Cerpen Muftirom Fauzi Aruan* (Republika,
30 Maret 2014)
BARU saja Guru Zulkifli pulang dari mengajar di sekolah
tempat ia mengabdi. Sekarang, ia sedang berbaring di atas ranjangnya dan masih
mengenakan seragam yang sama. Ia menatap langit-langit kamar. Pikirannya
melayang pada sesuatu yang begitu ingin digapainya pada pertengahan tahun ini.
Adalah seorang perempuan, kekasih
dari Guru Zulkifli, yang selalu meminta agar ia segera menikahinya. Tapi,
betapa berat bagi Guru Zulkifli untuk mendapatkan biaya pernikahan yang telah
ia kumpulkan tiga tahun belakangan ini. Begitu juga, uang tabungan dari hasil
mengajar sebagai guru honorer, tetap tak cukup untuk ongkos
perkawinannya.
Demikianlah Guru Zulkifli.
Pikirannya begitu berat memikirkan gaji sebagai guru honorer. Membeli bahan
bakar sepeda motornya pun tiap harinya bila diperhitungkan per bulannya hampir
tak memadai. Belum lagi, uang cicilan kredit sepeda motor tiap bulannya. Uang
yang mana lagi yang mau disisihkannya untuk menabung? Maka, ia harus lebih
hemat dan mempertimbakan segala sesuatunya untuk mengeluarkan uang dari dalam
dompetnya.
“Tak sampai sejuta, Pak. Namun, dari
pada dua tahun lalu, lumayanlah yang sekarang ini.” begitulah jawaban Guru
Zulkifli tempo hari ketika calon mertuanya bertanya tentang gajinya sebagai
guru honorer.
“Tak apa Zul! Butuh proses itu.
Tapi, kau usahakanlah pertengahan tahun ini kau nikahi Azizah. Maklumlah, kalau
perempuan memang selalu tak sabar.”
“Insya Allah, Pak. Saya pun sudah
menabung.”
Dua keluarga dari pihak Guru
Zulkifli dan Azizah telah setuju atas hubungan mereka. Begitupun, keluarga Guru
Zulkifli selalu mendesak.
“Sudah cocok kalian itu. Manis si
Azizah itu, tampaknya salehah pula dia, suka Ayah menengoknya! Janganlah
lama-lama Zul! Nanti diserobot orang pula dia!” begitu pesan ayah Guru
Zulkifli ketika Azizah diperkenalkan pada ayah dan ibunya di rumah mereka.
Namun, semua orang hanya tahu di
luarnya saja, sedangkan tekanan batin dan pikiran Guru Zulkifli orang-orang tak
mau peduli. Hanya sesama guru honorerlah yang mengerti perasaan satu sama lain.
“Memang begitu Zul kalau jadi Guru
honorer! Abang pun setelah ada sertifikasi ini baru bisa bernapas. Kalau
enggak, makan telur dan mi instan saja kami tiap hari. Bisa-bisa, bisul
pun bertumbuhan di mana-mana! Begitupun kau, harus sabar dulu. Ada saja jalan
rezeki itu, Zul.”
***
Beberapa tahun lalu, Guru Zulkifli
mengikuti ujian calon pegawai negeri sipil (PNS). Tetapi, nihil hasilnya.
Bukan ia kalah dalam mengerjakan tes ujian, melainkan sesuatu yang mengucur ke
saku oknum-oknum bejat yang tak mementingkan orang-orang pintar yang layak
menjadi PNS menyebabkan Guru Zulkifli harus tersingkir dari persaingan yang tak
lagi sehat. Begitulah bila tak memiliki uang di negeri kita ini! Keluh
Guru Zulkifli pada sesama teman yang gagal lulus menjadi PNS.
Tak hanya menjadi guru honorer, Guru
Zulkifli pun pernah membuka usaha kecil-kecilan menjual pulsa “berjalan”. Tapi,
menjadi tak lancar ketika orang-orang lebih banyak memilih utang. Dan, akhirnya
pun Guru Zulkifli memilih tak lagi berjualan.
“Tunggu gajian ya Pak Guru, baru
saya bayar.”
“Ya sudah tak apa-apa.” Begitu
jawab Guru Zulkifli ketika masih mencari pelanggan.
Sempat pula Guru Zulkifli mengikuti
program multi-level marketing (MLM). Tapi, itu tak berapa lama.
“Semakin tak jelas pula programnya!
Masa, disuruhnya aku beli produk- produk mereka. Ah, meskipun diiming-imingi
melancong ke luar negeri, sudah cukup sampai di sini sajalah usaha marketing-marketing
ini!” keluh Guru Zulkifli pada Azizah, tempo hari.
“Kalau begitu menurut Abang. Tak
usahlah lagi dilanjutkan, Bang!”
Banyak usaha Guru Zulkifli untuk
mendapatkan uang tambahan supaya ditabung sebagai modal segala keperluan
pernikahannya dengan Azizah. Tapi, Guru Zulkifli belum pernah berhasil
mendapatkan dari usaha lain, selain menjadi guru honorer.
***
Guru Zulkifli bangkit dari
rebahannya, ia berjalan keluar kamar menuju meja makan. Ia mendapati di meja
makan itu tempe goreng dan mi instan yang dimasak tadi pagi untuk sarapan.
Memang, hampir tiap hari ibunya memasak seperti itu.
Apa saja yang dimasak untuk sarapan,
itu pula lauk ketika makan siang. Pun, jarang sekali mereka memasak ikan,
apalagi daging. Tapi, betapa Guru Zulkifli tahu, mendapatkan uang begitu susah.
Apa pun lauk yang tersaji, itulah yang harus dinikmati dan disyukuri.
Tiba-tiba, ibu dari Guru Zulkifli
menghampirinya di meja makan.
“Zul, uang listrik dan air sudah dua
bulan tertunggak. Keperluan dapur pun mulai habis. Ayahmu itu minta dibelikan
rokok.” lapor ibu pada Guru Zulkifli.
Memang, semenjak ayahnya pensiun
dari pekerjaannya dan gaji pensiunannya pun tak seberapa, Guru Zulkifli-lah
yang menanggung biaya kebutuhan keluarganya.
“Iya Mak, nanti Zul bayar. Tapi,
mengapa pula ayah minta belikan rokok?”
“Entah! Makin tua ayahmu itu makin
deras dia merokok. Macam asap knalpot lah!Dilarang tak bisa!”
“Iya, nanti Zul belikan juga rokok
ayah.”
Sebenarnya, Guru Zulkifli, pekan
ini, tak memiliki cukup uang membayar uang listrik dan air, pun dengan rokok
ayahnya. Pada pekan depan, tepat awal bulan, baru Guru Zulkifli gajian. Tapi,
untuk rokok bisa saja Guru Zulkifli utang terlebih dulu di kedai tetangga.
Untuk uang listrik dan air, awal bulan depan jugalah dibayarnya.
“Jangan lupa Zul!” pesan ibunya.
“Iya!”
***
Malam ini, Guru Zulkifli berkujung
ke rumah Azizah. Mereka bercakap-cakap di beranda rumah. Di atas langit sana
bulan purnama menaungi malam.
Ada hal serius yang ingin
dibicarakan Guru Zulkifli pada Azizah. Maka, percakapan malam ini menjadi
tegang. Tampak jelas di raut wajah Guru Zulkifli dan Azizah.
“Memang tak bisa diundur lagi Dik
Zizah?! Tahun depan sajalah!” Kata Guru Zulkifli.
“Bang! Dari tahun ke tahun, Abang
selalu bilang begitu. Selalu diundur! Selalu diundur! Lama-lama Zizah bisa jadi
perawan tua, Bang!” kata Azizah sedikit marah.
“Bukanlah begitu maksud hati abang,
Dik! Tapi, Dik Zizah tahu sendirilah, selama menabung ini, belum cukup uang
abang, Dik! Mungkin tahun depan sudah cukuplah!”
“Untuk tahun depan, abang pun belum
yakin! Masih abang bilang, mungkin! Misalnya, tahun ini tak jadi, di tahun
depannya pun abang bilang, belum cukup tabungan abang Dik Zizah, di tahun depan
sajalah! Berilah kepastian sama adik, Bang! Tak mudah menahan rasa
menunggu dan terus menunggu, Bang!” kata Azizah ketus.
Guru Zulkifli hanya bisa diam. Ia
benar- benar dilema. Ia tahu perasaan Azizah dan ia juga tahu dengan kondisi
keuangannya sendiri.
“Iyalah Dik Zizah! Di pertengahan
tahun ini pun kita nikah. Bagaimana pun abang usahakan. Abang sayang sama Dik
Zizah!”
***
Tepat di pertengahan tahun. Acara
resepsi pernikahan.
“Cantik sekali Azizah hari ini!”
“Iya. Memang selalu cantik dia.
Serasi pula dengan laki-lakinya! Ganteng!”
“Serasi pun dengan pelaminnya!”
“Iya. Komplitlah sudah!”
Mendengar percakapan para undangan
itu, Guru Zulkifli hanya tersenyum. Betapa ia menyadari bahwa Azizah memang
cantik. Maka dari itu pula ia mencintai Azizah sampai saat ini. Meskipun,
ia hanya bagian dari tamu undangan.
“Selamat ya Azizah! Beruntung kali
Paribanmu itu!” kata Guru Zulkifli dalam hati. Ia tersenyum ketika menyalami
kedua mempelai di atas pelaminan.
Guru Zulkifli pulang ke rumahnya
dengan hati yang hampa.
*Alumnus
Fakultas Tarbiyah IAIN Suma tra Utara Tahun 2012. Aktif di FLP Sumatra Utara.
No comments:
Post a Comment