Giyato***
Pak Broto tersenyum. Dibayangkannya
mantan muridnya yang sekarang jadi bupati akan menyambutnya dengan hangat.
Prasojo, murid kesayangannya dulu, kini telah menjadi bupati. Terik matahari
menyengat tubuhnya. Angin musim kemarau yang mendesau membawa debu tak
dihiraukannya. Ia terus mengayuh sepeda tuanya sepanjang 45 kilometer. Dengan
satu tujuan, bertemu Prasojo dan minta bantuannya agar memperjuangkan nasibnya
menjadi PNS. Sudah 25 tahun ia menjadi guru wiyata bakti, tak juga diangkat
menjadi PNS. Malah sekarang karena sudah usia 45 tidak bisa menjadi PNS.
Selamanya menjadi guru wiyata bakti.
Menjadi guru adalah cita-cita Pak
Broto sejak kecil. Siang malam dia belajar sungguh-sungguh untuk mewujudkan
impiannya. Usahanya tidak sia-sia. Setamat dari SPG, dia menjadi guru di SD
Kangsi. Di usianya yang masih sangat muda, ia sudah menjadi guru. Tentu dengan
sebutan “Mas Guru”, bukan “Pak Guru”. Sebutan yang sangat prestisius. Tak heran
jika banyak orang yang mengaguminya bahkan berniat menjadikannya sebagai
menantu. Termasuk Lurah Kangsi, ayahnya Nur, yang sekarang jadi mertua Pak
Broto.
Wong jujur, sak tiba malange mujur. Itulah yang diyakini Pak Broto. Memang zaman sekarang sulit
mencari orang jujur. Bagai mencari jarum dalam jerami. Banyak orang pinter tapi
keblinger. Pak Broto memang sangat menjaga kejujuran. Itulah
sebabnya ia masih menyandang status sebagai guru wiyata bakti. Ketika dulu dia
ditawari menjadi PNS dengan syarat membayar sepuluh juta, dia tidak mau.
Alasannya jelas, bertentangan dengan hati nurani, terlebih lagi dilarang oleh
agama. Pernah mertuanya memberi saran agar dirinya bisa menjadi PNS.
”Broto, kalau kamu benar-benar ingin
menjadi PNS, kamu harus punya sertifikat.” ujar Lurah Kangsi sambil leyeh-leyeh
di kursi goyang di pendapa.
”Nggih Pak, saya sudah punya
sertifikat Akta II. Jadi, saya sah dan layak mengajar di SD.” jawab Broto
sambil menikmati teh buatan istrinya.
”Bukan itu Broto. Kalau sertifikat
semacam itu, banyak yang punya. Ini beda.”
”Beda Pak? Maksud Bapak?”
”Broto.. Broto.. jadi orang jangan
terlalu lugu. Jangan terlalu jujur. Sertifikat yang kumaksud sertifikat tanah,
bukan sertifikat yang kamu peroleh di kampus. Asal kamu bawa sertifikat tanah
ke pejabat-pejabat itu, pasti kamu bisa jadi PNS. Kamu pakai saja sertifikat
tanah milikku di sebelah timur desa. Ladang tebu itu.”
”Tapi itu tidak halal Pak. Sama saja
menyuap. Apa Bapak mau anak-anakku, cucu-cucu Bapak, diberi makan makanan yang
tidak halal? Tidak barokah Pak.”
”Benar juga kamu. Zaman sekarang
sulit menemukan orang seperti kamu, Broto. Bapak bangga. Ya sudah, dilakoni apa
adanya saja. Wolo-wolo kuwato. Gusti ora sare.”
***
Pak Broto telah sampai di kantor
kabupaten. Sepeda tuanya ditaruh di bawah pohon mangga dekat parkiran sepeda
motor. Dilepaskannya topi yang sudah butut itu dari kepalanya. Dikipas-kipaskan
sebentar, lalu diletakkan di sadel. Ia meghirup napas dalam-dalam. Wajah tua
penuh keringat itu mengguratkan perjuangan yang terlalu berat. Ia tersenyum.
Meski usia sudah hampir setengah abad, gigi Pak Broto masih terawat. Dia
melihat mobil-mobil yang berjejer satu demi satu.
”Semua mobil mewah ini berplat
merah. Semua model terbaru. Ini dibeli dengan uang rakyat. Uang saya juga.
Sepertinya enak juga jadi pejabat. Ke mana-mana pergi dengan mobil mewah. Asal
ada SPPD, Surat Perintah Perjalanan Dinas, biaya ditanggung negara. Ditanggung
rakyat jelata. Apalagi jadi bupati seperti Prasojo. Ah, mungkin yang hitam itu
mobil Prasojo. Nomor platnya 1.” gumamnya dalam hati.
Dia menduga-duga mobil mantan
muridnya. Kembali ia teringat pada Prasojo. Sejak kecil anak yatim itu memang
berotak encer. Meski Prasojo berasal dari kampung yang sangat miskin,
prestasinya sangat cemerlang. Memang untuk biaya SPP saja ibunya tidak
mampu membayar. Tapi karena cerdas, semua guru simpati padanya. Termasuk Pak
Broto yang waktu itu masih bujang. Diapun bersedia menanggung biaya sekolah
Prasojo. Dengan gaji yang sangat kecil, Pak Broto sebenarnya merasa berat.
Tetapi dia ingin anak didiknya berhasil. Dia pun meyakini kalau menolong orang
lain, suatu saat ia akan ditolong. Sejak itu Prasojo sudah dianggap sebagai
adik sendiri dan Pak Broto pun mendapat panggilan baru. ”Kang Guru” bukan ”Mas
Guru” .
Ketika lulus SD, ibunya
Prasojo meninggal terkena TBC. Untuk bisa melanjutkan belajar ke kota, Pak
Broto yang pontang-panting mengurus beasiswa. Sampai akhirnya bisa sekolah di
kota, kemudian menjadi anak angkat seorang camat. Kabar selanjutnya, Prasojo
mendapat beasiswa ke prancis. Setelah itu Pak Broto tidak tahu kabar Prasojo
lagi. Tahu-tahu ada kabar Prasojo telah menjadi bupati di kabupatennya.
Pak Broto sudah berada di Kantor
Sekretariat Daerah, kantor milik Prasojo. Dibayangkannya nanti Prasojo
akan menyambutnya dengan pelukan dan berkata, ”Kang Guru, pripun kabare?
Bagaimana kabar Ibu, Dik Siti, Dik Rohmah? Wah, Kang Guru masih tetap gagah.
Ayo Kang, silakan duduk dulu!” Dibayangkannya pula Prasojo akan buru-buru
menyuruh ajudannya untuk mengambilkan minuman dan makanan. Dan dia akan
memberikan lukisan ”Senja di Desa” karyanya kepada mantan muridnya itu.
Seorang pemuda yang kira-kira
berusia 25 tersenyum pada Pak Broto. Di dadanya tertera nama ”Raharjo”.
Ajudan Bupati.
”Silakan Pak, ada yang bisa saya
bantu?” tanyanya ramah
”Saya mau bertemu Pak Bupati, Mas?”
”O, Pak Bupati masih ada tamu.
Silakan isi buku tamu dulu Pak. Nama, alamat, dan keperluan.
Setelah itu Bapak bisa menunggu di kursi itu.” tangan ajudan itu menunjuk
deretan kursi yang disediakan di ruang tunggu.
Pak Broto mengisi daftar tamu itu.
Timbul keinginannya untuk iseng. Ia ingin Prasojo langsung ingat dia adalah
gurunya dulu. Ditulisnya nama ”Kang Guru” alamat ”Kangsi, Karangsari” keperluan
”Bertemu Anak Hilang”. Ajudan itu terbengong-bengong melihat tulisan di buku
tamu itu.
Satu jam sudah Pak Broto menunggu.
Tamu-tamu keluar masuk ke ruang bupati. Tamu Pak Bupati semua orang besar.
Kepala-kepala dinas dan pengusaha-pengusaha kaya. Tiga jam berlalu. Dia
bertanya-tanya dalam hati mengapa belum dipanggil juga.
”Pak, giliran Anda.” ajudan itu
mempersilakan Pak Broto.
Pak Broto berdebar-debar. Dia
bayangkan Prasojo yang dulu kucel dan kurus sekarang berjas rapi dan
sudah jadi gemuk. Dia ragu mau mengetuk pintu. Diliriknya kaca besar di
dinding. Dia ingin pastikan dandanannya rapi. Bismillah… dimantapkannya
hatinya. Pintu dia ketuk kemudian dia dorong hingga terbuka.
”Prasojo…! ”
”Pak Broto, senang berjumpa dengan
Anda. Ada yang bisa saya bantu?”
Lelaki tambun yang ada di hadapan
Pak Broto itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia hanya mengulurkan
tangan. Pak Broto menyambut uluran tangan Prasojo. Keduanya berjabat tangan.
Pak Broto yang telah lama menjadi guru menangkap ketidakwajaran dalam senyuman
Prasojo. Harapan Pak Broto untuk mendapat sambutan yang hangat, sia-sia. Dia
tak akan pernah mendengar mulut Prasojo mengucap ”Kang Guru” lagi. Dia pun
tidak akan memanggil Prasojo lagi, sebutan Prasojo sekarang adalah Yang
Terhormat Bapak Bupati.
”Begini Pak Bupati, kedatangan saya
ini mau menyampaikan keluhan. Ini terkait nasib saya Pak, juga guru-guru yang
lain. Bapak kan tahu saya sudah lama menjadi guru. Sudah 25 tahun. Tapi saya
tidak bisa diangkat sebagai PNS gara-gara usia saya sudah 45 tahun. Apa
kebijakan itu tidak bisa diubah Pak?”
”O, masalah itu Pak. Ya, nanti saya
koordinasikan dengan kepala-kepala dinas dan anggota dewan untuk menemukan
solusi terbaik. Dan mohon maaf, saya sebentar lagi ada pertemuan dengan Bapak
Gubernur.”
Pak Broto sadar kedatangannya tak
diharapkan dan mengganggu pekerjaan Prasojo. Buru-buru dia pamit. Ketika di
ruang tunggu, ditatapnya ajudan bupati itu. Pak Broto mengeluarkan lukisan yang
dibungkus koran. Diberikannya pada pemuda itu.
”Untukmu, lukisan ”Senja di Desa”.
Di dalamnya terukir goresan cinta seorang guru pada muridnya. Rasa kasih
yang terpatri di hati dan doa yang tak pernah kering untuk keberhasilan seorang
bocah desa.”
Pak Broto keluar mengambil
sepedanya. Dikayuhnya sepeda tua itu meninggalkan kantor mantan muridnya. Panas
menyengat. Keringat membasahi tubuh dan dahi Pak Broto. Ada sesuatu yang
merembes dari matanya. Mengalir ke pipinya. Terasa hangat. Tiba-tiba dia
tersenyum.
” duh Gusti, Alkhamdulillah,
matur nuwun. Muridku telah menjadi bupati.”
*** Guru Bahasa Indonesia SMP N 2
Jatiyoso. Ketua Umum Komunitas Pembaca Kabupaten Karanganyar
No comments:
Post a Comment