Tuesday, 11 November 2014

HADIAH BUAT PAK GURU

Cerpen : HADIAH BUAT PAK GURU

            “Ssst… Pak Darto,” bisik Silvi.
            Keempat temannya langsung merendahkan tubuhnya, berlindung di balik semak-semak. Di kejauhan tampak Pak Darto sedang berjalan agak cepat menuju WC Guru. Silvi cs mengintai dengan senyum menyeringai.
      Byur! Klontang! Suara guyuran air dan ember jatuh terdengar dari tempat anak-anak bandel itu mengintai begitu Pak Darto masuk WC. Silvi cs cekikikan. Bahkan Faisal sampai memegangi perutnya dan Fina berurai air mata karena merasa geli sekali. Bagi mereka, ‘kecelakaan’ yang menimpa Pak Darto merupakan hal yang sangat lucu. Mereka memang yang memasang jebakan itu. WC Guru yang tidak pernah dikunci memudahkan rencana mereka. Mereka meletakkan seember air penuh di atas daun pintu WC Guru yang dibuka sedikit, sehingga siapa saja yang membuka pintu itu secara otomatis ember yang berada di atas pintu akan terjatuh. Dan hasilnya bisa dibayangkan.
            Beberapa saat kemudian tampak Pak Darto keluar dari WC. Guru yang sudah mulai tampak tua itu basah kuyup, mulai dari kepala sampai pakaiannya. Sungguh menggenaskan. Tapi bagi Silvi cs hal itu sangat menggembirakan. Mereka tertawa puas melihat hasil kerjanya sesuai dengan yang mereka rencanakan.
            Silvi, Faisal, Fina, Egy, dan Anjar adalah anak-anak yang sering membuat onar. Meskipun mereka sudah kelas 3, namun mereka tetap tidak mau mengubah kebiasaan buruk mereka. Mereka tidak hanya ngerjain sesama teman di luar kelompok mereka, tetapi juga terhadap guru. Mereka sudah menjadi langganan menghadap Guru BP. Namun sepertinya tak ada seorang pun yang bisa menasihati mereka. Bagi mereka, tiada hari tanpa membuat ulah.
***
            Semua merasa terkejut dan heran ketika Pak Darto memasuki kelas dengan pakaian basah. Tapi Silvi cs hanya saling memandang dan mesam-mesem.
            “Assalamu'alaikum warahmatulaahi wabarakatuh!” sapa Pak Darto setelah meletakkan buku-bukunya di atas meja.
            Para siswa menjawab serempak, meskipun ada yang suaranya dibuat-buat.
            “Anak-anak, Bapak minta maaf karena terpaksa mengajar dengan pakaian basah,” ucap Pak Darto.
            “Kenapa, Pak?” beberapa anak bersuara serempak.
            “Kebetulan tadi ada yang iseng-iseng sama Bapak,” jawab Pak Darto sambil tersenyum. “Bapak tidak apa-apa. Bapak hanya bisa mendoakan semoga mereka diberi hidayah oleh Allah sehingga mereka akan menyadari kesalahannya. Dan keadaan Bapak yang seperti ini semoga tidak memengaruhi semangat kalian untuk tetap belajar dengan baik.”
            Selanjutnya pelajaran berjalan seperti biasa. Silvi cs saling melirik dan tersenyum simpul. Tapi dalam hati mereka mengagumi kesabaran guru agama itu.
***
            Silvi cs berjalan ke tempat parkir, bermaksud mengambil sepeda motor mereka. Kebetulan Pak Darto baru saja keluar dari tempat parkir menuntun sepeda ontelnya. Rupanya ban belakang sepedanya kempes. Barangkali karena sengaja dikempeskan oleh siswa sebab hal seperti itu sudah sering terjadi.
            “Lihat tuh hasil kerja kamu,” bisik Silvi pada Faisal sambil tersenyum.
            Faisal, Fina, Egy, dan Anjar hanya tertawa kecil melihat keadaan Pak Darto. Dan tanpa disadari oleh Pak Darto, ada sesuatu yang jatuh melayang dari saku belakang celananya ketika beliau mengambil kunci sepeda..
            “Eh, ada yang jatuh,” kata Anjar lirih.
            “Biar aku yang ambil,” ucap Faisal. Lalu dengan langkah yang dibuat sewajar mungkin ia mendekati benda milik Pak Darto yang terjatuh, sementara Pak Darto tetap berjalan menuntun sepedanya pelan-pelan. Dan dengan cepat Faisal memungut benda itu yang langsung dimasukkannya ke dalam saku celananya. Kemudian dengan terburu-buru ia bergerak mendekati teman-temannya sambil tersenyum.
            “Apa, Sal?” tanya Anjar penasaran.
            “Cuma kertas. Tapi belum kubuka,” sahut Faisal sambil mengeluarkan benda yang tadi diambilnya.
            “Cepat buka, Sal!” kata Fina tidak sabar.
            Faisal membuka kertas yang terlipat itu dengan hati-hati. Keempat temannya yang mengerumuninya merasa tidak sabar. Begitu kertas sudah dibuka, dengan cepat Faisal membaca tulisan yang terbesar.  “Slip gaji Pak Darto,” ucapnya lirih.
            Mereka tampak tersenyum. Entah tersenyum senang atau tersenyum licik. Kemudian dengan teliti mereka membaca tulisan di atas kertas itu.
***
            Pak Darto menyandarkan sepedanya di pohon jambu biji depan rumahnya yang sederhana. Ketika ia memasuki rumahnya, tampak istrinya sedang membungkusi ceriping ketela dengan plastik untuk dijual. “Assalamu'alaikum!”
            “Wa’alaikum salam. Sudah gajian ya, Pak?” sahut istrinya.
            “Sudah, Bu,” sahut Pak Darto sambil mengambil uang di dalam tasnya. “Ini!”
            Wanita itu menerima uang yang diulurkan suaminya. Lalu dihitungnya sebentar. “Kok Cuma seratus empat puluh lima, Pak?”
            “Ada potongan lima ribu untuk iuran, karena ada teman yang menikah minggu lalu,” sahut Pak Darto sambil memasukkan tangannya ke saku belakang celananya, bermaksud mengambil slip gajinya. Tapi ia kebingungan karena saku celananya kosong. Ia tak menemukan selembar kertas yang dicarinya. Ah, mungkin terjatuh di jalan, batinnya.
            “Ya sudah. Sana Bapak makan dulu. Setelah sholat, nanti antarkan dagangan ini ke warung Bu Erni dan Bu Nunung!”
            Pak Darto makan dengan lahap meskipun hanya dengan sayur daun ketela, tempe goreng, dan sambal tomat. Pekerjaan sebagai guru swasta tidak memungkinkan ia makan dengan lauk yang mewah. Gaji Rp150.000,00 setiap bulan sungguh tidak cukup untuk biaya hidupnya. Apalagi ia punya istri dan dua orang anak. Beruntung ia memiliki istri yang pandai mencari uang tambahan meskipun hanya dengan berdagang kecil-kecilan. Ia juga merasa bersyukur karena ia masih bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
***
            Pagi ini Pak Darto kembali mengajar. Tapi sungguh ia merasa heran sekaligus senang melihat sikap para siswa yang telah berubah drastis. Suasana belajar benar-benar telah berubah menjadi nyaman. Semua siswa mengikuti pelajaran dengan baik dan tekun, termasuk Silvi cs yang biasanya paling ramai dan selalu membuat ulah.
            “Ada yang sudah hapal surat Albayyinah?” tanya Pak Darto.
            “Saya, Pak… saya, Pak!” beberapa anak mengacungkan jari.
            “Coba kamu, Faisal!” kata Pak Darto sambil menunjuk Faisal yang ikut mengacungkan jari, ingin tahu apakah anak bandel itu benar-benar serius telah berubah.
            Ternyata Faisal bisa melafalkan surat Albayyinah dengan lancar. Pak Darto tersenyum puas. Hatinya diam-diam terharu.
            “Sekarang coba kamu, Silvi!” kata Pak Darto lagi.
           
            “Tapi saya belum hafal, Pak,” jawab Silvi.
            “Tidak apa-apa. Bapak hanya ingin tahu sampai di mana hapalanmu.”
            Silvi pun segera melakukan apa yang diinginkan gurunya. Tapi pada ayat ketiga gadis tomboy itu tampak terbata-bata. Dan akhirnya macet sama sekali. “Maaf… Pak, saya belum hafal,” kata Silvi akhirnya. “Tapi saya janji minggu depan saya sudah hafal.”
            Pak Darto benar-benar terharu. Keseriusan gadis tomboy sungguh-sungguh telah mengusik nuraninya. Tanpa sadar air matanya sudah meloncat keluar. Buru-buru beliau duduk di kursi guru dan terdiam beberapa saat. Tenggorokannya terasa tersumbat. Para siswa juga ikut terbawa emosi, sehingga suasana kelas menjadi hening.
***
            Perubahan sikap positif yang dilakukan siswa kelas 3 tidak hanya mencengangkan Pak Darto, tapi juga seluruh guru di sekolah swasta itu. Sudah tentu hal itu menggembirakan hati para guru meskipun mereka tidak mengetahui apa yang menyebabkan para siswa berubah secara total. Yang terpenting bagi mereka adalah proses belajar-mengajar menjadi lancar dan nyaman. Sampai ketika UAN sudah di ambang pintu, para siswa sudah tampak siap menghadapi ujian.
***
            Acara perpisahan kelas 3 yang diselenggarakan di aula sekolah segera dimulai. Dewan guru dan karyawan serta siswa-siswi kelas 1 dan 2 sampai tukang kebun tampak menghadiri acara itu. Semua menampakkan wajah ceria. Ini adalah acara yang teramat istimewa, lebih-lebih bagi kelas 3 yang semuanya lulus UAN.
           
Acara demi acara yang dipandu oleh Fina dan Egy sebagai pembawa acara berjalan dengan lancar. Mulai dari pembukaan, selingan tari Gambyong dan lagu dari siswa kelas 1 dan 2, sambutan Kepala Sekolah yang menyatakan bangga dengan prestasi siswa-siswi kelas 3 karena berhasil lulus UAN 100%, sampai akhirnya sambutan dari siswa kelas 3 yang diwakili oleh Faisal.
            “Sebelumnya saya mohon maaf,” kata Faisal setelah mengucapkan salam dan mukadimah. “Seperti yang telah Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru maklumi, bahwa saya tidak pandai berpidato. Maka sekali lagi saya mohon maaf apabila pidato saya nanti tidak layak sama sekali.” Para guru tertawa kecil karena kepolosan Faisal. Faisal menjadi tersenyum. “Yang pertama, saya mewakili teman-teman bersyukur pada Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami berhasil lulus UAN meskipun sebenarnya ini berat bagi kami. Kemudian yang kedua saya mewakili teman-teman mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru karena kenakalan dan kebandelan kami yang mungkin telah membuat Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru sakit hati. Dan kami juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru yang telah dengan ikhlas dan luar biasa sabar dalam membimbing kami belajar.” Faisal berhenti sejenak mengambil napas. “Mungkin Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru ingin tahu, mengapa kami yang sebelumnya bandel-bandel bisa berubah secara drastis menjadi baik dan tekun dalam belajar. Perlu diketahui, bahwa kami pernah secara kebetulan menemukan slip gaji Pak Darto yang terjatuh. Setelah kami baca, kami hampir tidak percaya bahwa gaji seorang guru seminim itu. Tapi setelah kami menghadap Bapak Kepala Sekolah, ternyata memang betul bahwa gaji guru minim sekali. Kami jadi tidak hanya tahu berapa gaji Pak Darto, tapi juga berapa gaji semua guru.” Faisal berhenti lagi. Ada butiran bening yang siap keluar di pojok-pojok matanya. Ia menghela napas dua kali sebelum ia berbicara lagi. “Kami mohon maaf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru karena kelancangan kami ini. Tapi, demi Allah, hal inilah yang membuat kami berubah, karena kami pikir betapa berat tugas guru sementara gajinya tidak sesuai dengan tugas yang diembannya. Bahkan kalau boleh kami katakan dengan apa adanya, gaji guru masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah kuli bangunan!”
            Tiba-tiba hadirin bertepuk tangan sehingga Faisal berhenti berbicara sebentar. Beberapa guru tampak matanya berkaca-kaca.
            “Hadirin yang kami hormati,” kata Faisal lagi. “Sebagai kenang-kenangan, maka perkenankan kami memberikan sekedar hadiah. Tapi kami mohon maaf karena kami hanya bisa memberikan hadiah ini kepada seorang guru saja. Kami harap guru-guru yang lain tidak iri karena kami telah mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan. Di antaranya : guru yang paling banyak telah kami ‘kerjai’, guru yang paling sabar, guru yang paling sederhana, guru yang menyebabkan kami berubah, dan lain-lain yang tidak bisa kami sebutkan. Kami tahu hadiah ini tidak senilai dengan bimbingan dan kerja keras para guru. Tapi paling tidak, hadiah ini sebagai ungkapan rasa hormat dan rasa sayang kami. Dan hadiah ini kami berikan kepada … Bapak Sudarto!” Hadirin bertepuk tangan. “Mohon kepada Bapak Sudarto untuk naik ke panggung!”
            Pak Darto seperti kebingungan dan ragu-ragu. Tapi teman-temannya mendukungnya agar ia mau naik ke atas panggung. Akhirnya  Pak Darto bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah panggung diiringi tepuk tangan hadirin. Bersamaan dengan itu Tomi menuntun sepeda motor ke atas panggung.
            Faisal turun dari mimbar dengan menggenggam mikrofon dan menyambut Pak Darto. Kini Pak Darto berhadapan dengan Faisal yang didampingi Tomi yang memegang sepeda motor.
            “Pak Darto,” kata Faisal dengan mikrofon di depan mulut. “Sepeda motor ini sengaja kami hadiahkan kepada Bapak. Sepeda motor ini memang bukan baru, tapi kondisinya masih bagus. Harap diterima dengan ikhlas dan semoga banyak manfaatnya buat Bapak.”
            Tomi mendorong sepeda motor itu mendekati Pak Darto.
            “Terima kasih,” ucap Pak Darto sambil memegang stang sepeda motor itu. Suara Pak Darto menggema ke seluruh ruangan karena Faisal mendekatkan mikrofonnya ke mulut Pak Darto. “Semoga ini menjadi amal yang baik bagi kalian. Tapi sebenarnya, bagi saya dan guru-guru yang lain, kelulusan kalian yang seratus persen adalah sudah merupakan hadiah terindah bagi kami.”
            Faisal dan Pak Darto berjabat tangan. Lalu Pak Darto memeluk Faisal dengan mata berkaca-kaca. Setelah itu kemudian Pak Darto kembali turun dari panggung diikuti Tomi yang menuntun sepeda motor yang sekarang sudah menjadi milik Pak Darto.         “Hadirin yang kami hormati,” kata Faisal lagi tanpa kembali naik ke mimbar. “Sebagai hadiah terakhir untuk para guru, terimalah lagu persembahan kami!’
            Siswa kelas 3 yang duduknya berada di belakang para guru dengan teratur bangkit dan berjalan naik ke panggung. Lalu membentuk barisan koor. Silvi siap berdiri di depan menjadi dirigen. Setelah semua siap, Silvi mulai mengangkat tangannya.
            “Bagimu negeri jiwa raga kami,” ucap Silvi melantunkan baris terakhir lagu “Padamu Negeri”.
            Maka mengalunlah lagu “Padamu Negeri” dengan penuh perasaan dari mulut para siswa kelas 3. Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya lantunan lagu “Padamu Negeri”  Para guru seperti terkesima dan terharu. Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu. Sungguh lagu itu berhasil menyentuh nurani mereka.
            Ketika lagu “Padamu Negeri” berakhir, applaus panjang diberikan oleh hadirin. Siswa-siswi kelas 3 tetap berdiri dengan wajah serius sampai applaus berhenti sama sekali. Dan kemudian, mengalunlah lagu “Syukur” dengan penuh kesyahduan. Kini bukan hanya para guru, tapi juga para siswa kelas 3 banyak yang menitikkan air mata. Mereka menangis sambil terus menyanyi... amat mengharukan.
***

Temanggung, September 2011

No comments: