Wednesday, 30 January 2008

M. Raudah Jambak







KARTINI BERDARAH
AMANATIA JUNDA .S

TOKOH:
1. Kartika : Seorang gadis berusia 17 tahun. Berambut panjang dikepang dua, berkacamata besar, seorang kutu buku, pendiam dan kurang pergaulan.

2. Kartini : Sahabat khayalan Kartika. Seorang wanita berusia sekitar 20 tahun-an, rambut bersanggul, memakai kebaya, wajah keibuan, seperti sosok pengganti ibu sekaligus sahabat bagi Kartika

3. Friska : Seorang gadis kaya. Berusia 17 tahun. Berambut ikal, cantik, ramping, tinggi. Ketua geng Perfume. Mempunyai sifat sombong, dan sewenang wenang.

4. Lena : Seorang gadis berusia 16 tahun, anggota geng Perfume. Jangkung, berambut pendek. Agak tomboy. Sering main tangan.

5. Windi : Seorang gadis berusia 17 tahun, anggota geng Perfume. Seorang playgirl, centil, kurang pandai dalam pelajaran.


6. Resnaga : Sahabat Kartika sejak kecil. Seorang pemuda berusia 17 tahun. Tinggi sedang, berpenampilan sederhana. Ramah, setia, dan baik hati.

7. Malvin : Seorang idola sekolah, berusia 18 tahun, tampan, angkuh, berpenampilan keren. Kekasih Friska.

8. Bu Sartika : Ibu Kartika. Berusia sekitar 45 tahun, seorang wanita karier, janda, penuntut pada anak semata wayangnya, dan over protektif.

SETTING :

Panggung dibagi menjadi 2 bagian, kanan dan kiri. Bagian kanan merupakan kamar Kartika. Didominasi warna putih. Terdapat sebuah ranjang kayu kecil bersprei putih motif bunga bunga, sebuah meja belajar kayu dengan lampu duduk dan tumpukan buku biografi RA. Kartini, dan kursi putar putih. Keduanya menghadap ke penonton. Latar belakang adalah dinding kamar berwarna putih dengan gambar gambar RA Kartini ukuran A3. Di awal cerita akan ditambahkan sebuah cermin ukiran dari Jepara. Terbuat dari bingkai kayu berukir dengan cermin yang dapat membuka dan menutup, untuk tempat keluar masuk Kartini dari belakang panggung.
Bagian kiri, 2 kali lipat luasnya daripada kamar Kartika. Sebuah ruang kelas dengan bangku bangku kayu, papan tulis dan meja guru. Latar belakang dinding kelas bercat biru muda dengan jendela jendela besar dan gambar gambar pahlawan. Terdapat pintu di salah satu sisi dinding samping yang menghubungkan ke belakang panggung.



ADEGAN 1

Narator : (Mengutip salah satu penggalan surat Kartini yang tidak dipublikasikan. Diiringi suara dentingan gitar, pelan)
Daripada mati itu akan tumbuh kehidupan baru.
Kehidupan baru itu tiada dapat ditahan tahan, dan meskipun sekarang dapat juga ditahan-tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup makin lama makin kuat makin teguh.
Kamar Kartika
Kartika : (memakai piyama, sedang membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang disusun oleh Armijn Pane, di meja belajar. Airmuka serius, lampu duduk menyala.)
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dan suara panggilan untuk Kartika.
Bu Sartika : Kartika? Kartika?! Buka pintunya! Hari masihlah sore, gemarkah kau untuk tidur? Bukalah! Lekas!
Kartika : Menghela napas panjang, kemudian menutup bukunya dan bangkit untuk membuka pintu.
Bu Sartika : Astaga! Sesore ini kau sudah siap berpiyama? Bisakah kau tidak bermalas malasan saja? (Menatap Kartika tak percaya, tangannya membawa tas tangan kecil. Dibelakangnya 2 orang pesuruh menggotong sebuah benda setinggi 2 meter berbungkus kertas cokelat.)
Kartika : Ma, Kartika sedang baca buku, bukan sedang tidur. (Bela Kartika pelan, sambil mengangkat buku Habis Gelap Terbitlah Terang)
Bu Sartika : Oh terserahlah, kau pasti membaca buku cerita. Itu sama saja dengan tidur. Sia-sia belaka. Pak, bawa masuk kesini (masuk ke dalam dan menunjuk dinding) Letakkan disini saja, ya bagus, kalian bisa keluar. Terimakasih.
Setelah 2 pesuruh tersebut keluar
Kartika : Apa ini Ma? (Menghampiri benda tinggi bungkusan cokelat tersebut, penasaran)
Bu Sartika : (Duduk di tepi ranjang sambil melepas sepatu hak tingginya) Mama bawakan oleh oleh untukmu. Bukalah, kau pasti suka. Itu dari Jepara. Asli! (Tersenyum sambil menunjuk bungkusan tersebut pada Kartika.)
Kartika : lukisan RA Kartini, Ma?! (segera menyobek bungkusan tersebut dengan bersemangat).
Sartika : Bukan, itu lebih bermanfaat buatmu.
Kartika : (Tertegun mendapati sebuah bingkai kayu jati. Selebar setengah meter dan setinggi 2 meter. Sekeliling tepinya penuh dengan ukir ukiran berbentuk sulur sulur. Kaki cermin juga berukir berbentuk bonggol akar yang kokoh. Warna bingkai cokelat tua berpelitur mengkilat.)
Sartika : Kenapa? Kau tak suka cermin itu?
Kartika : Buat apa Ma? Tika rasa cermin ini terlalu besar untuk kamar ini. (berkata lirih sambil melirik bingkai kayu tersebut tanpa minat) Oh ya! (serunya mendadak) Kartika sedang baca buku RA Kartini, Ma… bagus sekali ceritanya. Mama mau baca? (menyodorkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang dengan wajah berseri)
Bu Sartika : Tika! Berhentilah baca buku buku konyol seperti ini! Sekarang bukan saatnya kau mengenang jasa Kartini. Tapi manfaatkanlah jasanya sebaik mungkin. Mana prestasi yang dapat kau berikan buat Mama? Kerjakan tugasmu dan belajarlah yang tekun. Harusnya kau bersyukur emansipasi menjadikanmu pelajar sampai sekarang dan mama seorang manager perusahaan besar.” (berucap lantang)
Kartika : Mama sama sekali tak berminat baca ini? (masih menyodorkan buku tersebut)
Sartika : Ya.. ya..ya.. Mama akan baca jika mama sudah pulang dari dinas ke Bandung 2 minggu ini. Oke?
Kartika : Tapi Mama kan baru saja pulang dari Semarang? (meletakkan buku itu kembali ke meja belajar)
Bu Sartika : Mama mendadak ditugaskan atasan untuk mengurusi proyek yang baru. Sudahlah, mama capek. Mama hendak istirahat (bangkit, sambil menguap) Oh ya, cermin itu gunakan baik baik. Kau harus banyak merias diri, berlatih berbicara di depan umum dan menjadi seorang gadis teladan yang menyenangkan.
Kartika : Maksud Mama?
Bu Sartika : Bulan depan ada pesta peresmian kantor baru Mama. Kau harus ikut, mama ingin mengenalkanmu dengan anak kolega mama. Malam Sayang.. (mengecup kening Kartika lalu beranjak keluar)

ADEGAN 2

Pagi hari. Sebuah kelas dengan bangku bangku yang masih kosong dan beberapa bungkus bekas jajan berserakan. Seorang pemuda tampan sedang duduk di meja guru smbil mendengarkan sebuah lagu dari Ipod. Seorang pemuda sederhana membawa sapu menghampirinya.

Resnaga : Malvin, hari ini piketmu. (menyodorkan sapu)
Malvin : (Acuh, Kepalanya bergoyang goyang menikmati lagu)
Resnaga : Malvin, hari ini piketmu! (berteriak lebih nyaring)
Malvin : (Masih tetap acuh. Bahkan lebih keras menggoyang goyangkan kepalanya)
Kartika : Biar aku saja, mana sapunya? (tiba-tiba muncul dari balik pintu)
Resnaga : Mengapa kau begitu baik hati? Malvin tak pernah piket, kau tahu? (protes, agak keras menunjuk Malvin. Sedangkan Malvin melepas earphone)
Kartika : Karena aku.. aku… (gugup, terbata-bata saat melihat Malvin menatapnya tajam)
Friska : Karena dia memang seorang pembantu! Ha.. ha.. ha.. (tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan suara yang nyaring. Dibelakang, Lena dan Windi mengikutiku sambil terkikik)
Windi : Oh, sungguh malang.. udah kuper, culun, kacamata pantat botol, pembokat lagi! Hi..hi..hi..
Lena : Nih, sekalian ngepel lantai! (melempar kain lap yang ada di salah satu bangku)
Resanaga : Kalian jangan seenaknya pada Kartika. (merebut sapu dari tangan Kartika) Malvin, piketlah! Apa kau tak malu kewajibanmu diambil alih Kartika?
Malvin : Bah! Aku laki-laki. Menjijikkan sekali aku harus menyapu. Itu memang tugas perempuan! (Melempar sapu ke lantai) Ayo kita pergi! (menggandeng Friska, keluar diikuti Lena dan Windi yang menyibir ke arah Resnaga dan Kartika)
Resnaga : (Mendesah panjang, menatap Kartika dengan iba) Aku tak habis pikir. Mengapa kau selalu mengerjakan tugas tugas Malvin dengan ringan tangan?
Kartika : (terdiam beberapa saat) Res, apa kau tak pernah mendengar cinta itu butuh pengorbanan? (berujar pelan kemudian beranjak pergi)
Resanaga : (Mengambil sapu, dan menyapu perlahan) Aku telah lama berkorban untukmu Kartika… Hanya saja kau tak pernah tahu. (bergumam lirih)


ADEGAN 3
Sore hari, Kamar Kartika…
Kartika masuk ke dalam kamar, masih mengenakan seragam sekolah. Menghampiri meja untuk meletakkan tas dan bukunya. Kemudian berjalan menghampiri cermin Jepara.

Kartika : Indah nian kau cermin.. wahai benda antik dari Jepara. (mengelus ukir ukiran di tepian cermin, perlahan) Kau ingatkanku pada Ibu Kartini.. andaikan kau adalah penghubung masa ini ke masa lalu, akan kutemui Ibu Kartini.. akan kuceritakan semua jasanya telah mengubah zaman dan nasib perempuan. Namun aku masih terkukung disini.. layaknya Ibu kita dipingit dan tak kuasa menanggung senyap… (bernada sedih, meratap) Oh, betapa sunyinya hidupku. Tak pernah dicinta dan Malvin tak pernah menoleh padaku, haruskah aku mengubah diriku menjadi gadis gadis seperti geng Parfume? Andaikan, Ibu Kartini kemari… mungkin aku akan menjadi gadis paling beruntung di dunia.
Tiba-tiba lampu kamar padam, cahaya merah berkerlap kerlip, terdengar suara desauan angin.
Kartika : (tersentak kaget) Oh, ada apakah ini? (ketakutan, berlari naik ke atas ranjang)
Sesosok wanita muncul dari bingkai cermin Jepara, melangkah keluar. Menghampiri ranjang. Lampu kembali menyala terang dan suasana kembali normal.
Kartini : Nduk, tenanglah… iki ibumu. (tersenyum lembut)
Kartika : Siapa kau?! (semakin duduk menyudut di ranjang, memeluk kedua lututnya. Wajahnya luar biasa ketakutan)
Kartini : Aku Kartini. Aku yang selama ini kau tuturkan di lembaran lembaran kertas buku harianmu. Aku yang selama ini kau rayakan setiap tanggal 21 April, sama dengan hari lahirmu juga kan, Nduk?
Kartika : (Mulai tenang, mengendurkan pelukan lututnya.) Kau Kartini? Raden Ajeng Kartini? Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu aku?
Kartini : (Tersenyum lebih ramah) Ya, aku Raden Ajeng Kartini. Namun, apalah arti sebuah status ningrat jika Raden Ajeng harus hidup di penjara sangkar emas? Dikelilingi 4 tembok serasa kebebasan adalah kebahagiaan terbesar.
Kartika : Bagaimana Ibu bisa datang kemari? Sudikah ibu bersahabat dengan gadis memalukan seperti saya ini?
Kartini : Oh, Nduk… tiada boleh kau berkata seperti itu.
Ingin benar hatiku berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang aku sukai dengan hati jantungku. Anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah tangkas, yang berdaya upaya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk bangsa… Ibu datang dari jauh untuk mendengarkan segala kegundahan hatimu. Anggaplah aku sahabat penamu yang akhirnya berkunjung menengok seperti tatkala aku bersua dengan Nyonya Abendanon.
Kartika : (Menghambur, memeluk Kartini, terisak isak) Ibu…! Kartika rindu sekali pada Ibu. Setiap malam Kartika diam diam membaca buku tentang Ibu. Berhati hati kalau Mama sampai menangkap basah Kartika, dan membuang segala yang Kartika koleksi tentang Ibu.
Kartini : Sshh… (membelai rambut Kartika) Yakini, ibu juga merindukan sosok gadis berhati suci sepertimu. Tidurlah, besok kau sekolah bukan? Betapa beruntungnya dirimu yang hidup di dunia pencinta kebebasan. Bukankah begitu, Nduk?
Kartika : (Mengangguk lemah) Ibu benar. Emansipasi menghapus diskriminasi untuk golongan kita. Dan ibu pasti senang melihat jasa ibu terlampau besar untuk Indonesia.
Kartini : Aku tahu jalan yang hendak aku tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang lubangnya. Jalan itu berbatu batu, berlekuk-lekuk, licin, jalan itu.. belum dirintis! Dan biarpun aku tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya kini telah terbuka lebar.

ADEGAN 4

Sebuah kelas, terdengar suara gaduh dari 3 orang siswi. Friska, Lena, dan Windi.

Friska : (Duduk di meja, airmuka cerah) Oh, kemarin malam adalah pesta terkeren sepanjang hidupku. Seperti mandi keringat aku ikut dugem di dancefloor. 4 kali aku bolak balik ganti pasangan. Sungguh menyenangkan!
Wndi : Iya, tentu saja kau bolak balik ganti pasangan.. bukankah kita bertiga sungguh seksi tadi malam?
Friska : Ya jelaslah. Apalagi kau kemarin mabuk berat Windi. Hei, tidak ingatkah kau? Kemarin kau membuka setengah bajumu dan bergoyang sungguh panas!
Windi : Oh ya?!(Memekik girang) bagaimana reaksi cowok cowok itu?
Lena : Wow! Mata mereka seketika hijau! Dan langsung teler melihatmu!
Friska : Air liur mereka sampai menetes di gelas cocktail.
Friska, Lena, Windi :tertawa bersama, nyaring. Kartika muncul dari balik pintu, tangannya mendekap tumpukan buku.
Lena : Hai, kau! Kesini…. Cepat! (menunjuk Kartika, tawa mereka menghilang. Wajah wajah centil berubah menjadi beringas)
Kartika berjalan menunduk, ketakutan.
Friska : Jalan lelet amat! Rupanya hendak bersaing dengan kura-kura! Darimana saja kau, Kuper?! (Membentak)
Kartika : (Tergagap) Da.. da.. ri.. P..per pustakaan
Lena : Hei! Ngomong yang tegas! (menepuk pipi Kartika)
Windi : Iya nih, berminat ya jadi gadis sok bisu? Udah kuper, siapa yang mau repot repot melirikmu? Apalagi.. hi..hi..hi.. lihat deh, apa bawaannya?
Friska : (meloncat turun dari meja, berdiri dan segera merebut buku buku yang didekap Kartika) Ya ampun! Hari gini… nggak salah baca, kau? Kartini? Memang masih zaman? Hm… (membaca satu persatu judul buku buku) ada RA Kartini, Kartini Sebuah Biografi, dan.. astaga! Judul jadul banget nih, Habis Gelap Terbitlah Terang. Eh, pernah dengar nggak kalian? (menoleh ke Windi dan Lena yang menggelengkan kepala bersamaan sambil mencibir)
Windi : Yang aku tahu sih adanya Habis gelap total terbitlah tagihan PLN, belum bayar listrik kaleee…
Friska dan Lena: (tertawa terbahak, bersamaan) Ha.. ha.. ha
Kartika : (Berusaha merebut buku yang dipegang Friska) Kembalikan! Kembalikan.. buku itu!
Friska : Oh, Dear… Len, tahan dia! (memerintah keras. Segera Lena mengunci kedua lengan Kartika ke belakang punggungnya) Coba kita baca sekilas buku macam apa ini, Sobat. (Berdehem, dengan mimik sok serius, membuka salah satu halaman buku RA Kartini karangan Tashadi) Denger ya, salah satu kutipan surat Ibu kita tercinta “Selama ini hanya satu saja jalan terbuka bagi gadis Bumiputera akan menempuh hidup, ialah kawin.”
Friska, Lena, dan Windi : Tertawa tergelak.
Lena : Hari gini.. kawin? Emang Siti Nurbaya?
Windi : Wah, wah, wah pantas saja kau jadi anak kuper.. bacaanmu masih seputar zaman tempoe doeloe… parah!
Friska : Oke, sebagai teman yang baik bagaimana kalo kami membantumu sembuh dari ke-kuper-an? (tanpa menunggu jawaban dari Kartika yang sibuk melepaskan diri dari cengkeraman Lena, kini Friska merobek buku tersebut)
Kraak… Kraak.. Kraak.. Segera lembaran buku Kartini berserakan di lantai kelas. Kemudian dengan bernafsu Friska dan Windi menginjak injaknya.
Kartika : Kumohon hentikan…! Jangan disobek! Kumohon… (Kartika berontak kemudian Lena mengendorkan cengkeramannya. Seketika Kartika menyerang Friska untuk menghentikannya)
Friska : Nih, kita nggak butuh baca ginian! (melempar buku buku Kartini ke lantai dan segera menginjaknya juga)
Kartika menunduk dan melindungi buku buku tersebut. Berkali kali Friska dan kedua teman temannya menendang Kartika.
Lena : Rasakan! (menendang keras) Dasar penyembah buku!
Malvin muncul dari balik pintu, menggeleng gelengkan kepala melihat Geng Parfume sedang menyiksa Kartika.
Malvin : Sudah hentikan Friska, Lena, Windi! (seru Malvin agak keras)
Friska : Tapi Babe, anak ini rese’ sekali tadi, Huh! Masa’ aku sama anak anak tidak dicontekin pas ulangan Fisika? (menghentikan acara menyiksa lalu menghampiri Malvin dan mengeluh manja)
Malvin : Salah kalian sendiri tidak belajar. Sekarang berhentilah main mainnya, katanya kita mau jalan-jalan?
Friska : (mengangguk dan tersenyum manis) Ayo, kita tinggalkan dia!
Setelah keempat murid tadi pergi keluar dari kelas, Resnaga muncul dan keheranan melihat Kartika sedang memunguti sobekan kertas dan berusaha menyusunnya.
Resnaga : Kartika? Kok belum pulang?
Kartika : (Menoleh ke asal suara, memaksakan senyum) Oh, kau.. Res. Iya, aku habis dari perpus.
Resanaga : Kau sedang apa? Hei, apa yang terjadi? (Menghampiri Kartika dan membantu memunguti buku buku yang berserakan)
Kartika : Aku sedang melindungi harta bangsa. Sisa sisa pengabdian ibu kita.
Resnaga : Ibu kita? Siapa?
Kartika : (terbelalak, menatap Resnaga tak percaya) Tak tahukah kau? Raden Ajeng Kartini! Beliau Ibu kita semua bukan? Beliau sungguh baik hati. Beliau sangat keibuaan, belaiannya sangat lembut… ah, aku masih bisa merasakannya. (menyentuh rambutnya) Hm, kira-kira sekarang Ibu sedang apa ya?
Resnaga : Kartika, kau baik baik saja kan? (menyentuh kening Kartika dengan lembut)
Kartika : Apa maksudmu?! (menepis tangan Resnaga dengan kasar)
Resnaga : Aku mengkhawatirkanmu. Lagipula... bukankah Kartini sudah tiada? Bagaimana bisa kau merasa belaiannya?
Kartika : Beliau masih hidup kok! Beliau sengaja datang dari jauh untuk menemaniku. Ah, sudahlah. Pasti kau tak kan percaya. Lebih baik aku pulang saja. Sampai jumpa. (Berdiri, memasukkan buku buku ke dalam tas dan kemudian beranjak pergi)

ADEGAN 5
Sore hari, kamar Kartika
Bu Sartika : (Berdiri mondar mandir sambil sesekali menengok jam tangan yang melingkar di lengan kirinya) Oh, hari sudah sore. Kartika tak kunjung pulang, kemana saja anak itu? Tak tahukah dia kalau hari ini Keluarga Gana akan berkunjung kemari?
(tiba-tiba perhatiannya tertarik pada sebuah buku agenda bersampul merah di atas meja belajar) Diary? Kartika menulis Diary? Hm… boleh juga. Aku penasaran dengan isinya. (Duduk, dan mulai membaca buku agenda tersebut)
Tiba-tiba Kartika muncul dari balik pintu.

Kartika : Mama? (melirik buku agenda yang langsung dikembalikan mamanya di atas meja) Mama baca diary-ku?! (agak keras)
Bu Sartika : Iya. Apa tidak boleh? Kau adalah anak Mama. Urusan pribadimu otomatis urusan Mama juga.
Kartika : Tapi Ma…
Bu Sartika : Tapi apa? Mama tahu kamu sekarang sedang menyukai teman kelasmu. Siapa Malvin itu?
Kartika : (Terdiam, menunduk)
Bu Sartika : Dengarkan Mama Kartika. Kau harus jatuh cinta pada lelaki yang tepat! Jangan sampai kau mendapat lelaki brengsek seperti papamu. Turuti saja pilihan Mama. Kau pasti suka. Sekarang lekaslah mandi dan berdandan yang cantik. Keluarga Gana akan datang dan makan malam bersama kita.
Kartika : (Mendongak) Siapa mereka Ma?
Bu Sartika : Tentu saja calon keluarga barumu! (Keluar dari kamar Kartika)
Kartika : (Terduduk lemas di ranjangnya. Memeluk buku RA Kartini. Mulai terisak sedih)
Tiba-tiba Kartini keluar dari bingkai cermin Jepara. Kemudian berjalan menghampiri Kartika, duduk di sampingnya dan membelai rambut Kartika dengan lembut.
Kartini : Anakku, ceritakanlah semuanya pada Ibu, agar lapang dadamu.
Kartika : Hiks… Ibu… saya hendak dijodohkan hiks.. oleh Mama saya. Saya nggak mau. Saya mencintai pemuda lain. (terisak semakin keras)
Kartini : Cinta, apakah yang kau ketahui tentang perkara cinta itu? Betapa kau akan mungkin sayang akan seorang laki laki dan seorang laki laki kasih akan kau, kalau kau tiada berkenalan bahkan yang seorang tiada boleh melihat yang lain? Aku berkehendak bebas, supaya aku boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan… jangan sekali kali dipaksa kawin!
Kartika : Ibu, mengapa hidup saya sangatlah sengsara? Saya tak pernah bahagia tak terkira terkeculai bertemu dengan ibu. Hanya ibu yang mengerti hati saya. Maafkan saya Bu, tidak bisa melindungi buku buku tentang ibu. Teman teman kelas saya menyobeknya tadi siang dan mereka selalu menyiksa saya.
Kartini : Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati melihat kejahatan sebanyak ini di sekeliling diri, sedang diri tiada berdaya akan menjauhkannya! Sabar ya Nduk…

ADEGAN 6
Di kelas, suatu siang…
Malvin dan Friska tampak bermesra-mesraan di kelas yang kosong. Mereka saling menggoda, dan tertawa. Kemudian Friska bergelayut manja pada Malvin. Mereka berdua berpegangan tangan. Dari arah pintu, Kartini berjalan cepat sambil menunduk. Ia terperangah melihat pemandangan tak pantas di kelas. Seketika buku buku yang didekapnya jatuh berdebam ke lantai.

Malvin : Oh kau Tik, aku kira guru. (refleks melepas genggaman tangannya dengan Friska)
Friska : Hei, kuper! Ngapain kesini? Ganggu orang pacaran saja! (membentak dengan keras)
Kartika : Ma.. maaf.. aku.. nggak tahu kalau kalian..
Friska : Nggak tahu apa? Bilang saja iri! (Berkacak pinggang kemudian bangkit berjalan menghampiri Kartika)
Windi dan Lena masuk ke dalam kelas.
Lena : Apa ini? (Memungut buku agenda yang terjatuh bersama buku buku yang lain)
Kartika menoleh, terkejut.
Lena : Lihat! Ck.. ck.. ck.. tak kusangka! (Menunjukkan sebuah halaman dari agenda tersebut ke teman temannya. Sebuah tulisan dengan huruf besar besar berbunyi AKU CINTA MALVIN)
Friska : (Mendelik marah) Kau cinta Malvin? Kau menyukai cowokku? Bisa-bisanya kau… Plak! (menampar Kartika dengan keras)
Malvin menghampiri mereka berdua. Kemudian mengambil alih agenda yang dipegang Lena dan tertawa terbahak bahak.
Malvin : Wah wah wah, aku tak menyangka tipe cowokmu seperti aku Tika. Kiranya seperti Resnaga yang culun.
Lena, Windi dan Friska : (Ikut tertawa keras)
Malvin : Kartika.. Kartika.. bercerminlah dulu sebelum kau menyukai seseorang! Kau itu SANGAT TIDAK PANTAS buatku yang kaya, tampan dan idola semua cewek! Maaf Kartika… lebih baik kau berhenti menulis namaku di diarymu, buang buang kertas saja. (Menghmapiri Lena dan meraih agenda tersebut. Dibolak baliknya dengan antusias)
Windi : Iya, kau itu seperti pungguk merindukan bulan!
Lena : Bukan, tapi seperti langit dan bumi!
Friska : Eh, salah lagi. Lebih mirip Kutu dan pangeran!
Malvin dan geng Parfume: (tertawa sangat keras)
Malvin : Dasar gadis lugu. Ayo kita pergi! (Merangkul Friska yang tertesenyum sinis pada Kartika yang sedari tadi menunduk)
Lena dan Windi pun beranjak keluar mengikuti mereka.
ADEGAN 7
Kamar Kartika
Kartini : (Berjalan mondar mandir, bergumam sendiri) Oh, anakku yang malang… aku tahu semua perbuatan keji yang dilakukan mereka! Seperti Belanda menjajah anak pribumi. Namun, pantaskah saudara menjajah saudara sendiri? Tiada satu pun jua yang boleh menyakiti Kartika.
Kartika : (Muncul dari balik pintu) Aku pulang…
Kartini : Masuklah Nduk. Ssh.. jangan berkata apa pun. Ibu tahu perasaanmu.
Kartika : Bagaimana Ibu bisa tahu?
Kartini : Apa kau lupa dengan tujuan ibu kemari? Setiap hari aku melihat lihat dunia masa sekarang yang sangat pesat peradabannya. Namun, aku iba hati ini tatkala aku menjumpai berbagai macam perempuan seperti mereka. Karena bukan barang yang indah indah saja yang menjadi terlihat olehku.
Kartini : Maksud ibu? Perempuan yang seperti apa?
Kartini : (Menghela napas panjang sambil duduk di kursi) Apalah artinya perjuangan ibu selama ini? Emansifatie yang mendarah daging telah disalahgunakan.
Kratika : (Duduk di tepi ranjang) Maksud Ibu? Kartika semakin tak mengerti. Jasa Ibu sungguhlah besar.
Kartini : Namun mereka tak tahu bagaimana mengamalkannya! Ibu tak kan berjuang jika akhirnya mengetahui betapa mengerikan sikap perempuan masa ini. Mereka berjalan dengan busana ala kadarnya, seperti memang lebih mengasyikkan tuk telanjanng. Emansipasi juga telah mengubah mereka untuk terus mengejar pekerjaan dan menyiakan suami dan anak anak mereka. Pantaskah perempuan seperti itu? Mereka tiada boleh melupakan sama sekali adat dan norma. Oh, namun betapa memalukan mereka berjalan, bernapas, bertingkah layaknya peerempuan binal tak punya urat kemaluan! (suaranya sangat lantas dan penuh emosi)
Kartika : Oh, ibu. Sungguh besar derita dan bebanmu. Namun, masih banyak perempuan di bumi Indonesia yang mempunyai akhlak mulia seperti Ibu.
Kartini : Ya, kau benar Anakku. Alangkah susahnya dan sedihnya akan patah rasanya hidupku. Jika semua yang kutuangkan dalam ratusan lembar surat dinodai oleh tinta yang lebih pekat. Namun aku tahu, diliteran tinta kami masih memiliki asa. Dan kau pikul cita citaku selanjutnya, kau emban dan kau simpan dalam sanubari terdalam. Engkau jiwa yang suci Nduk.. jangan sampai ternoda.
Kartika : Ah, aku hanyalah gadis lemah, rapuh dan tak berdaya. Sia sia saja aku, jika orang yang kukasihi pun mengolokku.
Kartini : Hapus airmatamu, sudah saatnya kau hapus noda yang mengotori halaman halaman kisah hidupmu.

ADEGAN 8

Sore hari, Ruang kelas yang kosong…

Windi : (Berdiri membelakangi pintu masuk. Menelepon seseorang dengan suara yang sangat manja dan centil) Iya.. Sayang… aku habis ini tunggu kau di depan gerbang sekolah ya? Jangan ngaret lho! Awas! Nanti kita booking tempat yang biasanya saja. Iya, ngerti nggak sih maksudku? Aku lagi bokek nih, Om..
Tiba-tiba sosok hitam masuk ke dalam kelas. Sosok tersebut memakai jubah hitam panjang dan tudung yang melindungi wajahnya. Tangan kanannya memegang sebuah pisau tajam.
Windi : Oke deh Sayang… sampai ketemu nanti (menutup pembicaraan, berbalik dan seketika berteriak tertahan)
Windi jatuh tersungkur di lantai kelas dengan darah membanjir dari perutnya.

ADEGAN 9
Kamar Kartika
Bu Sartika : (Geleng geleng kepala sambil mengecek thermometer) Astaga Kartika! Badanmu panas sekali! Kau harus banyak beristirahat. Jangan baca buku buku cerita lagi. Pasti kau kecapekan.
Kartika : (Membisu di balik selimut tebal)
Bu Sratika : Kau harus makan yang banyak. Nanti Mama pesankan bubur ayam kalau lewat depan rumah.
Kartika : (Masih membisu. Tangannya mendekap erat diary dan gambar RA Kartini)
Bu Sartika : Oke, terserah kau saja. Ibu capek melihatmu akhir akhir ini seperti kehilangan gairah hidup. Tapi Ibu tak bisa menungguimu lebih lama. Ada meeting di kantor hari ini. Jadi, kalau ada apa apa kau hubungi Mama lewat telepon saja.
Kartika : (Masih membisu. Tatapan matanya kosong ke depan)
Bu Sartika : Sampai jumpa nanti malam Sayang… (mengecup dahi Kartika kemudian keluar)

ADEGAN 10

Pagi hari, Sebuah kelas yang kosong..
Masih sosok yang sama, memakai jubah hitam dan tudung. Duduk di salah satu bangku sambil menunduk. Beberapa saat kemudian Lena dan Friska masuk ke dalam kelas. Langkah mereka terhenti ketika menjumpai sosok berkerudung hitam duduk tak bergerak.
Friska : Siapa kau?! (Berteriak nyaring, air mukanya mendadak berubah ketakutan)
Sosok itu masih tidak bergerak.
Lena : Fris.. apa jangan-jangan… Dia yang ngebunuh Windi? (Dengan nada takut bercampur ragu)
Friska : Aku nggak tahu. Hei, jawab! Kau tuli ya? Kau siapa? Jangan bercanda! Ini nggak lucu!
Masih tak ada reaksi.
Lena : Oke, sebentar Fris.. jangan jangan dia orang gila yang ketiduran di kelas. Aku akan buka kerudungnya (Hendak berjalan menghampiri sosok tak bergerak tersebut)
Friska : (Menahan lengan Lena) Jangan Len! Aku takut! Lebih baik kita lapor guru atau kepala sekolah.
Lena : Ya ampun Friska.. gini aja takut. Kau lupa aku sudah pegang sabuk hitam?
Friska : Tapi… (ragu-ragu, airmukanya masih sangat cemas)
Lena : Sudah, diamlah disini.. (Lena berjalan dengan penuh waspada, semakin mendekat ke sosok tersebut)
Lena sudah berdiri di depan bangku dimana sosok itu duduk tak bergerak. Tangannya terjulur hendak membuka tudung kepala sosok tersebuk. Namun, secepat kilat sosok itu bergerak, bangkit dan langsung menusukkan pisau yang sedari tadi dipegangnya di balik jubah, ke perut Lena.
Friska : AAAAAAAA…! (Memekik nyaring dan segera berlari keluar kelas)

ADEGAN 11
Kamar Kartika
Kartika masih sakit. Ia setengah berbaring di ranjang. Menulis sesuatu di agendanya.
Pintu membuka, Kartini masuk ke dalam kamar dan tersenyum melihat Kartika.

Kartika : (Menoleh, kemudian membalas tersenyum, lemah) Ibu darimana saja?
Kartini : Tidak begitu penting. Hanya menghapus noda. (Berjalan menghampiri Kartika dan memegang keningnya dengan lembut)
Kartika : Itu apa? (Menunjuk bungkusan tas plastik hitam yang dibawa Kartini)
Kratini : Oh, ini… tidak penting kok. Bagaimana keadaanmu Nduk? Mau ibu buatkan wedang jahe? Atau bubur? (sambil memasukkan bungkusan itu ke kolong ranjang.
Kartika : Nggak perlu Bu. Saya sudah agak mendingan. Mungkin besok saya sudah diijinkan Mama masuk sekolah. Mmm.. Ibu terlihat letih. Ibu mau tidur di samping saya?
Kartini : (Mengangguk kalem) Ya, ibu sangat lelah. Bolehkah ibu tidur dekat dinding? Rasanya pasti dingin.
Kartika : Tentu saja, dengan senang hati (bernada cerai, langsung bangkit menggati posisi tidurnya).

Kartini naik ke ranjang dan langsung tertidur lelap. Sedang Kartika masih sibuk menulis diary sambil sesekali memandang Kartini. Tiba-tiba penanya terjatuh ke lantai. Kartika bergegas turun dari ranjang, hendak memungut penanya. Namun, perhatian sejenak teralih saaat melihat bungkusan hitam milik Kartini. Dengan hati hati ditariknya keluar bungkusan tersebut dari kolong ranjang.

Kartika : Hm.. apa yah ini? Ibu Kartini kemana saja sih seharian ini? Tumben juga bawa oleh oleh… (Membuka tas plastik tersebut. Ia menemukan jubah hitam dan sebilah pisau berlumuran darah. Kartika memegang benda benda tersebut dengan airmuka ketakutan. Ia bolak balik memandang Kartini yang masih tertidur membelakanginya ke benda benda tersebut) Untuk apa jubah dan pisau? Lantas ini darah siapa?

ADEGAN 12

Kelas
Tampak Malvin sedang menemani Friska yang sedang bercerita dengan ekspresi sedih. Resnaga duduk di sudut sedang menulis sesuatu.
Friska : Windi dan Lena adalah sahabat sahabat terbaikku Vin. Aku nggak rela kalau kehilangan mereka. Apa salah mereka? Apa maksud pembunuh itu?
Malvin : Tenanglah Fris.. masih ada aku kok. Setidaknya kau belum kehilangan Lena. Dia masih di rumah sakit. Aku juga nggak tahu salah mereka apa.
Friska : Aku takut kalau… kalau… kalau habis ini giliranku yang dibunuh.
Malvin : Sst… jangan berkata begitu, sekarang kau aman kok. Sekolah sudah dijaga ketat oleh polisi.
Kartika masuk ke dalam kelas.
Kartika : Pagi… (menyapa dengan pelan, datang dan keheranan melihat wajah wajah duka di kelas)
Malvin dan Friska bangkit dari duduk tanpa berkata apa pun pada Kartika mereka keluar.
Resnaga : Tika, kau sakit apa? (Segera menghampiri Kartika, cemas)
Kartika : Cuma demam biasa kok. Ada apaan sih? Kenapa anak anak mendadak aneh. Wajah mereka seperti penuh ketakutan dan kesedihan. (Meletakkan ranselnya dan duduk)
Resnaga : Sekolah ini diteror. Ada 2 kasus pembunuhan selama 2 hari ini.
Kartika : Pembunuhan?! Bagaimana bisa? (terbelalak kaget)
Resnaga : Tika, Windi telah meninggal dengan sangat tragis. Dia ditusuk di kelas. Kemarin Lena dan Friska juga hendak dibunuh. Tapi, hanya Lena saja yang berhasil ditusuk. Keadaannya sekarang kritis di rumah sakit. Diperkirakan pembunuh keduanya sama.
Kartika : Lantas siapa pembunuhnya?
Resnaga : Entahlah. Polisi masih menyelidiki teror ini. Polisi hanya dapat keterangan dari Friska bahwa pembunuh itu memakai jubah daan tudung hitam. Wajahnya tak tampak. Dia membawa sebilah pisau.
Kartika : Jubah hitam? Pisau, katamu? (Terdiam sejenak) Tidak… ini tidak mungkin.. (Menggelengkan kepala dengan tak percaya)
Resanaga : Ada apa Kartika? Kau mengenal pembunuhnya? Kau tahu? Siapa?
Kartika : Res… pembunuhnya.. pembunuhnya adalah Ibu Kartini. Aku harus menemuinya sekarang! (berdiri dan berlari dengan tergesa keluar kelas)
Resnaga : Tik, tunggu! TIK! (Berteriak sambil mengacungkan Map Folder yang tertinggal di meja) Ada apa dengan anak itu? Akhir akhir ini dia tampak aneh. (Bergumam sendiri sambil membuka folder tersebut. Di dalamnya ada agenda milik Kartik) Hm, Diary Kartika. Kira-kira dia marah nggak yah kalau aku baca isinya? (Membuka diary tersebut. Kemudian ia menemukan sebuah kertas lecek yang terselip di salah satu halaman. Dahinya mengerut serius tatkala membacanya) Target Pembunuhan? (membaca judul di kertas tersebut)

ADEGAN 13
Siang hari, Kamar Kartika
Kartika : Ibu, jujurlah padaku!
Kartini : Maksud Nduk Kartika? Ibu tak paham. (duduk di tepi ranjang. Airmukanya sangat kalem)
Kartika : Apa… apa ibu yang membunuh teman temanku?
Kartini : Temanmu? Teman siapa? Sejauh ini hanya ibulah temanmu Nduk..
Kartika : Teman sekelas Tika Bu, Windi dan Lena!
Kartini : (Tertawa dingin, melipat tangannya. Suara berubah dingin) Apa mereka bisa disebut teman? Setiap bertemu mereka menganiayamu, menyiksamu… tak tahukah kau ibu sangat menyayangimu, Nduk?
Kartika : Jadi.. benar? Ibu adalah sosok berjubah hitam itu?! (berkata lirih tak percaya)
Kartini : Ya, aku memang yang merencanakan semuanya. Target pembunuhan selanjutnya Friska.
Kartika : Tidak... tidak mungkin! (menggelengkan kepala kuat kuat)
Kartini : Aku pembunuh! Kita pembunuh kaum perusak emansipasi!
Kartika : NGGAK! Kartini yang aku kenal bukan seorang pembunuh! Kau bukan Ibu Kartini! Kartini tak kan mungkin membunuh.
Kartini : Apa yang kau bicarakan? Aku Kartini! Aku melindungi dirimu dari apa pun yang kau benci!
Kartika : Kau jahat! Pergi dari sini! Kembalilah ke duniamu! (Mendorong Kartini ke bingkai cermin)
Kartini : (Tidak berusaha melawan) Terserah, kau akan menyesal Nduk… karena telah mengusirku. Api yang membersihkan api. Api itu juga yang menghancurkan kayu menjadi abu! Camkan itu! (menghilang dari balik cermin)

ADEGAN 14

Ruang Kelas…
Friska sedang duduk terdiam, wajahnya pucat dan sayu. Ketika Kartika muncul ia segera menegakkan badannya. Kartika datang dengan wajah tampak ekspresi. Ia menutup pintu kelas dan menguncinya.

Friska : Ada urusan apa kau kesini? Enyahlah Kuper, aku sedang tak berselera mengolok olokmu!
Kartika : Aku ingin memberimu hadiah yang paling indah… (Tersenyum dingin menghampiri Friska)
Friska : Hadiah? (Tiba-tiba melihat pisau yang digenggam erat Kartika. Ia terbelalak) Kau mau membunuhku?!
Kartika : Kalau iya, lantas kenapa? Kemarin kau lari, sekarang kau tak kan bisa lari lagi Friska cantik… (Berjalan semakin mendekat)
Friska : (Berdiri merapat ke tembok) Jadi, kaulah sosok jubah hitam kemarin? Kau yang membunuh Windi kan?!Aku salah apa padamu?!
Kartika : Kau tanya salah apa? Kau sangat bersalah! Ha…ha..ha.. Kau telah melukai Kartika, melukai Kartini, dan melukai Pertiwi!
Friska : Aku nggak pernah lukain siapa pun.. pergi! Jangan sakiti aku! TOLONG! TOLONG AKU!
Terdengar pintu digedor keras
Resnaga : Kartika! Kartika! Buka pintunya!
Bu Sartika : Tika! Ibu mohon buka pintunya!
Kartika : (Terkejut, menoleh ke pintu yang masih tertutup) Pergi kalian dari sini! Aku Kartini! Aku akan membunuh wanita wanita terkutuk!
Terdengar suara keras. Pintu terdobrak. Resnaga, Bu Sartika dan Malvin masuk dengan airmuka tegang.
Resnaga : Kartika lepaskan pisau itu! Kau bukan Kartini! Kau Tika, sahabatku sejak kecil!
Bu Sartika : Kartika… maafkan Mama. Mama tak pernah tahu kau punya kepribadian ganda. Lepaskan jiwa jahatmu Nak
Malvin : please Kartika… kumohon lepaskan Friska. Maafkan dia… maafkan aku juga.
Kartika : Persetan kalian semua!!! (Menarik tubuh Friska lalu mencengkeram leher gadis tersebut. Ujung pisau menempel di kulit mulus Friska) Jangan berani mendekat!
Resnaga : Kartika, sadarlah! Bangunlah Tik! Kau adalah Kartika sahabat terbaikku. Kau adalah gadis baik. Kau bukan pembunuh. Dan Kartini hanya kepribadian yang tak kau sadari saja Tika. Tenangkan hatimu Tika…
Kartika : (Oleng, memegang tangannya. Mendadak ia merasa pusing. Cengkeramannya pada Friska mengendor, seketika Friska berhasil membebaskan diri dan berlari menghambur ke Malvin) Aku... aku… pembunuh. Aku membunuh orang orang di dekatku. Pergi dari sini! Pergi! Lekas! Aku tak mau jiwaku yang satunya membunuh kalian! Pergi! (mengacungkan pisaunya ke atas)
Resnaga : Tidak! Aku tak mau pergi! Karena aku sangat mencintaimu…
Hening sejenak
Kartika : (Terisak sambil tersenyum getir) Maaf Res.. aku nggak bisa. Ak… aku.. sudah terlanjur membunuh, aku nggak mau ngebunuh Friska, Mama, Malvin dan kau… Kalau kalian tak mau menjauhiku akulah yang harus pergi. (Menusukkan pisau tersebut ke jantungnya)
Bu Sartika : TIDAK!!!! (melolong histeris, pingsan)

Tubuh Kartika tersungkur jatuh di lantai. Menusuk dadanya sendiri dengan pisau yang digenggamnya. Antara kehidupan dan kematian ia masih bisa tersenyum menahan sakit. Resnaga segera berlari menghampirinya.

Kartika : Terimakasih… Ak… aku sayang kali… an semua, khususnya eng…kau Resnaga.. Selamat tinggal. (memejamkan mata perlahan)

Narator : (Mengutip salah satu surat Kartini yang tidak dipublikasikan namun diubah sebagiaan, suara narator diiringi dentingan gitar, berduka)

Sampai aku menarik napas yang penghabisan, akan tetap aku berterimakasih pada kalian dan mengucap syukur akan kasih kalian kepadaku. Seorang buta yang diperbuat melihat, sekali kali tiada menyesal, matanya dibukakan orang karena bukan barang yang indah indah saja yang menjadi terlihat olehku dan kalian.

SELESAI


Sidoarjo, 27 Juli 2006
Tuk yang mengabdi tanpa menyadari
Alm. RA Kartini





PS : dalam naskah drama ini terdapat beberapa kutipan asli maupun yang diubah untuk dialog dan narasi. Sumber sumber kutipan tersebut :
Buku Habis Gelap terbitlah Terang (Armijn Pnae)
Buku Kartini Sebuah Biografi (Siti Soemandari Soeroto)
Buku Ra Kartini (Tashadi)


HM1L [baca:hamil]
Karya : Puthut Buchori

PERTUNJUKAN DIMULAI DENGAN LAGU DAN GERAK RAMPAK YANG MENGGAMBARKAN TENTANG SEMANGAT KAUM MUDA DALAM MENGHADAPI DUNIA.
SYAIR 1 : MANUSIA MUDA
Orang-orang Muda
Tersisihkan keangkuhan generasi
Dikalahkan kesombongan basi
Korban orde pembodohan

Kami tak lagi bisa bungkam
Tak lagi kami hanya diam
Mesti terkotak sistem aturan
Namun kami tetap punya otak

Bergerak derak harus teriak
Energi kami masih perkasa
Menerjang menerpa meski menendang
Karena kami tak pernah lelah

Dengan gaya kami
Inilah diri kami
Aneka ragam keinginan terpendam
Rupa-rupa warna hasrat
Suka-suka segala dicoba
Hura-hura sisi dunia ceria
Muda-muda gaya
Hidup untuk dinikmati
Jadikanlah segalanya ceria
Uh…. Mempesona

BAGIAN 1
SEKELOMPOK ANAK MUDA KAUM PINGGIRAN YANG BERGAYA ‘PUNK ’ BERLARIAN MENGEJAR SESEORANG YANG MEREKA ANGGAP SEBAGAI MANGSA. DISUSUL KEMUDIAN SEKELOMPOK ANAK MUDA YANG BERPAKAIAN MODIS (MODE MASA KINI) YANG JUGA SEDANG MENGEJAR SESEORANG YANG JUGA MEREKA ANGGAP SEBAGAI MANGSA.

BAGIAN 2
SEORANG PEREMPUAN BELIA DUDUK DIAM SEDANG DIADILI KEDUA ORANG TUANYA. DIA HANYA MENANGIS TAK BERDAYA, SEMENTARA AYAHNYA MARAH KARENA KELAKUAN ANAK SEMATA WAYANGNYA TIDAK SESUAI HARAPAN.

001. AYAH : Apa, hamil ?
002. SISI : Ya, maafkan Sisi ayah ?

BAGAI PETIR MENYAMBAR DISIANG BOLONG, AYAH MARAH SEJADI-JADINYA.
003. AYAH : Oh my God !!, dosa apalagi yang diperbuat anak ini, kutukan apalagi yang menimpa keluarga ini.
004. SISI : Maaf….
005. AYAH : Diam!! Ayah kurang memberi apa padamu, uang jajan, pendidikan, kebutuhanmu sehari-hari. Kurang apa coba, segala permintaanmu aku kabulkan semua.
006. SISI : Ayah…
007. AYAH : Jangan bicara dulu! Apa kamu tidak kasihan pada ayahmu ini, pontang-panting bekerja untuk memenuhi kebutuhan kalian, memberi makan kalian….
008. SISI : Ayah…
009. AYAH : Diam kataku!
010. IBU : Ayah, berilah waktu untuk dia berpendapat.
011. AYAH : Kamu juga bu, orang tua yang tak bisa mendidik anak. Kamu lebih banyak di rumah, lebih banyak bersama anak semata wayang ini, kok ya bisa-bisanya sampai kecolongan “meteng ” !
012. IBU : Ha, elho ! kok jadi ayah juga menyalahkan aku ?
013.AYAH : Kamu ibunya, tugasmulah mendidik anak !
014. IBU : Siapa bilang ? Ayah juga punya kewajiban mendidik dia.
015. AYAH : Aku sibuk bekerja !
016. IBU : Aku juga sibuk…
017. AYAH : Sibuk apa ? Arisan, piknik, sibuk ubyang-ubyung dengan kelompok arisanmu itu ?
018. IBU : Alaah , ayah hanya bisa menyalahkan, menghindar dari tanggung jawab moral…

DI TENGAH PERTENGKARAN ITU, SISI BERTERIAK HISTERIS, SUASANA JADI SEPI, BAPAK DAN IBU KELUAR DARI PANGGUNG. HANYA ADA SISI SENDIRI. MELAMUN, MENERAWANG JAUH, KOSONG.

SYAIR 2 : ELEGI SISI
Langkahku memang salah, hatiku tak terarah
Karna tergoda dosa aku dicampakkan
Terusir dari dunia yang kucinta
Tersisih dari orang tercinta
Tak tahu harus kemana menapak
Agar tetap diterima dan dicinta
Aku butuh arah, tanpa dihantui aib, dosa dan sesal

Ini bukan salahku semata
Ini salah keadaan, ini salah suasana
Ini salah jaman yang menuntutku berbuat
Mengajariku untuk ringan melakukan

BAGIAN 3
ANAK-ANAK BERGAYA ‘PUNK’ DENGAN ANEKA MACAM KENDARAAN: SKATEBOARD, SEPATU RODA, SEPEDA, DAN LAIN SEBAGAINYA. BERTERIAK TANPA ATURAN, MENDEKATI SISI YANG MASIH SENDIRI.

019. SISI : Kalian ini siapa? Kok berdandan aneh ?
020. P M : Atas nama pimpinan kami kaum Punk, perkenalkan aku Punk Melankolis akan menjadi malaikatmu.
021. SISI : Malaikat ?
022. P M : Ya, malaikat yang dalam bahasa inggrisnya, sebentar.. (membuka kamus) nah ini.. angel (dibaca tetap angel-jawa-)
023. SEMUA : Hu.. enjel..
024. P M : Ya, ucapannya seperti temen-temenku itu tadi, maklum bahasa Inggris anyaran ..
025. SISI : Kok malaikat ?
026. P M : Ya jelas malaikat, karena kami akan menolongmu, (kepada kelompok Punk) ya ?
027. SEMUA : Tul !
028. P M : Karena aku tahu, kamu sedang kesusahan (kepada kelompok Punk) ya ?
029. SEMUA : Tul !
030. P M : Karena aku tahu, kamu sedang kesepian (kepada kelompok Punk) ya ?
031. SEMUA : Tul !
032. P M : Karena aku tahu, kamu sedang sendiri (kepada kelompok Punk) ya ?
033. SEMUA : Tul !
034. P M : Sebab aku tahu, kamu sedang butuh teman (kepada kelompok Punk) ya ?
035. SEMUA : Tul !
036. P M : Good… good …good… begitulah kami, kompak.
037. SISI : Tetapi, aku…
038. JI-PUNK : Sudahlah, dik Friend, jangan ragukan soliditas dan soladaritas pertemanan kami, jangan remehkan kualitas dan kuantitas serta orisinalitas perkawanan kami.
039. SISI : Siapa lagi ini ?
040. P M : Oh, ini Ji-Punk, atau Punk Genter , beliau ini sekertaris kaum Punk.
041. SISI : Walah-walah, ada sekertarisnya ?
042. JI-PUNK : Meskipun kami ini kelompok inkonstitusional-marjinal , tetapi kami sangat aktual, sehingga menganut organisasi yang prinsipial..
043. SISI : O…
044. JI-PUNK : Oh ya dik friend , tadi ada instruksi dari kepala suku kami ‘ Bos Punk- reas’. Beliaunya ingin menemui dik friend langsung.
045. SISI : Yang mana sih, pimpinan kalian ? Kok keliatannya seru sekali ?

KEMUDIAN SISI MENEMUI PIMPINAN PUNK YANG TERNYATA DILUAR DUGAAN, BERPOSTUR TUBUH KECIL DAN BISU.

046. SISI : (Tertawa geli) Jadi ini, bos kalian ? Hallo bos..
047. BOS : (Berbicara tidak jelas)Operty iuythu nhuuijku bfgtrye okiuy
048. SISI : (Semakin geli) Bos kalian...?
049. BOS : (Berbicara tidak jelas, marah) Operty iuythu nhuuijku bfgtye okiuy !!
050. SISI : (Tertawa semakin geli) Yang bener ?
051. BOS : (Berbicara tidak jelas, semakin marah) Operty iuythu nhuuijku bfgtrye, okiuy…
052. PUNK-SIT : Eh, jangan main-main dengan bos, kalau marahnya memuncak ati-ati .

SISI MASIH TERTAWA, BOS PUNK-REAS SEMAKIN MARAH DAN KEMUDIAN DENGAN GUNA-GUNA MENYIHIR SISI HINGGA SISI JUGA IKUT BISU.

053. BOS : (Bahasa tidak jelas) Operty iuythu nhuuijku bfgtrye, okiuperty ihu nhuuijku bfgtrye, okiuyl.
054. SISI : (Bahasa tidak jelas) Operty iuythu nhuuijku bfgtrye,okiuy
055. SEMUA : Nah bener kan…
056. SISI : (Protes) Iperty iuythu nhuuijku bfgtrye, okiuy ?
057. BOS : (Menjawab dengan santai) operty iuythu nhuuijku bfgtrye.
058. SISI : (Mencoba berpendapat) operty iuybfgtyre, okiuy operty iuythu nhuuijku bfgtrye, okiuy.
059. BOS : (Masih dengan santai) ouijku bfgtrye, okiuy.
060. SISI : (Minta maaf) atoiyujhny iuyhu nhuuijku bfgoikoitr.
061. BOS : (Dengan penuh kebanggaan dan kemenangan, mengabulkan permintaan Sisi) eperty iuythu nhuuijku bfgtrye, okilokiol.
062. SISI : (Bicara normal) ... ah akhirnya… terima kasih. Maaf .

DARI KEJAUHAN TERDENGAR SUARA MUSIK DISCO DAN SUARA ORANG-ORANG TERTAWA PENUH KEGIRANGAN.

063. PINKPUNK : Eh rombongan modis datang.

SEMUA MELIHAT BOS, LALU BOS BERBISIK KEPADA JI-PUNK.

064. JI-PUNK : Kata Bos, kita harus sembunyi !!

SEMUA ANAK PUNK BERSEMBUNYI. ROMBONGAN MODIS DATANG MENDEKATI SISI.

065. MODELIA : Hey funkies, what happen ?
066. MODELINI : Are you cry, sweet heart ?
067. MODENA : Are you sad ?
068. MODENI : Are you lonely honey ?
069. MOMOD : What do you love me ?
070. KAUMODE : Hu.. ngaco !
071. MODELIA : Bete ya ? biar akika temenin.
072. SISI : Kalian ini siapa ?
073. MODELIA : Aku ini penolongmu.
074. SISI : Penolong ? Kok bisa ? Penolong bagaimana?
075. MODELIA : Ya penolong, yang siap menampung segala curhat mu, keluh kesahmu, sakit hatimu, sedih-sedanmu, dan…
076. KAUMODE : Kaum mode, penyulap kesedihan menjadi kebahagiaan. Kesusahan berubah keceriaan, jangan bete lah yaw !
077. MODELIA : Ya, kami akan membantumu untuk menciptakan kesenangan.
078. KAUMODE : Waow !
079. MODELIA : Bermain ke awan yang penuh warna-warna.
080. KAUMODE : Waow !
081. MODELIA : Ke atas pelangi yang sudah dapat kami ciptakan sendiri setiap hari..
082. KAUMODE : Waow !
083. MODELIA : Ke negeri para bidadari..
084. KAUMODE : Waow ! Waow ! Waow ! ehm wow keren…
085. SISI : Tetapi biarlah aku pikirkakan dulu, saat ini aku belum bisa berpikir jernih.
086. MODELIA : Itulah… untuk menjernihkan pikiranmu, tak perlu pikir panjang.. ayo…

TIBA-TIBA ANAK-ANAK PUNK MUNCUL DI HADAPAN MEREKA

087. PARA PUNK : Jangan !!
088. PUNK JAMBU : Ya, jangan ganggu teman kami, kami akan mati-matian membelanya.
089. PKBN : Sekali saja kau memaksanya, awas !
090. MOMOD : Nantang ya ? Berani ya ? Memangnya siapa kamu ?
091. PUNK JAMBU : Aku Punk Jambu.
092. PKBN : Aku Punk Kosong Barbunyi Nyaring.
093. MOMOD : Baik, aku layani. Mudil, maju ! (tokoh Mudil maju menantang)
094. PUNK JAMBU : Untuk membela mati-matian, aku tak keberatan. Punk Melankolis, maju !
095. P M : Lho, kok aku ? (Setelah berpikir sejenak akhirnya maju menantang Mudil) baik, oke sajalah…

DENGAN PENUH KEGAGAHAN PUNK MELANKOLIS MENGHADAPI MUDIL, TETAPI BELUM SAMPAI DI DEPAN MUDIL, DIA SUDAH MUNDUR.

096. PARA PUNK : Kenapa ?
097. P M : Kasihan ...
098. BOS : (Berbicara tidak jelas) Miujfyr bfgrytgeerefed lhohkihklo.
099. P M : Baiklah kalau itu kehendak bos.

DENGAN PENUH KEGAGAHAN KEMBALI KE ARAH MUDIL, TAPI BELUM SAMPAI DI DEPAN MUDIL PUNK MELANKOLIS MUNDUR LAGI.

100. PARA PUNK : Kenapa lagi ?
101. P M : Nggak tega.. sungguh.. yang lain sajalah..

TIBA-TIBA SALAH SEORANG DIANTARA MEREKA BERTERIAK “SERANG!!” DAN TERJADILAH PERKELAHIAN MASSAL. HINGGA AKHIRNYA TERDENGAR SUARA SIRINE MOBIL POLISI, KAUMODIS DAN PUNK MEMBUBARKAN DIRI. KEMBALI SISI SEORANG DIRI.

102. SISI : Sendiri lagi…. Mungkin sudah garis hidupku…

TIDAK TAHAN DENGAN RASA SAKIT DAN SEDIHNYA, SISI TERJATUH. LALU MUNCUL ORANG-ORANG LORONG.

BAGIAN 4
SYAIR 3 : ORANG-ORANG LORONG
Orang-orang lorong
Berjiwa penolong
Baju bolong tak berarti hati kami kosong
Orang-orang lorong
Bukanlah tikus pengerat
Penyayat para rakyat
Orang-orang lorong
Orang-orang lorong

103. ORANG 1 : Ada yang sakit.
104. ORANG 2 : Siapa ?
105. ORANG 1 : Entahlah, seorang perempuan muda yang penuh beban derita.
106. ORANG 2 : Astaga, kasihan.. entah dosa apa yang mengutuknya..
107. ORANG 3 : Mari, kita rawat dia.
108. ORANG 4 : Ya, dia sama manusianya dengan kita, kita wajib membantu kelelahan hidupnya.
109. ORANG 5 : Ya benar, hidup ini memang sudah sarat dengan persoalan. Tetapi kenapa perempuan muda ini yang harus menempuhnya?
110. ORANG 6 : Mari, kita berusaha menyembuhkannya.

LANTAS ORANG-ORANG LORONG BERUSAHA MENYEMBUHKAN DENGAN DOA-DOA RITUAL MEREKA. SETELAH DIBERI BEBERAPA RAMUAN JAMU SISI MULAI SADARKAN DIRI.

111. SISI : Orang-orang aneh lagi, apa kalian juga akan meninggalkan aku, menjauhiku seperti yang lain…
112. ORANG 2 : Kenapa kau katakan itu ?
113. SISI : Aku sedang menjalani pelik dan rumitnya hidup, tetapi orang-orang malah menjauhiku, bahkan orang-orang tercintaku mencampakkan aku. Aku yang sedang terkena musibah, malah semakin hari semakin dapat masalah. Aku memang sedang susah, karena lupa Gusti Allah aku hamil di luar nikah.
(Berbicara sendiri) dikeluarkan dari sekolah, tidak diterima di rumah... aku lelah. Dijauhi teman-teman, orang-orang terkasihpun lambat laun meninggalkan... aku bosan....
114. ORANG-ORANG : O…
115. ORANG 6 : Jangan kau anggap musibah itu adalah musibah. Tetapi anggaplah sebagai anugerah, serta petiklah hikmah daripadanya.
116. SISI : Tapi aku telah melulu berdosa, bahkan dengan orang tua. Akupun telah durhaka, membuat dia murka. Masihkah aku terampuni ?
117. ORANG 6 : Gusti Allah itu samudera kasih. Jangan kau remehkan Beliau. Jika kau sungguh-sungguh bertaubat, Beliau pasti menerima.
118. SISI : Masih mau menerima..
119. ORANG 6 : Ya, pasti ! seperti kami di sinipun akan menerima ketulusan hatimu dengan lapang dada. Mari kami antarkan kau ke tempat ibadah.
120. SISI : Terima kasih.

SISI DAN ORANG-ORANG LORONG MENUJU KE SUATU TEMPAT. MENINGGALKAN PANGGUNG

BAGIAN 5
DI MARKAS ANAK-ANAK PUNK
121. BOS : (Marah besar dengan bahasa yang tidak jelas) Operty iuythu nhuuijku bfgtrye, okiuperty ihu nhuuijku bfgtrye. Operty iuythu nuye, okiuperty ihu nhuuijku bfgtrye.
122. P M : (Merasa bersalah dan hampir menangis) Itu bukan salah saya bos, bukannya saya tak berani, masak saya ditandingkan dengan anak kecil, yang benar saja..
123.BOS : Operty iu bfgtyre, okiuperty ihu nhuuijku brye.
124. P M : Ya baiklah, kalau saya tetap disalahkan..
125. PUNK JAMBU : Kamu memang salah, tugas begitu saja tidak mampu.
126. JI-PUNK : Gara-gara kamu, schedulle kita berantakan. Kita rugi immaterial, kita jadi gagal. Sial !!
127. PKBN : Ho’oh, sial !
128. PINKPUNK : Idih.. kamu pigimana sih.. kacau... kacau, kepalaku jadi pusing…
129. JI-PUNK : Menurut catatanku, gara-gara kegagalanmu kita rugi sebanyak 32 kali.

KARENA DIMARAHI OLEH SEMUA ANGGOTA PUNK, PUNK MELANKOLIS MENANGIS.

130. PUNK JAMBU : Dasar Punk Melankolis ! Gitu aja nangis, minta perhatian.
131. PUNK-SIT : Punk kok tidak tahan banting.
132. PKBN : Punk itu harus eye-waterproof .
133. PUNK-SIT : Apa itu ?
134. PKBN : Artinya, anti air mata, seorang punker tidak boleh nangis. Apa itu, setiap dimarahi nangis, mewek, kolokan banget kamu.
135. BOS : (Menasehati) operty iuythu nhu bfgtrye, okiuperty ihu nhuuijku.
136. PINKPUNK : Ini baru rombongan kita yang marah. Coba kalau rombongan Punk se Asia tenggara marah semua padamu, habis deh air matamu !

PUNK MELANKOLIS MASIH MENANGIS MERASA BERSALAH. DI TENGAH TANGISNYA HANDPHONE-NYA BERBUNYI.

137. P M : (Masih menangis) Ya, halo. Ada apa ? sedang sedih nih. Kalau tak ada kabar baik telponnya nanti saja. (tiba-tiba wajahnya jadi cerah, ada berita bagus, tangisnya langsung berhenti) Apa ? Gadis muda yang aku cari-cari itu sudah ketemu ? Ya.. baik, aku akan segera kesana...
138. BOS : Operty iuyhu nhuuijku bfgtrye ?
139. P M : Berita bagus bos, wanita muda yang mau kita santlap itu sudah ketemu..
140. BOS : (Memberi perintah) Oiuythu nhuuijke, rty ihu n !!!

ANAK-ANAK PUNK LANGSUNG BERHAMBUR KELUAR MARKAS, KELUAR PANGGUNG

BAGIAN 6
DI MARKAS MODIS, SEMUA BERPIKIR KERAS UNTUK MENDAPATKAN SISI.

141, MODELIA : Hu… gara-gara rombongan jabrik semua jadi kacau... kacau beliau semua rencana kita.
142. MODELINI : Gara-gara jabrik bagaimana ? Ini karena kita yang telat datang.
143. MODENA : Modelini ! Kita telat datang, karena kamu mandi kelamaan.
144. MODELINI : Eh, kok aku disalahin ? Ini karena adik kamu Modelia yang bersoleknya salah melulu !
145. MODELIA : Aku kok jadi disalahkan ?
146. MODELINI : Iya memang gara-gara kamu ! coba tanya Modeni.
147. MODENI : Ho’oh.
148. MOMOD : Sudah.. jangan pada ribut sendiri ! Ayo, kita rebut bareng-bareng.

KEMUDIAN SEMUA KAUMODE MENYALAHKAN SATU SAMA LAIN.

149. MODELO : Hei, cukup saling menyalahkan ! ingat kata pepatah, bersalah kita teguh bercerai kita runtuh.
150. KAUMODE : Hu….
151. MOMOD : Daripada saling menyalahkan, lebih baik kita konsentrasi bersama.

KAUMODE MEMBUAT KOMPOSISI GERAK UNTUK MELAKUKAN KONSENTRASI MASSAL. DAN SETELAH KONSENTRASI.

152. MOMOD : Ketemu ?
153. KAUMODE : Di sana (masing-masing menunjuk ke arah yang berbeda) ha ?
154. MOMOD : Kita ulangi.

KEMBALI KAUMODE MEMBUAT KOMPOSISI GERAK DAN SETELAH ITU.

155. MOMOD : Ketemu ?
156. KAUMODE : Di sana (semua masih menunjuk ke arah yang berbeda) ha?
157. MOMOD : Baiklah, sekali lagi.

KAUMODE KEMBALI MEMBUAT KOMPOSISI GERAK UNTUK KONSENTRASI. DAN SETELAH KONSENTRASI.

158. MOMOD : Bagaimana sekarang ?
159. KAUMODE : Di sana (sekarang semua menunjuk ke arah yang sama) yes!

KAUMODE BERLARI MENUJU KE ARAH YANG DITUNJUK.

BAGIAN 7
DI SUATU TEMPAT TERAKHIR BAGI SISI. SETELAH ORANG-ORANG LORONG MELAKUKAN RITUAL PERSEMBAHAN KEPADA GUSTI.

160. SISI : (Dengan penuh senyum kebanggaan) Yah.. karena beban hidup yang teramat sangat, aku jadi sekarat. Namun kini aku sudah merasa nikmat, kapanpun aku siap menghadap. Karena aku sudah merasa diterima, aku telah merasa dicinta, cinta abadi semesta.

SEJENAK KEMUDIAN SISI ROBOH DARI SAKIT DAN SEKARATNYA. IA TELAH DITELAN USIA MUDA.
161. ORANG 6 : Sang Maha Nasib, penguasa jagad, terimalah manusia muda penuh derita ini di pangkuanMu, di surgaMu, dia pasti akan sembuh dan bahagia.

ANAK-ANAK PUNK DAN KAUMODE SECARA BERSAMAAN HADIR DI TEMPAT RUH SISI MENINGGALKAN ALAM SEMESTA. MEREKA HANYA DAPAT MELONGO MELIHAT KEPERGIAN SISI.

162. ORANG 6 : Ya, kini dia telah lega. Dicinta oleh yang Maha Tulus dan Maha Ikhlas mencintainya... Tuhan Sang Pencipta Cinta...

ANAK-ANAK PUNK DAN KAUMODE HANYA TERDIAM, KAKU.

BAGIAN 8
SEMENTARA DI RUMAH AYAH DAN IBU SISI.

163. IBU : Yah.. Ayah..
164. AYAH : Apa ?
165. IBU : Sisi, yah…
166. AYAH : Apa bikin ulah ?
167. IBU : Ya, untuk terakhir kalinya… (tidak kuat menahan haru dan tangisnya) ia telah pergi, ia meninggalkan dunia ini karena sakit parah lahir batinnya, ia mati karena sakit hati karena hidup diantara orang tua yang sakit, ia sekarat diantara masyarakat yang sakit, Sisi semata wayang kita telah pergi, kasihan Sisi, kasihan bayi yang tengah dikandungnya.
168. AYAH : Ha ?

LAGU KEMATIAN MENUTUP CERITA INI.

SEMOGA MENJADI PEMIKIRAN BAGI YANG KEHILANGAN ARAH. SEMOGA MENJADI PEMICU MENCARI OBAT BAGI MASYARAKAT YANG SAKIT.
SELESAI.

Yogyakarta, 17 Juni 2008




Nama Panggung: Puthut Buchori
Nama Asli: Buchori Ali Marsono
No KTP : 13.5002.060971.0001
Alamat : Gowongan Kidul Jt III/412 Yogyakarta 55232
Email : masa_teater@yahoo.com
http://puthutbuchori.googlepages.com







Naskah Drama

M.S. Nugroho



Karakter : WEWEGOMBEL, GONDORUWO, BELA, MAMA, ORANG-ORANG,
ANAK-ANAK

01. Senja hari, di atas pohon besar, mengerikan
WEWEGOMBEL, GONDORUWO

Dalam bayangan hitam, WEWEGOMBEL menangis sedih.

GOMBEL : Ruwo... malam datang lagi. Malam datang lagi.
RUWO : Malam akan selalu datang, Gombel...
GOMBEL : Malam akan selalu menyiksaku, Ruwo. Malam akan membuatku kesepian.
RUWO : Tidak, Gombel. Aku akan menemanimu. Aku akan selalu di dekatmu.
GOMBEL : Ya, dan tanpa anak.
RUWO : Maafkan aku, Gombel. Aku tidak bisa memberi yang kau inginkan.
GOMBEL : Ratusan tahun aku menunggu. Sampai kapan lagi aku sanggup menunggu
seorang anak menghiburku.
RUWO : Inilah nasib kita, Gombel. Ratusan tahun usia kita. Kita tidak perlu anak
untuk melanjutkan hidup kita. Kitalah yang mendampingi sang waktu.
Malam bukanlah kesedihan kalau kita bersabar.
GOMBEL : Aku tidak bisa bersabar lagi, Ruwo. Setelah ratusan tahun kata sabar jadi
tidak bermakna. Ayolah, kita akan dapatkan anak yang manis.

WEWE GOMBEL terus merajuk. Kemudian percakapan terhenti karena sayup terdengar anak belajar bernyanyi.

02. Malam hari, di dalam rumah terang dan bersih, pinggiran kota.
BELA, MAMA

BELA sedang belajar di kamar atas; di ruang tamu MAMA lelah sepulang kerja.

BELA : (Menyanyi) Kasih ibu kepada beta
tak terhingga sepanjang masa
hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia.

MAMA : Bela, berisik. Mana air untuk Mama?
BELA : Iya, Ma. Sebentar.

MAMA berolah raga sekedarnya dan menyalakan lampu teras. BELA turun membawakan air hangat. Mama menyentuh air langsung marah.

MAMA : Terlalu panas, Goblok. Kau mau merebus Mama! Kurang ajar!

MAMA memukuli BELA dengan handuk. BELA cepat-cepat mengambil air sambil menangis.

BELA : Maaf, Ma. Bela tambahkan air dingin dulu.

MAMA mengumpat seraya menyalakan televisi dan memencet-mencet remot. BELA mengurut kaki Mama sambil terus menangis.

MAMA : (Mentertawakan acara televisi) Bela, sudah. Diam. Tidak kau lihat
Mama sedang menonton sinetron*).

03. Malam yang sama, di halaman rumah. Gembira.
ANAK-ANAK, BELA, MAMA

Anak-anak bermain-main. Gembira sekali. BELA mengintip dari jendela atas. Anak-anak memanggilnya. BELA takut dan ragu-ragu tetapi keluar juga melalui jendela.
Semua bermain lebih seru. Tiba-tiba MAMA keluar membawa sapu dan berteriak-teriak.

MAMA : Hei, bubar. Tidak punya rumah apa. Malam-malam begini ribut saja.
Diculik Wewe Gombel, tahu rasa kalian!

ANAK-ANAK menyoraki. MAMA melempari anak-anak sesuatu. ANAK-ANAK bubar. BELA sendirian.

BELA : (Berbisik) Teman-teman kalian di mana? Aku ikut.

BELA mencari-cari teman-temannya. BELA tersesat.

BELA : (Berteriak) Teman-teman kalian di mana! (Terkejut) Lho, aku sekarang
di mana, ya?


04. Malam semakin larut. Di bawah pohon. Mistis.
BELA, WEWE GOMBEL

BELA menangis sendiri. GOMBEL menari-nari menarik perhatian BELA.

GOMBEL : (Mengeluarkan boneka cantik) Bela... Bela... Ini Ibu punya. Kamu mau
boneka?
BELA : Siapa k-kamu...
GOMBEL : (Menyerahkan boneka) Terimalah. Jangan takut. Cantik, bukan? Ciumlah.

Setelah mencium boneka, BELA pingsan. GOMBEL membawa BELA sambil menari-nari gembira.


05. Malam yang sama, di teras rumah, cemas.
MAMA, ANAK-ANAK, ORANG-ORANG

ANAK-ANAK memanggil-manggil BELA.

ANAK-ANAK : Bela... Bela...

MAMA juga mencari BELA.

MAMA : Bela... Bela... Kamu di mana?

MAMA bertanya kepada Anak-anak melalui jendela.

MAMA : Kalian tahu di mana Bela?

ANAK-ANAK kaget dan takut.

ANAK : T-tidak. Kami tidak tahu.
ANAK-ANAK : (Kabur) Hii... Ada Wewe Gombel... (Tertawa)


MAMA : (Marah sambil melempar sesuatu) Dasar.... (Kembali mencari Bela)
Bela... Bela... Kamu di mana? (Menangis, cemas) Jangan kau
tinggalkan Mama sendiri. (Kepada orang-orang) Tolong. Tolong!
Bela hilang.

ORANG-ORANG berdatangan. MAMA cemas.

ORANG : Ada apa, Bu?
MAMA : Bela hilang.
ORANG TUA : Bela pasti diculik Wewe Gombel. Ini saat Wewe Gombel mencari mangsa.
ORANG : Wewe Gombel?
ORANG TUA : Ya, Wewe Gombel. Hantu Penculik Anak.
MAMA : Tidak, jangan mengada-ada, Pak Tua.
ORANG TUA : Tidak, ini benar. Kemarin malam aku mendengar tangisnya.
ORANG : Hii... Kudukku jadi merinding.
ORANG TUA : Tapi jangan khawatir, Wewe Gombel sangat senang mendengar bunyi-
bunyian alat dapur.
ORANG : Wewe Gombel menganggap bunyi-bunyian itu adalah panggilan untuk
menari-nari.
ORANG TUA : Kalau dia sedang menari-nari, tentu pegangan kepada Bela terlepas.
Itu kesempatan kita mengambil Bela kembali.
ORANG : Mari kita bergerak sekarang.
ORANG : Ayo berangkat!
ORANG : Hancurkan Wewe Gombel!

ORANG-ORANG pergi dipimpin PAK TUA. MAMA menangis sendiri. Udara bertiup kencang sekali.

MAMA : (Kedinginan) Udara dingin sekali. Bela kau di mana? Mengapa kau pergi?
Ya, ya. Tentu kau marah kepada Mama. Maafkan aku, Bela. Mama
menyesal. Mama tidak akan bersikap kasar lagi, Bela. Bela pulanglah.
Di sinilah rumahmu.

06. Malam, di atas pohon besar, mistis.
WEWEGOMBEL, GONDORUWO, BELA

GOMBEL : (Tertawa gembira) Ruwo, Ruwo... Lihatlah, kita dapat anak yang manis.
Kemarilah....
RUWO : (Kaget dan sedih) Kau menculik anak lagi, Gombel?
GOMBEL : Aku tidak menculik! Aku menyelamatkan anak ini. Namanya Bela.
RUWO : (Melihat BELA) Menyelamatkan bagaimana? (Cemas) Dia pingsan?
GOMBEL : Dia sangat menderita. Ibunya kasar, suka membentak dan memukul.
Teman-temannya juga meninggalkannya.
RUWO : Tapi dia manusia. Dia bukan jenis kita.
GOMBEL : Kita bisa menyenangkannya. Dan kesenangan Bela adalah kebahagiaan
kita. Kita tidak akan kesepian lagi, Ruwo.
RUWO : Ya. Kita tidak akan kesepian lagi.
GOMBEL : (Menaburkan sesuatu) Bela... bangun....
RUWO : Rasanya hidup kita begitu cepat berubah, Gombel.
BELA : (Bangun) Siapakah Ibu ini?
GOMBEL : (Tersenyum) Aku ibumu.
BELA : Ibu?
GOMBEL : Ya, Ibu Gombel. Dan itu bapakmu. Bapak Ruwo.
RUWO : (Haru) Ya, Anakku.
BELA : Ini di mana?
GOMBEL : Di mana? Ini rumahmu sendiri. Ayo main.

Mereka bermain-main kuda-kudaan dst. Mereka menyanyi gembira sekali.

07. Malam, di bawah pohon besar, mistis.
WEWEGOMBEL, GONDORUWO, BELA, ORANG-ORANG,
ANAK-ANAK, MAMA

Orang-orang membunyikan alat-alat dapur berkeliling kampung dipimpin PAK TUA. Mereka membawa obor dan senjata sambil memanggil-manggil BELA. WEWEGOMBEL dan GONDORUWO ikut menari mengikuti orang-orang.
BELA tidak merasa kalau sudah ditinggalkan WEWEGOMBEL

BELA : Ayo main, Ibu Gombel. Ibu di mana? (Setengah sadar) Aku ini di mana?
Bapak Ruwo? Ibu? Ibu...
MAMA : (Datang dan memeluk Bela) Bela, anakku.
BELA : (Melepaskan pelukan) Siapa kamu?
MAMA : Bela, jangan katakan begitu, Anakku. Aku mamamu.
BELA : Mama? Mama itu jahat. Mama suka membentak dan memukul.
MAMA : Tidak, Sayang. Mama sayang kamu. Mama akan bersikap lembut.
BELA : Mama lebih sayang televisi daripada Bela.
MAMA : Tidak, Sayang. Lihatlah, Mama. Hanya kaulah yang Mama sayang.
Mama sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ayo, peluk, Mama, Sayang.
(berpelukan)
BELA : Lepaskan... (Berlari pergi)
MAMA : (Mengejar) Bela, kembali. Mama akan berubah, Bela.
BELA : (Kembali sambil menggendong boneka) Mama, Bela pulang.
MAMA : (Marah dan menjewer telinga Bela) Bikin repot saja. Ayo, cepat!

BELA menangis kesakitan. WEWEGOMBEL menangkap tangan BELA. Terjadi tarik menarik antara WEWEGOMBEL dan MAMA.

MAMA : Kau siapa. Ini anakku.
GOMBEL : Bela ini milikku. Dia sudah menjadi anakku.
BELA : (Menangis) Ibu...
MAMA : Kau mengerikan. Lepaskan. Jangan sentuh.
GOMBEL : Kau jahat. Kau menyia-nyiakannya.
MAMA : Akulah mama yang melahirkannya.
BELA : (Menangis) Mama...
GOMBEL : Akulah yang menyayanginya.
MAMA : Kau berbohong. Kau menculiknya. (Berteriak) Tolong... Wewe Gombel
di sini! Wewe Gombel merebut anakku!

BELA menangis. ORANG-ORANG datang. Mereka menyiapkan senjatanya masing-masing.

ORANG TUA : Gombel, lepaskan. Sekarang enyahlah dari sini!

ORANG TUA menusuk WEWE GOMBEL dengan keris. WEWE GOMBEL perutnya terluka. Pegangannya terlepas. BELA terjatuh dan pingsan. ORANG-ORANG mengangkat BELA. GONDORUWO menyerang ORANG-ORANG tetapi keris PAK TUA telah bersarang pula di dadanya.

ORANG-ORANG: (Bersorak) Enyahlah Wewe Gombel. Kita dapatkan Bela! Kita dapatkan
Bela! Hidup Pak Tua.

Orang-orang pergi dengan puas dan penuh kemenangan. ANAK-ANAK melempari WEWE GOMBEL dengan batu dan menusuk-nusuk dengan kayu. WEWE GOMBEL kesakitan dan sangat sedih.

ANAK-ANAK : Gombel penculik anak. Gombel-gombel.
ANAK-ANAK : Gombel tak punya anak. Gombel-gombel.
ANAK-ANAK : (Mengejek) Aduh, kasihan. (Tertawa-tawa)
GOMBEL : Anak-anak, aku mendambakan seorang anak. Mengapa kalian
memusuhiku? Aku sayang kepada kalian, mengapa kalian jahat kepadaku.
(Menarik seorang anak dan memeluknya) Apakah yang kalian butuhkan
melebihi kasih sayang? (Membelai dengan lembut) Kau mau menjawab,
Manis?

ANAK itu meludahi WEWE GOMBEL. WEWE GOMBEL marah. Wajahnya dibuat sangat mengerikan. Anak-anak lari ketakutan.

GOMBEL : Kalian anak-anak nakal!

WEWE GOMBEL terjatuh dan batuk-batuk. Tubuhnya terasa sakit.

08. Malam yang sama, di depan rumah. Hidmat
ORANG-ORANG, BELA

ORANG-ORANG menyerahkan BELA yang masih pingsan kepada MAMA. ORANG-ORANG sibuk menyadarkan BELA.

ORANG TUA : (Berpidato) Bapak Ibu sekalian. Telah terbukti bahwa Bela telah diculik
Wewe Gombel. Ini berarti bahwa anak-anak kita dalam keadaan tidak
aman. Kita harus setiap saat menjaga dan melindungi anak-anak kita.
Malam ini kita bersama bisa atasi. Kita harus waspada juga untuk malam-
malam nanti. Hari ini seorang anak diculik Wewe Gombel, mungkin
besok oleh yang lainnya. Atau bahkan, maaf, oleh diri kita sendiri karena
kita kadang telah menculik dunia anak-anak menjadi dunia orang dewasa.

Tiba-tiba BELA berteriak-teriak seperti kesurupan. ORANG-ORANG berlarian menolong.

BELA : Mana jalannya? Siapa orang tuaku? Siapa guruku? Siapa aku?
MAMA : Bela kau berkata apa? Ini Mama, Sayang?
BELA : (Tertawa) Apa yang telah kau lakukan padaku? Apa kewajibanmu?
Mana punyaku? (Menangis) Aku tidak mau dipaksa. Aku tidak mau
dibiarkan.
MAMA : Bela, sadarlah. Lihatlah, semua orang melihatmu.
ORANG TUA : (Mengucap mantra) Sss. Bumi berkata langit mendengar, udara mengingsut
pepohonan bergetar, air memercik cahaya terlempar. Tuangkan dalam
darah, jerang dalam pikiran, seduh dalam hati.

BELA langsung tertidur. ORANG TUA memijit kening dan tengkuknya.

ORANG TUA : Hatinya masih terguncang. Pikirannya tegang. Jiwanya terombang-ambing
dalam gelombang besar yang membingungkan. Sekarang semua tenanglah.
Pulanglah, lihat anak kalian sendiri. Barangkali ada yang belum di rumah.
Jaga mereka, jangan lengah.

Semua pergi.


09. Malam kedua, di bawah pohon besar, mistis
WEWEGOMBEL, GONDORUWO, BELA, MAMA

GOMBEL : (Menangis) Bela, engkau anak yang manis. Anakku.
RUWO : Bela telah pulang kepada mamanya. Relakanlah.
GOMBEL : Bela, kau tinggalkan Ibu, Sayang.
RUWO : Sabarlah. Manusia perlu anak karena usia mereka singkat. Mereka
melanjutkan hidup mereka dengan beranak pinak. Kita melanjutkan
hidup kita dengan umur kita yang panjang.
GOMBEL : Aku juga ingin punya anak. Aku ingin anak! (Berpelukan)

Terdengar suara BELA membaca buku pelajaran.

MAMA (VO) : (Memukul-mukul meja) Diam. Diam. Berisik. Sinetronnya*) sudah
mulai!
BELA (VO) : Besok ada ulangan, Mama.
MAMA (VO) : Cerewet. Kau dengar tidak, Mama sedang nonton televisi!

MAMA melempar sesuatu. BELA mengaduh kesakitan. Tangis WEWE GOMBEL makin keras. WEWE GOMBEL hendak mendatangi BELA tetapi dicegah RUWO.

GOMBEL : Anakku. Aku tak tahan lagi.
RUWO : Adat manusia memang begitu, Gombel. Kita hanya bisa menonton.
GOMBEL : Betapa sedihnya, Ruwo.
RUWO : Tutup matamu, tutup juga telingamu, Gombel.
BELA : (Datang) Ibu Gombel... Aku datang...
RUWO : (Memberi isyarat kepada Bela supaya pergi) Sss...
BELA : (Malah tersenyum menggoda) Ibu Gombel, Bapak Ruwo, aku di sini!
GOMBEL : (Membuka mata. Kaget dan senang. Memeluk Bela) Anakku... Aku
merindukanmu.
BELA : Ibu, Bela mau di sini saja. Aku takut. Mama jahat. Mama...
GOMBEL : (Berusaha marah) Tidak. Pulanglah. Mamamu menunggumu. Dialah
mamamu yang sesungguhnya.
BELA : Tidak. Bela sayang Ibu. Bela mau bersama Ibu Gombel saja.
GOMBEL : (Mengubah wajahnya menjadi sangat mengerikan) Lihatlah. Aku akan
lebih jahat lagi. Aku akan memukulimu. (Memukul dengan keras)
Kembalilah kepada mamamu lagi! Pulang!
BELA : (Kaget, tidak percaya) Ibu Gombel jahat. Ibu Gombel jahat!

BELA melempar WEWE GOMBEL dengan boneka lalu menangis pergi. WEWE GOMBEL tertawa mengerikan, sebentar kemudian menangis sedih sekali. WEWE GOMBEL memungut boneka.

GOMBEL : (Kepada boneka) Maafkan aku Bela. Kau tidak akan mengerti. Aku sangat sayang kepadamu. Aku terpaksa melakukan ini.
RUWO : Sudahlah, kau telah melakukan yang seharusnya.
GOMBEL : Ruwo, ini siksaan tak ada habisnya. Kita adalah korban nasib terabaikan.
RUWO : Betapa sengsaranya hidup ini. Umur panjang kita adalah kutukan.

10. Malam kedua. Di bawah pohon besar. Sedih.
WEWEGOMBEL, GONDORUWO

Tiba-tiba GONDORUWO tertawa dan menangis hebat. WEWE GOMBEL kaget dan memukul GONDORUWO keras-keras.

GOMBEL : Ruwo, apa-apaan kau ini. Sudah, diam. Jangan mengundang orang-orang
untuk membunuh kita.
RUWO : (Marah dan mencabut keris di dadanya) Lebih baik mereka membunuhku.
Biarkan aku mati. Aku tidak berguna lagi.
GOMBEL : Ada apa kau ini. Ini adalah kelangsungan hidup kita.
RUWO : Yang kau pikirkan cuma anak. Anak yang tak akan pernah menjadi milik
kita. Sementara aku yang beratus-ratus tahun mencintaimu, kau abaikan
begitu saja. Apakah ini tidak sangat menyedihkan?

Darah GONDORUWO meleleh dari dadanya, lalu terjatuh lemah.

GOMBEL : (Memeluk) Maafkan aku, Ruwo. Maafkan aku. Susah payah aku
menginginkan seorang anak di dekapku.Tapi aku tak sadar ternyata
sesungguhnya, kaulah yang kucari. (Membuang boneka) Kasih sayang.
Kaulah cintaku, Ruwo. Lihatlah kepadaku. Aku menyesal telah
melupakanmu. (Menangis sedih sekali.)
RUWO : Sekarang, senyumlah, Sayang. Kita akan bahagia, Gombel. Selamanya.
Selama-lamanya.

WEWE GOMBEL tersenyum. Mereka bergandengan.

RUWO : Kau cantik sekali, Gombel.
GOMBEL : (Salah tingkah) Kau juga hebat, Ruwo.

Mereka tertawa. Lalu sejenak mereka diam.

GOMBEL : (Menghirup nafas panjang-panjang) Kau rasakah udara malam ini, Ruwo.
RUWO : Ya. Udara malam seperti udara malam yang kita hirup beratus-ratus tahun
yang lalu.
GOMBEL : Tetapi terasa lebih segar, lebih lembut, Ruwo.
RUWO : Ya, karena kita telah menemukan cinta kita.
GOMBEL : Bulan telah muncul, Ruwo. Malam ini indah sekali.

Mereka berpelukan.

11. Malam kedua, di dalam rumah, haru
BELA, MAMA

MAMA tertawa melihat pertunjukan lucu dari televisi. Tiba-tiba ada teriakan seorang anak. Mama kaget dan baru tersadar kalau BELA tidak ada. MAMA mencari-cari BELA di kamar atas. BELA tidak ada di rumah, MAMA cemas.

MAMA : (Turun dari tangga) Bela, kamu di mana? (Melihat televisi dengan
nyalang) Kaulah yang mencuri anakku. Jangan tersenyum. Kuhancurkan
kau.

MAMA menghajar televisi dengan sapu. Tampak percikan listrik dan kepulan asap.


MAMA : Kaulah Wewe Gombel, kaulah Wewe Gombel sebenarnya! (Memegang
puingan televisi) Kaulah yang menculik anak-anak di seluruh dunia.
Kaulah Wewe Gombel itu!

MAMA menangis, kecapekan, dan terduduk di lantai. Ia benar-benar merasa sendiri.

MAMA : Bela kau di mana? Pulanglah, anakku. Apa gunanya Mama bekerja setiap
hari, kalau tidak untuk kamu. (Menghamburkan tas berisi uang dan
tertawa) Apa gunanya Mama melanjutkan hidup kalau Mama menyia-
nyiakan kamu. Mama khilaf. Mama berdosa. Lihatlah wajah Mama
sebenarnya. Mama sangat sayang kepadamu. Engkaulah hidup Mama.
MAMA : (Tersenyum) Pandanglah hari-hari akan datang. Mama akan selalu ada
untuk kamu. Mama akan ada di sampingmu kalau kamu belajar. Waktu
Mama hanya untuk kamu. Bela, pulanglah. Mama menunggumu.
BELA : (Muncul di pintu) Benarkah itu Mama?
MAMA : Bela? (Berpelukan) Mama sayang kamu.
BELA : Bela juga sayang Mama.


12. Malam bulan purnama, di halaman rumah, gembira
SEMUA PEMAIN

Semua menyanyi dan menari.

Anak adalah amanat kehidupan
Anak adalah jiwa sang insan
Jagalah jagalah jagalah
Dengan sepenuh jiwa

Anak adalah senyum kehidupan
Anak adalah kita masa depan
Jagalah jagalah jagalah
Dengan kasih sayang.



Selesai








*) disesuaikan dengan tokoh sinetron atau nama program televisi berrating tinggi

Bila hendak mementaskan naskah ini, mohon izin kepada penulis.
KOTAK SURAT TERAKHIR
(Naskah Drama)














Diajukan untuk mengukuti Lomba Penulisan Naskah Teater Remaja 2008
pada Panitia Seksi Dokumentasi dan Informasi Taman Budaya Jawa Timur
Jl. Gentengkali 85 Surabaya 60275



KOTAK SURAT TERAKHIR
(Naskah Drama)
PARA PELAKU
SENO, 45 tahun, penampilan jauh lebih tua dari usianya.
GUN, 42 tahun, adik Seno.
ISTRI, 40 tahun, istri Seno
ED, 20 tahun, anak pertama Seno-Istri, taruna polisi
YO, 19 tahun, anak kedua Seno-Istri, mahasiswa tingkat awal fakultas kedokteran
Re, 18 tahun, anak ketiga Seno-Istri, mahasiswa tingkat awal fakultas seni

BABAK I

PANGGUNG DI BAGI MENJADI TIGA KOMPOSISI . KOMPOSISI PERTAMA ADA TOKOH RE, IA DUDUK DI SEBUAH KOTAK KAYU, DI SAMPINGNYA TERDAPAT SEBUAH KANVAS LUKISAN YANG TAMPAK BELUM RAMPUNG, BOTOL-BOTOL KECIL CAT, PALET, DAN KUAS. KOMPOSISI KEDUA ADA TOKOH YO, IA DUDUK DI MEJA BELAJAR YANG PENUH TUMPUKAN BUKU-BUKU TEBAL. KOMPOSISI KETIGA ADA TOKOH ED, DI SAMPINGNYA TERGELANTUNG SEBUAH SANSAK TINJU . LAMPU KEMUDIAN MENYALA PELAN DI ATAS TOKOH RE, LAMPU LAIN MENYUSUL MENYALA DI ATAS TOKOH YO, LAMPU LAIN MENYUSUL MENYALA DI ATAS TOKOH ED. MEMPERLIHATKAN RUANG DAN WAKTU YANG BERBEDA, DALAM POSISI TABLO, KETIGANYA TAMPAK MELAKUKAN HAL YANG SAMA, MEMBACA SELEMBAR KERTAS SURAT . SUARA NARATOR MENGGEMA MEMBACAKAN ISI SURAT.

SUARA: Aku tak perlu mengingatkan lagi sudah berapa pucuk surat yang telah kulayangkan.
Ini adalah surat terakhir yang kutulis. Surat ini bukan instruksi, surat ini adalah
amanat. Patuhilah. Sebagai surat terakhir, mungkin ini adalah kepatuhanmu
yang terakhir kali pula. Pulanglah dan cobalah bahagiakan Ibumu di hari ulang
tahunnya. Dari seorang yang selama ini kau panggil ayah.

SECARA BERGANTIAN KETIGA TOKOH BERGERAK DARI POSISI TABLO

ED : (MEREMAS SURAT DALAM KEPALAN LALU BERTERIAK DAN MENINJU
SANSAK DI SAMPINGNYA)

LAMPU DIATAS ED PADAM

RE : (MENCAMPAKKAN SURAT KE TANAH, MENGAMBIL PALET DAN KUAS,
DENGAN GERAM, GERAKAN TANGANNYA CEPAT MENGGORES KANVAS
DISAMPINGNYA)

LAMPU DI ATAS RE PADAM

YO : (PELAN MELIPAT SURAT DAN MENYELIPKAN DI BUKU TEBAL YANG
ADA DI DEPANNYA)

LAMPU PADAM

BABAK II

PANGGUNG BERSETTING GARASI RUMAH. TAMPAK TUMPUKAN-TUMPUKAN BARANG TERSERAK DI MANA-MANA. DI SUDUT RUANGAN BERDIRI DUA ORANG MENJELANG TUA SALING BERHADAPAN. SEORANG BERDIRI DI SAMPING SEBUAH MEJA KAYU YANG DI ATASNYA TERDAPAT SESUATU YANG TERTUTUP OLEH TUDUNG DARI KAIN. SEORANG YANG LAIN BERDIRI DENGAN TIDAK SABAR DAN MUKA MASAM MENGAMATI SESUATU YANG TERBUNGKUS TUDUNG DI ATAS MEJA TERSEBUT. HINGGA SEORANG YANG BERDIRI DI SAMPING MEJA DENGAN ANTUSIAS KEMUDIAN MEMBUKA TUDUNG KAIN YANG MENUTUPI BARANG DI ATAS MEJA. SENYUMANNYA DILANJUTKAN DENGAN TAWA-TAWA KECIL.

SENO : Perkenalkan karya terbesarku ini (DENGAN RAUT BANGGA, KEDUA
TANGANNYA MELIUK DI SEPUTAR BENDA BERBENTUK RUMAH-
RUMAHAN MUNGIL DENGAN TEKSTUR TANPA LEKUKAN TAJAM).
GUN : Apa itu? Seperti sebuah kota surat. Jadi? Aku tak mengerti maksudmu. Untuk apa kau
perlihatkan padaku sebuah kotak surat?
SENO : Mendekatlah, lihat baik-baik. Bagaimana?
GUN : (MENDEKAT DAN MENELITI KOTAK SURAT) Sebuah kotak surat tetap saja
kotak surat. Tak ada bedanya.
SENO : Ayolah lebih dekat lagi. Sentuhlah.
GUN : Menyentuhnya? Aku tak mau menyentuhnya!
SENO : Sentuh atau!
GUN : Baiklah-baiklah. Dasar gila, untuk apa aku menyentuh sebuh kotak surat.
(BERGERAK UNTUK MENYENTUHKAN TANGAN KE KOTAK SURAT)
SENO : Nah sentuh, usap. Ketukkan sedikit genggamanmu, lalu … cium!
GUN : Apa! Mencium kotak surat. Apa kau benar-benar telah kehilangan akal sehat? Kau
tahu kabar burung tentangmu dari tetangga nampak ada benarnya.
SENO : Kabar burung? Jangan dengarkan mereka.
GUN : Aku tak mendengarkan mereka (BERGERAK MENJAUH) tapi kenyataannya kau
memang bertingkah aneh. Lihatlah dirimu? Akhir-akhir ini kau jarang muncul. Istrimu
bilang kau selalu mendekam di garasi ini hingga berjam-jam tanpa ada alasan yang
jelas. Bagaimana kau bisa betah dengan bau ini. Rasanya lebih mirip di sebuah tempat
pengrajin, bau masam kayu bercampur dengan cairan-cairan kimia.
SENO : Ini labku, bukan sekadar garasi!
GUN : Lab? Ini lebih tepat sebagai kandang ternak!
SENO : Sudah cukup. Biar kutegaskan, semua ini bukan tanpa alasan? Kau ingin tahu
alasannya. Benda di depanmu inilah alasannya.
GUN : Kotak surat ini?
SENO :Ya. Jadi ayo lekas usap, ketuk-ketuk sedikit lalu cium baunya, aromanya.
GUN : Kau … ahh! Ada-ada saja. Kau benar-benar … baiklah-baiklah, lihat dengan jelas
agar kau puas. Aku tidak mau mengulanginya lagi seumur hidupku (CEPAT
BERGERAK DAN MENCIUM KOTAK SURAT), puas?
SENO : Fantastis, bukan?
GUN : Fantastis? Apanya yang fantastis! Ini cuma kotak surat biasa!
SENO : Perhatikan baik-baik (KESAL). Apa tanganmu tak merasakan teksturnya? Apa kau tak
mendengar bunyi gemanya yang lunak? Apa tak membersitkan sesuatu padamu?
Betapa bodoh kau. Apa kau tak mencium aroma yang khas dari surat ini?
GUN : Tidak ada. Biasa-biasa saja. Kotak suratmu sama baunya dengan garasi ini.
SENO : Ini labku! Hahh? Rupanya indramu sudah berkarat. Kau tahu kotak surat ini kubuat
dengan bahan metalion delirium polyester. Terobosan baru.
GUN : Sebuah kotak surat dari plastik, apa hebatnya?
SENO : Plastik? Plastik! Kurang ajar, ini bukan plastik. Metalion delirium polyester. Bukan
plastik!
GUN : Men-taliun, del, del apa, delirium silvester. Terserah apa katamu, tapi ada yang ingin
kusampaikan.
SENO : Apa kau tak bisa mengeja dengan benar, katakan apa yang hendak kamu sampaikan.
GUN : Aku ingin kita berdua saling terbuka. Ingat, aku saudaramu satu-satunya. Aku tahu
kondisi kesehatanmu tidak begitu baik. Tapi jangan sampai itu mempengaruhi segala
sesuatu di sekitarmu. Jika ada sesuatu yang membuatmu kesal dan mengganggu
pikiran, ceritakan padaku. Aku siap mendengarkan.
SENO : Kau pikir aku gila!? Aku sehat-sehat saja. Tidak ada yang mengganggu pikiranku.
Pergilah, kau membuatku kesal!
GUN : Baik-baik, aku pergi (MELANGKAH KE ARAH PINTU, BERHENTI SEBENTAR)
Ada satu hal yang harus kau ketahui. Kau laki-laki sempurna. Kau mempunyai isteri
yang cantik, setia. Anak-anakmu cerdas dan mandiri, rumahmu nyaman dan
menyenangkan. Kau memiliki keluarga harmonis idaman tiap orang. Jadi jangan
bertingkah seolah kau tak mendapatkan semua itu. Tak ada alasan untuk berbuat
sesuatu yang konyol.
SENO : Sesuatu yang konyol? Dasar, pergi sana! Kau sama sekali tak mengerti. Kau sama
sekali tak mengerti apa artinya legasi.

LAMPU PADAM
BABAK III

HALAMAN SEBUAH RUMAH KOS. ED BERDIRI DI DEPAN PINTU. YO DUDUK DI KURSI PLASTIK, SIBUK MEMBACA BUKU DIKTAT TEBAL. ED TAMPAK TIDAK SABAR MENUNGGU REAKSI PINTU DIBUKA DARI DALAM.

ED : Lama sekali kau berkemas Re. Apakah kau sibuk berbedak dan bergincu juga?
(TERTAWA). Lihatlah saudaramu yang satu itu Yo, sudah seperti banci saja.
YO : (TIDAK MENJAWAB SIBUK MEMBOLAK-BALIKKAN BUKU DIKTAT DAN
MEMPERBAIKI POSISI KACAMATANYA)
ED : Hey kutu buku, aku bicara padamu!

RE KELUAR DENGAN TAS RANSEL BESAR DI PUNGGUNG DAN SEBUAH TAS TENTENG.

ED : (TERTAWA MELIHAT RE KELUAR DENGAN BAWAAN YANG BANYAK)
Lihatlah Yo, adikmu ini seperti hendak pergi ke gunung saja. Banyak sekali
bawaannya. Apakah tak ketinggalan popokmu Re?
RE : Apa kau tak punya sopan santun, berteriak-teriak di muka pintu. Seperti rumah ini
milikmu saja. Tirulah Yo dan kebisuannya, mungkin kau bisa belajar bagaimana
caranya merebut hati gadis dengan kepintarannya.
YO : (BERDIRI TERUSIK AKTIVITASNYA) Apa? Aku tak percaya. Merebut? Apa yang
aku rebut darimu? Aku tak percaya Setelah selama ini! Apakah kau tidak bisa
melupakannya? Sudah jelas dia sudah muak kau jejali dengan kata-kata indahmu yang
penuh omong kosong. Harusnya kau lebih miris dengan orang-orang yang
menggunakan kekerasan otot-ototnya yang menonjol tak karuan untuk memikat gadis-
gadis (MEMANDANG KE ARAH ED).
ED : Cukup! Aku tak ingin ada ribut-ribut lagi. Masih saja kalian meributkan masalah
gadis. Jangan melihat ke belakang.
YO : Hahh, siapa yang paling ribut di sini.
ED : Tetaplah jadi pendiam Yo, oke. Sekarang adakah diantara kalian yang tahu, ada
urusan apa ini sebenarnya. Siapa kali ini yang berbuat ulah.
RE : Pakai nanya lagi? Paling-paling kau menghamili seorang gadis lagi.
ED : Kalian menuduhku? Apa yang kuperbuat? Aku hanya menerima sepucuk surat dari
Ayah. Sama seperti kalian. Surat terakhir katanya.
YO : Ya, ia juga mengatakan hal yang sama dalam suratnya untukku. Ayah pasti sangat
kesal pada kita hingga mengharuskan aku satu mobil bersama kalian.
RE : Sangat-sangat kesal. Mengapa kita tidak berangkat sendiri-sendiri?
ED : Baiklah, ingat kita sudah sepakat. Perjalanan ini mungkin bukanlah ide yang bagus.
Bahkan terlintas pun tidak. Tapi kita sudah sepakat. Segala sesuatunya tidak menjadi
akan lebih mudah bagi masing-masing. Kita semua tahu. Tapi sejak awal sudah
kutandaskan, aku yang bertanggung jawab atas perjalanan ini. Aku yang mengurus
segala keperluan, merencanakan kedatangan kita bersama, apa-apa yang kita ucapkan
nantinya, dan mengantar kalian kembali. Bagaimana? Ada argumen atau pertanyaan.
Tak ada. Bagus. Sekarang kita nikmati perjalanan kita yang menyenangkan.

LAMPU PADAM

BABAK IV

DI HALAMAN RUMAH YANG RIMBUN OLEH TUMBUH-TUMBUHAN, SENO SEDANG MEMASANG KOTAK SURAT BUATAN TANGANNYA DI ATAS PAGAR. TAMPAK LELAH IA, SEBENTAR-SEBENTAR MENGGERAK-GERAKKAN PINGGANG UNTUK MENGUSIR PEGAL. ISTRINYA MENGHAMPIRI.

ISTRI : Pagi yang cerah sayang.
SENO : Ya, sangat cerah. Ahh, udara yang segar.
ISTRI : Tumben sepagi ini sudah keluar dari gudang, kangen pada halaman dan kebun?
SENO : Kau menyindirku? Aku tahu akhir-akhir ini aku jarang ke luar rumah. Si Gun bilang
aku mendekam di garasi seperti tumpukan koran bekas.
ISTRI : Adakalanya dia benar. Kau tahu, sayang, kau tampak lucu jika sedang sewot. Semakin
tampan.
SENO : Tampan? Apalagi jika bersanding dengan perempuan cantik dan hebat sepertimu.
ISTRI : Terima kasih. Oh ya, kau sedang memasang kotak surat baru rupanya?
SENO : Ya, perkenalkan. Ini kotak surat terbaru kita, bagus bukan?
ISTRI : Sangat bagus. Indah sekali. Kapan kau membelinya?
SENO : Membeli? Aku membuat kotak surat ini dengan tanganku sendiri. Sebuah
prototip kotak surat konvensional masa depan.
ISTRI : Bisakah Tuan Jenius ini menjelaskan keunggulan kotak surat ini.
SENO : Dengan senang hati, begini (MEMATUT-MATUT DIRI DAN BERDEHEM
SEOLAH DALAM PRESENTASI RESMI) Jika dilihat dari segi fisik, kotak surat ini
memang tak berbeda dengan kotak surat pada umumnya. Tapi ada satu hal yang harus
diperhatikan dari kotak surat ini.
ISTRI : Apa itu?
SENO : Bahan!
ISTRI : Bahan? Terbuat dari apakah kotak surat ini?
SENO : Kotak surat ini terbuat dari bahan sintetis penemuan terbaruku. Bahan tersebut akan
membuat kotak surat ini tak lekang dimakan usia. Tidak akan berkarat dan rusak.
Konstruksinya sangat kokoh. Hujan badai tak akan menggoyahkanya. Tendangan bola
nyasar anak-anak tidak akan membuatnya bergetar, apalagi pesok seperti nasib kotak
surat kita sebelumnya. Kotak surat ini juga anti air, setetes pun air tak akan mampu
meresap ke dalam. Surat-surat dalam kotak tidak akan rusak, akan selalu aman terjaga.
Suhu di dalamnya juga akan tetap terjaga. Sesuai dengan kebutuhan kertas surat.
Panas tidak akan berpengaruh sama sekali. Warnanya akan selalu baru, tak akan
mengelupas atau luntur dalam lima dekade. Garansi. Satu hal lagi, aromanya. Aroma
kotak surat ini sangat berbeda dengan kotak surat dari kayu atau logam. Lebih harum.
Bagaimana?
ISTRI : Hebat, aku percaya kotak surat ini tidak akan tergantikan.
SENO : Pasti, sampai anak cucu kita. (BEBERAPA SAAT TERDIAM)
ISTRI : Kau rindu anak-anak?
SENO : Bocah-bocah bandel itu? Ah, mereka selalu berbuat atas kemauannya sendiri. Ribut
sendiri-sendiri. Bikin kesal. Tak bisakah mereka sekali-sekali ribut dengan orang lain
dan bukannya dengan saudara sendiri? Tidak ada yang beres. Darimana mereka punya
sifat keras kepala seperti itu?
ISTRI : Sudah, sudah. Aku tahu kamu rindu. Kapan mereka datang?
SENO : Entahlah, tapi mereka tidak akan melupakan hari istimewa ini lagi. Aku sudah
menggertak mereka dalam surat. Bahkan sedikit pelajaran kerjasama secara langsung.
Semua sudah dalam rencana, mereka pasti akan pulang.
ISTRI : Rencana? Kau tak bilang tentang rencana.
SENO : Tentu, ini rahasia laki-laki.
ISTRI : Baiklah, aku tak mau tahu atau penasaran. Tapi sekarang kita masuk dulu ke dalam
rumah. Aku sudah siapkan sarapan istimewa.
SENO : Kau mengajakku masuk kembali ke dalam rumah. Padahal aku baru saja menikmati
suasana di luar.
ISTRI : Ayolah, nanti sarapannya dingin, lagi pula kau adalah raja di dalam, bukan tumpukan
koran bekas.
SENO : Baiklah, baiklah. (BERJALAN MASUK KE DALAM)

LAMPU PADAM

BABAK V

TERDENGAR BUNYI MOBIL YANG MENGEREM MENDADAK. SUARANYA MENCICIT DIAKHIRI SUARA DEBUM. LALU GADUH ORANG-ORANG RIBUT SALING BAKU HANTAM. SETTING PANGGUNG ADALAH PINGGIRAN HUTAN DENGAN BATU-BATU BESAR. RE MEMAPAH YO KE TENGAH PANGGUNG. DI SANA IA MENYANDARKAN YO KE BATU BESAR. ED KEMUDIAN MUNCUL MENYERET SESEORANG, IA MENJEREMBABKAN ORANG ITU KE TANAH DAN MENENDANGNYA TANPA AMPUN. RE MELERAI, IA MEMEGANGI ED. KESEMPATAN ITU DIMANFAATKAN OLEH LAWANNYA UNTUK KABUR.

ED : Bedebah! Sekali lagi kau sentuh saudaraku, mampus kau di sini! Bangsat! Bajingan!
YO : Sudah, Ed. Sudah. Dia bisa mati nanti. Jangan dikejar, biarkan dia pergi. Kita sama
sekali tidak mengenal seluk beluk daerah ini. Jangan cari keributan.
ED : Entah apa mau mereka. Kalian tidak apa-apa? Bagaimana kondisimu Yo?
YO : Aku tidak apa-apa. Hanya memar sedikit.
ED : Kita terjebak di sini. Tak ada yang bakal menolong untuk mengeluarkan mobil kita
yang terperosok begitu dalam. Mobil-mobil tak bakal ada yang mau berhenti di tengah
hutan ini. Kita terpaksa menunggu sampai fajar.
RE : Kita bisa mati kedinginan.
ED : Tidak mungkin, bukan mati kedinginan, tapi kamu akan mati ketakutan Re.
(TERTAWA KECIL)
YO : Sudahlah Ed, jangan memulai. Bagaimana kuliah senimu, Re?
RE : Baik. Semua dalam kendali yang sempurna jika diperbandingkan dengan keadaan
mobil kita sekarang. Benar, bukan?
ED : Kau benar. Aku tak bisa membayangkan reaksi Ayah ketika melihat lekukan-lekukan
tak lazim di mobil kesayangannya yang seksi ini.
RE : Belum lagi goresan-goresan yang artistik di sana. Wow, pffuuihh .... Tapi tak usah
khawatir, semua dapat kita serahkan pada calon ahli bedah kita.
ED : Ya, untung saja ada dia. Paling tidak, ada seseorang yang dapat ditertawakan. Kau
tahu kenapa, Re? Karena aku sudah membayangkan, sebagai calon dokter, dia sangat
beruntung tidak menjadi calon dokter bedah pertama yang menjadi pasien di ruang
operasi. (TERTAWA BERSAMA RE)
YO : Hahaha, terima kasih atas cemoohannya kalian berdua. Lagi pula, Re, apa yang kau
lakukan ketika kakakmu ini digebukin orang.
RE : Hei, masih untung aku memapahmu. Lagi pula ada Tuan Jenderal yang
bertugas. Sudah menjadi kebiasaan di kesatuan. Bukankah begitu Ed?
ED : Ya, selalu siap melayani Anda.
YO : Ya benar, untung ada Tuan Jenderal. Aduh sial, perutku masih mual kena tinju
bajingan itu.
ED : Sudah jangan mengeluh, nanti juga lebih baik. Untung kau tidak kena pukul di muka.
Kau harus mulai belajar beladiri, Yo. Lain kali akan kulatih kau.
YO : Sudah-sudah, jangan meledek terus, ingat kita bahkan belum membeli kado untuk Ibu.
ED : Kita bisa beli bunga di jalan besok.
RE : Kok bunga, rasanya seperti menjenguk orang sakit.
YO : Apakah Tuan Seniman kita yang bermimpi dengan karya masterpiece punya usul lain?
RE : Aku? Aku tidak punya usul apapun. Aku bisa membuatkan Ibu sebuah lukisan jika
lebih awal diberitahu.
YO : Menghadiahi ibu dengan lukisan abstrakmu itu. Kau bahkan tidak bisa menggambar
anatomi dengan benar? Bisa-bisa mukaku jadi lebih jelek daripada kena tonjok.
RE : Aku sedang tidak punya ide atau uang, jadi bagiku asalkan bukan pisau bedah atau
pistol, aku setuju.
YO : Lucu sekali, Re.
RE : Apakah komplotan mereka tidak akan datang lagi membawa teman-teman mereka?
ED : Entahlah. Lihat sikumu berdarah Yo. Re, papah kakakmu masuk mobil, cari
sesuatu untuk membersihkan lukanya, lalu balut.
YO : Tak apa, biar kubalut sendiri, sudah biasa. Terima kasih. Aku bersyukur dalam
keadaan seperti ini ada kalian di sampingku. Aku akan baik-baik saja. (HENING)
ED : Aku akan cari sesuatu untuk membuat perapian. Cobalah untuk istirahat. Kita tidak
tahu apa yang bakal kita hadapai besok.

LAMPU PADAM
BABAK VI

RUANG MAKAN. SAAT ISTRINYA SIBUK MEMBENAHI MEJA MAKAN DAN MENATA HIDANGAN SENO MUNCUL MEMBAWA KUE TAR LENGKAP DENGAN LILIN BERBENTUK ANGKA 40. SAMBIL BERJALAN MENDEKATI ISTRI, SENO MENYANYIKAN LAGU SELAMAT ULANG TAHUN. SETELAH SELESAI, ISTRINYA MENIUP LILIN TERSEBUT DAN MEMBERI CIUMAN PADA SENO.

ISTRI : Terima kasih atas kuenya sayang.
SENO : Seharusnya bukan aku yang membawakannya. Tapi anak-anak bandel itu, mereka
belum juga datang. Dasar! Masak terlambat di ulang tahunmu.
ISTRI : Kau menunggu mereka sayang? Mereka sebentar lagi pasti datang, sabarlah.
Bagaimana keadaanmu?
SENO : Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Dokter boleh memvonis apapun tentang
kesehatanku. Tapi aku yang memiliki tubuh ini. Aku yang paling tahu kondisi
tubuhku.Rambutku boleh saja memutih sebelum waktunya. Dagingku boleh jadi
hilang digerus penyakit sialan ini. Tapi aku sehat sekali hari ini.
ISTRI : Itu baru seseorang yang kukenal.
SENO : Seseorang yang kau kenal?
ISTRI : Ya, pria yang akan mendampingiku dan memperjuangkannya seumur hidup.
SENO : Tetap saja aku kesal dengan anak-anak itu.
ISTRI : Kamu tahu, sayang, kuakui rencanamu sungguh bagus. Aku tidak bisa membayangkan
anak-anak itu berada dalam satu mobil. Pasti mereka saling diam. Begitu
membosankan perjalanan mereka.
SENO : Itu tidak mungkin. Aku sudah mengatur sedikit guncangan-guncangan.
ISTRI : Guncangan?
SENO : Kau lihat saja hasilnya nanti.
ISTRI : Bagaimana kalau mereka tidak akur?
SENO : Mereka kan punya kebutuhan. Meraka nantinya toh akan memutuskan di mana
mereka istirahat, makan, pergantian menyetir, cari penginapan, buang air, mereka
butuh berkomunikasi. Mereka sudah dewasa, mereka akan saling mengerti, saling
terbiasa dengan karakter satu sama lain. Mereka harus bersatu. Bukankah pada
dasarnya mereka sama? Mereka akan menjadi saudara yang sempurna. Mereka punya
kenangan kebersamaan. Mereka akan mendapatkannya lagi.
ISTRI : Kau benar sayang. Aku yakin semua akan berjalan sesuai rencanamu. Walaupun aku
tidak tahu maksudmu melakukan semua ini.
SENO : Setidaknya, dengan upayaku ini, nantinya ada yang akan mendampingimu,
menghiburmu, meramaikan rumah ini nantinya jika waktuku ….

LAMPU PADAM

BABAK VII

ED, YO, DAN RE SUDAH MENGINJAK HALAMAN RUMAH AYAH MEREKA.

RE : Ah, Akhirnya kita sampai.
ED : Ah, akhirnya, rumahku istanaku, kasur empukku, apakah masih ada ya?
YO : Ah, pegal sekali (MENGGELIAT)
ED : Ayo lekas masuk, jangan biarkan Ibu menunggu, lagipula jangan membuat Ayah
keluar. Aku tak mau melihat reaksinya melihat mobilnya yang kita bawa.
YO : Hei, lihat ayah memasang kotak surat baru!
ED : Ya, bagus sekali. Sangat jauh berbeda dengan kotak surat yang kau buat ya Re.
YO : Jika maksudmu kotak surat yang penyok terkena lemparan anak-anak iseng itu, kau
benar, sangat jauh berbeda kelas. Kotak ini sangat elegan, begitu kokoh. Lekukannya
sangat halus. Sempurna. Benar-benar kotak surat yang bagus.
RE : Ah, itu kan pengamatan dari orang yang tidak punya nilai rasa seperti kalian. Tapi hei,
lihat ada yang aneh dengan kotak surat ini.
YO : Sesuatu yang aneh? Kotak surat ini bagus, tidak ada yang aneh. Sudahlah, Re, jangan
bertingkah menutupi ego senimu.
RE : Hei, lihatlah dengan seksama. Di mana ya lubang kotak surat ini?
ED : Lubang kotak surat? Benar juga, di mana ya Ayah meletakkannya?
YO : Hei, kotak surat ini tidak memiliki lubang!

MEREKA BERPANDANG-PANDANGAN HERAN. TAPI TAK LAMA MEREKA KEMUDIAN BERPALING KE ARAH PINTU RUMAH. BERSAMA-SAMA MEREKA BERTERIAK.

ED, YO, DAN RE : Ayah.... Ibu.... Kami pulang….

TAMAT


BIODATA PENULIS

Mochammad Asrori dilahirkan di kota Surabaya, 24 Juni 1980. Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Menulis esai, cerpen, dan puisi di tengah rutinitas sebagai wartawan Glocal Magazine. Saat ini bergiat di komunitas penulis Warung Fiksi. Alamat: Dsn. Sidonganti RT.02/RW.01, Ds. Ngingasrembyong, Sooko, Mojokerto, 61361. Email: rori_story@yahoo.com. Ponsel: 085 231 586 507

Naskah teater remaja.
Judul naskah “ MELAWAN KUTUKAN.”
Penulis naskah : Harwes.

SINOPSIS : Sejarah negeri ini selalu ribut dengan adanya pertumpahan darah. Dari pemimpin satu ke pemimpin ke dua atau ke berikutnya, dan selalu rakyat serta anak muda yang jadi korban. Salah satu penyebabnya mungkin masyarakat masih banyak yang mempercayai bahwa ini semua karena atau akibat kepercayaan tentang kisah keris Empu Gandring atau sumpah dan kutukan Sang Empu Gandring. Tampaknya ini yang membuat anak muda yang kritis si Gendon berpikir keras untuk mencoba melakukan dialog-dialog, sehingga suatu malam benar-benar ia bisa dialog imaginer dengan seorang pelaku tokoh sejarah ini yaitu Ken Arok.
Dari dialog imaginer inilah akhirnya Gendon bersama teman temannya yang mewakili generasi sekarang ini untuk melakukan perlawanan dan tidak percaya atas “kesaktian kutukan ini.” Ini semua dengan harapan agar kutukan itu tidak dipercaya terus oleh generasi berikutnya. Negeri ini rindu damai, karena hakekatnya Tuhan itu sendiri Maha Damai. Dan dari persoalan ini naskah teater ini saya angkat.


Tokoh-tokohnya:
1. Anak muda (si Gendon)
2. Ken Arok
3. Pemain pembantu antara lain: Empu Gandring, Tunggul Ametung, Ken Dedes, Kebo Ijo, Anusapati dan Toh Jaya
4. Beberapa remaja sebagai teman Gendon

LAYAR DIBUKA, TAMPAK KAIN PUTIH DAN DI BELAKANGNYA ADA ADEGAN EMPU GANDRING DENGAN MEMEGANG PERUTNYA SEMENTARA TAMPAK JUGA KEN AROK DENGAN GAGAHNYA MEMEGANG KERIS EMPU GANDRING. ADEGAN ITU DIIRINGI TEMBANG.






DIALOG : Dhuh dewaning jagat ray ambo tan kuwat nandang gunging rudatin.
Paringo dasih pitulung mbirat kehing cintraka.
Datan pegat hayuning sun pudyo astute sirnaning kang rubedo paduko ingkang angesti.

Anak muda yang sedang lupa diri, benarkah yang kaulakukan itu. Aku tak rela semua ini terjadi. Ingat, ingatlah anak muda kematian pasti datang kepada setiap waktu. Dewa yang maha agung dengarkan sumpahku ini. Aku bersama keris itu akan menyatukan diri dan tidak terima dengan cara-cara kematianku. Aku akan terus mengejar sebelum tujuh jiwa bahkan kalau mungkin tujuh turunan melayang jiwanya bersimbah darah. Dengarkan Dewa dengarkan sumpahku ini.
LANSUNG DITIMPALI DENGAN SUARA-SUARA.
Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam.
DI SELA-SELA UCAPAN ITU ADA TEMBANG KEMATIAN.
Layon-layon wedi mati Gedongana kuncenana wong mati nora wurungo.
Ripada pada-pada sayung mboke lara.
Ripada pada-pada sayung wedi mati.
Gedongana kuncenana wong mati nora wurungo……
KAIN PUTIH ITU LENYAP BEGITU JUGA KEN AROK DAN EMPU GANDRING. KEMUDIAN TAMPAK HANYA LAYAR HITAM SAJA DAN TAMPAK KEN AROK SEDANG DUDUK TEPEKUR DENGAN PAKAIAN SEDERHANA. SEBENTAR LAGI KELUARLAH SEORANG ANAK MUDA (GENDON) DENGAN MEMBAWA HP NYA.
GENDON : Ya, aku sekarang sedang ada di lapangan. Ya ya sebentar lagi. Ya ya memang malam ini. Dingin. Ya aku tahu. Aku bisa menjaga diri .Oh ya angin malam ini berhembus dingin. Sama di tempat ini. Oh ya sebentar, ya ini ada seorang teman laki-laki sedang susah. Ya ya ya boleh boleh. Ya selamat malam.
ANAK MUDA ATAU GENDON INI MELIHAT SESEORANG ITU ATAU KEN AROK DAN TAMPAKNYA SEDIKIT KENAL.
GENDON : Selamat malam.
KEN AROK MASIH DIAM TAK MENYAHUT.
KEN AROK :


GENDON :
KEN AROK :

GENDON :
KEN AROK : Oh selamat malam. Tampaknya aku pernah merasa kenal tetapi lupa. Di mana kita pernah bertemu?
Oh mungkin dalam sejarah.
Sejarah? Sejarah siapa? Sejarah orang tua kita?
Bukan, tetapi sejarah negeri kita sendiri. Sejarah yang telah menulis kisah-kisah yang ada di negeri ini.
Sejarah negeri kita sendiri Indonesia?
Ya.
GENDON MENGINGAT INGAT WAJAH KEN AROK TETAPI TETAP TAK DIKETAHUI. TIBA-TIBA HP NYA BERBUNYI. KEN AROK MELIHAT DENGAN ANEH TETAPI TAK TERKEJUT, KEMBALI TERPEKUR. ANAK MUDA MEMEGANG HP.
GENDON : Sebentar, tampaknya aku kenal dengan seorang teman lama. Ya laki-laki gagah, tetapi belum kukenal dengan jelas nama dan alamatnya. Apa? Oh ya, don’t worry sayang aku bisa jaga diri.
KEN AROK MELIHAT DENGAN HERAN.
GENDON :
KEN AROK : Kenalkan namaku Gendon, dan kau?
Oh tidak penting nama itu, tetapi kau pasti kenal dengan aku sekaligus dengan sejarah hidupku. What is name? Kata William Shekaspeare. Ya to? Yang penting apa yang ada dalam benak itu. Nama itu sendiri tak penting. Bagaimana setuju?
GENDON TAK MENGERTI APA YANG DIKATAKAN KEN AROK.
KEN AROK :





GENDON :
KEN AROK :




GENDON :
KEN AROK :

GENDON :
KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :








GENDON :
KEN AROK :



GENDON :
KEN AROK :
GENDON :


KEN AROK :


GENDON : Sudahlah, kau pasti tahu sendiri siapa saya ini. Belum waktunya kau tanya aku ini siapa. Kau sedang apa di sini? Kenapa kau malam-malam berada di lapangan yang sepi ini apalagi angin dingin berhembus kencang malam ini. Yang perlu kau ketahui aku adalah seorang pembunuh. Pembunuh besar tetapi akhirnya aku malah ditulis dalam sejarah besar di negeri ini.
Pembunuh besar?
Ya akulah pembunuh tetapi itu sejarahku masa lalu. Semua itu kulakukan dengan keberanianku sendiri tidak melibatkan orang lain, apalagi atas nama rakyat seperti sekarang ini. Atas nama rakyat. Rakyat yang mana? Semua itu kulakukan atas namaku sendiri.
Tak pernah dihukum?
Sama sekali belum pernah aku dihukum. Kau sendiri siapa anak muda?
Nggak usah tahu.
Kenapa?
Nggak apa apa.
Kau takut ketemu aku karena aku seorang pembunuh?
Ya.
Kenapa aku harus kau takuti meski aku nggak pernah dihukum. Aku menyesal dan itu aku tak ingin lagi menjadi pembunuh kepada siapa saja termasuk kepadamu anak muda. Aku menyesal sekali sampai aku merasa berdosa dan terhukum kalau ingat apa yang telah aku lakukan. Aku ingin bertobat dan benar-benar menyesali apa yang telah aku lakukan. Sayang masih banyak orang yang menganggap aku, aku pahlawan karena aku dinggap laki-laki sejati, laki-laki perkasa, padahal itu amat salah.
Kenapa itu kau lakukan?
Karena cinta dan dicintai akhirnya kami berdua sepakat untuk membunuh pasangan perempuan itu, dan aku mendapatkan perempuan-perempuan itu dan menjadi istriku yang syah sampai mendapatkan anak seorang.
Jadi kau bunuh pasangan perempuan itu?
Ya kenapa?
Bangsat bajingan kamu jahat. Sampai hati kau lakukan itu semua. Betapa terhinanya pikiran dan perbuatanmu. Nista dan busuk!
Oh sabar anak muda jangan gampang emosi dan marah semacam itu. Dengarkan dulu alasanku kenapa aku harus lakukan itu semua.
Jangan banyak alasan. Alasan apapun membunuh orang itu salah hukumnya, apalagi yang dibunuh tak jelas benar salahnya.

SI GENDON ITU TIBA-TIBA TERMENUNG KEMUDIAN MENUJU SEBUAH TEMPAT DAN MENANGIS TERSEDU SEDU MENANGIS MAKIN LAMA MAKIN KERAS.
KEN AROK : Anak muda, kenapa kau menangis? Tak pantas anak laki-laki menangis semacam itu.
GENDON TETAP SESENGGUKAN TETAPI MUKANYA DITUTUPI KEUA TELAPAK TANGANNYA.
KEN AROK : Hei anak muda hentikan tangismu itu. Tak selayaknya kau menangis. Kenapa menangis?
GENDON MENERAWANG JAUH ENTAH APA YANG DIPERHATIKAN.
GENDON :

KEN AROK :
GENDON :










KEN AROK :



GENDON :





KEN AROK :

GENDON :










KEN AROK : Kakekku mati dibunuh. Banyak orang yang terbunuh di negeri ini.
Kenapa?
Kenapa?
Teman saling membunuh, saudara saling membunuh, sesama rakyat saling membunuh dan sekarang aku bertemu sendiri dengan seorang pembunuh yang tak dihukum. Setiap terjadi pembunuhan selalu hanya dihentikan dengan kata yang sama dari waktu ke waktu dari jaman ke jaman dan selalu minta sebuah kebenaran: ”Dengar dulu alasanku mengapa aku harus membunuh?”
Jaman mestinya sudah berubah bukan lagi jaman homo homini lupus siapa yang kuat dialah yang menang dan hukum rimba terus ditegakkan. Kenapa kau tidak dihukum bapak?
Tidak ada yang berani menghukumku. Aku penguasa, tetapi akhirnya aku dihukum oleh diriku sendiri.
Anak muda tampaknya kau punya beban berat dalam hidup ini. Coba ceritakan!
Tidak! Kalau aku sendiri tidak punya beban berat, tetapi kalau melihat masa depan bangsa dan negara ini aku wajib punya, punya beban berat. Aku kan pengganti orangtua. Bayangkan betapa enaknya orang-orang tua mengatakan anak muda dan remaja Indonesia adalah penerus bangsa, tetapi apa yang ditinggalkan buat kami anak-anak muda dan remaja ini. Apa?
Stop stop jangan terlalu serius anak muda nanti hidupmu makin berat. Santai sajalah anak muda.
Apa santai? Santai yang bagaimana? Anak muda sekarang remaja santai. Omong apa ini. Nggak bisa masa depan dihadapi dengan santai. Harus jelas. Ini tanggung jawab sampeyan orang tua supaya saya juga menghadapi masa depan ini dengan jelas. Ini akibatnya kalau warisan yang diberikan kepada kami tidak jelas. Salin curiga, saling membunuh. Warisan macam apa ini?! Jawablah pak tua jawablah dan jangan hanya berkata dengarkan dulu alasan saya mengapa saya harus membunuh. Akhirnya minta pembenaran dan dibenarkan! Ijinkanlah saya berkata ini atas nama remaja dan anak-anak muda. Kami adalah anak-anak bapak sendiri.
Stop berhenti, hentikan suaramu itu anak muda kalau tidak kau akan jadi korban berikutnya.
GENDON TAKUT MESKI ITU HANYA PURA-PURA MENGANCAM SAJA KEN AROK TAK BERANJAK DARI TEMPAT DUDUKNYA. TIBA-TIBA IA MENANGIS SAMBIL MENUTUP MUKANYA DENGAN KEDUA TELAPAK TANGANNYA. GENDON MELIHAT SEBENTAR TETAPI HPNYA BERBUNYI.
GENDON : Hallo ada apa? Oh ya, ya aku segera pulang, tetapi sekarang masih berbicara dengan pak tua pembunuh ini apa? Ya dia seorang pembunuh menurut pengakuannya. Nggak aku bisa jaga diri sayang. Pembunuh tapi sabar. Tampaknya ia menyesali apa yang telah dilakukan. Oh nggak, nggak usah nanti saja kalau aku perlu tak bel lagi. Okey? Ya selamat malam. Hati-hati ya sayang.
GENDON MELIHAT KEN AROK DENGAN PERASAAN ANEH KEMUDIAN MENDEKAT.
GENDON : Pak kenapa menangis menyesal ya? Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna.
KEN AROK DIAM.
GENDON :




KEN AROK :

GENDON :
KEN AROK :
GENDON :





KEN AROK :

GENDON :



KEN AROK :
GENDON :


KEN AROK :
GENDON : Pak, kenapa diam, saya minta maaf kalau apa yang kukatakan ini amat kasar dan menyinggung perasaanmu. Menangis dan diam saja itu tak menyelesaikan persoalan apalagi mengurangi dosa-dosa bapak sebagai seorang pembunuh. Jangan terlalu serius pak nanti makin berat pikiran bapak. Santai saja pak!
Sekarang aku sudah tidak bisa berpikir serius juga tidak bisa santai.
Terus berpikir cara apa?
Biasa saja berjalan tinggal mengalir seperti air mengalir.
Tetapi enak kan, bapak tidak dihukum karena bapak seorang penguasa. Sekarang kan banyak penguasa yang tidak bisa dihukum karena nggak berani. Kebal hukum karena hukum hanya berlaku untuk orang-orang kecil dan mereka yang tidak kebal hukum. Buktinya sampeyan membunuh orang juga tidak dihukum. Ya kan?
Jangan omong begitu kamu masih remaja dan muda. Belajar saja yang pinter dan menjadi anak baik.
Lho yok apa se rek bapak ini. Katanya aku ini pengganti generasi bapak harus kritis dan tak boleh santai. Omong begitu saja dilarang dan nggak boleh, bagaimana to bapak ini? Repote rek rek. Mangkane….
Kenapa bicara mangkane?
Mangkane, pelajaran di sekolah dan di kehidupan tidak pernah sama. Yang dipercaya pelajaran di sekolah atau di kehidupan kita ini pak? Terus diamalkan atau dihafalkan?
Sudah, sudah jangan terus ngelantur omongmu.
Lho bagaimana to? Ini kan dialog interaktif.
KEDUANYA DIAM SAMBIL MERENUNG.
GENDON :

KEN AROK :

GENDON :
KEN AROK :
GENDON :



KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :


GENDON :
KEN AROK :

GENDON :
KEN AROK :

GENDON :
KEN AROK :

GENDON :

KEN AROK : Terus bapak sampai sekarang kok tidak pernah dihukum atau diadili?
Lho siapa yang berani mengadili? Siapa yang berani menghukum. Saya ini penguasa!
Enak ya pak jadi penguasa?
Jadilah penguasa jangan jadi yang dikuasai.
Jancuk, jancuk. (BUKAN MENGUMPAT TETAPI SEKEDAR SADAR DIRI DAN MENGGERUTU.)
Maaf pak, Suroboyoku keluar. Hanya sebagai tanda persahabatan.
Oh nggak apa-apa aku kan mengerti manfaatnya berekspresi.
Terus kenapa bapak merenung dan berpikir berat tadi?
Jangan dipikir penguasa itu tidak bisa dihukum. Aku juga akhirnya dihukum mesti tidak lewat pengadilan dihukum oleh diriku sendiri. Mati dalam hidup.
Jadi bapak adalah…
(CEPAT) Stop! Jangan tergesa gesa menuduh nanti tak gebuk kau.
(CEPAT) Maaf pak maaf aku harus tutup mulut.
Terima kasih. Dihukum oleh anakku sendiri dan bukan anak kandung.
(CEPAT) Jadi kalau nggak salah bapak adalah….
(CEPAT) Stop sekali lagi jangan cepat-cepat menuduh tidak baik anak muda yang sok tahu.
Ya ya pak aku minta maaf aku harus tutup mulut dulu. Bukankah aku ingin kenal dengan bapak.
Baikkah kau nanti pasti kenal dan tahu siapa sebenarnya aku ini. Hukuman itu kurasakan sampai sekarang ini. Dan ini yang membuat aku makin terpojok menjadi seorang yang menjadikan anak cucuku saling berbunuhan untuk meraih harapannya dan hanya persoalan dendam. Hukuman inilah yang membuatku makin merasa menjadi orang berdosa sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, sepanjang abad dan sepanjang sejarah negeri ini anak muda.
BERHENTI SEBENTAR MENGHELA NAFAS PANJANG SEMENTARA GENDON MENDENGARKAN DENGAN SEGALA KETIDAK MENGERTIANNYA. TIBA-TIBA TERDENGAR HP BERDERING SEGERA DITERIMANYA. LIMA ANAK MUDA CEWEK DAN COWOK SUDAH BERADA DI BAWAH PANGGUNG DEKAT PENONTON. SALAH SEORANG CEWEK PEGANG HP NYA.
CEWEK :

GENDON :


CEWEK :
GENDON :





KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :


GENDON :
KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :
GENDON : KEN AROK :









GENDON :
KEN AROK : Hallo, ya kami sudah dekat Mall Matahari…..hallo kok lama sekali. Temen-temen sudah nunggu lho.
Ya, sebentar lagi pembunuh ini menarik sekali, ya bersahabat nggak usah takut dia baik hati. Tampaknya ia menyesal sekali sampai menangis segala. Ya lucu. Pembunuh apa bisa nangis.
Cepat lho ya. Mallnya segera tutup.
Ya sabar sedikit sayang, aku belum puas kalau nggak tahu siapakah pembunuh ini. Oh nggak usah, nggak. Nanti tambah ramai. Ya ya tunggu di Mall saja atau boleh ke sini tapi jangan ramai-ramai dan ribut. Di lapangan bola dekat sekolahan kita itu lho. Pegang ikannya jangan keruh air nya sayang. Okey, ya selamat malam.
Siapa itu?
Biasa teman-teman. Rekreasi ke Mall setelah ujian selesai.
Enak kamu jaman global. Ada HP ya kan? Nama barang yang kamu pegang itu namanya HP kan. Ada Mall tempat pusat perbelanjaan. Jamanku dulu tidak ada semua itu.
Jaman itu?
Jaman dahulu kala, jaman kalabendu.
Oh ya.
Anak muda…
Ya.
Malam ini aku merasa berbahagia sekali bisa ketemu denganmu. Aku yakin engkau dan teman-temanmu semua yang bisa meringankan beban dosaku ini. Sepanjang zaman aku selalu dikutuk orang meskipun banyak orang membenarkan tindakanku sehingga membuat mereka menganggap aku patut menjadi panutan padahal aku tak bisa menipu diri, aku adalah penjahat besar termasuk perempuan yang akhirnya menjadi istriku itu. Tolonglah anak muda, permintaan maafku kepada mereka apa yang menjadi beban hidupku sekaligus beban matiku yang amat berarti itu.
Pak siapakah kau ini sebenarnya?
Jangan tanya dulu namaku tetapi dengarkan seluruh kisah hidupku yang tak layak menjadi panutan dan contoh untuk generasimu kalau ingin negerimu besar dan lebih besar daripada negeriku sendiri yang lebih besar. Mau kan? Mau kau mendengar seluruh kisahku?
MUNCULLAH LAYAR PUTIH LAGI KE PANGGUNG TERSERAH BAGAIMANA PROSES KELUAR MASUKNYA NANTI BERSAMA LIMA PEMAIN SEAKAN MEREKA ADALAH KEN AROK, TUNGGUL AMETUNG ANUSAPATI, TOHJAYA DAN EMPU GANDRING. EMPAT ORANG DIBUAT SEDEMIAN RUPA KOMPOSISINYA SALING MEMBELAKANGI (DUA ORANG DAN DUA ORANG) BERDIRI SEAKAN DI POJOKAN EMPAT BUJUR SANGKAR DAN AKHIRNYA SALING MENDEKAT DENGAN JALAN MUNDUR. SETELAH DEKAT MEREKA SALING MENGHUNUS KERIS MEREKA MASING-MASING DAN SEMUA ITU DILIHAT EMPU GANDRING.
ADEGAN BERIKUTNYA KEN AROK MENUSUK TUNGGUL AMETUNG, ANUSAPATI MENUSUK KEN AROK, TOHJAYA MENUSUK ANUSAPATI DAN EMPU GANDRING MENGHUNUS KERISNYA. SEMUANYA TERKAPAR MENINGGAL DAN EMPU GANDRING BERUCAP DENGAN SUMPAHNYA TERDENGAR LAMAT-LAMAT BACKSOUND.
Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam.
MELIHAT ADEGAN ITU DAN SUARA-SUARA ITU ANAK-ANAK MUDA (CEWEK DAN COWOK) LANGSUNG HISTERI DAN BERLARI-LARI KELILING PANGGUNG SAMBIL BERTERIAK-TERIAK.
Hentikan peristiwa itu hentikan! Tak pantas adegan semacam itu untuk kami pewaris bangsa. Bangsa kami bukan bangsa biadap, bangsa kami bangsa beradap. Hentikan hentikan segera! Masa depan kita adalah masa depan cinta kasih. Masa depan kita adalah masa cinta damai. Hentikan hentikan segera!
PELAN-PELAN LAYAR PUTIH ITU MASUK BERSAMA LIMA PEMAIN TERSEBUT. KEN AROK MASIH DUDUK DI TEMPATNYA SEMULA, SEMENTARA GENDON MASIH TERENGAH ENGAH KEMBALI KETEMPATNYA SAMBIL MENUTUP MUKANYA DENGAN KEDUA TELAPAK TANGANNYA SESEKALI MENGHENTAKKAN KAKI DI LANTAI PANGGUNG.
KEN AROK :



GENDON :



KEN AROK :
GENDON :






KEN AROK :
GENDON :

KEN AROK :




GENDON :


KEN AROK :

GENDON :

KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :
GENDON :
KEN AROK :






GENDON :

KEN AROK : Anak muda betapa berat beban yang harus kuterima selama ini meskipun aku sendiri telah dibunuh anak tiriku sendiri. Aku rela telah mati tetapi sumpah itu terus menerus akan hidup dalam kehidupan sepanjang jaman.
Tidak bisa, aku muak dengan peristiwa itu. Hanya untuk kepentingan diri sendiri mengorbankan banyak orang sampai anak cucunya. Ini tidak adil dan ini tidak benar. Generasi ke depan adalah generasi cinta damai dan merindukan cinta kasih.
Itu menurut siapa anak muda?
Itu menurutku, menurut generasiku. Tak butuh perang tak butuh saling membunuh. Jaman ini sudah berlalu, bapak. Jaman itu sudah lewat.
Anak muda jangan menjadi generasai napak tilas. Generasi menjilati telapak kaki para orang tua dulu. Tidak benar. Kita harus berpikir. Kita punya akal mana yang benar dan mana yang salah.
Jadi siapa yang salah?
Jangan omong salah dan benar. Semua orang berebut benar dan semua orang menunjuk semua orang salah.
Aku senang sekali dan bahagia bertemu dengan anak muda seperti kamu. Anak muda yang kritis berani berpendapat untuk perdamaian. Oh Sang Pembuat Hidup terima kasih telah kau pertemukan aku dengan generasi dan pewaris bangsa yang masih berpikir dan berakal sehat untuk keselamatan negeri ini.
Jangan terlalu menyanjung paktua aku makin bingung nantinya mau berbuat kalau mendapat sanjungan semacam itu. Biasa sajalah pak tua.
Tolonglah anak muda. Setelah melihat kisah hidupku tadi siapakah yang sebenarnya salah?
Bapak sendiri yang salah dan yang lebih salah adalah sumpah serapahnya orang tua yang membawa keris tadi.
Empu Gandring?
Empu Gandring? (PENUH HERAN)
Ya empu Gandring kan?!
Jadi bapak Ken Arok?
Benar, akulah Ken Arok itu anak muda. Sekarang apa yang akan kaulakukan terhadapku kalau sudah ketemu ini? Akan mengumpatku? Umpatlah. Mau menghukumku? Hukumlah atau mau membunuhku bunuhlah Aku telah siap karena aku telah siap menerima itu semua. Yang penting aku merasa bahagia karena telah bertemu denganmu dan langsung bisa bercerita denganmu anak muda.
Tetapi kenapa kau masih di sini Ken Arok? Bukankah kau hidup pada jaman Singosari beberapa ratus tahun yang lalu?
Ya mungkin malam ini aku baru bisa ketempat abadiku setelah ratusan tahun mencari generasi yang berani menyalahkan aku apalagi tidak membenarkan Sumpah Empu Gandring dan menjalankan keinginannya hanya karena membenarkan sumpah itu. Terima kasih anak muda terima kasih. Pasti negerimu akan menjadi lebih besar karena tidak selalu napak tilas barang yang tidak benar dari pendahulunya. Terima kasih aku benar-benar puas dan bahagia bertemu denganmu di tempat sepi ini. Selamat malam.
BERDIRILAH KEN AROK DAN LANGSUNG MUNDUR SELANGKAH DEMI SELANGKAH. GENDON LANGSUNG MENDEKATI:
Ken Arok, Ken Arok ke mana kau pergi Ken Arok maafkan aku, tetapi aku wajib untuk berkata tidak benar kepadamu dan kepada Empu Gandring demi kejayaan negeri ini. Ken Arok selamat jalan ke tempat abadimu.
TIBA-TIBA TERDENGAR SUARA COWOK DAN CEWEK ITU.
Gendon… di mana kamu. Udara malam amat dingin. Ayo segera ke mall.
GENDON MELIHAT SEBENTAR KEMUDIAN LANGSUNG BERLARI MENUBRUK TEMAN TEMANNYA YANG LAIN. DENGAN PANDANGAN BENGONG TAK MEMBAYANGKAN TELAH BERTEMU DENGAN KEN AROK TOKOH JAMAN DAHULU KALA YANG TELAH MENOREHKAN KISAH YANG KONTRAVERSIAL DI NEGERI INI. TIBA TIBA GENDON LEPAS DARI PELUKAN COWOK CEWEK ITU BERDIRI GAGAH DI TENGAH PANGGUNG SEMENTARA COWOK CEWEK MELIHAT DENGAN HERAN.
GENDON :









COWOK :
CEWEK Hei Ken Arok dengarkan sumpahku ini. Kami anak-anak muda negeri ini tak percaya sama sekali dengan sumpah empu Gandring dan sama sekali tak ingin melanjutkan perjalanan keris Empu Gandring yang membuat negeri kami masih terus saling berbunuhan perang dan sengketa. Inilah sumpah kami. Kami rindu damai kami rindu cinta kasih tidak rindu akan dendam dan berakhir saling berbunuhan. Empu Gandring dan Ken Arok adalah masa lalu, jaman sekarang adalah jaman rindu damai dan cinta kasih sayang sesama. Ken Arok, Empu Gandring dengarkan sumpahku ini demi kejayaan negeri kami.
Gendon Gendon ayo kembali ke rumah kita kagi. Aku mendukung sumpahmu Gendon. Kami sudah muak dengan sumpah atau yang tertulis dalam kitab-kitab tentang peperangan dan pembunuhan yang tak pernah selesai. Jangan percaya itu semua. Tuhan Maha Damai dan Tuhan Maha Kasih. Tuhan Maha Cinta. Ia pasti cinta pada negeri ini.
LANGSUNG GENDON DIUSUNG OLEH COWOK CEWEK SAMBIL BERGUMAM:
Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam. Padamkan dendam kutukan kejam…….
TERUS MASUK DAN LAYARPUN TUTUPLAH.

SELESAI



KEBO NYUSU GUDEL
(Naskah lakon satu babak)

Pelaku:
Kakek : Seorang kakek umur 80 tahun yang selalu terbayang-bayang peristiwa masa lalunya.
Bapak : Seorang lelaki pekerja kantoran.
Ibu : Ibu rumah tangga.
Anak : Anak berumur 10 tahun.
***
Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu oranye yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga, seorang kakek bersantai di kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai sarung, peci, sambil nembang megatruh.
Megatruh

niki wancine sukma sampun kasebut
saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon

Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti suara demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek panik, mengambil sapu dan membawanya seolah membawa senapan.
Kakek : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.
Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena bangun tidur.
Bapak : Ada apa lagi, kek? Malam-malam begini bikin ribut?
Ibu : Ada apa to, kek?
Kakek : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada demo. Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. (Berlagak seperti komandan) Kalian berjaga di pos sebelah sana. Biar aku awasi yang sebelah sini (mengambil kursi kecil dan berdiri di atasnya). Cepaaat!
Anak : Siap, komandan!
Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri panggung.
Bapak : Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?
Ibu : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini. Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur. Lakukan saja. Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.
Kakek : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat militer, jaga dengan kewaspadaan tingkat tinggi.
Anak : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!
Kakek : Meski aman tetap waspada. Cari gembongnya.
Anak : Siaap.
Kakek : Kasihan anak-anak muda itu. Katanya mereka orang-orang yang intelek. Tapi lihat, bicaranya seperti tukang becak. (pada penonton) Dengar kalian semua! Tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Lebih baik baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih, biar tidak dimanfaatkan orang. Masak orang intelek ngomongnya seperti robot. Cuma bisa ngomong: kami butuh makan, turunkan ini, turunkan itu... Kalau cuma ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.
Bapak : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti istirahat. Hari sudah larut, kek.
Ibu : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.
Kakek : (turun dari kursi, duduk dengan malas) Kalian ternyata sama saja dengan orang-orang itu. Semua ini bukan karena salahku. Aku hanya menjelaskan tugas. Semua tugas sudah aku jalankan dengan baik, mulai dari Operasi Sikat, Operasi Burung Sriti, Operasi Galian Malam. Semua sudah kujalankan dengan baik. Terus mengapa mereka masih saja menginginkan aku turun? Mengerti apa mereka dengan situasi ini. Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.
Ibu : Kakek sudah lelah, lebih baik kakek istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga. (Kakek hanya diam) Percayalah, situasinya di sini bisa kami atasi.
Kakek : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini sudah selesai, aku memang berencana pensiun. Ini adalah operasi terakhirku. Operasi Sapu Jalan ini adalah pengabdian terakhirku pada negeri ini. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.
Ibu : (kembali seperti menjadi anak buah kakeknya) Kami tidak berkhianat. Kami tahu apa yang anda butuhkan.
Bapak : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah menyusahkan, tambah tidak ada gunanya.
Ibu : Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap bapakmu. Orang yang membuatmu ada di dunia ini.
Bapak : Iya, aku sudah tahu. Tapi aku sangat lelah hari ini. Bujuklah ia agar segera tidur.
Anak : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.
Kakek : (kembali bersemangat) Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan kenaikan pangkat buatmu. Tapi, sayang, aku masih punya anak buah yang kerjanya lamban. Inilah yang memperburuk citra tentara.
Anak : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?
Bapak : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.
Kakek : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang harus diberi pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja. …
Bapak : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja. Dimas besok juga harus sekolah…
Kakek : Sekolah?! Sekolah tidak jaminan membuat orang bisa berpikir cerdas. Jangankan berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Apa kau tidak mendengar apa yang diteriakkan orang-orang sok berpendidikan yang berdemo itu. Semuanya hanya omongan yang tidak ada pemikirannya. Terlalu dangkal otak mereka. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya, dijemur sesiangan, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni macam apa itu, murahan.
Ibu : Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?
Bapak : (pada istrinya) Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya. Aku ini sudah capek.
Ibu : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik dilayani biar makin cepat selesai. Aku juga sudah capek, mas.
Bapak : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat nenek, dan kakek jadi dalang.
Kakek : Hah, benar. Dalang. Wayang.
Bapak : Lho, iya, benar kan. Yang ada dalam ingatannya hanya itu-itu saja: tentara dan wayang.
Kakek : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu seni. Seni kok tidak mengandung budi pekerti. Beda kan dengan wayang yang penuh budi pekerti. Kemari kau Dimas. Kalau kau nanti sudah besar kau harus menjadi orang yang mengerti budi pekerti.
Anak : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?
Kakek : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Apalagi setelah melihat anak buahku. Mereka itu hanya bisa membanggakan seragamnya, hanya bisa sok jagoan. Mereka sering lupa bahwa mereka itu abdi masyarakat. Yang namanya abdi itu mesti melindungi bukannya sok. Mengamankan demontrasi mahasiswa saja tidak pecus. Masih saja ada yang mati. Akhirnya juga yang kena batu. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu menyuguhkan nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat. (bergaya dalang) Ooo, langit gumbleger, bumi katon kebak geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-wung plak-plak-plak)
Bapak : Kakek, sudah malam, tidak baik kalau teriak-teriak, tidak enak sama tetangga.
Kakek : Inilah contoh orang yang tidak bisa menghargai seni dan budaya. Kalau ketahuan ibumu, pasti kamu akan diomeli sampai pagi.
Bapak : (menggrundel) Dasar orang pikun.
Kakek : Lebih baik tidak usah dihiraukan orang macam itu. Ayo kita berkesenian, kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?
Anak : Siap, pak dalang.
Kakek : Musiiik.
Anak : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung plak-plak-plak wung-wung-wung…
Kakek : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo gendingnya masuk!
Ibu : Minta gending apa pak dalang.
Kakek : Kinanti
Ibu : Anoman mlumpat sampun
prapteng witing nagasari
mulat managandap katinngal
wanodya ju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga keksi

Kakek : Luar biasa. Itulah seni.
Bapak : Hah, aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. Trus kita mau makan apa? Aku sudah muak dengan kondisi ini. (meninggalkan panggung)
Kakek : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak sopan. Anak tidak ngerti tata krama.
Bapak : Terserah kata kakek.
Kakek : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya tahu, pasti dia dirundung kesedihan. Maafkan aku Martha, istriku, aku tidak bisa menjaga dengan baik anak kita. Tapi kenapa kau mesti pergi begitu cepat.
Anak : Lho, kakek mengapa bersedih? (kakek hanya diam bersedih)
Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi nenek, istri kakek.
Ibu : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?
Kakek : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.
Ibu : Ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan mengelus rambut anaknya) Jangan terlalu banyak dipikir. Mas harus segera istirahat. Besok harus segera masuk dinas. Katanya besok ada upacara.
Kakek : Masalah anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi apa dia nantinya.
Ibu : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak suka kalau mas sedih terus.
Kakek : Aku merasa aku telah gagal.
Ibu : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas itu optimis, tidak pesimis begini. (kakek masih diam) Kalau sedih begini, mas paling suka kalau aku nembang. Bagaimana kalau aku nyanyikan satu tembang lagi, mas. Dengar ya mas.
Kakek : Terserah kamu.
Ibu : Caping Gunung

Dhek jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali

Ning gunung tak cadhongi sega jagung
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa

Anak menuju kursi panjang dan tertidur, ketika mendengar ibunya menembang.
Kakek : Suaramu bagaikan pinus diterpa angin, Martha. Begitu lembut, halus, dan menenangkan. Itulah kenapa aku selalu mencintaimu. Kaulah satu-satunya perempuan yang bisa menentramkan hatiku ini.
Ibu : Aduh, mas Jarwo ini berlebihan, jadi malu aku.
Kakek : Ini tidak berlebihan, Martha. Ini kenyataan. Aku selalu terpaku, diam tidak bisa apa-apa, kerena telampau terpikat suara dan kecantikanmu.
Ibu : Jika mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku menghibur. Apa sekarang mas sudah merasa nyaman?
Kakek : Seperti perasaan Danareja seandainya lamarannya diterima Sukesi tanpa membedah Sastra Gendra. Begitulah yang aku rasakan.
Ibu : Mas bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah suami istri yang tak terpisahkan. Bagai akar dan tanah.
Kakek : Hmmm, iya, iya. Hmmm... (seperti berpikir)
Ibu : Benar kan, mas?
Kakek : Iya, iya.
Ibu : Lalu apa yang masih dipikirkan.
Kakek : Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?
Ibu : Lho gimana to?
Kakek : Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?
Ibu : Ya, ndak tahu, lha wong yang mikir mas kok tanyanya ke aku.
Kakek : Ya, barangkali saja. Selama ini yang bisa mengerti aku kan cuma kamu.
Ibu : Entahlah.
Kakek : (Kekanak-kanakan) Ahh, kalau kamu saja tidak tahu apa yang aku pikirkan, pada siapa lagi mesti aku bertanya?
Ibu : (Diam, berpikir. Meraih Kakek) Mungkin mas memikirkan anak kita, apakah kalau sudah besar di bisa sesuai dengan harapan kita.
Kakek : (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa menjadi orang yang hebat. Tidak. Aku pasti tidak sedang memikirkan anak itu. Keluarga kita baik-baik saja, teramat baik, tidak ada masalah yang perlu memeras otak. Kalaupun ada masalah keluarga hanyalah masalah yang teramat kecil. Dan pikiranku tidak sekecil itu. Aku pasti memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting, lebih... ahhh, tapi apa yang sedang aku pikirkan.
Ibu : Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus menghadiri upacara penghargaan. Nah, kalau kurang istirahat, terus wajah mas masih kusut, apa mas tidak akan malu.
Kakek : Benar juga.
Ibu : (Terlihat senang) Nah, lebih baik istarahat kan?
Kakek : Tapi kepala ini terus saja kebingungan sendiri.
Ibu : Mungkin tidur dulu, besok pasti sudah ingat.
Kakek : Kalau masih tidak ingat?
Ibu : Terserah mas saja. Tapi pikikirkan sekali lagi, acara besok itu penting!
Kakek : (Kekanak-kanakan) Aduh, Martha, jangan marah sayang.
Ibu : Aku tidak marah, mas. Aku cuma memberi saran. Tapi kalau mas tidak mau ya sudah. Nah, kalau masih loyo seperti ini, apakah Presiden akan merasa bangga memiliki rakyat sebaik mas.
Kakek : Iya, benar.
Ibu : Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. (Kakek mencoba berdiri tegap, tetapi kesulitan) Hah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas sudah capek dan butuh istirahat.
Kakek : Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Kamu sangat mengerti. Betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Martha, jangan pernah kau meninggalkanku. Aku bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan.
Ibu : Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia tertidur di kursi, biar antar ke kamar dulu ya mas.
Kakek : Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku tercinta. Tapi jangan terlalu lama aku kau tinggalkan. Segeralah kembali, Martha.
Ibu : Tidak lama. Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas harus janji setelah ini langsung istirahat.
Kakek : Tentu, sayang. Aku janji.
Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek termenung sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.
Kakek : Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!
Ibu dan anak kembali masuk panggung.
Ibu : Ada apa lagi?
Kakek : Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?
Anak : Dia masih tidur, komandan.
Kakek : Cepat bangunkan dia.
Ibu : Sersan Untung masih keluar kota, Komandan.
Kakek : Tidak mungkin, tidak ada tugas bagi sersan Untung untuk keluar kota. Pasti dia masih tidur. Kalian baris di sini dengan rapi, awasi situasi. Aku akan bangunkan sersan Untung. Situasinya sudah genting, tidak ada waktu untuk istirahat.
Kakek keluar panggung. Beberapa saat, masuk lagi dengan Bapak yang terlihat mengantuk.
Bapak : Ada apa lagi ini. Sudahlah, kek, aku capek, aku butuh istirahat, aku besok harus kerja.
Kakek : Sekarang kerjanya! Tidak usah menunggu besok. Lihat di sana, kekacauan terjadi di mana-mana. Dan kamu enak-enakan tidur. Perwira macam apa kamu ini, hah!
Anak : Komandan, situasinya makin kacau.
Bapak : Dimas, diam.
Kakek : Bicara yang sopan. Apa pantas kamu bicara seperti itu dengan atasanmu. Sebagai hukuman kau harus push-up satu seri, dan jangan diulangi lagi. Mayor, terus awasi keadaannya.
Anak : Siap komandan.
Kakek : (pada bapak) Ayo, cepat laksanakan. Apa kamu ini tidak pernah diajari sopan santun. (pada Ibu) Kamu juga, kenapa kamu berani membela orang yang salah?
Ibu : Tidak, komandan. Saya tidak berani.
Kakek : Kalian harus sadar, harus sadar, di sini aku yang menjadi pimpinan kalian. Kalian harus nurut!
Ibu : Siap.
Kakek : (Pada Ibu) Kamu ke sana, coba beri mereka pengertian sebisa mungkin. Usahakan jangan samapi ada bentrokan fisik.
Ibu maju ke depan pangung, seolah-olah membawa Megaphone.
Ibu : Saudara-saudara, usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik. Semua aspirasi saudara-saudara pasti kami tampung. Tetap tenang. Kondisi negeri kita sudah kacau, jangan sampai saudara-saudara menambah kekacauan. Kami di sini sedang mengusahakan yang terbaik untuk negeri ini.
Kakek : Bagus. Teruskan.
Ibu : Kita semua tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada perwakilan dari saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi dengan damai. Percayalah saudara. Percayalah, kita semua tidak ingin kondisi ini makin runyam.
Anak : Komandan, gawat komandan! Mereka menyerang.
Kakek : Tetap bertahan.
Anak : Sulit, komandan. Mereka semakin mendesak.
Bapak : (Menghampiri anak, dan berbicara lirih) Sudah! Diam.
Kakek : Segera berpencar. Cari tempat berlindung. Seraaaaangg! Dor, dor, dor, dor, ahhhhhhhhh, aku tertembak.
Kakek terjatuh. Anak berlari menghampiri kakek.
Anak : Komandan, apakah komandan baik-baik saja.
Kakek : Teruskan perjuangan. Jangan hiraukan aku. Ambil alih pimpinan.
Anak : Komandan, komandan, komandan jangan mati.
Bapak : Ahh, akhirnya selesai. Malam yang melelahkan.
Ibu : Mas, jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini dingin.
Anak : (menggoyang-goyang tubuh kakek) Komandan jangan mati. Komandan, ayo bangun.
Bapak : (Menghampiri Anak) Dimas, jangan ganggu kakek. Biarkan kakek istirahat. Kamu juga harus segera tidur.
Dimas berjalan pelan keluar panggung.
Ibu : Kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-ingatannya.
Bapak : Ya begitulah orang kalau sudah tua. Pikun.
Ibu : Kalau saja nenek masih ada.
Bapak : Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya, mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita kirim ke panti jompo. Mungkin mereka bisa mengurus lebih baik.
Ibu : Jangan, mas. Biar akau saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.
Bapak : Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.
Ibu : Yang sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah caek. Mas angkat kakek.
Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke kursi goyang.

Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang menyorot kursi goyang. Perlahan lampu biru padam.

Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang dengan wajah yang lesu dan hanya memandang.

Lampu pelan-pelan padam.

***

SELESAI
SELAMAT MENIKMATI
SEMOGA BERBAHAGIA

Biodata Penulis:

Nama : Dheny Jatmiko
TTL : Tulungagung, 11 Februari 1982
NIM : 120110330
Fakultas : Ilmu Budaya
Jurusan : Sastra Indonesia
Alamat : Jl. Jaya Baya 5 Bandung, Tulungagung.
HP : 081 931 545 883
Lainnya : Menulis puisi, sedikit cerpen dan esai. Pernah terpublikasikan di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Surya, Jurnal Aksara, Majalah Budaya Sagang, Majalah Aksara (kini Imajio), Bangka Post, Riau Post, Wapada, Surat kabar Priangan, Radio Suara Jerman Deutsche Welle, Australia-Indonesia Art Aliance (AIAA), Suara Anum Online (Malaysia). Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Nasional kategori Sagang di Riau 2003. Juara III Penulisan Puisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional tahun 2006 di Makasar.




NASKAH TEATER REMAJA







TAPLAK MEJA

Karya Herlina Syarifudin




2008


PARA PELAKU



1. PAKDE KEMPUL
2. BUDE KIRANTI
3. KEMPRUT
4. WIRID
5. GENTING
6. JANTHIL
7. SOWER
8. PENGHULU
9. ORANG TUA GENTING
10. ORANG TUA KEMPRUT
11. IBUNYA JANTHIL
12. MAMANYA WIRID
13. BEBERAPA FIGURAN UNTUK PERAN PARA UNDANGAN


PEMBUKA
Para aktor dengan kostum motif taplak meja dan hand prop taplak meja warna-warni dengan berbagai motif, membentuk koreografi gerak. Diiringi alunan musik dari bunyi-bunyian yang diambil dari perangkat sederhana. Misal perangkat rumah tangga, perangkat bengkel, dll. Tarian usai, mereka semua tertidur.
LAMPU BERUBAH

ADEGAN 1
Ruang kamar bersama di sebuah rumah singgah penampungan
anak-anak broken home, pagi hari.
PAKDE KEMPUL : Woi...woi...bangun..bangun...!! Hobi kok begadang. Lupa ya? Hari ini hari apa?
ANAK-ANAK : (nada malas, kompak) Mingguuuuu....
WIRID : Iya Pakde. Insya Allah hari Minggu.
PAKDE KEMPUL : We’ik. Weleh, weleh. Kalian ini, setiap ditanya hari ini hari apa, jawabnya selalu hari Minggu lagi, hari Minggu lagi.
SOWER : Lha iya toh, Pakde. Bagi kita, semua hari itu serasa lebih indah jika dibilang hari Minggu. Karena biar setiap hari bisa libur, bisa santai, bisa begadang, terus bisa bangun molooooorrrrr...
PAKDE KEMPUL : (sewot manja) Lha iya toh, Wer. Biar bibirmu semakin ndoweeeerrr. Karena tiap hari ngileeerrr melulu, bikin pulau abstrak di sarung bantal buluk tercintamu itu. Sana, mumpung matahari sedang tersenyum manis, cepat dijemur bantal kamu itu.
SOWER : Sebentar, Pakde. Boleh tidak aku minta waktu 10 menit saja ?
PAKDE KEMPUL : Mau apa? Pasti mau nambah waktu ngorok 10 menit lagi. Iya kan? Untuk kali ini, permintaanmu tidak Pakde penuhi. Maaf ya, Wer.
SOWER : (menggerutu) Yach, Pakde. Ya sudah kalau begitu. Nanti malam aku mau balas dendam, tidur duluan.
PAKDE KEMPUL : (senyum) Nah, begitu. Tidak baik anak muda kebanyakan tidur. Bakal banyak kehilangan peluang. Kata Mbah Buyutku dulu, kalau kita bangun keduluan ayam berkokok, rejeki kita bakal jauh.
KEMPRUT : Tapi tidak ada hubungannya dengan kalau kebanyakan kentut kan, Pakde?
JANTHIL : Yee...takut ya...mentang-mentang itu angin cueknya tidak bisa direm.
GENTING : Eh, tapi bisa jadi lho. Sekali kentut, akan mengurangi suhu badan sekitar 0,5 derajat celcius. Itu berarti, badan kita terasa lemas dalam waktu kurang lebih sekitar 1 menit.
WIRID : Ting, Ting. Bikin teori ngawur kok ya kebangeten. Kalau sampai teori ngawurmu itu didengar Engkong Einstein, bisa dirujak kamu.
PAKDE KEMPUL : Rujak? Ouw, dari pagi tadi Pakde sudah ngidam rujaknya Mbok Cingur pojok. Sepertinya tamu kita dijamu rujak tolet dan rujak cingur saja. Pasti ketagihan.
GENTING : Memang ada tamu siapa sih, Pakde? Sepertinya Pakde sumringah sekali. Pasti pacar baru ya?
PAKDE KEMPUL : Pacar? Pakde belum sempat berpikir untuk pacaran lagi. Takut nanti trauma lagi.
WIRID : Subhanallah, Pakde. Tidak baik trauma berkepanjangan. Apa Pakde
tidak ingin hidup bahagia? Punya anak, punya keluarga sakinah mawadah warohmah?
PAKDE KEMPUL : Wirid, sebenarnya kamu itu ngomong buat Pakde apa buat dirimu sendiri? Apa kamu sendiri tidak rindu sama keluargamu?
WIRID : (sedih) Astaghfirullah, Pakde. Kumohon, jangan ungkit-ungkit lagi masalah itu. Kepalaku jadi pening. Kita kan sedang membicarakan Pakde. Kenapa jadi berbelok arah?
PAKDE KEMPUL : Ok, maaf. Akan tiba masanya, kalian semua pasti akan merasakan rindu pulang, kangen keluarga. Balik lagi ke masalah Pakde, secara hati kecil, keinginan itu pasti ada. Tapi belum untuk saat ini. Karena Pakde sudah cukup merasa bahagia memiliki kalian semua. Kalian inilah keluarga Pakde.
JANTHIL : Tapi kita semua kan bandel-bandel, Pakde. Apa Pakde tidak bosan menghadapi keonaran kita?
KEMPRUT : Eh, enak saja kamu bilang, Thil. Kamu itu yang suka bikin onar. Kalau aku kan onarnya alami. Dalam sehari, tidak mungkin kalian tidak kentut. Coba, kalau kalian tiba-tiba susah kentut? Pasti masalahnya makin runyam. Kemarin aku baca di surat kabar, gara-gara tidak bisa kentut dalam seminggu, akhirnya dirawat di rumah sakit. Makanya, kentut itu anugerah. Jadi wajib dipelihara baik-baik.
ANAK-ANAK : Prrreeeeettttt....prut tuprut tuprut....preeetttt...
PAKDE KEMPUL : (tertawa) Sudah, sudah. Tidak usah bertengkar. Justru kenakalan wajar kalian itu, hiburan bagi Pakde. Tanpa kalian, Pakde sepi. Terkadang di kala suntuk, godaan untuk kembali mangkal di jalanan selalu menghantui. Pakde tepis bayangan buruk itu. Pakde munculkan wajah-wajah kacau kalian. Akhirnya Pakde bisa tidur nyenyak.
GENTING : Ngomong-ngomong masalah tamu tadi, kira-kira siapa gerangan tamunya, Pakde?
PAKDE KEMPUL : Oh ya. Pakde kan tadi mau beli rujak buat tamu kita, jadi kepotong ngerumpi. Berbahagialah kalian. Karena sebentar lagi, kalian akan kedatangan guru baru.
ANAK-ANAK : (serempak) Guru baru ?
SOWER : Guru buat apa, Pakde?
PAKDE KEMPUL : Sudah lama Pakde punya cita-cita ingin buka sekolah gratis buat anak-anak broken home yang putus sekolah seperti kalian. Puji Tuhan, doa Pakde terkabul.
GENTING : Sekolah? Asyik…aku mau cepat-cepat lulus dan dapat ranking biar dapat beasiswa.
WIRID : Masya Allah, Genting… Sekolah belum jalan, sudah ngomong lulus. Mentang-mentang dirimu yang paling pintar.
KEMPRUT : Iya nih. Aku saja malah lupa cara menyontek yang baik dan benar.
JANTHIL : Dasar Kemprut. Yang diingat malah contekannya. Kamu niat ingin pintar tidak?
SOWER : Pintar dari hasil contekan itu juga tidak afdol.
GENTING : Sower, Sower. Kamu tidak sadar kalau sudah membicarakan diri sendiri?
SOWER : (tersipu malu) Tapi Sower memang tidak terlalu ingin pintar. Bisa baca tulis saja, Sower sudah senang.
PAKDE KEMPUL : Eh, eh, kok malah to be continue adu ayamnya. Mau tidak, Pakde datangkan guru buat kalian? Kalau tidak mau, tidak apa-apa. Nanti Pakde bisa cari anak-anak yang mau saja.
ANAK-ANAK : (Serempak) Mau pakde...mauuuuu....
WIRID : Insya Allah pasti mau, Pakde.
GENTING : Namanya siapa Pakde? Laki-laki atau perempuan? Kalau laki-laki, ganteng tidak? Terus kalau perempuan, cantik tidak?
WIRID : Inalillahi, Genting. Kamu ini niat sekolah apa niat cari jodoh?
KEMPRUT : Iya nih, Genting. Dari tadi bibirnya seperti lubang pantatnya si Kemprut. Susah diremnya.
PAKDE KEMPUL : Eits, mulai lagi. Nanti tak ambil kentongan lho. Biar sekalian Pakde jadi wasit. Yang kalah, nanti malam harus memijat Pakde. Bagaimana? Sepakat?
ANAK-ANAK : He..he...sudah Pakde. Maaf. Kapok.
GENTING : Iya, Pakde. Silahkan dilanjut lagi soal guru barunya itu.
PAK KEMPUL : Guru baru itu seorang wanita. Lumayan cantik dan lembut hatinya. Namanya Tuti Kiranti. Biasa dipanggil Bude Kiranti. Dia teman SMA Pakde.
ANAK-ANAK : Oh, Bude Kiranti.
WIRID : Semoga saja Bude Kiranti kerasan dan sabar menghadapi kita semua ya, Amiinnn.
PAKDE KEMPUL : Tenang saja. Temanku itu sudah terbiasa dengan tipe-tipe anak selevel kalian. Karena dia juga punya rumah singgah seperti ini. Bedanya, anak-anak yang dia bina adalah anak jalanan yang benar-benar sudah tidak punya keluarga, apalagi rumah. Mereka semua benar-benar sebatang kara. Masih lebih beruntung kalian.
JANTHIL : (memotong) Ehm, Pakde...katanya mau beli rujak. Nanti keburu habis lho.
PAKDE KEMPUL : Ya sudah. Kalian juga cepat mandi dan beres-beres. Pokoknya Pakde ingin, pulang dari beli rujak, rumah sudah bersih dan rapi. Ok? (pergi)
ANAK-ANAK : Siiipp, beres boosss..
KEMPRUT : (teriak) Jangan lupa, Aku cabenya biasa Pakde. Yang paling pedaaas...!!
ANAK-ANAK : Kemprruuuutt !!!
KEMPRUT : He...he...iya..iya.. Yuk kita basah-basah.
GENTING : Eh, aku dulu. Enak saja.
SOWER : Tidak bisa ! Aku dulu.
Anak-anak saling berebut masuk kamar mandi. Mengambil handuk masing-masing. Ada yang bawa gayung, ada yang bawa sikat gigi, ada pula yang bawa ember. Nyanyian Kamar Mandi disenandungkan dengan koreografi gerak unik yang mencerminkan karakter masing-masing peran.
Kemprat, kemprut, kemprat, kemprut
Gentang, genting, ewer...ewer...
Tang ting tang wer
Janthil…liwil…liwil...liwil…
Rit, irit, irit...weeerr
Gebyar, gebyur, gebyar, gebyur
Sok osok..osok… Sik..isik…isik…
Bersih badan, bersih hati
Bersih mulut, bersih ucap
Bersih rambut, bersih otak
Meski bandel, jago usil, raja nyontek, gemar ngiler, klemar-klemer
Tapi punya tampang lumayan, baik hati dan tidak sombong
Ayo...ayo...siapa mau daftar
Ketik reg spasi nama spasi foto....kirim ke bak sampah....ha...ha...ha....
Ah, ngawuuurrr.....jaka sembung bawa bubur..Mau dong...lapar nih...
LAMPU BERUBAH

ADEGAN 2
Teras depan rumah singgah Pakde Kempul, siang hari
Genting, Sower, Janthil, Wirid dan Kemprut berbaris di depan pintu, menyambut kedatangan Bude Kiranti. Tampak Bude Kiranti bersama Pakde Kempul, tak kuasa menahan tawa melihat gerakan unik dan nyanyian anak-anak itu.
Lagu Selamat Datang :
Selamat datang Bude Kir..Bude Kir..Bude Kiranti
Selamat datang di gubug reot tapi bikin nyaman hati
Selamat datang....selamat datang...selamat datang...
BUDE KIRANTI : Ternyata kalian jago menyanyi dan menari juga. Bude salut. Ini pasti hasil karya Mas Kempul.
ANAK-ANAK : (mencibir) Ihh, bukan Bude. Ini murni hasil karya kita.
GENTING : Tapi memang sih, hasil didikan Pakde...
ANAK-ANAK : (malu-malu) Iya...he...he...
WIRID : Insya Allah memang iya, Bude.
PAKDE KEMPUL : Nah, anak-anak. Bude Kiranti telah hadir diantara kita. Hidangan istimewanya tadi mana? Tolong dikeluarkan sekarang. Pakde juga sudah lapar.
BUDE KIRANTI : Kamu ternyata tidak berubah. Kalau masalah makanan, pasti nomor satu. Ingat tidak, waktu kamu mentraktir teman-teman dulu?
PAKDE KEMPUL : Ah, sudahlah. Tak bagus diungkit-ungkit. Kesannya jadi pamrih.
BUDE KIRANTI : Bukan masalah pamrihnya. Cara kamu mentraktir teman-teman itu lho, yang sampai sekarang masih terkenang di benakku. Kau selalu urut abjad nama julukan unik teman-teman pada saat membagi makanan. Ingat tidak kamu, julukanku dulu apa?
PAKDE KEMPUL : Pastilah aku masih ingat. Wondor Wongkang kan? Dan nasibmu selalu yang paling belakang. Trus, karena tidak tahan menunggu lama, kau selalu mondar-mandir ke toilet. Iya kan? (tertawa)
BUDE KIRANTI : (tertawa) Ssstt!! Tidak enak, kamu ceritakan alasannya. Tidak sopan di depan anak-anak.
KEMPRUT : Tenang saja Bude. Kita sudah terbiasa mendengar cerita-cerita yang paling parah sekalipun, kok.
JANTHIL : Iya Bude. Nanti Bude juga jangan kaget mendengar kisah-kisah kita. Pasti lebih kacau lagi.
PAKDE KEMPUL : Baiklah anak-anak, sebagai pembuka tak ada salahnya Bude Kiranti sedikit mendongeng pada kalian tentang apa dan bagaimana yang akan beliau lakukan di gubug reot kita ini. Silahkan, Ran.
BUDE KIRANTI : Ok. Pasti Mas Kempul sudah sedikit cuap-cuap pada kalian, tentang tujuan Bude datang kesini. Sebenarnya sederhana saja. Dulu semasa di SMA, kita berdua bersahabat, cukup dekat. Dan tanpa sengaja, ternyata kita berdua sama-sama punya cita-cita ingin bergelut dengan para remaja yang bermasalah, baik dengan keluarganya maupun dengan lingkungan pergaulannya. Karena kita merasa kasihan jika melihat remaja-remaja berkualitas, harus putus harapan di tengah jalan karena faktor x yang sebenarnya masih bisa dicari solusinya. Mungkin karena masalah kematangan pola pikir yang masih jadi kendala. Tidak adanya sosok yang tepat yang mau mengerti kemauan mereka. Tekanan dan tuntutan berlebihan para orang tua dalam hal masa depan anaknyapun bisa membuat para remaja itu jadi frustasi. Masa remaja adalah masa pertumbuhan yang menurut Bude cukup unik. Proses pertumbuhan dan perubahan pola pikir itu ada pada masa remaja. Makanya hati-hati dengan usia remaja. Kalau benteng kita tidak kuat, maka kita akan mudah rapuh. Kalau benteng kita kuat, kita tinggal memilih. Mengikuti jalur yang ditentukan atau membuat pilihan sendiri. Pada saat Mas Kempul bercerita perihal keseharian dan kepribadian kalian semua, terus terang aku cukup tertarik dan tertantang untuk segera bertemu dengan kalian.
SOWER : (memotong) Maaf Bude. Dari tadi perut saya sudah berkeroncong ria terus. Boleh tidak, jika Bude...
PAKDE KEMPUL : Sower, sstt!! (sedikit menggugam) Kamu itu mbok dijaga bibirnya !
SOWER : Maaf, Pakde. Maksud saya, boleh tidak jika Bude Kiranti mencicipi rujak toletnya barang sepotong? Soalnya, dari tadi perutku sudah gonjang-ganjing.
JANTHIL : Iya, Pakde. Kepalaku juga terasa pening mendengar apa yang diungkapkan Bude Kiranti. Terlalu berat.
WIRID : Subhanallah, maklum Bude. Kita semua memang anti yang panjang-panjang. Jaman sekarang semua serba praktis dan cepat.
KEMPRUT : Seperti halnya angin cuekku. Tanpa kompromi, tiba-tiba wuusss..
GENTING : Kemprut ! Yang sopan sedikit dong.
PAKDE KEMPUL : Aduh, jadi tidak enak aku. Maafkan perilaku anak-anak ini ya, Ran. Memang ini salah satu kelemahan mereka yang masih susah aku taklukkan.
GENTING : Kalau tidak enak, mendingan makan nasi kucing saja Pakde.
PAKDE KEMPUL : Huss! Genting. Sekarang ini kita forumnya sedikit agak serius. Ada kalanya bercanda, tapi kalian juga harus menghormati yang serius walau kalian tidak suka. Sepertinya kalian memang masih harus banyak belajar. Maka itu, tepat kiranya jika Pakde datangkan Bude Kiranti.
BUDE KIRANTI : Tidak apa-apa kok, Mas. Saya sangat paham psikologis anak-anak tipe mereka. Tenang saja. Resiko pekerjaan kita, harus jauh-jauh dari kamus tersinggung atau sensitif. Semua harus disikapi dengan ringan dan jiwa besar. Tidak sadarkah dirimu, bagaimana masa remaja kita dulu? Aku rindu dengan masa remajaku sendiri. Kehadiran anak-anak ini semoga bisa jadi nostalgia masa remaja kita dulu.
WIRID : Ahlan wa sahlan... kok jadi seperti nonton sinetron. Judul sinetronnya Nostalgia Bude Kiranti dan Pakde Kempul.
Semua tertawa terbahak-bahak sambil sesekali diam-diam si Sower mencomot potongan buah rujak tolet di hadapannya.
GENTING : Pakde, Sower mengambil kesempatan dalam keriuhan nih...
SOWER : Enak saja. Aku kan cuma sekedar coba-coba. Siapa tahu rasanya berubah.
KEMPRUT : Dasar, alasan. Bilang saja kalau dari tadi sudah tidak kuat menahan godaan.
PAKDE KEMPUL : Ya sudah, sudah. Sekarang, sedikit lagi ya mohon sabar. Ran, langsung saja kau beritahu tentang CBSA itu.
BUDE KIRANTI : Siip. Jadi begini anak-anak, disini nanti Bude akan menemani kalian dalam proses CBSA. Yaitu proses Cara Belajar Siswa Aktif dengan metode PAKEM. Yaitu pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan. Kalian akan mendapatkan pelajaran seperti halnya yang didapatkan teman-teman seusia kalian di sekolah. Istilah keren masa kini adalah Home Schooling.
WIRID : Masya Allah? Home Schooling? (diucapkan sesuai dengan bunyi vokal aslinya) Dengar-dengar, biayanya kan mahal itu Bude.
GENTING : Iya. Itu kan yang pernah muncul juga di televisi. Kalau tidak salah waktu itu ada Kak Seto sama Kak Hughes.
BUDE KIRANTI : Ternyata, kalian cukup brilliant juga ya.
SOWER : Bri..li..an? Maksud ibu ber..li..an? Lidah ibu keblibet ya, bilang berlian jadi brilian? Kalau kita berlian, berarti kita bisa dijual mahal dong.
KEMPRUT : Iya. Nanti masuk surat kabar. Judulnya Kasus Jual Beli Anak Semakin Merajalela.
BUDE KIRANTI : (senyum, geleng-geleng kepala) Brilliant itu salah satu kata dalam bahasa inggris. Yang artinya cerdas atau cemerlang.
GENTING : Cerdas? Jelas, pasti itu Bude. Kalau tidak, mana mungkin Pakde Kempul mau terima kita. Iya kan Pakde?
JANTHIL : Dasar egois. Promosi diri terus. Mendingan kamu buka warung jamu saja. Atau buka lapak obat tradisional di pinggir jalan yang pakai toak. Pasti laku keras.
PAKDE KEMPUL : Perhatian, perhatian..!! Sepertinya rujak tolet dan rujak cingurnya sudah mulai teriak-teriak ingin segera dimangsa.
Anak-anak langsung berebut mencomot rujak. Tapi dicegah oleh Pakde Kempul.
PAKDE KEMPUL : Eits, tunggu dulu. Lupa ya dengan tradisi makan di rumah ini?
ANAK-ANAK : Oh, iya ya. (menyanyi) Mangan ora mangan, sing penting ngumpul. Penak opo ora penak, sing penting wareg. (membaca doa sebelum makan) Ji... lu... nem... nang...ning, ning... nang... ning... gong... nyam.. nyam... Biyuh, uenaak tenaaann...
WIRID : Alhamdu...
ANAK-ANAK : lillah...
PAKDE KEMPUL : Ayo, Ran. Langsung tancap. Jangan bengong.
BUDE KIRANTI : (senyum bahagia) Ada ada saja anak-anakmu ini.
PAKDE KEMPUL : Ini masih babak permulaan. Nanti kamu akan menemukan ritual-ritual kita yang lain. Ayo, sekarang kamu tidak perlu menunggu giliran traktiran dariku.
BUDE KIRANTI : (genit) Ih, Mas Kempul. Jadi kangen aku dengan suasana saat itu.
PAKDE KEMPUL : (berpantun) Buru-buru makan rujak, karena perut sudah teriak. Rujak tolet, rujak cingur. Lidah melet, pedas sesak bagai makan sambal ubur-ubur.
BUDE KIRANTI : (tertawa) Bikin pantun kok maksa. Norak ah, kamu.
PAKDE KEMPUL : Pelan-pelan saja anak-anak. Tidak usah berebut.
BUDE KIRANTI : Eh, itu si Kemprut. Hati-hati. Awas, jangan miring-miring piringmu. Tuh, kan. Yach..taplak mejanya ketetesan bumbu rujak.
ANAK-ANAK : (serempak)Hayo, Kemprut, hayo Kemprut. Cuci, cuci. Cuci, cuci. Cucian deh kamu, wek...wek...wek...
Suasana ramah tamah berlangsung cair.
LAMPU BERUBAH

ADEGAN 3
Ruang tamu di rumah singgah Pakde Kempul, 1 tahun kemudian, siang hari.
Tampak beberapa meja kecil ditata sederhana dialasi tikar agak buluk. Uniknya, semua meja diberi alas taplak meja.
SOWER : Bude, kenapa semua meja diberi alas taplak meja? Seperti pertemuan ibu-ibu PKK saja.
WIRID : Mamaku juga kalau ada acara arisan di rumah, pasti langsung pamer taplak meja baru.
KEMPRUT : Hati-hati, Wer. Jangan sampai taplak mejanya ternoda sama tetesan ilermu.
JANTHIL : Aku tahu, kenapa Bude Kiranti memberlakukan sistem ini.
GENTING : Aku juga. Tapi aku sengaja diam saja. Biar Bude Kiranti saja yang menjelaskan. Takutnya, alasanku salah dan dibilang sok tahu.
BUDE KIRANTI : Tidak apa-apa, Genting. Kalau salah kan, nanti Bude arahkan.
GENTING : (sok malu-malu) Bude saja. Biar lebih akurat.
KEMPRUT : Alaahh, mancing-mancing. Bilang saja, kalau memang tidak tahu. Tidak usah pakai lagak akting sok tahu.
BUDE KIRANTI : Sudah, sudah. Baiklah, Bude akan jelaskan. Bude sangat paham kebiasaan buruk kalian waktu di sekolah dulu. Dan hampir semua siswa punya kebiasaan buruk itu. Hal itu memang wajar. Tapi apa kalian bisa bangga dan puas dengan prestasi kalian yang ternyata diperoleh tidak murni dari jerih payah belajar kalian? Sekarang memang tidak akan terasa dampaknya. Tapi nanti, jika kalian terjun di masyarakat. Semuanya akan terbongkar. Banyak lulusan sarjana yang indeks prestasi kumulatifnya 3 koma lebih. Tapi ternyata, aplikasi di lapangan, nol besar.
SOWER : Jadi inti alasannya kenapa Bude?
PAKDE KEMPUL : Soweeerr! Lagi-lagi ya, bibirmu sepertinya juga harus disekolahkan.
BUDE KIRANTI : Tenang, Mas. Tidak apa-apa. Santai saja. Intinya, kalian dilarang mencontek. Maka itu Bude pasang taplak meja. Ingat tidak, waktu kalian di sekolah dulu? Di bangku-bangku sekolah kalian, pasti banyak coretan contekan. Walau ada juga yang via tulisan di lembaran tissue, atau kertas yang dilinting kecil. Akting-akting tolah-toleh juga kan? Atau duduk bersandar, tapi mata memandang ke bawah, ke dalam laci bangku, kemudian membuka pelan-pelan lembar demi lembar contekan di buku.
PAKDE KEMPUL : Sekarang, terserah kalian. Pakde dan Bude cuma ingin berbuat yang terbaik demi masa depan kalian. Itu juga kalau memang kalian masih punya impian ke depan. Tapi kalau kalian ingin begini-begini saja, juga tidak apa-apa. Tapi penyesalan kemudian, jangan sampai menyusahkan banyak orang. Taplak ini juga Pakde dapat pinjam dari perkumpulan PKK Kelurahan. Kalau ujian kalian usai, harus segera dikembalikan.
KEMPRUT : Terus, kalau kita nanti ujian lagi, Pakde pinjam lagi? Begitu?
BUDE KIRANTI : Semalam saya coba usul sama Mas Kempul, bagaimana jika kalian semua berusaha mendapatkan taplak meja masing-masing dengan cara kalian masing-masing. Strategi ini juga salah satu ilmu yang mengajarkan pada kalian, bahwa jika ingin meraih segala sesuatu baik prestasi, cita-cita, keinginan, dan lain-lain itu jalur tidak mudah. Butuh perjuangan dan pengorbanan. Dari jaman Indonesia belum merdeka sampai sekarang pun yang sebenarnya juga belum merdeka, tidak ada kata usai dalam sebuah perjuangan. Di hari kiamatpun, kita masih berjuang terhadap buah tingkah laku kita selama di dunia.
GENTING : Mencari taplak meja sendiri? Wah, asyik itu. Permainan yang menyenangkan.
WIRID : (keceplosan) Insya Allah, aku bisa minta salah satu taplak meja mamaku nanti.
Mendengar jawaban Wirid, Pakde Kempul dan Bude Kiranti saling pandang dan tersenyum penuh arti.
BUDE KIRANTI : Ok, untuk sementara diskusi taplak mejanya kita tutup sampai disini. Ayo anak-anak, siapkan kertas dan pensil masing-masing. Kita mulai dari ujian mencongak. Setiap pertanyaan, Bude beri waktu 1 menit untuk menuliskan jawabannya. Mas Kempul, stopwatchnya sudah siap kan?
PAKDE KEMPUL : Mantan wasit timer, tenang saja Ran. Sudah digenggaman, tinggal pencet saja.
BUDE KIRANTI : Sudah siap semua?
ANAK-ANAK : (serempak) Siaaappp...
WIRID : Insya Allah siap.
BUDE KIRANTI : Nomor satu. Berapakah hasil akhir 25 x 3 – 25 : 2 ? Jawab dari... sekarang !
LAMPU BERUBAH

ADEGAN 4
Teras depan rumah singgah Pakde Kempul, malam hari
GENTING : Bagaimana hasil pencarian taplak meja kalian? Apa sudah ada yang dapat?
KEMPRUT : Nihil.
JANTHIL : Aku juga. Bingung mau cari kemana.
SOWER : Bukankah waktu itu Wirid pernah cerita perihal mamanya yang hobi beli taplak meja?
WIRID : Na’udzubillah, itu dia yang aku juga bingung. Bagaimana caraku minta sama mama. Pasti yang ada aku dimarahi dan disuruh pulang nantinya. Males ah.
KEMPRUT : Aku punya ide. Tapi agak gila sih dan beresiko tinggi.
GENTING : Aku tahu jalan pikirannya si Kemprut. Pasti kamu mau kita semua diam-diam mencuri taplak meja di rumahnya si Wirid. Iya kan?
KEMPRUT : Apa boleh buat. Uang saja, sepeserpun kita tak pegang. Apa kita mau ngamen lagi? Aku lagi alergi bus kota sekarang-sekarang ini.
JANTHIL : Aku juga. Nanti wajah kita malah ketahuan publik. Ada yang lapor, trus kita dipulangkan ke rumah masing-masing. Males, ah. Aku masih belum siap untuk pulang.
WIRID : Astaghfirullah, ampuni dosa-dosa kami, Tuhan. Apa tidak ada jalan lain teman-teman?
GENTING : Susah juga ya. Aku sendiri tumben hari ini agak lambat otak.
KEMPRUT : He, eh. Biasanya kamu kan paling cepat dapat ide.... apa kata Bude Kiranti waktu itu? Bril....ber...aduh, susah juga lidahnya.
GENTING : Brilliant.
KEMPRUT : Ya...bril...li...an..
SOWER : (menguap) Ngantuk nih. Sepertinya lebih baik aku tidur dulu ya. Siapa tahu nanti dapat mimpi ide bril..li..an..
JANTHIL : Dasar tukang ngiler, hobinya molor terus. Eh, awas ya, jangan lagi-lagi kamu usik bantalku.
SOWER : Beres, Thil. Paling-paling juga aku cuma numpang bikin kepulauan saja kok. (tertawa menyindir sambil lari masuk ke kamar)
JANTHIL : (teriak) Soweeeeerrr !! Awas kamu ya, pembalasan lebih kejam. Lihat saja nanti !
WIRID : Masya Allah....Janthil, sudah dong. Jangan teriak-teriak. Sudah malam. Nanti terdengar Pakde Kempul bisa runyam kita. Bagaimana ini? Aku benar-benar buntu ide nih.
KEMPRUT : Ya sudah. Daripada semua nihil, mendingan kita pikirkan saja matang-matang ideku itu.
WIRID : Astaghfirullah....Kemprut. Maafkan Kemprut, Tuhan. Sepertinya aku tidak setuju.
JANTHIL : Aku juga.
GENTING : Me too.
KEMPRUT : Lha, kok semua pada mundur. Dasar pengecut kalian. Ya sudah, mendingan aku curi taplak meja di rumahku sendiri saja. Tidak peduli masih bagus atau tidak, yang penting aku sudah dapat taplak meja.
GENTING : Tidak kasihan kamu pada Pakde Kempul? Akibat perbuatan konyolmu itu, jika ketahuan, Pakde akan ikut menanggung akibatnya. Aduh Kemprut, kamu itu sudah kerasukan setan jail darimana sih, sampai hati punya ide sebodoh itu?
KEMPRUT : Habis, kalian sih. Tenang-tenang saja dari kemarin-kemarin. Tidak ada gerakan sedikitpun yang memperlihatkan hasil.
JANTHIL : Apa boleh buat. Aku menyerah saja. Biarkan aku tidak ikut ujian lagi karena tidak punya taplak meja. Aku juga tidak butuh ijasah kok. Aku kerja apa saja oks, yang penting halal. Toh, profesi tukang parkir saja tidak pakai ijasah formal. Kalau perlu usaha sendiri. Entah usaha apa saja. Kok, jadi ngelantur begini aku.
WIRID : Taplak meja. Taplak meja. Benda sederhana tapi ternyata juga bisa bikin puyeng kepala.
Tiba-tiba terdengar suara dari ruang tengah (Voice Offer). Overlap anak-anak langsung hening sambil mengendap-endap mendengarkan pembicaraan antara Pakde Kempul dan Bude Kiranti.
PAKDE KEMPUL : Ternyata idemu tentang taplak meja boleh juga. Aku yakin, mereka tidak bakal berani mencari uang untuk beli taplak meja baru dengan jalan mengamen lagi.
BUDE KIRANTI : Tapi kamu juga harus hati-hati lho. Foto-foto mereka sudah mulai banyak tersebar di luar sana.
PAKDE KEMPUL : Itu juga yang bikin aku khawatir dan deg-degan. Sebenarnya aku ingin memulangkan mereka dalam waktu dekat ini. Tapi aku belum menemukan waktu sekaligus cara yang tepat.
BUDE KIRANTI : Yach, semoga ide taplak meja ini adalah cara jitu agar mereka bisa segera kembali pada keluarganya masing-masing tanpa embel-embel kamu sebagai korban salah paham.
PAKDE KEMPUL : Ssstt !! Aku curiga, jangan-jangan anak-anak mendengar pembicaraan kita. Kita ke teras depan saja, yuk.
Meneruskan dialog sambil berjalan menuju teras depan. Anak-anak pelan-pelan bersembunyi di balik tembok samping rumah.
BUDE KIRANTI : (mengalihkan pembicaraan) Mas, ingat tidak waktu kamu main ke rumahku? Terus kamu dimarahi mamaku karena tak sengaja taplak meja di rumahku lobang, terkena puntung rokokmu.
PAKDE KEMPUL : (tertawa) Iya...iya...aku ingat sekali peristiwa itu. Sampai sekarang aku juga masih ingat raut wajah mamamu waktu marahi aku. Gara-gara taplaknya bolong, akhirnya aku tidak boleh lagi main ke rumahmu. Lagak marahnya sudah seperti menolak calon menantu saja. Sedih sekali rasanya waktu itu.
BUDE KIRANTI : Tapi sekarang kau bisa bebas main ke rumah tanpa kena omel mamaku lagi. Beliau sudah almarhum, 5 tahun yang lalu karena penyakit lamanya, tekanan darah tinggi.
PAKDE KEMPUL : Inalillahi wa inna ilaihi roji’un. Turut berduka cita ya, Ran.
BUDE KIRANTI : Terima kasih, Mas. Kita semua pasti akan kembali pada-Nya. Jadi sudahlah, tidak usah terlalu bersedih. (Ekspresi berubah, tersipu malu) Bagaimana kabar hatimu saat ini? Kapan menikah?
PAKDE KEMPUL : Menikah? Sama siapa jeng? Mana ada yang mau sama bencong seperti aku. (diam sesaat) Jujur saja, semenjak kita putus hubungan beberapa tahun yang lalu, kehidupan pribadiku jadi berantakan. Godaan untuk kembali suka pada sesama jenis, tiap malam selalu muncul dalam mimpiku. Bersyukur, Tuhan masih sayang padaku. Akhirnya aku bisa melampiaskan pada hal-hal positif di rumah singgah ini. Sepi hatiku hanya anak-anak ini yang bisa menghibur. Kamu sendiri bagaimana? Aku dengar, tahun depan kamu akan menikah?
BUDE KIRANTI : Kabar yang kamu dengar itu memang benar adanya. Tapi anehnya, semakin dekat waktu menuju ke persiapan pernikahan, tiba-tiba bayang wajahmu muncul begitu saja. Gejala apakah ini? Tiap malam aku tahajud dan istikharoh. Sampai akhirnya skenario Tuhan membuat alur pertemuan kita ini.
PAKDE KEMPUL : Itu berarti?
BUDE KIRANTI : Aku juga tidak tahu. Hatiku kini bimbang. Entah mengapa, perasaanku padamu tiba-tiba muncul kembali dan begitu kuat mendominasi hatiku saat ini.
PAKDE KEMPUL : Benarkah itu? Mengapa kita mengalami hal yang sama? Hanya saja aku belum berani mengatakannya. Karena aku tahu, pasti akan ada waktu yang tepat untuk itu. Dan mungkin saja waktu itu adalah saat ini.
BUDE KIRANTI : Bisa jadi. So...
PAKDE KEMPUL : Ranti...
BUDE KIRANTI : Mas...
Tiba-tiba anak-anak keluar dari persembunyiannya dan mengejutkan mereka berdua.
ANAK-ANAK : Uhuy...uhuy...ciee...cieee...cieee...(menyenandungkan lagu Kebo Giro)
GENTING : Wah, kapan nih rame-ramenya?
KEMPRUT : Pasukan pagar betis..eh...salah..pagar ayu dan pagar bagus siaaap....
PAKDE KEMPUL : (salah tingkah) Kalian ini bicara apa sih?
BUDE KIRANTI : Iya... Ramai-ramai apa? Kok pakai pagar ayu dan pagar bagus segala? Siapa yang mau menikah?
SOWER : Cieee, sekarang Bude Kir yang jadi sok polos.
PAKDE KEMPUL : Eh, dengar ya, Pakde tahu kok kalau kalian tadi mendengar pembicaraan kita. Wong tadi itu Pakde sedang latihan drama sama Ranti.
BUDE KIRANTI : (salah tingkah) Iya, he, eh. Minggu depan ada pementasan teater. Kebetulan kita berdua terlibat, jadi dimanapun mumpung ketemu harus dimanfaatkan buat latihan.
JANTHIL : Ya jelas, lah. Orang menikahpun butuh latihan, biar tidak kaku waktu mengucapkan akad di hadapan penghulu.
WIRID : Alhamdulillah. Akhirnya Pakde temukan juga si jantung hati yang selama ini menghilang.
GENTING : Dari awal aku sudah curiga. Karena mimik muka Pakde waktu menceritakan bahwa kita akan kedatangan tamu, benar-benar sumringah. Seperti menunggu kedatangan putri impiannya. Ternyata, dugaanku tidak meleset kan?
PAKDE KEMPUL : Ayo, ayo...hari sudah makin larut. Kalian masih punya PR taplak meja karena minggu depan Bude Kiranti akan mengadakan ujian lagi. Sudah, sekarang kalian semua tidur. Awas, ti-dur. Tidak pakai embel-embel begadang lagi walau cuma 10 menit saja, ok. Sudah sana, ke kamar kalian. Pakde mau mengantarkan Bude Kiranti pulang dulu. Awas ya, kalau Pakde pulang nanti ternyata hawanya belum terasa kalian seperti tidur pulas, awas! Seperti biasa, sanksi umum tetap berjalan. Mumpung badan pakde terasa pegal-pegal nih.
ANAK-ANAK : (serempak) Beres Pakde. (berjalan menuju ke kamar beriringan sambil menyenandungkan musik Kebo Giro)
LAMPU BERUBAH

ADEGAN 5
Suasana rumah singgah berubah menjadi suasana akad nikah. Hiasan sederhana hasil karya Genting, Sower, Kemprut, Janthil dan Wirid menghiasi seluruh ruangan. Di atas pintu depan tertempel tulisan ”Mohon Doa Restu”
GENTING : Orang tuaku mungkin agak terlambat datang. Karena ambil raport adikku dulu di sekolah.
SOWER : Kalau mama papaku tadi telpon, katanya pesawat untuk hari ini sudah penuh. Jadi mereka baru sampai di Indonesia besok. Katanya titip salam saja. Trus kadonya sudah dipaketkan, mungkin nanti sore sampai.
JANTHIL : Ibuku sudah dalam perjalanan, bareng sama orang tuanya Kemprut. Soalnya mobilnya dipakai bapakku buat meeting ke luar kota.
KEMPRUT : 10 menit lagi sampai kok. Ini baru sms.
WIRID : Pasti kado yang paling indah adalah buatan mamaku. Nanti kalian lihat ya, baju pengantin yang dibuatkan mama untuk Bu Kiranti. Bahannya unik lho. Mamaku yang mendisain sendiri. Paduan motif-motif taplak meja. Rencananya Bude Kiranti sekalian dijadikan model mama buat launching peragaan busana terbarunya. Teman-teman desainer mama cukup terkejut dengan ide busana pengantin dari taplak meja itu.
KEMPRUT : Oh, ya. Sebentar, aku mau telpon mama dulu. Hallo, Mama. Mas kawin taplak mejanya dapat kan, yang modelnya persis seperti yang aku bilang?
MAMA KEMPRUT : (voice offer) Tenang, sayang. Mama bikin hampir mirip dengan aslinya. Sudah ya sayang, ini mama sudah mau sampai. Mau cari parkiran dulu. Daagghh, sayang..
JANTHIL : Memang taplak meja yang persis bagaimana sih Prut?
GENTING : Dasar Janthil bolot. Masa kamu lupa pembicaraan Pakde dan Bude Kir waktu kita intip bareng-bareng?
JANTHIL : (berlagak mikir) Oh....ya...ya...ingat aku sekarang. Terkadang Kemprut bril...bril...aduh apa sih Ting? Lupa lagi aku.
ANAK-ANAK : (serempak) Bril...li..ant !!
JANTHIL : Ya..ya..maksudku itu. Ya, itu maksudku.
GENTING : Ayo, ayo...kita siap-siap. 10 menit lagi acara akad nikah mulai. Tapi, ngomong-ngomong, dari tadi kok Pakde tidak kelihatan. Kemana ya?
ANAK-ANAK : Iya, yuk kita cari. Pakde...Pakde...
Ada suara muncul dari dalam kamar mandi (Voice Offer).
PAKDE KEMPUL : Sebentaaar. Lagi tanggung nih. Sedikit lagi selesai.
KEMPRUT : Walah, Pakde rupanya bisa grogi juga.
WIRID : Iya. Sampai-sampai betah berjam-jam mendekam di kamar mandi.
GENTING : Pakde... (mengetuk pintu kamar mandi)...Pakde...5 menit lagi acara dimulai lho. Apa tidak bisa ditunda sebentar, buat stock nanti setelah akad nikah? Buang air kalau diburu-buru juga tidak akan nyaman di perut.
SOWER : Gentiiing ! Ceramahnya nanti saja. Lebih baik aku minta perpanjangan waktu sekitar 10 menit lagi sama Pak Penghulu.
JANTHIL : Ya sudah sana. Kasihan juga Pakde. Nanti malah tidak konsentrasi pada saat akad karena menahan sakit perut. Aku mau cari minyak kayu putih atau minyak telon dulu ya. Siapa tahu bisa sedikit meringankan perutnya Pakde.
KEMPRUT : Rombongan keluarga Bude Kiranti sudah ditelpon belum? Sudah sampai dimana posisi mereka?
SOWER : Tenang. Berhubung jalanan macet, kemungkinan 15 menit lagi baru sampai.
GENTING : Syukurlah, jadi pakde masih bisa ada waktu menenangkan diri sejenak. Eh, nanti yang kompak ya lagunya. Jangan sampai memalukan para undangan. Atau sambil menunggu waktu, sekarang kita latihan sebentar saja, tapi jangan keras-keras, ok.
ANAK-ANAK : Boleh. Yuk. (agak berbisik) Ji...lu...nem...
Suara 1 : Taplak meja, taplak meja, taplak meja..
Suara 2 : tap, tap, taplak mej..mej..mejaa...
Suara 3 : Taaaaplaaaaaak meeeeejaaaaa...
(suara 1, 2, 3 dinyanyikan bersamaan, boleh diulang 2 atau 3 x)
Taplak meja dan wanita
Dua sosok berbeda tapi selaras
Taplak meja simbol indah dan anggun
Penutup noda, tapi bisa juga ternoda
Taplak meja benda multi fungsi
Orang ngungsi, bawa baju dibalut taplak meja
Maling TV, kalau kepepet takut ketahuan,
TV-nya dibungkus taplak meja asal sabet
Taplak meja sumber keberuntungan juga sumber masalah
Taplak meja juga bisa jadi saksi sejarah asmara
Antara Pakde Kempul dan Bude Kiranti
Oh, taplak meja
Benda sederhana tapi punya banyak cerita
Suara 1 : Taplak meja, taplak meja, taplak meja..
Suara 2 : tap, tap, taplak mej..mej..mejaa...
Suara 3 : Taaaaplaaaaaak meeeeejaaaaa...
PAKDE KEMPUL : (keluar dari kamar mandi) Siapa yang bikin liriknya? Lucu juga.
ANAK-ANAK : Rahasia dong...tapi bagus kan Pakde?
PAKDE KEMPUL : Pakde terharu dengan niat baik kalian semua. Sebenarnya, walau satu sisi Pakde merasa bahagia, tapi di sisi lain Pakde sedih karena harus berpisah dengan kalian semua.
WIRID : Subhanallah, Pakde. Tidak baik omong begitu. Siapa juga yang akan berpisah dengan Pakde? Subhanallah...
GENTING : Pakde ini kok jadi ngaco ngomongnya.
KEMPRUT : Sudahlah. Sekarang Pakde konsentrasi sama acara special Pakde ini. Masalah kita, nanti kita masih punya kejutan lain buat Pakde.
SOWER : Iya, Pakde. Pokoknya kejutan kita ini akan semakin melengkapi kebahagiaan Pakde sekarang. Karena Pakde layak dapatkan itu.
JANTHIL : Pokoknya, tidak akan ada kata berpisah antara kita berlima dengan Pakde dan Bude Kir, ok.
GENTING : Ayo, Pakde. Cepetan siap-siap. Pengantin wanitanya sudah sampai.
Prosesi akad nikah dimulai. Sengaja dibuat terbalik dari prosesi yang sebenarnya berlaku, yaitu pengantin laki-laki bertandang ke rumah pengantin wanita. Prosesi adat pengantin wanita memasuki rumah bisa memakai adat daerah mana saja (yang penting menunjukkan keragaman prosesi adat pernikahan masing-masing daerah di Indonesia). Beberapa buah tangan penghantar mas kawin, semua beralaskan taplak-taplak mungil. Gaun pengantin kedua mempelai dirancang dari taplak-taplak meja yang dijahit menjadi motif yang unik. Ending dari prosesi akad nikah adalah hiburan lagu TAPLAK MEJA.
T A M A T
Bintaro, 310708
BIODATA PENULIS


Nama lengkap : HERLINA SYARIFUDIN
Nama panggilan : LINA
TTL : Malang, 7 Desember 1978
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat surat : Jl. Cempaka Raya No. 15 Bintaro - Kesehatan
Jakarta Selatan 12330
Mobile phone : 0817 961 1519 / 021 – 9280 8285
Email : bravosag@yahoo.com
Herlina.Syarifudin@gmail.com




MEMO : Apabila ada kelompok teater yang berkeinginan memainkan naskah ini, dimohon untuk ijin atau setidaknya memberi kabar si penulis naskah. Kebutuhan ini lebih kepada untuk silaturahmi sekaligus sharing antar insan pelaku seni. Terima kasih.








TAK ADA BINTANG
DI DADANYA

=================
Oleh: Hamdy Salad
P a r a P e l a k u :
1. Pak Hasan, guru agama yang sederhana, usia sekitar 52 tahun.
2. Istri Pak Hasan, agak gemuk dan sok tahu, usia 45 tahunan.
3. Tiga Berandal, penjudi dan pemabuk, usia 30 tahunan.
4. Tiga Murid, siswa SMU kelas tiga, aktivis organisasi sekolah.
5. Murid-murid SMU, beragam fisik dan penampilannya.
6. Tokoh Pengganti Pak Hasan (jika diperlukan).
7. Penyanyi dan Pemusik, sesuai kebutuhan.

=================

WAKTU SEHABIS SUBUH. SETTING PANGGUNG MENGGAMBARKAN RUMAH SEDERHANA PAK GURU HASAN. RUANG TAMU DAN RUANG KERJA JADI SATU. DI MEJA KERJA ITU, PAK HASAN (MEMAKAI SARUNG, KAOS PUTIH MERK SWAN, DAN BERPECI HITAM) SEDANG MEMERIKSA “PR” MURID-MURIDNYA. DENGAN DITERANGI LAMPU BELAJAR (LAMPU YANG HANYA MENYOROT KE TUMPUKAN KERTAS), SEBUAH RADIO DI DEKATNYA MENGUMANDANGKAN LAGU KASIDAH, ATAU LAGU-LAGU ROHANI, BISA JUGA LAGU “LARI PAGI”NYA OMA IRAMA. KEMUDIAN ISTRINYA MASUK PANGGUNG DENGAN MEMBAWA SECANGKIR KOPI, DAN MELETAKKAN KOPI ITU DI ATAS MEJA. KEMUDIAN MEMATIKAN RADIO.

ISTRI :
Pak, istrihat dulu pak. Kan masih ada waktu. Besok kan ndak apa-apa. Jalan-jalan gitu lho pak, biar sehat. Bapak kan baru kemarin pulang dari luar kota, apa ndak capek.

PAK HASAN :
Ya, iya … (lalu menyeruput kopi dari gelas) Keluar kota itu kan juga dalam rangka tugas guru, Bu. Jadi ya … ndak boleh capek. Melaksanakan tugas dan kewajiban itu juga seperti jalan-jalan, Bu. Malah bisa menyehatkan badan, juga hati dan pikiran.

ISTRI :
Tugas apa sih pak, kok kelihatan penting banget. Sejak kemarin kok di situ terus… Sekali-kali bantu masak di dapur tho pak, pak. Kata Bu Amir, tetangga kita yang dosen itu, memasak itu bukan kewajiban istri saja, tapi ...

PAK HASAN :
Ini soal penting, Bu! Bukan soal masak-memasak. Ini pelajaran, masalah agama. Jadi saya mesti mengoreksinya dengan benar. Kalau guru hanya mengoreksi soal-soal penting dan fondamen seperti ini hanya main-main, apa jadinya murid-muridku nanti. Bisa-bisa jadi rusak generasi bangsa ini.

ISTRI :
Kan banyak juga guru yang bekerja seadanya, Pak. Yang bekerja tanpa membedakan apakah itu matematika, ekonomi atau agama, kan sama-sama pelajaran di sekolah (sambil bicara, istri mengambil sapu dan membersihkan lantai ).

PAK HASAN :
Beda, Bu, beda!. Kalau matematika salah, bisa diperbaiki. Kan hanya di kepala, di otak. Kalau soal agama, bahaya, karena masuk ke dalam hati. Salah sedikit bisa mempengaruhi tingkah laku anak. Pelajaran agama itu juga masalah hati, masalah moral bangsa, masalah kehidupan di dunia dan di akhirat nanti. Jadi bukan sekedar angka, tidak bisa disamakan dengan matematika atau pelajaran …


ISTRI :
Iya, iya… aku juga ngerti, Pak. Kalau anak salah memahami dasar-dasar agama, bisa jadi salah seumur hidupnya. Bapak masih ingat nggak dengan anak tetangga kita, itu … si-Midun yang sekarang masih di penjara…

PAK HASAN :
Nggak usah ngomongin masalah tetangga, kalau udah tahu, ya sudah… terusin aja bekerjanya, kan masih banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan…

ISTRI :
Kan nggak ada salahnya to, Pak… istri guru kan mesti juga ngerti apa yang dipikirkan oleh suaminya. Apalagi masalah pendidikan. Pendidikan itu penting bagi generasi masa datang

PAK HASAN :
Ya karena itulah, aku selalu berusaha untuk serius. Meski aku tahu, serius atau tidak, main-main atau sungguhan, gaji guru ya tetap saja. Tapi tugas guru harus dikerjakan dengan hati, dengan ikhlas dan teliti, bukan dengan seenaknya sendiri…

ISTRI :
Betul, Pak. Saya setuju itu. Tapi kesehatan bapak kan perlu juga dijaga. Kalau bapak sakit, yang repot kan juga saya. Apalagi sekarang, anak kita kan masih kuliah di luar kota. Ndak mungkin lagi nungguin setiap hari jika bapak sakit atau …

PAK HASAN :
Atau apa? Makanya kalau masak yang enak dan sehat. Agar bapak juga sehat. Kadarzi gitu lho…. Tahu nggak kadarzi, seperti iklan di televisi itu…

ISTRI :
Istri guru mesti tahu dong, keluarga sadar gizi kan pak?

PAK HASAN :
Memang, kamu itu bukan saja cantik sedunia, tapi juga pinter dan …



ISTRI :
Ah, bapak ini, seperti pohon keladi aja, udah tua masih juga memuji-muji. Dulu waktu masih muda malah nggak pernah…

PAK HASAN :
Nggak pernah apa?!

ISTRI :
Ya nggak pernah memuji saya. Apalagi menulis surat cinta ….

PAK HASAN :
Soalnya waktu dulu, waktu kamu masih muda, kamu itu bawel…

ISTRI :
Kalau ndak bawel, bapak ndak suka sama saya…karena lebih dekat sama itu tuh… gadis yang rambutnya panjang dan hidungnya…

PAK HASAN :
Sudahlah… yang lalu biarlah berlalu, semakin tua usia seseorang kan mesti juga lebih arif dan bijaksana. Lebih memahami kehendak Yang Kuasa… (merasa ada bau masakan gosong). Bukan seperti masak nasi, makin lama makin …

ISTRI :
Oh iya, lupa pak, saya sedang ngliwet nasi. Waduh, gosong nanti…

SANG ISTRI BERLARI KELUAR DARI PANGGUNG. PAK HASAN MEMUTAR RADIO KEMBALI, DAN LAGU PUN BERGEMA. LALU BERGANTI BERITA KORUPSI, PERAMPOKAN DLL. SEMENTARA PAK HASAN MASIH MEMERIKSA PR, MEMBUKA KERTAS, MENCORET DLL. SAMPAI AKHIRNYA MENGUAP BERKALI-KALI DAN TERTIDUR. DALAM TIDURNYA, PAK HASAN BERMIMPI DIDATANGI 3 ORANG MANTAN MURID SMU-NYA YANG BERPAKAIAN SEPERTI BRANDAL. HINGGA PAK HASAN BERGERAK-GERAK SEPERTI DISERET ATAU DIPUKULI ORANG. LAMPU PANGGUNG MEREMANG DAN KEMUDIAN GELAP.

KETIKA LAMPU NYALA KEMBALI, TIGA BRANDAL MANTAN MURIDNYA MASUK KE PANGGUNG DENGAN CARA TAK SOPAN, SEPERTI ORANG YANG SEDANG MABUK. PAK HASAN TERKEJUT DAN BERDIRI (BISA JUGA PAK HASAN TETAP TIDUR DI KURSI, DAN DIGANTI PEMAIN LAIN YANG MUNCUL DARI BELAKANG KURSI, DENGAN KOSTUM PERSIS PAK HASAN).

BRANDAL 1 :
Inilah guru kita, guru agama kita waktu sekolah dulu. Ia yang mengajari kita untuk menjadi manusia yang baik, yang selalu ikhlas dan bersyukur, tapi apa jadinya, kita tetap miskin dan ditindas..

BRANDAL 2 :
Dia juga yang mengajari kita untuk hidup sederhana. Tak boleh mencuri, tak boleh mengambil hak orang lain. Tak boleh judi, tak boleh menenggak minuman keras, tak boleh ini, tak boleh itu, pacaran juga dilarang ha ha ha …


BRANDAL 3 :
Betul, man… Karena itu hidup kita jadi menderita. Jadi sengsara. Aku bekerja dikantor dengan baik, justru diusir dan singkirkan oleh teman-teman kantorku. Main ke tempat tetangga, dikira mau mencuri.


BRANDAL 1 :
Apalagi saya, fren… udah diusir ama mertua, ditinggal pula ama istri. Dan itu semua karena aku tak bisa beli mobil, seperti para tetangga… ayo, kita gantung saja ia, kita buang ke comberan, agar hidup kita jadi tenang, tidak dihantui lagi oleh khutbah-khutbahnya.


BRANDAL 3 :
Seret saja. Seret ia. Kita habisi saja. Siapa tahu, dengan menghabisinya hidup kita berubah jadi kaya, jadi terhormat seperti para pejabat negara. Ya, ndak, ya, ndak. Bisa korupsi, bisa menilap uang rakyat…

BRANDAL 1 :
Emangnya kita ini pejabat negara, menteri atau bupati, hee… Bagaimana kawan, benar nggak… kita ini orang kecil, orang tertindas di lorong negara, kalau ingin besar ya… kawin aja dengan janda kaya, ngrampok, nipu, judi, kalau perlu kamu juga pantas jadi germo, ha ha ha …

BRANDAL 2 :
Ayo, jangan ngomong doang. Seret saja ia ke comberan ...

BRANDAL 1 :
(menarik tangan Pak Hasan dengan kasar) Gara-gara ajaranmu, hidupku jadi tak menentu. Katanya ada surga, mana surganya, mana… surga itu ternyata telah dikontrak seumur hidup oleh orang kaya, para kuruptor dan maling. Hingga kita hanya menempati rumah gubuk derita seperti di neraka…

PAK HASAN :
Ada apa ini, ada apa. Bukankah kalian mantan muridku? Ingat, ingatlah! Ini guru agamamu, Pak Hasan…

BRANDAL 1 :
Aku masih ingat, kamu memang guru agama di sekolahku dulu, tapi karena pelajaranmu itu pula, hidupku jadi menderita…

PAK HASAN :
Hukumlah bapak, jika bapak telah salah… tapi apa salahku pada kalian, juga pada murid-muridku yang lain?

BRANDAL 1 :
Jangan berlagak! Jangan sok suci di hadapan kami.
PAK HASAN :
Ingatlah, nak, tak ada gading yang tidak retak.

BRANDAL 2 :
Betul man, tak ada gading yang tak retak. Dan guru telah meretakkan gading saya. Kalau gading saya tak retak, saya kan seperti gajah. Bisa sruduk sana-sruduk sini, ha…ha…

BRANDAL 3 :
Oke fren, bisa cerdas juga otakmu. Tapi soal peribahasa, aku lebih cerdas…Harimau mati meninggalkan taring, tapi hidup kita selalu ompong, tanpa taring yang bisa dipakai untuk memakan daging sesama, untuk mencucup darah manusia…

PAK HASAN :
Sadarlah, nak, sadar. Aku ini tak memiliki apa-apa, tak punya harta yang bisa kalian bawa. Untuk apa kalian ingin membunuhku… membunuh itu perbuatan paling cela di dunia… jika kalian bunuh aku, sama artinya membunuh agama yang telah kuajarkan pada kalian…

BRANDAL 3 :
Ini hari sabtu, Pak Hasan… bukan hari untuk berkhutbah. Bukan juga hari minggu untuk merampok harta bendamu.

BRANDAL 2 :
Ini hari bukan untuk mendengarkan khutbahmu, Pak Hasan… tapi ini hari kebalikan, Pak Hasan mesti dengarkan nasihat kami… iya nggak, man.

BRANDAL 1 :
Betul, Coy, betul!

BRANDAL 3 :
Rokok bentoel memang sedap , man…

PAK HASAN :
Kalian memang cerdas, dulu waktu kalian masih di sekolah, kalian termasuk murid yang cerdas, tapi perbuatan kalian ini sangat tidak pantas. Tak ada agama di dunia ini yang mengajarkan perbuatan seperti kalian. Ingatlah, nak, ingat! Pada saatnya nanti, kalian juga akan tua dan mati. Juga bapak ini, bapak juga akan mati. Kalau memang saatnya aku mati hari ini, aku ikhlas menerimanya. Tapi apa masalahnya hingga kalian ingin membunuh saya…

BRANDAL 1 :
Aku bilang jangan berkhutbah. Negeri ini tidak lagi memerlukan khutbah, Pak Tua. Sudahlah, akui saja kesalahanmu.

PAK HASAN :
Apa salahku, nak, apa salahku? Mengajar agama itu memang kewajibanku. Kewajiban semua orang yang ….

BRANDAL 3 :
Ah…banyak cingcong! Ayo kita seret saja ia. Kita buang di comberan, biar cacing-cacing saja yang mendengarkan nasehatnya.

PAK HASAN DISIKSA SECARA SIMBOLIK, KEMUDIAN DISERET KE LUAR PANGGUNG SAMPAI LAMPU GELAP. KEMUDIAN RADIO DI MEJA KERJA PAK HASAN BERBUNYI LAGI. LAMPU KERJA PUN MENYALA, SEMENTARA PAK HASAN MASIH TAMPAK TIDUR DI KURSI. KEMUDIAN ISTRI MASUK PANGGUNG, MEMATIKAN RADIO, DAN BERUSAHA MEMBANGUNKAN PAK HASAN.

ISTRI :
Bangun, Pak, bangun! Ada tamu yang datang. Seperti murid-murid sekolah bapak. Pak… bangun, Pak! Ada tamu yang ingin bertemu dengan bapak!

PAK HASAN :
(tergagap-gagap dan mengucek mata berkali-kali)
Astaghfirullah, astaghfirullah! Ya Tuhan…. Maafkan dosa-dosa kami. Jam berapa sekarang, Bu?

ISTRI :
Ada apa to, Pak! Kok seperti habis mimpi buruk saja.

PAK HASAN :
Astaghfirullah… sabar Bu, sabar. Semoga Tuhan melindungi kita semua. Mimpi saya bukan sekedar mimpi buruk, Bu, tapi buruk sekali. Mengerikan.
Ya Tuhan, jika ada yang salah dalam perbuatan kami, ampunilah kami..

ISTRI:
Aduh, pak, pak… seperti berada di sarang penyamun aja.

PAK HASAN:
Mimpi saya, Bu. Mimpi saya sangat …

ISTRI :
Mimpi itu bunganya tidur, Pak. Kalau orang sedang mimpi buruk, katanya akan mendapatkan sebaliknya. Bapak mimpi apa sih, ketemu ama gadis berambut panjang ya..

PAK HASAN :
Masyaallah! Jangan bergurau, Bu. Jam berapa sekarang? Lho, ini juga hari apa, jumat atau sabtu ya…

ISTRI :
Tenang Pak, tenang. Masih pagi. Belum ada jam sembilan. Ini kan hari sabtu, Bapak kosong, tidak ada jam pelajaran. Itu… diluar ada tamu yang menunggu.

PAK HASAN :
Siapa tamunya, Bu?

ISTRI :
Sepertinya, murid-murid dari sekolah.

PAK HASAN :
Ha! Ada apa dengan mereka… jangan-jangan mimpi tadi akan menjadi kenyataan.

ISTRI :
Mimpi lagi, mimpi lagi. Mimpi apa to, Pak!

PAK HASAN :
Nanti aja kuceritakan. Suruh mereka masuk, Bu.. Barangkali ada yang penting. Pagi-pagi kok datang, apa tidak ada pelajaran, ya...

ISTRI :
Bapak ganti pakaian dulu, biar necis, gitu.

PAK HASAN :
Gini aja. Ndak apa-apa. Ini juga sudah rapi.

ISTRI :
Ya cuci muka dululah, Pak.

PAK HASAN :
Kan udah cuci muka, bahkan sudah mandi sebelum subuh tadi.

ISTRI :
Ya sudah kalau gitu, saya suruh masuk aja mereka.


SANG ISTRI KELUAR DARI PANGGUNG. PAK HASAN MERAPIKAN SARUNG DAN PECINYA. LALU TERDENGAR SUARA MURID MENGUCAPKAN SALAM DARI SISI PANGGUNG.

SUARA :
Assalamu’alaikum… selamat pagi, Pak Hasan.


PAK HASAN MENJAWAB SALAM DAN BERJALAN KE TEPI PANGGUNG, MEMPERSILAHKAN MEREKA UNTUK MASUK. TIGA MURID DENGAN SERAGAM SMU MASUK, DAN DUDUK DENGAN SOPAN.


PAK HASAN:
Ada apa ini, kok pagi-pagi sudah kemari. Apa tidak ada pelajaran di sekolah.

MURID 1 :
Maaf, Pak. Kami mengganggu. Kami semua mewakili dari murid klas tiga, dan kedatangan kemari ini juga sudah mendapat izin dari bapak kepala sekolah. Sekarang sedang ada kegiataan ekstra, jadi bisa ke sini …

PAK HASAN :
O begitu. Kalau memang sudah mendapat izin, ya ndak apa-apa. Memangnya ada sesuatu yang penting, ada berita penting untuk saya.

MURID 2 :
Ehh… anu, Pak, bukan sekedar penting, tapi juga sangat mendadak, dan harus kami laksanakan hari ini pula.

PAK HASAN :
Ada apa? Jangan-jangan…

MURID 3 :
Begini Pak Hasan, tiga hari yang lalu, ada tiga orang yang mengaku mantan murid bapak, mereka juga mengaku sebagai alumni sekolah kita, mencegat kami di jalan, katanya ingin ketemu dengan bapak. Waktu itu, kami menjawab bahwa Pak Hasan sedang bertugas di luar kota …

PAK HASAN :
Sebentar, sebentar… seperti apa orangnya. Gimana pakainya, atau gelagatnya…

MURID 1 :
Ya itu masalahnya, Pak. Kami tidak memperhatikannya secara jelas. Tapi kami hanya menduga, kelihatanya seperti ….

PAK HASAN :
Terus, terus gimana, apa kalian sudah melaporkan pada bapak kepala sekolah…

MURID 1 :
Sudah Pak. Dan bapak kepala meminta kepada kami untuk menyampaikan hari ini juga. Sesuai dengan pesan dari tiga orang yang mengaku alumni sekolah kita.

PAK HASAN :
Memang, baru kemarin siang saya datang dari luar kota. Jadi belum sempat masuk ke kantor…

MURID 1 :
Karena itulah, Pak, kami datang kemari…

ISTRI PAK HASAN MASUK PANGGUNG LAGI DENGAN MEMBAWA MINUMAN UNTUK TAMUNYA, DAN MELETAKKANYA DI ATAS MEJA.

ISTRI :
Kok kelihatanya serius sekali… ayo, diminum dulu tehnya, mumpung masih panas..

MURID-MURID :
Makasih…

MURID 1 :
Maaf Buk, kami merepotkan…

ISTRI :
Oh… ndak apa-apa. Ini semua memang tugas ibu, soalnya hanya saya dan bapak yang tinggal di rumah ini. Dua anak kami masih kuliah, jauh sekali dari kota ini… sekarang ini cari pembantu juga sulit, apalagi pembantu yang bisa dipercaya, udah gitu mahal lagi bayarannya…

PAK HASAN :
Sudah Buk, ini masalah penting. Kan masih banyak kerjaan di belakang yang harus diselesaikan…

ISTRI PAK HASAN KELUAR PANGGUNG SAMBIL MEMPERSILAHKAN KEPADA TAMUNYA UNTUK MEMINUM TEH YANG TELAH DISEDIAKAN. LALU MURID-MURID MEMINUMNYA.


PAK HASAN :
Bagaimana ceritanya tadi… masalah penting apa yang sebenarnya ingin kalian sampaikan.

MURID 2 :
Begini, Pak… disamping kami yang datang kemari, beberapa siswa lain dari klas tiga juga akan datang ke sini, ke rumah bapak ini…mudah-mudahhan sebentar lagi udah sampai.

PAK HASAN :
Lho, apa hubunganya dengan masalah tadi. Langsung saja ceritakan masalahnya, bapak ini sudah tua, sering lupa dengan urusan-urusan pribadi, tapi kalau urusan sekolah, urusan pelajaran dan kewajiban saya, bapak selalu ingat… tapi soal tiga orang yang mencegat kalian, apalagi alumni yang sudah lama, bapak sudah tak bisa mengingatnya satu persatu, kan alumni sekolah kita banyak sekali. Dan tidak semuanya jadi orang baik-baik, jadi orang terhormat, ada juga yang nasibnya kurang beruntung. Malah saya pernah dengar, ada alumni sekolah kita yang jadi preman…

MURID 3 :
Tapi kan tidak semua alumni sekolah kita jadi preman, Pak.

PAK HASAN :
Iya, betul. Tapi ada pepatah, susu rusak sebelanga karena setitik nila. Tahu kan maksudnya.

MURID-MURID :
(menjawab bersama) Tahu, Pak.

MURID 2 :
Eehh… begini Pak Hasan, kemarin siang sehabis sekolah, kami semua sepakat untuk menyampaikan pesan dari tiga orang yang telah kami ceritakan tadi. Katanya…

PAK HASAN :
Apa kata mereka, apa pesan mereka yang ingin disampaikan kepada saya. Ayo, ceritakan saja dengan jelas, jangan ragu-ragu atau takut… sebab sebelum kalian datang kemari, bapak tadi ketiduran di kursi dan bermimpi buruk sekali.. jangan-jangan ketiga orang yang datang dalam mimpi saya, juga ketiga orang itu…

MURID 1 :
Maaf Pak, jika kami mengganggu. Tapi ini semua kami laksanakan karena bapak memang pantas untuk menerimanya … (hp murid 1 berdering di sakunya, kemudian menerima telpon itu dengan serius) Sekarang aja… kalau udah sampai ya sekarang aja… langsung aja deh… ndak apa-apa… sekarang aja…(hp dimasukkan kembali ke dalam saku) Begini pak, maaf jika kami mengganggu…


PAK HASAN :
Sudah sejak tadi saya tanya, apa hubungan kedatangan kalian ini dengan tiga orang yang kamu ceritakan itu?

MURID 3 :
Kami belum tahu persis, pak. Kami bertiga hanya diberi tugas oleh teman-teman untuk datang kemari lebih dahulu….

MURID 2 :
Betul, Pak Hasan. Kami bertiga memang tidak tahu apa maksud dan tujuan dari tiga orang alumni sekolah kita, tapi ini ada amplop yang dititipkan kepada kami untuk disampaikan kepada bapak. (lalu mengambil amplop dari dalam tas dan memberikan kepada pak Hasan)

PAK HASAN :
Apa kalian sudah tahu, apa isi dari amplop ini. Bagaimana nanti kalau saya buka, ternyata berisi racun atau apalah yang membuat saya pingsan, atau kalau menghirupnya bisa mati… apa kalian mau bertanggung jawab?! Zaman sekarang ini, apa saja bisa terjadi… orang yang tadinya baik, tiba-tiba jadi rusak. Pemimpin yang dianggap bijaksana dan adil, ternyata juga mencuri … ( suara balon diledakkan, pak hasan terkejut karena seolah mendengarletusan senapa, lalu terdengar suara riuh).

TIGA MURID KEMUDIAN BERDIRI, TAPI PAK HASAN MASIH MEMANDANGI AMPLOP DI TANGANNYA. MURID-MURID LAIN DATANG DENGAN KOSTUM SERAGAM SEKOLAH DAN BEBERAPA ASESORIS TAMBAHAN SEPERTI BALON, TOPI, KALUNG BUNGA, ATAU TOPENG DLL. MASUK KE PANGGUNG (JIKA PANGGUNG SEMPIT, BISA JUGA DITEMPATKAN DI LUAR PANGGUNG ATAU DI DEPAN PENONTON). MEREKA LANGSUNG MENYUSUN KOMPOSISI, KEMUDIAN MENARI SAMBIL MENYANYIKAN LAGU “GURU TANPA TANDA JASA” (AGAR MENARIK, LAGU TERSEBUT BISA DIGUBAH DENGAN GAYA MODERN). SETELAH SELESAI, MEREKA UCAPKAN KOOR “SELAMAT ULANG TAHUN” KEPADA PAK GURU HASAN, DAN TEPUK TANGAN. DARI LUAR PANGGUNG, MASUK LAGI SATU SISWA DENGAN MEMBAWA BUNGKUSAN KADO (LUKISAN 60 X 80 CM) DAN MENYERAHKANNYA KEPADA PAK HASAN.

PEMBAWA KADO :
Dengan rasa hormat, tulus dan iklas, kami berikan kenangan ini sebagai doa, semoga bapak selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

PAK HASAN :
Wah, berat sekali. Apa ini isinya?

SALAH SATU MURID :
Doa dan keselamatan dari kami semua.

PAK HASAN :
Terima kasih, terima kasih. Saya juga selalu berdoa untuk kalian semua, semoga menjadi generasi yang berguna bagi bangsa, negara dan agama. Dan saya minta maaf, jika saya sendiri sudah lupa bahwa hari ini adalah hari kelahiran saya. Sebab, bagi orang yang sudah tua seperti saya, yang selalu diingat bukan hari kelahiran, tetapi hari sebaliknya.

PEMBAWA KADO :
Teman-teman… apakah teman-teman setuju jika kenangan ini dibuka sekarang juga?

KOOR MURID-MURID :
Setujuuu…………………


PEMBAWA KADO :
OKE, TEMAN-TEMAN, SEBELUM KADO DIBUKA, APAKAH TEMAN-TEMAN SETUJU JIKA PAK HASAN MEMBERIKAN SAMBUTANNYA DI HARI YANG BERBAHAGIA INI? BAGAIMANA?

KOOR MURID-MURID :
SETUJUUUUU ………………

PAK HASAN :
TERIMA KASIH, TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN KALIAN SEMUA. TERIMA KASIH JUGA ATAS PEMBERIAN KENANGAN INI. SESUNGGUHNYA, ORANG YANG PALING MULIA IALAH ORANG YANG SELALU INGAT PADA HARI KEMUDIAN, BUKAN PADA HARI KELAHIRAN. SEBAGAIMANA YANG SELALU BAPAK INGATKAN KEPADA KALIAN SEMUA; BEKERJALAH ENGKAU SEAKAN HIDUP ABADI DI DUNIA INI, DAN BERIBADAHLAH ENGKAU SEAKAN MATI ESOK HARI. JANGAN SEPERTI PEJABAT DI NEGARA INI, HARTA BENDA DISEMBAH HINGGA IBADAHNYA DIGANTI DENGAN KORUPSI, MANIPULASI, NGAPUSI….

MURID-MURID :
(TEPUK TANGAN SANGAT MERIAH, LALU KOOR) BUKA…BUKA … BUKA…

KEMUDIAN KADO KENANGAN DIBUKA OLEH MURID 1, 2 DAN 3. KADO TERSEBUT BERISI FOTO / LUKISAN PAK HASAN DALAM UKURAN SETENGAH BADAN, DENGAN PAKAIAN SAFARI DAN TEMPELAN LIMA BINTANG DI DADA KIRINYA. BINTANG TERSEBUT DIBERI SERBUK WARNA EMAS, HINGGA BERKILATAN KETIKA TERKENA SINAR LAMPU. RIUH TEPUK TANGAN TERDENGAR LAGI.


PAK HASAN :
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN KALIAN SEMUA. TAPI….SAYA MINTA KEPADA SALAH SATU DARI KALIAN UNTUK MELEPAS DAN MENANGGALKAN BINTANG-BINTANG YANG MENEMPEL DI DADA INI


PEMBAWA KADO MENDEKAT DAN MELEPAS LIMA BINTANG YANG MENEMPEL PADA LUKISAN. KEMUDIAN PAK HASAN MELANJUTKAN KATA-KATANYA.


PAK HASAN :
KALIAN SEMUA TAHU, SAYA INI BUKAN JENDERAL, BUKAN JUGA PAHLAWAN PERANG, JADI TAK PERLU ADA BINTANG. KARENA JIKA ADA BINTANG DI DADA GURU, SEMUA GURU HANYA AKAN MENGAJAR UNTUK MENDAPATKAN BINTANG. MENJADI GURU ITU IBADAH, MENCARI ILMU JUGA IBADAH. DAN IBADAH TIDAK MEMERLUKAN BINTANG, TIDAK PERLU LENCANA DAN SIMBOL-SIMBOL LAINYA…

MURID 1 :
NASEHAT BAPAK AKAN SELALU KAMI INGAT. KARENA HANYA BAPAK YANG SELALU MENYEMPATKAN DIRI DAN WAKTUNYA UNTUK MEMBERI NASEHAT KEPADA KAMI..

PAK HASAN :
SEMUA GURU ITU WAJIB DIHORMATI… DAN SETIAP ORANG YANG MEMBERI ILMU KEPADA KITA, TIDAK SAJA DI SEKOLAH, ITU JUGA NAMANYA GURU… MEMANG, MEMUJI ORANG LAIN ITU BAIK, DAN TIDAK DILARANG, TAPI TIDAK SEMUA ORANG MERASA SENANG MENDAPATKAN PUJIAN. KARENA PUJIAN ITU SERINGKALI MEMBUAT ORANG JADI LUPA DIRI….. AGAR SAYA TIDAK LUPA DIRI, KENANG-KENANGAN DARI KALIAN AKAN SAYA PASANG DI DINDING RUANG TAMU INI …


MURID-MURID TEPUK TANGAN KEMBALI. PAK HASAN BERGERAK DAN MEMASANG FOTO DI DINDING (BAGIAN TENGAH BACKDROP PANGGUNG). BERSAMAAN DENGAN ITU, LAGU “GURU TANPA TANDA JASA” TERDENGAR LAGI. KEMUDIAN, SEBAGIAN LAMPU MEREMANG DAN MATI, KECUALI LAMPU YANG MENYOROT KE FOTO PAK HASAN DI DINDING. KEMUDIAN, LAYAR PANGGUNG DITURUNKAN SECARA PERLAHAN. PERTUNJUKAN PUN SELESAI.



=================================


H A M S A L 2 0 0 7








M.S. Nugroho
MALIN
-The End Scene

00

Di lautan. Ombak berdeburan dan langit berkilatan. Kapal membatu dan angin gemetaran.
Sekelompok orang bernyanyi layaknya nelayan.

PENYANYI : Cerita membuka luka di balik luka
Pedas dan pedih tiada terasa
Air mata hanyalah hiasan
Hati dan pikiran jadi redam

Jika amarah jadi udara
Mulut menyembur tiada terarah
Tangan menusuk sampai berdarah
Setan dan nafsu menjadi kendara
01

Badai menggeram, suara MALIN tertawa lantang.

MALIN : Tidak. Aku tidak punya bunda seperti kau!
BUNDA : Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak bumi. Nyawamu
tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku, kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku, kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau, batulah engkau!
MALIN : Bunda, benarkah engkau itu Bunda?
DALANG : Duh, Bunda si Malin Kundang
Telinga terbakar, hati berdarah
Mulut mengutuk anak tersayang
Langit keramat tersentak dan jadilah...
PENYANYI : Halilintar mencambuk lautan, maka kutukan jadilah perwujudan.

BUNDA tertawa kesurupan

02

DALANG : Tapi sekejap kemudian sadarlah BUNDA.
MALIN telah lenyap dari pandangan.
Tinggal sebongkah batu kesepian.
Air mata jadi rinai hujan.
PENYANYI : Tiga belas burung camar berputaran
Dengan paruh teriakan bersahutan
Kini udara menjadi mantra kutukan
Terpendam dari senja kesedihan
BUNDA : Malin! Malin! Malin! Di manakah engkau, Anakku? Malin, apakah engkau
mendengarku? Malin, jawablah. Sembunyi di mana, diam di mana, Anakku?
Jawablah. Aku yakin, kau mendengarku. Tidak bisa tidak, kau pasti
mendengar aku. Dengarlah. Peluklah Bunda kau sekarang. Katakan kau
merindukan aku. Ayo lakukan. Kalau tidak, buat apa aku hidup. Aku
menjaga nafasku untuk mencium kening kau. Kalau Bunda tak kau jawab,
sia-sialah kuhirup nafasku sendiri. Dan baju sang maut akan lebih layak
kukenakan. Upacara kematian di depan mata anaknya sendiri yang tak tahu
diri. Kau lihat, Malin. Tongkat ini masih cukup tajam untuk menusuk
jantung renta ini. Kau kuhitung sampai sembilan untuk datang kepadaku.
Karena kau telah datang ke pangkuan bunda melalui sembilan bulan eraman
rahimku. Bersiaplah, aku mulai menghitung dari angka paling akhir.
Sembilan.... Malin, baiknya, maafkan Bunda. Bunda tak sengaja, Sayang.
Ini tak sengaja. Ini seperti teriakan sakit ketika gigi susumu menggigit
putingku. Aku sakit kepada diriku sendiri, bukan kepada kau. Delapan...
Mana mungkin seorang ibu menyakiti anaknya. Untuk apa perjuangan
melahirkan kau kuhapus sendiri dengan mengusir kau. Untuk apa Bunda
mempertaruhkan nyawa kalau untuk membenci kau. Untuk apa Bunda
membanting tulang untuk kau. Tujuh.... Kalau pada akhirnya harus mengutuk
anaknya. Untuk apa? Malin, itu bukan Bunda. Sekarang, inilah Bunda,
Malin. Bunda yang rela kakinya berdarah-darah, naik-turun gunung, jutaan
hasta: untuk menatap wajahmu. Enam.... Inilah Bunda, Malin. Bunda
yang sabar sendirian menunggu ratusan malam di tengah udara jahat
dan tamparan hujan: untuk menyambut kedatangan kapal kau. Lima....
Inilah Bunda, Malin. Bunda yang rela mencium kaki kau dan bahkan
berubah menjadi batu supaya kau tersenyum. Empat.... Bunda bersungguh-
sungguh untuk membunuh diri jika kau tak menjawab, Malin. Tiga....
Apakah kau benar-benar telah menjadi batu? Telinga kau menjadi batu
dan hati kau juga menjadi batu? Dua.... Sampai hitungan kesekian kau tidak
juga menjawabku, Malin? Apakah Bunda terlalu hina untuk kau? Satu.... Ini
sudah masuk hitungan terakhir. Kau di mana? Kau memang batu. Aku
mengajari kau menjadi lautan, kau malah menjadi batu. Aku akan.... Ini
detik terakhir.... Nol....Nol.... Nol.... Malin, kau sangat tega, ya? Ini kau
sudah putuskan. Baiklah, mungkin ini yang terbaik. Bunda memang bersalah.
Bunda memang telah mengutuk kau. (Mengoyak-ngoyak bajunya sendiri)
Badan ini memang tak layak sebagai seorang bunda. Jantung ini memang
baiknya diam selamanya untuk minta ampun pada kau. Bunda memang
pantas mati untuk menebus kesalahan Bunda. Darah ini akan menjadi saksi.
Nyawa ini untuk kau, Malin!

Bunda menusuk jantungnya sendiri.

DALANG : Duh, derita mana bisa kalahkan derita bunda
Derita bunda karena kasih kepada putranya
Dipalingkan dan dicampakkan putranya sendiri
Putra yang tak menganggap bundanya lagi

03

Dalam lindap senja, MALIN bergerak-gerak seperti bayi baru lahir. Matanya penuh air. Awalnya gagap dan suaranya berupa bisik.

MALIN : Bunda. Bunda. Jangan lakukan!
BUNDA : Malin? (Tersenyum) Engkaukah itu?
MALIN : Ini Malin, Bunda. Anakmu.
BUNDA : Malin!

DALANG : Tarian kerinduan membuncah menjadi pertemuan. Tiada lain yang
dilakukan kecuali pelukan yang dieratkan. Pelukan demi pelukan yang
sukar terpuaskan.

Bunda tertawa kegirangan. Sejenak kemudian merona kemarahan dilimbur tangisan.

BUNDA : Kau jahat. Kau jahat. Mengapa kau lakukan ini. Batulah kau. Batulah kau.
MALIN : Bukankah ini yang Bunda inginkan? Ini Malin sudah menjadi batu, Bunda.
BUNDA : Apa? Kau tak paham juga. Lihatlah mata Bunda. Dua puluh tiga matahari
telah memeluk aku dan kau, tapi kau tak kenal juga wajah Bunda. Ayolah,
bangun. Peluk Bunda.
MALIN : Tidak, Bunda. Biarlah Malin tetap menjadi batu. Menjadi batu dan tidak
akan berubah.
BUNDA : Kau memang batu dan tidak akan berubah!

MALIN : Ini sudah menjadi garis nasib Malin, Bunda. Langit keramat tidak akan
mengabulkan kutukan Bunda kalau kata-kata hanya permainan.
Kemarahan Bunda yang paling dalam telah menggetarkan darah dan
lengan langit.
BUNDA : (Menangis) Tidak, Malin. Tidak. Bunda tidak marah. (Tersenyum) Apa yang
paling terang dalam hidup ini adalah misterinya. Ketika bapak kau ditelan gelombang dulu kukira memang benar-benar meninggalkan aku. Ternyata tidak. Bapak kau menyisakan cintanya dalam perutku, yaitu kau Malin. Kaulah cahaya dalam hidupku. Kaulah sumber kebahagiaan aku, Malin. Kau ingat lagu yang kita nyanyikan bersama dalam sinar bulan? (Menyanyi) Ketika matahari terang, kita sering bekejar-kejaran di ladang jagung milik kita. Kau sering bersembunyi di balik gundukan tanah. Malin, Malin. Kupanggili kau. Aku cemas mencarimu ke mana-mana. Malin, Malin!
MALIN : (Tiba-tiba memeluk punggung BUNDA dan tertawa-tawa) Malin di sini,
Bunda!
BUNDA : Kau mengagetkan aku, Malin. Kau nakal, Malin. Kau nakal.
MALIN : Tapi aku pernah menangkap ayam hutan merah untuk Bunda. Lalu kita
panggang malam harinya! Bunda melumuri dagingnya dengan madu
lebah hutan. Hm... harum. ( Makan) Gurih sekali.
BUNDA : Aku melihat melalui cahaya api panggangan, kau makan lahap sekali.
Bahkan kau hampir menghabiskan ayamnya. Tak apalah aku tidak
mendapatkan sisa dagingnya. Aku sudah senang melihat wajahmu menyala
gembira.

DALANG : Duh, inilah pertemuan anak semata wayang dan bunda tersayang
Waktu seolah berulang, bayangan jadi layar terbentang
Kisah sehari-hari jadi indah ketika dikecup oleh kenangan
Sayang-sayangnya ini bukanlah suasana untuk senang-senang.
MALIN : (Menangis) Bunda, aku sekarang juga tidak apa-apa menjadi batu seperti ini.
Tidak usah cemaskan aku. Biarlah aku bisa merasakan kesepian Bunda
seperti ketika kutinggal merantau dulu.
BUNDA : Tidak, Malin. Bunda maklum kau tak kenal Bunda lagi. Ketika engkau
pamit, Bunda masih bugar bersinar. Setelah lewat tiga tahun, Bunda sering
sakit dan ladang kita telah tergadai. Kemudian aku mendengar angin berkabar: Malin akan berlabuh di pulau ini. Cepat-cepat aku berangkat. Aku menunggu kau di pantai. Terus saja aku menatap cakrawala. Tanpa rumah berteduh, tanpa air untuk berbasuh, tanpa kilau cermin. Berhari-hari. Kau bisa melihat betapa kacaunya penampilanku (tertawa).
MALIN : (Menangis tambah keras) Batulah aku. Batulah aku. Betapa durhakanya aku,
Bunda. Bertahun-tahun tega meninggalkan ibunya sendiri dalam sakit dan
melarat. Anak macam apa aku ini, Bunda. Aku memang pantas jadi batu,
Bunda...
BUNDA : Malin. Semua itu perintah lautan, anakku.
MALIN : Ketika aku turun ke pantai ini, kakiku berdarah-darah amat perihnya. Aku
tak bisa bayangkan kalau yang berjalan itu kau, Bunda. Berlaksa depa
menapak, turun lembah naik bukit, ditampar malam dihajar siang, didera
lapar, dalam lara dan nestapa. Kemudian mendapatkan hadiah: ditolak
anaknya. Betapa ini sangat menyakitkan, Bunda. Aku anak terkutuk. Aku
terkutuk, Bunda.
BUNDA : Aku telah rela, Anakku. Toh, akhirnya kerinduan telah terbayarkan, Malin.
MALIN : Tapi aku mencampakkan kau, Bunda.
BUNDA : Karena kau tidak tahu. Udara laut telah menyihir mata kau. Kau menganggap
aku gelandangan atau orang gila. Kau pasti tidak membayangkan kalau
aku bunda kau.
MALIN : Bunda terlalu ingat pada anak, hingga lupa diri sendiri. Aku pun tak tahu diri,
hingga lupa kepada bunda sendiri.
DALANG : Hm, sang waktu telah berkhianat
Meremukkan segar wajah Bunda
Jadi renta dan nestapa
PENYANYI : Sang Bumi pun telah beruntun menyerbu
Tanah kebun besar beribu-ribu
Jadi hanya segenggam debu
DALANG : Lalu apa salah jika mata tak lagi kenal Bunda?
Bayangan telah jauh meninggalkan kenyataan.

BUNDA : (Tertawa) Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu
kepada istri dan anak buah kau?
MALIN : Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA : Jangan justa! Katakan dengan jujur!
MALIN : Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung halaman. Sebenarnya
kami ke pulau ini memang hendak menjemput Bunda. Tapi...
BUNDA : Kau malu untuk mengakui bahwa ....
MALIN : Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri Sabarini,
istriku. Aku takut...
04

DALANG : Mendengar namanya disebut, runtuhlah sebongkah batu, dan jadilah Puteri
Sabarini. Musik pengantin mengembang di udara.

PUTERI : Malin. Malin. Mengapakah Uda menyebutkan namaku untuk mendurhakai,
Bunda. Siapakah malu mengakui kalau sang bunda melarat atau tak waras.
Bunda adalah hakikat kehidupan, tak ada sesuatu pun bisa mengubahnya.
MALIN : Puteri?
PUTERI : Aku menyertai Uda adalah untuk mencium kaki Bunda. Siapa pun wanita
itu. Aku adalah menantunya.
MALIN : Maafkan aku, Puteri.
PUTERI : (Merayu) Tidak hanya itu Uda, bersujudlah kepada Bunda. Mintalah maaf
pada bunda kita. Beliaulah suluh suci untuk pernikahan kita.
BUNDA : Lihatlah, Malin, inilah anakku itu. Puteri yang agung dan berkilauan. Aku
bangga kau mendampingi puteraku.

DALANG : Maka sepasang pengantin suci datanglah
Laksana layang camar bercermin di alun tenang
Maka bersujud di kaki bunda pembawa restu
Laksana sujud air laut pada pasir pantai

DALANG membawa payung tombak dan menari. Para penyanyi mengiringi acara yang jadi pesta pernikahan. Perayaan agung layaknya pernikahan seorang pangeran.

BUNDA : Anak-anakku, terang dan malam telah mengembangkan namamu. Melihat
kalian adalah berhadapan dengan bunga mawar. Wajahmu menikmatkan
mata dan wanginya menyegarkan dada. Tapi durinya membuat kulitku terasa
berdarah. Aku merasa gembira dan bangga tapi juga merasa cemas
kehilangan kalau kalian menikah. Tapi ini adalah kehendak matahari. Maka
dengan ini: Aku berkati pernikahan kalian. Jadilah pengantin abadi yang tak
goyah oleh arus waktu dan gelombang dunia....

Semua bertepuk tangan dan bergembira. Tari-tarian ular dan macam-macam pertunjukan menjadi hiburan yang meriah.


05


Tiba-tiba....
ORANG : (Kepada DALANG) Pak Tua, mengapa ceritanya jadi begini?
DALANG : Mengapa? Kalian tidak suka ada kebahagiaan dalam cerita Malin Kundang?
ORANG : Tidak. Kami tidak bermaksud demikian. Kami hanya bertanya.
DALANG : Saya memang pembawa cerita. Tapi bukan berarti saya harus memaksa
para pemain mengikuti pola yang telah ada. Kalau kalian ingin tahu
alasannya, tanyakan saja kepada pemerannya sendiri.
ORANG : Baik, Pak. Kami akan lakukan. Terima kasih.


06

ORANG : (Kepada Malin) Saudara Malin, mengapa semua jadi begini?
MALIN : Maaf. Kita hormati wanita utama yang pertama berbicara.
ORANG : (Kepada Bunda) Bunda, bagaimana perasaan Bunda atas pernikahan Malin
dan Puteri Sabarini?
BUNDA : (Tersenyum) Tentu saja sangat bahagia. Kebahagiaan anak adalah
kebahagiaan aku sebenarnya.
ORANG : Kalau begitu “penderitaan anak adalah penderitaan bunda?” Mengapa Bunda
tega sekali mengubah anak kesayangan menjadi batu?
BUNDA : (Marah) Dengar dan catat. Aku tidak pernah mengubah Malin menjadi batu.
Itu di luar kekuasaanku. Langitlah yang membuat Malin menjadi batu.
Bukan aku.
ORANG : Bukankah sudah terbukti bahwa Bunda mengeluarkan kata-kata kutukan agar
Malin menjadi batu?
BUNDA : Apa? Siapa yang menyebut kutukan?
ORANG : Kalau Bunda tak mengutuk Malin mana mungkin Malin menjadi batu?
BUNDA : Kalau langit tak berkenan mana mungkin itu terjadi! (Menangis) Sudah
cukup. Ini bukan wawancara. Ini pembunuhan. Ini pembunuhan! (Pergi)
ORANG : Malin, Malin. Bagaimana pernyataan Anda, Malin?
MALIN : Maaf. Tolong. Perempuan lebih dulu. (Membopong Bunda pergi)
ORANG : (Kepada Puteri Sabarini) Puteri, apakah Anda akan mengikuti Malin?
PUTERI : Tentu saja. Saya istri Malin. Apapun yang terjadi saya harus
menghormatinya. Maaf, yang ini rahasia, jangan dicatat. Kalau aku ikut
mertua, tentu akan menyenangkan bunda tapi menyiksa saya. Kembali ke
orang tua sendiri sama halnya mencoreng kening saya dan menghinakan
suami tercinta.
MALIN : Tidak, Puteri. Dinda tidak bersalah, jadi tidak pantas kalau Dinda ikut
menanggung hukuman ini.
PUTERI : Uda, justru aku akan bersalah kalau aku meninggalkan Uda sendiri.
MALIN : Pulanglah. Aku tak perlu belas kasihanmu.
PUTERI : Uda tega mengusir aku? Udalah yang telah menyunting aku.
MALIN : Keberadaan kau di samping aku justru akan melipatkan kesedihan aku.
PUTERI : Uda, pengorbanan istri adalah .....
ORANG : (Menyela) Maaf. Sudah, sudah. Sekali lagi maaf. Karena ini berkembang
menjadi urusan pribadi keluarga; kita tidak sopan kalau membiarkan
peristiwa ini terbuka untuk khalayak. Namun baiklah kita pilihkan kata
damai saja, musyawarah untuk mufakat.

MALIN terus bertengkar tanpa suara. ORANG-ORANG berusaha melerai.

DALANG : Ini menjadi peristiwa yang bersejarah. Inilah pertengkaran pertama dalam
keluarga Malin. Mengapa kekerasan selalu pintar menyusun alasan.
Biarlah mereka menuntaskan dulu masalahnya. Marilah kita pergi.

Semua pergi. BUNDA menangis sendiri.

07

BUNDA : Kutuk apa, dosa apa. Mengapa langit tidak mengubahku menjadi batu saja?
Menjadi batu lebih punya makna daripada kesedihan seorang bunda.
(Mengutuk diri sendiri) Batulah aku. Batulah aku. Batulah aku! (Sepi)
Mengapa langit tak menjawab? Mengapa aku tak menjadi batu? (Kepada
langit) Ini pasti sudah Kau rencanakan. Senyummu berkilat. Ada yang
Kau tunggu? Ya, aku sudah tahu. Aku merasa air laut sudah bersiap
mencatat. Aku mendengar badai sudah berkemas mengantar. Lihatlah. Ini
akan menjadi menara peringatan, yang bisa terbaca dari dunia dan sejarah
yang amat jauh. Malin, Anakku. Bunda telah datang...

BUNDA menghujamkan tongkat ke dadanya. ORANG-ORANG mencegahnya.

BUNDA : (Marah) Mengapa aku tidak boleh mengucurkan darahku sendiri? Lihatlah
dirimu sendiri. Di darah kau juga mengalir darah bunda karena kalian
semua pasti dilahirkan oleh seorang Bunda.
ORANG : (Menangis) Bunda, jangan kotori kisah ini dengan ceceran darah.
Kami sudah cukup menderita dengan apa yang telah terjadi.
BUNDA : Apa pedulimu. Siapa kalian?
MALIN : Mereka adalah anak-anak Malin, Bunda. Mereka adalah putera sejarah masa
depan.
ORANG : Cukupkan sudah. Kekerasan demi kekerasan.
ORANG : Hentikan sudah, bentakan dan cacian.
ORANG : Peluklah kami. Ajari kami cinta. Sayangilah kami.
BUNDA : Anak-anak, kalian adalah anak-anakku juga.

Semua berpelukan.
BUNDA : Kalau sampai sekarang kalian bisa melihat batu Malin Kundang, kalian juga
bisa melihat penderitaan bunda. Kalau tidak dengan mata kalian, nama bunda
akan terbaca dalam darah kau. Tertulis semua dengan huruf besar. Berwarna
merah dan selalu basah.
BUNDA rebah. Ombak lara mendesah. Udara malam mengirimkan tangisan. BUNDA diusung dengan upacara dan nyanyian.
PENYANYI : Langit pucat mengarak duka terlalu pekat
Angin laut mengusung asin garam terlalu lekat
Ingatkan karat dalam rongga dada terlalu sarat
Terlalu lama membusuk dan berkerak-kerak

Tiada sesal yang paling dalam
Kecuali kasih terhunus salah paham
Tiada duka yang membekukan darah
Kecuali duka oleh kasih bunda

DALANG : Mari semua berdekapan
Sudahi kekerasan demi kekerasan
Demi melangkah ke masa depan
Dengan cinta sebagai pedoman.


The End





KESURUPAN
ATAWA
Inside! Insting! Intrance!

Oleh: Juma’ali

SAAT JAM ISTIRAHAT SEKOLAH. DIANTARA BERESELIWERAN SISWA-SISWI YANG LAIN. DISUDUT KANTIN SEKOLAH SEKELOMPOK SISWA MEMBICARAKAN KASUS AMALIA (SISWA YANG KESURUPAN SEHARI YANG LALU SAAT JAM SEKOLAH).

DI SALAH SATU SUDUT KANTIN SEKOLAH.

ARIL: Tidak ada yang news tentang kesurupanannya Amalia.
ANDI: Klise. Usang. Basi dan kuno!
ADANG: Itu yang keliru...pandanganmu harus dibalik!
ALIM: Ini news-news dan news...
ANWAR: Lha wong cewek cantik koq bisa kerasukan...
ANDI: Modusnya lawas! Usang.
ARIL: Pingsan, kesurupan! Perempuan selalu begitu, untuk menutupi kelemajahnnya memanfaatkan cowok dengan segala kekuatan. Menundukkan herois dan machonya kaum Adam tolol. Oleh karenanya kita akan jadi budak secara tidak langsung ataupun tak langsung.
ANWAR: Yang paling enak jadi jinnya, untunglah. Kalau begini kenapa saya dulu gak jadi jin, ya!?
ANDI: Bukan soal jin, perlu dipahami bahwa cantik bukan jaminan kesempurnaan.
ARIL: Tidak salah! Betul, kan!?
ANWAR: Inijuga untuk semangat kita-kita, biar ada keberanian naksir cewek cantik!

TERTAWA MEREKA MELEDAK.

ANDI: Yang jelek bukan berarti sempurna..

TERTAWA MAKIN MELEDAK.

ARIL: Apalagi..
ANWAR: Tapi masih dapat poin, walaupun sedikit. Asal punya keberanian.

ADISH, CEWEK GENDUT DIANTARA MEREKA PERGI BEGITU SAJA.

ADISH: Nggak usah ditanggapi..
ANDI: Tersinggung.. Kemana?
ARIL: Mau kesurupan?!
ANDI: Kesurupan itu cara ampuh untuk jadi terkenal.
ARIL: Promosi itu butuh modal!? Mahal, kawan.
ANWAR: Sekarang lagi musimnya, yang audisilah, kontes, kompetisi atau apa saja..
ARIL: Modal cupet pengin terkenal..cara praktis ya...
BARSAMA-SAMA: Kesurupan!
ANDI: Lantas jadi perhatian, pembicaraan otomatis jadi artis dan selebritis..lantas daftar caleg, cabub, cagub...gampang, kan!?

ARIL: Kalau meleset malah jadi perek!

MEJA YANG LAIN LAGI.

BRAM: Cantik! Cerdas.
BING: Ngak masuk akal
BARA: Kata siapa? Justru karena kecantikan, kecerdasan masang harga terlalu tinggi, jual mahal. Nggak salah kalu diguna-guna cowok.
BIMBI: Disantet? Salah tafsir! Cantik bukan berarti mesti ditaksir!? Apakah nggak ada hak cewek untuk naksir? Kejam banget! Nggak adil dunia ini!
BELLA: Ssstt..jangan ramai-ramai! Asal tahu dalam naksir-menaksir, karena kecantikan dan kepinteran itu, Amelia nggak ada keberanian, dipendam terlalu dalam.
BRAM: Jaim dan jaga gengsi! Takut resiko, gagal!

CINTA DAN CITRA LEWAT.

CINTA: Kalau begitu, anjlok pasarannya.
CITRA: Nggak salah kalau kebanyakan orang beranggapan macam-macam; cantik-cantik bersekutu dengan iblis, syetan, ruh halus!

KEMBALI PADA SUDUT MEJA SEMULA.

ALIM: Salah langgkah..Bisa dianggap bersekutu dengan setan?
ANDI: Banting hargapun, obral diskon..tetap nggak laku.
ANWAR: Sayang banget, ya! Begitu itu apa bisa kembali normal? Sembuh?
ALIM: Normal?! Gak mungkinlah..

MEJA YANG LAIN LAGI.

DITA: Tandatanda sebelumnya?!
DINA: Ada yang aneh hari-hari terakhir Amalia; suka melemun, menyendiri, biacaranya kayak dunia lain, suka nggerundel…omong sendiri…ngeracau!?
DARA: Jangan-jangan gejala awal gila.
DILA: Huss..jangan menyimpulkan begitu...
DITA: Menyedihkan..
DINA: Bisa jadi tekanan batin yang tidak semua orang tahu..hanya dia sendiri..
DARA: Lha kalau begitu bagaimana kamu tahu!?

SUDUT LAIN.

ANWAR: Kegagalan..
ANDI: Cinta terpendam terlalu dalam! Butuh keberanian, apapun resikonya..
ALIM: Biar plong!

MUNCUL EDY.

EDY: Sudah hentikan jangan hanya bicara Amelia.. kalian terlalu sempurnahkah?!
ANDI: Kenapa jadi sensitif?
ARIL: Apa urusanmu?.
EDY: Sudah hentikan...bicara macam-macam..
BRAM: Cemburu?!
ARIL: Sok jago?!
BRAM: Mau jadi pahlawan?!

TIBA-TIBA SUARA DALAM SEBUAH KELAS GADUH. MENJERIT-JERIT, TERIAK-TERIAK SUARA PEREMPUAN.

DINA: Dengar

OS. JERITAN SISWI YANG KESURUPAN MEMECAH SUASANA KANTIN.

ARIL: Ah, cari perhatian!
ALIM: Ngeri..
ARIL: Nggak ngurus!

OS. RINTIHAN MAKIN MENGUAT, MENYAYAT.

BRAM: Roh-roh itu datang!
ANWAR: Tanda-tandanya?
BRAM: Dengar! Gerakannya...
ALIM: Angin...
ANDI: Desirnya lembut..
BRAM: Tanda-tanda mereka datang
DITA: Ah masa iya
DINA: Akan merasuki siapa
DILA: Siapa diantara kita.
DITA: Jangan-jangan...
DINA: Jangan nakut-nakuti
ANDI: Dia mencari korban.
ALIM: Merasuki jiwa yang kosong
BRAM: Jiwa mesti bersih suci.
BING: Siapa saja yang tidak percaya diri. Ketergantungan pada orang lain yang tinggi.
Pikiran yang tidak punya pendirian dan pijakan alias plin-plan.
Kecuali prerempuan yang menstruasi..orang hamil, nenek-nenek dan bayi.
DILA: Kenapa?
ANDI: HAM.
ANWAR: Kerawuhan!?
ANDI: Klebon!?
BING: Ya, kecuali hati dan pikiran yang terbuka.
DITA: Nggak percaya!
BRAM: Terserah!
DILA: Benar, roh itu akan datang?!
BRAM: Sewaktu-waktu!
DILA: Ya! Kapan? Kapan?!
BRAM: Suka-suka dia. Wong saya juga nggak kenal..
ALIM: Jangan main-main ini serius!

OS. SUARA MAKIN GADUH, HISTERIA .

DITA: Dengar, jeritannya..
BING: Makin ramai..
DITA: Tidak hanya seorang
BING: Suara makin banyak..
BRAM: Dan tambah banyak! Gawat!
ANDI: Hari gini, kesurupan!? Kuno..primitip!
ANWAR: Mau kuno, primitip, modern dinegeri ini campur aduk

SITUASI KANTIN MAKIN GADUH. SISWA-SISWI BERLARIAN.

ANWAR: Gawat!
ANDI: Apanya?
BING: Lari..
ANWAR: Kemana?
ANDI: Kesana..
ARIL: Nggak!
DARA: Takut!
DITA: Jangan, nggak! Jangan!
ARIL: Main-main..
ANWAR: Serius!
ANWAR: Kesana yok!
DINA: Jangan diseret!
DARA: Nggak-nggak saya takut
ANDI: Licik! Dasar penakut!
ANWAR: Takut apa
DARA: Kesurupan! Menular!
ANDI: Kesana yuk
ARIL: Gak usah terburu..tahan! Jangan dulu! Ada saatnya!

MEREKA BERLARIAN MENUJU SUARA YANG MENJERIT-JERIT KESURUPAN.

ANWAR: Lho saya belum bayar.
BRAM: Nanti gampang!

SESAMPAI MEREKA DI KELAS, TEMPAT TERJADINYA KESURUPAN.

ANWAR: Amalia lagi
ANDI: Bukan
ANWAR: Amalia!?
EDY: Gak mungkin!
ANDI: Kerasukan Edy..lengket kayak perangko!
EDY: Jaga mulutmu!
ANDI: Gak bakal kerasukan lagi. Sudah punya gacoan!

ADISH MENJADI PUSAT OERHATIAN MURID-MURID DALAM KELAS, ADISH KERASUKAN.

ANDI: Yeah! Setan salah alamat si gendut, Adish kerasukan!
ANWAR: Kenapa?
ANDI: Nggak semangat!
BRAM: Bisa kacau!
ANDI: Gak mungkin ada yang mau nolong.
BRAM: Kayak kingkong. Mik Tysen!
ANDI: Bagaimana mau ngankut!
ANWAR: Siapa yang kuat ngangkat!?
ANDI: Nggak bakalan ada yang ngangkat. Terlalu berat. Kelas berat.
ANWAR: Nggak menarik untuk ditolong!
BRAM: Salah masuk! Setan pikun.
ANDI: Mestinya setannya yang takut..
BRAM: Syetan nekat...
DITA: Ngawur kamu.
ANDI: Banar apa yang kuduga, pasti jin sebelah wc ngambeg.
BRAM: Penunggu itu tersinggung.
ANWAR: Jangan bawa-baewa jin..
DITA: Jaga mulutmu?!
ANDI: Pake satpam...mahal men!

ANAK-ANAK YANG BERGEROMBOL BERLARIAN.

ANWAR: Coba kamu jampi-jampi..
ANDI: Wirid, kamu kan bisa..
BRAM: Huss, Nanti dulu nunggu cewek cantik kesurupan!
ALIM: Kalau begitu saya saja yang membaca...lumayan.

SEBAGIAN BERGIDIK SEBAGIAN TETAP BERTAHAN. MAKIN KALUT.

BRAM: Saya pikir main-main..
BING: Ngaco kamu
DINA: Saya juga nggak menduga!
DILA: Ruh itu muncul lagi, merasuki lagi..
BELLA: Kenapa jadi begini.
BRAM: Nggak ngerti! Saya nggak paham setan? Bukan dunia saya.

RUANG KELAS; TEMPAT ADIS KESURUPAN SAAT JAM PELAJARAN BERLANGSUNG

SEBAGIAN MENDEKATI YANG KESURUPAN, MAKIN MERANGSEK MAJU. HINGA YANG KESURUPAN TAK KELIHATAN. HANYA GEROMBOLAN ORANG-ORANG.

SESEORANG: Minggir, minggir! Dukun datang!

DUKUN DATANG, MEMECAH KERUMUNAN.

DUKUN: Siapa kamu yang menghuni tubuh Adish?

TIDAK ADA JAWABAN, YANG KESURUPAN MEMATUNG, KAKU, MATA MELOTOT.

DUKUN: Siapa kamu?

TIDAK ADA JAWABAN, YANG KESURUPAN MANJA.

DUKUN: Siapa?

TIDAK ADA JAWABAN, YANG KESURUPAN MENANTANG.

MIMIK ADISH BERUBAH MENJADI MIMIK KEKANAK-KANAKAN.

DUKUN: Jangan manja kamu!
ADISH: Saya...sa...ya...dibuang oleh bapak ibu saya..
DUKUN: Nama?
ADISH: Bbeelll...ummm diberi nama...
DUKUN: Rumah?
ADISH: Tuna wisma
DUKUN: Asal?

TUBUH ADISH BERGETAR, MIMIK ADISH BERUBAH KEKANA0-KANANKAN DENGAN SUARA KEKANAK-KANAKAN. MEMULAI

ADISH: Dipinggir kali...dekat muara laut...Saya dibuang tidak dikasih makan, minum, hanya makan lumut dan minum air laut. Saya bermain dengan kawan-kawan sesama anak-anank. Dan teman saya banyak sekali..

DUKUN: Pergi kau dari sini!
ADISH: Perrgggiii... kemana!

YANG KESURUPAN MENANGIS SEJADI-JADINYA.

ADISH: Saya diusir!? Ya manusia sungguh kejam..
DUKUN: Kembali kesalmu!

YANG KESURUPAN TERKEKEH, TERTAWA TERBEHAK-BAHAK.

ADISH: Wah gelandangan lagi?!

TUBUH ADISH TIBA-TIBA LEMAS SETELAH DISIRAM AIR PUTIH OLEH DUKUN, ADISH TANPA TENAGA SETELAH DITINGGALKAN RUH YANG MERASUKI, ADISH MENJERIT SEJADI-JADINYA LANTAS AMBRUK, PARA PENOLONG MERANGSEKMEMBOPONG DAN MENGDIANGKAT BERSAMA-SAMA. YANG LAIN HANYA MENONTON AMBIL JARAK.

PENOLONG 1: Awas dia ambruk
PENOLONG 2: Tak sadarkan diri
PENOLONG 3: Lho kok lemas..
PENOLONG 4: Rohnya sudah pergi...
PENOLONG 2: Mendekat sini
PENOLONG 5: Tahan..
PENOLONG 1: Sudah angkat jangan banyak mulut..
PENOLONG 6: Ayo kepalanya
PENOLONG 2: Kakinya
PENOLONG 5: Berat banget..
PENOLONG 6: Brengsek kamu masih sempat-sempatnya...
PENOLONG 1: Angkat sana
PENOLONG 4: Keburu nggak tertolong
PENOLONG 3: Kok bisa lemas
PENOLONG 4: Karena ruhnya sudah pergi
PENOLONG 7: Kemana
PENOLONG 2: Kedepan..
PENOLONG 4: tu dia
PENOLONG 3: Kesana
PENOLONG 5: Sudah selamatkan dulu..
PENOLONG 7: Jangan panik
PENOLONG 1: Kemana
PENOLONG 3: Prokoknya diangkat..

ADISH EXIT, DITOLONG OLEH TEMAN-TEMANNYA

ANDI: Lihat...kesurupan lihat...masiuk lewat sini... lewat tangan...ke dada...ke telinga...mata sata..mata..mata..
BING: Melotot.
DITA: Jangan main-main..
ANDI: Lho sekarang ke perut...aduh..mules...
BELLA: Apa iya..kemasukan,,..
DINA: Benar, gak bohong..
DILA: Suaranya kok masih asli...suramau?
ANWAR: Bukan suara jin...
ANDI: Mau suara jin...gampang..yang nenek-nenek...kakek-kakek..anak-anak atau jin arab, bule..gampang..
BRAM: Lihat jin cedal...
ANDI: Yyyeeeyyyeoouu ppelllut...
DINA: Perut...teruss,...
ANWAR: Kenapa?
ANDI: Ah perutku..mulesss....ke perut...wah..
BELLA: Kenapa..
ANDI: Keluar lagi lewat belakang..
BERSAMA-SAMA: Jamput..ngentut..

KEADAAN REDAH SEMENTARA, TAK LAMA KEMUDIAN SEORANG SISWA YANG LAIN KERASUKAN. SEBAGIAN MULA-MULA TAK PERCAYA.

DITA: Wah ini nggak main-main.
BRAM: Beneran ini.
DILA: Ayo pergi!
DINA: Saya takut kerasukan!
BELLA:Sungguh!
DITA: Ruh bisa masuk siapa saja.
BELLA: Pergi saja! Sembunyi!
DITA: Meskipun sembunyi?!
BRAM: Pergi kemanapun hati nggak bisa ditipu. Kalau takut, ya, takut!
BELLA: Saya disini saja, aman! Katanya ada wilayahnya!
BRAM: Nggak ada wilayah-wilayahan..kayak kelurahan saja!
DILA: Gawat! Ampun Tuhan kesalahan apalagi ini..

YANG LAIN MENYUSUL INTRANCE, MULA-MULA SEORANG.

SEORANG MENOLONG YANG LAIN, MALAH JADI KESURUPAN.

MAKIN DITOLONG MAKIN TERKAIT DAN HAMPIR SEMUANYA INTRANCE, KESURUPAN. KESURUPAN MEWABAH.

LALU YANG LAIN, MAKIN BANYAK DAN BERTAMBAHA BANYAK.

MUNCUL TERIAKAN-TERIAKAN TERKUCIL, TERTEKAN, TERHIMPIT DAN MIMPI-MIMPI.

BELLA: Berubah seperti dunia lain.
DITA: Seperti mimpi..
DINA: Ruh siapa lagi..

SUARA-SUARA MEREKA TINGGAL GUMAM, DAN GERAK BIBIR TANPA SUARA DENGAN TATAPAN MATA KOSONG.

DITA: Gila mereka seperti kehilangn dirinya. Kehilangan kepribadiannya.. sungguh menyedihkan.

MUNCUL SEORANG GAMBUH, DENGAN CAMBUK MENGENDALIKAN YANG KERASUKAN, KESURUPAN.

GAMBUH MENYENTAK-NYENTAKKAN CAMBUK.

MUNCUL GERAKAN-GERAKAN BINATANG PURBA DUNIA BAGAI FABEL, MENJERIT-JERIT MERAUNG BAGAI BINATANG. MENARI SEBUAS DIDALAM HUTAN.

GAMBUH MENYENTAK-NYENTAKKAN PECUT, YANG KESURUPAN AMBRUK DAN LEMAS SAMPAI PADA PUNCAK.

MEREKA YANG KESURUPAN LENYAP DIHALAU CAMBUK OLEH DUKUN.

PAUSE. SEPI. SENYAP.

LENYAP PADA ADEGAN SEMULA. DENGAN SERAGAM ABU-ABU.
KEGAGALAN RINTIHAN DAN OMELAN MUNCUL. MASING-MASING YANG KERASUKAN NGOMYANG, NGOMEL-NGOMEL MENGGERUTU.

HANYA SUARA GAMBUH MENYENTAK-NYENTAKKAN CAMBUK.

ARIL DISERET GEROMBOLAN

BRAM: Apa yang kamu pikirkan?
BING: Hantu apa!?

AMALIA TAMPAK PUCAT

EDY: Mimpi indah apa!? Pikiran kosong apa!?

AMALIA MAKIN PUCAT

BING: Dream?! Khayal?! Love..cinta?!

ARIEL MENUNDUK AMALIA PURA-PURA PINGSAN, REZA TEGANG KERINGANT DINGIN, PUCAT.

BING: Mau pingsan!? Mau kesurupan..terserah!
EDY: Cium saja setannya!
BRAM: Setan mesra!
BING: Cium dkit, dong! Cup, cayang, gitu loh! Dipeluk dipojok!
BRAM: Curi kesempatan!
EDY: Setan dituduh-tuduh. Difitnah!
BRAM: Gila kamu mengambil kesempatan dalam kegentingan.
EDY: Sok kamu!
BING: Brengsek
EDY: Pertolongan macam apa!?
BRAM: Dukun cabul!
BING: Menjaga mental. Kesurupan cinta.
EDY: Nafsu.

ARIL DAN AMALIA HAMPIR DIHAJAR, WAJAH EDY KECUT. BURU-BURU DATANG SEORANG GURU, MELERAI.

GURU 1: Stop! Jangan teruskan! Jangan main hakim sendiri!

GURU 2: Kalian tidak usah berpikir macam-macam. Terima apa yang kalian miliki, jangan ukur dirimu dengan orang lain. Kalau memang dirimu tidak cantik, ya itu yang kau miliki. Demikian kalian yang tampan, cantik. Apa yang kau miliki itu yanng adalah potensi yang kalian mesti diterima.

GURU 1: Ini genting!

GURU 2: Buang jauh-jauh mimpi burukmu, yeni adalah yeni jangan mimpi jadi maia, mulan. Budi adalah budi jangan mimpi jadi dhani, afghan. Jangan sampai kehilangan diri. Jangan! Jangan terhasut mimpi, dunia seolah mudah kau raih, itu ilusi, fatamorgana, meraih segala sesuatu butuh kerja, perjuangan, bukan hanya melamun, berpangku tangan tanpa usaha. Bohong kalau sukses akan mudah diraih, itu penipuan! Mimpi dihari ini sepertinya semua datang dengan sendirinya. Do’a saja apa artinya tanpa kerja, tanpa belajar! Kembali pada rumah keluaragamu, lingkunganmu, yang selama ini kamu miliki. Jangan lupakan mereka, ini adalah nyata. Tak perlu bikin kesengsaraan baru, dunia baru yang tak perna kamu kenali. Itu adalah kesesatan yang nyata.
Jaga dirimu, jangan menipu diri, katakan apa yang kamu punya, punya sepeda, motor jangan merasa punya dengan moge, sedan mewah.
Cuma kejujuran, jangan muniafik. Tugasmu hanya belajar.

GURU 1: Bukan saatnya untuk bicara pada anak-anak persoalan ini! Malah pidato cari muka! Mengklankan diri! Cari simpati.

GURU 3: Kotor macam apa?!

GURU 1: Pikiran kotor! Perilaku yang tidak edukatip! Tidak mendidik! Jangan salahkan kalau mereka tidak punya panutan yang pantas dipercaya. Saling tak percaya.
Kehilangan kepercayaan! Krisis! Mereka tidak terkendali Kehilangan kepercayaan diri.
Sebagai guru kita mau bilang apa!?

GURU 2: Tutup mulutmu

GURU 3: Mereka tertekan.

GURU 1: Karena pikiran kosong, Open-open
Terbuka agar tak muda kerasukan
Lepaskan beban hidup
Hadapi jangan deng hadapai hilangkan ketegangan
Makanya mesti terbebaskan bukan tanpa beban.

GURU 3: Kalian bukan hanya tanpa beban tanpa tanggung jawab susukamu..
Saya pikir persolannya bukan sekedar tekanan

GURU 2: Kompleks banyak hal..Kedewasaan berpikir..
Kebebasan

GURU 3: Kebebasan bisa tapi kebebasan macam apa! Nuntut kebebasan sesukamu. Itu kesalahan, fatal! Kalian anak sekolahhan.

SISWA 1: Kenapa juga tak ada guru yang kesurupan.
SISWA 2: Ada tapi malau..

GURU 1: Saya bilang kedewasaan dan tanggung jawab. Tahu kebutuhan..punya pijakan..mimpi boleh saja...kehendak-kehendak boleh saja kemauan boleh saja..ingat kemampuan...potensi diri. Biar tidak kehilangan akal.

SISWA1: Atau belakangan karena tempat para jin tergusur dan terganggu...Ah...

GURU 2: Jangan dihubung-hubungkan pembicaraan tentang mistik, dhanyang, dugaan macam-macam dengan asumsi negatif. Biar anak-anak merasa aman di sekolah. Tanggung jawab bersama, sekolah dan masyrakat. Sebagai guru saaya merasa terbebani. Bebaskan diri dari tekanan mental.

SISWA 3: Pikiran harus yetrebuka open..
SISWA 4: Kenapa hanya murid yang kerasukan
SISWA 5: Atau sistem sekolah yang berat

GURU 2: Banyak sebab, sekolah..masayarakat..sosial..keluarga..kesiapan mentaklmu...

SISWA 6: Atau karena ruang ekspresi yang dibatasi
SISWA 7: Ya aktualisasi diri..

GURU 1: Kompleks. Semua benar! Ya mistik! Ya Rasional, mental semua-asemua. Mimpi angan-angan jadi satu.

.
GURU 3: Manja Begitu dapat tekanan Terlalu dikasih hati.Lost Kereterbukaan Kedewasaan Pengertian Terlalu dikasih hati Kolokan Berat sebagai guru..tak ada kekuasaan..dibawah tekanan berbagai pihak Instan Pengin yang gampang. Semua serba enak

GURU 2: Sedikit ada pujian, murid jangan hanya ditekan.Karena enteng, gampang dan empuk meraih cita-cita.Begitu dihadapkan pada kenyataan...srtreesss mereka ini...Tertutup, defensif!

GURU 1: Kalau begini malah ketahuan boroknya
GURU 2: Tidak apa-apap yang penting terbuka.
GURU 3: Kenapa mesti semua dibicarakan dengan murid. Ini mesti dibicarakan antar guru.
GURU 1: Itu bukan open! Bocor!

GURU 1 DIHAJAR HABIS-HABISAN OLEH GURU 2. KEDUANYA BERANTEM.
GRUR 3 MEMISAHKANNYA, SEPERTI WASIT TINJU.
MURIF-MURID TERPANA BERSAMA. MEREKA TERUS BERTANYA DAN BERGANTIAN BERTANYA DENGAN KALIMAT DAN KATA-KATA.

BERSAMA: Kesurupan?!
SISWA 1: Siapa ?
SISWA 2: Yang mana ?
SISWA 3: Kita!?
SISWA 3:Atau siapa!?
SISWA 4: Siapa ?
SISWA 5: Yang mana ?
SISWA 6: Kita!?
SISWA 7:Atau siapa!?
SISWA 5: Siapa ?
SISWA 3: Yang mana ?
SISWA 2: Kita!?
SISWA 4:Atau siapa!?
SISWA 6: Siapa ?
SISWA 3: Yang benar!?mana ?
SISWA 1: Kita!?
SISWA 7:Atau siapa!?
SISWA 5: Siapa ?
SISWA 2: Kamu ?
SISWA 4: Kita!?
SISWA 3:Atau siapa!?
SISWA 6: Siapa ?
SISWA 7: Yang mana ?
SISWA 1: Saya!?
SISWA 4:Atau siapa!?
SISWA 5: Siapa ?
SISWA 2: Nggak percaya!?
SISWA 4: Kita!?
SISWA 5:Atau siapa!?
SISWA 3: Ya?!
SISWA 4: Yang mana ?
SISWA 5: Kita!?
SISWA 7:Kapan?
DST...

WIS, YO!?

No comments: