Wednesday, 24 March 2010

Refleksi Atas Sepenggal Pengalaman Mengikuti LMKS 2008

GURU: MEMBACA DAN MENULIS APRESIASI SASTRA

Refleksi Atas Sepenggal Pengalaman Mengikuti LMKS 2008

Oleh: Muarif, S.Ag

Guru SMA Negeri 1 Dukuhwaru


Selalu dunia dilahirkan kembali dari orang-

Orang ramai yang membaca dan menulis

(Sajak “Tempat Membaca dan Menulis” karya Afrizal Malna)



Ketika orang membicarakan pengajaran sastra di sekolah, sederet “hujatan” terhadap guru bahasa dan sastra Indonesia bermunculan. Simak saja tuduhan Mukhlis A. Hamid yang mengatakan bahwa pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada para guru yang pengetahuan dan apresiasinya rendah. Dengan nada yang tidak jauh berbeda, Nani Tuloli mensinyalir bahwa kegagalan pengajaran sastra karena tiga kelemahan utama : (1) guru kurang atau bahkan tidak mempunyai koleksi karya sastra baik puisi maupun prosa; (2) guru kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan tentang sastra dan (3) guru kurang berminat untuk dapat mewujudkan pengajaran sastra yang benar-be nar apresiatif terhadap siswa.



Terlepas benar atau tidaknya tuduhan tersebut, menerima atau menolak tuduhan tersebut, menurut penulis, yang penting digarisbawahi dalam konteks pengajaran sastra adalah seorang guru bahasa dan sastra Indonesia haruslah terus-menerus membaca dan belajar menulis karya sastra, serta membaca dan mampu menulis apresiasi sastra dalam upaya memberi makna atas karya sastra. Layak untuk direnungkan apa yang dikatakan A. Teeuw, bahwa tugas utama guru bahasa dan sastra Indonesia adalah mengembangkan daya kretif siswa agar terbiasa memberi makna terhadap apa yang mereka baca. Namun demikian, menurut penulis, upaya mengembangkan daya kreatif siswa perlu didukung pula upaya dalam diri guru untuk mengembangkan daya kreatifnya, salah satu di antaranya melalui membaca dan menulis apresiasi sastra.


Membaca Apresiasi Sastra

Membaca apresiasi sastra, yang penulis maksud dalam tulisan ini, adalah membaca ulasan-ulasan para kritikus sastra, pengamat atau pemerhati sastra mengenai karya sastra, baik dalam sudut pandang ilmiah maupun non-ilmiah. Guru bahasa dan sastra Indonesia, bahkan sejak masih di perguruan tinggi, tidak asing lagi dengan buku-buku ulasan sastra. Sebut saja misalnya, Tergantung pada Kata karangan A. Teeuw, Chairil Anwar:Sebuah Pertemuan karangan Arief Budiman, Novel Baru Iwan Simatupang karangan Dami N. Toda, Sosok Pribadi dalam Sajak karangan Subagio Sastrowardojo, Model Waktu dalam Perahu Kertas Karya Sapardi Djoko Damono karangan Wahyu Wibowo, dan lain-lain. Bahkan hingga kini dua majalah budaya, HORISON dan KALAM (sekadar menyebut contoh), masih terus saja intens memuat ulasan-ulasan sastra sehingga dengan mudah guru dapat membaca tulisan-tulisan apresiasi sastra Maman S. Mahayana, Agus R. Sardjono, Suminto A. Sayuti, atau Faruk H.T. Mereka dikenal cukup tajam dalam kemampuan mengapresiasi karya sastra.



Membaca berbagai ulasan karya sastra, baik yang terbit dalam bentuk buku maupun majalah, merupakan pelajaran yang berharga bagi guru untuk mempertajam daya apresiasinya. Sehingga diharapkan pula guru mampu membantu daya apresiasi siswa. Dengan terus-menerus membaca apresiasi sastra, tidaklah mustahil tercapai pembelajaran apresiasi sastra yang lebih kreatif.

Menulis Apresiasi Sastra

Selaras dengan pengertian membaca apresiasi sastra, menulis apresiasi sastra adalah menulis ulasan atau kajian dengan prinsip-prinsip atau metodologi penelitian sastra guna memberi makna atas karya sastra dalam perspektif tertentu. Maksud dari perspektif di sini adalah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam mengulas karya sastra, apakah dengan menggunakan pendekatan sosiologi, psikologi, atau teori-teori tertentu seperti strukturalisme, resepsi sastra, teori mitos, hermeneutic, teori dekonstruksi, dan lain-lain.



Kemampuan guru dalam mengapresiasi karya sastra tidak bias terlepas begitu saja dari intensitas membaca apresiasi sastra. Dengan sering membaca apresiasi sastra, guru dapat mengetahui atau mengenali struktur, gaya, dan metodologi penulisan yang kelak dapat dijadikan pijakan dalam belajar menulis apresiasi. Apa yang harus dilakukan guru, kalau dalam KTSP mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas XII semester 2 terdapat kompetensi dasar: (1) memahami prinsip-prinsip penulisan kririk dan esai; dan (2) menerapkan prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai untuk mengomentari karya sastra? Apakah guru hanya menyajikan teori penulisan kritik dan esai tanpa disertai contoh-contoh?

Guru dapat saja memberikan contoh kritik dan esai karangan penulis lain. Akan tetapi,menurut penulis, alangkah membanggakan apabila guru menyajikan contoh kepada siswa dari hasil karya sendiri. Hal ini sekaligus merupakan pembuktian, bahwa guru tidak hanya menguasai teori-teori belaka tetapi juga mampu menunjukan kompetensinya dalam bidang menulis.

Catatan Akhir: Sebuah Refleksi

Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) dan Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) yang diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2000 oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas, merupakan upaya pemerintah untuk mend0rong dan meningkatkan kemampuan apresiasi guru. Keikutsertaan penulis dalam final LMKS 2008, telah membuka kesadaran penulis bahwa sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia kreativitas penulis jauh tertinggal dibandingkan guru (finalis) dari provinsi lain

Sebut saja: Dra. Hanum Safnas (SMAN 1 Bekasi, Jawa Barat), M. Raudah Jambak, S.Pd (SMA Budi Utomo, Medan, Sumatera Utara), Supri Harahap (SMAN 4 Medan, Sumatera Utara), Raflis Chaniago (SMAN 1 Painan, Sumatera Barat), Vivin Noviati, S.Pd (SMAN 2 Muarabungo, Jambi) adalah cerpenis yang karya-karyanya banyak dimuat di berbagai media massa lokal maupun nasional; atau Em Saidi Dahlan (MA Itamunajah, Sumenep, Madura) yang kedua bukunya telah diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Nasional sebagai pemenang Lomba Menulis Buku Pengayaan; dan Tamar Saraseh (MA Darut Thayyibin Sumenep, Madura) yang selain sebagai penulis, juga dikenal sebagai pelukis yang karya-karyanya seringkali dimuat sebagai cover majalah sastra HORISON. Finalis lain: Mahfud Aly, S.Pd (SMAN 1 Cerme, Gresik, Jawa Timur) adalah penulis naskah drama dan pembimbing karya ilmiah remaja yang berhasil mengantarkan sisiwanya meraih juara dalam LKIR 2008 di Jakarta.



Kesadaran penulis semakin menyeruak ketika salah seorang rekan finalis LMKS 2008 mengenakan T-shirt warna hitam bertuliskan: LEBIH BAIK BERKARYA DARI PADA MENCELA. Bagi penulis, kata-kata tersebut merupakan sebuah “pencerahan” akan pentingnya guru bahasa dan sastra Indonesia berkarya, menunjukkan kompetensi dengan terus menumbuhkembangkan budaya membaca dan menulis untuk melahirkan sebuah dunia baru. Persis seperti yang dikatakan penyair Afrizal Malna yang sajaknya penulis kutip di awal tulisan ini. Keramaian dunia pendidikan adalah kemeriahan intelektualitas guru yang membaca dan menulis dan bukan pada kemeriahan panggung infotainment dan panggung politik yang carut marut.

*Disampaikan dalam “Pemantapan KTSP dan PTK MGMP Bahasa Indonesia

SMA/MA Kabupaten Tegal”, Minggu, 28 Desember 2008



DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2007. Petunjuk Teknis

Pengembangan Silabus dan Contoh/Model Silabus, Mata Pelajaran Bahasa Indone-

sia SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional



Hamid, Mukhlis A. “Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah, Antara Harapan dan Ke-

Nyataan”. Makalah. Disampaikan dalam Dialog Sastra 1996, Bireuen, 21 Desember

1996. Tidak Diterbitkan

Teeuw, A. 1982. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

No comments: