tak ada sepotongpun
yang terbawa dibawah nisan
lantas, mengaca pada masa lalu perlu
tetapi bertindak untuk lebih maju, justru fardhu
dari tanah akan kembali ke tanah
dari air akan kembali ke air
dari angin akan kembali ke angin
innalillahi wa innailaihi roji'un
untuk apa lagi kita saling berbantah
niat ikhlash atas ridho dan rahmat
itu pencapaian memperoleh syafa'at

mari yakinkan langkah dengan bismillah
tanamkan segala pujian hanya pada Allah
semoga segala niat memperoleh rahmah

medan-2004/2005

Matahari Tepi Pantai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta di sela-sela pegunungan
merambat pelan-pelan dalam bias cita-cita

di puncak musim angin begitu landai
pada pelepah pohon kelapa
:terdengar anak mengaji alip ba ta
riak-riak biasa dalam sebuah pemahaman
debur ombak hanya menerjang karang
seperti piatu, mengetuk pintu mimpi membuka
telapak kaki ibu
ia pun menemukan buih
yang meretas sepanjang jarak sepanjang waktu
lalu, langkah lenyapkan buih yang gaduh
di bubungan rumah jiwa kita
menetes tes sebutir embun
menetes tes sebutir keringat
menetes tes sebutir air mata
: biru itu harus tergapai

matahari mengintip sepanjang pantai
menyinari musim
mewarta peta disela-sela pegunungan
meski badai, biru itu harus tergapai

medan,5-Januari-2005

Indonesia Berkaca

telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa

telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi

telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya

lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa

apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata

do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)

telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa


26 desember 2

nun, segalanya kuyakin jadi

hening
angin
semilir
rangkuh
resah
pundak
luka
kaki
belum
sembuh
hari
dah
hampir
berganti

bertaut resah ke ujung malam, gelapgelap tuan tegap tatap aku dengan poporsenjata aduklah rasa takut hamba selama setahun menunggu nista di tungku ajal

ku tuan nan terasa kekar, kelakar tawa telah lama tahukan aku sesiapa diantara pengarang nestapa ini, panggung kecil tak bisa melampiaskan ceritanya nan berjalan tanpa sebaitpun naskah, sedang hati kita tuan tak pernah bersua dalam sedetik pun resah

ah, betapa setahun ini kuhampir terpukau oleh derita yang kau hantarkan dengan sesajian sejadijadinya

berganti
hampir
dah
hari
sembuh
belum
kaki
luka
pundak
resah
rangkuh
semilir
angin
hening

o, nestapa harihari lalu tigaratusan tusuk menjadi bayangbayang tanpa cahaya padahal mentari segarang anggukan pedang padang pasir menebas leher kaum nan tak berdosa

o, segala doa kuhujatkan ke langit-langit berpantullah dari hulu ke hilirnya penderitaan orang-orang buta, buruh tak jadijadi tuan, nelayan tak jadijadi konglomerat, petani tak jadijadi tuantanah, cukong menjadijadi, makelar menjadijadi, tukang tipu menjadijadi, menjadijadi semua kepada luakluak penindasan hingga di hari ku yang kesekian dalam hitungan tigaratusan

semilir
angin
hening
rangkuh
bayang

kunyanyikan disini bersama segumpal pujaan pada senang, kuyakinkan disini bersama sejurus harapan tenang, kugaung ke liang telingan tuan sedalam harapan kenang, kusampaikan kepada kalian, betapa kan jadinya mimpimimpi yang selama ini dikumandangkan

bayang
rangkuh
hening
angin
semilir

padi tumbuhlah senang diantara sawah letih kaum tani, hutan suburlah julang diantara tawa peladang, ikan berkumpullah tenang diantara sauh sampansampan nelayan, pengemis senyumlah, gelandangan jadilah tuantuan ramah diantara pagi esok

nun, segalanya kuyakin jadi

angin semilir nan hening merangkuh bahagia

esok
pasti
bahagia

angin semilir nan hening merangkuh bahagia

bahagia
pasti
esok

nun, segalanya kuyakin jadi 0

MUHASABAH

Dan bukit-bukit mengecap sunyi pada keheningan terpekat,
Menunggu satu detik yang mengantarkannya pada satu tahun berikutnya

Dan detak jantung yang berjalan menggandeng jarum jam itupun bersaksi,
Pada ingatan yang teracik menjadi catatan kecil terbesar tahun ini.

Tahmidnya menggema menyibak malam,
Saat memorynya menghadiri pesta rakyat, kali ini tanpa darah
Karna Negri ini telah lama lelah, lidahnya tak ingin lagi latah menjilati tinta merah yang berkali-kali tumpah dari jiwa-jiwa penghuninya

Lalu bulu kuduknya berdiri,
Dengan enggan diketuknya memory tragis yang menyaksikan dirinya tertimbun pada puing-puing bangunan dengan airmata menembus lumpur, menyetubuhi air bah.
Dan jantungnya masih berjalan bergandengan dengan jarum jam
walau entah berapa ratus ribu jantung telah diam, bungkam

Ia terpekur,
Menengadahkan kepala menatap lurus menembus jantung cakrawala,
Tapi bulanpun terlihat keruh
dan bibirnya
dan hatinya
dan jiwanya
berpeluk erat pada muhasabah yang nyaris hanyut dalam laut yang gemeretak dengan amarah membirahi

Dan..
helaan nafasnya bertasbih menggaung tembus ke bukit-bukit yang mengecap sunyi pada keheningan terpekat.
Pada satu detik yang berlalu beberapa puluh detik yang lalu, mengantarnya duduk dalam I'tiraf membuka tahun berikutnya

Matanya nanar menatap bulan yang kian keruh-
Dan pemiliknya tak pernah keruh,
Ia luluh04-medan


Puisi M. Raudah Jambak
Lelaki yang Berdiri Itu

Lelaki yang berdiri
Antara rumah dan mimbarnya
Pada taman di antara
taman-taman di surga
berdiri atas gundukan tanah
bersandar pada sebatang
pohon kurma yang menangis
menyaksikannya naik
atas mimbar dari kayu
laksana unta yang menangis
kehilangan anak
lalu lelaki itu memeluknya
dan berkata
"Mana yang kau pilih
hidup subur dan rimbun
atau menjadi pohonan surga?"
lelaki itu lalu menguburnya
di bawah mimbar empat tingkat
yang kemudian menjadi puing
di peti mati
hanya tercium aroma wewangi
lelaki yang berdiri
antara rumah dan mimbarnya
pada taman di antara
taman-taman di surga
pada hari berbangkit, berdiri
pertama kali, lalu diteruskan
sahabat, imam dan wali
setelahnya yang mendapat
syafaat dan rahmat Ilahi medan, 11-12-04
Puisi M. Raudah Jabak
SERATUS UNTAI BIJI TASBIH


Telah kurangkai
Seratus untai biji tasbih
Mengurai Asma–Mu
Dalam amalan
Dalam Ilahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Telah ku rangkai
Seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Tapi gejolak jiwa ini
tak mampu jua
Menampung tumpahan
Kerinduan
Yang membanjiri air mata
Padahal telah ku arungi keluasan
Laut semesta-Mu
Padahal telah kukayuh sampan
Sejadahku menuju rahmad-Mu
Telah kurangkai
Seratus biji tasbih
Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama Allah.
Puisi M. Raudah Jambak
LANGKAH – LANGKAH

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal – gumpal menjadi
Seonggok awan hitam , di antara
Mendung – mendung
Dan menjadi hujan dalam mataku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa – bisa
Teriknya dan menusuk jantung – jantung
Hingga berdarah , dan seketika detik – detik
Kematian menyelimuti jiwaku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi limbah pada pabrik – pabrik kemaksiatan
Adalah bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi – nadi darahku
Menyumbat mulutku karena tak terbiasa
Melafaskan asma – Mu
Suara azan itu adalah
Langkah – langkah kakiku
Yang terseret satu – satu.







Puisi M. Raudah Jambak
AMSAL MUHARRAM

Allah ,
Hari – hari yang tersusun dalam hurup – hurup keabadian
Pada langit , pada bumi , pada bintang ,
Pada tanah kelahiran adalah
Hijaiyah pergantian musim ke musim
Bermula dari Adam yang mempersunting Hawa
Dalam surga
Lalu , lahirlah pasangan Kabil , lahirlah pasangan Habil
Dalam belantara dunia
Allah ,
Seperti hiasan langit yang gemerlapan
Menjadi cahaya alam semesta jiwa
Adalah Ibrahim yang mencari Sang Pencipta ,
Lalu menunggu kelahiran Ismail tiba
Yang hampir terbentur dalam usia senja Siti Hajar ,
Istrinya dan Allah kembali menguji ke – Imanan
Dalam qurbannya
Allah ,
Dalam lidah cakrawala yang terikat
Bendera – bendera curiga di antara batu karang nafsu
Dan keserakahan dunia lahirlah putra cahaya
Dari rahim Aminah berbapa Abdullah
Muhammad Rasulullah merobah peta suram dunia jahiliyah




Puisi M. Raudah Jambak
Melepas Do’a Air Mata


Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyantuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga – liwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera



Puisi Abdul W. M
Tuhan, Kita Begitu Dekat

Karya: Abdul W. M
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Tuhan,
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu








Pusi Sahril
Laut Telah Tak Bertepi

Ingin kukayuh biduk ini hingga segitiga bernama
ketika magnet-magnet kutub
menarik dajal ke perutnya
tapi konon pengayuhku patah
digunting ombak melaka
dan layarku tumbang dihantam
kalimbubu dan puting beliung
kemudiku kehilangan kompas
disikut debat pariwara
hingga aku terdampar di pulau tak bernama
di situs-situs email
masih kulihat belanak mencari terumbu
antara limbah-limbah politik dan tanker keangkuhan
nelayan-nelayan hanya kuasa
sisiri pantai berlumpur
menjala anak sembilang
sisa auman pukat tauke sipit
nipah – simali-mali telah gundul
tempat lokan dan ketam kelapa bertapa
laut telah tak berpantai
ombak pun enggan bertepi
Medan, 2002
Sepeda Mini

Kulit elang di tengah siang
Saat ombak menggiring pasang
Mak Ijah masih menampi beras segantung
di ujung pantai layar sudah tak di bentang
ayah si Antan menambat sampan
tangkapan hari ini hanya bisa bayar utang
di kedainya Pak Dulah
seikat rokok daun nipah dan tambakau cina
terselip di kopiah lusuh itu. Masih belum di bayar
malam merangkak, Antan pulang mengaji
merengek minta belikan sepeda mini
lelaki itu membisu
Kubah Padang, 2002


Puisi sahril

Di Laut Harimau Mengaum
Julang angin dalam buaian
dihembuskan selat melaka, jahil
sibak untaian mayang di
kening langsat dara pesisir
dan gegap gelak di bibir pantai
dara melayu sukat kepah
menjulur kaki mandi pada jilatan
ombak pasang
nun di samudera, senandung pengayuh
sayup belai di ujung pendengaran
: oii.... nandung di nandung
angin, datanglah puan
tiupkan layar tuju tepian kuala
konon di sana belahan jiwa sendirian
tunggu kasih bawa hantaran
oii.... didong.... didong, sayang
ajat hati melabuh kasih di pelaminan
apatah dayalaut telah mengaum
dekil berbagi
bujang menghanyut berantal lengan
tetap awan, mencibir angan
trbakar rindu pada tunangan
nan tiada bertatap berbilang bulan
oh... alam mengapa engkau siksa
batin nelayan bjang pejaka
pada lembut tatap dara pejaka
pada lembu dara jelita
nan berjanji tuk hidup berumah tangga
oh... laut dimanakah engkau sembunyikan ikan
hingga aku lelah mengayuh sampan
berpeluh embun kuyupkan badan
biarpun panas – hujan tetap kutahan
oh... kasih di tepi kuala
adakah engkau menanti dengan setia
akan ikrar janji kita
selepas purnama mengikat cinta
Puisi Sahril

Gadis Pantai

selamat tidur rembulan
pada tuakak ini aku merajut mimpi
mungkin selat melaka ini hantarkan angan
pada gemerincing ringgit di seberang
hingga benang tali kasih cinta kita
terlambat di pelaminan
pulau berhala telah terlewakan
mentari tinggal sepenggalahan
malam kedua menjelang hadapan
wadah adinda tak isa terlupakan
putih pasir pantai negeri
tempat kita berkejar-kejaran
mengelak langkah pada jilatan ombak
engkau angkat rok panjangmu
aku terpana pada betismu
ah, tersipu malu kala engkau tahu
di sinar suaranya tuakak ini
aku masih ingin mewujudkan impi
Kw. Tanjung, 2002

Habis Berbilang

masih kukayuh harapan
pada angan belum kesampaian
sedang janji kian di hadapan
malu bermuka pada handai tolan
nan pasik bertanya, bilakah awak berjulang?
tak mungkin hidup membujang
padahal usia semakin membentang
sebelum petang datang
sebelum dandang meradang untuk didiang
sebelum janur habis di tebang
dan sebelum dara ke seberang
Kw. Tanjung, 2002




Puisi Sahril

Lelaki Itu

lelaki itu memikul pengayuh
tak ada kayu pada kating
jaring dan rawai tak sempat dilabuh
sebab alun gelombang menari-nari
tak sudi menayang neleyan
ikan-ikan menangis
kerang-kerang tersedu-sedan
laut mengamuk
lelaki itu memikul lelah
memikul tatap istrinya
di ujung pandang dua bocah
berlari menerpa
lelaki itu tetap memikulnya
Kw. Tanjungm, 2002

Kenduri Laut

pada pucuk nipah
saat salawat dulang menggema
sepanjang isya membelah samudera
tiga kerbau di sembelih sudah
menghanyutkan lancang
kain tuju warna
pawang menari di unggun bara
gegap riuh ratip nelayan
menembus cakrawala
dara-dara menari inai
upacara hampir di penghujung
renjis tepungtawar menebar
(salam anak cucu pada datu mambang)
pada ratu bunian, mambang tali arus
berkat lailah aillallah Muhammad rasulullah
usai pawang tunaikan kenduri
datu-datu lantunkan ayat kursi
glai daging pembuka rezeki
tubuh rebana diiringi bangsih
tanda syukur
ke hadirat ilahi
bahwa rezeki harus di bagi
agar alam dan manusia harmoni


Surat Putih dari Tanah Rencong
Oleh : S. Ratman Suras
Saudaraku, kuburan massal telah disiapkan. Mayat-mayat telah dibungkus plastik hitam, lalu dimasukkan ke dalam lobang besar memanjang. Tak beraturan. Seperti me-
ngubur bangkai ayam korban keganasan flu burung. Aku maklum. Sebab jumlah mayat mencapai ribuan. Ratusan lagi bahkan belum terurus. Peralatan dan petugas jumlahnya sangat terbatas. Tragedi ini memang tak hanya menguras air mata, tapi juga tenaga dan semangat.
Aceh tidak hanya melelehkan kepedihan. Kota telah mati. Lumpuh. Dimana-mana ma-yat berserakan. Di pasar, dijalan-jalan. Di trotoar dan disela-sela puing-puing bangunan runtuh. Bau busuk pun menusuk. Dalam suasana seperti ini air mata seperti tak ada harganya lagi. Akupun tak sanggup menangis.
Mungkin engkau membaca surat ini dengan air mata atau tawa. Aku percaya. Duka ini begitu cepat merambat. Televisi dan koran-koran selalu menyuarakan amuk bumi dan tsunami ini. Negeri inipun langsung berduka. Bendera setengah tiang dikibarkan selama tiga hari penuh. Nyanyian perkabungan berkumandang. Dompet peduli Aceh dibuka. Sekali lagi aku yakin. Kau juga ikut posko. Saudaraku, aku katakan jujur, aku sangat terharu. Dengan tragedi ini , rasanya persaudaraan kita lebih kental. Lebih indah dan akrab. Terimakasih saudaraku. Semua lapisan masyarakat berbaris rapi menyikapi bencana ini. Bantuan duniapun terus mengalir. Pejabat-pejabat tinggi kitapun terus hadir.
Aku melihat konvoi truk mengangkut sembako di jalan menuju Aceh tak putus-putus. Semua itu untuk kami yang terkena bencana. Ya, dengan adanya bantuan itu, kami yang disini bisa lebih bergairah lagi menatap masa depan yang sudah porak-poranda. Lewat surat ini juga aku ingin berbagi cerita. Aku juga seperti kita semua. Bahwa minggu pagi yang cerah itu akan menjadi cerita luka selamanya. Dalam hitungan menit, kota digulung ombak yang cukup tinggi. Gelombang itu begitu cepat menerjang. Sangat ganas. Sesekali orang-orang berhamburan saling menyelematkan diri. Anak-anak bahkan tak sempat lagi menjerit. Orang tua pasrah dilumat gelombang pasang. Ia datang tak permisi menggu-lung apa saja. Pasar, kantor, toko-toko, mobil, gedung, sekolah lumat dalam sekejap.
Saudaraku, aku pada waktu itu sedang santai menunggu pembeli. Maklum aku seorang pedagang yang sedang mulai berkembang. Rumahku sekitar tiga kilo meter dari tempat aku berjualan. Aku berjualan sembako dan kebutuhan lain. Pada saat bersamaan istri dan anak-anakku sedang berada di rumah. Mereka sangat setia. Istriku cantik. Aku baru punya anak dua yang sedang lucu-lucunya. Aku cukup bahagia dengan keadaanku. Banda Aceh adalah saksi hidupku. Satu yang menjadi kegemaran istriku, ia suka berkebun. Khususnya bunga. Sekitar rumahku penuh dengan aneka kembang.
Sebenarnya ada perasaan tak enak usai gempa. Namun perasaan itu aku pendam. Aku berusaha tentram bersama pedagang yang lain. Karena para pembelipun sudah mulai ramai. Perputaran uang sudah mulai berjalan. Apalagi hari libur. Hari-hari libur inilah saat-saat indah meraih untung.
Walau aku asli Aceh, saudaraku jangan dulu berpikir negatif. Aku tidak pernah ikut-ikutan sama mereka yang angkat senjata naik gunung. Aku ingin menjadi orang biasa yang ingin hidup bahagia apa adanya di negeri ini. Aku tak ingin berpolitik. Aku sudah cukup bahagia bisa membangun Aceh dari sisi lain. Bukankah sebutir pasir akan bermanfaat bagi sebuah gedung bernama pembangunan? Sebenarnya banyak saudaraku, orang Aceh yang berpandangan seperti aku ini. Negeri ini memang sangat luas. Banyak perbedaan adalah rahmat-Nya. Untuk kita saling mengenal satu-sama lain. Aku sadar itu.
Bumi serambi Mekkah ini dari dulu memang terkenal. Satu keturunan masyarakat dunia yang multi etnik dan kultur bersatu di sini. Telah banyak orang-orang alim lahir di sini dan menyebar ke seluruh negeri. Kalau saudara pernah ke Tomok di salah satu kuburan batu raja-raja di situ, ada orang kita yang konon mengembara sampai ke sana. Para wali di jawa juga masih ada hubungan darah dengan orang sini. Satu pertanyaan saudaraku, mengapa ombak besar itu menggulung kami di sini? Apa aku dan saudara-saudaraku di sini telah jauh darinya? Ini cobaan, ujian, atau azab? Saudaraku, kalau ini cobaan dan ujian, aku sabar. Kalau seandainya ini azab, aku akan tabah dan tawakal serta kaji diri, iktibar dan semuanya aku serahkan kepada-Nya. Sebab semua yang terjadi di langit, di bumi dan di laut ada dalam gengggaman-nya. Kita manusia Cuma bisa pasrah.
Kini semua telah luluh, semua telah rata dengan tanah. Anak-anak dalam sekejap jadi yatim-piyatu . Orangtua yang selamat trauma. Harta yanhg tak terhitung jumlah nya lenyap.
Saudaraku, inilah barangkali yang bisa aku sampaikan. Ya, barangkali bisa untuk men jadi pelajaran bagi kita semua. Dalam musibah ini semua sudah luluh. Segalanya kembali dari nol . Pesanku, kepada saudarsauda- ra ku yang hidup. Tabahkanlah hati kalian, janganlah larut terus dalam duka. Matahari masih mekar diufuk timur. Bangkitlah dengan
Kekuatan baru. Syukurlah kalian masih diberi umur panjang oleh-Nya. Semua ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Harta, tahta, anak-anak, istri semua amanah dan titipannya. Dalam sekejap mata kalau Dia mau mengambilnya tentu kita tak bisa me-nahannya.
Terakhir kalau ada kata-kata yang kurang berkenan, aku minta maaf. Aku sekarang tak bisa apa-apa lagi. Aku hanya bisa menatap kosong. Tanah rencong yang sebagian sudah luluh lantak. Meulaboh kopak-kapik, seperti rempeyek yang hancur. Banda Aceh puing-puing cinta yang tenggelam. Calang tenggelam dalam lumpur pekat. Pantai-pantai yang dulu indah kini rusak wajahnya.
Saudaraku, salam dari jauh. Jauh sekali. Aku tak bisa lagi turut membangun tanah ini. Sebab jasadku telah rusak. Tubuhku telah dibungkus plastik hitam dan telah dimasukkan ke dalam tumpukkan mayat-mayat di lobang besar memanjang. Ya, akulah salah satu korban keganasan gelombang pasang itu. Dan, ini surat ku yang pertama dan terakhir. Do’a kalian semua kuminta dengan tulus ikhlash; semoga aku bisa berkumpul dengan keluargaku di sana.
MEDAN, Januari 2005


Kehilangan Kepala
Cerpen S. Ratman Suras
Lelaki tua berbaju serba hitam dengan caping bambu yang juga berwarna hitam tergesa-gesa datang kekedai saya. Saya melayani, seperti biasa ia minta kopi kental dengan sedikit gula. Setelah mnyeruput beberapa kali kopinya, ia mulai bercerita, ini kali yang ketiga datang ke kedai saya. Beginilah ceritanya:
" Cerita ini terjadi kir-kira seratus tahun yang lampau, saya pertama mendengar cerita ini dari almarhum kakek saya. Kata kakek saya, beliau juga dapat dari kakenya. Kata kakeknya kakek, juga dapat cerita ini dari kakeknya. Jadi sudah berapa kakek yang menceritakan ini buat cucunya? Kalian bisa membayangkan sendiri. Tapi itu tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting kalian bisa memetik pelajaran berharga dari cerita saya ini."
Para pelanggan kedai saya mulai tertarik.
"Bagus, klek. Mulai saja,"
"Iya, barangkali kelak saya bisa menceritakan cerita ini kepada cucu saya," sambung ang lain.
"Konon di sebuah perkampungan terpenci lahirlah seorng bayi laki-laki. Oleh Emaknya bayi itu diberi nama Buyung. Dengan penuh cinta, Emak itu mengasuh Buyung sampai Buynug bisa mencari makan sendiri."
"Ala itu pasti cerita anak durhaka. Seperti Malin Kundang Teluk Bayur yang terkutuk jadi batu, kan Kek?" potong Pak Ono sambil mengunyah pult ampas kepala.
"Itu sudah kuno, Kek. Jalan ceritanya semua orang sudah tahu. Cerita yang lain saja, Kek," Pinta yang lain.
"Itulah kalian sring kali memotong cerit orang, saya kan belum selesai ngomong," bela Kakek nyentrik itu.
"Lanjut!" seru saya.
" Pada suatu hari Buyung pergi merantau kengeri seberang. Di negeri orang Buyung bekerja keras. Memang tidak sesukses yang kalian duga. Buyung walaupun kerja keras, kehidupannya masi biasa-biasa saja. Cuma tidak melarut. Mungkin satu yang menjadi catatan bagi kalian, bafwa si Buyung itu kuat makan. Ia pakai teori ayam. Modalnya patok sqama ceker. Berapa hari ini dapat, itu juga yang disikat habis. Beda kan dengan Malin Kundang Teluk Bayur."
"Jadi dimana letak menarik cerita itu, Kek?sela Budi sambil menyemburkan asap rokok dan membetulkan letak gagang kaca matanya.
"Setelah sepuluh tahun Buyung di rantau tak ada perubahan hidupnya, Buyung pun pulang. Sampai di rumah, Buyung terkejut. Kehidupan Emaknya sudah berubah total. Emak Buyung di kampung sudah termasuk kaya harta. Rumahnya sudah paling bagus di kampung itu. Dari kesuksesan Emaknya inilah cerita ini mengalir. Buynug protes keras. Kira-kira begini cara Buynug menkritik Emaknya:
"Semua orang akan mati,Mak. Kita harus bagus-bagus hidup di dunia ini. Menurut pendapat saya, Emak sudah jauh melenceng dari kebenaran. Cara Emak mendapatkan harta salah. Saya kan anak Emaknya juga. Ustad bilang, anak harus berbakti sama orang tuanya. Jadi saya minta maaf, hentikan semua ini, Mak."
"Cara Emak dapatkan harta salah."
"He, dengar Buyung! Emak sudah tua. Emak tahu mana bagus dan mana yang jelek. Kalau kau tak suka cara Emak cari makan, kau kan sudah besar. Cari makan masin-masing lah kita. Kau sudah merantau, ngapai kau pulang. Sekarang kalau kau tak sukadengan Emak, pergi lah kau keman kau suka!"


kukirim juga ke email Suyadi San








M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar SUARA RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED .Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081533214263.
E-Mail:mraudahjambak@plasa.com. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi puisipenyair Medan), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay), MEDITASI (antologi puisi tunggal), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara) dan beberapa kumpulan cerpen yang akan diterbitkan.











Kepada Yth :
Bapak Damiri Mahmud
Kurator Cakrawala Sastra Indonesia
Dewan Kesenian Jakarta
Wilayah Sumatera Utara
Di:
Tempat
Salam Sastra!
Melalui surat ini saya yang bertanda tangan di bawah ini menyerahkan beberapa bu ah karya, dengan harapan dapat masuk dalam seleksi dan memenuhi persayaratan sebegai perserta yang mewakili Sumatera Utara.
Nama : M. Raudah Jambak
T/tgl lahir : Medan, 5 Januari 1972
Alamat : Jl. Kapt. Muslim Gg. Jawa -lr. Muhammadiyah No. 7C
Agama : Islam
Pekerjaan : Staf Pengajar di Perg. Panca Budi dan Budi Utomo, serta honorer
Mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di UNIMED
Judul Karya: Lelaki Yang Berdiri Itu
Lelaki dan Senja
Menunggu Kabar
Orang-Orang Yang Terus Berlari, dll.
Semoga apa yang telah saya kirimkan ini berkenan dan berterima. Besar harapan saya, jika karya saya ini dimasukkan dalam penerbitan buku yang dimaksud. Akhirnya, saya ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
Wassallam,
M. Raudah Jambak




Puisi-puisiM. Raudah Jambak

SAJADAH BATU

Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu
Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu

2007-09-15

SAJADAH KAYU

Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do'a-do'a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu

2007-09-15

SAJADAH API

Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
"Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu," ujarnya berseru
Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru

2007

SAJADAH TANAH

Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
"Telah menyatu aku dengan Tuhanku!"
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah
O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?

2007

SAJADAH AIR

Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir

2007

SAJADAH UDARA

Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, memebentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya
Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah Ya, Rabbi

2007


Dimuat di Kompas, MINGGU, 26 Agustus 2006

Cerpen Hasan Al Banna

Parompa Sadun Kiriman Ibu

Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata.
Semestinya Lamrina layak bersuka-cita. Bukankah hari ini telah dilangsungkan acara manjagit parompa, juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi tidur Uli yang baru berusia duapuluh delapan hari. Pada kesempatan lain ia sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina.
Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina.
Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang berombak di dadanya. Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan tangis!
Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apapun ia menyeka linangan di pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur. Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya.
Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini gelisah. Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira, bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap, usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu datang.
Hmm, ia menarik napas, berat. Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya, dan dihamparkan di atas springbed. Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh suka-cita acara manjagit parompa, acara adat Angkola menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga musti hadir. Tapi jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri dari kerabat dan tetangga.
Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli. Itulah dua kata yang tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit godang.
Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita yang Memakai).
Tapi pada simpang-siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya berperam mata sambil menikami kelebat sesal. Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit godang.
Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya berladang-ladang di belakang rumah.
Lamrina pun berangkat ke ibukota. Di sana ia menumpang di rumah amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya. Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika Masniari, kakak tertua Lamrina dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung bersama ibu, dan belum menikah.
Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya. Ia yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa. Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. “Pokoknya seagama,” begitu pesan ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina. Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan.
Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan. Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya. Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan.
Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah tenang. Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang mengasuh janin perempuan.
Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalau pun tidak, ibunya berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah pulang ke Sabatolang.
Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai. Malah di dadanya gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu. Tapi apa? Ibunya tersinggung!
“Tak senang-nya kau menerima parompa itu?” Suara ibu Lamrina sedikit tinggi dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung Lamrina berdebar, “Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau…”
“Senang-nya aku, bu…” potong Lamrina.
“Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung.” Kini suara ibunya menjurus ketus, “Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?” Pertanyaan ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara: tuut-tuut-tuut!
Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu laki-laki. Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah. Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga laki-laki sebagai penerus marga.
Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam. Belum pandai Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak punya niat untuk menikah lagi. “Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun ibu masih muda.”
Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya, perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya terlanjur tersinggung. Buktinya, sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: “Tak ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat.”
Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti baju yang teronggok di lantai. “I…bumu me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas…” Suara parau tulang Dahler yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh.
Maka meletuslah tangis Lamrina. Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf. Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami yang sabar.
Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya. Termasuk untuk membujuk Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan Mas Hadi dengan lapang dada tetap memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. “Demi menghormati arwah ibu,” kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: “Aku gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?”
Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh. Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama anaknya, “Uli, Uli, anak sayang,” serta-merta Lamrina seperti berbisik, “Ibu, Ibu, nasibmu, o, betapa malang!” Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka hatinya yang menganga-merekah.
“Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!”

Medan, 2006







Dimuat di Andalas, MINGGU, 16 Maret 2008

CERPEN
Pasar Jongjong
OLEH HASAN AL BANNA

Kabut menelungkup! Derik jangkrik mendaki kegelapan, juga menuang kelengangan. Sepasang mata Ompung Luat begitu awas menuntun kakinya menyusur jalan setapak, lembab dan berbatu. Angin tak bertiup, tapi liuk dingin menyusup juga ke tandas tulang. Ou, lelaki 76 tahun itu mendapatkan dirinya jauh lebih rerak dari usianya. Ia usap wajahnya yang berpipi cekung, seperti meraba lengkung lesung yang dangkal dan lapuk. Sambil menghalau batuk yang menggedor dada, Ompung Luat meraih sarung yang melingkar di leher, lalu diselubungkan ke tubuhnya yang geletar.
Dingin masih menunggang malam. Di sela jari Ompung Luat, tembakau bakkal dibalut daun biobio tersisa duapertiga. Tapi ia jentikkan begitu saja linting rokok kegemarannya itu ke sebalik belukar. Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting Ompung Luat—geretan sumbu berminyak lampu—tak mampu lagi memercik. Dan iya, memantik sepetik api ke pucuk rokoknya serupa hasrat yang berkarat.
Entah apa yang bersikeruh di lubuk kepala Ompung Luat. Usai isya tadi, ia, Amang Salohot, dan Marapande pergi ke rumah kepala kampung, Jabinore. Mereka menebar jala upaya untuk kesekian kalinya. Mana tahu Jabinore mau menukar arah pikiran: batal menjual kebunnya di belakang madrasah! Dan mungkin jadi, segalanya menjadi lain. Meski segenggam harapan itu akhirnya hangus menjadi legam angan. Harapan rontok, berserak, umpama daun-daun kerontang kehilangan pokok.
“Maaf, tak ada lagi wewenangku mengubah kesepakatan tempo hari.” Kalimat itulah yang dilontarkan Jabinore dengan mimik yang kemarau. Berarti ia angkat tangan! Maka Ompung Luat, Amang Salohot, dan Marapande pun bergegas menyurut langkah. Dan selama perjalanan menjemput jejak pertama, hanya ruap rokok dan sengap napas isi percakapan mereka. Ketiganya menitip suara ke perut gulita. Pun ketika berpisah di sebuah jalan bercabang, tak hendak mereka menagih kata-kata. Hanya angguk belaka tanda melepas simpul sua.
Kesepakatan soal keberadaan pasar jongjong memang sudah seminggu yang lalu tercapai. Lantas, ya, tinggal menunggu waktu, sesegera mungkin ditunaikanlah kesepakatan itu. Tetapi ada saja riak kenangan yang menghentak benak Ompung Luat. Riak yang kemudian berpusar deras, lalu mengombakkan sebuah tekad: kelangsungan pasar jongjong! Meski jika berhadap-hadap dengan mata hukum, gelung ombak tersebut terpental susut.
Pasar jongjong, sebuah pasar kecil di pekarangan madrasah. Madrasah, bangunan kayu berpekarangan tidak lebih dari sebidang lapangan voli. Memiliki empat lokal belajar. Satu ruangan besar sebenarnya, tapi disekat dengan beberapa papan tulis berkaki sehingga mencipta beberapa lokal. Di belakang madrasah melintas parit berair jernih. Dua bangkai pohon kelapa sepanjang dua meter menjadi penghubung terjal antara madrasah dengan kebun pisang milik Jabinore.
Di madrasah tersebut, para murid setingkat SD belajar mengaji dan ilmu agama, dituntun guru-guru belia tamatan pesantren tersohor, Purba Baru—Mandailing Natal. Pagi, madrasah diisi murid SD yang sekolahnya masuk siang, dan begitu sebaliknya. Madrasah itu berdiri jauh sesudah pasar jongjong berlangsung. Kalau hendak mengenal saksi hidup pasar jongjong, Ompung Luat dan Nek Arse orangnya. Mereka berdua, serta mendiang Haji Mahot dan mendiang Mursalim yang mula kali memulai aktivitas pasar jongjong. Segalanya berawal dari ketaksengajaan.
Suatu pagi 28 tahun lampau, Ompung Luat memundak sekeranjang ikan sepat tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di sawah, menunggui bunting padi yang ranum. Pagi itu ia bermaksud pulang, sekadar menjemput bekal untuk malam berikutnya. “Bawa saja ikan-ikan itu pulang,” teriak istrinya sambil mengusir burung-burung yang menghinggapi pucuk-pucuk padi, “Entah kau kasihkan sama si Rumondang, atau bagikan sajalah ke hombar balok, sama tetangga-tetangga kita itu.” Ompung Luat menjawab dengan anggukan.
Mungkin untuk mengerat penat, ia rehat tepat di tanah kosong milik Haji Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur, lantas pergi menjinjing tiga-empat ekor sepat. Ompung Luat menolak imbalan uang yang mereka sodorkan. Ya, karena niat semula sepat-sepat itu untuk dibagikan, bukan dijual. Tapi orang-orang tetap meninggalkan uang di sisi keranjang. Hampir tamat semua sepat. Tinggal untuk Rumondang saja, putrinya yang sudah berkeluarga, tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Nah, beriring masa, setiap berpapasan dengan Ompung Luat, orang-orang kampung sering bertanya soal sepat. Maka, jika berada di sawah dan terselip waktu luang, Ompung Luat rajin menjerat sepat. Kemudian ia menuju tanah kosong, menunggu orang-orang memintas, lalu menyodorkan ikan. Ia tetap tak menagih upah, tapi mereka selalu menyisipkan uang ke saku baju Ompung Luat. Kadang tak lama berdiri di situ, berlalu pulang ia. Tapi, andai terperogok warga, Ompung Luat memindahkan jinjingan sepat ke tangan orang-orang kampung.
Tapi pernah sekeranjang sepat bawaannya tak berkurang seeokor pun. Rumondang dan tetangga hanya menjumput satu-dua ekor. Sisanya banyak, bermatian pula. Ketimbang mubazir, Ompung Luat mengolahnya menjadi ikan sale. Ya, sepat-sepat itu direbus berbumbu, lalu diasapi sedemikian rupa di atas bara sampai warnanya coklat kehitaman. Bara jangan sampai menjulurkan lidah api. Karena ikan-ikan itu hanya boleh ditanak oleh kepul asap. Kalau hendak dimakan, ikan sale bisa digoreng atau digulai terlebih dulu. Oi, sedap kali rasanya itu.
Ikan sale tersebut tak tersisa ketika Ompung Luat menggelarnya di tanah Haji Mahot, keesokan pagi. Maka, meski tak setiap hari, Ompung Luat pun ketagihan menjaja ikan sale. Kemudian hari, Nek Arse turut menjual sayur-mayur tanamannya. Haji Mahot si empunya tanah tak keberatan pula. Bahkan ia pun sering menjual hasil ladangnya—kelapa dan ubi. Datanglah Mursalim, membawa telur-telur yang ditetaskan ayam kampung piaraannya.
Ompung Luat akhirnya rutin manyale ikan air tawar, dan menjajanya di tempat biasa. Sejak istrinya sakit-sakitan, lalu meninggal, ia tak kerasan lagi mengurus sawahnya yang luas. Ia serahkan itu kepada Rumondang dan menantunya. Untuk mendapatkan ikan, ia tak turun tangan lagi menangkapnya. Kalau tak dipesankan sama menantunya, ya, ia beli dari kampung sebelah. Belakangan, Ompung Luat juga menjual gadapang, ikan kering penyedap sambal tuktuk khas Tapsel.
Kian ramailah tanah milik Haji Mahot itu. Warga sering menyebutnya pasar jongjong. Mengenai itu, Ompung Luat si penciptanya. “Kan waktu itu, cuma sebentar-nya aku berdiri di situ, eh datang orang menawar ikanku. Ya, jadi kubilanglah pasar berdiri, pasar jongjong!” Begitu kisah Ompung Luat mengenang kegelian peristiwa tempo hari. Warga pun senang dengan pasar jongjong. Maklum, pasar kecamatan berjarak tiga kilometer dari kampung itu. Jauh kali rasanya kalau hanya untuk membeli sayuran atau rencah gulai.
Pasar jongjong berlangsung setiap pagi. Lepas subuh, dan berakhir sebelum oleng matahari menebas batas lohor. Sebelas tahun berlalu, berdirilah madrasah. Itu atas prakarsa orang-orang pasar jongjong. Dana pembangunannya pun kebanyakan berasal dari sumbangan mereka. Pengelolaan madrasah diserahkan kepada Haji Mahot. Ia kan pemilik tanah, juga hatobangon, tetua kampung yang dihormati. Begitupun, ia dibantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi belajar untuk murid-murid mengaji.
Jadi, di pekarangan madrasahlah aktivitas pasar jongjong berlanjut. Sesama mereka, tidak ada tempat permanen untuk menggelar lapak. Saling berpindah tiap hari. Tapi mereka tak pernah bertikai. Mereka menggelar dagangan seadanya, hanya lapak-lapak plastik pasang-buka. Tenda-tenda dipasang untuk menghalang sengat panas, atau menghindar dari hujan. Tenda-tenda ditopang galah, dan ditambatkan pada jejeran paku yang menancap sembarang di dinding madrasah. Semak, tentu. Bersampah, apalagi. Tapi usai berdagang, pekarangan madrasah akan kembali bersih.
Mmh, jika diperhatikan, kebanyakan orang-orang pasar jongjong sudah renta. Mereka tak mampu lagi menghambur peluh di sawah-ladang. Kalaupun ada yang berusia muda, hanya satu-dua. Itupun para wanita yang tak ikut bertani-berladang. Pasar jongjong sungguh berarti bagi mereka. Tapi sumpah, mereka tidak akan tersandung lapar jika pasar jongjong tak ada! Bagi mereka, pasar jongjong tidak semata luap uang. Tengoklah, mereka punya sawah-ladang yang lapang dan ternak yang berpinak. Keturunan mereka pun tetap setia memamahi gembur tanah. Andai tidur-makan saja di rumah, harta mereka pun tak akan kerontang.
Dan memanglah, bagi mereka pasar jongjong bukan soal untung rugi. Buktinya, kalau dagangan tersisa sedikit, pantang dibawa pulang, musti dibagikan. Kadang mereka tak berjualan jika ada warga yang tertimpa kemalangan. Bahkan hari jumat pasar jongjong kosong. “Hari raya kecil,” kata mereka. Ah, pasar jongjong hanya semacam alasan bagi mereka untuk tetap bersua, merajut cerita, bertukar lara, bersilang ria, bahkan menyetor amal.
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk pengajian kaum ibu, acara maulid, isra mikraj, dan rapat naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung). Pendek kata, orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. Tapi begitupun, kalau ada atap madrasah yang koyak, atau dinding melunak, mereka—orang-orang pasar jongjong—yang biasanya lebih bersegera memperbaikinnya. Pula tiap tahun, tepatnya setiap pergantian ajaran baru, orang-orang pasar jongjong bergotong-royong mengecat madrasah, meski hanya dengan cat kapur yang gampang pudar.
Terus pula, di pasar jongjong, setiap hari mereka kumpulkan uang ikhlas, semacam iuran, begitulah. Itu digunakan untuk menggaji guru-guru madrasah. Kepada para murid memang ditagih bayaran, namun tidak pula dipaksa. Bisa dikatakan, lebih dari separo murid-murid tersebut belajar secara cuma-cuma. Maka, bukankah kelangsungan madrasah tergantung orang-orang pasar jongjong? Tapi jawaban mereka begitu lugu, “Itukan untuk anak-cucu kami juga.” Mmh, pasar jongjong, rumah kebahagiaan yang tak terhingga bagi penghuninya.
Maka tak terbayangkan jika pasar jongjong tiba-tiba raib dari rak hari mereka. Kenangan puluhan tahun bakal menyerpih. Lalu, matahari esok mereka bercahaya pitam. Terlebih-lebih Ompung Luat, si penemu pasar jongjong. Semua beranjak dari kabar murah, tapi akhirnya membikin terperangah. Bah! Katanya pihak kecamatan akan membongkar madrasah. Di lokasi itu tetap madrasah yang akan dibangun. “Semacam madrasah percontohan-lah”, kata Pak Camat. “Pokoknya kita bikin permanen, bertingkat, dan tentulah lebih besar dari yang sebelumnya,” sambung beliau. Dan akhir dari keterperangahan itu adalah kepastian soal pasar jongjong akan dijungkal, digusur!
Orang-orang pasar jongjong bak disihir, tumpat alir pikir. Memang, mereka sempat lega ketika Ompung Luat mengaku masih menggengam salinan surat wasiat Haji Mahot. Isi surat bersegel itu menjelaskan bahwa tanah lokasi madrasah dan bangunan madrasah diwakafkan untuk kemaslahatan orang kampung. Termasuk untuk orang-orang yang berjualan di pasar jongjong. Surat inilah senjata terakhir yang diharapkan mampu membenamkan niat Pak Camat.
Tapi surat itu tidak bermanfaat ketika beradu khasiat dengan sertifikat tanah yang dikantongi pihak camat. Rupanya, tanpa sepengetahuan orang-orang pasar jongjong, anak-anak Haji Mahot telah menjual tanah tersebut. Haji Mahot memiliki tujuh anak, semuanya menetap di perantauan. Istri Haji Mahot, sudah lebih dulu meninggal, berselang dua tahun. Beberapa hari setelah Haji Mahot meninggal, mereka menjual seluruh harta orangtuanya untuk memudahkan pembagian warisan. Termasuklah itu tanah madrasah dan pasar jongjong.
Keadaan kian tak menguntungkan ketika pemuka kampung yang lain ikut-ikutan mendukung. Termasuk Jabinore yang rela menjual kebun pisangnya—di belakang madrasah—kepada pihak kecamatan. Tanah Jabinore itu termasuk dalam rencana pembangunan madrasah baru. “…orangtua-orangtua kami, bapak-bapak, begitu pula ibu-ibu, alim ulama, saudara-saudara, dan tuan guru kami, ini demi nama baik kampung dan masa depan generasi muda kita. Nian Allah membalas keikhlasan hadirin semua…” Begitu bunyi pidato Pak Camat ketika acara penandatanganan kesepakatan antara pihak kecamatan dengan warga berlangsung di kantor kecamatan. Ada riuh tepuk tangan, perjamuan makan, juga uang yang—katanya—sudah dibagi-bagikan?
Tapi lalu, orang-orang pasar jongjong memilih meraba sengak dada. Bagi mereka, menyulam ketabahan lebih bermanfaat ketimbang meletupkan kekecewaan, bahkan amarah. Pun mereka, sejak dulu, tidak punya watak berontak!
* * *
Subuh beranjak. Matahari terbit sejejak. Kabut masih mengapung. Di sekitar madrasah, ada gunungan pasir dan batu sungai. Bata tersusun setinggi dada. Puluhan sak semen tergeletak tak beraturan, menyemak. Bahan material lain juga sudah berjejal. Kayu-kayu tinggi-tegap menancap mengelilingi lokasi pembangunan. Hari ini madrasah sudah mulai libur, entah sampai kapan. Tapi orang-orang pasar jongjong masih diperkenankan berjualan untuk terakhir kali.
Ompung Luat menggelar lapak. Aroma ikan sale dan gadapang mengail selera. Orang-orang pasar jongjong juga menggelar jualan, seperti biasa. Apa adanya. Tapi tak ada sapa yang menghela di antara mereka. Langit senyap. Suara-suara gelap. O, Tuhan, mengapa pagi ini sorot mata mereka begitu hampa, mulut mereka dikepit luka? Mereka memang menggelar dagangan. Tapi sungguh, yang tergelar cuma kehampaan belaka.
Kehampaan yang sempurna!

Medan, 2006

















Dimuat di Suara Pembaruan, MINGGU, 30 Desember 2007

Monolog Lelaki Merindukan Pulang
Oleh Hasan Al Banna


Maka aku, betapa berhasrat hendak menggelinjangkan ikan-ikan ke pangkuanmu!
Bersebab wajahmu yang sebening pucuk jambu itu, sedikitpun tak pernah membersitkan rasa takut atau curiga tentang kesenanganku bepergian ke mana saja aku suka. Ai, sama sekali kau tidak pernah bertanya: Mengapa aku pergi? Hendak ke mana pergi? Sedang apa aku dalam pergi? Berapa lama pergi? Atau adakah nanti aku pulang setelah pergi? Kapankah pulang setelah pergi? Adakah siang hari? Adakah pulang senja hari? Adakah malam hari? Adakah tengah malam? Adakah pulang usai diseduh subuh? Atau bahkan aku tidak pulang sama sekali untuk waktu yang tak pernah tertebak olehmu. Ohoi, aku sebut kau setegar batu, tapi hatimu, sungguh sedebar salju.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Maka aku, betapa berdegup hendak tersesat di belantara cintamu!
Bersebab ketika aku selalu pergi setiap pagi, kau sama sekali tak pernah lupa menyiapkan segala sesuatu keperluanku; air hangat dan handuk untuk mandi, pakaian yang sudah dicuci bersih dan pasti sudah disetrika rapi, kaus kaki, serta sepatu dengan kilat yang berderai. Dan tentu menyusul suguhan sarapan; sepiring lontong sayur, opak, dan segelas teh hangat, juga membekaliku dengan ini dan itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah menyuruh, apalagi memerintahkanmu melakukan semua itu.
“Sudahlah, tak usah repot kali. Biar aku saja yang menyiapkan segala sesuatunya.”
“Ah, tidak mengapa. Sedikitpun aku tak pernah merasa repot mengerjakannya untukmu.”
“Aku sudah terbiasa melakukan itu.”
“Iya, aku memang belum terbiasa melakukannya. Makanya aku ingin terus membiasakan diri untuk itu.”
“Nanti kau merasa terbebani. Jika mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan yang terbeban itu, tidaklah baik.”
“Beban itu, jikapun ada adalah ibadah bagiku. Dan mengerjakan ibadah sama artinya dengan mengerjakan suatu yang baik pula.”
“Hei…”
“Pendeknya, aku tidak pernah merasa terbebani.”
“Ya, tapi…”
“Atau kau yang merasa terbebani?”
“Tidak, hanya…”
“Ya, sudah! Berangkatlah, semoga hari ini perjalananmu menyenangkan.”
Maka aku, betapa lonjak hendak terjerat di pelukanmu!
Bersebab sering bila aku tidak pulang, kau sangat sedia dan setia dalam jaga dan tidur menungguku di ruang tamu. Bagimu persoalan waktu tidak terlalu penting. Tak peduli hari adakah senja, adakah malam, adakah tengah malam, atau sekalian subuh. Dan untuk itu kau tidak pernah merasa keberatan, tidak pernah merasa dirugikan, tidak pernah merasa terhina, tidak pernah merasa diabaikan, atau tidak pernah merasa disepelekan. Lantas kau tak pula pernah memendam benci, memendam durja amarah, apalagi memendam dendam.
“Tidak perlu kau menungguiku.”
“Saat-saat yang paling kutunggu adalah saat-saat menunggumu.”
“O, aku pulang tidak tentu waktu.”
“Mhh, aku menunggumu tidak pernah menggunjingkan waktu.”
“Ya, tapi kasihanilah dirimu. Jaga kesehatanmu.”
“Aku malah lebih kasihan terhadap diriku, jika tak mampu menunggui dan menyambutmu. Malah aku jatuh sakit karena ketidakmampuan itu.”
“Mubazir namanya itu. Pekerjaan sia-sia!”
“Jika kita menikmati setiap pekerjaan itu, mubazir itu bisa jadi adalah kebutuhan. Tidaklah sia-sia. Ketahuilah, menunggumu bagiku adalah sebuah pekerjaan yang sangat nikmat. Penuh kejutan.”
“Kau kan tahu, aku punya duplikat kunci? Jadi aku bisa pulang dan masuk kapan saja tanpa menyusahkanmu.”
“Selain menikmati, kunci nikmat dari melakukan pekerjaan itu adalah ikhlas. Tentu tidak akan ada lagi kata-kata menyusahkan.”
“Aduh…”
“Sudahlah, sedikitpun aku tidak pernah merasa susah menungguimu.”
“Iya…”
“Keberatankah kau jika aku menungguimu?”
Maka aku, betapa tersirap hendak melabuhkan ciuman di dahimu!
Bersebab jika suatu kali aku tidak ingin dan tidak sedang ke mana-mana, meski itu langka adanya, kau selalu menyiapkan dan menghidangkan makan siang yang nikmat untukku; nasi hangat yang mengepul, ikan bakar yang lemak, sambal kacang dan teri yang menyengat lidah, daun ubi tumbuk yang tanak, tempe goreng yang gurih, segelas air putih hangat, dan irisan semangka yang ranum. Padahal, sama sekali aku belum selera untuk makan.
“Perutku belum lapar.”
“Makan sebelum perut lapar itu lebih baik. Dan kalau bisa, berhenti makan sebelum kenyang, malah lebih baik.”
“Aku belum selera makan.”
“Terkadang selera makan itu datang setelah terlebih dahulu mencicipi makanan yang terhidang.”
“Ya, tapi, tapi hidangkan sajalah apa adanya.”
“Bahkan yang kuhidangkan ini belum ada apa-apanya.”
“Ou…”
“Ayolah makan! Nanti dingin.”
“Tapi…”
“Mensyukuri rezeki itu perbuatan baik. Dan menikmati hidangan ini adalah salah satu perwujudan rasa syukur. Maka, silakan dinikmati.”
Maka aku, betapa bersihentak hendak memetik bertangkai senyum di bibirmu!
Bersebab pula, jika aku sedang menikmati malam di beranda, kau tidak pernah lupa menyuguhkan secangkir teh atau kopi, juga menghidangkan sejumputan penganan. Bersebab sebelum tengah malam, kau selalu menyarankanku untuk istirahat di kamar; merebahkanku, menyelimutiku, menemaniku, dan meniupkan dongeng-dongeng cinta ke telingaku. Dongeng-dongeng yang menjelma perahu, berarung ke lautan tidur, ke samudera mimpi. Padahal saat itu, sama sekali aku belum ingin beranjak ke tempat tidur. Belum seberapa ngantuk. Pokoknya, belum digoda uapan.
“Aku belum ngantuk.”
“Istirahat itu tidak mesti ngantuk.”
“Aku belum mau tidur.”
“Istirahat itu juga tidak harus tidur.”
“Aku mohon, aku belum ngantuk dan belum ingin tidur.”
“Istirahat sajalah.”
“Istirahatkan bisa juga di beranda atau ruang tamu?”
“Nanti masuk angin. Sebab angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan.”
“Akukan sudah makan, tidak akan masuk angin.”
“Angin itu tidak mengenal persoalan makan atau tidak makan.”
“Oalah…”
“Sudahlah, ayo, berbaring saja.”
“Tapi…”
“Rebahan saja. Tidak sulit kan?”
Maka aku, betapa berkelebat hendak menggantang telaga di matamu!
Bersebab sudah terlampau lama aku pergi bertandang ke rumah-rumah yang lain; menikmati tuturan ramah pemiliknya, menikmati tawaran sarapan yang selalu berbeda, menikmati hidangan makan siang yang memanjakan selera, menikmati makanan senja yang bermacam adanya, menikmati suguhan minuman yang beragam rasa-warnanya, menikmati cerita-cerita beraneka kiranya, juga menikmati tidur yang paling nyaman tentunya.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Namun ke rumah siapa pun aku pergi, dan di rumah mana pun aku berleha diri, ada yang tak bisa kutemukan, selain padamu. Entahlah!
Maka aku, betapa bergegas hendak mengunci diri di bilik hatimu!
Bersebab kau adalah rumah yang lalai mengernyit, rumah yang alpa menjewer. Bersebab kau adalah rumah yang tak pernah menghardik; tempatku mengombakkan buih-biuh pahala, sebagai lengan-lengan air yang menghanyutkanku ke dermaga sorga.
Lalu, tolong katakan padaku, siapa orang yang tak hendak hanyut ke dermaga sorga? Katakanlah!
Hah, aku?
Ops, tidak lagi!
Medan, Duaribuan

(Dewi Haritsyah Pohan, mmh, terima kasih atas ketabahanmu. Jangan pernah khawatir, aku mencintaimu!)

No comments: