Wednesday, 30 January 2008


Puaka Tiga Datuk
Cerpen Khas Ranesi
M. Raudah Jambak
20-11-2006
"Belandalah sebenarnya yang mengajarkan kita apa itu nasionalisme. Belanda sebenarnya yang mengajarkan arti kepahlawanan dan pengkhianatan. Kita ternyata bangsa terbelakang yang selalu kesulitan memberi tafsiran," demikian ujaran Pak Sutan berapi-api. Lalu kukaitkan dengan perjuangan yang berlangsung pada masa pendudukan Belanda dan situasi kekinian, termasuk tentang Aceh, Jogja, Poso, Ambon, Papua dan sebagainya. Dan Pak Sutan dengan bangga memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Sehingga kalau seandainya kami terlihat di sudut kedai kopi Taman Budaya Sumatera Utara, maka persoalan kenegaraan, politik, sosial, dsb, selalu kami kunyah-kunyah. Jika belum selesai, maka esok hari pembicaraan itu akan dilanjutkan. Selalu begitu.





























“Dan Nietszche—“ Marissa membiarkan jemari Alex menyeka pipinya. “Bukankah dia gila? Dia berhasil mentransformasikan beban berat pemikiran-pemikirannya ke dalam untaian kata abadi, namun dia tetap gila! Mengapa dia tetap gila?”

















Yang Terindu dalam Luka,

Edy A Effendi


























Aku mengingatmu lalu aku pulang. Aku melihatmu menungguku dengan resah. Dan aku tak bisa meninggalkanmu. Takkan pernah bisa. Bahkan meski musim sunyi menanti kebebasan.


























Kumpulan Cerpen Terbaik


1. Mengapa Bapak Dibakar, Mak? 4-12
2. Negeri Air 13-27
3. Ruang 28-45
4. Catatan Seorang Pelacur 46-51
5. Perempuan Kedua 52-58
6. Mencintaimu 59-65
7. Surat dari Kegelapan 66-71
8. Kisah dari Seribu Remaja 72-82
9. Lukisan Ayah 83-93
10. Aku Ingin Sebening Embun 94-102
11. Yang Tinggal Sekeping Beling 103-109












































Media Indonesia, 3 November 2002






















Aku suka gelap. Aku suka kegelapan. Bila sebuah titik cahaya berpendar di mataku, cepat-cepat kukatup kelopaknya, atau kututup erat dengan telapak tanganku. Aku benci matahari, benci bintang-bintang, benci purnama dan sabit yang menyirami malamku dengan cahaya. Dan aku paling benci api unggun. Ia menyiksaku. Membuat tubuhku seolah terbakar hingga menggelepar-gelepar lalu aku berlari mencari air dan … byurr!
Berapakah usiaku? Aku menatap lekat pada wajah emak yang entah berwarna apa. Aku suka melihat kepada matanya. Di sana aku hanya melihat misteri kekosongan. Tak ada cahaya. Aku suka. Walau aku juga ingin sekali bertanya apa yang kau pandang, Mak? Aku juga ingin bertanya mengapa emakku tidak suka makan, tapi desah nafasnya tetap bertahan. Aku ingin sekali banyak bertanya, bertanya tentang segala peristiwa yang terpampang di langit kanak-kanakku. Apakah aku masih anak-anak, Mak? Ah, Mak, berapakah usiaku?
Mak, mengapa aku tak tahu banyak tentang diriku? Kapan aku lahir, Mak? Apakah aku lahir hari Rabu? Kapankah hari Rabu itu, Mak? Apakah ia dekat dengan hari Jum’at, hari orang-orang memakai topi di kepalanya dan ramai-ramai pergi ke masjid? Mak, aku cuma kenal dua nama hari itu. Aku tak mengerti tanggal. Kau tak pernah menyebut angka tanggal padaku. Bolehkah aku tebak tanggal lahirku kira-kira tanggal 40? Atau lebih, Mak? Dan di bulan hujankah? Kalau begitu, biar kucari tahunnya yang cocok. Mmm, tahun ular…, ah, tidak, seram sekali, tahun kelinci… tahun kelinci? Kelinci sering dibakar jadi sate. Tidak, aku tidak mau jadi sate. Aku tidak mau dibakar sampai hangus seperti bapak. Tidak, tidak! Bapaak. Mengapa bapak dibakar? Mengapa bapak dibakar, Mak? Bapak kan bukan kelinci? Bapak sama seperti orang-orang yang membakarnya. Mengapa bapak dibakar? Mengapa hanya bapak yang dibakar, Mak? Mengapa orang-orang yang mirip bapak tidak dibakar?
Aku membasahi tanah tempat tidurku dengan hujan tangis. Langit hatiku ditebali kesedihan mengenang bapak hingga air mata berderai-derai. Tanahku pun menjadi basah, basah sekali. Tapi kuyakin takkan terjadi banjir. Aku tidak punya persediaan hujan tangis sebanyak itu. Lagi di sini tak ada sampah. Di sini hanya ada aku dan ibuku serta seekor kucing betina yang selalu kehilangan anak-anaknya.
Pakaian kami tidak memerlukan lemari karena ia hanya ada satu di tubuh kami. Bila baunya sudah sangat menyengat sampai si kucing bersin-bersin, itu pertanda kami harus melepasnya. Tapi kami tidak bisa segera mencucinya bila hujan dari langit biru tidak mau turun. Kalau demikian masalahnya, biasanya aku mengemis air pada tukang-tukang jualan di trotoar. Ada yang baik, ada juga yang pelit. Mereka suka bertanya dengan pedas, “Berapa usiamu? Apa nggak malu telanjang begitu?” Aku dengan tenang menjawab, “barangkali 100 tahun,” Mereka tergelak-gelak mendengarnya. Salah seorang tukang itu sampai melempari kepalaku dengan adonan pisang goreng. Yang lainnya memaki, “Goblok!”, “Orang gila!”, “Bocah edan!”
Aku tidak pernah mengerti masa yang kujalani kecuali masa siang dan masa malam. Masa malam adalah masa yang paling membahagiakan, terutama bila bulan dan pasukan bintang-bintangnya tidak hadir. Dingin dan cuaca berkabut menjadi selimut kami yang termewah. Untuk bisa lebih menikmati rasa mewahnya aku bertelanjang memejamkan mata meresapi keindahan yang menerpa seluruh tubuhku. Desiran angin teramat nikmat membelai-belai hingga aku seringkali mendesah. Tidur dengan buaian mimpi hujan. Bila hujan benar-benar datang dan berjatuhan di atas perutku, dadaku dan menggelitiki kemaluanku, aku bangkit berjingkrak-jingkrak. Menari kegirangan, merayakan sebuah kemenangan. Hujan itu adalah kemenangan. Dengan adanya hujan kami terlindungi dari teror cahaya dan api. Kami sudah pasti tidak akan terbakar seperti bapak. Bahkan kenangan buruk terbakarnya bapak untuk sesaat tenggelam di genangan air. Yang kami lihat adalah kedamaian dan kehidupan sebuah keluarga di genangan air itu. Kadang-kadang aku melihat genangan air itu adanya di pipi emak yang berkerut-kerut. Saat itu aku lihat mata emak tidak lagi kosong dan diam. Ia bergerak-gerak. Bahu emak juga terguncang-guncang dan mulutnya kudengar meracau. Habis itu emak bernyanyi, mula-mula pelan lalu naik seperti si Gondrong mengamen lagu dangdut di atas bis. Bila suaranya terus meninggi emak tiba-tiba terkulai dan matanya kosong lagi.
Aku juga ingin bernyanyi seperti emak. Tapi aku tak bisa menghapal lagu yang dinyanyikannya. Sementara si Gondrong yang pernah kudekati tak mau bersahabat denganku. Alasannya karena aku sering bertelanjang dan tanpa malu sedikit pun berjalan ke sana ke mari. Gondrong bilang aku bocah gila dan emakku juga gila. Tapi kalau aku tidak mau terus-terusan gila, katanya aku harus meninggalkan emak, sebab wanita bermata kosong itulah yang membuat aku gila.
Si gondrong lah yang gila! Ia membuat perempuan jadi gila. Perempuan yang menjual uang logam di dekat perempatan jalan itu pernah meraung-raung di dekatku. Ia menyumpah-nyerapahi si Gondrong yang bikin perutnya jadi gendut. Orang-orang yang menunggu bis memperhatikannya. Lalu si Gondrong datang menghampiri perempuan itu dan menamparnya keras sekali. Sejak peristiwa itu si perempuan jadi berhenti berjualan uang logam dan ia pindah tempat tinggal di dekatku. Setiap masa ia kulihat terus-terusan menangis. Aku khawatir tempatnya akan banjir sehingga setiap melihatnya menangis terus-menerus aku mengemis air mata itu padanya. Ia tertawa kala aku menadahkan telapak tangan untuk menampung air matanya itu. Buat apa, tanyanya. Buat cuci muka dan cuci pakaian, jawabku. Ia tersenyum meraih kepalaku dan membelai rambutku yang keras. Wajahku didekapnya hingga menempel pada buah dadanya kemudian tetes-tetes air berderaian di atas keningku. Tangannya yang kurasakan halus mengusap-usap seluruh mukaku hingga terasa hangat dan segar. Waktu itu aku seperti sedang berkenalan dengan sebuah kemesraan yang dalam yang tak pernah dikenalkan emakku sendiri. Sayang, perempuan itu cepat-cepat mati. Orang-orang bilang ia bunuh diri, aku bilang ia kehabisan air mata. Polisi mengangkutnya ke atas mobil. Emak dan aku juga dipaksa ikut.
Emak dan aku tinggal di rumah sakit jiwa. Kehidupan kami jadi kembali pada kenangan. Di sini sangat menyakitkan. Masa siang dan masa malam perasaan kami terus disiksa bayangan bapak yang menggelepar dalam api. Emak semakin sering berteriak-teriak. Teriakannya yang begitu histeris membuatku terseret-seret ke perjalanan yang tak kumengerti. Seluruh tubuhku bergetar. Kepalaku berputar-putar. Aku terhempas di atas dipan dalam rumah kayu kami yang sudah reot. Suara orang ramai memberisikkan mimpiku hingga aku melompat bangun. Aku dengar suara emak melolong-lolong di luar.
“Sirami bensin! Memang enak dibakar kayak kelinci!” suara-suara amarah memecah malam yang berudara panas. Hatiku gelisah. Ratap emak menyayat perasaanku yang belum mengerti apa-apa.
“Ampuni suami saya, Pak, kasih saja dia ke polisi. Dia dipenjara seumur hidup pun kami rela, asal jangan dibakar, Pak…”
“Heh, Mpok, laki-laki di dunia banyak. Di sini saja sekarang banyak, nah laki lu nih maling, ngapain disayang-sayang, biar dia jadi sate! Masak lu senang punya laki maling?”
“Bakar, bakar!”
“Anak kami masih kecil, Pak, masih butuh kasih sayang dia…, beri dia kesempatan bertaubat, Pak…” aku dengar suara emak sudah sangat serak. Emak batuk-batuk. Tapi orang-orang masih terus marah-marah.
“Goblok, bahaya punya bapak kayak gini. Ntar anaknya dididik jadi maling juga. Sudah cepat bakar. Pegang tuh si Mpok…”
Aku dengar suara blar, lalu rumah kami berwarna merah, panas menyengat, teriakan emak tenggelam oleh suara rintih dan kesakitan yang kukenal sebagai suara bapak. Aku menghambur keluar.
“Bapaaaaak!” aku berlari ke arah bapak yang menggelepar-gelepar dilalap api. Emak memanggil namaku kemudian pingsan. Aku juga tak tahu lagi, yang ada hanya gelap. Gelap. Dan hening. Ketika bangun kepalaku sakit. Aku tak dapat mengingat apa pun termasuk namaku dengan jelas. Emak juga tak pernah memanggil namaku lagi. Yang sama-sama kami ingat hanya peristiwa dibakarnya bapak. Dan aku selalu ketakutan menatap cahaya, melihat api, seolah-olah ia akan membakarku hingga hangus seperti bapak.
Bapak jadi sate.Gosong. Aku mendekati emak di tempat tidurnya. Dua orang wanita muda berpakaian putih baru saja menyuntiknya. Emak mati? Aku berlari memeluk emak. Wanita-wanita itu tersenyum padaku. Aku menjauh ketakutan. Tempat ini penuh cahaya dan barusan mereka menyuntik emak hingga mati. Mereka juga akan membunuhku. Posisiku tak berdaya. Aku terpojok ke dinding.
“Jangan bakar aku!” Aku menangis. Air. Aku punya air. Apa mereka punya bensin? Mereka semakin mendekatiku dengan senyuman di paras yang bersih bercahaya. Aku semakin gelisah. Tapi aku juga setengah senang karena air mata semakin deras bercucuran. Aku menampungnya dengan kedua telapak tangan yang dirapatkan. Kalau mereka nekat, aku takkan memberi ampun. Akan kusiram mereka dengan air mata ini.
“Jangan coba-coba membakarku!” Sekarang aku mengancam. Mereka bersimpuh di lantai. Aku menang! Bapak, aku menang!
“Siapa yang berani membakar Hasan?” salah seorang berkata dengan menyebutku… siapa, dia memanggilku siapa?
“Hasan kan jagoan.” Kata yang satu lagi. Hasan. Aku mendengarnya dengan jelas. Hasan. Aku Hasan? Namaku Hasan? Mataku terpejam memasuki gelap.
“Hasaaaaan!” jerit emak mengiang.
“Hasan mau sekolah, nggak?” wanita pertama menanyaiku lagi.
“Nanti Hasan bisa jadi penyanyi.” Yang kedua merayuku. Jadi penyanyi? Seperti si Gondrong? Aku mau jadi penyanyi, tapi aku tidak mau membuat perempuan-perempuan jadi gila. Aku mau menyanyi supaya bisa menghibur perasaanku bila sedang diliputi sedih. Dengan bernyanyi kita bisa menyampaikan berita sedih dan gembira kepada setiap orang yang berjumpa, tanpa mereka tergelak-gelak menertawai dan mengataiku orang gila, orang goblok.
Aku menjalin persahabatan yang sangat erat dengan kedua wanita yang merawat emak. Suster Anna dan suster Rita, mereka sangat baik hati dan bersabar membantuku mengetahui perihal diri sendiri. Usiaku bukan seratus tahun sebagaimana perkiraanku. Aku lahir pada hari Minggu tanggal 10 November. Tak lama lagi aku berulang tahun yang kesembilan. Aku hampir bersekolah ketika peristiwa dibakarnya bapak membuat kami terlunta-lunta. Kata suster Anna aku juga punya tuhan dan kepadanya aku bisa mengadukan apa saja. Sayang sekali aku belum bisa membaca dan menulis, jadinya tak bisa mengirim sebuah puisi sedih berisi pertanyaan kepada tuhan. Seandainya saja aku bisa menulis, tentu aku akan rajin berkirim kabar pada bapak di alamnya. Oh, aku sedih sekali. Mengapa aku tak bisa apa-apa? Mengapa aku cuma bisa melamun dan menangis? Menebak-nebak mimpi dan menyampaikan kata-kata aneh dari pikiranku. Tapi kata suster Rita kata-kata anehku itu sebetulnya puisi yang sangat bagus. Kalau aku membiarkan kata-kata itu berbunga sampai mekar maka aku akan mencapai keindahan yang dilantunkan Christina Rossetti. Ya, suster Rita suka membacakan puisi-puisi Christina Rossetti yang pernah dipelajarinya di sekolah menengah. Aku juga jatuh hati setiap mendengar kalimat-kalimat puisi klasik itu. Oleh karenanya bila suster Rita selesai membacakan puisi Christina Rossetti, aku terdorong menjawabnya:
“Gemercik air melabuhkan tawaku. Ada suka merayap-rayap, mencari sepotong gelap. Kabut menutupi bulan, aku berayun-ayun di tirai angin. Nafasku menghembus-hembus, meniup bintang yang berkejaran di mata. Bila terdengar suara nyanyian memanggil, aku pulang ke jendela mimpi.”
Suster Rita menyuruh suster Anna mengambilkan kertas dan pena agar ia bisa mencatat setiap kata-kataku. Lalu dimintanya aku mengulang kalimat yang barusan terjulur. Terlambat. Aku tak bisa memanggilnya lagi. Yang kemudian meluncur adalah kata-kata yang lain dari sudut hatiku.
“Mengapa bapak dibakar, Mak? Sedang semut-semut pun bersembunyi dari kemarau, menyantap gula di sejuk gua. Kumbang-kumbang menghisapi madu, bunga-bunga pergi meninggalkan matahari. Tanah basah selalu rindu memeluk, tetapi jangan dibikin gersang. Tubuhnya pun suatu hari retak tanpa api, karenanya gerimis setia menghinggapi. Mengapa bapak dibakar, Mak? Dua bola mata tak akan lupa. Sepanjang masa mengais tanya, untuk kubawa ke ziarah pusara.”
Aku tersedu sedan. Mungkin yang kuucapkan tidak menyentuh kalbu orang lain. Tapi aku sangat sedih dan kembali pada luka kenangan. Pada saat demikian aku tidak ingin melihat siapa-siapa. Aku memohon kedua suster yang menjadi sahabatku agar membiarkan sendirian. Dan aku memelas agar lampu-lampu dimatikan. Mereka melakukannya dengan senang hati demi kebaikanku.
Dalam kegelapan sesungguhnya mataku terbeliak menjadi lampu. Tetapi lampu dari mataku tak melukai siapa pun bahkan bagi kegelapan itu sendiri. Aku tidak dapat memejamkan mata dan membawa pikiranku ke dalam mimpi bila gelisah begini. Oh, seandainya saja ada hujan dan angin, mereka pasti akan menyelamatkan aku dari rasa tersiksa. Hujan, hujan, datanglah. Ayolah hujan, datanglah basahi aku. Di sini sangat panas, datanglah selimuti aku.
Mengapa hujan tak mau datang lagi semenjak aku tinggal di rumah sakit jiwa ini? Apakah ia merasa aku sudah berubah? Oh, hujan mengapa kau tak mau bersahabat lagi denganku? Aku merindukanmu, aku sangat mengharapkanmu. Datanglah, aku mohon, jangan bikin aku jadi gila.
Aku bahkan tak mendengar desir angin.
Aduh. Panas sekali.
Hujan…. Hujan…. Angin, oh, angin…. Hujan…. Di mataku juga tak ada hujan. Ohh.
“Hujan hilang. Aku dibakar dahaga dari rasa tak bersalah. Rintik-rintik menjadi api, melata, meliuk, mengobar dan menatapku penuh benci. Aku terpanggang rindu dari rasa tak bersalah. Mengapa aku dibakar? Mengapa aku disesatkan ke kubur sunyi? Aku hanyalah sebongkah kegelisahan yang tak abadi. Di kepalaku tak tersusun dendam. Aku seraut wajah tak bersalah. Mengapa aku disingkiri?”
Aku bolak-balik di tempat tidur dengan nafas tersengal. Menggeliat-geliat kepanasan. Tiba-tiba aku ingat aku harus bertelanjang. Ya. Diburu dahaga kubuka seluruh pakaian dan kulemparkan entah ke mana. Masih juga panas. Tak ada udara menghembus liar. Tak ada angin membelai-belai tubuhku. Oh, hujan di manakah kau? Belum pernah di masa malam dan kegelapan aku terbakar seperti ini. Belum pernah jika cahaya meninggalkanku lantas aku menderita seperti ini. Belum pernah! Apakah gelap mulai berkhianat?
Berangsur-angsur aku mengakrabi pagi dan cahaya matahari. Kuceritakan semua perasaanku yang baru tentang hidup kepada emak. Ia menatapku dengan tajam Matanya tak lagi kosong. Aku melihat di dalamnya ada api. Namun karena aku telah terbiasa dengan cahaya aku tak begitu ketakutan lagi melihat kilatan merah di mata emak. Cuma saja aku sedih. Aku dapat merasakan di matanya ada api tetapi disikapnya salju menyelimut tebal. Emak menjadi perempuan salju yang berkobar-kobar. Bahkan dihadapanku, putera tunggalnya sendiri. Apakah emak tak mengenalku lagi? Suster Anna mengatakan emak tak mau kenal siapa-siapa lagi. Emak juga minta agar tak lagi diberi makanan dan minuman. Emak cuma ingin mati. Bukan karena emak kangen pada bapak, melainkan emak ingin terbebas dari segala kenangan tentang bapak. Emak putus asa berbagai upaya pembunuhan terhadap kenangan itu tak ada yang berhasil. Padahal emak sudah sangat menderita. Satu-satunya cara, kata emak yaitu membunuh dirinya. Emak berkali-kali membunuh dirinya tapi gagal juga. Emak ingin aku membunuhnya tapi dia tahu aku masih terlalu kecil. Suatu hari, entah apa yang melanda jiwanya, emak berusaha membunuhku. Ia mencekik leherku kuat sekali. Hebat sekali tenaga emak, aku mengira benar-benar berpisah nyawa. Suster Rita yang berencana membacakan puisi menggagalkan pembunuhan itu. Emak ditarik dua orang petugas keamanan. Ia melolong minta dibiarkan membunuhku, katanya supaya aku tidak dibakar seperti bapak.
Hari ini aku berulang tahun yang kesembilan. Matahari menyeruak ke jendela kamarku yang berwarna hijau daun. Ia mencium pipiku dengan sinar hangat. Ketika butir air mataku tiba di telapak tangan aku melihat pelangi yang sangat indah. Ah, sayang aku tak mungkin memberikannya pada emak. Sejak percobaan pembunuhan terhadapku, emak dikarantina. Aku dipindah ke panti asuhan dan mendapat perawatan yang baik. Memang tidak ada lagi suster Anna yang tersenyum cantik. Tak ada suster Rita yang membacakan puisi-puisi Christina Rossetti. Tapi aku punya seorang ibu guru di sekolah yang membantuku menulis puisi dan bernyanyi. Dan sekarang aku punya puisi di hari ulang tahun yang kutulis dengan pensil warna-warni. Aku menggantungnya di dinding dekat meja belajar.














Sastra Senja, Dewan Kesenian Jakarta
2004









Jembatan Merah. Otaknya sakit sekali. Beribu jarum dari pengangnya laju kendaraan merayapi sendi-sendi tulangnya lalu merobek-robek kupingnya yang kering terbakar dahaga. Luka-luka akibat jamur menjalar panjang hingga leher yang lebih mirip kerak tanah di panggangan matahari. Sementara mata anaknya di dalam pangkuan tinggal sebaris antara perbatasan lapar dan panas. Nastiti tahu, tapi ia hanya bisa melenguh bimbang pada lima receh di mangkuk kecil telapak tangannya.
“Lapar, Mak…” rintih wajah mungil yang keluguannya nampak sebagai tulang-tulang berbalut kulit tipis berlapis debu.
“Sabar, baru lima ratus perak,” jawab Nastiti dengan perasaan datar yang sama horisontal dengan kemarau nasibnya dari hari ke hari. Matanya sebentar redup sebentar berkembang menanggung gelombang keroncong perut dan angin gersang tenggorokannya. Tangannya bergerak lunglai di helai-helai rambut kaku anak perempuannya yang tak mampu menyembunyikan penderitaan. Betapa malangnya, iba Nastiti, terkenang ketika dirinya berusia lima tahun tak mengalami konsekuensi hidup sepahit puterinya. Apakah ini semua pengaruh perputaran roda hidup yang secara tak sengaja ia biarkan melewati paku-paku dosa atas nama cinta? Beberapa orang lewat melemparkan koin perak ke mangkuknya.
“Beli air, Mak,” rengek si kecil masih dengan mata terpejam menanggung perih. Nastiti sebenarnya ingin sekali lagi meminta anaknya bersabar hingga recehan mereka terkumpul untuk sebungkus nasi, tapi dahi tipis itu terasa panas membara. Sejak malam mereka tak meneguk setetes air pun.
“Alangkah baiknya kalau ada yang memberikan air,” gumam Nastiti merasa lesu menghitung sembilan ratus rupiah. Napasnya tertarik panjang dan sakit. Uang atau air? Tanya hatinya. Uang bisa buat beli apa saja, sebungkus nasi, singkong goreng, celana dalam, pembalut wanita, juga air. Tetapi air lebih mahal dari uang. Air yang membuatnya mampu bertahan dan anaknya bisa hidup. Orang-orang melemparkan uang hanya seratus rupiah, perlu waktu setengah hari atau sehari penuh untuk bisa beli air. Tetapi kalau ada yang melemparkan kepadanya segelas atau sebotol air, kebutuhannya telah separuh tercukupi. Oh, seandainya ada yang mau memberi air.
“Mak,” anaknya menangis karena tak tahan lagi. Nastiti mengangkatnya teramat berat sampai-sampai kakinya yang lemas nyaris tak sanggup dibawa berjalan. Ia ingin berteriak kepada penjual minuman di seberang sana, tetapi tenggorokannya yang terlalu kering tak mendukung suara parau berlomba dengan bising.
Diserahkannya uang sembilan ratus rupiah itu ke tangan anak muda yang menjual minuman. Anak muda itu sejenak terpaku meneliti garis-garis wajah Nastiti seolah-olah mengenali sebuah bayang.
“Anakku belum minum sejak tadi malam!” Nastiti membentak parau. “Aku mohon, berikanlah setulusmu. Aku hanya dapatkan rupiah sebanyak itu.”
Anak muda itu sedikit tergugup meraih botol berisi enam ratus mililiter air mineral dingin. Nastiti mereguk ludah. Alangkah segarnya air itu. Ia ingin segera menangkap botol itu tetapi si pemuda sengaja menjauhkannya sambil melempar pandangan nakal.
“Sebenarnya, kamu ini cantik juga, ya?” katanya dengan nada penuh gelora, kemudian tangannya secara lambat menaruh botol itu di dada Nastiti membuat si kecil menggeliat karena tersentuh rasa dingin.
Nastiti tidak mempedulikan keliaran mata si pemuda penjual minuman yang mencoba masuk ke lekukan buah dadanya. Ia tak mau menunda waktu membuka botol itu agar anaknya terselamatkan. Anak muda itu memperhatikan tangannya yang gemetar melepas segel tutup botol.
“Sini kubantu.” Tanpa menunggu persetujuan, pemuda itu meraih botol dari tangan Nastiti dan segera membukanya.
“Ini,” ia mengulurkan botol itu pada si kecil yang gelisah. Nastiti segera membawa anaknya kembali ke jembatan untuk menunggu recehan-recehan berikutnya agar mereka bisa membeli makanan.
Mereka mendiami jembatan itu hingga malam menutupi sebagian derap kemarau di tanah Jakarta. Sinar purnama jatuh pada kali di bawah jembatan. Airnya yang telah surut kelihatan begitu jauh dan lebih mirip tanah basah yang berjalan. Nastiti duduk bersandar memandangi cahaya gemerlap di gedung-gedung berbintang. Pikirannya berlari ke kegelapan di balik gedung-gedung itu, mengembara menuju kampung halamannya yang berada jauh memasuki rekaman kenangan. Derai tawa sepasang remaja di pinggir sungai terdengar riang seperti merdunya alunan bening yang mengalir hingga ke sawah-sawah yang padat dan kuning.
Nastiti mengeluarkan selembar kertas lusuh dari tas kumalnya. Tergambar di matanya seorang perjaka desa dengan sarung di dililitkan dipinggang dan peci hitam di kepala menambah pesona wajahnya yang bersih tak berkumis. Perjaka itu memegang selembar kertas di hadapan kekasihnya yang rambutnya panjang hitam mengkilat dipermainkan sepoi angin dari pepohonan.
“Lusa ada pejabat dari DPRD hendak meninjau desa kita yang masih bersih dari tangan-tangan kotor pengusaha kota. Ayahku minta aku menghadirkan suatu acara yang penuh kesan untuk menyambut beliau,” perjaka itu berkata dengan pandangan lurus jauh ke depan.
“Lalu rencanamu menghadirkan apa?” kekasihnya, yang kulitnya putih bersinar ditimpa matahari, bersikap penuh kemesraan dan manja di bahu perjaka itu.
“Inginnya sih, sendratari,” perjaka itu melingkarkan tangan di pundak gadisnya dan mencium wangi rambut yang hitam berombak ditiup angin. “Soalnya, bunga desaku kan pandai menari.”
Sang gadis menjentik hidung jejakanya. “Tapi kau jagonya ceramah dan baca Qur’an. Kalau lawan mainku di sendratari anak muda lain, pasti kau mengumpat di balik panggung.”
“Bisa jadi panggungnya malah kurobohkan.”
“Huh.”
“Makanya lebih baik kau kusembunyikan,”
“Dan kau tampil seorang diri sehingga gadis-gadis desa terpesona dan memujamu.”
“Begitulah.”
Kekasihnya menarik kepala dan mengibaskan tangannya dari pundak. Wajahnya merah memberengut, dipalingkan dari pandangan si jejaka yang tersenyum-senyum senang.
“Pantas kau baru sekarang memberitahu ada pejabat yang akan mengunjungi desa kita. Kau takut aku dan teman-teman di Karang Taruna mengusulkan rencana kegiatan yang menarik. Huh, ingin terkenal sendiri.”
Si perjaka terbahak geli. Gadisnya semakin sebal menutup rapat-rapat kedua kuping dengan telapak tangan. “Dasar ustadz muda sableng.” Gumamnya.
“Jangan bilang aku ustadz.” Perjaka itu menarik lengan kiri kekasihnya agar kembali ke dalam pelukan. Tapi sang gadis menepis dengan garang.
“Kau sering ceramah di pengajian. Dan menjadi Qari setiap peringatan Isra Mi’raj. Kau mengajar anak-anak bahasa Arab. Bukankah itu berarti kau diakui sebagai ustadz?”
“Jangan bilang aku ustadz!” Ia serius. “Itu jadi beban buatku. Aku sama saja dengan pemuda-pemuda desa biasa. Kebetulan saja aku putera kepala desa dan mendalami ilmu agama sejak kecil di pesantren. Tapi aku sendiri tidak pernah berangan-angan menjadi ustadz.”
“Tapi orang-orang memandangmu…”
“Apakah aku harus selalu menjadi sosok bayangan orang lain?”
Perjaka itu kelihatan kesal dan si gadis menjadi bingung tak mengerti.
“Kau tahu mengapa Nabi Muhammad tidak suka disebut dengan sayyidina? Karena ia ingin dianggap biasa saja, sama seperti manusia lainnya, tidak usah dipertuankan!”
“Tapi dia juga kan, tidak bisa mencegah orang lain untuk memandangnya begitu mulia dan penuh harapan—sebagai utusan Allah?”
“Oleh sebab itulah aku berceramah untuk meluruskan pandangan orang agar tidak terpaku pada satu titik. Ada berbagai sisi pada diri setiap manusia yang berlainan warnanya satu sama lain, meski rasul pun dia itu. Bukannya aku ingin dianggap sebagai ustadz yang kemudian dibebani harapan-harapan umat.”
Gadisnya tetap tak mengerti sehingga memilih tidak melanjutkan pembicaraan. Dia beralih kepada kertas yang dipegang kekasihnya.
“Kertas itu untuk apa?” tanyanya kembali bersikap mesra dan manja.
“Puisi.”
“Memang kau bisa menulis puisi?”
“Tidak.”
“Huu. Memang kau ini serba sok tahu.”
“Tapi bertahun-tahun mengakrabi kitab suci, aku merasa menyelam ke dasar keindahan yang memanggil-manggil jiwaku untuk bernapas di sana. Coba kau resapi ayat-ayat Al Qur’an yang puitis dan kaya makna. Kau pasti akan merasa tertarik ke dalam suatu keanehan yang indah.”
“Kata-kata Al Qur’an itu selalu sulit dimengerti.” Sang gadis menunduk. “Mungkin kita orang Indonesia terlalu bodoh untuk memahami bahasa agamanya yang berlainan dengan bahasa sendiri.”
“Jangan berkata begitu,” Sang perjaka menarik telapak tangan kekasihnya lalu mencium mesra dengan hidung dan bibirnya. “Masalahnya hanya seperti ini, mencium dengan keikhlasan dan cinta. Bukankah Allah menyukai keindahan dengan cita rasa seni yang tinggi?”
“Hh. Kata-katamu semakin sulit kupahami.”
“Kalau begitu dengarkan saja puisi hasil perenunganku selama ini.”
“Puisi itu untukku?”
“Untuk seluruh penghuni negeri. Ini yang akan kubacakan nanti dalam acara penyambutan pejabat DPRD. Tapi atas nama cinta, aku istimewakan kau jadi pendengar pertama. Kau mau mendengarnya dengan sungguh-sungguh?”
Gadisnya mengangguk dengan senyum damai dan kepalanya kian tenggelam di dada bidang kekasihnya. Perjaka itu membuka kertasnya yang melambai-lambai menjemput angin.
“Negeri Air. Fosil-fosil menari di dalam sejarah, menghampiri sebuah nama yang mengantar kalam. Bayangnya tak jua bertemu, hanya segurat senyum dalam samar-samar rindu. Bila Charles Darwin dan Muhammad bicara, bersama bertukar cendera mata, apakah kapalnya berlayar di lautan kita? Di sini unta-unta pun berenang dan Aisyah bernapas abadi. Fatimah merebah di padi, menggenggam Hasan Husein yang padat berisi. Ali mengecup damar dan bertanya, ‘Inikah surga?’
Arus panjang berliku, meliuk di setiap hati, menanti kecipak tangan dan kaki berenang hingga persembahan sejati. Siapa yang mulai mengubur? Daun-daun kehilangan rumah, menatap gunung-gunung tak berpenghuni. Hewan-hewan mencari negeri yang tiba-tiba menghilang. Mati dahaga. Bayi-bayi meratapi susu ibunda yang berganti kaldu tanah, merah mengandung larva. Kita tak tahu dimana wajah, tinggal menjadi dongeng tentang dewa dewi di negeri air yang kian antah berantah. Tak ada yang menggali lupa, sebenarnya kita ada di balik sampah.”
Berakhir puisinya, perjaka itu menghembus keras napasnya. Tatapnya layu di atas tanah yang menyembul di balik rerumputan. Kekasihnya menarik badan, duduk tegak tetapi diam. Hanya memandang mata yang sinarnya tak lagi tertuju kepada dirinya.
“Mengapa begitu amat puisi yang akan kau sampaikan kepada seorang pejabat negara?” akhirnya ia tak tahan bertanya. Perjaka itu terlihat sangat lesu dan hanya menjawab, “Suatu hari kalau kau ke kota pada suatu musim, kau akan memahaminya. Mengerti setiap kalimat puisiku yang jelek dan pertama kutulis seumur hidupku.”
Kemudian untuk sekian lama mereka diam menuruni tatapan masing-masing berenang di aliran sungai bersama bunga-bunga yang lepas tertiup dari tangkainya….
Nastiti menatap kali di bawahnya. Sesekali nyenyak anaknya terganggu batuk yang menyerang. Nyamuk-nyamuk menyebarkan gatal tetapi ia telah terbiasa membiarkan mereka di kulitnya. Nastiti memasukkan kembali kertas itu ke dalam kain buntalan. Ditengoknya lagi kali di bawah jembatan, kering tanpa buih dan tak mengantar bunyi gelombang riak, seolah-olah air kali itu telah pingsan dan perlahan-lahan menjemput kematiannya.
“Kita tak tahu dimana wajah, tinggal menjadi dongeng tentang dewa dewi di negeri air yang kian antah berantah. Tak ada yang menggali lupa, kita sebenarnya ada di balik sampah.” Nastiti terngiang. Tiba-tiba didengarnya suara deras air yang dimasuki tubuh. Dan sungai bening itu kembali membentang di hadapan matanya.
“Aduh, kau jahat. Lihat ini pakaianku jadi basah kuyup!” gadis itu menangis di tepi sungai. Seluruh pakaiannya yang basah menciptakan lekuk-lekuk tubuh ketika ia berupaya kembali naik ke daratan. Tetapi kekasihnya buru-buru menceburkannya kembali ke dalam sungai dan tertawa terbahak-bahak.
“Anggap saja kau mandi sore. Ini kan sudah hampir Magrib. Lihat, matahari begitu merah.” Teriaknya dengan penuh suka cita melihat gadisnya menangis kesal.
“Jahat, kau jahat. Bagaimana aku pulang dengan pakaian basah begini? Kau jahat, kau tak benar-benar sayang padaku…”
Perjaka itu diam menyadari kekasihnya benar-benar menangis sedih. Ia pun turun ke dalam sungai dan memeluk erat tubuh yang padat dan basah itu.
“Jangan bilang aku tak benar-benar sayang. Kalau bukan karena jeratan cinta, tidak mungkin aku berani berduaan denganmu dengan peci di kepala.” Bisiknya di telinga sang gadis.
“Sekarang kita sama-sama kuyup,” sesal si gadis. “Apa kata orang-orang nanti?”
Dan mereka memutuskan tidak pulang. Bersembunyi di sebuah celah bukit dekat makam-makam tradisionil. Menunggu basah pakaian di dahan terserap sinar bulan dan mengering ditiup angin. Keduanya duduk saling bertolak belakang, memeluk lutut sebagai pelindung bagian-bagian tubuh yang terlarang nampak. Tubuh mereka menggigil menahan dingin yang terasa masuk hingga ke dinding tulang bagian dalam.
“Kau dengar irama air sungai itu?” sang perjaka membuka hening tetap dengan posisi membelakangi gadisnya.
“Ya.” Suara si gadis menggigil.
“Dalam kesunyian seperti ini, ia semakin indah dan hidup.”
“Ya.”
“Seharusnya kita tetap berenang-renang saja di sana. Menyatukan diri dengan keindahan dalam kesunyian yang damai dan tenang.”
Bahu sang gadis terguncang karena menahan kikik.
“Mengapa kau tertawa?”
“Mau sampai kapan kita di dalam sungai?”
“Yah, sampai kita menjadi penghuninya yang abadi.”
Kini gadisnya tak mampu lagi menahan tawa untuk terlepas memecah sunyi.
“Memang Indonesia ini surga? Kau mendambakan abadi di sungai dunia pada sebuah negara bekas jajahan kaum kafir di sebuah wilayah pedalaman bernama desa? Huh, seolah tak pernah membaca sungai di surga akhirat sana. Betapa tololnya kau malam ini.”
“Percayakah kau bahwa surga itu sebenarnya di bumi? Dan Adam bersama istrinya dulu memang tinggal di sini, seperti kita saat ini?”
“Ustadz sableng!”
“Jangan bilang aku ustadz!”
“Ya, kekasih sableng! Terlalu banyak baca buku, jadi ngawur!”
“Terserahlah apa makianmu. Aku senang telah berupaya membebaskan pikiran dari kungkungan irasionalitas agama selama ini.”
“Apa itu?”
“Tidak. Lupakan saja. Aku sedang kedinginan.”
“Hm. Jam berapa ya, kita bisa pulang? Aku tak mau menginap di sini, ah. Coba kulihat pakaianku, mungkin sudah layak dipakai.” Si gadis berdiri menghampiri pakaiannya yang tergantung di dahan. Dia lupa, dahan itu ada di hadapan kekasihnya yang kini terperangah memandangi tubuhnya yang hanya tertutupi helai-helai rambut sebatas pinggang. Dan sang perjaka juga lupa. Lupa segala-galanya. Dua-duanya kemudian benar-benar lupa, sebab sinar bulan terlalu indah untuk ditinggalkan.
Nastiti tersenyum. Menggigit bibir. Tersenyum. Menoleh ke wajah anaknya yang lelap tak terusik dingin. Menggigit bibir lagi dan melayang ke langit yang menghitam sehingga gelap benar-benar kegelapan yang mengerikan. Irama sungai tak lagi merdu, membuncah setinggi ombak lautan yang menerima prahara memecahkan keberanian pelaut-pelaut ulung. Air dari langit berjatuhan ke bumi bagai anak panah yang tak ingin berhenti menyerbu hingga setiap sudut terhunjam tanpa daya. Tiga hari. Seminggu. Berminggu-minggu. Sebulan penuh. Berbulan-bulan. Hujan memenuhi musimnya seiring waktu yang tak pernah berhenti berputar.
Sawah-sawah kehilangan napas bahkan hanyut entah ke mana. Rumah-rumah pun berpindah tempat menuruti langkah bah. Beberapa desa hilang. Gunung disesaki lintah, ular, tikus dan padat masyarakat manusia yang mengungsi. Mereka tinggal bersama mengulang cerita hidup bangsa pra sejarah. Terkadang begitu kuat berbagi rasa, tapi juga terlalu cepat dimangsa kelaparan dan nafsu serakah. Ular-ular bertahan pada hak keberadaannya, dan orang-orang itu pun tak mau kalah menunjukkan kekuasaannya sebagai mahluk berakal.
Hingga burung-burung kembali terbang bernyanyi di antara awan-awan berseri. Matahari kembali pada fungsi dan kekuatannya yang maha sempurna menerangi musim semi. Hari dibuka pada langkah awal yang menyadarkan orang-orang pada peradabannya yang terkini. Meski tangis beberapa pihak menggantikan hujan membasahi pipinya karena selalu ada yang tersayang di antara mereka tak turut kembali bersama. Hilang atau tampak sebagai raga yang kosong dari roh. Dan gadis itu berlari-lari payah dengan perutnya yang besar, membawa tangis ke tepi sungai yang nampak lebih penuh dan kotor.
“Apa kau benar-benar di sana? Mengabadikan mimpimu di dalam sungai tanpa mengajak aku? Kau jahat sekali! Kau jahat! Kau meninggalkan aku sendirian…” Gadis itu menangis di tepi luapnya sungai, duduk berlutut mendekap wajahnya dalam isak yang menyayat sepi. Beberapa orang tua muda yang melewati jalan dekat sungai itu melihat kepadanya sejenak berhenti memperhatikan dan di antaranya berbisik-bisik dengan mimik sinis. Lalu mereka pergi menjauh dengan kejijikan yang tak tersembunyi.
Seorang perempuan tua dengan amarah berkilat di mata dan keriput mukanya melangkah lebar-lebar ke arah gadis yang terus meratapi kekasihnya. Persis berdiri di belakang si gadis, tangan kanannya yang kekar dan coklat menjambak kuat-kuat rambut yang hitam bergelung.
Gadis itu bangkit terseret-seret tarikan pada rambutnya dan gelagapan meronta. “Mak, ampun, Mak!”
“Tidak habis-habis membuat malu! Sudah menghancurkan iman seorang ustadz, bunting di luar nikah, sekarang berbuat seperti orang gila! Mati saja kau, Nastiti, susul si Saefuddin, biar kawin kalian di depan Munkar Nakir!” Perempuan tua itu menghempas tubuh muda yang lemah dari mukanya. “Emak malu, sakit, Titi!” Ia sendiri jatuh terduduk mendekap mukanya dan meraung pedih.
“Mak,” Nastiti, gadis yang nampak layu itu menggapai pundak emaknya. “Maafkan Titi, Mak…”
“Sudah miskin, Titi, pacaran dengan ustadz, anak kepala desa, mengapa tidak tahu diri, malah membikin aib? Pulang mengaji, apa yang meresap di otakmu? Menggoda iman ustadz? Berdua-duaan sampai bunting?”
Nastiti hanya menunduk dengan air mata yang tak kunjung berhenti didera perasaan sesal dan sedih yang mengguntur.
“Lihat dirimu di depan kaca sebentar, jangan di sungai yang kotor. Menodai hukum-hukum Tuhan, padahal sudah tahu nista dan akibatnya. Selamat dari rajam karena negara kita bukan negara agama, boleh nikah setelah melahirkan, tapi mudharat akibat zina kalian selamanya tak lepas dari ketentuan Allah. Menimpa orang sedesa yang memaklumi kalian. Karena si Saefuddin ustadz terpandang, anak kepala desa yang dipuja-puji pejabat wakil rakyat! Sekarang seluruh orang jadi ikut menanggung siksa. Sawah rusak, hanyut dibawa banjir. Akibat maksiat kalian!”
“Mak?”
“Semua orang bilang begitu. Memang benar! Dosa tetaplah dosa, harus ada ganjarannya. Tidak dicambuk, si Saefuddin mati ditelan bah persis si Qanaan, anaknya Nabi Nuh yang durhaka. Kau pun bakal hidup sebagai perempuan gila, lebih-lebih menderita dari Maryam karena buntingmu bukan kesucian seperti dia…”
“Mak?”
“Lebih baik tinggalkan desa ini, Titi. Biarlah emakmu ini sendirian di sisa hari-harinya. Punya anak mati semua, yang hidup hanya memberi malu. Memang takdir seharusnya aku sendirian.”
“Mak, mengapa semuanya ditimpakan kepada Titi? Seolah-olah Titi saja yang berbuat salah dan mendatangkan semua petaka? Khilafnya Titi dan Saefuddin dosa pribadi di hadapan Allah, Mak, tak ada urusan dengan banjir,” Nastiti menyeka matanya dan memberanikan diri menatap ke dalam mata emak.
“Astagfirullah, masih bisa kau bilang zina itu dosa kalian pribadi? Tak ada mudharat buat orang sedesa yang tak berdaya memaklumi? Apa ini ajaran Islam di pengajian yang kalian gelar tiap pekan?” Emak mengurut dadanya sambil terus beristigfar dan menghela napas sedemikian beratnya.
Nastiti menenangkan diri semampu mungkin. “Mak, yang banjir hampir seluruh Indonesia. Desa-desa tetangga di kawasan hutan gundul sampai menghilang, kita tidak seberapa, Mak, hanya terkena imbas. Ini masalah alam, Mak, apa Titi dan Saefuddin yang buat?”
Emak terlompat saking terkejutnya. “La ilaha ilallah, apa semua pemuda Karang Taruna berpikirnya seperti kau dan Saefuddin? Pejabat wakil rakyat sendiri mengakui, biar seluruh Indonesia terendam banjir, dilanda gersang kemarau, diguncang gempa bumi, hutan-hutan dibakar, gunung-gunung gundul, sampah-sampah menghias perkotaaan dan kampung-kampung, tapi desa ini, surga! Berpuluh-puluh tahun bebas bencana! Karena hati masyarakatnya polos, senang bersahabat dengan alam, taat ibadah, sampai akhirnya kau dan si Saefuddin yang paham betul syariat Islam itu bermaksiat. Dan kami orang-orang tua tidak berdaya. Desa ini ternoda, rusak! Padahal dalam Islam sudah dikatakan, bila terdapat maksiat di sebuah rumah, maka sedikitnya empat puluh rumah di sekitarnya akan ikut menanggung dosa, apa si Saefuddin tidak belajar itu dalam fikih di pesantren? Coba kau tanya dia dalam mimpi!” Emak menyentak kaki kanannya hingga telapaknya hampir terbenam ke dalam tanah berlumpur. Napasnya terburu amarah. Secepat arus sungai ia melangkah meninggalkan Nastiti yang terpaku kegelisahan.
Kegelisahan itu kini bukan lagi badai bagi Nastiti. Angin malam dari kemarau menghapus segala kenangannya hingga ke sudut-sudut lampu hotel-hotel ibu kota yang gemerlap dari kejauhan pandangnya.
“Aku telah menjalani kehidupan seperti orang gila, Mak,” bisiknya pada semilir angin yang lewat meniup rambut kotornya.
“Bertahun-tahun. Tak kenal sholat. Tak kenal puasa. Apalagi baca Qur’an dan hadits Rasul. Aku cuma kenal kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan, dan kekejaman manusia-manusia yang mengingatkanku pada ular-ular di hutan desa kita, Mak. Aku tak kenal belaian lembut dari wajah penuh cinta Saefuddin. Orang-orang sembarang saja meremas tetekku, mengaduk-aduk keperempuananku sampai aku bingung apakah aku masih punya kelamin?”
Nastiti membuang napasnya ke samping. Matanya tertumbuk seberkas kenakalan yang menyala dari seorang lelaki yang sedang berjalan dari ujung seberang jembatan. Si pemuda penjual minuman! Nastiti hanya mendesis tak menghiraukan apa yang sedang mendekati nasibnya malam ini.
“Bertahun-tahun begini, Mak, aku bosan! Jalani kehinaan demi takdir Tuhan. Karena kita tak berhak memilih antara kehidupan dan kematian. Walau kita tetap saja tidak tahu apakah bertahan hidup begini berarti bebas dari neraka sana? Bukankah surga banyak syaratnya?” Nastiti serasa ingin meledakkan pertanyaan-pertanyaan liar dari kegersangan hatinya yang hangus penuh luka ketakberdayaan. Tiba-tiba pemuda itu telah duduk menatap di hadapannya, membuat Nastiti dilanda perasaan seperti macan betina yang terbangunkan kelaparan kemudian bertemu musuhnya. Kilatan nakal berjumpa badai amarah.
“Saya bawakan air minum sebotol besar. Musim kemarau begini harus banyak minum…” pemuda itu mengulurkan botol air mineral seukuran seribu lima ratus mili liter. Nastiti menelan ludah memandang air yang jernih itu.
“Saya punya gubuk dekat sini. Kadang di sana bersama teman penjual rokok. Kalau kamu mau, kita bisa sama-sama di sana, saya kasihan melihat anak kamu…” Nastiti penuh dendam membuka botol minum itu dan dengan beringasnya ia angkat tinggi ke atas menuangkan air itu ke dalam mulutnya hingga bertumpahan ke badannya.
Pemuda itu terasa tercekat. Mata Nastiti seperti nyala api siap membakar mukanya. Kedua telapak tangan perempuan itu memeluk erat lehernya, jari-jari yang kasar menekan keras jakun yang naik turun. Di wajah yang sebagian tertutupi gerai rambut kotor dan bau, tak sedikitpun terlihat gairah seksual yang menghadirkan sisa-sisa kecantikan. Perlahan-lahan membentuk sebuah seringai mengerikan yang menguapkan hawa iblis dari kobar api neraka. Nastiti tak mengendalikan dirinya lagi, terasuki dendam yang menguat mengalir di telapak tangannya hingga pemuda itu meronta mencari napas. Nastiti berdiri menyeret leher pemuda itu seperti dulu emak menyeret rambutnya lalu dihempasnya tubuh kecil tegap itu hingga jatuh berdebum membangunkan anaknya dari lelap tidur. Anaknya menangis karena terkejut dan ketakutan. Pemuda itu berlari menjauh. Nastiti mendapati dirinya jatuh terkulai tak mengerti apa yang tadi ia lakukan.
“Kacau! Semakin kacau!” Dijambakinya sendiri rambutnya seolah ingin mencopot kepala yang dirasanya kian tak berakal.

Matahari pagi menyambut keinginannya meninggalkan kelam kehinaan. Tapi ke mana ia harus berjalan, Nastiti merasa tak mampu melihat arah. Semua nampak begitu putih, terang dan kosong. Kereta yang sesak oleh padat manusia penumpang bahkan diyakininya tak bisa mengantar ke mana-mana. Hingga anaknya tak mau berhenti menangis karena tak sanggup menahan desakan tubuh-tubuh yang semakin berdatangan menghabiskan ruang pengap dan bau. Nastiti tak tahu harus turun di mana. Ketika kereta memasuki kawasan rindang di sepanjang jalan menjelang sebuah stasiun, Nastiti teringat puisi Saefuddin.
“Negeri air. Pasti di sini!” Nastiti berteriak girang. Ia tak menghiraukan orang-orang yang memandanginya dengan heran bercampur takut melihat penampilan dan tingkahnya.
Turun dari kereta ia berlari membawa anaknya melewati keramaian orang yang menunggu dan berlalu lalang. Di kawasan yang penuh dengan anak-anak muda berpakaian rapi dan nampak terpelajar itu Nastiti merasa semakin dekat dengan kerinduan yang bertahun-tahun ia kuburkan. Ini bukan desanya. Tapi pohon-pohon besar sepanjang jalan aspal yang mulus dan sepi memanggil-manggil jiwanya menyusuri tujuan. Negeri air! Jiwanya telah tertuntun ke sana, sebuah danau hijau, di antara gersang kemarau yang menyiksanya selama ini.
Sebuah danau, dengan pohon-pohon rimbun dan kesunyian yang indah. Burung-burung pipit berlintasan di atas permukaan air yang tenang dan dalam. Bernyanyi-nyanyi di antara dahan-dahan dan berkejaran menghampiri sebuah masjid yang besar dan megah di sisi danau. Duhai, Nastiti merasa kembali ke dunia remajanya, melupakan musim-musim yang bergilir mencacah hidupnya. Sementara anaknya mulai menangis kehausan.
“Lihatlah itu, Sayang. Kita telah menemukannya. Kita akan abadi di sana. Menjumpai ayahmu. Di sana kita tidak akan kehausan, Sayang. Negeri air abadi. Begitu bersih tak ada sampah. Tak ada banjir. Tak ada limbah. Kita bisa berenang bebas sampai jauh dan jauh….”
Nastiti berjalan membawa anaknya menuruni tebing batu dan terus berjalan hingga kakinya mencapai sentuhan air danau. Tubuh anaknya ia turunkan ke pinggiran yang dangkal. Anak itu meraung-raung ngeri, memanggil-manggil sang ibu dalam ketakutan dan dahaga yang menyatu. Namun Nastiti seperti tak mendengar apa pun kecuali suara air danau dan daun-daun yang terbang berjatuhan di atasnya disaksikan tarian burung-burung. Matanya, jiwanya, hasratnya, seluruh tubuhnya, mengikuti tarian itu bermain membelah angkasa, berkeliling danau dan menerjang kabut pagi yang tipis dan segar. Oh! Alangkah indahnya masuk ke dalam sana.












Majalah Sastra Horison, Mei 2004









Burung-burung camar melayang di kegelapan, meninggalkan samudra yang memekik tinggi mencapai kepak-kepak sayapnya. Tangisan hujan menderu dalam teropong angin laut, meneriakkan panggilan pada nyanyian angkasa yang berkembang histeris. Seekor camar tertinggal di belahan petir, jatuh ke pelukan ombak yang bergelinjang. Ratapnya tertelan badai yang menari merayakan resah. Jauh terbawa ke dalam kegelapan di dasar lautan, ia menggelepar menyadari kesendirian pada sebuah ruang yang asing.
Marissa membuka dua kelopak matanya yang merah dan basah. Menghempaskan napasnya ke lembah atmosfer di sekeliling ruangan. Kepalanya terangkat gelisah. Apakah ia barusan menyatu dengan ilusi, atau mimpi, tentang lambang dirinya, ataukah semua tadi semata imajinasi?
Hempasan ketakutan berkali-kali membuatnya lupa makhluk semacam apakah dia sebenarnya? Jemarinya meraba bayangan pucat dalam cermin, mencari seberkas sinar bidadari yang tersisa di bimbang tatapannya. Tetes-tetes hening terasa kian berirama di dasar jiwanya yang gelap, bertemu seikat kegelisahan menyembul di jendela, berdiri di antara pelangi cahaya kincir angin Holland Bakery dari seberang Cikini. Keindahan malam terasa pucat karena desahan dingin angin yang bersahutan rintih gerak jarum jam. Ia mendengar itu tak lain deru badai yang kejam mengejar kepak sayapnya hingga ia akhirnya terpisah dari kebahagiaan dan terperosok masuk ke dalam kesendirian yang gelap, menjadi seonggok bangkai camar membeku dan busuk di dasar lautan terpekat. Segala keindahan perasaan menyerpih menjadi tumpahan sel-sel organik bergerak menghembuskan napas keras predator. Marissa memekik panjang menutupi parasnya dengan kedua telapak tangan, tak percaya ia tak lebih lembut dari seringai binatang purba.
Atau, apakah sesungguhnya ia lah Barbie yang mengembara di lorong waktu yang terisikan napas dan sejumlah elemen fasilitas adaptasi untuk menjalani era kehidupan semu. Dan ia tidak tahu, apakah dengan demikian ia telah menjelma sebagai suatu spesies binatang yang paling menarik dan paling menderita—manusia?
Tapi bukan, Marissa menggeleng, ia bukanlah benda atau spesies semacam itu. Ia—sewaktu-waktu, juga sekarang—adalah seekor camar yang terbang sendirian, berjuang meninggalkan jebakan kegelapan untuk kembali pulang ke sarang yang paling damai. Lihatlah jiwanya, hinggap di salah satu sinar merah Holland Bakery, mencari gairah kehidupan yang tersisa cukup panjang dan menjanjikan setitik tujuan yang tercapai.
Suatu tahap evolusi yang tak ia sadari bergerak di fenomena nasib dan keyakinan, membentuk diagram pemikiran berkabut tentang hakikat jati diri dan kebenaran konseptual akan sebentuk doktrin kejiwaaan benda-benda muka bumi—planet biru yang sementara waktu adalah manifestasi surga di antara ribuan benda semesta—sungguh ruang yang tak kunjung sempit dijelajahi dan selamanya menjadi misteri. Dan ia kini duduk di hadapan sebuah kaca yang memperlihatkan padanya sesosok tubuh bergerak, jauh terlempar dari masa yang tak dimengerti untuk sampai ke titik waktu sebuah abad dimana nilai-nilai moralitas berkembang dari perjuangan rasio para binatang pemikir—manusia? Dan ia adalah manusia itu? Individu yang bebas berlompatan mencari eksistensi dirinya dan Tuhannya? Siapa Tuhannya? Marissa menggeleng perlahan. Menyangkal dirinya adalah individu yang memiliki sejumlah kebebasan. Ia merasa dirinya tak lebih makhluk yang terikat—nyaris seperti domba—bahkan mungkin jauh lebih malang. Ia terbelenggu jelas, kuat, dan ngeri pada sebuah papan domino, diputar-putar mengelilingi gerigi permainan norma dan naluri hingga jatuh pada kepasrahan yang paling indah dan salah hanya oleh sebuah telunjuk kekuatan—Alex.
Di mana Alex? Marissa terselisik bisikan kesadaran bahwa hari ini, dalam kesunyian yang mencekam, ia berulang tahun. Sungguh itu adalah tak lebih sebuah perjalanan kesunyian yang amat sangat panjang, dimana ia merasa kian jauh menghampiri kesendirian dan kian dekat menyongsong kegelapan. Kegelapan yang misterius dan penuh kekuatan artistik, menarik-nariknya untuk menyatu hingga perlahan-lahan menjadi nihil. Kosong. Dan senyap.
Dimana Alex pada hari ulang tahunnya? Mengapa kesepian yang justru mengalungi momen-momen kerinduannya akan sebuah kado cinta yang merekahnya jauh lebih indah dan semerbak dari bunga surga mana pun. Ataukah seiris senyum atau bahkan sehelai sapuan mesra di kening telah menanjak jauh ke grafik angka-angka permata Mesir Cleopatra, atau ikut terkubur drama-drama kesetiaan Yunani juga Roro Mendut di peradaban klasik? Seandainya ia berulang tahun tepat pada hari Valentin, apakah Alex juga akan meninggalkannya dalam kesunyian tak bergerak?
Ia seolah mendengar Alex membanting pintu dan menguncinya, sementara ia terpaku di luar merasa dirinya tak lebih seekor kucing betina yang cacat dan berlumuran air parit. Telepon di ruang Alex berdering, dan sesaat kemudian terdengar suara lelaki itu terlibat obrolan mesra yang obsesif. Marissa menggigit bibir demi menahan cemburu yang memberondong jantungnya. Dengan siapakah Alex berbincang sedemikian romantis? Apakah Katrin telah membuatnya ketagihan, atau gadis-gadis manja lain yang lebih menggemaskan? Lalu disisirnya kedua betisnya dengan bayangan kaki-kaki mulus para gadis yang menari-nari erotis dalam sergapan beringas Alex yang tinggi akan gairah primitif. Dan ia sendiri—apakah kakinya berirama stakato ketika berdansa dalam orgasme?
Cahaya benderang yang mengisi seluruh ruang kamar dan wajahnya hilang ditelan gemuruh dendam yang menggeletar di seluruh arteri hingga setiap pori-pori seolah meneteskan bintik-bintik darah dari segumpal hati yang terpecah. Marissa dilanda rasa bosan pada dirinya sendiri. Pada tipikalnya yang konvensional, sikapnya yang konservatif dan seringkali juga cenderung kompulsif dalam setiap keinginan. Ia berpikir—ia berpikir mungkin sebaiknya ia berlatih striptease. Dan ia akan mengubah seluruh penampilannya menjadi lebih metropolis—seperti gadis-gadis kesukaan Alex.
Tetapi mengapa? Mengapa ia begitu sibuk memindahkan jiwanya dari ruang ke ruang, memainkan peran yang bertentangan?
Tiba-tiba pintu kamarnya terketuk beberapa kali. Marissa serasa terhantam serangan udara, jatuh terpukul merosot ke lantai, mencari ruang bersembunyi tanpa alasan, dan mendapatkannya di kolong meja belajar. Di sana ia menekuk tubuhnya hingga mengejang dan kaku bagai mannekin lusuh yang terlempar dari tong sampah. Satu-satunya yang menandakan ia benda bergerak hanyalah kedua bola matanya yang berputar ketakutan.
“Marissa, kau sudah tidur?” Suara Alex terdengar dari balik pintu. Marissa menghitung jari-jarinya seperti seorang bocah terbelakang mental yang sedang berusaha keras memahami aritmetika. Terdengar Alex memutar anak kunci dan beberapa detik kemudian daun pintu berderit terbuka dan ditutup kembali. Marissa menggigil. Langkah-langkah Alex seakan berjalan tepat di atas jantungnya dan secara ritmis memainkan musik yang paling meneror. Ketika sepasang kaki yang dibalut pantalon hitam itu tepat berdiri di depan mukanya, Marissa tak mampu lagi menahan deburan napas yang menyeruak panjang di kerongkongannya. Hal itu menuntun pendengaran Alex hingga ia dengan mudah menemukan persembunyian paling terbuka itu.
“Marissa! Oh!” Alex mengatup rapat rahangnya sambil bertolak pinggang mencari arah sasaran kekecewaannya. “Oh, Marissa,” sebutnya dengan nada keluh yang dalam. “Aku lelah melihatmu seperti ini. Tidak bisakah sekali-kali kau menyambutku dengan penampilan yang segar?”
Marissa keluar dan berdiri malu-malu di hadapan Alex dengan sebaris senyuman yang sukar dipahami. Lalu ia pergi terburu-buru menyeduhkan kopi panas dan dengan gugupnya menyodorkan cangkir yang mengepul harum ke hadapan Alex.
“Alex, apakah kau membawa kado ulang tahun?” tanya Marissa dengan pandangan mata sepolos bayi dibawah lima tahun.
Alex menghempaskan pantatnya ke bangku dan menyandarkan kegundahan yang menyesakkan dadanya. Marissa meletakkan cangkir kopi itu di meja belajar kemudian menarik kursi kecil ke dekat Alex dan duduk dengan manis seperti gadis kecil yang sabar menghadapi amarah orangtuanya. Ia menggigit-gigit kukunya. “Alex,” katanya dengan nada kekanak-kanakkan. “Aku tahu aku tidak seseksi Katrin. Aku akan belajar striptease.”
Alex memandanginya dengan dingin, penuh kekecewaan yang ingin dilontarkannya sekeras batu-batu dari bukit terjal. “Bagaimana obat-obatan psikotikmu, Marissa? Kau meminumnya secara teratur? Psikiatermu mengatakan kau seharusnya dirawat di rumah sakit karena membutuhkan terapi listrik untuk menstimulasi pembuluh-pembuluh darah ke otak. Tapi aku bilang sepertinya itu hanya akan semakin membuatmu manja dan aku tidak mau keluar biaya sia-sia untuk sesuatu yang menurutku mengada-ada. Aku tegaskan aku masih bisa mengatasimu…”
“Lalu psikiatermu menanyakan bagaimana dengan masa depanmu, kuliahmu yang masih beberapa semester lagi dan juga bagaimana kompetensimu sebagai seorang calon psikolog. Apakah tidak terlalu konyol membiarkan seorang psikolog mengidap gangguan jiwa yang serius?”
“Oh, Alex, aku baik-baik saja!” Marissa berteriak sebal. “Mengapa semua orang, juga kau, demikian tak berdosanya mendudukkanku pada vonis neurosa?”
Alex mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. Mereka saling menantang lewat tatapan dan menyilakan hening melapisi perasaan masing-masing. Sepuluh menit berlalu dan akhirnya Marissa menangis. Alex menghela napas. “Sigmund Freud mendiagnosa mimpi-mimpinya sendiri dalam prosesi psikoanalisa. Apa kau tak dapat sedikit pun mengeksplorasi persoalan jiwamu?”
“Aku mendeteksi semua yang kualami dan menemukan depresiku dalam tingkat yang wajar, Alex. Aku hanya mencoba mengembara—mungkin secara liar—untuk mengenali suatu ruang yang kalian juga melewatinya tanpa kesadaran ilmiah. Bahwa setiap benda di sekeliling kita, termasuk kita sendiri, memiliki fundamental kehidupan yang berasal dari kebekuan kemudian bermetamorfosis menjadi ruh yang bergerak memasuki ruang tubuh dan selanjutnya, menjalani proses pengembangan inderawinya sesuai kadar iritabilitas beradaptasi dengan fenomena alam sekitar.”
“Dalam psikologi fenomenologi, pemikiran itu memang bisa dibenarkan. Alam ialah ruang itu sendiri dalam pengertian sebagai ‘suatu lokasi’ yang bisa dikunjungi. Tetapi tidak lantas kau merasa cukup beralasan memelihara ketakutan-ketakutan terhadap benda-benda, Marissa.”
“Mereka menarik-narikku, Alex, itulah yang kalian tak ingin memahaminya. Mereka hidup dalam kebisuan dan kebekuannya sebagai benda yang terlihat tak bergerak. Tapi mereka juga punya kekuatan—yang berusaha keras menarik-narik jiwaku untuk mengunjungi ruang kehidupannya, begitu jauh, jauh, hingga dalam menempuhnya diriku berevolusi menjadi benda melayang semacam camar yang mengepakkan sayapnya di atas prahara lautan. Aku tidak tahu akan tiba di mana—kegelapan bergerak-gerak menghampiriku dan berupaya menyeretku masuk ke dalam tubuhnya hingga aku merasa nihil.”
“Kau memasuki halusinasi yang terlalu dalam.”
“Inilah yang harus kita bongkar, Alex. Kita sekian lama terperangkap belenggu arti ilusi, halusinasi. Dan dengan persepsi itulah kalian menuduhku neurosis. Karena kita tidak mau memasuki ruang lain selain ruang aktualisasi diri kita yang sepintas cukup aman dan nyaman dengan standar etika peradaban.”
“Dan kesadaran hidup dalam ruang aktualisasi diri dengan nilai-nilai etikanya itulah yang harus kau jadikan terapi penyembuhan antisosialmu, Mawar Liarku. Sebagai seorang manusia dan sebagai seorang calon psikolog, kau seharusnya lebih menjalin simbiosis mutualisme di habitat kehidupan yang membuat kau survive. Kau tak seharusnya menarik diri—atas nama teori apa pun—dari pergaulan dengan sesama manusia. Selayaknya kau mengenali problematika jenismu sendiri. Bukankah yang kelak datang berkonsultasi padamu adalah manusia-manusia, bukan mannekin dan batu-batu?
Dan seandainya benda-benda itu mendatangimu sekarang, ia tak lebih suatu ruh yang kau ciptakan menurut interpretasimu pribadi—yang barangkali terlalu asyik bermain-main di kolam imajinasimu dan sudah terkonvergensi teori-teori yang sukar kau pahami.”
Marissa bangkit dari kursinya dan berdiri menjauhi Alex. Matanya berkilat merah menyampaikan bahasa kebencian yang tersusun dari titik-titik dendam di dalam dada, kemudian seolah-olah memperoleh kesempatan berlari meninggalkan gua persembunyiannya.
”Sebenarnya, Alex,” ucapnya dengan emosi tertekan. “Jika pada akhirnya aku nyaris memasuki skizofrenia, itu karena kau bermasalah!” Alex terlompat mendengar tudingan Marissa. Ia baru hendak menyeruput kopi buatan Marissa dan keterkejutannya membuat isi cangkir yang dipegangnya itu nyaris tertumpah mengenai kemejanya.
“Aku bermasalah?” pekiknya sambil tertawa. “Coba ceritakan bagaimana aku bermasalah, Psikologku?”
Marissa mundur selangkah. Pertanyaan Alex yang terdengar mengolok, menyeretnya tersudut ke rasa sepi. Air matanya berurai melawan ketidakberdayaan. Bagaimana mungkin ia mempertaruhkan keberanian untuk konsekuensi kehilangan….
“Kenapa, Marissa? Kau takut berterus-terang? Ayolah, nona yang sedang berulang tahun, bukankah kau tak pernah menyembunyikan sesuatu dariku?”
Marissa mengepal jari-jari telapak tangannya. Mengumpulkan segenap kekuatan dari rintihan berlapis-lapis di dasar hatinya yang biru.
“Kalau saja, Alex, kalau saja kau tidak memperlakukanku sedemikian kejam…”
“Yang kau maksud aku terlalu sadis dalam hubungan seksual kita?”
“Kau menyiksaku lahir batin. Bahkan tanpa alasan. Aku tidak pernah tahu apakah kesalahan yang telah kuperbuat, sehingga seringkali kau datang ke tempat ini sambil membawa seperangkat eksekusi seksual. Tapi aku paham, nalurimu ingin bertualang dalam penyimpangan. Dan aku—aku menikmati kebuasanmu, dengan penuh rasa cinta. Merekam setiap jeritanku sebagai sesuatu yang indah.”
“Kau ingin aku sedikit lembut? Kenapa tak pernah bilang?”
“Dan kau tanpa tenggang rasa mengungkapkan kesenanganmu dengan Katrin juga gadis-gadis lainnya. Kau memperlakukanku seolah-olah sama dengan tembok diam. Aku tak punya hak, kecuali merintih dalam bisu, menyembunyikan segala kesakitanku.”
“Kau menceritakan semua pada psikiatermu?”
Marissa meluruskan tatapannya ke lintasan kilat tajam mata Alex. Dengan lemah ia menggeleng dan wajahnya kembali menekuk menjatuhkan butir tangis ke lantai. Alex mengusap keringat yang meleleh di kening, pergi ke jendela dan melempar lamunan pada kincir Holland Bakery yang tak pernah lelah berputar.
“Jadi, aku yang bermasalah, ya?” lontarnya lagi tanpa mengalihkan mata sama sekali.
Marissa menggigit bibirnya, berusaha keras mengunyah kekecewaan hingga mencapai tensi yang paling rendah. Tapi ketika Alex dengan nada datar kembali mengulur kata, “Jadi, aku yang bermasalah?” Dan tertawa entah untuk apa, Marissa menjatuhkan dirinya ke kursi sambil tersedu-sedu setengah berteriak. “Mengapa kau tidak punya perasaan? Aku mencintaimu dan kau sama sekali tidak punya perasaan terhadapku?”
“Hei,” Alex menutup jendela dan menilik semrawut air muka Marissa. “Apa yang kau maksud dengan tidak punya perasaan?” lalu ia kembali duduk di kursi menghadap Marissa. “Aku menemukanmu dalam keadaan persis seorang gila. Tapi aku juga melihatmu gadis bertalenta unik. Maka aku memberimu tempat kos yang aman dan menghidupimu. Apa itu yang kau maksud tidak punya perasaaan? Bahkan waktu kau tak menuruti saranku untuk kuliah sastra, dan begitu beraninya ngotot psikologi lah yang terbaik bagi masa depanmu, aku no problem. Dan ketika aku sarankan sebaiknya kau belajar menulis supaya mandiri seperti Katrin, kau malah tenggelam dalam perasaan cemburu yang membuatmu gila sendiri.”
“Aku tidak berbakat, Alex. Bagaimana aku harus memaksakan diri menjadi penulis kalau aku tidak bisa menulis?”
“Kau bukannya tidak bisa, tapi tidak mau belajar. Semua orang hidup harus berusaha, Marissa. Aku juga belajar dalam pekerjaanku menyunting naskah, menghabiskan waktu sekian lama demi meneliti sebuah teks. Sampai bola mataku mau copot keluar! Dan aku memperoleh kesempatan kerja dengan kesabaran maksimal. Kau beruntung seandainya mau mencoba, aku bisa mengorbitkanmu.”
“Seperti Katrin?”
Alex bergeming lelah. Dihabiskannya sisa kopi dicangkir seolah-olah ia menelan seluruh kebencian agar tak menampakkan wujud lagi.
“Kau berkata demikian pada setiap penulis wanita yang kau minati?”
“Tidak secara eksplisit!” Alex menukas sengit. “Kenapa? Itu lebih baik, bukan? Daripada kita hanya berdiam diri atau bergantung pada arah angin seperti layang-layang? Terus terang aku capek melihatmu. Sementara aku mati-matian memperjuangkan kesuksesanmu, kau masih saja tidur dalam skeptisisme.”
“Skeptis? Aku skeptis? Oh, Alex, bukannya kau menjadikanku seekor ayam betina yang dikurung sepanjang hari? Aku tak mengenal dunia luar kecuali dari fasilitas buku dan internet. Dan dosen-dosen itu sungguh membosankan. Mereka tidak lebih baik dari guru taman kanak-kanak.”
“Marissa, aku tak pernah melarangmu bergaul dengan siapa saja. Aku hanya minta kau tidak melakukan hubungan seks selain denganku.”
“Oh ya, sementara kau bebas bereksperimen dengan siapa pun, dan membawaku ke seorang psikiater yang menyuntikkan sugesti seolah-olah aku yang sakit, bukan dia!”
“Aku membayarmu, jangan lupa!”
Marissa terkejut kaku. Jantungnya terpukul hebat dan seakan berhenti berdenyut. Bentakan Alex menghentak porsi kesadarannya kembali merayap pada kebekuan dan kesunyian. Matanya memejam demi melarikan jiwanya pada wilayah refleksi, namun yang lagi-lagi menjemput adalah kegelapan dan semarak suara-suara dari ruang yang teramat jauh dan kini membentuk elips besar di sekeliling inderanya. Ia mendengar alunan angin, desah ombak dan gemuruh pasir-pasir yang tersapu belaian pantai. Ketakutan-ketakutannya mengalami reposisi. Ia tak ingin lagi membuka mata. Tak ingin bercumbu dengan cahaya dan keindahan dari kemilau bianglala sekali pun. Pasrah menyerahkan segenap tubuhnya, jiwanya, apa pun yang dimilikinya terengkuh tangan-tangan kegelapan yang siap membawanya pergi jauh ke dunia lain.
Alex merasa cemas melihat kondisi Marissa. Ia berusaha memanggil berkali-kali. Namun Marissa tetap terpejam dan membeku sebagai benda yang kembali pada keabadiannya sebagai arca. Alex merasa frustrasi, mengutuki ketidakberdayaan yang menyerang kekuatannya. Egonya melemah, dan dengan parau ia memanggil-manggil kesadaran Marissa seakan-akan ia adalah seorang kekasih sejati. Diraihnya jari-jemari Marissa dan berusaha memberikan getaran dengan pijat stimulan. Ia sendiri tidak mengerti apakah ia sedang bersedih atau putus asa menghadapi asosiasi Marissa dengan halusinasinya. Tetes-tetes kelembutan mengalir dari dua sudut matanya membasahi dada, membawa pergi segenap debu dan duri yang sekian lama menjadi pintu hatinya sebagai tameng penghalang cinta di atas nafsu.
Tinggal irama jarum jam memerankan waktu mengisi kesunyian yang paradoks. Alex menyanyikan bait-bait sepi, hening menghilang mengikuti malam. Sementara Marissa terus bergerak dalam keterasingan realita yang tak sanggup ia huni dengan harapan yang hancur berkeping-keping. Melayang di antara teriakan-teriakan Alex yang memburu berseteru melawan kegelapan dalam pengembaraannya yang jauh. Ia mengenalinya sebagai sesuatu kekuatan hipnotis yang selalu membuatnya tak berdaya kembali jatuh ke ruang bumi yang fana dan tak diinginkan dimana ia merasa dipaksa memainkan peran-peran yang bergantian memecah integritas jiwanya dan pikirannya. Dibukanya matanya dan segera ia rasakan seluruh tubuhnya luruh ke dalam dekapan Alex, merasakan letih meruntuhkan sendi-sendi tulang sehingga ia percaya sebentar lagi tubuhnya akan hancur seperti agar-agar bening tertumpah di atas sprei. Air matanya menetes di antara gurat bingung dan rasa bersalah yang teramat dalam.
“Alex, Alex,” panggilnya penuh rasa takut kehilangan dan keresahan yang menyiksa. “Jangan salahkan aku, jangan salahkan aku.”
Ia menyembunyikan wajah di dada Alex, menghindari apa pun yang terdapat dalam sepasang mata yang terekam sebagai sebilah pisau perak. Ternyata Alex membelai rambutnya dengan sentuhan kemesraan dan kelembutan paling lembut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Marissa,” Alex mencium rambut Marissa yang terurai berantakan. “Aku mengerti sekarang, sesungguhnya yang paling kau butuhkan adalah medium katarsis, yang bukan hanya membantu membebaskanmu dari segala trauma dan ketakutan-ketakutan akut, tapi juga menggembleng alam bawah sadarmu untuk menumpahkan kreativitas. Cobalah gubah pemikiran-pemikiranmu ke dalam sebuah karya, karya apa saja. Seperti Virginia Woolf, juga Sigmund Freud, dan hampir semua seniman dan ilmuwan dimana saja, mereka merasakan kesakitan yang sama denganmu, tapi mereka menariknya keluar dengan segenap potensi yang diasah, bukan merepresi jauh ke dalam.”
Marissa mengangkat wajahnya dan mencoba melayangkan kepedihannya ke sinar tajam mata Alex yang meredup. “Apakah aku bisa?” katanya masih berurai gerimis tangis. “Bukankah kau sendiri skeptis akan masa depanku? Dan Nietszche—“ Marissa membiarkan jemari Alex menyeka pipinya. “Bukankah dia gila? Dia berhasil mentransformasikan beban berat pemikiran-pemikirannya ke dalam untaian kata abadi, namun dia tetap gila! Mengapa dia tetap gila?”
“Karena dia tak mendapat ruang pada masanya.” Jawab Alex sambil menyentuh hidung Marissa dengan hidungnya.
“Akhirnya kau mengakui itu!” Marissa menarik kepalanya dan menatap Alex penuh kemenangan. “Manusia pada hakekatnya tidak pernah punya ruang, Alex. Bumi menciptakan dirinya sebagai planet hidup yang menampung benda-benda, kita adalah salah satu dari benda-benda itu yang berupaya keras memberontak karena kita tahu kitalah satu-satunya jenis benda yang berhasil melewati seleksi alam hingga mendapatkan fasilitas intelektual. Meskipun demikian, mereka yang masih tinggal sebagai protoplasma, atau sebutir pasir sekalipun tetap punya kekuatan magnetis yang menarik-narik kita agar kembali ke ruang yang abadi.”
“Ruang apa?”
“Kebekuan. Di situlah segala penderitaan akan berakhir, karena daya rasa kita telah pulang kepada kebekuannya yang hakiki.”
“Mungkin maksudmu kematian. Kematian yang benar-benar abadi, seperti yang diinginkan Virginia Woolf.”
“Tidak, Alex, kau salah lagi. Aku tidak seperti Virginia Woolf. Aku tak pernah berobsesi bunuh diri, betapa pun jiwaku terasa teraniaya. Dan aku membayar mahal masa depanku meski dengan sesuatu yang dianggap hina oleh norma peradaban kita. Aku memasrahkan segenap diriku sebagai media seksualitasmu. Memberimu ruang agar kau tetap menikmati kebahagiaan sebagai seorang maniak. Sedangkan ruangku sendiri menjadi tiada. Aku tidak tahu di mana posisiku sebenarnya kecuali di antara empat sisi dinding batu-batu ini.”
Air mata Marissa kembali menuruni kedua belah pipinya yang dingin. Isaknya mengisi frekuensi kehampaan seluruh ruang kamar, menciptakan gema pada dinding tembok bagai aransemen musik yang tergarap secara intuitif. Alex membenamkan dirinya dalam kelelahan perdebatan. Ia ingin segalanya berakhir lalu pergi terlelap dengan perasaan bebas dan nyaman seperti bayi disusuan ibunya. Matanya memandang Marissa dengan berat yang tak tertahankan.
“Oh, Marissa,” desahnya menembusi kesedihan. “Tidakkah kau lelah, tidakkah kau ingin berbaring dan memejam rapat? Kita baru saja menyia-nyiakan malam dan beberapa jam lagi menghadapi matahari dengan kegusaran yang harus dikhianati. Mari kita tidur, Cah ayu. Cukup tidur saja, tidak usah melakukan apa-apa.”
Alex beranjak menghampiri tempat tidur dengan langkah gontai dari seluruh jiwa yang kehilangan semangat. Marissa tergesa mengikuti dan membantunya melepaskan kancing-kancing kemeja sebelum tubuh mereka terjatuh ke atas kasur. Alex menarik lengan Marissa hingga gadis itu jatuh menindihnya dan mereka berciuman sekian lama. Kemudian ia membaringkan kepala karena lelahnya dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Marissa hingga matanya terpejam damai. Marissa memberi ciuman bibir terakhir dan ketika ia hendak mengucapkan selamat tidur Alex masih mencoba berkata tanpa membuka mata.
“Marissa, jika saja tidurku ini menjadi untuk selamanya, memasuki ruang kebekuan seperti yang kau maksud, apakah kau akan bahagia dan kembali menemukan dirimu sebagai individu yang utuh?”
“Ya ampun, Alex, mengapa kau bertanya begitu sarkastis? Aku mencintaimu, Sayang, apa itu tidak bisa dipercaya? Kau adalah pahlawan cita-citaku, penyelamat masa depanku. Apa pun yang kau lakukan—mencekik leherku sekalipun, aku akan tetap mencintaimu selamanya. Sampai aku kembali menjadi sebuah sel, hanya sebuah sel.”
“Tidak, Marissa, aku tidak sarkastis. Aku hanya mencoba memberimu pengandaian. Entah mengapa aku teringat Song, puisi yang kau pelajari di SMA, kau ingat? Puisi klasik Christina Rossetti yang dulu kau hadiahkan untuk ulang tahunku?
When I am dead, my dearest,
Sing no sad song for me
Plant thou no roses at my head…”
“Oh, Alex, sudahlah, jangan membuatku takut…” Marissa mengecup kelopak mata Alex yang mengatup.
“Nor shady cypress tree:
Be the green grass above me
With showers and dew drops wet…”
“Alex. Aku mencintaimu. Aku tidak mau kau pergi sebelum aku pergi,”
“And if thou wilt, remember,
and if thou wilt, forget.”
Marissa menjadi sangat berdebar dan kembali terguncang di dada Alex. Alex tidak meneruskan bait berikutnya. Napasnya terdengar teratur selaras kelelahan yang berjalan menuju mimpi-mimpi. Marissa menciumi permukaaan rahangnya yang lebar persegi dan menatapnya dengan kemilau hasrat yang menyala hangat.
“Alex,” desahnya teramat manja. “Kau masih mendengarku?”
“Hm?”
“Alex, mungkinkah suatu hari nanti kita menikah?”
“Hmm? Tidak. Tidak mungkin, Marissa.”
“Mengapa, Alex?”
“Tidurlah, Marissa, lupakan semua itu. Ayo tidurlah, kau tahu persis mengapa aku tidak mungkin menikahimu.”
“Tapi, Alex, aku butuh teman. Mungkin di luar dirimu berjuta pria nampak bermoral dan penuh kesalehan, tapi apakah mereka cukup punya hati untuk melihatku? Semua mata memandangku sampah tak berguna, hanya kau yang bersedia memungutnya entah atas nama kejahatan atau kebaikan. Itu bukan persoalan. Yang penting bagiku ada seseorang yang mau menyentuhku.”
“Aduh, Marissa, berhentilah mengidentifikasikan dirimu dengan Evita.” Alex terpaksa bangun menghadap Marissa dan berusaha keras menahan kantuknya.
“Aku tak semulia Juan Peron. Takkan pernah ada tempat terhormat untukmu disampingku. Kau ini, kau sepertinya telah menjadi korban tokoh-tokoh cerita legenda. Terimalah hidup apa adanya, Cah ayu. Hanya dengan begitu kau bisa memperoleh keabadian dengan tetap menjadi dirimu sendiri.”
“Marissa, di Jakarta ini, beribu orang hidup penuh masalah, tapi mereka menghadapinya dengan jiwa, bukan dengan keluh kesah. Aku pribadi tidak pernah merasa membangun hubungan kasih sayang. Bagiku kebersamaan kita selama ini bukanlah hal istimewa. Aku hanya mencoba membangun harapan-harapan. Di luar dirimu, banyak wanita yang melewati lajur malam hidupku. Sekarang tidur dan bermimpilah selagi masih di sisiku. Siapa tahu ini malam terakhir.” Ia kembali membalikkan badan dan menarik selimut sebagai isyarat kantuknya tak ingin dihalangi lagi.
Marissa duduk termangu menatap sepi menertawai dirinya. Alangkah cepatnya ia tercampakkan permainan kata-kata. Sesaat di buaian rayuan yang menjanjikan, dan sesaat terpuruk di ayunan pengakuan yang memedihkan. Bila ia kembali terlempar ke aspek sentimental yang suram tanpa satu frasa pun terjalin manis, ia jadi bertanya sesungguhnya apakah bedanya bila seseorang memilih sendiri atau berdua? Mencintai dan menyendiri sama-sama menyakitkan, maka mengapakah manusia di sepanjang masa meributkan pencarian pasangan? Kesepian tidak pernah melarikan diri dari kompetisi eksistensi. Seandainya ia berada di luar kamar ini, akankah keterasingan serta-merta mengendap bertualang mencari sisi lain di kehidupan perkotaan? Mungkinkah ada sepi yang sama vertikal atau horisontal antara di medan perang dengan di pedalaman sunyi? Mungkinkah lebih hangat lambaian padi dari pada kerlap-kerlip gedung-gedung tinggi? Apakah sepi yang lebih berkuasa memilih ruang, ketimbang manusia yang menyadari kekuatan akalnya?
Marissa mengambil jaket merah di punggung bangku lalu melekatkannya ke tubuhnya yang masih mengenakan gaun tidur. Rambutnya disisir rapi dan diikat ekor kuda. Saat meraih gagang pintu ia melihat kepada jam dinding, kedua jarumnya bersamaan menyentuh angka dua. Marissa sempat memandangi Alex dengan sedih hingga akhirnya ia menyadari bahwa ia harus belajar tidak peduli. Bukankah Alex sudah pasti tidak mencintainya dan cepat atau lambat meninggalkannya seorang diri tanpa mau tahu bagaimana kondisinya. Dan berpikir seperti kebanyakan orang yang merasa dirinya baik untuk diri sendiri, Marissa memutuskan untuk tidak membutuhkan siapa-siapa lagi. Maka ia pun keluar mempelajari malam, mencoba mengenali dirinya di perputaran waktu.
Ia memilih berjalan kaki menyusuri tepi jalan raya yang menjadi terlalu luas karena hanya terlintasi beberapa kendaraan bermotor dalam rentang waktu lama. Kesunyian bermain di pelataran toko-toko pinggir jalan dimana beberapa gelandangan mengakrabi situasi dengan mimpi panjang atau menggerutu sendiri. Di persimpangan Kali Pasir keramaian tak beranjak, seolah peredaran siang dan malam bukanlah pembagian kondisi alam. Ia terus berjalan melewati gerbang hotel Treva sambil mempertanyakan hatinya apakah kesepian terasa menyergap dari berbagai arah atau tertinggal di ruang kamarnya. Marissa tidak tahu. Tanpa sadar ia kehilangan kemampuan mengenali perasaan. Matanya demikian sibuk menghinggapi pemandangan malam yang bermandikan semarak cahaya gedung-gedung berpadu keindahan bintang-bintang di langit. Pengalamannya mengatakan inilah pengembaraan yang sekian lama dirindukannya keluar dari imajinasi dunia dalam dirinya. Pada akhirnya ia seakan terbebas dari tarikan bisu benda-benda di kamarnya dan mendapatkan kesenangan melayangkan jiwa ke alam luas tanpa seorang pun mencurigainya sebagai seorang pesakitan.
Betapa ia merasa luar biasa. Ia tak perlu menjadi camar atau benda-benda apa pun yang menyatu ke pusaran air atau tertelan lubang hitam hingga menjadi kegelapan yang abadi. Ia dapat menikmati langkah kakinya yang terus berjalan tanpa lelah dan tiupan angin menyegarkan kulit pipinya. Marissa merasa baru kinilah ia benar-benar meninggalkan hakekat dirinya sebagai suatu perumpamaan benda-benda seperti Barbie atau mannekin lainnya. Dihirupnya udara dalam-dalam, mengatupkan matanya dan membukanya kembali untuk meyakinkan diri betapa bahagia menjelma sebagai seorang makhluk hidup. Sebagai benda yang berhasil bergerak berdasarkan pikirannya, bukan oleh sebab-sebab tarikan alam di luar dirinya.
Di Tugu Tani langkahnya terhenti. Sesuatu terasa menghampiri jiwanya dan menarik-narik ke sebuah arah yang terbiasa ia rasakan. Langit mendadak hilang dari pandangannya dan lampu-lampu sekitar mati. Dunia gelap sama sekali. Marissa merasa tubuhnya lenyap dan dalam sekejap ia menjadi kegelapan itu sendiri. Namun ia masih sempat terkejut dan mengira ini mungkin berarti ia berganti menjelma menjadi suatu ruang. Entah ruang kegelapan ataukah ruang malam, ia tidak mampu membedakan defininisinya. Semua benda telah menyatu ke dalam kegelapan sama seperti dirinya, sehingga ia tak lagi mengenali ketakutan terhadap mereka sebagai sesuatu yang saling tarik-menarik. Tetapi ia menyaksikan sepasang patung itu tidak lebur dan tetap di tempatnya. Apakah yang mereka lakukan di tengah kota? Mengabadikan tubuhnya diam di perkotaan demi mengorbankan diri sebagai lambang statis peradaban masa lalu yang tetap indah di perubahan zaman? Kemegahan hotel Aryaduta di seberang sana membuatnya bergantian melayangkan pandang arsitektur metropolis gedung yang angkuh dengan artistik manusia desa pahatan yang berdiri optimis. Sebuah senapan tergantung di bahu kekar lelaki yang bertelanjang dada dan mengenakan tudung berbentuk kerucut. Istrinya di posisi yang lebih rendah berselendang melambai, menyodorkan sebuah piring makan.
Marissa mendengar suara. Bukan angin. Suara…, desahan manusia—patung itu! Mereka menggeliat. Mereka menari! Mereka menjadi benda bergerak! Apakah mereka meninggalkan kebekuannya, menjelma sebagai sosok hidup dan berpikir? Apakah mereka akan terpesona kemewahan kota dan beradaptasi dengan ruang barunya, menjadi simbol urban yang sukses? Ataukah mereka akan berlari pulang mencari desanya yang dikira masih permai dan menjadi sepasang kekasih sejati yang mengagungkan cinta dan kesetiaan di atas segala godaan naluri liar dan materi?
Dan ia kembali tak berdaya, terdiam kaku memandang sepasang patung petani itu seolah melihat kepadanya dan berbicara dengan nada teramat parau, berat dan sugestif.
“Apa yang kau saksikan? Batu-batu berjalan di ruangmu menarikan gelisah malam pada jiwamu yang merintih? Apakah tak kunjung sampai sebuah cerita tentang tangis abadi dalam remang takdir—di keluhmu yang jauh mencari sebatang teori terkubur.
Datanglah kepada kami, ke celah senapan dan piring meletakkan sepi selimut napasmu. Tinggalkan kapas-kapas impian yang berpencar mengapung. Menjadi tirai hasrat putih yang kau baringkan di persembunyian luka. Di sini kami kekal menanti sendu tatapmu. Dan akan kami puisikan sebongkah kerinduan dan dendam, yang hanya kau dapati di lekuk-lekuk bisu kesunyian.”
Marissa tak percaya, sungguh tak percaya. Apakah semua ini nyata, atau ilusi atau sekali lagi, sebuah imajinasi? Kesadarannya menjadi angin yang bertiup menghempas kegelapan dan perlahan cahaya lampu-lampu kota menyorot tubuhnya. Dengan kaki gemetar ia melangkah menjauh, memutuskan dalam hatinya untuk hanya kembali memikirkan cita-cita. Tapi tiba-tiba ia terjatuh lemah, meratap tak mengerti arah mana menuju pulang. Semua jalan terlihat sama.








Republika, 5 Februari 2006













Sejak kau pergi, kekasih, bunga-bunga berguguran dari tangkainya. Aku menemui pagi di serambi kedukaan, melihat daun berserakan di tanah retak. Kabut dingin menyelusup ke dalam pintu. Dan aku lihat matahari perlahan-lahan ingin kembali tertidur. Kuturunkan kain yang menyelimuti tubuh, mencari-cari udara di antara serpihan gersang. Tapi tak ada yang terdengar. Bahkan suara hatiku sendiri.
Sedikit demi sedikit, kerapuhan merayap menjelajahi nuansa. Tak ada kata yang terbendung, ketika aku mencoba memadukan luka, rindu, dan kebebasan. Sangat bias salah satu rasa itu pergi, lalu kembali. Berputar-putar. Bertukar tempat.
Kadang-kadang, yang tinggal di dalam dada adalah sepotong wajahmu yang tergores dendam. Lembut, aku menusuk-nusuknya dengan rindu yang telah menjelma ranting kering. Kutelusuri setiap indera, berharap ada denyut yang tersisa kemudian sampai ke kisi konsentrasimu. Ada aku di sini, bisikku di permukaanmu. Ada cinta yang menggenang, seperti sungai darah dari sedimen-sedimen kesedihan yang mencair.
Dan, akhirnya, pertama kali aku memberhentikan sebuah wajah, sepasang mata yang liar dan napas yang berhembuskan hasrat, di jalan yang coba aku hadapi. Aku tertegun melihat diriku sendiri. Berharap-harap cemas, tubuh dan jiwa ini masih seirama. Senada. Dalam pelukan yang hangat dan menggigil. Sebab tidak mudah membaginya, dengan segumpal perih yang sederhana.
Apa pun aku tahu, bukan ini yang diinginkan pikiran dan kebebasan. Setiap detak jantung, setiap desah napas, setiap denyut nadi, dan semua yang berhubungan dengan logika dan nurani, menolaknya. Hanya sebuah ketidakmengertian yang mampu menjawabnya, menyambutnya. Dan hanya sedikit kegilaan, atas nama apa pun, yang membawanya mengembara.
Aku mencoba merasakannya perlahan-lahan. Ketika setiap lembar pakaian kulepaskan di kamar mandi, lalu dengan sehelai handuk kecil penutup kemaluan aku menemuinya. Membiarkan matanya menyelusuri dadaku, hingga akhirnya debar itu datang. Menggelayuti akar-akar gantung kenekatanku. Dan, aku mulai takut. Berenang dalam kegamangan. Aku berharap mata itu berganti matamu. Aku ingin bayanganmu melekat padanya. Namun, kesadaranku menepisnya. Aku teringat apa yang sedang harus aku lakukan. Seiring dengan itu, getar-getar keraguan kian mengencang, meresap ke pori-poriku dan jauh merasuk ke dalam jantung, serta menggentarkan paru-paruku.
Aku mendekat, namun mulai sesak. Ketika hampir mencapai pangkuannya, aku merasa tidak lagi memiliki tubuh ini. Aku jatuh, tanpa mengenali perasaanku, dan hanya tinggal mengetahui tubuhku terbetot tangan-tangan asing. Langit-langit ruang, temperatur AC, tirai yang diam, lampu-lampu padam, semua berputar mengelilingi dua tubuh yang mencoba bertemu. Tidak ada yang berpagut kecuali asing itu sendiri. Mereka berupaya meninggalkan atribut jiwa. Magnet-magnet organ yang mencari pertautan rasa dan permainan. Jeritan-jeritan dari naluri yang bergesek. Dan kesakitan yang mencapai pangkal-pangkal terminal rasa.
Tangan-tangan mungil itu berjatuhan ke samping, ke sisi bawah tempat tidur. Menggantung pasrah dan kelelahan. Aku mengurai garis-garis air mata di bentangan tak karuan, kehangatan yang mengalir pada rasa pengenalan bahwa itu adalah bagian-bagian tubuhku yang tersentuh tubuh lain selain tubuhmu. Dan menyadari hal itu, mengenang yang barusan terjadi, dadaku sesak oleh ledakan-ledakan emosi yang tak boleh melompat dari ranah fisik ini.
Hanya jiwaku berayun-ayun menghentak sebagian tubuh, sebegitu sulitnya melewati batas-batas pagar kenyataan yang membelenggu pemberontakan. Garis frontal telah terpasang di depan selongsong ketidakmengertian ego, sementara buncahan-buncahan pembelaan diri mengibarkan kepasrahan dan ketidakberdayaan yang bergerak. Aku meronta di antara keduanya, seperti seekor duyung melewati perbatasan laut dan darat di musim matahari menunggu cinta.
Luka ini menutup dan terbuka berganti-ganti. Setiap keliaran nafsu berjajar di muka hati, aku memaksa diri menjadi anggur minuman itu sendiri. Merah anggun dan membara. Membakar jiwaku yang berdesingan dalam kesadaran mencapai luluh lantak dalam ketidaktahuan yang dibiuskan ke tiap daya staminanya. Ingatan-ingatan tentang kesempurnaan rasa padamu berguguran, tak lagi diiringi air mata remaja. Dan bibir-bibirku mulai bergincu terhiasi tawa, menyanyi, sekedar menyanyi di hadapan cermin yang menampakkan visualisasi tubuh yang takkan kau kenali lagi bila bertemu di penghujung waktu tak terkira.
Dada ini telah mekar melebihi mawar, dengan puting-putingnya yang padat mengencang dan membusur di antara gua-gua menganga. Senyum malu-malu itu telah lama pergi dari barisan karakter yang kau kira abadi, melengkingkan nyanyian-nyanyian mesum yang biasa kau nikmati dari bibir-bibir selain bibir ini. Datanglah kemari dan akan kau lihat, sepasang kaki putih yang selalu terbuka dan tiada jeritan penghalang yang dulu membuat kau bersumpah atas nama Tuhan untuk tidak memasukinya. Kita tidak akan lagi menyebut nama itu, karena yang transenden tinggal segala kepekaan dari kemurnian cinta dan rindu. Di gurun juga pada oasenya, kau bahkan takkan menemukan lagi secara konkret, atau mungkin juga sekedar tingkatan abstraksi.
Pada akhirnya aku tahu, dan mengerti, apa yang terjadi seputar transendental kebebasan itu berpuluh-puluh ribu abad yang lalu, dalam gelora relijius bersama, sensualitas dari bunga-bunga perawan yang dikuak secara massal atas nama Tuhan dan kenikmatan, sekarang pun menjadi substansi yang melebihi morfin di setiap sel-sel pikiranku, membebaskan substansi lain yang mengandung namamu.
Tangis dan keperihan yang mengalir di setiap adukan peristiwa, putus sambung, membeku mencair, meledak menghampar dan secara alamiah menemui titik evolusinya sebagai lautan baru yang setiap orang tak menginginkannya sebagai teori terpercaya di dunia kesadaran. Apakah aku telah berlari dari realitas kesadaranku, jiwa-jiwa ini berlayar di lautan yang telah terbentuk itu, mengembara mencari penyatuannya-yang kau, Tuhan, dan aku, mungkin tak mengenali sebagai sesuatu yang dimiliki.
Ia akan terhempas keras. Ia, Tuhan, dan mungkin juga nuranimu (bila kau masih merasakan eksistensi nurani), kalian menggeliat dalam tangisan seperti tinta-tinta secara tertata merangkai gelombang perasaan dan logika yang bermetamorfosa. Mengapa, mengapa? Kau akan bertanya, seperti semula aku bertanya. Mengapa mesti berada di rangkaian ini-mungkin Tuhan pun akan melihat kembali ke dalam catatannya, namun suratan-suratan itu telah putih kosong terhapus air mata. Takkan ada lagi yang tertinggal kecuali yang tertera di kehidupan itu sendiri, di roda-roda yang berputar melewati gelap dan terang, atau diam seperti matahari diam-diam mengintip bulan.
Pesonaku tak terbayar kebebasan itu sendiri, tapi setidaknya aku tahu jejak-jejak langkah yang tak tertempuh rasa kemanusiaan di dalam cadar-cadar penghormatan cahaya. Wajahku segelap cadar hitam, melindungi keabadian tertinggi rasa asing yang tak ingin menjamahnya atas nama cinta dan kebersamaan surgawi. Jiwaku terlelap dalam kedamaian yang tersembunyi pada sampah-sampah di setiap sela kebusukan, debu-debu di balik kain, dan sobekan-sobekan kecil penderitaan bersalah. Sedikit saja aku menggeliat, angin menghampar yang ada sebagaimana apa adanya-dunia dan orang-orang di balik kesalehannya.
Di sinilah di antara percik-percik cahaya, aku kadang-kadang terbangun sebagai gelap yang berlekuk, memberi panorama keindahan pada terang yang membentang dan menunggu warna-warni noda keabadian. Tak seabadi sejarah yang selalu berulang tahun. Silih bergantinya diri ini, takkan terhapus kenangan mereka yang menatapnya.


























Majalah Syir’ah, Oktober 2003
















Tak sembarang guntur membelah awan. Kala menelusur mendung, ia takkan lupa memagut pucuk pohon. Hingga daun-daun merah terbakar, dan batang raksasa yang tegar menjulang angkasa tumbang. Ia menang? Tidak, karena ia tidak mencari kemenangan. Ia hanya sekedar membahanakan prolog cuaca atau bahkan hara. Supaya setiap jendela tahu, sebentar lagi langit mencurahkan deras air atau salju atau es. Ia pinjam nyawa cemara, kadang randu juga beringin. Tapi ia tak pernah mengorbankan rerumputan.
Ia tak pernah mengorbankan rerumputan. Tidak seperti dirimu, yang mengawali segalanya dengan keharuman mawar cinta namun tiba-tiba menghempas setiap janji hingga jauh ke dasar lembah biru. Aku terkoyak bukan saja sebagai bunga yang layu, gugur di tanah yang basah terperciki bekas gerimismu di waktu lalu.
“Dapatkah kita saling berbicara tentang cinta dan masa depan?” Selalu begitu pertanyaanku. Mula-mula kau menjawab dengan manis, membuaiku dalam harapan, hingga aku tak memunyai tenaga lagi untuk bangkit dan berlari dari kemesraanmu. Kemudian kebimbangan menyisip dalam kata-katamu, namun aku telanjur lelap dalam pelukan mimpi-mimpi. Dan akhirnya kau bangunkan aku dengan hentakan suara yang menyambar-nyambar bulu kuduk, membuatku merasa terperangkap ancaman tapi hatiku lebih tak berdaya dari embun yang terlalap api.
Sesungguhnya aku terbakar dan menjadi bara oleh pesona cintaku sendiri. Tiada lagi yang lain membawaku pada kesadaran antara benar dan salah. Aku memilih jalan ini, lengkap dengan air mata. Aku coba menciptakannya sebagai telaga yang meneduhkan hatimu, ternyata kau menjawabnya dengan kepahitan karena kau merasa telah memiliki laut biru yang luas dan pertama menyentuh hidup.
“Aku tak berarti apa-apa.” Kesedihan terus-menerus mengantarkan kalimat penyesalan di kala seharusnya aku tersenyum padamu.
“Seharusnya kau tabah.” Kau menusukkan jawaban ke sendi-sendi keputus-asaanku. Membuatku meringis pedih sepanjang bulan melewati awan. Kemesraan tak lagi tercipta karena air mataku tak lagi bening dan kau pun enggan mengusapnya. Ranjang kita tak lagi basah oleh kerinduan, bahkan tatapan hanya bertemu dengan kebisuan.
“Kau tak mencintai aku…”
“Aku sudah menikahimu, walaupun diam-diam.”
“Tapi kau tak mencintaiku…”
Demikianlah telaga hatiku bergejolak. Tetapi tak mampu menggapai keangkuhanmu. Dinginmu tetap saja membalut.
“Aku tak mempermainkanmu, bukan?”
“Tapi kau tak mencintaiku… Kau hanya mencintainya.”
Dan diam yang turut disembunyikan matamu merobek-robek perasaanku. Segalanya yang terpampang di hadapan termasuk bayanganmu pecah-belah. Seperti tak utuhnya dirimu yang membuka dua pintu cinta tapi salah satunya kau tutup kembali. Terkurunglah aku di sana. Di ketidak-adilan cintamu.
Aku mengurung sepanjang pagi, menguliti kesedihan dan kesepian yang tak nampak di balik keanggunan. Hingga kadang perasaan hatiku mendesakkan kaki melangkah ke tengah kota agar dapat menikmati sentuhan hangat matahari dan kulihat kerlingan petir yang merah api seolah-olah ia menghampiri gaun panjangku. Di sanalah kita bertemu mata meski tak saling menyapa, karena aku hanya terdiam dalam keterpesonaan yang tiada kau tahu. Aku melihat kepadamu, kepada keangkuhan dan kewibawaan menyatu seperti pancaran sinar pandang harimau belantara nan tampan.
Kenang-kenangan itu kini tergeletak di sudut kamar yang kusam. Potretmu berdebu karena dari hari ke hari cemburu membadai. Kadang-kadang gelombang yang memporak-porandakan akal pikirku hampir mengantar pada lautmu yang biru, yang memiliki desiran manis bidadari dan aku berharap bisa menghantamnya.
Suatu kali keinginanku tak terlerai hangatnya senja. Perempuan itu menunggumu di ambang pintu seperti seorang tua menanti malam. Kau melaluinya dengan senyum yang mengambang sehingga aku merasa sedang menonton adegan sepasang kakek-nenek yang menghampiri peti-peti mati dalam drama Dag Dig Dug Putu Wijaya. Kalian menghilang dalam kehampaan. Aku termangu sebagai gadis kecil dungu yang kehilangan gula-gula, lalu ingin menjerit dan berlari ke dalam memanggilmu, “Kakek!” Apakah kau akan menganggapku gadis kecil?
Aku mengetuk pintu ragu-ragu. Sebagai siapakah aku mengetuk pintu rumahmu dan rumahnya? Kaukah yang akan membukakan pintu, atau dia?
Senyum itu tak seramah matanya. “Mau minum kopi denganku? Suamiku tak biasa menerima tamu perempuan.”
Aku tersenyum dan tiba-tiba menjadi seorang aktris karena wanita tua yang anggun ini mengekspresikan dirinya lebih gagah dari prajurit Napoleon Bonaparte. Apa yang barusan dia katakan sama sekali bohong bagiku, suaminya amat sangat biasa berteman dengan perempuan dan siapa pun tahu dia lebih muda dari Tom Hanks.
Ya, kenyataannya di rumah ini laki-laki itu yang potretnya ada dalam kehidupan asmaraku, tak lebih kakek tua yang menghitung hari. Hanya tatapan dinginnya yang masih kuakrabi. Ia tenang dalam kepasrahan melihatku bercakap ria dengan perempuan yang namanya selalu menghanguskan getar rinduku. Aku menyaru dengan bagus sebagai gadis muda pencari kerja di sekitar perumahan ini. Tentu saja si perkasa segera memasang tameng dengan mengatakan sayang sekali ia tak bisa membantu dan kopi itu dimintanya cepat kuteguk habis karena mereka akan pergi ke sebuah pesta. Aku merasa senyum yang kupamitkan padamu lebih pahit dari bubuk kopi arabica.
Kembali ke kamar kita, aku tak menemukan siapa-siapa kecuali diriku sendiri bersama potretmu yang tak kukenal lagi. Kau telah menjadi bingkai usang yang tak bisa kugapai. Rasa asing itu menyergap terlalu cepat sampai-sampai aku gagal mempersiapkan diri untuk tidak terpuruk dalam penyesalan. Segala kekuatan musnah terseret bayanganmu yang kian jauh dari mimpi-mimpiku. Mataku membuka dan bertemu dengan kebekuan. Lelah yang panjang dan menyedihkan. Aku tak pernah punya siapa-siapa. Ikatan di jemari kita tak lebih sepasang cincin yang terbawa dari mimpi, lihatlah, ia kosong. Tak ada namamu dan cintamu. Yang ada hanya goresan kenangan yang aku tak tahu harus membuangnya ke mana.
Dan telepon tak berdering lagi. Suaramu hilang ditelan gemuruh suara tangisku yang tak kunjung surut diterpa kabut. Selimutku bagai kafan yang membungkusi tubuh tak bernyawa. Aku kini hanyalah mayat yang bergerak oleh kepedihan jiwa sekarat tak tertolong apa pun. Seandainya Tuhanku tahu penderitaan batinku mungkin tak mempedulikan karena cintaku selama ini berbagi tak rata untukmu. Seperti keterasinganku padamu sekarang ini, Tuhan telah enggan membelai wajahku. Ia tak menyukai senyumku lagi. Senyum yang, barangkali palsu. Ibadahku terkontaminasi penyembahan rasa cintaku padamu. Tetapi apakah aku bersalah memilikimu? Perempuan itu bukan Tuhan, sehingga tak seharusnya ia berotoritas memilikimu sendirian. Dan bukankah Tuhan telah mengizinkan dirimu sang laki-laki untuk menikahi dua, tiga, empat perempuan? Apakah aku bersalah menjadi yang kedua?
Kau lah yang bersalah! Kau mengambang dalam kebimbangan, membiarkan diriku larut dalam pertanyaan dan perempuan itu… apakah ia lebih bahagia dari diriku atau terjebak mempertahankanmu? Dan sayup-sayup kudengar Chrisye memasuki ruang kalbuku yang sesak.
Musim berlalu, resah menanti.
Matahari pagi bersinar gelisah.
Kini… semua bukan milikku.
Musim itu telah berlalu.
Matahari segera berganti.
Di mana kau timbun daun yang layu?
Makin gelisah aku menanti
Matahari dalam pipa kabut pagi.
Sampai kapankah aku harus menanti,
awan yang hilang tenggelam dalam dekapan,
daun yang layu berguguran di pangkuan.
Kapan badai pasti berlalu,
resah aku menunggu.
Kapan badai pasti berlalu?
Badai pasti berlalu.”
Batinku mengalun, melayang dalam kepedihan. Dilema poligami ini tak terbayangkan sebelumnya akan mendera kenyamanan cintaku padamu. Pengertian yang begitu dalam perlahan-lahan hanyut oleh badai cemburu itu. Bagaimanakah badai pasti berlalu seperti dalam alunan Matahari Chrisye, bila semuanya terasa benar-benar bukan milikku. Kau bukan milikku. Cintamu bukan milikku. Di setiap rentangan tanganmu tak pernah tersebut namaku sehingga dunia hanya mengenal dia.
Tapi mungkin ini bukan kesalahanmu. Seharusnya aku jangan lupa bahwa kau bukan Nabi Muhammad. Kau adalah seorang laki-laki yang memiliki gelora sepanjang usia berdiri dalam kesempatan. Dan aku adalah gadis pencuri yang malang. Aku mengira curian ini adalah delima yang mengantar pada surga, padahal aku takkan pernah sampai ke sana karena gelombang teramat ganas. Dan aku sendiri yang menciptakan badai. Setiap kali menjerit memanggilmu yang terjadi justru terhempas jauh seolah-olah kau telah menjelma menjadi ombak yang menyeretku ke pantai lalu kau sendiri kembali lagi ke lautan. Kita tak pernah bersama menghampiri tujuan. Aku tetap di pantai dan kau selalu kembali ke laut. Menggodaku dan menghempasku.
Bagaimanakah aku harus menghampiri lautmu, Tuan? Aku telah menyaksikan matanya dan senyumnya. Di sana tak ada gua untukku berlindung dari badai. Dan kau, seperti biasa dengan gayamu yang dingin dan angkuh hanya menatapku sebagai camar yang gelisah. Kau tak berusaha menggapaiku untuk turut bersama dalam pelukan lautmu yang biru itu. Mungkin kau telah memutuskan untuk abadi bersamanya. Tapi mengapakah tak memikirkan aku? Tak mengertikah di sini aku sendirian tersiksa dahaga sapamu yang berisikan kasih sayang?
Mungkin kau menikahiku hanya sebagai gadis pencuri, bukan perempuan. Kau merasa tak perlu memberikan tetes sejuk yang sama bening dan harumnya pada si malang ini. Kau membiarkan sejarahku akan tercatat dengan dengan tinta yang hitamnya dari lumpur paling busuk di bumi. Dunia akan mengubur air mataku dengan kehinaan yang tiada habisnya direguk anak-anak kita. Oh ya, kau tak memberiku anak, aku lupa. Kau tak ingin aku mengandungnya atas namamu. Oh kau….
Kemanakah aku harus pulang, Tuan? Telepon tak berdering lagi dan aku kian terpuruk bersama potretmu yang lusuh. Tubuhku mati kehilangan sentuhanmu yang biasanya lebih panas dari bara. Jiwaku beku setelah badai ini menghempas terlalu jauh ke kutub selatan. Bila suatu senja kau kembali ke kamar ini kau akan menemukanku telah berubah wujud menjadi boneka salju yang paling jelek sepanjang abad. Pasti kau akan tertawa geli lalu menutup pintu dan cepat-cepat membawa mobilmu pulang. Kepada istrimu dan teman-temanmu kau bercerita dengan perasaan geli bahwa kau baru saja ketemu boneka salju yang paling jelek dan tak laku dijual pemulung. Kemudian esoknya kau mengirim bunga duka cita di depan pintu kamarku.
Oh Tuhan, aku tenggelam dalam kecengengan seorang pencuri. Aku membunuh keperempuananku sendiri. Hanya karena cinta yang kehilangan makna. Seolah hakekat kemanusiaanku berhenti di sana. Padahal aku juga punya tangan dan kaki untuk berkemas ke jalan lain menuju mataharimu. Menghampiri pagimu yang tak tersapu kelabu dan burung-burung riang menyambut lembar-lembar baru nafasnya. Melupakan kemarin ada nyawa ibu yang melayang di genggaman pemburu dan pagi ini pun selalu ada senapan menanti. Ya, selalu ada senapan menanti dan aku akan tetap berjalan. Bersama bintang raksasa yang akan mengeringkan lukaku.
















Majalah Sastra Horison, Juni 2003





















Sajak-sajak cinta pergi dan berlalu dari jendela kamarku. Tapi aku masih tak tahu apa sesungguhnya cinta itu. Ketika kau datang membawakan bunga, aku kira itulah cinta. Ternyata salah. Kau hanya bermaksud menitipkan sekuntum mawar yang terjatuh dari sepeda seorang penjual bunga yang lewat di depanmu. Dan kala kau lihat mawar putih itu membuatku bertambah jelita, kau mengatakan—tanpa rasa sungkan—kau ingin mengambilnya kembali untuk istrimu tercinta.
Oh. Kadang-kadang aku berpikir jendela kamar ini harusnya ditebali debu merah agar kecantikanku tak terlihat orang-orang yang melintas di depannya. Agar orang-orang yang penuh senyum itu tak mampir menghampiri jendela ini seraya mengulurkan sesuatu yang mengembangkan hatiku. Setiap kali ada seseorang yang datang mengulurkan tangannya untuk mengusap pipiku yang basah, aku mengiranya sebagai seseorang yang datang menyelamatkan aku. Ternyata salah. Kau hanya bermaksud menyampaikan sebuah prosa yang inspirasinya kau lihat dari lukisan tubuh pelacur dalam mimpi bercintamu. Dan kala kau lihat mataku berpijar karena prosamu, kau mengatakan—dengan sangat yakin—kau baru saja menemukan aktris film berbakat.
Oh. Aku sangat kesepian. Berabad-abad aku hidup di balik jendela ini tanpa sebuah pemahaman melakukan apa atau menunggu siapa. Sama seperti Roro Jonggrang yang berdiri di pucuk candi, aku pun mengabadikan diri diam menatap jendela. Nasibku bahkan mungkin tak lebih bagus dari boneka-boneka bidadari yang tersenyum di dalam etalase. Mereka tidak menunggu jarum jam berjuta kali melewati angka-angka yang sama. Ada banyak tangan yang dengan lembut disertai berbagai pujian kekaguman siap mengorbankan dirinya untuk mengambil dan memiliki mereka. Sedang kepadaku orang-orang yang tersenyum itu hanya menjenguk sebentar lalu berlalu tanpa menoleh lagi. Padahal mataku senantiasa berpijar!
Aku cinta! Aku ingin cinta…
Oh, tidak adakah yang mendengar aku berteriak tentang cinta? Tidak adakah yang melihat aku seperti Juliet—bukan Pinokio?
Apakah aku mencintaimu? Aku mencintaimu. Ya. Mungkin itu salah. Mungkin…
Tidak. Aku mencintaimu. Walau aku tidak mengerti benar-benarkah aku mencintaimu. Tapi aku yakin, yakin sekali, sesuatu yang hidup di dalam raga ini adalah cinta. Cinta untukmu, karena seluruh perasaanku tertuju padamu. Seluruh mimpiku, keinginanku, kebutuhanku, tangis tawaku, sajak dan doaku…..
Kau mencintaiku, aku percaya. Kau tak seperti kau-kau yang lain, yang mampir ke jendela ini hanya untuk menikmati pijar mataku beberapa menit sebelum pergi. Kau bahkan datang tidak ketika aku menatap jendela. Kau menghampiri jendela ini ketika debu merah menutupinya dan aku terpaksa menyanyikan elegi keras-keras supaya ada yang mengetahui keberadaanku di sini. Dan ternyata kaulah seseorang yang mengetahuinya. Kau mengelap debu merah hingga jendelaku kembali bening. Bukan itu saja, kau bahkan membuka jendela yang selalu kututup rapat, melompatinya dan… tiba-tiba kita sudah bergenggaman tangan dan aku berjanji meletakkanmu di pagi siang senja malamku, di gelap dan terangku, di mimpi dan ilusiku, di kepalaku dan di kepala setiap orang yang nanti bertemu denganku.
Aku menulis sajak jelek—katamu, tapi itulah yang membuat kisah kita menjadi indah—kataku. Kau membantuku melahirkan sajak-sajak jelek, tapi justru dengan begitu aku merasakan sesuatu yang lebih indah mengalir dalam darah ini. Setiap aku merindukan kehadiranmu, kau—ternyata sama dengan kau yang lain—tak dapat kulihat di jendela. Tapi kata angin kau sedang menungguku di pantai. Aku harus belajar terbang sebagaimana merpati putih berani melintasi awan-awan putih untuk menjemput kekasihnya. Jika aku terus bersembunyi di balik jendela, aku akan kehilanganmu selamanya. Setidaknya, saranmu, aku perlu berani mengembarakan kepalaku ke hadapanmu agar kita bisa berciuman. Ou, berciuman. Aku sering mengkhayalkan itu. Rasanya pasti nikmat sekali. Tetapi bukankah itu dosa?
Akhirnya kita sampai pada pertemuan angin malam. Di antara rasa takut, hening dan dingin aku menyatukan diri denganmu. Kata-kata berbisik dalam gelora. Pesona cahaya yang biasanya berpijar di mataku redup, meninggalkan tetes-tetes embun yang berubah hangat, pergi ke dunia yang lain. Aku memasuki ruang jiwa yang selama ini tertutupi salju. Ditemani irama dan hentakan cintamu, aku resah dan berterimakasih, kau menghidupkan seseorang pada kegadisannya. Juga pada kepercayaan diri dan kemauan. Kapankah akan terulang?
Aku belajar menjadikan jendela sebagai cermin. Setiap pagi aku membukanya berharap-harap merpati mengabarkan kisah kasih rindumu. Lagu-lagu cinta mengalun dari lidahku yang berisi kenangan. Oh, cinta. Cinta. Aku butuh cintamu. Sebagai matahari yang menyapu hangat basah pipiku dan sayap-sayap menerbangkanku di puncak pegunungan dimana kita bisa melihat seluruh keindahan dunia. Tapi aku tak mengerti mengapa kau tak pernah datang. Tak pernah lagi melihat sajak-sajak jelekku. Sampai sajak-sajak jelek itu kucabik-cabik lalu kutanam di pot-pot gantung dekat jendelaku. Sepanjang hari aku tak lagi diam seperti para boneka—seperti dulu. Aku risau oleh rindu pertemuan malam itu, mengapa angin tak lagi menghampiri tidurku? Aku lari bolak-balik di jalan depan jendela dan bila lelah tertidur di teras atau di hamparan rumput. Aku mendamba kala kelopak mataku terbuka kau sedang duduk di hadapanku seraya membawakan senyum dan setangkup rayu. Rasa mencintaimu menciptakan kedalaman yang nyaris sama dengan sumur zam-zam. Aku menimba air segar dari dalamnya yang mungkin juga bercampur lumpur, kusiramkan pada pot-pot gantung berisi sajak-sajak jelek itu. Sekarang ini demikianlah kegiatan itu membuatku semakin lupa pada kesunyian. Luka kehilanganmu memanggil obsesi perjuangan dalam diriku. Dan aku semakin berasumsi itulah cinta. Aku semakin mencintaimu, benar-benar mencintaimu tanpa kata mungkin.
Lama kemudian pot-pot gantung itu berbunga kertas dengan warna-warni yang cerah dan enak dipandang. Aku melihat mahkotanya yang lebar-lebar berisi tulisan tanganku. Tulisan sajak!
Aku memetik yang berwarna ungu.
“Sepasang kelinci memejamkan kelopak bunga matahari. Senja mengarak badai dalam kidung perpisahan dua hati. Kuda-kuda liar membunuh diri di tepi air terjun, tempat kau mencurahkan air mata.”
Oh. Apakah sajak ini pernah aku tulis sebelumnya? Sekuntum bunga kertas berwarna merah jambu berisi rangkaian huruf emas nampak indah sekali.
“Berserakan sajak-sajak. Angin meniup, menggulung lalu menyimpannya dalam prahara. Setinggi gelombang, berpasanglah sajak-sajak menggapai bulan merah. Jatuh ke pangkuan seorang gadis, di tepi jendela. Menjadi debu-debu merah. Menjadi daun biru. Menjadi surya hitam. Sebersit bayangan menari menjelmakan pahlawan, bunga pun melayang terhanyut hujan.
Matamu menciptakan hujan dalam kebisuan yang mencekam. Menatap elegi dan klasik romansa. Apa warnanya kau lah yang tahu namun mengapakah kau terhempas sendiri?”
Air mataku mengalir sepanjang daun-daun. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi di dalam jiwa. Hanya sempat kurasakan perlahan-lahan kedua tanganku membentang hendak menggapai matahari. Oh, matahari. Bakarlah gelora cinta dalam diriku. Bakarlah hingga mengabu dan tertiup angin Desember. Aku sekian lama menanggungkan siksaan kesunyian. Setiap yang datang kembali pergi dan aku sendiri lagi. Dimanakah kekasihku yang akan menjadi pelita langkahku. Aku tak pernah memiliki siapa-siapa kecuali pengalaman cinta di malam itu bersama kekasih yang misterius.
Luka ini telah mengoyak batinku, membawaku mengembara, tak lagi tinggal di balik jendela. Aku tak tahu berjalan ke mana, dunia teramat ramai, tak seperti dalam ilusi-ilusiku yang hidup bertahun-tahun. Di sepanjang jalan aku melihat banyak perempuan—seperti Barbie yang cantik jelita. Pipi mereka bagai mawar merah yang merekah diciumi kumbang-kumbang dan mata mereka menyala-nyala penuh gelora yang tak kunjung pudar. Mereka bergegas dan bercengkrama. Memakai baju-baju yang tak sama denganku. Mereka memakai sepatu-sepatu cantik namun tak persis Cinderella.
Pria-pria bagai para prajurit dan pangeran, bergerak ke sana ke mari dan selalu sempat menggoda perempuan-perempuan yang nampak bagai bidadari. Tapi tak seorang pun melihat padaku.
Aku mencari kekasihku yang misterius di antara para lelaki di sepanjang jalan. Mereka tak ingin memandangku apalagi memberikan senyumnya. Dan bila bibirku hendak terbuka menanyakan sesuatu, pria-pria itu segera berlalu atau masuk ke dalam kendaraan. Tak seorang pun melihat padaku.
Lelah mulai merayap di tubuhku yang belum terisi makanan. Aku duduk di tepi sebuah jalan penuh pepohonan seraya memandangi awan gelap. Oh, betapa aku ingin terbang ke sana membaringkan tubuhku yang lunglai tak berdaya. Bila saja aku berada di sana mungkin akan dengan mudah menemukan kekasihku yang hilang. Akan aku panggil dia dengan semangat rindu yang berintik-rintik. Kuulurkan puisi-puisiku tentang cinta, sesungguh-sungguhnya mencintaimu yang telah membawaku pergi jauh dari balik jendela.
Hingga hujan memandikan tubuhku yang tegar di tepi jalan dan petir menyambar-nyambar aku masih setia menunggu kehadiranmu. Kuambil kenangan malam itu meyelimuti diriku dari basah dan dingin. Kupikir apa yang kulakukan belum seberapa dengan kerelaan mati Juliet demi Romeo. Tetapi mengapakah kau tak seperti Romeo? Kau seolah tak ingat lagi untuk membawaku dalam kemesraan cinta. Ataukah kau telah menemukan bidadari yang lain? Kau melupakan seseorang yang sangat mencintaimu melebihi ilusi-ilusinya sehingga ia melangkahkan kaki untuk melihat dunia yang amat sangat asing. Dunia di mana aku tak bisa menemukan jendela untuk melihat keindahan alam. Hanya orang-orang bergerak bagai kupu-kupu dan burung-burung tanpa mengetahui adanya sesuatu di balik gemuruh. Kesepian. Ataukah mereka itulah mahluk-mahluk kesepian sebenarnya? Mereka bergerak ke sana ke mari seolah langkah tak pernah bertemu tujuan.
Dan hujan semakin deras, bersama air mata mengalir di pipi. Suaranya terdengar merdu seperti petikan gitar kekasihku kala dulu kami bertemu menyanyikan lagu cinta. Dadaku pecah oleh desakan rindu. Aku mulai menari. Mencari bayang-bayang kekasihku yang tak kunjung menjelma. Kesedihan berkecamuk dalam badai tarianku... Aku bukan hanya tak bisa menjumpai kekasih yang kunanti tapi juga kehilangan lukisan-lukisan wajahnya dalam alam pikirku.
Oh! Aku kacau-balau. Aku tak bisa melihat apa-apa lagi dengan jelas. Aku tak mengerti ada apa dengan dunia. Aku tak tahu lagi apa yang kuinginkan. Aku mendengar suara-suara. Suara-suara yang mengucapkan selamat tinggal. Lalu aku melihat wajahmu muncul di antara tirai hujan, menatapku tajam tetapi kosong. Aku ulurkan tanganku menyentuhmu. Aku ingin membelai basah yang menyelimuti wajahmu. Dan aku ingin… sebuah ciuman, yang membantu kita lupa akan dinginnya hujan. Tapi kau diam tak bergeming. Pucat, dan akhirnya memudar. Kau berubah menjadi kabut putih yang membuatku menggigil. Oh, kabut, kau, kau hanya kabut? Aku menganga tak mengerti bagaimana ini terjadi. Kau tak mengucapkan selamat tinggal tapi kau menghilang, hanya tinggal sebagai kabut yang menusuk-nusuk wajahku semakin dingin. Dan kala mataku membelalak pada alam sekitar, semua keperihan terasa nyata. Aku tak lebih bagai kembang sepatu yang jatuh dari tangkainya untuk berada di tepian jalan, menunggu kaki-kaki menginjak tanpa rasa. Aku tak kehilangan mahkota, tapi aku hancur dan layu.
Tubuhku terseret-seret oleh tangan-tangan tanpa cinta. Aku tak pernah memberontak. Aku menikmati setiap sentuhan, entah itu tajam menggores luka ataukah halus menebar racun. Dan aku pasrah mencintainya. Mencintaimu, yang kembali sebagai kabut. Apakah kau akan menyelimutiku dengan dingin yang abadi dan aku tanpa daya menerimanya penuh haru? Hingga tinggal tangisan yang tetap meleleh tak berhenti. Tangisan apa? Hujan. Dan hanya aku yang duduk setia dibawahnya.
Oh betapa kasihan, kau seperti juga orang-orang di dunia luar sana sesungguhnya hanya penderita kesunyian abadi. Karena segalanya termasuk cinta hanya kau nikmati dalam sandiwara hidup yang harus kau mainkan.















Republika, 17 April 2005















Ia mencintai bayang-bayang. Di setiap sudut kegelapan, auranya bernyanyi melantunkan kesedihan. Air matanya pergi mengalir ke celah-celah batu dan patahan kayu ranting yang berguguran. Kepada angin ia bercerita. Kepada sunyi ia bercerita. Kepada ombak ia bercerita. Kepada dunia ia bercerita. Tentang langit yang ingin menyatu di telapak tangannya.
1945.
1948.
Ia menghitung dengan jari-jarinya yang hitam dan retak, hingga angka-angka terasa bagai gasing memutari kepalanya. Masih tak diperolehnya jawaban, tahun berapakah ini? Mukanya yang gelap, tertutupi gerai rambut, terdengar mengurai air mata. Tetapi tak ada tetes yang jatuh. Ia hanya terduduk menangis. Mencoba dan mencoba lagi menghitung.
Sekejap bayangan ombak berusaha menggapai awan, ia mengangkat tangan di atas matanya seolah kesilauan memandang angkasa. Laut hilang! Tiba-tiba ia menyadari hal itu. Ia yakin ada laut di sana tadi, tetapi mengapa kini tak ada?
Dinding hitam tinggi menjulang bergerak meliuk melahap tubuhnya. Menggulung-gulung. Jauh ke dalam lingkaran. Lalu meretas seperti benang tercerabut dari jarum. Damai mengikuti alur jelujur, menyelisik setiap lekukan. Padat bergelombang, dan kadang-kadang tipis seperti dataran kolam ikan. Ayunan-ayunan berkecepatan tinggi, berputar-putar diiringi nyanyian petir dan air, sedih dan marah, menghempas dan memeluk. Jiwanya basah. Lepas. Berenang seperti embun di pusaran air. Terkadang menjelma buih putih yang mendaki dan surut merayap menyatu dalam suara angin. Memutari dunia. Melihat hamparan-hamparan kenangan membentuk permadani peristiwa.
Sebuah lukisan biru bergerak kemalu-maluan di bawah cahaya matahari dari balik bukit-bukit dan hutan-hutan perawan berjajar harum menyegarkan. Jalan tanah yang retak dan berkerikil, redam dalam kelengangan tiba-tiba menguapkan kesesakan. Rakyat Aceh dari berbagai penjuru berlari mengelilingi iringan mobil kenegaraan yang berhenti tiba-tiba. Nampak ayah bergabung dalam kerumunan namun kemudian kembali ke rumah sambil berteriak memanggil gadis kecilnya dan menyuruhnya mengambilkan gelas karena Sang Presiden ingin minum air matang dingin sebelum berpidato, sementara seorang polisi negara yang kebetulan lewat hanya membawa veldvles bekal minumnya.
Ia segera bergegas dengan riang gembira membawa sebuah gelas bersih. Matanya mengintip pada cercah senyum wajah itu yang kini mengarah kepada dirinya. Ia beringsut dengan wajah memerah dan gugup, memilin-milin kerudungnya hingga melayang terjatuh ke tanah. Wajahnya semakin merah. Tanpa sepatah kata, diserahkannya gelas kosong itu pada ayah dengan mata mencoba bersembunyi.....
1953.
Kelopak-kelopak malam merekah dalam gemerisik kesunyian. Di kerumunan angin yang melengking, suara-suara berpendar dalam kegelapan, mengaliri arus mimpi yang berdesir. Menjulur ke pantai, berlari memasuki hutan-hutan dan berdesahan napas di rerimbunan semak. Ia terengah-engah, mengusap keringat di wajahnya. Sinar bulan jatuh melalui celah ke tengah telapak tangan yang basah. Basahan itu berwarna darah. Matanya membeliak. Meraba seluruh basah yang mengaliri tubuh. Pakaiannya koyak-koyak dalam linangan darah pekat dan segar. Rasa perih merobek-robek pipi, dan kemaluan. Ia terengah-engah. Terus terengah-engah. Tak mampu mengusung jeritan. Lantas tersentak dan membuka mata. Gelap. Namun dirasakannya hamparan nyaman kain ranjang dan selimut sarung. Rasa aman kembali mengalun di dunia yang meninggalkan khayalinya. Lambat dan demikian perlahan labirinnya termasuki suara-suara nyata. Suara ayah, dan beberapa pria, penuh amarah dengan nada yang ditekan-tekan karena khawatir tertampung belahan malam. Setiap kata yang bergulir seperti mainan ombak di waktu subuh, mendesak dan menghilang. Ia mendengar seseorang sedikit berteriak tentang Dakota, hingga dibenaknya terlintas bayangan pesawat itu suatu masa melintasi awan-awan di atas rumahnya, dan Presiden yang tampan itu melambai-lambaikan tangan kepadanya. Namun khayalan itu cepat terlerai lengking amarah salah seorang hingga suasana sedikit riuh karena yang lainnya berusaha menyuruhnya menurunkan intonasi. Orang itu terus berteriak-teriak, hingga ayah terpaksa membentaknya, dan masing-masing bertengkar dengan kata-kata yang jelas terdengar. Lalu seseorang mendiamkan atas nama Yang Mulia Beureuh. Suasana menghilang, kembali dominasi hembusan sepoi-sepoi dan bisik-bisik pepohonan. Ia pun mulai menguap dan membaringkan geliat kantuk. Udara dingin merayapi selimut, membuat kedua kakinya menekuk rapat sebatas dada, dan kedua lengannya saling memeluk rapat. Pasangan-pasangan bulu mata jatuh bersentuhan hampir memagut, ketika, sebuah sentakan kaki menggetarkan lantai papan, dengan suaranya yang tertekan penuh amarah mengikrarkan pembunuhan. Ia terlompat. Bangun. Dan tak ingin terpejam lagi.
Mereka akan membunuh—membunuh siapa? Bukankah ayah seorang alim? Juga teman-temannya? Jiwa remajanya, yang terkungkung tradisi, perlahan mengepak-ngepak sayap di gelimang resah, menanti-nanti rasa tahu melepuhkan rahasia. Ia tidak buta, tentu saja, bahwa perang pecah lagi di tanah pijaknya, bukan dengan kaum asing, melainkan dengan sesama bangsa Melayu, Indonesia Raya, yang baru membebaskan napas dari cengkraman kolonial bangsa sipit dan bule. Tetapi ia, seperti juga mungkin teman-teman remaja lain, berusaha meninggalkan kepahitan-kepahitan yang tersisa, dengan uraian angan-angan masa depan bercahaya. Sejak Presiden Jawa yang tampan itu memasuki desanya, ia mulai tenggelam dalam lamunan-lamunan yang jauh. Dan dari obrolan-obrolan ayah dengan para tamunya di setiap petang ia mengetahui sedikit-sedikit tentang perkembangan negeri. Kesulitan-kesulitan pemerintah dalam membangun perekonomian pasca penjajahan, dan pemberontakan-pemberontakan yang menjalar di Maluku, Sulawesi, Jawa Barat, Madiun, dan akhirnya—buminya sendiri di bawah wibawa Gubernur Tengku Daud Beureuh. Tetapi ia tak pernah menyangka, dan hingga kini tak ingin percaya, bahwa ayah ternyata ada dalam bagian itu. Turut memecah gelas menjadi beling. Lantas jantung siapakah yang akan mereka hunjam dengan pecahan tajam itu?
Serasa dadanyalah yang berdarah tertikam kaca gelas yang pernah diulurnya dengan gemetar dan malu-malu. Ia ingin berbaring dan kembali bermimpi, melarikan kenyataan-kenyataan yang berpencaran penuh murka, ke sisi gelap ketenangan. Tetapi kata itu—pembunuhan—menombak kesadarannya tepat di atas pasir panas yang membuat geloranya menggeliat tanpa ronta.
Ia kenang wajah itu dalam beribu untai kata yang tak tertulis. Ketika teman-temannya membanggakan perhiasan-perhiasannya masuk sumbangan pembelian pesawat Seulawah, dan dengan demikian mereka merasa seolah-olah memiliki pesawat itu dengan memanggil namanya yang terdengar modern, Dakota, ia diam menyimpan aksara yang diejanya dalam hati. Setiap hari, hatinya tertulis rindu dan harapan akan berlari kembali, menghampiri wajah itu dan mengulurkan rangkaian-rangkaian puisi yang terjalin di antara kertas-kertas sejarah. Ia ingin, camkannya dalam kalbu, suatu hari menikmati kesempatan seperti gadis-gadis Yogya yang Tuan Presiden berikan kursus politik. Mengetahui dengan cerdas tentang dunia yang selama ini tertutup jendela adat. Dan berbicara satu sama lain, tanpa saling membedakan derajat kedudukan. Di luar gemerlap itu, yang paling sederhana, ia mengharap, sedikitnya dirinya bisa membaca dan menulis huruf latin. Menulis di atas kertas terang dengan tinta-tinta hitam memancarkan kilau setiap huruf.
Laut perlahan surut. Ia mulai melihat alam tertawa mengantarkan tubuhnya yang hancur di sela-sela karang. Ia dekati tubuh itu dan merabanya. Hanya udara yang terasa. Tangannya tak bisa menyentuh sama sekali setiap bagian tubuh itu bahkan kulit arinya. Ia melihat jelas bumi nanggro bergoyang, tetapi dirinya tak merasakan pengaruh yang mengguncang itu. Alam telah pucat. Menjadi kabut tebal yang melapisi hutan seperti di waktu pagi. Teringat akan hutan, ia pun terbang ke sana, bersama deru gemuruh laut yang berjuang menggapai. Ditengoknya sebentar badai yang menjerit-jerit itu; tubuhnya terlihat tergulung kembali dan terhempas menghilang. Ia ingin menangis, tapi kesedihan tak memanggil. Maka diteruskannya dirinya melayang melewati jilatan-jilatan ombak dan dunia yang tumpang tindih. Ada jeritan-jeritan seperti semasa perang tapi ia tak lagi peduli. Sepanjang masa memanglah perang. Sepanjang waktu memanglah kiamat. Kini yang ingin diketahuinya adalah bagian lain kegelapan tempat jiwanya menorehkan puisi yang tersembunyi hampir sepanjang usia.
Hutan itu ternyata telah pucat juga. Berserakan seperti tubuhnya tadi. Daun-daun masih merentangkan napas, ia mencoba menjelajah setiap celah, mencari-cari di mana kegelapan tertinggal membungkus kenangannya.
Kenangannya! Ia meraung-raung. Di mana kenangannya dalam kegelapan yang hilang? Cahaya pucat menyembur di setiap lekukan, memperlihatkan pintu-pintu tak bertangkai dan takkan mungkin bisa dibuka. Lalu dimanakah kehidupan setelah malam itu? Malam yang mengerikan itu, ketika ia terjaga dari mimpi dan menguping pembicaraan ayah dan teman-temannya? Dimanakah dia dan dimanakah mereka setelah itu?
Malam. Malam. Pada malam ada kegelapan. Pada kegelapan ada yang terbaca. Apakah malam akan tiba?
Ia menunggu. Memandang kepada langit yang terbelah cumbuan laut dan di antaranya sedikit kegelapan mempermainkan awan. Sekejap bayangannya telah berada di sana, berlari dalam kehidupan, meninggalkan rumahnya tanpa sepengetahuan kelompok ayah yang sedang menyusun rencana, dan akhirnya, sebuah tangan menyergap tubuhnya. Membawa masuk ke dalam hutan.
Di sana, di sela-sela kegelapan yang terpecah api, ia lepaskan segala kontrol. Ia mengira si penangkap itu dan sebagian yang lain, adalah pasukan penyelamat presiden. Mereka berterimakasih pada informasinya, juga pada kemolekan tubuh remajanya. Lalu mereka meninggalkannya tersesat seorang diri. Berdarah-darah, menguntai luka sepanjang ingatan, tak ingin melihat pagi, dan tak ingin melihat jenazah ayah. Hanya menghitung-hitung hingga kapan perang berakhir, dan ia bisa menulis di atas cahaya.












Majalah Sastra Horison, September
2002















Yang ada di mata Farah ialah bintang. Bekerlap-kerlip. Syahdu. Tanpa sungai mengalir bening di kedua belah kulit putihnya. Ia cantik, dan segar. Usianya baru 18 tahun, tapi kepada setiap orang yang bertanya ia katakan 25 tahun. Farah bersekolah—tentu saja, tapi kepada seluruh orang yang dikenal dan tidak dikenal ia bilang ia pustakawan. Jarang bercakap, suatu hari ia membacakan puisi, judulnya Kisah dari Seribu Remaja , tapi kepada audiens ia sebutkan sebagai novel. Meski ceritanya diberi judul Kisah dari Seribu Remaja, tokohnya sendiri hanya satu orang. Satu gadis belia yang melakukan perjalanan panjang hanya untuk menghabisi masa remajanya. “Hingga ia letih”, baca Farah, “masa remajanya masih juga panjang. Seperti tiada akhir.”
Farah meminta semua audiens bersedia memasuki novel itu. Menjadi tokoh gadis belia itu. Menjalani perjalanan panjang itu. Termasuk dirinya. “Hanya satu menit”, katanya, untuk memasuki novel. Dan, “Pejamkan mata Anda, saya juga.”
Mereka memejamkan mata. Pintu-pintu terbuka dan tertutup sendiri. Suara angin mendesau dalam gelap. Di sudut kamar yang sempit, seorang gadis bermata sembab menelungkup di lantai yang basah. Sepertinya ia terpeleset. Di atas kursi dekat lemari, sebuah tali raffia terpasang menggantung.
“Hai,” teriaknya entah kepada siapa atau apa.
“Hari ini aku serius, aku harus mati. Jangan jauhkan aku dari tali raffia itu. Biarkan aku mengakhiri kisah dramatisku. Aku sudah tak percaya pada adanya kasih sayang. Hidup ini kejam, jahat. Aku tidak mau hidup! Aku tidak mau hidup lagi!” demikian ia menggeram. Seperti seekor harimau yang teluka, merangsek ke depan kursi dan hendak naik ke atasnya. Namun tiba-tiba ia berdiri tegak. Seolah sedang menghadapi seseorang.
“Bunuh diri lebih dari dosa. Lebih dari kekejaman dan kejahatan dalam hidup. Lebih dari tiadanya kasih sayang. Kau pasti akan lebih dari menyesal bila melakukannya.” Airmatanya menetes hangat. Hidungnya mekar memerah. Dihampirinya dinding lemari dan bersandar di sana. Bersandar dengan rasa putus asa. Perlahan-lahan merosot ke lantai. Menelungkup lagi. Menangis lagi.
“Aku harus mati!”
Angin bertiup lebih kencang, menerjang pintu, menghempas kursi hingga melayang ke arah gadis yang terkejut. Terlambat ia untuk menghindar.
“Agh!” Ia terjengkang kena hantaman kursi. Pintu terbanting angin. Dingin menyergap, membungkusi ruangan. Gadis itu meraba kepalanya. Benjol. Sakit sekali. Ada darah segar menetes. Jantungnya berdegup saking tak menyangka.. Rasanya jadi lebih sakit, dan perih luar biasa ketika mengetahui kepalanya berdarah. Air mata menetes hangat karena ia tak mampu menahan sakitnya. Tali raffia yang menggantung itu bergoyang-goyang ke kanan ke kiri seolah hendak menggodanya. Tapi ia menggelengkan kepala sambil memegangi kepalanya yang terluka. “Tuhan”, desisnya, “Aku tak ingin bunuh diri.”
Seiring semilir angin, pintu-pintu terbuka. Farah dan seluruh audiens menarik nafas lega mendapati dirinya terbebas dari cekaman frustasi. Mereka saling menoleh satu sama lainnya. Menanyakan tentang pengalaman yang baru saja dilalui. Karena barusan mereka menjelma jadi tokoh utama cerita. Merasakan sakit di jiwa, mengerang putus asa, menginginkan kematian dan kebingungan mengambil keputusan. Kini setelah kembali, sebuah pertanyaan menghinggapi setiap kepala; mengapa ingin bunuh diri? Farah terpaku menatap ruangan yang dianggapnya sepi. Semaunya ia berekspresi.
“Yang menggelepar sepanjang perjalanan takkan menemui legenda, langit malam bertaut rindu kekasih. Kala itu mengalir hasrat putih, berbasah-basah di sanubari. Aku tak tahu telah melewati apa—bukit dan laut temaram. Mungkin sunyi menjadi salju, membekukan jemari ‘tuk menggapai bening. Kepada siapa aku merebahkan air mata, seseorang hilang dari mimpi. Berlari meninggalkan rumput duka. Aku sendiri. Menggelepar. Mempertahankan setiap hembusan dan darah yang hangat mengaliri hidup. Oh Tuhan dapatkah aku melangkah, melanjutkan sisa-sisa suka cita yang berlomba dengan kengerian masa depan. Esok kuhampiri atau kukubur dalam hati, memetikan tak percaya pada ruang-ruang hampa. Sampai kapan kubiarkan pembunuhan berencana, mengubah nasib belia sia-sia?
Di sini, berkepakan harapan kukunjungi kuil-kuil fatamorgana. Bersama kepalsuan. Tak lupa memperhatikan sabda alam yang mengalun syahdu. Pinggir renungan terjalin manis, menantang hari melalui jalan setapak. Tiap kali kaki tersuruk, aku mencari bebatuan, menggenggamnya erat. Dan kupaksakan mata menembus kegelapan, liar menelusuri pengap ‘tuk menemukan seberkas sinar. Pada apa dia memancar? Usiaku masih saja tak memberi jawaban. Mentah muda tiada segera mahkota mengembang wangi. Tapi aku berkali-kali gugur. Seribu kali berganti warna bunga, terhempas ke tanah, layu di atas kubur kekasih. Oh, jangan kau sengsarakan hati yang gamang dalam pengembaraannya. Jangan duka sendiri bernyanyi, menebar sepi yang bertahan galau. Jangan ombak berirama ironika, menaiki panggung-panggung pengukuhan. Aku tak siap mencercah pesona. Aku tak mungkin mengibarkan kisah. Aku tak sanggup memotret seribu wajah, wajahku sendiri. Aku tak mungkin menulis puisi kepada ayah-bunda di barzah. Hanya mimpi, menjadi kotak pos pengantar tanda rinduku. Hanya pekik, melepaskan perpisahan cinta kasih. Seorang remaja menderita seribu sepi di seribu mimpi pada seribu kepalanya. Seribu abad di seribu detik bergulung. Bertempur, seribu nafas dan angan kematian.”
Farah menjadi misteri bagi teman-temannya. Gadis pengelamun itu senantiasa hadir dengan seribu kejutan. Ketika seorang guru bahasa Indonesianya penasaran bertanya tentang puisi Kisah dari Seribu Remaja, Farah berurai air mata menjawab. Sorotnya menyiratkan bara amarah.
“Pak, jangan tanyakan itu lagi. Saya sudah membuangnya.”
“Lho, kenapa? Karyamu itu bagus, kok. Kalau dikirim ke majalah sastra pasti dimuat.”
“Tapi itu bukan karangan, Pak. Itu kisah nyata. Tentang diri saya pribadi.” Sayu pandangan Farah ketika berkata. “Tidak mungkin saya publikasikan lewat media massa.”
Pak Guru tersenyum kepada siswinya yang masygul. Ditepuknya bahu Farah, membuat gadis itu setengah menjauh.
“Tidak apa-apa, Nduk. Itu namanya kamu itu pengarang realis. Dan seorang pengarang yang beraliran realis memang harus melewati peristiwa nyata sebagai bahan karyanya. Dia memang perlu terlibat. Seperti Hamsad Rangkuti, kamu tahu kan? Sastrawan besar kita yang beraliran realis? “
“Tapi saya bukan sastrawan, Pak. Saya hanya gadis pemimpi.”
“Lha ya, mirip, Nduk. Sastrawan itu sama dengan pemimpi. Dari gadis pemimpi kamu jadi sastrawan. Bagus, Nduk.”
Farah menggeleng sebal pada gurunya. Tanpa permisi ia berlalu dengan wajah cemberut. Pak Guru hanya mesem dan garuk kepala.
Rupanya Farah ingin bersunyi dalam masjid. Sampai bel kedua pelajaran, ia tidak juga beranjak. Sebuah buku agenda dicorat-coretnya dengan tinta merah. Ia menggambar sesuatu. Lalu menulis sesuatu. Kadang air matanya menetes-netes membasahi jilbab putihnya. Kadang ia tertawa geli seakan-akan sedang bercanda dengan seseorang. Ya, Farah memang sedang bercakap-cakap. Begitu serius. Dan bukan dengan siapa-siapa. Ia sendiri saja dalam masjid itu. Tetapi seolah ramai sekali. Seolah begitu banyak bayangan dirinya. Mengeliling membentuk lingkaran.
Dilihatnya masjid mulai terisi beberapa siswa yang hendak sholat dhuha. Rajin amat, pikirnya, apa pentingnya dhuha di waktu belajar? Menyita waktu saja. Apa mereka hendak melarikan diri dari ulangan?
Meski heran pada beberapa kawannya yang khusyuk sholat dhuha, Farah sendiri pergi mengambil wudhu dan tak lama kemudian tenggelam beribadah. Dalam doanya ia tak lupa menyampaikan salam cinta bagi ayah dan rindu pada bundanya. Bahkan kali ini, dimungkinkan galaunya jiwa, Farah membawa dirinya ke sebuah sungai yang dipenuhi bunga kamboja. Sungai yang hening tenang dan wangi kesunyian pekuburan. Disitulah ia merasakan kedamaian dan keindahan. Ayahnya dengan wajah bersinar-sinar menyambut dan merentangkan tangan.
“Ayah!” Farah menghambur ke rengkuhan ayahandanya. Ditumpahkannya tangis di dada ayah, kedua tangannya memeluk kencang seolah takut akan terlepas. Ayah mengusap kepala Farah dan menciuminya penuh kasih.
“Ayah, aku mencintaimu. Aku selalu merindukanmu. Aku ingin Tuhan menyatukan kita selamanya. Jangan ada yang memisahkan lagi, Ayah.”
Ayah tak memberi kata-kata, tetapi Farah bisa merasakan jawaban sayang ayah yang tak teragukan ketulusannya. Lalu bunda datang menghampiri. Gaunnya putih dan wajahnya sangat cantik tak ada kesedihan. Senyumnya mengembang seperti waktu dulu memanjakan Farah kecil. Rasanya sekarang Farah ingin kembali jadi kanak-kanak. Ditubruknya bunda dan ia merengek-rengek manja di antara kedua lutut wanita itu.
“Bunda, aku tak sanggup lagi merangkaki dunia. Aku lelah, bunda. Aku muak. Banyak kepalsuan. Tak ada kasih sayang sejati. Semua orang hanya mementingkan harga diri. Cari kebaikan dan keselamatan sendiri-sendiri. Aku ikut Bunda saja. Aku takkan nakal lagi. Sungguh. Aku sayang Bunda, aku sayang Bunda!”
Namun Bunda memaksa Farah berdiri menghadapnya. Menatap tajam dan teramat tegas. Bunda nampak perkasa dan seperti itu pula dia meminta lewat sorot matanya kepada Farah. Jadilah wanita yang perkasa, harap bunda tentang anak gadisnya.
Farah menggeleng. Seperti apa, Bunda? Ratapnya. Ia menoleh pada ayah yang tetap tersenyum dan merentangkan tangan. Farah kembali kedalam pelukan ayahnya.
“Ayah, aku ingin tidur bersamamu.” Isak Farah di dada ayah. Bunda menatapnya kesal dan menggeleng keras.
“Bunda, memang aku harus jadi apa?” Farah setengah berteriak sebal. Bundanya menatap lebih tajam dan tegas. Hingga Farah menundukkan wajah.
“Bunda, aku labil sekali. Terlalu mudah larut dalam masalah. Aku sering tidak mengerti pada diriku sendiri. Yang kutahu aku adalah gadis seribu wajah, dengan seribu kisah perjalanan yang meletihkan. Di setiap jalan aku mengalami babak belur. Jatuh dan bangun dari satu pelukan pria ke pria lainnya. Yang kukira dalam diri mereka ada dirimu juga ayah. Ternyata aku keliru. Dari dulu, tak mampu kuubah kekeliruan. Kubiarkan ia sebagai ombak yang bebas di laut luas. Sebentar aku dihempas, sebentar aku mengapung, sebentar aku tenggelam, sebentar aku diantara kematian, dan sebentar aku merasa menjadi ombak itu sendiri.” Farah menutup mukanya dengan kedua belah telapak tangan yang dingin. Seseorang menepuk bahunya dari belakang.
“Oh!” jeritnya. Guru Bimbingan dan Penyuluhan. Pak Zein, yang pernah menjadi tempat curahan hatinya. Masjid telah ramai oleh siswa dan guru sekolah. Jam berapakah ini? Farah tak enak mencari jam dinding karena tatapnya berbentur mata Pak Zein. Lelaki itu memandangnya serius.
“Mengapa kamu meninggalkan sekolah? Saya sangat kehilangan.”
Apa? Farah merasa terpukul. Nada Pak Zein terdengar mengandung duka cita, tetapi bukan itu yang membuatnya merasa terpukul. Kalimat Pak Zein… ia meninggalkan sekolah? Kapan? Farah menengok pakaiannya. Bukannya tadi ia pakai seragam sekolah? Dirabanya kening. Pusing sekali. Sebenarnya apa yang terjadi lagi pada diri Farah? Ia membuat keputusan fatalistik lagi? Seperti bunuh diri?
“Mengapa Farah? Mengapa kamu mengundurkan diri dari sekolah? Kamu bukan murid bodoh, kamu gadis dengan seribu masa depan.”
Bullshit! Farah menatap gurunya dengan benci. Pak Zein berbohong. Semua orang berbohong. Bagaimana ia punya seribu masa depan dengan seribu kebimbangan yang meneror? Semua orang cuma asal tebak dialah gadis harapan masa depan, tanpa mau tahu seribu persoalan yang tak mampu diatasinya sendirian. Mereka menitipkan beban harapan di pundaknya lalu biarkan ia melangsungkan perjalanan tanpa kawalan. Hanya kisah. Hanya kisah yang menjadi sahabatnya. Kisah petualangan dalam diri di mana masing-masing terpisah dan tak bisa dituangnya jadi episode drama atau novel. Hanya bisa ia kumpulkan sebagai puisi yang sungguh-sungguh panjang. Puisi Kisah dari Seribu Remaja. Padahal itu novel, protes batinnya. Tapi ia sendiri tak mengerti setiap bagian, maka jadilah puisi.
“Bagaimana karya-karyamu?” Tanya Pak Zein lagi.
Karya apa? Farah merasa dibikin lebih pusing. Mengapa ia sering ditanya soal karya? Ia tak menciptakan apa pun?
“Kisah dari Seribu Remaja-mu sudah diserahkan ke penerbit?”
Gila. Apa aku harus menjual diri untuk bertahan hidup?
“Farah, saya mengerti beban yang menghimpitmu. Tapi yang saya tak mengerti mengapa kau begitu nekat memutus masa depan? Benar sekolah bukan satu-satunya sarana meraih cita. Tapi bukan berarti Farah bisa mengabaikan urgensinya. Di negeri kita, Farah, ijazah sangat berarti. Kalau kamu tak bersekolah akan jadi apa nanti?”
Kepalanya sekarang berputar dan hampir lepas dari badan. Matanya berkunang-kunang. Kata-kata Pak Zein tak lagi jelas. Namun ia menjaga diri dari pingsan. Harus dicari jawaban, mengapa dirinya meninggalkan sekolah?
“Mengapa kau meninggalkan sekolah?”Ia menghardik. Ditinjunya pipi yang halus lembut hingga memerah dan bengkak. Berkali-kali.
“Aduh!” Farah menjerit. Diusapnya pipi yang kena bogem tangannya sendiri. Jahat sekali, ia menangis sedih. Apa salahku?
“Kau bodoh sekali!” Sekarang kaki kanan menginjak kaki kiri kuat-kuat. Air mata Farah sampai menetes karenanya.
“Kau pikir bisa jadi apa?” Kedua tangannya mencengkram kepala seakan hendak mencopotnya. Farah terdorong ke tembok, kepalanya dibentur-bentur. Ia mencoba berontak, tetapi kedua tangan itu tak mau lepas. Farah ketakutan sekali. Apakah kepalanya sebentar lagi pecah?
“Egh, lepaskan!” Farah melawan semampunya. Ia tak mau mati dengan otak berhamburan. Seram sekali bila itu terjadi. Ruhnya takkan sudi melihat jenazahnya hancur-hancuran. Sebab Farah paling takut mengalami rasa sakit. Apalagi sakit yang mengoyak kemulusan kulitnya, merusak kecantikannya. Farah tak mau terlihat cacat. Ia harus jadi gadis yang sempurna lahir batin. Ia adalah gadis kecil bunda yang termanis, mengapa dihakimi?
“Aku tak bersalah!” protesnya. Entah bagaimana kedua tangannya berhenti mencengkram. Farah menarik nafas lega. Dirabanya pelan-pelan kepalanya. Lalu dilihatnya kedua telapak tangan. Bersih. Tak ada darah.
“Oh Tuhan, terima kasih!” Ia sujud syukur di lantai. Disekelilingnya tak ada orang yang mengacuhkan. Ia lebih bersyukur lagi. “Allahu Akbar!” Apa yang terjadi pada diriku? Farah duduk bertafakur. Mengangkat konsentrasinya ke langit.
“Bayang-bayang mencari ruhnya di terminal sukma. Pada apa dia menggeliat, setiap tarikan nafas memikul beban. Menghimpit, menggelembung putus asa. Aku berlari sebagai siapa, di setiap cermin ada wajah yang berbeda. Potret-potret menghambur mencari masa. Tak kutemukan seorang jati diri. Semua bias. Semua hambar. Semua berpuing-puing di puncak kekalutan. Layang. Angin. Beterbangan sayap-sayap patah. Bukan di angkasa. Di gurun pasir yang membakar purnama. Tersesat menemui zam-zam. Di susu ibu kudapati darah tangisanku. Abadi sungguh. Membekas tanda di setiap kisah. Perjalanan yang tak kunjung buntu. Hingga aku seribu kali tersesat.”
“Berbenturan dengan masa lalu yang pahit.” Farah menelan ludah. Dikenangnya masa kanak-kanak yang tak lugu.
“Kau tahu Barbie? Ia hanya si cantik yang dapat dimainkan sesuka hati dan bila cacat sedikit dibuang ke tong sampah atau got hitam di samping rumah. Seperti itulah kalau kau cantik tapi bodoh. Seperti itulah kalau kau tak bisa lebih baik dari siapa pun. Seperti itulah kalau kau gagal dalam setiap langkah. Kau akan jadi benda tak berguna. Rongsok, mengerikan. Sebagusnya mati saja atau benamkan dirimu dalam lumpur agar rivalmu tak melihat mukamu yang hancur-hancuran karena kalah bersaing.” Ferra, kakaknya yang mengajari membaca dan menulis dan tak membiarkannya punya waktu bermain. Ferra tak bisa melanjutkan sekolah karena harus membantu mencari nafkah keluarga. Terpaksa sekali ia bekerja di pabrik garmen.
“Kau tahu kenapa sore ini kau begitu sial? Karena hatimu busuk!” Boy, kakaknya yang suka gadis alim, paling benci bila ia sedikit ada salah dalam perbuatan.
“Putri cengeng, kau bisa membantu apa?” Joanna yang gesit dan suka marah-marah. Ia selalu cemburu dan menantang adiknya yang pengelamun.
“Sayang, kaulah harapanku. Kaulah yang dapat membahagiakan kami. Kau harus berbeda dari siapa pun. Masa depan keluarga ini ada padamu. Jangan nakal dan menghancurkan hati ayah dan bunda.” Bunda memeluk erat gadis kecilnya dengan simbahan air mata tiap kali ia kesal pada anak-anaknya yang lain. “Kau tak boleh seperti mereka.” Pintanya dengan pilu.
“Farah adalah harapan kami.” Demikian ayah pernah menyampaikan kepada Pak Zein ketika ia mulai dianggap bermasalah oleh pihak sekolah.
“Tidak setiap tunas berkecambah. Tanah tandus tanpa kompos menjadi hunian. Tidak setiap gerimis membasahi. Kemarau hari-hari terkapar namun tak menangis. Berjalan melewati waktu ke waktu, tak maksud bertemu danau biru atau sebuah oase. Sejuk itu tercipta sendirinya, tanpa undangan angin. Kelinci yang lelap tersapa gugur daun. Selamat tinggal, ucap bunga-bunga kering dengan ikhlas. Aku ziarah setiap sudut, mencari kerisauan. Ternyata hanya ada di relung kalut. Jiwaku tercacah masa lalu.”
Aula penataran siswa hadir menyelinap di antara kenangan dan luapan luka hati. Seorang gadis manis berkerudung putih naik panggung dengan malu-malu. Tapi ketika mik digenggamnya, seberkas cahaya raut muka menerpa pesona seribu mata. Ia mengepak tiap kata dengan semangat muda berkilatan.
“Datang dari segenap jiwa, aku mengibas kebekuan angan yang berabad merayap tahta. Negeriku kegelapan yang terbakar rasa sepi, menyandarkan luka rahim. Aku lahir mengemasi sejarah keterpurukan. Berestafet cita-cita sepanjang aral kekuasaan yang kehilangan tongkat dan braile. Ah, Presiden, di detak jantungmu seribu bom menari. Menghitung detik kematian penerus padi. Berapa trilyun hilang dari gudang tikus? Ada di setiap nyawa yang terbunuh kerancuan. Berpikirmu di hutan perawan, terjebak ambisi? Ah, bukan senandung depresi oleh-oleh kursi. Berceritalah, berceritalah pada kami tentang seribu harapan, yang kau pelihara dari penjarahan. Bagaimana kau padamkan asap Kalimantan? Usapkah tangis anakmu di seribu pulau? Aku tumbuh kembang untuk menjadi raksasa tanya. Katakan di mana gizi generasi Indonesia Raya. Pada setiap sidang rapat atau hiasan mimpimu (ah, Presiden apa yang kau impikan?)
Sampai jingga merenggut awan-awan putih, aku berdiri memeluk matahari. Mengibarkan merah putih di gerbang langit. Kupinjam merdeka dari merpati yang berlintasan, beryanyi tanpa dirjen dan instrumentalia. Bersama burung-burung, belalang dan kupu-kupu menghidupkan seribu semangat yang terkubur bebatuan. Mataku menatap jauh mengikuti arus angin, mengitari hijau sawah, hutan dan luas lautan. Nelayan melempar sauh, menjaring masa depan, aku berteriak memanggil Pertiwi. Adakah dia dalam diriku? Aku tak henti bertualang memberi tanya kabut, kapankah setiap jiwa melepaskan sendiri belenggu frustasi. Aku memandang bayang di tepian sungai. Apakah ia sebuah harapan? Ternyata di sana hanya tergurat mimpi-mimpi. Dan sekian jauh kuberlari hanya menemukan puing-puing sejarah berceceran. Aku pulang ke ibu kota, membawa sejumput cita-cita. Berkata pada Ibu: “Aku ingin belajar menata obsesi, agar ia tak salah mencokoh kursi.” Ibuku, hanya menyeret ke padang gersang. Lalu ia menjawab, “Belajarlah seperti rumput liar, bersedia ada di setiap kala.”
Kemudian yang terlihat tepuk tangan seluruh hadirin dan sambutan disertai kekaguman. Anehnya ia tak mendengar apa-apa, kecuali desah nafasnya sendiri. Keringat mengucur deras, dingin, dan wajahnya pucat pasi. Seluruh tubuhnya bergetar. Farah dicekam ketakutan, kengerian, rasa bersalah yang dalam. Ia telah membius semua orang dengan puisinya barusan. Ia menyihir mereka hingga terpukau pada dirinya, bukan pada substansi karyanya. Oh! Farah menggigit bibir. Bagaimana bila aku salah melangkah? Ya Tuhan, bagaimana bila aku membuat kekeliruan?
Farah menyeka air mata lagi. Kedua matanya sudah sangat bengkak tapi tetes bening itu tak mau berhenti mengalir.
“Kasih sayang ada bila kita sempurna dari noda.” Farah menarik nafas panjang. Dadanya sesak oleh luka batin. “Sedang aku bukan wonder woman.”
Kemudian sekali lagi ia melihat pakaiannya. Bukan seragam putih-putih atau putih abu-abu. Terpaku menatap aula yang tertutup. Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana.










Media Indonesia, 17 Agustus 2003

















Mataku senantiasa menyapu laut. Mencari jejak tangan ayah di gemulai ombak menyentuh pantai. Siapakah gadis yang duduk di batu karang, melamunkan ujung samudra di belahan lazuardi. Biru yang hangat. Rambutnya melambai tertiup senja. Mungkin hanya ayah sendiri yang tahu, karena imajinasinyalah yang bergerak dinamis menggulirkan sajak pada paras gadis itu.
Dulu sekali, Menteri Kebudayaan menyematkan medali di gelombang arus matanya. Tetapi ayah terdampar sendirian di sebuah rumah sakit ibu kota. Sebagai tukang sapu halaman. Nasibnya yang buta berlayar membawanya pada kegelisahan hidup yang misterius dan terus terombang-ambing. Pelayaran yang memabukkan, membuat cinta bermuntahan di atas kelaparan kekasih hati. Jadilah kami anak-anak yang tak boleh tertawa. Ayah tak pernah tertawa. Di matanya selalu bergelung kabut yang baru berakhir bila di hadapannya sebuah papan bekas menanti disetubuhi. Hingga lahirlah segenap warna-warna sajak sebagai kekuatan dua dimensi panorama. Menyelinap ke jiwaku, tapi tanganku tak kunjung mampu mencuri keindahannya. Hanya melayang-layang, bergerak mengembara memasuki ruang itu dalam basis pikiran.
“Mengapa kau sering sekali melamun?” ibuku bertanya dengan nada ngeri yang memukul jantungku. Di kebesaran ketegarannya, pelamunanku mengeratnya menjadi sepotong daging gosong yang terbakar kenaifan sebuah trauma. Ia tak berhenti menghembuskan ancaman setiap kali aku terbang memasuki lukisan-lukisan ayah. Kadang-kadang tangisnya tumpah di kebekuan pagi dan ayahku pun memandangku penuh tanya, menyembunyikan rasa percaya bahwa gadis kecilnya terlalu jauh menikmati ekstasi sketsanya.
Aku seringkali merasa akulah gadis yang duduk di atas batu karang itu, menyapu laut seperti ayahku menyapu daun-daun di halaman rumah sakit dan orang-orang tak tahu ia menggenggam medali dari Menteri Kebudayaan. Betapa ingin aku berteriak, “Ayah, harusnya kau berjuang seperti Picasso!” Tetapi aku kemudian menyadari bahwa yang dilakukan ayah di antara serakan daun-daun kering itu melebihi perjuangan mereka yang telah mencapai legenda.
Dan, apakah bedanya pelukis dengan tukang sapu? Pelukis menyapu kanvas dengan kuasnya lalu menghidupkan ruh-ruh dedaunan dan mata yang menatap abadi bernyalakan cahaya kekaguman. Sedang seorang tukang sapu menyapu halaman dari kebusukan mayat-mayat dedaunan dari mata yang menatap penuh kehinaan. Ketika akhirnya ayahku kembali ke dunia seninya setelah bergumul lelah dari serbuan kotoran dan hinaan, aku bertanya:
“Ayah, mengapa Ayah memilih menjadi tukang sapu, bukan pelukis sungguhan?”
Waktu itu aku masih kanak-kanak dan kami tinggal di gubuk pagar bambu yang reyot. Ayah sedang tenggelam dalam kreativitasnya, tetapi pertanyaanku yang demikian seakan desis ombak yang memukulnya. Ia menoleh dengan mata membelalak berwarna merah, bibirnya yang sensual mengeluarkan geraman luka,
“Bagaimana huruf dal? Ayo gambarkan, bukankah kau setiap malam mengaji?”
Aku tak mengerti mengapa ayah menjadi sangat terluka dan memaksaku menggambarkan huruf-huruf Arab. Dan bila aku tak mampu membuatnya ayah menjadi semakin mengerikan hingga mengusirku pergi dari sisinya.
Tentang mata ayahku, kami sekeluarga merasakannya seperti tirai tertiup angin kemudian kembali gelap terselimuti debu. Kami tak bisa membukanya untuk menemukan sepotong cinta di sana. Nampaknya ayah tak pernah mencintai apa dan siapa pun. Ibuku seringkali menangis karena perasaannya merana sendirian di atas bukit es selama bertahun-tahun. Hingga untuk memecahkan ekspresi salju ayah, piring-piring dan perabotan lainnya menjadi benda terbang yang diiringi letupan dahsyat kekecewaan. Aku sendiri menjadi boneka gurun yang setia menunggu pijar sinar dari angkasa mengantarkan panas yang menghangatkan suram jiwa kami.
Gubuk kami disesaki amarah penghuninya sepanjang hari. Setiap waktu ledakannya bisa terdengar menggeletar hingga para tetangga berbondong-bondong ke depan rumah kami mengharap-harap tragedi bergulir ke telinga yang terbiasa menampung bahan-bahan rumpian. Anehnya ayah tetap membeku, mengunci diri dalam renungan dan ritual agamanya. Bila semburat jingga di langit menyambut pelita malam, ayah duduk di tepi jendela membaca ayat-ayat suci Al Qur’an kemudian nyanyian rawi yang merdu pengganti dentingan luka istri dan anak-anaknya.
Meski tak pernah mengajak kami berbicara tetapi ayah selalu orang pertama yang menambahi pengetahuan kami. Ayah menguasai bahasa Inggris dan wawasan keagamaannya membuatku tahu sejarah Nabi Muhammad jauh sebelum kurikulum sekolah mengajarkan. Ia membawa buku, koran dan majalah bekas yang dipungutnya di antara sampah-sampah rumah sakit. Itu membuatku menjadi seorang anak yang serius membaca dan belajar banyak hal. Dari pekerjaan sebagai tukang sapu ayah memberi warisan yang mengantarku ke dunia di luar pemikiran keluarga kami, dunia kertas dan tinta.
“Laut. Aku ingin berdiri di pangkuan pantai, merentangkan nafas pada samudra putih, kemana layar berpusar. Menghirup cinta ayah, menyeret derap panjang misteri lukanya. Mengapa darahku mengalir di kanvas, tercebur puisi sapuan rindu. Semakin jauh aku berlari, semakin abadi di tepi karang, menatap ruhmu yang menjelma gelombang,”
“Alissa!” Ibu menyentakku. Di wajah keriputnya tergurat kesedihan yang membara.
“Alissa, apa yang kau lakukan? Kau melamun lagi!” ibu berteriak parau menahan tangis. Suaranya kian bergetar berintonasikan kepiluan yang berundak-undak dalam diafragma.
“Sudah kubilang jangan melamun. Mengapa kau tetap melakukannya?” Ia tahu wajahku selembut kapas dengan mata bulat yang bening berkaca-kaca seringkali mengandung butiran air. Maka sebelum hujan turun dari diamku ia berlari menangis berteriak-teriak pada ayah penuh sesal dan kengerian.
“Lihat gadis kecilmu! Lihat dia melamun lagi, begitu jauh, seakan-akan ruhnya akan terlepas dan terbang meninggalkan kita.”
Ayah menemuiku dengan dentuman langkah seperti batu-batu es yang bergesekan.
“Apa yang kau lakukan? Apa tak ada pekerjaan lain?” Ayah bertanya menguapkan dingin ke pipiku.
“Aku ingin ke laut.” Jawabku dengan ketakutan yang mencekam. Aku berharap ketakutan ini diseretnya ke tepi pantai dan didudukkannya aku di atas batu karang sebagaimana dalam lukisannya yang telah rampung itu.
Ayah menelan ludah dan menghempasku dengan kemarahan, “Seharusnya kau menemui Tuhan!”
Aku menangis dan entah mengapa tiba-tiba meratap di muka ayah. “Bila burung-burung terbang, aku pun pergi menjemput pelangi. Menabur gelisah dalam doa yang dinanti Tuhan. Tetapi mengapa selalu ada gelembung yang menjemput ke lautan, menyibak tirai-tirai dan aku duduk di atas batu karang menatap cinta yang penuh warna?”
“Perkataan apa yang kau gulirkan itu?”
“Aku bicara tentang lukisan Ayah. Aku ingin ke sana.”
Ayah tersuruk menatapku hampa dan tiba-tiba saja terserang demam tinggi hingga sekujur tubuhnya menggigil. Tirai di matanya terayun-ayun badai dan petir merah.
“Omong kosong. Aku tak pernah membuat lukisan!” pekiknya gemetar. “Pergi kau ke sumur dan ambil air wudhu. Temui Tuhanmu!”
Aku pergi bersembahyang dan bertanya pada Tuhan tentang ayahku dan lukisan-lukisannya. Tetapi sampai sekarang, usiaku mengembara melalui liku duka, aku tak menemukan kisah apa pun tentang ayah. Aku berjanji jika telah bekerja dan punya uang banyak akan membelikan alat-alat lukis bagi ayah, berharap di salah satu kanvas ia membuka pintu biografi yang membantuku mengetahui sejarah dirinya, cintanya dan deru hidupnya bukan hanya sebagai seorang tukang sapu halaman rumah sakit.
Aku tak menyangka sajak-sajakku melumpuhkan tangannya. Dan lukisan-lukisan itu tertelungkup di kolong meja. Ia terlihat berusaha keras melupakan sesuatu dengan tertelungkupnya lukisan-lukisan itu. Waktu-waktu senggang diisinya dengan doa-doa yang panjang bernadakan kepasrahan terdalam seorang mahluk Tuhan. Bila aku berada di hadapannya ia beristigfar dan memejamkan mata seolah-olah aku adalah hantu yang setiap saat bisa membunuhnya. Satu-satunya lukisan yang masih ia pasang di dinding adalah sebuah kaligrafi syahadat yang membuatku selalu teringat pertanyaannya, “bagaimana huruf dal?”
Kaligrafi itu sederhana sekali, dibingkai gelombang tangkai bunga mawar yang merah muda merekah, daun-daun putih menyentuh harkat, berjuntai menggapai huruf-huruf Arab yang mungil dan manis. Mengapa ayah suka sekali gelombang? Di setiap lukisannya selalu ada bentuk-bentuk gelombang, begitu pula tulisan tangannya mirip ombak yang menghampiri pantai berpasir. Membawa jiwaku lagi-lagi ke laut dan duduk termenung di atas batu karang. Mataku merangkai sajak-sajak yang berkelindan antara awan-awan putih lalu berlayar ke seberang yang tercapai pelupuk angan.

Taman Kesenian ini adalah daratan seberang laut ayahku yang berhasil kucapai dengan bersusah-payah mengayuh kalimat-kalimat puitis perahu kertas. Aku menaiki tangga gedung dewan dengan perasaan tak menentu, dikejar-kejar arwah ayah yang memanggil pulang.
Pada sebuah ruangan tempat aku biasa menemui seseorang sebagai penasihat karya-karyaku, seniman-seniman tua menyambutku. Seorang yang paling tampan mengulurkan tangan menggenggamku begitu erat dan matanya memancarkan pesona kemesraan yang melabuhkan rindu. Aku melihat bayangan ayah menyelinap pergi ke sinar lampu bergumpal kesedihan dan kecemasan. Tetapi aku telanjur sampai sebagai musafir yang membawa beban berat lukisan-lukisannya.
“Saya telah membaca karya Anda,” sapa seorang wartawan mendekatkan kursinya ke sampingku. “Bahasanya plastis. Seperti lukisan yang menjelma hidup, tetapi anehnya anda tak membiarkan suspensi memuncak.”
“Memang saya sengaja berjalan di koridor kebekuan. Saya memasrahkan emosi kepada frame psikologis yang mencari sendiri personifikasi dan ruang-ruang estetikanya.” Jawabku mantap berdasarkan sugesti alur yang membelah imajinasiku.
“Tetapi kau tidak menciptakan misteri pada judulnya.” Penasihatku mengingatkan. Aku tersenyum dan memandangnya tegas sebagai pribadi yang terlepas dari taklid dan imitasi.
“Oh, aku pikir, justru itu tantangannya. Bagaimana membuat ruh pembaca melepaskan tatapan, pergi dari batu karang dan terseret gelombang, melewati pusaran dan tanpa sadar tiba di daratan yang lain.”
Seorang pelukis tua memandangku sekilas. “Kau melukisnya begitu dingin, padahal itu bara api.”
“Karena aku tidak suka ledakan. Emosi yang terlalu bebas bermain hingga berkobar-kobar akan meruntuhkan bingkai-bingkai keindahan yang kupersilakan mencari pasangan magnetisnya.”
Seniman yang paling tampan itu mengelus bahuku dan dengan senyuman romantisnya ia berbisik mengajakku makan malam berdua di penginapan mana pun yang kuinginkan. Aku berusaha membuka tirai matanya dan tak kudapati ia berselimut salju seperti ayahku. Rasanya aku menemukan ruang hangat yang lama kucari-cari di sanubari ayah tapi ternyata di sinilah kutemukan lengkap dengan hipnotis klasik yang mengusung hasrat kekanak-kanakkanku.
Kami pergi melihat pameran lukisan para feminis, namun beberapa menit saja aku merasa lelah dan ingin segera berlalu.
Ia menarik tanganku. “Sebentar. Kau harus lihat lukisan yang satu ini.” Ia memaksaku menatap perempuan telanjang yang terbaring gelisah dengan buah dada, kemaluan dan kaki terpasung kayu. Aku mendesah jenuh tanpa melepaskan tatapan layu pada lukisan tersebut. “Karakternya payah.” Sahutku. “Lihat garis alisnya yang membeku dan pejaman matanya itu hampa, entah kepasrahan atau pemberontakan yang diekspresikannya, si pelukis berbuat fatal mematikannya. Padahal ruhnya mencoba bergerak. Lihat lekuk tangan dan kakinya mencoba menggapai harapan. Ya kan?”
“Sebagai orang awam kau lumayan teliti membongkar segi dan garis. Sepintas orang akan menangkap lukisan ini sebuah realitas jender yang menusuk dari perspektif pribadi pelukisnya.”
“Ya, dan si pelukis gagal melepaskan egoisme konseptualnya akibat terlalu ambisius mengendalikan sapuan kuwas.”
“Kau membaca cukup baik. Seperti puteri seorang pelukis.”
“Ayahku pernah mendapat medali dari Menteri Kebudayaan. Ia melukis Keindahan dan Kesunyian.”
“Oh ya? Ayahmu pelukis? Siapa namanya?”
Mataku mengusap lantai. Bulu-bulu lentik dan panjang ini bergumpal menelan laut, kanvas dan kesedihan yang terpecah-belah di hamparan dada yang tadi begitu luas, kini sesempit lubang semut merah.
“Anda tidak akan mengenalnya. Tak seorang pun mengenalnya. Itu hanyalah masa lalu yang terkuburkan.” Tidak. Aku menggeleng. Aku ingin mencoba menjelaskan tapi bukankah aku sendiri tidak memahami apa-apa?
“Saya ingin tahu…” Seniman tua itu memandangku terlalu serius dengan bayangan pertanyaan yang membuatku khawatir akan melenyapkan kehangatan yang semula dipancarkannya, maka segera kurengkuh lengannya yang besar dan kekar sambil merajuk bahwa aku lapar sekali. Kami segera melayang ke hotel terdekat, menikmati makan malam romantis dan berkaraoke hingga kantuk merayapi muka. Kami saling menertawakan kuapan berkali-kali yang membuat tampang kelihatan jelek dan lucu. Aku pergi ke toilet duluan.
Gemericik air bening membasuh lelah wajahku.. Tetesan panjang yang tak terhapus tisu mengalir dingin menuruni bukit-bukit dada yang masih terlindung rapat pakaian. Aku menggeliat, mencoba tersenyum segar di cermin, tapi anehnya yang terlihat perlahan kabut putih menggumpal membentuk wajah ibuku. Suaranya parau menggema di dinding hati.
“Alissa, demi Tuhan, dia bukan ayahmu.”
Setengah terperanjat kutolehkan mata ke arah pintu yang terbuka. Seniman tua itu sedang sibuk membuka ikat pinggangnya. Dadanya telanjang begitu putih. Benar-benar semurni ayah. Dia mengangkat mukanya dan melempar senyum lebar, menarik-narik rasa sepiku yang tak pernah mau bersembunyi. Kembali ke cermin aku menemukan kegelisahan ibu masih di sana.
“Di matanya tak ada tirai, Bu. Aku ingin menghangatkan tubuh di dalamnya.”
Kabut itu mendadak sirna. Seraut pedih tertunduk dalam bayangan, menyandar di dinding yang dingin. Air terus mengalir menggericik dasar-dasar gersang di hati yang berkubang luka.
“Seperih apa mata airmu yang bergumpalan darah, napasku liar mencari pembuluh nadi yang teriris gelisah. Mengapa sunyi yang kau tautkan pada keindahan terputus-putus di rajutan cintaku sepanjang pelarian? Aku tak tahu ke mana lagi melangkah, sekedar menumpahkan batu-batu beku yang kau tanam di temaram jiwa. Aku tak tahu kepada siapa lagi menitipkan kesucian yang tertidur sendiri di bawah terik matahari. Tak berpayung dan berbalut. Badai menghempas ke mana angin ingin bertiup. Aku terlempar dan terdampar. Terkoyak dan membusuk seperti dedaunan layu yang tak lagi tersapu, karena tanganmu hilang dari belaian rindu. Semenit kau pergi, berabad kuterdiam dalam gua tak berpenghuni.”
“Alissa?”
“Sayup-sayup suaramu hanya kunikmati di laut yang dingin. Aku menatapnya nanar dari tepi batu karang, menanti hembusanmu memeluk hati. Tetapi nyanyian yang berlayar ke tepian selalu pulang ke mutiara duka. Lidahku menjilat tawa mencoba membuka mata dan bibirmu yang berselimut salju, tetapi lembayung selalu menutup. Kau hilang dalam cahaya yang terang tak tertangkap mataku. Dimana, dimana lambaian tanganmu menggenggam jemari sepi? Aku ingin menyelam menjemput keindahan yang kau kuburkan sejak masa silam.”
“Alissa?”
“Ayah!” Aku memeluknya seperti kapal merapat di dermaga. Mataku terpejam tak mau menyaksikan mimpi tak seindah khayalan yang tersimpan berabad-abad.
“Kau melamun terlalu jauh, seolah-olah ruhmu akan terbang dan meninggalkan raga.”
Sejenak aku tersentak menatap matanya yang hangat. Seniman tua itu meredakan kecamuk yang tinggi berpasang di seluruh lapisan perasaanku.
“Itu perkataan ibu. Mengapa kau mengucapkannya?” aku bertanya dengan nada lemah. Tubuhku lunglai dalam dekapannya, tak mampu memberontak pada kecemasan tentang apa yang akan terjadi antara kami. Dia hanya tertawa, menghentikan kicauan yang hampir kugulirkan kembali. Dan tangan-tangan yang kekar itu bergerak seperti ombak menyeret lembut pada kenyamanan dan sinar hangat bintang-bintang.
Aku merasa benar-benar terbang melampaui dunia nyata, melintasi ruang-ruang imajinasi. Mendarat dengan lembut diatas batu karang bersama sepoi angin yang melambai-lambaikan rambutku. Buih-buih ombak menjulur menciumi kaki mengajakku berjalan ke pantai melepaskan pakaian dan berenang dengan mata terpejam, menikmati desah nyanyian napasku dan napasnya. Arus yang teramat hangat, tubuhku tergulung-gulung dipermainkan gelombang, dilambung tinggi berputar-putar lalu terlentang lagi pada jilatan-jilatan lembut yang sungguh membara. Keringatku meleleh terbakar kebahagiaan yang tak pernah ayah berikan sebelumnya. Semakin jauh aku bermain ke tengah, semakin keindahan merayap menjemput kesunyian untuk bertemu memadu rindu. Akhirnya aku merasa sampai pada keindahan dan kesunyian yang dulu ayah lukiskan dan kulihat tangannya memainkan kuas di belahan hutan yang teramat basah dan begitu perawan. Begitu lembut dan sabarnya menyentuh kesegaran. Di matanya sinar api meruntuhkan butir-butir es dalam kenanganku. Aku tersenyum menggigit bibir dan terguncang-guncang kegirangan hingga menjadi lemah dan benar-benar tak berdaya.
Tiba-tiba ia menjadi batu karang yang berdebum di atas tubuhku, menenggelamkan tanpa aku mampu memberontak sekedar untuk bernapas. Tanganku menggapai-gapai menyadari kesendirian yang kembali datang membawa janji kematian.
Aku berteriak memanggil ayah di antara suara deburan ombak yang tak terkalahkan. Kehangatan perlahan-lahan bergerak menjadi api yang berkobar-kobar menghanguskan harapanku.
Sesuatu yang mendesak membuatku melengking tinggi namun tak tertolong sama sekali. Mataku membelalak memohon tapi aku kembali terlempar dan tiada daya terseret kian jauh ke pusaran air yang tenang menanti. Aku meraung pedih dan meratap-ratap semoga ia masih ayahku yang mempunyai kedamaian di beku yang terpendam. Gelombang mengganas mematahkan tulang-tulangku hingga tinggal tangisan yang berbicara.
“Ayah, jangan tusuk kemaluanku. Kau mengusirku dari sisi, menyimpanku dalam salju, mengoyak rinduku dengan bisu, tapi kau tak pernah menusuk-nusuk kesucianku hingga terkapar dan berkeping-keping. Aku mohon, jangan lakukan, Ayah. Jangan bunuh aku.”
Ia melumat bibirku. Mengunci setiap kata yang berdesakan dalam ketakutanku. “Alissa, kau tidak rileks. Aku bukan ayahmu. Kita sedang bercinta.”
Bingkai-bingkai lukisan ayah terdengar berderak terlepas. Lautnya menghampar menyambut bulan. Ombak berjalan lembut mencumbui pasir. Tetapi batu karang itu sekarang kosong, tinggal bercak-bercak darah mengering tertiup angin.





















Majalah Sastra Horison, Maret 2006












Di dalam kubur ini, langit-langit terasa hangat. Hatiku seperti kelopak mawar. Merekah di temaram kelembaban. Tak ada gelap dan tak ada terang. Bunga-bunga meretas wewangian, bergelung dengan serpihan udara dan perlahan-lahan memasuki setiap lapisan nyaman tanah basah. Aku menghambur pada awan-awan, mencari sisa-sisa kerinduan, apakah aku masih dapat kembali ke suatu fakta dimana aku berada di antara derai tawa dan air mata, yang nyata?
Ekstasi di rahim pori-pori membangunkan jiwaku dari relung kematian lalu pergi sejenak dari lubang pusara. Pohon-pohon bambu dengan daun-daunnya berayun memanggilkan nyanyian kejauhan. Setiap kuntum kamboja jatuh bergelinding menari seperti gerak striptease sang gadis di atas ranjang kekasih, dan seolah-olah itu adalah aku. Warna langit menjengukku dengan sedih. Lembaran jingganya mengingatkan aku pada wajah yang tertinggal. Akasia, dengan helai-helai beterbangan. Gugurannya membuat pandangan ini tertunduk menyusuri kelembutan yang bertiup melintasi kesunyian petang saat lagu-lagu alam mulai bermusik. Adakah di sana seuntai lagu kenangan?
Mungkin tidak. Kau tidak pernah mencintai seuntai lagu melebihi gerimis yang mengalunkan gairahmu. Denting-denting di antara kerdip lilin, dan resah desahan suaraku. Jari-jari yang mengayun gelisah di antara arus hangat, menepi. Sedikit menepi. Dan akhirnya membuka pintu, bermandian di guliran yang mengalir di setiap lorong yang kau sentuh. Geliat-geliat bagai piano, melonjak manja lalu berganti lirih dalam kestabilan pelukan. Tanganku meremas setiap adegan, mencari tetesan embun yang hilang dari dunia sepiku, tetapi buih-buih putih seperti tumpahan sungai yang datang dari ruang semesta, menyelimuti dahagaku yang tak pernah beranjak.
Jiwa yang melayang-layang. Bayanganku tiba-tiba sepi, tersapu udara yang berangkat menuju bulan. Aku menjelma kehampaan, sampai membentuk sebuah siluet di bawah sinar lampu-lampu jalan raya. Merah. Kuning. Hijau. Roda-roda kendaraan berkejaran dengan riang, meninggalkan sampah-sampah yang terkapar menunggu angin. Di sini juga aku menunggu. Berharap kau ada di sebuah taksi sambil menghitung kesepian yang kau ingat pada jari-jariku. Ingin kupotret kata-kata di matamu untuk kubingkai di hariku yang sendiri.
Seluruh jalan yang terbentang tak lebih dari ruang hampa dalam gerak materi-materi di sekitarnya. Lampu-lampu dan kendaraan-kendaraan dengan sinar saling berlompatan tanpa arah terdiam, membekukan kehadiranku di sepanjang perjalanan. Bayangku berhembus menyusuri setiap mobil sambil terus menuntun puisi menuju kutub-kutub magnetnya. Energi tak tertembus tujuan, tubuh ini seperti kabut malam yang tak dibutuhkan. Sia-sia menebal di antara udara dan kelamnya waktu yang melaju. Mengembara. Dalam rutinitas yang dinamis.
Kini aku berdiri di pintu kenangan mengantar lukisan-lukisan inspirasi yang pernah kau minta, namun langkah ringan ini tak terangkat. Terakhir kali kita menangis di sini, merayakan perpisahan yang mengeping-ngeping luka. Seraut wajah lugu yang menyembul, kau mengantarnya ke alam nirwana yang melewati berjuta cahaya tanpa pesawat antariksa. Aku memungut kertas-kertas tangisan itu, mengajaknya berdiri di jendela hotel tempat kita menatap taman di seberang jalan. Betapa aku ingin mati di situ, menghamparkan pecahan diriku tepat di depan gerbang yang selalu kita lewati. Tetapi aku berbalik kepadamu mengulaskan senyum kepedihan. Tetes-tetes melankolia berjatuhan di atas tanganku. Terlerap dingin dan heningnya perasaan yang mengaliri tanganmu di rengkuhan bahuku, namun aku segera melepasnya lagi sebelum mata terpejam ke dalam khayalan.
Suara-suara yang menghampiri sepi, pulang dan pergi lagi bersembunyi di pembuluh nadi, dan kita menghitungnya satu per satu. Sergapan keheningan berjalan membungkusi rasa dingin detik demi detik, dan rasa lelah di kepiluan masing-masing—aku melihatnya menyilet-nyilet matamu hingga akhirnya kau tak tahan lagi. Kau seperti ingin menyergah. Menangkap lenganku dan menekannya di dinding seraya menembusi sepasang mataku lekat-lekat dan, menghampiri bibirku. Jantungku berdebar seakan-akan ini adalah ciuman pertama dari sepuluh ribu ciuman yang pernah tergulung tanpa batas rasa bosan. Kancing-kancing dan resleting bertabuh. Aku bersandar membiarkan pucuk-pucuk susu jatuh di helaian rambutmu yang indah. Dua hasrat yang begitu kuat—kematian dan gairah seksual—mencipta kolaborasi rasa yang menjebakku pada permainan tiga dimensi. Matamu, cinta dan perjalanan yang tak kunjung usai. Dan kehidupan menjadi energi pemberontakan yang menghempas tubuhmu dari segenap tubuhku.
Tangisanku jatuh di ranjang, tertelungkup dan tak ingin menyaksikan kehidupan yang terpampang di seluruh pancaran dirimu. Mencintai hidupku, sama seperti mengelilingi bukit-bukit ilusi dengan jurang-jurang kegelapan tersentuh tepi-tepi jari setiap aku menatap dalam nyata. Kuremas bantal-bantal putih ini untuk meyakinkan bahwa segalanya hanya kehampaan yang tersisa. Tetapi belaian itu kembali menghantui, membimbingku untuk melepas segalanya, hingga keresahan perlahan-lahan terbuka lebar dan aku kembali menatap langit-langit dengan desah napas bergelombang.
Kala kedua tanganmu meremas kedua belahan belakangku, memadukannya dalam kehangatan yang kian meninggi, kesedihan tetap menenggelamkan sisi-sisi keinginan. Keangkuhanku bertahan menyembunyikan ledakan-ledakan bersemangat setiap kali kepalamu mencoba karam di lautku, mengabadikan lidah yang bergerak perkasa di lekukan gua terjal membara. Segala sedih mengikuti arus sungai yang mengalir pelan, pelan, dan kemudian menderas bagai bah ketika dua jari menjepit tombol erotis dan memutar-mutarnya dengan frekuensi berbeda. Seluruh angan berputar-putar. Meninggalkan taman. Meninggalkan baris-baris kegelapan yang membelah kedua sisi otakku sehingga mereka menyatu menjemput pelangi dan hasratku mulai melayang mencari mata air sang Arjuna, menjerit dan terhempas lagi di atas sebidang dada. Bangkit dan sempat bertanya apakah saat ini keraguan masih akan tertumpah? Untaian katarsis nyaris mengapung di lidahku yang mulai menjulur, hanyut di jalan berbeda pada terjun sungai yang kau tampung di mulutmu dan dinding-dinding itu berevolusi melebar seirama akar-akar rambut yang kian basah. Betapa terasa dengan sangat jelas setiap ujungnya yang lebat mulai dipenuhi embun.
Tanganku berdansa pada bundaran merah, menari lembut di setiap permukaannya yang berdenyut. Sulit untuk berbagi pilu, ketika aku harus mengulum yang lain, yang tak menikam sekejam sedih. Nyanyian-nyanyian menghentak jalur napas seperti derit-derit gerbong kereta ketika memasuki terowongan malam semakin jauh. Semakin jauh. Dan akhirnya terlepas kembali di bawah cahaya lampu-lampu mataku. Sesaat aku menatapnya, mengangkatnya kembali dengan sentuhan kasih sayang lalu memejamkan mata, menghirupnya penuh rasa cinta yang membuncah. Kau menggeliat saat aku mengecupnya kemudian menjadi menggelepar oleh tarian-tarian liar yang menyerbu dari segala penjuru. Aku menyadari jari-jariku yang lentik seperti gerak angsa penari balet, sementara lidahku semerah bibirku, bergerak tanpa isyarat sang dirjen yang terpaku gelisah menanti sergapan malam dan akhirnya tenggelam dalam pelukan yang kekal.
Kaki-kakiku membentang selebar sayap malaikat mencium bumi. Feminitasku telah tenggelam bersama kepasrahan yang paling pasrah dan terus tersapu gerakan-gerakan gerilya di atas batu kepala. Dan sungguh aku tahu kau segera meledak tanpa daya mengakhiri. Seluruh aliran, lahar hangat yang memancar sempurna, aku berharap mata ini tak terbangun lagi hanya untuk menyaksikan selamat tinggal.
Sunyi seperti jatuhan tetes air dari atas genting ketika aku mengangkat kepala dari bantal dan duduk bersandar di dinding tempat tidur, sementara kau nampak masih terlelap di balik selimut. Kutarik selimut itu hingga menutupi bagian dada, aroma hidup menyelusup ke tiap sisi inderaku, menyeret alam pikiran untuk menatap keremangan cahaya dari jendela.
Aroma hidup, sekilas kulirik punggungmu yang putih menyembul. Aku ingin mengelusnya kembali, menghayati setiap rasa yang memijat-mijat ketertarikanku tentang harapan yang berjalan ke depan. Kuulurkan satu jari saja, saling bergantian, sekedar merasakan bahwa kehidupan masih terasa nyata. Dan indah. Kamar ini berlapiskan kebahagiaan, kesempurnaan cita rasa cinta, semangat dan kemauan di atas segala estetika seni. Berjuta kehidupan setia mendampingiku walau seribu tahun jiwaku mencumbui kesenyapan—kematian—obsesi yang tiada akhir.
Tiba-tiba aku menyadari udara dari jendela yang terbiarkan terbuka itu mengayunkan suhu dinginnya ke setiap pori kulitku. Di atas awan bintang-bintang melukis malam. Sinarnya jatuh di tiang-tiang kota yang memekik. Taman itu nyaris kosong, hanya satu-dua gelandangan terlihat meringkuk, dan seorang gila yang kadang terbangun dari mimpinya berjalan hilir-mudik sambil berbicara sendiri. Beberapa pelacur lewat menyusuri pinggiran jalan, mengayun-ngayunkan tas kecilnya dengan mulut berisi sumpah-serapah pada sopir-sopir taksi yang berhenti menggoda, juga pada kesenyapan itu sendiri yang nampak mandiri dan tak membutuhkan apa pun.
Taman yang tak pernah sepi meski di dalam sunyi. Padanya aku merasakan sebuah dunia—sebuah planet yang tak pernah terbayangkan hidup di kakiku. Tetapi sama seperti dunia-dunia lain, seluruh unsur diriku bergetar asing dan menyakitkan setiap kali napas memasuki atmosfernya. Rasa yang sama, yang tak terpahami dan kerap membuatku ingin berlari untuk selamanya bersembunyi dalam kebisuan tak berbatas, tiada awal dan akhir. Semakin aku meresapi kesadaran bahwa aku memang mesti berada di sana dan di sini, kebingungan melingkar-lingkar membentuk kolam pekat dan hitam. Fragmen-fragmen bermentalan. Syair-syair berhamburan dari jelajah ruang diriku membentuk kesatuan mutasi. Melayang-layang mengetuk pintu-pintu panggung. Memori mengingatkan aku harus membacakannya di salah satu gedung taman itu esok malam.
Malam yang akan merayap tiba setelah matahari menunggu menit-menit terakhir kabut melahirkan embun di setiap kesunyian. Aku bukan butiran embun yang lahir tersenyum dan berakhir murni di pelukan sang penakluk hari, tak pernah menyembah rasa-rasa yang berhamburan di bumi. Jiwaku terbenam tak dapat tergapai, perlahan terpisah dari pikiran. Lumpur-lumpur berdiri di setiap sudut dinding tertawa bersama cahaya-cahaya lampu. Seluruh benda dalam ruang mengintip ke dalam sukma. Lampu-lampu dengan sekedupnya saling berbisik diam-diam. Dinding-dinding kamar yang membisu serasa perlahan-lahan bergerak. Tetes air keran di kamar mandi terkadang terdengar jatuh memecah sepi.
Ketegangan kembali pada jalur asalnya, merangkak meninggalkan urat-urat syarafku, masuk ke area masa kecil lalu memudar tak berbekas. Bola-bola mataku berlompatan di antara keranjang-keranjang pikiran. Rasa yang tiada. Aku coba memejamkan mata, menyelam ke kedalaman yang pekat—mutiara apa yang berkilauan di sana? Hanya gelembung-gelembung putih bermunculan dari ruang kepedihanku. Kepedihan yang sama sekali tak dimengerti. Semakin dalam aku ke sana semakin napasku tertarik dari jiwa, membekaskan guratan luka disetiap seretannya hingga jantungku menggelinjang sakit dan tak terkendali.
Lumpur-lumpur itu berarak menutupi langit sadarku, bergemuruh pekak menghantam semua kebahagiaan yang pernah terasa, membuangnya ke ruang yang entah, setiap lapisan biru di dada menggelap ungu dan akhirnya hitam bergerak serupa janin. Labirinku termasuki teriakan-teriakan nyeri, menggema dari seluruh dunia pribadi, tak satu pun bersuara beda. Suaraku sendiri. Aku tersentak aneh. Merasa dihadapkan ke bentangan persoalan yang lebih personal dengan pantulan bayangan diri sendiri, mana yang lebih aku cintai: kehidupan atau hasrat yang selalu memanggil-manggil pergi?
Langkahku, tak beranjak dari keinginan, tak melayang di ketinggian, bermain-main di lapangan ramai dengan benda-benda saling bertabrakan. Hidup dan bermain lagi hingga dering waktu yang tak diketahui. Betapa aku ingin berpikir—berpikir secara rasional bahwa semua gangguan ini hanyalah sindrom kesendirian. Dunia yang asing dimana aku merasa terpisah dari diri sendiri dan tak bisa kembali. Tetapi dimana seharusnya aku berada? Sebagai sebuah apa?
Kakiku menyusut turun, menarik rapat dua daun jendela kemudian menguncinya dan melapisi dengan tirai. Kini tak ada pemandangan kecuali kesunyian yang mengendarai hening kamar. Dan tetes air yang masih sesekali jatuh ke lantai menggantikan ingatan tentang sonata Bach. Kumatikan semua lampu. Lamunanku menyelam ke lubang gelap, mengitari masa-masa yang pernah ada, menghayati lapisan kehidupan yang masih berbentuk nyata dalam kamar ini, tubuhmu dan jendela itu. Kekosongan berjalan-jalan memutarinya memecah gulita dengan semburat waktu yang mengabur.
Mengapa aku selalu menghempaskan diri di keasingan dan terbangun sebagai sesuatu yang lain? Tak ada frasa untuk mengungkapkan, keletihan itu telah menjadi rima yang konstan. Aku tak pernah menuliskannya di atas apa pun. Sesungguhnya aku hanya duduk terpuruk di atas lumpur yang bernapas, mengulang-ulang kualitas hidup segelap ketiadaan.
Rasa cinta sebening embun, aku melihatnya hanya lahir di darah yang tersaring. Dari segala jenis peperangan, yang terjadi di dalam diri senantiasa menahbiskan luka-luka itu demi segenap kesempurnaan. Tetapi pedang mana yang tahu bahwa luka bermetamorfosa sebagai kalung embun yang berkilau? Sayatan di setiap kalbu memanjang sepanjang metabolisme darah, dan keputus-asaan melata di sana, berkembang biak pada persalinan cita yang gugur.
Kembali kubuka tirai dan jendela dengan kehati-hatian sehalus desir angin agar tak membangunkanmu. Dingin berguliran menyelisik setiap titik udara. Aku mencium pagi yang menjelang datang, mengetuk telunjuk di permukaan yang beku, berapa lamakah rahim-rahim sepi mematangkan kebeningan? Selalu ada kata yang memberontak keluar, tetapi aku merasa lumpuh untuk menuangkannya dengan ukiran tulisan. Kertas-kertas di meja itu menanti hati, aku tahu, tapi segala inspirasi telah bersemayam di kotak-kotak es imajinasiku. Tak akan ada yang mengerti bila aku membariskan aksara, jiwaku telah pergi meninggalkan cerita. Aku menautkan kesepian yang tak tampak digelungan dirinya, jauh dari Toni Morrison membingkai wilayah. Kekuatan yang berliku, menarik-narik diri hingga kau pun tak pernah merasakan utuh setiap simbol nyawa yang aku punya. Nyawa yang selalu lepas, mencari dunianya sendiri tanpa aku berdaya mengejar-ngejarnya kembali.
Seandainya syair-syair itu merangkak di daratan nelayan, akankah ikan-ikan mengantar dirinya menjadi lampu-lampu dalam jiwa yang terjebak kegelapan? Hari-hariku tak pernah mengenal ruang, berada di alam nyata ataukah ilusi, bias-bias fatamorgana menghentak dan merantai. Apakah bedanya bila aku tetap berdiri di tepi jendela ini atau terkapar di seberang taman itu? Puisiku tak terbaca oleh kematian, tetapi lumpur-lumpur kehidupan tak juga bisa mengabadikannya. Tak ada kebeningan yang terjual dan berakhir. Betapa aku ingin terlahir setiap pagi dan mengering alami di pelukan matahari. Lahir bersama kabut yang menangis. Lahir sebagai puisi yang sebening embun.
Obsesi bergelombang tinggi mencapai puncak-puncak kegelisahan. Berdebur hingga kedamaian mengerjap di keputusan yang berkedip. Bulan semakin pucat di ufuk memerah.
Aku memeluk puisi-puisi itu, melepasnya beterbangan semesra merpati-merpati putih menjemput kekasih. Wajahku tertawa penuh bahagia, melompat pergi ke pelukan kabut yang memudar meninggalkan embun-embun di jendela. Seperti keripik-keripik berjatuhan ke kedalaman sumur yang pekat, lalu gema halusnya menjadi instrumental dinding-dinding kebisuan, aku menjadi zombie sebelum kepala pecah membentur aspal.
Bila malam mencapai sunyi, pada jendela hotel yang terisolasi itu serpihan-serpihan puisi melayang laksana daun-daun bintang yang melingkari debu. Kabut bergelung menyerupai kelopak mawar, menjadi lapisan basah di permukaan kaca, jatuh sebagai tetesan embun di kecupan pagi. Menggeliatlah untuk melihatnya, dan kau akan tahu, itu adalah aku.






















Majalah Syir’ah, Mei 2005















Kristal itu jatuh, pecah berhamburan. Berserakan bersama debu-debu yang terhempas angin. Ia berkitar-kitar mencari sandaran kilau kacanya. Tetapi sia-sia. Waktu terus berlalu menyeretnya pada kenyataan yang tak pernah terkira akan menghampiri bahwa ia akhirnya hancur berkeping-keping. Tak lagi berharga dan dipuja.
Kegemilangan yang kini bersimpuh lumpuh. Tak berdaya menggapai bintang-bintang terang yang menerpakan cahaya. Roda-roda berlarian menyerpih-nyerpih tubuhnya hingga halus berderai bagai debu yang ringan melayang-layang kemudian lenyap dan tak kembali. Tinggal sekeping beling. Tinggal menunggu bah melenyapkan segalanya. Apakah ia akan berakhir tanpa bekas, ataukah tenggelam di dasar kegelapan, apakah masih akan bertemu bayang-bayang? Ia ingin sekali berlari. Berkejaran menembus atmosfer dan mendarat di lempeng bulan. Menyepi memandangi planet-planet yang berputar. Menunggui surga tumbuh di bumi kemudian ia akan kembali ke sana dan merebahkan diri di rumput segar, berharap Tuhannya memahat kembali tubuh yang tinggal sekeping beling kepada pesona kristal yang abadi.
Semua harapan hanya keajaiban yang tersesat di mimpinya. Dan kilatan petir menyuntikkan kepahitan bahwa ia tak berdaya sepanjang waktu digilir dingin dan gersang. Sebentar berselimut kabut sebentar terpanggang matahari. Semut-semut menapakinya dan lumut hijau berupaya memeluk tubuhnya. Tetapi bagaimana pun ia adalah kristal, takkan ada yang bisa menggenggamnya kecuali keindahan dan kepahitan. Dan ia tak akan merasa pernah kalah walaupun kini tinggal sekeping beling di tepian jalan yang menawarkan kematian. Satu-satunya kekuatan ialah ia meyakini Tuhan menjaga roda-roda tak melindasi sisa dirinya, serta kaki-kaki tetap menghormatinya meski kini ia tak lagi berkilauan di depan mata. Mereka tak lagi melihat padanya, tetapi ia sedikit bersyukur tercampak di pangkuan alam, jauh dari sampah-sampah yang menanti pembakaran tanpa doa.
Untuk sekian lama ia terlelap di pelukan malam, gelap gulita atau kadang di bawah cahaya. Ia telah terbiasa mengenali pagi dari titik embun segar di bahunya. Kemudian matahari perlahan-lahan menghampirinya dan ia pun segera merasa kering sebagaimana ranting yang menjemput waktu. Kadang-kadang angin bertiup sangat kencang menerbangkan daun-daun dan bunga-bunga layu berserakan di atas tubuhnya, saat itulah cengkrama terjadi dalam bahasa keluhan tubuh. Mereka merasa menyatu dan damai di penghujung perpisahan pesona diri. Ia berada di antara kesedihan dan kebahagiaan bahwa ia tak sendiri mengalami nasib hempasan, namun mengapakah masih saja tinggal sekeping beling saat yang lain perlahan-lahan kering dan tak bersisa. Apakah ia selamanya akan tinggal sekeping beling di pergiliran siang malam, abadi menikmati persentuhan musim-musim. Bahkan cacing-cacing bersenggama dan mati ia tetap sekeping beling yang satu dan membatu. Apakah untuknya tak ada usia kecuali bahwa ia dahulu kristal dan kini sepotong noda? Ia sesungguhnya tak merasa sebagai noda yang mengkhianati kemuliaannya, sebab setiap kali hujan memandikannya ia kembali bening dan menjadi cermin pelangi. Maka atas nama siapakah ia tetap bertahan?
Rumput-rumput kini meninggi. Ia tenggelam dalam kehangatan dan mulai merasakan betapa agungnya kedamaian. Kenangan kemewahan tak lagi melekat dan betapa ia cinta pada kesederhanaan dirinya yang sekeping beling, pada pagi yang segar dan malam yang sunyi.
Ia dapat terlelap dalam senandung jangkrik dan gemerisik rerumputan. Dingin yang merayap sepanjang kelam membungkusnya. Mungkin tak ada yang mengerti bahwa ia telah melahirkan senyum dari persetubuhan hari-hari.
Tetapi hujan tak selamanya ramah. Dan petir tak sedikit pun mencurahkan kasih sayang demi memanjakannya. Ia harus tahu tidak segalanya yang ada di semesta raya saling tersenyum dan melindungi. Apakah sebatang pohon besar itu telah menyombongkan diri hingga petir menyambarnya penuh amarah, ia tidak mengerti. Api memercik ke tubuh yang kokoh, tumbang menghitam dan hujan tidak memadamkan. Hujan tidak memadamkan. Atau tidak mau memadamkan. Dan apakah kesalahan ia dan rerumputan menanggung beban batang pohon yang kehilangan hidup? Ia mengira himpitan ini segera menderai dirinya menjadi butir-butir kaca yang terbenam dalam genang air.
Rumput-rumput gelisah dalam basah yang menggenang. Ia mendengar kecipak-kecipak katak berlompatan, entah menari atau bersedih. Sayang, ia tak dapat menyaksikan apa-apa kecuali warna hitam batang pohon itu yang mungkin telah senasib dengannya. Betapa ingin ia bertanya padanya apakah kau telah mati dan menuju surga? Ia berpikir seolah-olah kematian tak mampu menjemput dirinya walau sekian lamanya ia pasrah sebagai sekeping beling yang merebah. Pohon itu menyuruknya namun ia masih sekeping beling dalam hujan deras yang tak lekas berhenti. Badai akan segera tercipta mengakhiri segalanya, ia diam-diam menikmati ketenangan dan keyakinan bahwa tubuhnya tetap utuh. Hingga kelak terbenam dalam tanah yang gulita di mana mahluk-mahluk pengurai menjalankan fungsi. Dan sang waktu tak jua ingin menyentuh sekeping beling yang telah dipisahkannya dari keajaiban sebuah kristal.
Tak ada yang lebih mengerikan dari jalan raya. Tak ada yang lebih mengerikan dari roda-roda berputar. Di sana kehidupan dan kematian melebur dalam potongan-potongan menit. Sebentar kembali ke sana ia akan menemui batas usia. Dan ia takkan pernah pulang ke mana-mana. Lenyap. Atau seperti debu-debu melayang kemudian tinggal di salah satu planet lain atau terbakar matahari. Lenyap. Menjadi kegelapan? Atau cahaya?
Deru yang teramat dahsyat. Suara hujan terdengar menerjang arus air. Rumput-rumput tenggelam dan ia merasa bumi kini adalah sungai tanpa ikan. Pohon besar itu tergerak desakan air. Perlahan-lahan. Perlahan-lahan. Selanjutnya ia dapat mendengar benda yang berat itu tak berdaya diguling-guling arus deras. Benda yang begitu besar namun tak berkutik menyelamatkan diri. Sebentar lagi pasti sampai di dasar laut dan tersantap ikan-ikan. Menjadi tak bersisa kecuali dalam perut ikan-ikan lalu keluar sebagai tahi. Sementara ia tetap sekeping beling walau apa pun yang terjadi.
Tak tahu apakah hari-hari berjalan. Tidurnya menjadi panjang dalam genangan sungai. Genangan air. Hanya suara hujan tak lagi datang. Matahari berkunjung menjadi bola merah di permukaan yang coklat tanah. Ia tersenyum bahagia, berharap bisa kembali pada dataran di mana pelangi becermin pada dadanya. Burung-burung berkicau menjejakkan kaki di atas tubuhnya, ia merasa lucu dan ingin sekali menangkapnya tetapi tangan-tangannya telah jauh meninggalkan dirinya. Kesedihan kembali menerpa kala langit kembali gelap dan tiada lagi riuh di tempatnya berpasrah. Rumput-rumput layu. Ia merasa sendirian. Kesunyian tak lagi berpihak pada keindahan. Semuanya telah pergi dan menjelma sepi. Dunia adalah kesedihan.
Ia ingin menyanyikan lagu, mengurai sepi agar sedikit berirama. Tetapi suaranya hanyalah kebisuan yang ia mengerti sendiri. Beginilah yang tinggal sekeping beling, tercampakkan dari pesona sendiri dan keengganan kematian. Ia ingin berlari kepada jalan raya dan menyerahkan diri pada lintasan roda-roda. Tetapi ia hanya bersimpuh lumpuh di kenyataan angan yang kerontang. Diam. Terpaksa mengakui penantian. Seribu malaikat bahkan tak memanjatkan doa untuknya karena ia pun tak bisa memanggil mereka.
Sampai kapankah ini harus dinikmati? Terpenjara nasib yang tak lagi melewati ambang-ambang perubahan. Dari diam ke diam. Sungguh menyiksa terbuang dari kebahagiaan. Mengapa ia terus tercampakkan. Ketika jatuh pada dunia yang apa adanya, menerima segala kesederhanaan tentang hidup, kini terpuruk kebisuan. Kesenyapan. Tak ada Tuhan dan setan. Tak ada doa dan nyanyian. Tak ada senyum dan kebimbangan. Bahkan tak ada warna hitam dan putih. Dan kebisuan ini terasa abadi. Takkan ada akhirnya. Walau itu pasti kesimpulan yang salah. Tapi demikianlah yang merayap di pergantian waktu. Ia berharap-harap kiamat segera tiba.mempertemukan bulan dan matahari, pecah seperti dirinya. Berkeping-keping menerpa bumi. Gunung-gunung meletus bertempur dengan awan-awan yang tak lagi biru. Menumpah-ruah lahar yang membakar kebisuan, meleburkan dirinya dan ia akan bersatu dalam tangisan. Jatuh di telapak tangan Tuhan sebagai setitik embun yang bening dan tajam. Mungkin ia akan diletakkan di sebuah piala. Berdiri antara surga dan neraka seperti waktu berbaring menatap pagi dan senja. Malaikat-malaikat menatapnya, menjaga jangan sampai ia jatuh lagi walaupun hanya tinggal setitik embun bening yang tajam, bukan kristal yang anggun berkilau.
Ah, mimpi. Hanya mimpi yang ia miliki. Atau bahkan ia hanya dimiliki mimpi.
Seribu tahun berlalu dalam kerinduan yang terkubur. Ia abadi sebagai pusara tak bernama. Tetap sekeping beling. Mungkin tak lagi bening. Apakah dunia telah menjadi hutan, ia tak mengenal lagi perubahan. Tapi alam gelap tempatnya berada tak terkunjungi suatu apa. Gerimis dan gersang pergi ke tempat lain. Mungkin kiamat telah lewat dan ia gagal menyaksikan. Sejarah telah menjadi asing dalam dunianya, barangkali berkeping-keping bersama bintang-bintang. Dan juga menjadi pusara, sama seperti dirinya.
Lalu kapankah ia tiba di surga, di telapak tangan Tuhan? Sebagai setitik embun yang bening dan tajam? Jangan-jangan surga tak pernah tercipta dan Tuhan menjadi pusara, sama seperti dirinya. Sebab ia masih saja sekeping beling. Abadi dalam kebisuan dan kesenyapan. Apakah Tuhan tak dapat bicara? Apakah pasrah seperti dirinya? Apakah Tuhan ingin dibebaskan? Dari kekuasaannya? Tuhan tak pernah mengunjunginya. Mungkin bukan karena tak peduli, melainkan terpenjara dalam keharusan takdirnya. Apakah Tuhan juga akan tertakdir menjadi sekeping beling? Mungkin Dia harus belajar menjadi sekeping beling agar berkuasa menyelamatkan yang tinggal sekeping beling pada penghargaan kehidupan.
Yang tinggal sekeping beling. Bersama kegelapan berjanji meninggalkan penyesalan akan segala kenangan. Kemilau kristal yang tertinggal di bibir kata-kata. Akhirnya ia sendiri jua yang harus mengucapkan selamat tinggal. Menuju kepada seonggok penerimaan yang tak berbunga perubahan. Cinta dan sedih pergi ke muara doa yang tak pernah sampai. Ia tak menyaksikan lagi puing-puing bertebaran memagut hidup.
Tinggal pusara. Apakah ia mati? Ia hanya diam. Diam.
Diam.
Menunggu berarti lagi.

No comments: