Tuesday, 11 November 2014

Kang Guru




Giyato***
Pak Broto tersenyum. Dibayangkannya mantan muridnya yang sekarang jadi bupati akan menyambutnya dengan hangat. Prasojo, murid kesayangannya dulu, kini telah menjadi bupati. Terik matahari menyengat tubuhnya. Angin musim kemarau yang mendesau membawa debu tak dihiraukannya. Ia terus mengayuh sepeda tuanya sepanjang 45 kilometer. Dengan satu tujuan, bertemu Prasojo dan minta bantuannya agar memperjuangkan nasibnya menjadi PNS. Sudah 25 tahun ia menjadi guru wiyata bakti, tak juga diangkat menjadi PNS. Malah sekarang karena sudah usia 45 tidak bisa menjadi PNS. Selamanya menjadi guru wiyata bakti.
Menjadi guru adalah cita-cita Pak Broto sejak kecil. Siang malam dia belajar sungguh-sungguh untuk mewujudkan impiannya. Usahanya tidak sia-sia. Setamat dari SPG, dia menjadi guru di SD Kangsi. Di usianya yang masih sangat muda, ia sudah menjadi guru. Tentu dengan sebutan “Mas Guru”, bukan “Pak Guru”. Sebutan yang sangat prestisius. Tak heran jika banyak orang yang mengaguminya bahkan berniat menjadikannya sebagai menantu. Termasuk Lurah Kangsi, ayahnya Nur, yang sekarang jadi mertua Pak Broto.
Wong jujur, sak tiba malange mujur. Itulah yang diyakini Pak Broto. Memang zaman sekarang sulit mencari orang jujur. Bagai mencari jarum dalam jerami. Banyak orang pinter tapi keblinger.  Pak Broto memang sangat menjaga kejujuran. Itulah sebabnya ia masih menyandang status sebagai guru wiyata bakti. Ketika dulu dia ditawari menjadi PNS dengan syarat membayar sepuluh juta, dia tidak mau. Alasannya jelas, bertentangan dengan hati nurani, terlebih lagi dilarang oleh agama. Pernah mertuanya memberi saran agar dirinya bisa menjadi PNS.
”Broto, kalau kamu benar-benar ingin menjadi PNS, kamu harus punya sertifikat.” ujar Lurah Kangsi sambil leyeh-leyeh di kursi goyang di pendapa.
”Nggih Pak, saya sudah punya sertifikat Akta II. Jadi, saya sah dan layak mengajar di SD.” jawab Broto sambil menikmati teh buatan istrinya.
”Bukan itu Broto. Kalau sertifikat semacam itu, banyak yang punya. Ini beda.”
”Beda Pak? Maksud Bapak?”
”Broto.. Broto.. jadi orang jangan terlalu lugu. Jangan terlalu jujur. Sertifikat yang kumaksud sertifikat tanah, bukan sertifikat yang kamu peroleh di kampus. Asal kamu bawa sertifikat tanah ke pejabat-pejabat itu, pasti kamu bisa jadi PNS. Kamu pakai saja sertifikat tanah milikku di sebelah timur desa. Ladang tebu itu.”
”Tapi itu tidak halal Pak. Sama saja menyuap. Apa Bapak mau anak-anakku, cucu-cucu Bapak, diberi makan makanan yang tidak halal? Tidak barokah Pak.”
”Benar juga kamu. Zaman sekarang sulit menemukan orang seperti kamu, Broto. Bapak bangga. Ya sudah, dilakoni  apa adanya saja. Wolo-wolo kuwato. Gusti ora sare.”
***
Pak Broto telah sampai di kantor kabupaten. Sepeda tuanya ditaruh di bawah pohon mangga dekat parkiran sepeda motor. Dilepaskannya topi yang sudah butut itu dari kepalanya. Dikipas-kipaskan sebentar, lalu diletakkan di sadel. Ia meghirup napas dalam-dalam. Wajah tua penuh keringat itu mengguratkan perjuangan yang terlalu berat. Ia tersenyum. Meski usia sudah hampir setengah abad, gigi Pak Broto masih terawat. Dia melihat mobil-mobil yang berjejer satu demi satu.
”Semua mobil mewah ini berplat merah. Semua model terbaru. Ini dibeli dengan uang rakyat. Uang saya juga. Sepertinya enak juga jadi pejabat. Ke mana-mana pergi dengan mobil mewah. Asal ada SPPD, Surat Perintah Perjalanan Dinas, biaya ditanggung negara. Ditanggung rakyat jelata. Apalagi jadi bupati seperti Prasojo. Ah, mungkin yang hitam itu mobil Prasojo. Nomor platnya 1.” gumamnya dalam hati.
Dia menduga-duga mobil mantan muridnya. Kembali ia teringat pada Prasojo. Sejak kecil anak yatim itu memang berotak encer. Meski Prasojo berasal dari kampung yang sangat miskin, prestasinya sangat cemerlang. Memang untuk biaya SPP saja ibunya  tidak mampu membayar. Tapi karena cerdas, semua guru simpati padanya. Termasuk Pak Broto yang waktu itu masih bujang. Diapun bersedia menanggung biaya sekolah Prasojo. Dengan gaji yang sangat kecil, Pak Broto sebenarnya merasa berat. Tetapi dia ingin anak didiknya berhasil. Dia pun meyakini kalau menolong orang lain, suatu saat ia akan ditolong. Sejak itu Prasojo sudah dianggap sebagai adik sendiri dan Pak Broto pun mendapat panggilan baru. ”Kang Guru” bukan ”Mas Guru” .
Ketika lulus SD, ibunya  Prasojo meninggal terkena TBC. Untuk bisa melanjutkan belajar ke kota, Pak Broto yang pontang-panting mengurus beasiswa. Sampai akhirnya bisa sekolah di kota, kemudian menjadi anak angkat seorang camat. Kabar selanjutnya, Prasojo mendapat beasiswa ke prancis. Setelah itu Pak Broto tidak tahu kabar Prasojo lagi. Tahu-tahu ada kabar Prasojo telah menjadi bupati di kabupatennya.
Pak Broto sudah berada di Kantor Sekretariat Daerah, kantor milik Prasojo.  Dibayangkannya nanti Prasojo akan menyambutnya dengan pelukan dan berkata, ”Kang Guru, pripun kabare? Bagaimana kabar Ibu, Dik Siti, Dik Rohmah? Wah, Kang Guru masih tetap gagah. Ayo Kang, silakan duduk dulu!” Dibayangkannya pula Prasojo akan buru-buru menyuruh ajudannya untuk mengambilkan minuman dan makanan. Dan dia akan memberikan lukisan ”Senja di Desa” karyanya kepada mantan muridnya itu.
Seorang pemuda yang kira-kira berusia  25 tersenyum pada Pak Broto. Di dadanya tertera nama ”Raharjo”. Ajudan Bupati.
”Silakan Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah
”Saya mau bertemu Pak Bupati, Mas?”
”O, Pak Bupati masih ada tamu. Silakan isi buku tamu dulu Pak.  Nama, alamat, dan keperluan.  Setelah itu Bapak bisa menunggu di kursi itu.” tangan ajudan itu menunjuk deretan kursi yang disediakan di ruang tunggu.
Pak Broto mengisi daftar tamu itu. Timbul keinginannya untuk iseng. Ia ingin Prasojo langsung ingat dia adalah gurunya dulu. Ditulisnya nama ”Kang Guru” alamat ”Kangsi, Karangsari” keperluan ”Bertemu Anak Hilang”. Ajudan itu terbengong-bengong melihat tulisan di buku tamu itu.
Satu jam sudah Pak Broto menunggu. Tamu-tamu keluar masuk ke ruang bupati. Tamu Pak Bupati semua orang besar. Kepala-kepala dinas dan pengusaha-pengusaha kaya. Tiga jam berlalu. Dia bertanya-tanya dalam hati mengapa belum dipanggil juga.
”Pak, giliran Anda.” ajudan itu mempersilakan Pak Broto.
Pak Broto berdebar-debar. Dia bayangkan Prasojo yang dulu kucel dan kurus  sekarang berjas rapi dan sudah jadi gemuk. Dia ragu mau mengetuk pintu. Diliriknya kaca besar di dinding. Dia ingin pastikan dandanannya rapi. Bismillah… dimantapkannya hatinya. Pintu dia ketuk kemudian dia dorong hingga terbuka.
”Prasojo…! ”
”Pak Broto, senang berjumpa dengan Anda. Ada yang bisa saya bantu?”
Lelaki tambun yang ada di hadapan Pak Broto itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia hanya mengulurkan tangan. Pak Broto menyambut uluran tangan Prasojo. Keduanya berjabat tangan. Pak Broto yang telah lama menjadi guru menangkap ketidakwajaran dalam senyuman Prasojo. Harapan Pak Broto untuk mendapat sambutan yang hangat, sia-sia. Dia tak akan pernah mendengar mulut Prasojo mengucap ”Kang Guru” lagi. Dia pun tidak akan memanggil Prasojo lagi, sebutan Prasojo sekarang adalah Yang Terhormat Bapak Bupati.
”Begini Pak Bupati, kedatangan saya ini mau menyampaikan keluhan. Ini terkait nasib saya Pak, juga guru-guru yang lain. Bapak kan tahu saya sudah lama menjadi guru. Sudah 25 tahun. Tapi saya tidak bisa diangkat sebagai PNS gara-gara usia saya sudah 45 tahun. Apa kebijakan itu tidak bisa diubah Pak?”
”O, masalah itu Pak. Ya, nanti saya koordinasikan dengan kepala-kepala dinas dan anggota dewan untuk menemukan solusi terbaik. Dan mohon maaf, saya sebentar lagi ada pertemuan dengan Bapak Gubernur.”
Pak Broto sadar kedatangannya tak diharapkan dan mengganggu pekerjaan Prasojo. Buru-buru dia pamit. Ketika di ruang tunggu, ditatapnya ajudan bupati itu. Pak Broto mengeluarkan lukisan yang dibungkus koran. Diberikannya pada pemuda itu.
”Untukmu, lukisan ”Senja di Desa”. Di dalamnya  terukir goresan cinta seorang guru pada muridnya. Rasa kasih yang terpatri di hati dan doa yang tak pernah kering untuk keberhasilan seorang bocah desa.”
Pak Broto keluar mengambil sepedanya. Dikayuhnya sepeda tua itu meninggalkan kantor mantan muridnya. Panas menyengat. Keringat membasahi tubuh dan dahi Pak Broto. Ada sesuatu yang merembes dari matanya. Mengalir ke pipinya. Terasa hangat. Tiba-tiba dia tersenyum.
” duh Gusti, Alkhamdulillah, matur nuwun. Muridku telah menjadi bupati.”

*** Guru Bahasa Indonesia SMP N 2 Jatiyoso. Ketua Umum Komunitas Pembaca Kabupaten Karanganyar

No comments: