Sunday, 28 March 2010

FENOMENA FORUM LINGKAR PENA*

FENOMENA FORUM LINGKAR PENA*

Oleh : Maman S. Mahayana*


BAGAIMANA ceritanya, Forum Ling-kar Pena (FLP) yang dibangun oleh segelintir orang[1] –dengan fokus kegiatannya menum-pukan pada bidang (penulisan) karya sastra tiba-tiba menjelma jadi komunitas yang jumlah anggotanya ribuan, tersebar di pelosok Tanah Air,[2] bahkan menerabas sampai ke Mesir, Singapura, Jepang, Sudan, Hongkong, dan terus merambah hingga ke Eropa dan Amerika?

Secara hiperbolis Koran Tempo menjuluki FLP sebagai “Pabrik Penulis Cerita” dan Taufiq Ismail menyebutnya sebagai “Hadi-ah Tuhan untuk Indonesia”. Pertanyaannya: faktor apa saja yang menyebabkan gerakan FLP begitu fenomenal? [3] Seperti kata pepatah: “Datang pada saat yang tepat, di tempat yang tepat, dan dalam waktu yang tepat,” kehadiran FLP laksana menjawab harapan sejumlah besar kaum remaja Indonesia akan kebutuhan belajar menulis—mengarang.

Tentu saja munculnya harapan itu, juga tidak datang secara serta merta. Mesti ada persoalan di belakangnya. Menurut hemat saya, persoalan di belakang antusiasme remaja –yang kemudian menjadi anggota FLP—akan kebutuhan belajar menulis di antaranya disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

Pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah yang menjemukan –boleh jadi—berakibat pada lahirnya kebencian terhadap pelajaran itu.[4] Dampak berikutnya, para siswa jatuh pada –meminjam istilah Taufiq Ismail—kerabunan membaca dan kelumpuhan menulis.[5]

Kelompok remaja masjid yang dalam peta kesusastraan Indonesia –dalam sejarahnya—nyaris tidak pernah diperhitungkan, kini dengan kehadiran FLP –yang kebetulan para pendirinya relatif dikenal sebagai penulis nasional—seperti wadah dan sekaligus juga ajang untuk menunjukkan eksistensi kelompok ini. Akibatnya, di satu pihak, FLP diserbu kelompok remaja ini sebagai semacam saluran untuk berekspresi dan menunjukkan jati dirinya, dan di pihak yang lain, FLP dalam pandangan komunitas di luar itu sebagai kelompok eksklusif dengan anggota-anggotanya sebagian besar berasal dari kelompok remaja masjid itu.[6]

Selain kelompok remaja masjid, komunitas remaja pesantren (santri) sering diperlakukan sebagai kelompok eksklusif yang dalam kehidupan sosial antarremaja juga diposisikan secara marjinal. Marjinalisasi masyarakat pesantren yang sudah terjadi begitu lama dalam kehidupan masyarakat perkotaan telah membangun stigma dengan segala eksklusivitasnya. Maka, ketika hadir FLP, mereka merasa bahwa itulah tempat yang tepat dalam kiprahnya menyalurkan kreativitas. Sastra yang dalam banyak pesantren di Indonesia dianggap sebagai bidang yang tak penting, lambat-laun mulai mendapat citra yang wajar –terutama dalam pandangan sejumlah kiayinya.

Berdasarkan keterangan Helvy Tiana Rosa bahwa 70 % anggota FLP adalah kaum perempuan menunjukkan, bahwa tampilnya para pengarang perempuan –terutama pengarang dari kalangan FLP sendiri—seperti sebuah teladan yang patut diikuti.[7] Maka, gerakan yang dijalankan Helvy Tiana Rosa dkk yang gencar menyuarakan pentingnya “berdakwah” melalui tulisan (sastra), mendapat sambutan luar biasa. Selain itu, munculnya sastrawan perempuan lainnya dalam peta kesusastraan Indonesia, tentu saja ikut mendorong keinginan para remaja (perempuan) itu untuk juga menjadi penulis terkenal.

Bahwa gerakan FLP memperoleh dukungan yang luas dari para remaja tersebut, tidak hanya lantaran adanya kesamaan ideologi, tetapi juga lantaran sikap militan para pengurus dan anggota-anggotanya.[8] Militansi inilah yang justru tidak dimiliki komunitas lain yang bergerak di bidang kesusastraan, bahkan juga kebudayaan.

Boleh jadi masih ada faktor lain yang mendorong gerakan FLP menjadi begitu menyebar dan massal. Setidak-tidaknya kelima faktor itulah yang menjadikan FLP sebagai satu-satunya komunitas sastra yang menjulang sendiri jika dilihat dari penyebaran dan jumlah anggotanya. Dilihat dari segi ini, sangat boleh jadi FLP telah melampaui jumlah dan penyebaran keanggotaan organisasi profesi mana pun. FLP tidak hanya menjadi saluran kreativitas mereka yang selama ini mampat, tetapi juga sekaligus menjadi semacam jembatan yang diharapkan dapat mengangkat citra, peran dan martabat mereka di hadapan keluarga dan masyarakatnya.

***

Sebagai sebuah komunitas dengan jumlah anggota yang besar, penyebaran yang luas, dan militansi sebagian besar anggotanya, FLP menjadi komunitas yang sangat potensial mewarnai peta kesusastraan, bahkan juga kebudayaan Indonesia.

Persoalannya tinggal, bagaimana gerakan FLP tidak sekadar berhasil memproduksi (calon) penulis dalam jumlah massal dengan penyebarannya yang menjangkau wilayah yang begitu luas, tetapi juga menghasilkan karya-karya yang berpengaruh justru karena kualitasnya, bahkan jika mungkin, membangun sebuah mainstream dalam konstelasi sastra Indonesia.[9]

Dalam peta komunitas sastra di Tanah Air, FLP memang berada di jalurnya sendiri. Berbeda dengan komunitas lain, sebut saja misalnya, Teater Utan Kayu (TUK) yang cenderung elitis dengan sejumlah nama besar menempel di belakangnya atau Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang coba menggarap potensi-potensi terpendam (calon) sastrawan di kawasan Jakarta dan Tangerang, FLP menerima keanggotaannya tidak dibatasi oleh faktor usia, agama atau apa pun.[10] Keanggotaan yang sangat populis ini telah menceburkan FLP menjadi sebuah komunitas massal. Bahkan, anggotanya secara resmi dikenai iuran Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebulan, menunjukkan bahwa komunitas ini punya citra dan gengsi positif dalam pandangan kaum remaja,[11] bahkan juga masyarakat pada umumnya.

Jadi, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, dan berbagai pandangan buruk lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[12] Semangat FLP –sebagaimana yang dinyatakan dalam visinya,[13] juga sebenarnya sederhana saja, yaitu membangun masyarakat membaca dan menulis. Dalam hal itulah, sesungguhnya FLP punya visi yang substansinya sama dengan komunitas sastra lainnya yang bertebaran di Tanah Air, yaitu menciptakan manusia penulis.

Bukankah ketertinggalan bangsa ini dari bangsa lain –terutama Eropa, dan lebih khusus lagi, bangsa di kawasan Asia Tenggara, lantaran budaya baca dan budaya tulis belum melekat dalam pandangan masyarakat. Tambahan lagi dengan derasnya penyebaran virus budaya populer lewat tayangan-tayangan sinetron dan opera sabun di televisi, makin mengakrabkan masyarakat dengan budaya mendengar dan melihat dan menjauhkannya dari budaya membaca dan menulis. Jadi, gerakan FLP sesungguhnya bersinergi dengan gerakan yang dilakukan majalah Horison melalui berbagai programnya serta komunitas sastra lainnya yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam masa satu dasawarsa ini, jelas bahwa FLP telah berhasil melakukan massalisasi kegiatan bersastra yang mencakupi wilayahnya yang begitu luas. Selain itu, citra eksklusif yang pada awalnya melekat pada FLP, lambat-laun sudah mulai cair. Masyarakat sastra juga –langsung atau tidak—mulai memperhitungan kontribusi yang telah diperlihatkan FLP. Demikian juga, sejumlah buku telah diterbitkan dan sejumlah penulis potensial telah dilahirkan.

Pertanyaannya sejauh mana kualitas karya yang telah dilahirkannya? Pandangan apriori beberapa komunitas sastra terhadap karya-karya yang telah dihasilkan FLP –sejauh pengamatan—belumlah proporsional.

Anggapan bahwa karya-karya yang dihasilkan FLP sebagai masuk kategori sastra populer sangat mungkin didasarkan pada (1) stigma awal yang masih melekat, (2) belum mencermati secara lebih komprehensif, (3) tampilan cover yang memang mengesankan sebagai ciri sastra populer. Oleh karena itu, menilai kontribusi FLP –sejak kelahirannya tahun 1997—dalam peta kesusastraan Indonesia dan menempatkannya dalam komunitas sastra, tidak dapat dilakukan secara subjektif. Kita perlu masuk ke dalamnya dan coba menguak lebih jauh apa yang telah dilakukan FLP selama ini.

Bagi saya, gerakan FLP sangat fenomenal. Ia telah berhasil meyakinkan sejumlah komunitas yang selama ini dimarjinalkan. Dalam konteks itu, jelas bahwa FLP telah memainkan peranan yang penting, tidak sekadar memberi penyadaran –terutama kepada para remaja—tentang pentingnya berekspresi melalui kegiatan bersastra, tetapi juga mendorong berlahirannya penulis-penulis potensial.[14]

Bahwa karya-karya FLP dipandang masih berkualitas sastra populer atau sekadar menghasilkan karya yang sarat dengan dakwah agama, pandangan ini pun perlu segera direvisi.[15] Sebagai bukti bahwa FLP telah berhasil melahirkan penulis potensial, segera tampak jika kita mencermati sebuah antologi cerpen berjudul Hongkong, Namaku Peri Cinta (Jakarta: Lingkar Pena Kreativa, 2005, xxiii + 172 halaman) karya anggota FLP Hongkong yang berprofesi sebagai buruh migran. Cerpen pertama yang berjudul “Hujan Masih Menjanjikan Cinta” karya Winna Karnie[16] sungguh menunjukkan karya yang cantik. Ia tidak sekadar piawai dalam membangun tegangan, tetapi juga cerdas dalam memanfaatkan metafora. Jika sejumlah pengarang wanita Indonesia belakangan ini begitu eksplisit menggambarkan hubungan jantina, Winna Karnie seperti hendak menunjukkan cara penggambaran adegan itu dengan bahasa metaforis.

Perhatikan kutipan berikut yang menggambarkan hubungan suami—istri berikut ini: “Dan aku pun harus rela tak terbang ke Singapura hari ini,” sahut suamiku. Kami menertawakan nasib. Suamiku mendekatkan bibirnya di telingaku. “Aku akan mengajak Mama terbang malam ini bukan ke Singapura, tapi ke tempat lain.” “Terbang ke mana?” “Hanya kita berdua di sana. Aku akan mengajak Mama menggapai gugusan bintang dan memetiknya satu per satu. Setelahnya kita singgah di peraduan rembulan, di sana kita nikmati biasnya yang hangat menyentuh asa kita. Bagaimana, Ma?” Aku tersenyum, bersiap ke bulan, bersama suamiku. Malam indah. Kupandangi wajahnya, kutatap bola matanya yang penuh cinta. Aku tahu ada yang bergolak dalam dadanya. Kami mendaki bukit dan ngarai. Akhirnya kami sampai juga ke gugusan bintang. Aku terkulai di lekukan bulan dengan senyum bahagia. Kulirik suamiku, dia terpejam menikmati setiap pendakianku. Dia orang terhebat dalam hidupku. (hlm. 4). Secara tematis cerpen ini mengangkat persoalan biasa dalam kehidupan suami istri. Suami, lantaran profesinya sebagai pilot, hendak terbang ke Singapura. Dan istri mengkhawatirkan keselamatannya lantaran cuaca buruk. Meski begitu, di bagian awal pengarang telah menggiring pembaca kepada kemungkinan terjadinya musibah. Dan benar, menjelang akhir cerita, suami menitipkan barang pesanan istrinya kepada seseorang. Belakangan diketahui, suaminya ngumpet di mobil. Happy ending!

Pola kejutan di akhir cerita cukup menonjol dalam sejumlah cerpen yang terhimpun dalam antologi cerpen itu. Dan itu sesungguhnya merupakan kekuatan untuk mempertahankan tegangan (suspense). Cerpen “Pembantu” karya Syifa Aulia,[17] “Semut Merah” karya Ikriima Ghaniy,[18] “Kabut Hitam di Sepanjang Perjalanan” karya Fia Rosa,[19] atau “Ceroboh” karya Rof,[20] cenderung memanfaatkan pola kejutan di akhir cerita.

Dengan pola itu, kita dapat mencermati betapa para penulis cerpen itu sesungguhnya mempunyai kekuatan atau enerji yang masih tersimpan dan belum dieksploitasi—dieksplorasi secara maksimal, yaitu mempunyai kualitas sebagai penulis novel yang menjanjikan. Cerpen “Semut Merah” misalnya, mengawali ceritanya dari kejadian biasa, yaitu anak majikannya disengat semut merah. Dari sana cerita bergulir sampai ke rumah sakit terkenal di Hongkong dan seolah-olah akan berakhir pada pemecatan yang melibatkan agen tenaga kerja di sana. Belakangan, setelah anak majikannya sembuh, si anak itulah yang justru mempertahankan Suminten, pembantunya itu. Perhatikan kutipan berikut yang memperlihatkan betapa penulisnya coba memanfaatkan referensi, meski sekadar disinggung sepintas. Hong Fo Ngai adalah sejenis kerangkang atau semut merah yang apabila menggigit manusia akan menimbulkan bekas. Bintik-bintik merah yang bisa menjadi benjolan yang bernanah. Masa inkubasinya cepat dan bisa merenggut nyawa seseorang. (hlm. 132) Bukankah pengetahuan ensiklopedis seperti itu juga penting dikuasai seorang pengarang ketika ia hendak menggambarkan sesuatu? Cerpen “Ceroboh” juga cukup menarik.

Kegelisahan psikologis tokoh tentang kompor sesungguhnya lazim terjadi pada diri seseorang. Jadi, ia berhasil memanfaatkan kegelisahan psikologis dengan memadukan antara peristiwa yang sedang terjadi dengan peristiwa yang ada dalam benak dan pikirannya. Bukankah cara itu yang dalam teori sastra yang disebut sebagai arus kesadaran (stream of consciousness)? Satu cerpen lain yang hendak saya singgung sepintas dari antologi cerpen itu adalah karya S. Aisyah Z[21] berjudul “Kepak Sayap Rani”.

Kisahannya berkelak-kelok yang menyebabkan kita agak susah menebak akhir ceritanya. Mengangkat sisi lain kehidupan migran yang menghadapi perilaku majikannya yang ketus, galak, penuh hardik, tanpa pernah senyum. Perhatikan penggalan berikut ini yang memperlihatkan kekuatan metafora dan analogi untuk menggambarkan karakter si majikan berikut ini. Tapi hidup memang berubah drastis baginya. Tidak seperti musik gambus yang difavoritkannya. Lantunan kemarahan dan teriakan perintah menjadi lagu wajib setiap hari. Tiada hari tanpa musik alami yang memekakkan telinga. Teriakan-teriakan itu …? Suara wanita yang jarang berbicara pada Rani itu bagai ketipung yang dipukul dengan palu.

Alur nada yang tak pernah seirama dengan suasana hatinya. Hanya saat wanita itu meninggalkan rumah, hatinya terasa lebih lapang dari rumah besar yang ditumpanginya, tanpa keberadaan wanita itu di dalamnya. Seperti sepuluh ton beban terkurangi begitu Rani berdiri di depan pintu, melepas kepergian wanita itu. (hlm. 94—95) Di akhir cerita dikisahkan, si majikan yang galak itu menyadari, betapa yang kesabaran, kesetiaan, dan ketaatan tokoh Rani jauh lebih bermakna daripada apa yang telah dilakukan si Majikan selama ini. Berdasarkan kisahan dan cara menyelimuti akhir cerita yang juga tak terduga itu, Aisyah sesungguhnya potensial menghasilkan novel.

Sejumlah penggambaran tentang rumah besar yang seolah-olah penuh misteri, latar belakang psikologis si Majikan, dan semangat hidup tokoh Rani dalam usahanya mengangkat martabat keluarga, masih sangat berpeluang dimasuki peristiwa lain yang dapat meneguhkan penokohannya. Cerpen-cerpen yang disinggung sepintas tadi agaknya dapat dijadikan sebagai parameter atau ukuran kualitas karya yang dihasilkan anggota FLP. Tentu karya lain, terutama karya anggota FLP lainnya yang lebih senior, banyak yang jauh lebih oke. Setidak-tidaknya, dari karya para buruh migran itu saja, kita dapat melihat kualitas dan potensi yang dimiliki anggota FLP di masa mendatang.

***

Sebagai sebuah gerakan, suka atau tidak suka, kita tidak dapat menafikan kontribusi penting yang telah dimainkan FLP. Dalam sejarah perjalanan sastra Indonesia, belum ada satu pun komunitas atau organisasi (sastra) yang berhasil membangun jaringan penulis begitu luas, dengan jumlah anggota begitu besar, dan menciptakan penulis—pengarang secara massal.[22]

Inilah kontribusi konkret yang telah diperlihatkan FLP. Dengan demikian, boleh jadi, tanpa disadari oleh para pengurus FLP sendiri, gerakan yang telah mereka lakukan sesungguhnya –tanpa bermaksud melebihkan—adalah catatan sejarah penting yang belum pernah dilakukan oleh organisasi mana pun di Indonesia.

FLP telah membuat tinta emas bagi sastra Indonesia. Mengingat pendidikan atau pelatihan yang dilakukan FLP, sebagaimana yang tersurat dalam visinya, yaitu membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia, maka buah dari kegiatan FLP baru akan terasa sangat manis dan menyebarkan pengaruhnya dalam kehidupan kebangsaan ini, dalam masa satu dasawarsa ke depan.

Bukankah yang dilakukan Helvi Tiana Rosa dalam kawan-kawan dalam satu dasawarsa ini saja sudah menunjukkan hasil yang konkret? Sebagai catatan akhir, FLP di samping tetap mempertahankan pola gerakannya yang selama ini dilakukan, juga perlu dipikirkan untuk menjadikan FLP tidak sekadar bermain dalam tataran kuantitas, melainkan juga dalam tataran kualitas. Dengan begitu, FLP akan ikut memainkan peranannya dalam membangun dan sekaligus mewarnai kehidupan kebudayaan Indonesia di masa depan. Dalam konteks itu, bolehlah dipikirkan beberapa hal berikut ini:

1.

Kiprah dalam menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, sebagaimana yang telah diperlihatkan FLP selama ini, jelas menunjukkan bahwa gerakan FLP adalah gerakan kemanusiaan.[23] Cara yang sama barangkali perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan anggotanya dengan cara memberi beasiswa atau mencarikan beasiswa pendidikan untuk anggotanya.
2.

Mengingat perwakilan FLP sudah menjangkau wilayah di semua propinsi di Indonesia dengan cabang-cabangnya yang berada di berbagai kota, maka penting juga dilakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam rangka merealisasikan berbagai program yang dijalankan FLP. Termasuk di dalamnya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Daerah, Dewan Kesenian daerah atau komunitas-komunitas sastra yang bertebaran di berbagai kota.
3.

Penerbitan buku-buku FLP, selain tetap mempertahankan pola yang sampai sekarang dilakukan, juga perlu ada “warna” lain, terutama dalam desain covernya yang masih terkesan seperti karya populer.

***

Akhirnya, harus saya katakan sekali lagi: Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas! Tahniah!


LAMPIRAN 1

(Lampiran ini diambil dari Data FLP) Prestasi Kepenulisan yang Telah Dicapai Anggota FLP


No


Nama Penulis


Prestasi


Skala


Tahun

1.


Asma Nadia (FLP Pusat/Majelis Penulis)


Juara I Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI) Majalah Annida


Nasional


1994 & 1995







Adikarya IKAPI kategori Buku Remaja Terbaik I untuk buku “Rembulan di Mata Ibu”


Nasional


2001







Pengarang Terbaik Adikarya IKAPI


Nasional


2001







Adikarya IKAPI kategori Buku Remaja Terbaik I untuk buku “Dialog Dua Layar”


Nasional


2002







Adikarya IKAPI kategori Buku remaja Terbaik untuk buku “101 Dating: Jo & Kas”


Nasional


2005







Pengarang Fiksi Remaja Terbaik Mizan Award


Nasional


2003







Peserta Program Penulisan Mastera Terbaik selama 10 Tahun


Asia Tenggara


2005







Naskah Drama Terbaik dalam Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama


Nasional


2005







Peraih Beasiswa Program “Writer’s Residence” dari Pemerintah Korea


Nasional


2006

2.


Adkhilni M. Sidqi (FLP Yogyakarta)


Juara III Lomba Menulis Artikel Kepemimpinan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga


Nasional


2006

3.


Ade Efdira (Ragdi F. Daye)/ FLP Sumatera Barat


Juara II Lomba Menulis Cerita Pendek Islami Majalah Annida


Nasional


1999







Juara III Sayembara Menulis Puisi Dewan Kesenian Sumatera Barat


Provinsi


2005







Juara I Lomba Menulis Cerpen Sastra Singgalang


Provinsi


2005







Juara I Lomba Menulis Cerpen Sabili ForUs


Nasional


2006

4.


Alimuddin (FLP Aceh)


Pemenang Harapan Lomba Menulis Cerpen CWI & Menpora


Nasional


2006

5.


Afifah Afra (FLP Pusat)


Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah ”Hijrah Nabawiyah”


Nasional


2003







Juara Harapan 1 Sayembara Cerbung Majalah Kartini dengan cerbung ”Tembang Cinta”


Nasional


2003







Finalis Lomba Cipta Cerpen Islami Milad FLP ke-5


Nasional


2002







Penghargaan ke-2 Novel Terbaik Anugerah Pena FLP


Nasional


2002

6.


Azimah Rahayu (FLP Pusat)


Pemenang 2 Lomba Cipta Cerpen Remaja Tabloid MQ


Nasional


2001







Pemenang 2 Lomba Kisah Islami addakwah.com


Nasional


2002







Anugerah Pena untuk Buku Fiksi Terpuji ”Pagi Ini Aku Cantik Sekali”


Nasional


2005

7.


Azwar (FLP Sumatera Barat)


Juara Harapan Terbaik Sayembara Menulis Kritik Seni Dewan Kesenian Sumatera Barat


Provinsi


2003







Peraih Singgalang Award Kategori Penulis Pemula


Provinsi


2005







Juara 3 Menulis Cerpen Koran Ganto


Provinsi


2005

8.


Azzura Dayana (FLP Sumatera Selatan)


Juara 3 Sayembara Penulisan Novel Remaja Gema Insani Press dengan novel “Alabaster”


Nasional


2003







Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Creative Writing Institute & Direktorat Kepemudaan dan Diknas


Nasional


2004

9.


Denny Prabowo (FLP Depok)


Finalis Lomba Menulis cerpen CWI & Menpora


Nasional


2005







Finalis Lomba Menulis cerpen CWI & Menpora


Nasional


2006

10.


Endang Rukmana (FLP Serang)


Peraih Penghragaan PenulisMuda Indonesia UNICEF & YKAI


Nasional


2004

11.


Galang Lufityanto (FLP Yogyakarta)


Juara 2 Lomba Menulis Artikel tentang Korea, Kedubes Korea


Nasional


1999







Pemenang Harapan Lomba Menulis Cerpen CWI & Menpora


Nasional


2005







Finalis Lomba Menulis Cerpen CWI & Menpora


Nasional


2006

12.


Haikal Hira H (FLP Jawa Timur)


Pemenang 3 Lomba Penulisan Cerpen Gonjong yang diselenggarakan oleh Program Bahasa Indonesia Universitas Deakin Melbourne Australia


Nasional


2002







Juara 2 Lomba Penulisan Buku Yayasan Al Sofwah Jakarta dengan karya “Sebab Mekarmu Hanya Sekali”


Nasional


2003







Juara 3 Sayembara Cerpen Majalah Kartini dengan cerpen “Obituari”


Nasional


2004







Juara 2 Lomba Cerpen Majalah Muslimah dengan cerpen “Malaikat dari Masa Lalu”


Nasional


2004







Cerpen Terbaik Ketiga dalam Sayembara Cerpen Majalah ESQ Nebula dengan cerpen “Mahsyar”


Nasional


2005

13.


Hara Hope/Haji Arif (FLP Yogyakarta)


Juara 2 Lomba Teenlit Gramedia dengan judul novel “Summer Triangle”


Nasional


2005

14.


Helvy Tiana Rosa


Cerpen “jarring-jaring Merah” terpilih sebagai salah satu dari 10 Cerpen Terbaik Majalah Sastra Horison selama 10 tahun


Nasional



15.


Izzatul Jannah (Setiawati Intan Savitri)-FLP Jawa Tengah


Juara 3 Lomba Menulis Cerita Pendek Majalah Annida


Nasional


1994







Juara Harapan Lomba Menulis Cerita Pendek Majalah Annida


Nasional


1997

16.


M. Irfan Hidayatullah


Juara 1 Lomba Menulis Cerita Pendek Islami Majalah Annida dengan cerpen “Kucing”


Nasional


1999

17.


Medi Adioska (FLP Sumatera Barat)


Juara Harapan II Lomba Menulis Cerpen Telkomsel On-line


Provinsi



18.


Muthmainnah (Maimon Herawati)/FLP Eropa


Pemenang Harapan Lomba Menulis Cerita Pendek Islami Majalah Annida


Nasional


1996







Penulis Favorit Pilihan Pembaca Majalah Annida


Nasional


1997

19.


Nadhira Khalid (FLP Mataram)


Juara Harapan Lomba Menulis Cerpen Majalah Femina


Nasional



20.


Nova Ayu Maulita (FLP Yogyakrta)


Finalis Penghargaan Penulis Muda Indonesia yang diadakan Unicef & YKAI


Nasional


2005

21.


Prakoso Bhairawa Putera (FLP Bangka-Belitung)


Finalis Lomba Menulis Cerpen CWI & Menpora


Nasional


2005







Pemenang 1 Cipta Puisi


Nasional


2001 & 2002







Pemenang I Kategori Mahasiswa Lomba Karya Tulis Hari Dharma Samudera TNI AL


Nasional


2006







Pemenang Harapan Lomba Cerpen se-Sumatera


Provinsi


2005

22.


Sakti Wibowo (FLP Pusat)


Penghargaan Khusus Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI) Majalah Annida


Nasional


1999







Cerpen Terbaik Majalah Annida selama 10 Tahun


Nasional


2001







Juara Harapan Lomba Menulis Cerpen Milad FLP ke-5


Nasional


2002







Anugerah Pena untuk Kumpulan Cerpen Terpuji Milad FLP ke-5 untuk buku “Satria Kurusetra dan Negeri Para Embun”


Nasional


2002

23.


Sinta Yudisia (FLP Tegal)


Juara I Lomba Menulis Cerita Pendek Islami Majalah Annida


Nasional


2001







Juara Harapan I Lomba Menulis Fiksi Departemen Agama kategori SMU


Nasional


2002







Juara Harapan II Lomba Menulis Fiksi Departemen agama kategori SD


Nasional


2002







Juara II Lomba Menulis Cerita Pendek Islami Majalah Annida


Nasional


2004







Juara I Lomba Menulis Novel Penerbit Gema Insani Press


Nasional


2005

24.


Syamsa Hawa/FLP Bekasi


Penghargaan Penulis Muda Indonesia Unicef & YKAI


Nasional


2005

25.


Tasaro (Taufik Saptoto Rohadi)/ FLP Jawa Barat


Juara I Lomba Menulis Novel Milad FLP ke-8


Nasional


2005







Pemenang Harapan 2 Lomba Penulisan Skenario Film Cerita Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan naskah berjudul “Bubat”


Nasional


2006







Pemenang Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga


Nasional


2006







Juara I Lomba Menulis Novel Milad FLP ke-8


Nasional


2005

26.


Yuniato (FLP Sumatera Barat)


Juara I Lomba Resensi Buku Tingkat SMA se-Jambi


Provinsi


2005

*Belum lengkap, data masih terus di-update

LAMPIRAN 2 (Lampiran ini diambil dari Data FLP)

TRADISI ITU BERNAMA ANTOLOGI CINTA Bermula saat Helvy Tiana Rosa mengenal Gola Gong (Penulis yang terkenal dengan “Balada si Roy” di majalah Hai). Mereka berkolaborasi dalam buku berjudul Nyanyian Perjalanan (Syaamil Cipta Media, 2000). Separuh honor buku itu diberikan buat anak-anak jalanan.

Teman-teman perempuan pengarang dari FLP Aceh yang berusia di bawah 27 tahun melakukan hal yang jauh melebihi itu. Mereka membuat buku bersama dengan judul: Doa untuk Sebuah Negeri (Syaamil Cipta Media, 2000). Seluruh royalti yang mereka terima, mereka sumbangkan bagi para janda korban DOM, juga untuk membangun kegiatan sosial FLP di Nanggroe Aceh Darussalam.

Lalu tahun 2000, ketika pengurus Forum Lingkar Pena mendengar kabar tentang Pipiet Senja, serang penulis prolifik yang sakit-sakitan, lahirlah antologi cinta berikutnya di FLP, berjudul Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2001). Waktu itu belasan penulis menyumbangkan cerpen mereka. Seluruh hasil penjualan buku dibayar di muka dan semua dipersembahkan untuk Pipiet Senja yang waktu itu akan menjalani operasi.

Berlanjut saat Ibnu HS, yang kala itu menjadi Ketua FLP Kalimantan Barat, menginformasikan bahwa seorang sastrawan nasional yang pernah dipuji HB Jassin tahun 1950-an kini hidup dengan cukup memprihatinkan. Yusakh Ananda yang sudah berusia 65 tahun itu harus menyambung hidup dengan berjualan es di depan sebuah SD negeri. Kami di FLP perih sekali mendengarnya. Yusakh Ananda seorang sastrawan terkemuka, mengapa tak ada yang memperhatikannya dengan pantas bahkan di daerahnya sendiri? Teman-teman FLP sepakat untuk lagi lagi membuat buku "keroyokan". Belasan orang kembali menyumbangkan cerpen mereka dalam Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002). Uang itu pun dibawa Ibnu ke Pontianak untuk modal usaha Pak Yusakh. Alhamdulillah. Memang tak seberapa. Tapi ada bahagia yang bertebaran.

Bersamaan dengan itu, Palestina semakin bergolak. Para pengarang FLP di berbagai kota, termasuk yang sedang kuliah di Mesir sepakat membuat antologi bersama yang akan dipersembahkan untuk Palestina. Melalui Mer-C, royalti yang berjumlah 8 juta rupiah dari antologi Merah di Jenin (FBA Press, 2002) itu, kami sumbangkan untuk dibawa ke Palestina.

Cinta yang besar dalam uang yang mungkin sangat tak seberapa. "Antologi cinta" akhirnya menjadi tradisi di Forum Lingkar Pena--organisasi kepenulisan yang berdiri tahun 1997 ini. Cinta menjadi dasar para pengurus dan anggota untuk menyumbang. Dan ketika uang kami terbatas, kami tak lagi menyumbang dengan uang. Kami menyum-bang dengan cerpen.

Suatu hari, sampailah kabar duka cita itu. Agustrijanto, pengarang muda berbakat dari FLP Bandung, ditinggal wafat oleh sang istri ketika istrinya tersebut melahirkan anak mereka. Sang anak yang tak beribu pun masih mempunyai sangkutan sekian belas juta rupiah di rumah sakit. Agustrijanto tak pernah meminta FLP membantunya. Atas inisiatif sendiri, teman-teman di FLP menyumbangkan belasan cerpen mereka dalam antologi Sahabat Pelangi (Lingkar Pena Publishing House, 2005) dan 17 Tahun (FBA Press, 2005), untuk mendapatkan dana belasan juta rupiah.

Begitulah tradisi di FLP. Tak cuma untuk menolong seseorang atau masyarakat. Untuk menolong FLP sendiri kerap dibuat antologi bersama ini. Milad FLP ke-5 dan seterusnya, ada antologi milad. Inilah antologi sumbangan para anggota FLP, agar milad bisa berlangsung. Untuk Musyawarah Nasional I dan milad VIII FLP kemarin (2005) misalnya, teman-teman juga membuat beberapa antologi cinta. Beberapa antologi cinta untuk FLP adalah Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002), Ketika Cinta Menemukanmu (Gema Insani Press, 2005), I Love You So Mad (Lingkar Pena Publishing House, 2005), Blind Date (Cakrawala Publishing, 2005), Ujilah Cinta Itu (FBA Press, 2005).

Saat tsunami melanda, teman-teman FLP berhasil membuat lima buku antologi cinta bekerja sama dengan banyak penerbit. Uang royalti sekitar 40 juta, Januari-Februari 2005 langsung disumbangkan untuk korban tsunami Aceh. Padahal bukunya baru terbit setelah itu. Alhamdulillah, FLP bisa menjalin persahabatan juga dengan kawan kawan penerbit yang selalu percaya pada kami. Kelima antologi itu: Perempuan Bermata Lembut (FBA Press, 2005), Addicted 2U (Lingkar Pena Publishing House, 2005), Jendela Cinta (Gema Insani Press, 2005), Menyisir Rindu (Cakrawala Publishing, 2005) dan Surat Buat Abang (Senayan Abadi, 2005)).

Di luar itu ada juga antologi FLP Aceh sendiri: Hati yang Terpisah (Syaamil Cipta Media, 2005). Antologi ini ditulis bersama oleh enam anggota FLP Aceh sebelum tsunami. Tiga di antara mereka meninggal karena keganasan tsunami.

Tradisi berlanjut saat FLP mendengar Gito Rollies, seorang musisi yang memiliki kepedulian pada Kampanye Membaca FLP, menderita sakit. Antologi Badman Bidin (Lingkar Pena Publishing House, 2005) pun hadir dan sedikit membantu pengobatan Kang Gito, begitu biasa beliau dipanggil.

Rumah Cahaya (Baca dan Hasilkan Karya) yang FLP dirikan di berbagai kota juga membutuhkan dana untuk pengembangannya. Lagi-lagi anggota FLP gotong royong menyumbang cerpen yang dibukukan dalam The Story of Jomblo (Lingkar Pena Publishing House, 2004) dan Suami Impian (Lingkar Pena Publishing House, 2006).



*Makalah Diskusi Besar “Forum Lingkar Pena dalam Peta Sastra Indonesia” dalam rangka perayaan 10 Tahun Forum Lingkar Pena diselenggarakan Forum Lingkar Pena di Ruang Serbaguna Depdiknas, Jakarta, Sabtu, 24 Februari 2007.


*Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.


[1] Berikut dikutip tulisan Helvy Tiana Rosa, berjudul “FLP, Penulis dari 100 Kota” yang disampaikan dalam Milad FLP tahun 2002: “Tahun 1997 saya (Helvy Tiana Rosa: MSM), Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Mas­jid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja Indonesia. Percakapan tersebut sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain sebenarnya cukup banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan. Akhirnya yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi penulis. Maka pada tanggal 22 Februari 1997 berdirilah Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima dan saya terpilih sebagai Ketua Umum. Saat itu anggotanya tak lebih dari 30 orang saja. Kami pun mengadakan acara rutin pekanan dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang pakar di bidang tersebut. Kami mengadakan bengkel penulisan secara kecil-kecilan dan merekrut anggota baru.

[2] Tanpa publisitas, tanpa kehebohan dan gembar-gembor, FLP telah mempunyai perwakilan di 29 propinsi dari Aceh hingga Papua dengan 43 cabangnya di berbagai kota di seluruh Indonesia. Ini barangkali sudah memenuhi keterwakilan daerah sebagai syarat untuk pembentukan sebuah partai politik.

[3] Helvy Tiana Rosa, Ibid. Menurutnya, dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 di antaranya menulis secara aktif di berbagai media. Ke-500 orang ini berusaha membina 4500 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula. Selama tujuh tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah menerbitkan sekitar 400 buku yang sebagian besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja dan cerita anak. Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian ini memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati.

[4] Periksalah sejumlah buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SLTP atau SLTA. Di sana kita akan menemukan begitu banyak materi linguistik dengan penekanan pada teori-teori kebahasaan, dan bukan berorientasi pada bagaimana siswa mempunyai keterampilan menggunakan bahasa. Materi pelajaran sastra lebih parah lagi. Selain itu, jumlah jam pelajaran yang begitu minim untuk materi sastra dibandingkan untuk materi bahasa merupakan problem yang lain lagi yang terjadi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Dalam jumlah jam yang begitu minim itu, di sana, siswa lebih banyak dijejali teori-teori sastra dan pengetahuan sejarah sastra ketimbang disuruh bergaul secara apresiatif dengan karya. Segala masalah itu kemudian bermuara pada pertanyaan-pertanyaan Ujian Nasional yang menyuruh siswa menjawab pilihan A, B, C, D, atau E. Belum lagi menyangkut pertanyaannya yang dalam beberapa kasus cenderung menyesatkan. Maka, usaha untuk menjadikan siswa keterampilan berbahasa dan dapat meningkatan apresiasi siswa terhadap karya sastra, makin jauh panggang dari api. Itulah yang terjadi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah selama ini.

[5] Keprihatinan Taufiq Ismail atas kondisi buruknya minat membaca, lemahnya keterampilan menulis, dan surutnya apresiasi sastra di sekolah ini kemudian disambut positif oleh Depdiknas dengan diberikannya kewenangan Taufiq Ismail untuk membuat program yang dapat memecahkan keadaan tersebut. Lahirlah kemudian Program Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) bagi guru-guru bahasa Indonesia di SMU dari seluruh pelosok Tanah Air. Berdasarkan pengalaman selama menjadi salah seorang instruktur MMAS sejak tahun 1997, dapatlah disimpulkan, bahwa problem pengajaran bahasa Indonesia di sekolah bersumber dari kurikulum nasional yang muatannya lebih banyak pada materi lingusitik. Pelajaran Bahasa Indonesia seperti mengandaikan bahwa siswa dipersiapkan sebagai linguis –ahli bahasa. Penjejalan tata bahasa dan teori-teori menjadikan pelajaran bahasa Indonesia begitu rumit, menjemukan, dan menakutkan.

[6]Terbukti pandangan ini apriori dan salah. Berikut saya kutip lagi pernyataan Helvy Tiana Rosa tentang sifat dan keanggotaan FLP. “FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama. Mayoritas anggota FLP memang muslim, namun tingkat pemahaman keislaman mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah. Anggota FLP termuda saat ini (2004: MSM) berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. "Muda" dalam FLP lebih ditekankan pada aspek semangat, bukan usia, meski kebanyakan anggota FLP memang berusia sekitar 15-25 tahun. Namun sejak awal tahun 2004, beberapa FLP wilayah, sebut saja DKI, Jawa Barat dan Kaltim membuka khusus “FLP Kids” untuk anak berusia 6-12 tahun.”

[7]Direktris Eksekutif Majalah Horison, Ati Taufiq Ismail pernah menceritakan pengalamannya waktu diselenggarakan acara SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya) di Aceh yang waktu itu membawa sastrawan terkenal Rendra, Taufiq Ismail, Helvy Tiana Rosa, dan Jajang C Noer. Di hotel tempat menginap rombongan Horison, segerombolan remaja datang ke sana. Ati Taufiq Ismail menduga, bahwa para remaja itu akan meminta tanda tangan penyair besar Rendra dan Taufiq Ismail. Ternyata dugaannya salah. Secara histeris, gerombolan remaja itu begitu antusia datang ke sana semata-mata ingin jumpa dan mendapat tanda tangan Helvy Tiana Rosa. Ternyata lagi, sosok Helvy adalah idola mereka. Dalam kegiatan yang sama, hal itu terjadi lagi di Madura. Ketika saya berkunjung ke Pesantren Al-Amin di Pamekasan, Madura, sejumlah santriwati yang menjadi anggota FLP begitu besar keinginannya untuk dapat berjumpa dengan Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa yang sudah sangat mereka kenal lewat karya-karyanya. Motivasi mereka menjadi anggota FLP, selain ingin menjadi penulis terkenal seperti yang diperlihatkan kedua kakak-beradik itu, juga agar bisa berjumpa dengan keduanya. Beberapa mahasiswa saya di Universitas Indonesia, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, dan Universitas Pakuan Bogor, sampai sekarang kerap bertanya, kapan saya dapat mempertemukan mereka dengan Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Bahkan, beberapa di antaranya –sampai kini—masih juga tak yakin, bahwa saya mengenal baik kedua kakak-beradik itu. Mahasiswa yang tak yakin itu ternyata begitu mengidolakannya. Ketika saya bertanya, mengapa mereka mengidolakan mereka, dan bukan mengidolakan sastrawan yang lebih senior atau selebritas atau bintang sinetron yang sedang terkenal, mereka menjawab, bahwa karya kedua sastrawan itu sangat menyentuh perasaan. Mereka juga melihat sosok keduanya sebagai citra ibu rumah tangga yang ideal. “Allahu Akbar!”

[8]Militansi yang saya maksudkan di sini adalah ketangguhan dan keras hati dalam memperjuangkan kemanusiaan melalui kegiatan menulis—mengarang dan menerbitkan buku. Sikap militan untuk menjadi penulis terkenal, meningkatkan harga diri, menunjukkan kualitas dan eksistensinya agar tidak direndahkan orang lain, serta berbagai alasan lain yang melatarbelakangi –dan sekaligus mendorong—memotivasi mereka menjadi anggota FLP diungkapkan dengan sangat mengharukan oleh anggota FLP Hongkong, para buruh migran Indonesia di Hongkong. Periksa Pengantar Asma Nadia dan lampiran yang terdapat dalam antologi cerpen Hongkong, Namaku Peri Cinta (Depok: Lingkar Pena Kreativa, 2005), hlm. v—xxiii.

[9] Ingatlah apa yang telah dilakukan para penyair Pujangga Baru. Lewat Majalah Poedjangga Baroe, Sutan Takdir Alisjahbana, kakak-beradik Sanusi Pane dan Armijn Pane, dan Amir Hamzah, berhasil membangun semacam gerakan estetik sastra (puisi) Indonesia yang menolak bahasa yang mendayu-dayu dan klise, kehidupan dunia supranatural dan istana sentris, serta segala yang dianggap berbau sastra lama. Berkat beberapa sastrawan itulah, sastrawan lain yang karyanya dimuat Poedjangga Baroe, secara umum seperti sangat dipengaruhi oleh gaya kepenyairan Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan. Ingat pula sastrawan Angkatan 70-an yang mengusung “kembali ke akar kembali ke tradisi” seperti punya kesadaran yang sama untuk menggali akar tradisi kultur etnik. Jadi, yang dilakukan mereka adalah gerakan estetik, dan bukan sekadar gerakan massal. Oleh karena itu, gerakan FLP selain perlu tetap mempertahankan penambahan jumlah anggota dan perluasan wilayah jangkauannya, peningkatan kualitas karya perlu menjadi salah satu agenda ke depan. Hanya dengan cara itu, FLP akan ikut memainkan peranan penting dalam mewarnai gerakan estetik sastra Indonesia.

[10]Inklusivisme FLP dalam soal agama tampak ketika FLP menyelenggarakan Sayembara Novel FLP 2005. Pemenang kedua sayembara itu jatuh pada novel berjudul Gadis Kunang-Kunang karya Olyrinson, sastrawan muda Riau (baca: Melayu) keturunan Tionghoa beragama Kristen. Olyrinson sendiri menyatakan bahwa FLP adalah komunitas yang keanggotaannya terbuka untuk setiap orang dan tidak ada kaitannya dengan persoalan agama, etnik, dan usia. Periksa kembali catatan kaki 6.

[11]Citra dan gengsi positif kaum remaja ini diekspresikan dengan kebanggaannya menjadi anggota FLP. Di Pesantren Al-Amin, Pamekasan, Madura, misalnya, mereka yang tidak menjadi anggota FLP dianggap sebagai orang yang kurang gaul. Menjadi anggota FLP seperti “gaya hidup”. Belum menjadi anggota FLP, barangkali sama dengan remaja perkotaan yang tidak punya HP.

[12]Dalam sebuah pelatihan cerpen yang diselenggarakan FLP beberapa waktu yang lalu, di luar forum saya bertanya pada lelaki paruh baya alasan dan minatnya datang ke pelatihan itu. Ternyata dia cuma mengantar anaknya yang duduk di SMP untuk ikut pelatihan itu. Dikatakan pula, bahwa dia menyuruh anaknya untuk menjadi anggota FLP. Saya pikir apa yang dilakukan orang tua itu untuk menyuruh anaknya menjadi anggota FLP sebagai representasi pandangan positif orang tua tentang FLP. Jadi, bukan lagi masalah jika keanggotaan FLP dikenai iuran Rp 2.500,00 jika masyarakat sudah punya pandangan positif yang seperti itu.

[13] Visi FLP adalah membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. Helvy Tiana Rosa, Ibid.

[14]Dalam beberapa kali menjadi juri lomba penulisan cerpen atau novel yang diselenggarakan berbagai lembaga penerbit, institusi atau lembaga pemerintah, selalu ada pemenangnya yang berlatar belakang anggota FLP. Tentu saja ini dapat juga dijadikan indikator, bahwa FLP telah berhasil mengantarkan anggotanya menjadi penulis potensial yang berkualitas. Hingga kini FLP telah mencatat, bahwa dari sekian ribu anggotanya itu, 153 adalah pengarang produktif. Dari 153 pengarang itu, 21 di antaranya telah menghasilkan penerbitan buku di atas tujuh buku, dengan Asma Nadia berada di urutan pertama (44 buku), berikutnya Afifah Afra Amatullah (31 buku), Fahri Asiza (27 buku), Pipiet Senja (26 buku), Sakti Wibowo (25 buku), Helvy Toana Rosa (19 buku), Izzatul Jannah (18 buku), Gita Lidya (17 buku), Leyla Imtichanah (17 buku), Nurul F Huda (15 buku), Rahmadiyanti (11 buku), Ekky al Malaky (10 buku), Kazimah Al Muhyi (10 buku), sisanya telah menghasilkan antara 7—9 buku. Lihat lampiran.

[15]Beberapa sastrawan penting seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Gola Gong, Kurnia Effendi, Firman Venayaksa, Olyrinson, Sulaiman Tripa yang karya-karyanya diterbitkan FLP merupakan bukti bahwa FLP juga menghasilkan karya-karya serius dengan kualitas yang menjanjikan.

[16]Winna Karnie –nama pena Winarsih Muhammad Karnie, lahir 30 April 1976 di Magetan. Alumnus SMA Negeri 3 Magetan. Bekerja sebagai buruh migran Indonesia di Hongkong.

[17]Ketua FLP Cabang Hongkong (2005—2006).

[18]Lahir di Tuban, 17 Juli 1977.

[19]Nama pena Fitriana S.L.D. lahir di Jawa Tengah (?) tahun 1977 (?).

[20]Nama pena Siti Rofiah, lahir di Kebumen 1 Maret 1973.

[21] S. Aisyah Z lahir di Madiun, 2 Agustus 1981 dengan nama Susan Dewi –mungkin cerpenis termuda dalam antologi itu. Bekerja sebagai buruh migran di Hongkong. Mantan ketua FLP Wilayah Hongkong.

[22]Gerakan massalisasi seperti itu pernah dilakukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai corong politik Partai Komunis Indonesia pertengahan tahun 1950-an. Jumlah anggota Lekra memang massal karena keanggotaan itu bagian dari keanggotaan PKI atau sebaliknya. Cabang-cabang Lekra juga terdapat di berbagai kota di seluruh Indonesia sebagai bagian dari sub-organisasi PKI. Tetapi, Lekra tidak menghasilkan penulis atau pengarang atau seniman. Massalisasi yang dilakukan Lekra adalah bagian dari rekrutmen keanggotaan PKI. Bahwa gerakan Lekra yang seperti itu, tentu saja dapat kita pahami mengingat Lekra sebagai sub-organisasi PKI yang pendanaannya menjadi tanggung jawab PKI. Jadi jika dilihat dari rekrutmen keanggotaan FLP yang sukarela dan bantuan iuran setiap bulan dari para anggotanya yang kadangkala membayar kadangkala tidak, tentu saja Lekra masih kalah jauh.

[23]Tanpa publisitas FLP ternyata telah banyak melakukan gerakan kemanusiaan dengan cara memberi bantuan atau sumbangan kemanusiaan. Lihat Lampiran 2.


Tags: makalah 10 tahun flp
3 comments share

Blog Entry Nominator CWI 2006 Jan 18, '07 3:46 AM
for everyone
Nah Berdasarkan Informasi yang saya dapatkan dari beberapa rekan yang tentunya dapat dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan,..berikut ini saya posting para nominator Lomba Cerpen CWI 2006 dan para pemenangnya:

Selamat y....

Wayan Sunarta, Dongeng di bukit Batu Bintan
Muhammad Nasir, Rapun
Ragdi F. Daye, Punggung
Rista Rifia Libiana, Perempuan bermata Bidadari
Irene Sarwindaningrum, Digital Dream
Dalih Sembiring, Floccinaucinihipilificatius
Dian Hartati, Kota Kenangan

Rohyati Sofjan, Poli
I Gusti Made Dwi Guna, Boarding
Ina Nur Ratriyana, Kalau Esok Hari Masih ada, Tuhan…
Ajun Kesuma, Harta Karun
Hari Ambari, Nyi Pohaci
Endah Sulistyowati, Tentara di Tapal Batas
Denny Prabowo, Tedong Helena
Iggoy el-Fitra, Abu, Sepenggal Rindu Arafuru
MH Abid, Pendulang Emas (juara 3)
Indrian Koto, Lagu Ombak Kampung Terkurung
Alimuddin, Serambi tak mau kembali ke Abang Indonesia
Nana Supriatna, Sutinah
Azizah Hefni, Pintu yang Terkunci (juara 2)
Joko Nugroho, Benang yang Mencari Daun
Fahruddin Nasrullah, nubuat dari Sabrang
Griven H Putera, Pusara bernisan Duhut Berbunga
Gunawan Budi Susilo, Malam Buta
M Badri, Loktong (juara1)
Marhalim Zaini, Jaring Batu
Wicaksono Surya Hidayat, Tuhan yang Ketiga
St. Fatimah, Malaika, sebuah Firman Terakhir
M Raudah Jambak, Bulan
Widzar al-Ghifary, Untuk Lelaki Harum Rimba
Sucipto bin Rapii, Kisah dari Numfor
Satmoko Budi Santoso, Kuda yang menderap di Kaki Candi

No comments: