Thursday, 11 December 2008

Harta Pinem dkk

AFRION Lahir di Kisaran, 29 April 1963. Rumah Jl. Pematang Pasir Gang. Famili No. 71 Tanjung Mulia - Medan 20241. Nomor Handphone. 0816 312 0974. E-mail : afrionblok@yahoo.com Mulai menulis di media massa tahun 1976 antara lain puisi, cerpen, esay, artikel, dan resensi pertunjukan Aktif berteater mulai tahun 1976. Sempat hijrah ke Jakarta tahun 1987. Bergabung mengikuti latihan teater di Bengkel Teater Rendra dan mendapat kesempatan ikut dalam lakon drama "The Ritual of Solomons Children" yang di pentaskan dalam acara The First New York International Festival of The Art di kota New York. Kembali ke Medan tahun 1989, membentuk Genta Enterprise bersama Ali Jauhari Productions. Mengundang kelompok seni pertunjukan Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C Noer, Ikranagara dan N. Riantiarno Teater Koma Jakarta. Sebelumnya, 1984 membentuk Teater Blok Medan dan memainkan naskah-naskah dramanya antara lain Orang Orang Tercecer (1985), Janin dan Orang Orang Terasing (1986), Dialog Batin (1987), Di Ujung Malam (2002 - 2003), Huma (nyanyian hantu (2003), monolog Orang Orang Tercecer (1986), monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan (2004), Dumen dan Waktu Beku, Kaki Langit di Tubuhku (2005). Kumpulan puisi Gelombang, 1985, diterbitkan CV. Kencana Ungu Medan. Sangsi, 1987, CV Sinar Agung Medan. Nyanyian Jiwa, 2003, Politeknik Negeri Medan. Waktu Beku, 2004, Laboratorium Sastra Medan. Antologi puisi Amuk Gelombang, 2005, Star Indonesia Productions. Ragam Jejak Sunyi Tsunami, 2005, Balai Bahasa Medan. 1 Bahorok Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan Pekik yang merajam dendam di tanah bebatu yang kerap kita lalui berlompatan ranting pohon puncak bukit menghadap hutan gundul membangunkanmu yang lelah menyaksikan tapak-tapak kaki pembalakan mengupak-ngapik tanah runtuh Airlah ia yang datang tiba-tiba diciptakan ruh dari padanya batang kayu bersampan-sampan ke dalam hidupmu seketika tak kau jawab langit runtuh matikah? Berhamburan mata air illegal logging sepanjang hutan Bukit Barisan berapakah usiamu kini? Lihat betapa sesak nafasmu menunggu sepanjang terang menghitung bencana tak jera-jera merenggut anak dalam buaian tak ingin lekas pulang menghadap Tuhan Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan jadi gurita mencengkram nyawa 2004 2 Kota Batu Di kota bertumbuhan kesombongan tanah merekah memekik amarah membabat rumput dan daun-daun jadi batu baru bertingkat-tingkat menggapai langit Tak ada bangga selain keluh kesah menutup beban sejarah setiap sudut menjadi bocah melukis cahaya batang pohon bergulingan di atas marmar - lantai keramik menerbangkan layang-layang menyaksikan ruang terhina bangunan tua Runtuhlah bangunan tua itu berdiri di antara dinding batu baru diremuk hawa panas dan debu bertahun tidak bersisa ruang meleburkan diri bersama kisah bergulingan di atas rumput Celakalah kesombongan membiarkan yang lain sakit dirajam sesak nafas berhari-hari udara kotor di tabur pendurhaka kota membiarkan pencemaran menjadi semak Berapa rupiah sudah kau habiskan? Kota bertumbuhan batu-batu baru sungai berlumpuran limbah aku pun tak ingat entah sudah berapa kali mengantar jenazah 2004 3 Toba Samosir I Dulu pernah kujelajah berapa pinus tumbuh puncak bukit dengan daun dan bunga mengembang pinggiran danau hijau membentang lalu air membawaku berkeliling begitu jernih begitu bersih Menelusuri jalan berangin-angin mengitari tanah bertingkat, sawah, dan wangi daun bersama basahi tubuh, selalu gemetar merasa dingin menikmati sekumpulan ikan bunga-bunga sepanjang jalan melantunkan bunyi; Boraspati - Boraspati pada peta abadi menenun ulos pengantin tak merasa lagi dingin menziarahi makam atau membarakan perapian menghangatkan tubuh menghias langit tujuh pelangi mendongengkan orang asing datang berkunjung berganti-ganti lalu pergi membawa ulos pengantin Boraspati lenakah tidurmu dalam kabut puncak bukit daun yang tak lagi remaja berbunga-bunga melantunkan kenangan yang kini terlupakan terhina dan terlunta Tanah maha luas dulu pernah kuhitung berapa pinusmu debit air dan wajah ikan berkejaran 4 II Kini di antara jejak tapak kaki tak kulihat pinus tumbuh berlapis-lapis atau tubuh lelaki kekar memanjat pohon Selain luka panas tanah membakar tak ada tersisa dingin angin cahaya kunang-kunang menembus gelap dan anak-anak ikan berkejaran ke pantai Tak ada pantai karena bangunan menjorok ke danau ikan mati dilimbah racun pinus habis menggelandang Menyaksikan retak tanah disapu angin membawa daun-daun kering pada setiap butir batu nyanyi pilu anak-anak di tubuh berdebu sudahkah kau dewasa? Menyaksikan tanah moyang dijarah puluhan kerambah ikan orang asing mengapung limbah pelet menjadi lumpur racun di dasar danau Menyaksikan batang kayu ditebangi bertahun-tahun menjelmakan kerawanan menjadi kiamat yang tak tercatat Sudahkah kau berpikir dewasa menuliskan sebaris riwayat menutup luka? 5 III Akan kunyanyikan padamu tentang tanah negeri dan semak kuburan sukma yang luruh di setiap sudut mendongengkan sejarah makhluk raksasa menjaga hutan sampai ke akar ke puncak ubun Melintasi kota sepanjang hari mengikut jejak demonstran meski gemetar keluar dari tubuh keriput karena ancaman senjata dan palu godam pengadilan Menyisir petaka menampung mata air, menjelmakan sungai menuju danau, lalu istirah membiarkan tubuh basah menulis tanah dan air rintik hujan menyeka rambut dan mata Akan kuperdengarkan pula bisik Boraspati menyusukan anak-anaknya dari getah pohon pinus beratus tahun minum dari liur ikan juga kepadamu akan kuberi ciuman sepasang pengantin melahirkan putik bunga mengambangkan daun, buah masak Tapi sudahkah kau cukup dewasa atau tua hanya pandai mereka-reka? 6 IV Air keruh, bau, dan kotor menggegaskan langkah mengakhiri penjelajahan karena tanah kian gaduh pohon gundul, hilang tempat berteduh Kenangan lalu menjerat ketakutan pada tubuh sekarat bahkan tanpa nyawa di pinggir pantai berbatu mengutip sampah pembawa maut Danaumu - danaumu oh raja dan datu-datu yang kau jaga siang malam mendendangkan lagu keindahan tanahmu menjadi hina dan terlunta-lunta V Apakah menjadi sia-sia tubuhku melontarkan amarah anak sorga dibungkam dengan hukum dan palu godam Aku atau kitakah tak berdaya melawan segala khianat menyeka bau udara lembab Sebab besok adalah kematian ditumpangi malaikat menutup muka dalam sedih yang hitam sakit yang mencekam 2005 7 Deknong (airmatamu riwayat duka Aceh) 1. Laut menggemuruh menggunung ombak datang bergelombang Di tengah pagi menghantam daratan menyapu jiwa - melayang - hilang senyap suara-suara menyayat mendekap tangisan meratap Seperti murkanya alam maut datang dari laut bagai melepas dendam tangannya mencengkram ribuan nafas kemudian seketika raib ke samudera lalu nampaklah di tengah puing berserakan puluhan tubuh bergelimpangan Langit memayungkan duka air mata kutulis syair menjadi prosa kutulis pilu tangis membanjir puisi luka puisi duka maha dahsyat luka maha dahsyat duka Maha bijak Allah! 8 2 Kau pun tahu, Deknong begitu tak berdayanya kita di tengah amuk perang dan politik dunia di tengah amuk senjata dan mortir penguasa taklah gelombang sekejam itu meratakan tanah huma Berhentilah mengenang anak-anakmu atau menghitung kesalahan masa lalu Pagi ketika maut dijemput laut biarkan senyum menebar wajah antara hidup dan mati alangkah dekatnya kita meski membayang derita menghantam sepanjang riwayat tanah Aceh Kehendak pengetahuan tak sampai membangunkan kesadaran pikiran berhentilah menangisi gelombang menyaksikan riak air, batu, dan pantai berpasir Jika dikenang begitu jauhnya ujung pulau lalu laut mengkafani jasad menghilang ke negeri lain antara langit, daratan, dan perasaan melumpuhkan hari-hari berkabung menghitung satu dua pertempuran maka biarkan laut menjemput maut biarkan mereka tidur melepas lelah di sisi Allah 2005 9 Resah (tentang sebuah negeri) Berpuluh resahku menghambur ke pucuk kalbumu lahir berpuluh gundah - berpuluh gelisah berpuluh rumah dan kanak berselimut kain belacu Istana bagi semua - mengalir airmata tetesnya menusuk jantung - hati dan paru debar menyesak - menghantam tengkuk kepala kemana membawa pikiran - sedang tanah tandus beratus luka perempuan-perempuan Adalah ibuku berkisah tentang sebuah negeri bertumbuhan kepalsuan; Sekumpulan orang meniup sangkakala sementara ibu di tengahnya mengelus hiba merangkul amuk manusia pinggiran bangun dari tidur - melihat jalanan terbakar minyak bertumpahan - nafsu merubah kehidupan Bumi dilamun petaka prahara menghancurkan hati - tanah dan air dikubangan kota - mengiris hati - menghentak langkah memamah kenakalan sejarah siapa meneteskan mata air padahal di mimbar kerakyatan langit berkabut lalu antara bayangan memanjang melewati negeri gelap gulita - segala menghilang membentang khianat tanah huma tanah dari negeri menangiskan mimpi-mimpi 2004 - 2005 10 Bumi (di tengah musim) Jika menjadi ibu di kepalanya penuh kunang-kunang Jika menjadi abu habislah sudah cahaya kehidupan Jangan pernah tak bertenaga membuka suara membentang pergolakan - mengabarkan perilaku tentang tangis dan penindasan berpuluh gundah - hak dinistakan kehidupan ditelantarkan terbuang jadi debu di tengah musim; masa suram Setelah amuk perang, senjata, dan pembodohan jadi lorong labirin - tenggelamkan sejarah peradaban bumi dikelilingi dataran rumit penuh sukacita pecahan tabung kaca lalu pesta jumpalitan melepas lelah, tidur dangan kemenangan Pada selembar surat yang kutulis pandanganku teriris-iris Bahwa aku menghempang kematian menjadi abu atau menjadi patung batu monumen sejarah berziarahlah membuka sejarah kota dan kehidupan kugantikan pisau batu dengan baja bermata seribu 11 Setajam bibir ombak menguras pasir di pantai sesekali ke tengah berenangan dengan angan-angan menjadi beribu pisau pisau-pisau peradaban kebudayaan 2005 Langkah Mendaki jalan-jalan - tanah rumputan kaki telanjang nyeri menggapai-gapai gapaiku gapaimu di puncak langit biru Jalan-jalan bebatuan - mata bersimbah darah hidup di angin apa dengan perut keroncongan Aku inikah bumi tak sampai-sampai langkahku mencapaimu lelah mencari telaga di tanah kering Gapaiku gapaimu tak sampai-sampai bertemu 1986 - 2005
12
Dunia Bayangan kita memutus barisan di kerajaan angin kutu dan kecoa di daratan berlupaan lupa segala yang tiada, ada yang membenam hati dan jiwa penuh kelancangan yang bergelayutan di kafir puncak kota-kota jadi pelacur jadi anjing kekuasaan jadi rebutan 1987 - 2005 Laut Telah dikabarkan riwayat gelombang melekat di tanah menghitam Jika dikenang begitu dekatnya kita bertempur dengan maut antara hidup dan mati Maka biarkan laut menjemput biarkan aku menidur melepas lelah di sisi Allah 1990 13 Maut Ada malaikat meneteskan gerimis ada wanita tenggelam di langit jangan menangis menahan sakit meski waktu datangkan perih lalu maut memungut sisa nafas kita Khuldiku Lelah sukmaku lepas sukmamu cemas penghabisan di segala muara masuklah-masuklah silahkan kau rebah jatuh karmaku jatuhlah Cahaya adakah cahaya membenahi keterlanjuran yang tercipta sejak lama? Khuldiku jemputlah dosa kita itu kiamat jatuh sepanjang dunia tempat adam dan hawa samsara 1985 - 2005 14 Demi Bumi Jangan letakkan hukum di bawah bantal dalam mobil mewah berwarna hitam pekat yang tak bisa kutandai entah simpang mana menuju jurang jejak kaki nyeri pada kulit mata berkunang sepanjang jalan selalu kalah di tikungan Setiap muara berhenti di laut logam berat melebur lewat tailing setelah lalui meja dan kursi duduk bersandar membuka jendela membersihkan kemeja membungkam suara menerka-nerka warna seperti buih menepi menampar karang pasir pantai jejak hilang meninggalkan bau karatan Lelakiku tertinggal jauh selalu kalah di tikungan jalan ke mana perginya orang-orang itu? Menjelajahi bumi menyisir udara, tanah, dan air sedimentasi mengancam Timika limbah muara Otakwa ke laut Arafura merenggut jiwa Amungme, Komoro, Dani, dan Ekari Merkuri, Arsen, Sianida, dan Tembaga logam berat pencemar Teluk Buyat di Sulawesi Utara rintihan korban Tembaga Pura, Rampa, dan Teluk Jakarta raib entah ke mana 14 Penebangan hutan Ladia Galaska Illegal logging di Kalimantan dan Papua sama parahnya menggelandangkan pinus ke Porsea Kalau tanah menjadi debu debu menjadi abu abu menjadi udara kotor udara kotor menjadi panas panas menjadi uap air uap air menjadi gas gas mencemari angkasa di angkasa lapaisan ojon menganga lalu sepanjang perjalanan waktu senantiasa menghitung maut menggali makam sampai tenggelam abadi lebih abadi dari matahri 14 Jones Gultom Lahir di Perbaungan 26 Oktober 1982. Tulisan- tulisannya berupa puisi, cerpen dan artikel budaya diterbitkan di sejumlah media cetak dan nasional. Di antaranya Analisa, Waspada, SIB, Mimbar Umum, Sumut Pos, Kiprah, Harian Sumatra, Medan Bisnis, Suara Pembaruan, Majalah Salus, Suara Hati dan Menjemaat. Berkesenian di beberapa kota di Indonesia antara lain, Yogyakarta, Lampung, Jakarta, Pekanbaru dan Medan. 15 Bulan di atas toba dari dolok ke dolok aku menyusuri bayangmu setiap kali kutemukan jejakmu selalu ada yang tertinggal bula di atas toba seperti Tuhan yang sedang berkaca senyumnya luka- luka yang indah di atas toba bulan tak pernah mati meski di tanah ini mendung selalu menggantung memasung hariara, hoda, anggir hingga tak lagi bertuah dari dolok ke dolok di antara pinus dan hariara aku menyusur bayangmu yang tersangkut di antara gundukan enceng gondok seperti Li Tai Po kau pun mengajakku bersidekap 2005 Hutan Gugur di gerbang rimbamu kau menyambutku dengan nyanyian chainsaw dan deru pohon yang berjatuhan aku pun ragu melanjutkan perjalanan! 2005 16 Di Toba Aku Berpulang Telah kutaburkan serpihan jiwaku ke dasarmu toba Hantarkanlah pada Nan Tinjo si penjaga tao Hanya itu yang bisa kuberikan Sisanya secuil nyeri dan sakit hati Melihat hutanmu tak lagi menyisakan ranting bagi leang- leang mandi Melihat airmu yang berlumpur Sengaja kubakar dengan dupa dan kemenyan Bair aromaku merajai tubuhmu Kelak angin dolok menyeretnya ke hulu Mengetuk- ngetuk setiap pintu! 2005 Kabar Dari yang Berebahan Kayu yang berebahan di gerbang pintu Mengucap salam padamu Tentang penjarahan besar- besaran tadi malam ; mereka membawa traktor, buldozer dan chainsaw mereka juga membunuh anak- anak kami lalu menunjukkan luka- lukanya kabar dari hutan siapa yang tahu kabar dari rimba siapa yang mau tahu bila di balik itu ada yang lebih menggairahkan! 2005 17 Nyanyian Burung yang Hutannya Hilang Rimba Kusaksikan di antara ranting dan dedaunan Burung- burung kehilangan cengkeraman Menggantung di udara Karena hutan telah kehilangan rimba Di udara burung- burung tak henti berkepak Sayapnya mulai terbakar Dan gugur satu persatu Burung- burung melengking Mencoba menghentikan auman cainsaw Hanya udara yang mendengarnya Sementara di sebelah sana orang sibuk menghitung angka- angka 2005 Temaram Rebah di Toba Matahari patah Ketika temaram rebah di dadamu Aku mengayuh perahu sampai jauh Sampai lapuk biduk dan robek layarku Menuju ujung jubahmu Yang kau ikatkan di perahuku Toba adalah airmata para dewa Dan aku terombang- ambing di atasnya 18 Bandang Terima kasih telah kau ingatakan kami akan serakah ini! Tsunami Tolong kirim yang lebih dahsyat lagi Biar dunia tahu Di Indonesia banyak anak yang memperkosa ibunya! Mengungsi ke Kepala Karena tak ada tempat Gajah, harimau, monyet burung, ular pohon- pohon Mengungsi ke kepalaku Lantas beranak- pinak Menjelmalah kepala menjadi hutan rimba Aku memang tak punya bahtera Seperti Nuh Tapi aku punya jiwa Bagimu Hutanku! Inilah kelemahanku! 2005 19 Surat dari rimba untukNya Katakan padaku siapa yang menyembunyikan surat itu Hingga Dia tak pernah tahu kabar kami di sini Lalu murka mengirim bencana Sejak dulu kami rajin mengirim surat Walau aku ragu sampaikah ia padaNya Sebelum akhirnya bencana Dan kami sadar tak sekalipun ia pernah membacanya Lalu siapa yang menyembunyikan surat itu? 20 M. Raudah Jambak Lahir di Medan, 5 Januari 1972. Aktif diberbagai kegiatan seni sastra dan budaya. Selain menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Ia dikenal sebagai aktor dan sutrdara teater. Tahun 1993, melakonkan Tessemata di Open Stage TBSU. Tahun 1994, Sang penyair di Open Stage TBSU. Tahun 1995 mengikuti PEKSIMI-NAS III di TIM Jakarta, membawa naskah Abrakadabra. Tahun 1997, menampilkan Menyibak Tirai Masa Depan di Pardede Hall. Tahun 1998, membawa Petang di Taman. Tahun 2000, melakonkan Tragedi Al-Hallaj di Tiara Convention Hall. Tahun 2001, Kecubung Pengasihan di TBSU. Tahun 2002, menampilkan lakon Jodoh di TBSU. Tahun 2003, Tamu Terakhir di GKJ Jakarta. Tahun 2004, monolog Anjing Masih Mnggonggong di Taman Budaya Banda Aceh. Puisinya diterbitkan dalam antologi Kecamuk ( ), Tengok (.......... ), Seratus Untai Biji Tasbih (....................), Meditasi (..................). Muara Tiga ( cerpen Indonesia dan Malaysia,..............). Easainya dimuat dalam buku 25 tahun Omong-Omong Sastra. Bekerja sebagai guru di Perguruan Panca Budi dan Budi Utomo, serta dosen honorer di Universitas Negeri Medan. Kegiatan lainnya sebagai redaktur budaya di tabloit Media Ummat. Kini tinggal menetap di Kapten Muslim/gang Jawa, lorong Muhammadiyah No. 7 C. Handphone 0815164545. Semboyan hidupnya, jika ingin hidup maka berjuanglah. 21 Di Bawah Rintik Hujan Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan perempuan dengan hujan di serambi sunyi, sunyi hampir malam, malam makin menghitam Dari balik jendela, kau memahami percakapan hujan dengan takdir yang mengalir bersama nadi diri, bersama nurani, padahal takdir sendiri takut kau hadapi Setidaknya kau merangkai kata dalam nyanyian tentang lelaki; atau bunyi cecak dari balik jendela atau kau bisa mengakui; takdir adalah kelam berisik angin yang patah di serambi tapi sampai kini kau masih juga tidak mengerti sebab tak kau sadari ada seorang lelaki yang bersunyi-sunyi diri menggenggam matahari bersama untaian melati Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan, perempuan dengan melati, melati dengan matahari dan lelaki itu dan perempuan itu akhirnya tak sendiri Medan, 2000 22 Rindu Daun-daun Kemana daun-daun itu? sedang kemarau menabur-tabur luka di setiap nyanyian kita : rindu daun-daun angin siang ini, kekasih bertutur pada kembara riwayat kita rindu yang merindu beraroma melati begitu kemaraunya membabat tangis dalam isak sampai angin membawanya pada segala kitapun lunglai asyik dalam nyanyian diri mengharu biru dalam deru rindu daun-daun ke puncak angin ke puncak bianglala menikam pada dada setiap perawan menghujam jantung para jejaka kemana daun-daun itu? Medan, 2000 23 Sepasang Kelinci Suara kelinci betina di kandang suara kehilangan tentang si jantan yang kaku jadi bangkai hawa nafas kurungan jadi rantai ada kehidupan terikat mati ada kematian dalam cengkraman kehidupan sepanjang peradaban Medan, 00-06 Tembang Burung Malam Kau lihatkah burung-burung terbang pada pelukan malam tangisnya semakin dalam; dari senja sampai batas kelam Sayap-sayap berpatahan satu persatu gugur menyentuh bumi Sayap-sayap berpatahan diterbangkan angin pada matahari namun gerimis, tak cukup untuk mengurai tangis kau lihatkah? Medan, 2000 24 Sajak Burung Lelah Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas terkunci di balik pintu kebebasan Dalam jari mencengkram, suaranya beku dalam bius dinding-dinding dingin. Hanya ada biji-biji padi, jagung atau pisang serta minuman penuh ganggang Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas suaranya dan bulu keemasan telah jadi pajangan, di dalam istana para junungan. Ia lupa warna cahaya mentari, apalagi pelangi Tak terdengar kokok ayam hutan jantan di pagi hari dan rinai hujan yang menari Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas kebebasannya telah mati bulu-bulu halusnya jadi tas tangan untuk ibu-ibu dan remaja putri dalam sandangan Medan, ‘01 25 Balada Daun-daun Gugur Di puncak pepohonan ranting patah, dahan patah. Selembar daun jatuh dia tidak melambai ketika angin bertiup karena ia gugur sebelum menguning sebelum tubuhnya mengering kemarau dan hujan telah menjebaknya membius dengan sengatnya, mengguyur tanpa iba menyeret daun ke liang kubur Pepohonan diam, dahan diam, ranting diam, Daun diam, anginpun diam Seperti telah dibungkam Medan, 2000 Nuri dan Musang Seekor nuri menjerit di bubungan atap pekik kerasnya ditelan warna kesunyian seekor musang mengintai di balik kelam mata jalangnya menatap garang menjelma ujung tombak menembus jantung nuri yang tercekik, menggelepar di kebisuan malam Medan, 00-06 26 Masih Merdekakah Kau Indonesia Masih merdekakah kau Indonesia setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya dalam kaleng rombeng, di antara recehan miliknya para pengemis belia yang mendendangkan asap kanalpot dari oplet tua Masih merdekakah kau Indonesia ketika musyawarah berubah dari mufakat menjadi siasat, ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat, ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan, dan ketika para pejabat negara tega-teganya menjadi penghianat bangsa Masih merdekakah kau Indonesia dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya karena matamu telah dibutakan dan mulutmu disekat rapat-rapat, serta telinga cuma sekedar bunga tanpa aroma Masih merdekakah kau Indonesia padahal telah banyak disumbangkan darah dan airmata dari berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar warna luka Masih merdekakah kau Indonesia masih merdekakah? Medan, Agustus 00-04 27 Hutan Dalam Lukisan Aku tahu ada macan dalam hutan ada kera dalam belantara aku tau buasnya hutan rimba Di sana juga ada surga bagi ikan bersinggasana di jernihnya kali dan kerajaan lumut rumput yang lembut dan seperti musafir, tempat para unggas singgah sehabis perjalanan yang lelah. Dan angin di pucuk pepohonan yang menari antara mayang-mayang menggapai langit antara gesekan lantun para daun Aku tahu ada hewan yang bebas dalam lindungannya ada tumbuhan yang beraneka rupa seperti lukisan hutan para maestro dunia karena keindahannya. Tapi yang aku tidak tahu mengapa ada gesekan gergaji kanan dan kiri berbuah gurun untuk generasi penerus negeri sementara kita masih senyum-senyum sendiri. Medan, ‘00 28 Dikotaku Walet Jadi Penguasa Di desa, para sesepuh rapat bersama berdiskusi tentang pengadilan lokasi swadaya tentang tangsi-tangsi pengungsi tentang pengadaan pangan, sandang dan papan untuk para pengungsi, saudara-saudara kita dari kota Di desa, para sesepuh berdoa bersama memanjatkan harapan pada Yang Maha Kuasa bagi penghuni-penghuni yang terusir dari rumahnya mengungsi entah kemana, berkumpul membangun desa bersama-sama Di desa, para sesepuh menggantungkan harapan dan impian, bagi keselamatan diri dari inspeksi virus imbas kota, walet-walet telah jadi penguasa, membangun istana untuk kerajaannya. Medan, ‘00 29 Kepodang Kehilangan Sarang Pada pelepah pisang kepodang biasa memandang sawang dengan tenang Pada pelepah pisang kepodang biasa menyambut fajar yang terang cemerlang Pada pelepah pisang kepodang biasa bersiul masygul Kuning bercahaya bersih bersahaja bulunya melodi pagi sering terdengar nyaring riangnya Tapi, pagi tadi kepodang menyeringai garang. Dia telah kehilangan sarang Kehilangan mangkuk bulu poleng hitam di mata tengkuk, yang kuning keemasan. Kehilangan serangga buahan, sebagai makanan, terantuk sarang manuasi yang tinggi diantara gedung-gedung pencakar langit. Tak ada suaka, sementara deru knalpot membabat lantunnya 30 Di etalase toko sarang kepodang dipajang menantang dengan harga bandrol khusus buat para pialang Di gedung-gedung bioskop, dan stasiun radio dimunculkan nenek moyang para kepodang dengan alunan lagu tembang kenangan Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah kehilangan sarang Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah jadi sejarah dalam kotak kaca sebagai cinderamata antar pengusaha. Dan anak cucu kita hanya melihatnya di musim-musim millenium Medan, ‘01 31 M. Yunus Rangkuti Lahir di Medan, 21 Maret 1966. Alumnus Program Studi Diploma III Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Tulisannya di muat di harian Analisa, Mimbar Umum dan Waspada (Medan), mingguan Swadesi dan Bisnis Indonesia (Jakarta). Puisi-puisinya terangkum dalam antologi bersama, ASA, 1984, diterbitkan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Katarsis, 1987, majalah dinding dan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Dalam Kecamuk Hujan, 1997, sanggar Kedai Sastra Kecil. Indonesia Berbisik, 1999, Dewan Kesenian Sumatera Utara. Muara Tiga, 2001, Dialog Utara IX. 25 Tahun Omong-Omong Sastra, 2002, Satra Leo. Tengok 4, 2003, Arisan Sastra Medan. Aktif mengikuti kegiatan sastra, khususnya di lingkungan Taman Budaya Sumatera Utara, menjabat sebagai Ketua Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan. Kini bermukim di desa Sampali, kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Nomor kontak telepon (061) 6623492. 32 Seharusnya Kita Hidup Makmur di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi dedaunan mengering gugur tapi hutan digundul hancur tapi lahan hijau terus tergusur konglomerat rakus, pejabat tak jujur di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi bencana terus menjulur tapi kemiskinan kian melumpur kita berkubang, lalu terkubur Sampali, Juli 2005 Limbah Limbah poradaban kian mengental dalam darah menjalari sekujur tubuh bersama degup jantung membiak bak riak hujan lahirkan gelembung sesaat bertahan, kemudian pecah limbah kian melarut dalam pagut maut bermuara ke tangis samudera duka seperti embun pagi sejuknya sesaat membasuhi balita kita lahir senyumnya sesaat membahagiai hanya sesaat! Sampali, Desember 2005 33 Limbah (2) Limbah telah menganak sungai melimpah pada muara darah. Orang-orang tak henti menari dan berlari gapai pelangi hingga lelah sendiri limbah kian melimpah mendarah luka memburu pada cumbu semu. Orang-orang tak malu melagu lalu berlalu pacu waktu hingga kaku beku Sampali, Desember 2005 Limbah (3) Limbah cair tambah meruah di air membuncah setiap hari industri muntah. Anyir membaui ikan gobi mati sendiri Limbah cair tak henti menjalari tanah, sungai, danau terkontaminasi seratus juta warga mengkonsumsi limbah cair terus melarut kentali laut biota laut terancam, dalam sampan nelayan muram limbah cair bagai arus menggulung tak terbendung limabelas juta ton setahun, hanya dua juta bisa dikelola. Air, tanah dan udara diperkosa kita-kita tak berdaya saat tubuh kita limbung sebab lambung telah jadi tabung limbah cair terus mengalir, maut terus menggilir Sampali, 2005 34 Maut dari Mulut-Mulut Asap menebar maut menyebar dari mulut-mulut para pengisap akrab merasa beradab merasa tak menyalah, meski gelisah mendera-dera dalam layar kaca tak cela, dalam papan iklan] bak jantan, di bis kota bagai raja bermahkota dari beratus juta batang dibakar asap menebar maut dibalut dalam kemas pantas selubungi racun ganas, tutupi rasa cemas asap maut terus menyebar dari mulut-mulut para penghisap dalam pesona perangkap tawarkan cita rasa, malah hadirkan binasa suguhkan nikmat sejati, justru mempercepat mati Laut Dendang, 2003 Pesta Madu Seribu kumbang dan kupu-kupu berdendang merdu sejuta bunga melambai tari suguhkan madu sebegitu mempesona jangan usik kemesraan mereka! Ini pesta naluri alami, bukan umbar birahi Desember, 2005 35 Ketika Aku datang, Ketika Aku Pergi Ketika aku datang kota berhamparan kehijauan aku masih bocah gamang melangkah pematang sawah serombongan kami bersorak serentak burung-burung pipit terbang berhamburan Ketika aku datang kota bernaungkan kerimbunan aku masih belia senang menyusuri lengang jejalanan sekelompok kami melempar memunguti mangga dan sentul berjatuhan (tahun berganti, kota meramai aku meniti hari, hingga lelah sendiri) Ketika aku pergi kota kian sesak bebangunan aku telah menua bimbang melangkah persimpangan hamparan kehijauan ditelan deru pembangunan pipit menjerit gelisah kehilangan sawah sejuta walet pongah seliweran meresah mangga dan sentul telah lama tak berbuah Ketika aku pergi kota bertebaran sesampahan aku telah letih limbung menanggung beban kesedihan di hati berjanji: tak kembali lagi Sampali, 2004 36 Kisah Kota Megah Inilah kisah dari kota megah: banjir melimpah-ruah, sebab parit ditumpat sampah. Sungai jadi sempit sebab bantaran disesaki bebangunan nyaris tak tersisa keluasan penuh tanaman dan tanah kehilangan akar-akar serapan beton-beton menghunjam ke dasar bumi pipa dan kabel menjalar melingkari bebangunan menjulang gapai awan pepohonan menghilang dari pandangan bebangunan meluas kuasai lahan dedahanan dipangkas, akar ditebas protes selalu ada, proses begitu saja penghijauan dilakukan lewat anggaran sejuta Pinang Merah di pinggir jalan sesaat tumbuh, lalu rubuh tak utuh hilang dari pandang yang tersisa merana sia-sia wargakah tak bertanggung jawab? Atau selalu ada oknum penuh harap? Anggaran kembali turun untuk dilahap! Sampali, 2003 Limbah (4) Limbah tiada bermuara, hanya mengembara lalu kembali meracuni kita-kita Sampali, Desember 2005 37 Tiada yang Liar, Hanya Kita yang Barbar Tiada yang liar dalam hutan terhampar kita sendiri bertindak tak benar memburu penuh nafsu, menebang dengan garang harimau, badak dan gajah melangkah lelah menuju punah. Berjenis unggas terbang gamang hilang sarang gaharu, cendana satu waktu tinggal nama hutan terus dirambah, jutaan batang telah rebah oleh tangan-tangan serakah Tiada yang liar di keluasan hutan terhampar kecuali kita pemburu dan penebang liar kecuali kita yang bertindak barbar Sampali, 2005 38 Rida HR Nama lengkapnya Ridahati Rambey, Lahir 03 April 1983 di desa Asam Jawa, sebuah desa di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. E-mail: arida_01@yahoo.co.id Handphone: 081361462150. Anak ketiga dari enam bersaudara dari ayah yang bernama Amalan Rambey dan Ibu Fatimah Siregar. Hidup dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Menyelesaikan SD tahun 1995, SMP tahun 1998, dan SMA tahun 2001 di Kabupaten Labuhan batu. Tahun 2005, menamatkan kuliahnya di Departeman Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Puisi-puisinya di muat di harian Analisa, di antara Sepi, Lumrah, Ziarah pada Pusara yang Tak Bernama, Buatmu, Puisi Anak Negeri, Atas Nama Rintihan Alam, Padamu Jua. Semasa kuliah, aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, dikenal sebagai seorang aktifis lingkungan hidup yang peduli terhadap pelestarian hutan. Dalam Komunitas Pena Kehutanan Universitas Sumatera Utara (KOMPEN-USU), Komunitas Pembibitan USU (KOMBIT-USU), dan Himpunan Mahasiswa Sylva USU (HIMAS-USU). 39 Di Antara Jengkal-Jengkal Tanah Puluhan tahun negeri berhutan rimba belantara dan satwa di dalamnya menampung air mengalir ke akar-akar pohon daun-daun tumbuh, dan embun menyentuh Namun kini di antara jengkal-jengkal tanah kita berdiri berubah jadi tembok-tembok angkuh memaksa bumi merusak alam memotong ranting dan pohon membuahkan padang gersang dan banjir bandang illegal loging, pertambangan, dan pembalakan jadi bencana Berteriaklah bumiku berteriaklah alamku gncangkan dunia dengan tangismu guncangkan jiwa dengan bencanamu Sebab esok tak ada embun yang datang bergeming di hati tak ada tajuk pohon menaungi karena hati keruh dan penuh debu Kitakah yang diagungkan sebagai khalifah bumi berdiri di antara jengkal-jengkal tanah negeri? Medan, 2005 40 Bahasa Alam Air yang mengalir dari gunung hingga ke lereng-lereng adalah bahasa alam sinar matahari dan angin yang berhembus riuh satwa di belantara adalah bahasa alam Sesungguhnya bahasa alam adalah bahasa aba-aba maka, jika pandai membaca aba-aba takkan mungkin sengsara takkan ada bencana Wahai, kembalilah memaknai bahasa alam untuk damai dan tenang hidup segala makhluk Medan, 2005 Ziarah Pada Pusara Tak Bernama Di bawah rimbun pohon kamboja beberapa helai daun dan bunga jatuh di atas pusara yang tak bernama adakah kau di sana ditemani malaikat berwajah garang atau riang? Aku berharap kau bergelar syuhada dari sang pencipta karena yang aku tahu kau pergi dalam gelombang dan bumi yang berguncang abadi dalam lukisan di tanah ini Medan, 2005 41 Buatmu Bahorok Segala kisah yang kita rangkai tersandar pada luka pada masa yang diakhiri sang waktu berbaringlah pada tidur panjangmu Waktu yang tersisa adalah semai cinta yang harus kujaga dan doa yang harus kulantunkan setiap saat buatmu Kenangan bersama akan terkubur dalam rindu masa lalu dawai-dwai kerinduanku akan menghasilkan nyanyian tanpa isyarat tenanglah di sisiNya Medan, 2005 Dalam Perjalanan Mencari Cahaya Kami adalah buah cemara yang digerogoti dalam perjalanan mencari cahaya di belantara ini Kami hanya bisa mendengar nyanyian asmara cerita kami terpotong-potong dalam kolong sesekali bolehkah kami rindu pada pantai dan teka-teki gemersik pasir Medan, 2005 42 Buat Para Pemimpin Negeri Geliat dan ratapan bocah jalanan gambaran penderitaan setumpuk kesumpekan peradaban yang tercipta oleh sang waktu Berbagai peristiwa mencengkram jiwa, lara keriuhan pikiran terhadap fenomena yang tercipta membuahkan beribu pertanyaan padamu para pemimpin negeri Cahaya apakah yang akan kau suguhkan pada kami adakah ia cahaya matahari yang terangnya hingga ke lubuk hati? Medan, 2005 Celoteh Kura-Kura Aku seekor kura-kura kecil tak tahu kenapa dikurung dalam akuarium tinggal sendiri, dijatah makan hanya sekali karena kecil tubuhku geliatku tak kuat memecah kaca Berkali-kali membenturkan kepala, kukatakan menghiba; lepaskanlah aku tinggal di tepi laut bersama teman-teman bermain di pasir, menggulung riak-riak ombak tapi majikanku tak juga mengerti Medan, 2005 43 Banjir Bandang Air mengeruh berubah warna ini pertanda air menjelma jadi bencana banjir bandang datang tiba-tiba Hanyutkan berjuta jiwa manusia bayi yang ditimang pun kehilangan susu ibunya para remaja pun kehilangan kisah asmara tenggelam duka ditelan masa Tak ada daya Alam marah Tuhan marah Harus lari kemana kehadiratNya pasrah saja kenapa? Alam tak dijaga manusia tak amanah Konservasi didemo milik bersama eksplorasi milik siapa? Medan 2006 44 Harta Pinem Lahir 25 Juni 1958 di Juhar, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo. Pendidikan akhir Sarjana Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia di IKIP Medan, 1987. Aktif menulis puisi, cerpen, esai seni budaya sejak 1986. Karya puisinya dimuat di harian Analisa, Singgalang, lampung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Nusa Tenggara, dan Bali Pos. Sejumlah puisinya turut dimuat dalam antologi Serayu (Purwokerto, 1995), Refleksi setengah Abad Indonesia (Solo, 1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia (Blitar, 1994), Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia 1 (Bandung, 1996), Dari Bumi Lada (Bandar Lampung, 1996), Songket (Pelembang, 1996), Makam (Pekanbaru, 1999), Bumi (Medan, 2000) Bersama puluhan penyair dan pekerja seni atas undangan seniman Mbeling Sutanto, ia turut membawakan pidato kebudayaan di Studio Mendut, Magelang pada 1994. Saat ini ia menjadi staf penyunting dan pengasuh rubrik sastra di majalah bulanan rohani Menjemaat, komsos Keuskupan Agung Medan 45 Kepada Manusia Kami ribuan satwa yang mengungsi dari daerah kelahiran kami sebab hutan yang tinggal sedikit terus ditebangi Kami tak tahu perjalanan hari depan kami raungan mesin sinso semakin akrab dalam pendengaran kami seolah musik pengantar tidur Kami tak takut mati sebab maut kini sahabat setia kami bahkan para alien semakin bergentayangan mengincar hari-hari kami yang bertambah sempit Teruskan, teruskan perbuatanmu wahai sahabat kami manusia tak usah kalian hiraukan gerak hidup kami yang makin terjepit jangan pula kalian hiraukan tentang arti sebuah persahabatan Teruskan menghamba pada kesementaraan tutup telingamu dan jangan asah nuranimu setelah ini Medan, 2005 46 Gerak Tersebutlah kau sebagai rumpun gelagah dikremasi waktu sehabis abad berlalu para hewan perkasa berlalu lalang rayakan jasadmu Di hamparan tanah pekuburan milik semua bangsa tak lagi siapa pun yang dapat lanjutkan kekuasaan di sana sebab alam telah mencabutnya secara paksa Angin meneruskan embusannya sepanjang detik dan jam hujan melanggengkan sedu sedannya bagi bumi yang kini tinggal sebu semata Sungai mengalir deras dengan desirnya menembus semenanjung laut pun bergelombang merayakan kesunyian sepeninggal manusia di bumi tempat kediamannya Medan, 2004 47 Perjuangan Kalah Menang Dan sekawanan singa menggerayang di tubuhku minta daging empuk dan darah segar pemuas dahaga dan lapar yang meruyak di badan Singa-singa itu mendengus dan menggeram dalam aortaku mengoyak-ngoyak dinding kesadaranku Tubuhku jatuh amukannya melebihi hujatan badai Haruskah aku menyerah pada kebuasaannya tubuhku menggeliat laksana ular kesetanan mengunci tubuhnya dengan lilitan mematikan Kami bergumul saling meronta kalah dan menang nyawa taruhannya Medan, 2001 48 Perpisahan Sehabis Perang Kita berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu bukan suratan tangan, kata beliis jantan lalu terbang dan hinggap dari kolam ke kolam sambil membawa hujan Kata-kata bergema rindu bermekaran bagai bunga di sepanjang taman orang-orang bertangisan seraya menabur bunga ke nisan Angin bertiup kencang diikuti deru hujan belibis-belibis itu tak pernah berhenti menaburkan benih harapan meski selalu dikejar pemburu haus nafsu Dilayarkannya rindu dari kolam ke kolam sebelum menidurkannya di sebuah taman segar penuh semerbak mawar kita pun berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu menyimpang dari jalan keteduhan memilih jalan sendiri-sendiri Medan, 2001 49 Di Rimbun Daun Tembakau sunyi mengendap di sela-sela ladang tembakau kaktus-kaktus tua ranggas daunnya seperti kenangan sehabis perang mimpiku melata di dalamnya mencari bentuk aku masih ingin minum anggur dari guci biar kunimati lagu erangan burung undan bersama aroma bunga tembakau dan kau rangkum kisah sejarah kita dengan untaian lagu yang kukarang dari sejuk udara kampung jika kelak kita harus pulang ke pangkuan bunda berteduh di bawah rerimbun daun tembakau mengemas sisa rindu bersama anak cucu bersenang-senang meniti takdir meski langitdi atas sana masih berselimut mendung rerimbun daun tembakau pun masih gembira bertiup diembus angin 50 Sejak Aku berjalan berkendaraan angin menelusuri seisi alam Aku rahmat bagi semesta lepaskan busana ago Tubuhku mengecil berbagi kasih bersama si miskin yang hidupnya tersisih dari pusaran arus angin Ibuku putri ayu saudara-saudaraku penggembala domba bersama bapakku kami bekerja di ladang anggur Setiap pagi bermasmur agungkan penciptaan hujan jadi kawan dan kemarau jadi penyeimbang harapan kami untuk setia memelihara kehidupan Aku mengembara bersama impian melawat kekasih jiwaku di sana riang membaca kalam menyanyikan syair kehidupan digerakkan roh keabadian bersatu hati rayakan kehadiran-Nya Medan, 2004 51 Dalam Cintaku Dalam cintaku kau melebihi danau di permukaannya perahu cintaku berlayar mencari kedamaian berkeliling dari pantai ke pantai wartakan kasih kerinduanku yang semakin hari semakin dalam pada semesta seperti dirimu yang tetap kurindu sepanjang waktu Dalam cintaku kau melebihi laut dikeluasan airmu kapal cintaku berlayar dari teluk ke palung menyelami rahasia diri dalami hakikat ziarah dari titik awal aku ada di sini hingga ke akhir nanti 52 Nanar Aku tak ingin matamu nanar memandang kelelawar lalu-lalang terbang ke luar masuk ke dalam goa sebab sudah di sanalah memang tempatnya bersama keluang dan satwa gelap lainnya mereka nyanyikan senandung pengharapan bagi jiwa-jiwa yang rindu pulang ke kampung halaman sebab hidup di rantau hanya menambah antrian panjang para penganggur sedang perasaan bertambah rentan dirundung gelisah pikiran bercabang pula Zaman berlari, abad berlari berpacu mengejar asa sedang kita tertinggal jauh di belakang mengejar kesia-siaan angan aku tak ingin matamu nanar memandang keadaan sebab kita bukan kelelawar kita makhluk penebar benih harapan setiap jengkal perkataan kita adalah buah cinta janganlah pernah kita biarkan berhamburan jadi sampah Medan, 2005 53 Senandung Sebuah senandung kau lantunkan dengan penuh penghayatan bagi kekasih di seberang lautan ahoi sinandong! ahoi sinandong! Di mana kepala kuletakkan dan tangan kudekapkan ahoi, mambang segala mambang! maut tak kupuja hatiku hancur, siapa sangka, o, dara jelita! Ahoi nandong sinandong! Di manakah beta meletakkan cinta padahal laut telah kusingkap padahal jarak telah kutangkap padahal rindu telah kutimang di manakah kekurangannya, mestikaku! Sebuah senandung telah kau lantunkan dengan penuh kesabaran apalagi yang kurang, tanyamu pada angin di laut ombak berkejar-kejaran pohon bakau meliuk lambai perlahan di sana dara, di sini dara engkau di tengahnya merindu tanya Medan, 2005 54 Seperti Capung Seperti capung-capung di permukaan air hidupku mencari kesejukan di tengah kegersangan bumi sejak pepohonan, gua, dan sungai tak lagi terpelihara kehidupan satwa dan tumbuhan liar kucar kacir tak tentu arahnya seperti kehidupan bangsaku saat ini saling berebut peluang dan cakar-cakaran mengorbankan tumbal sesama tubuh yang kecil babak belur, Tuhanku diimpit kesesakan maka beri kami kekuatan melepaskan diri dari hukuman kutuk dan siksa ini seperti capung-capung itu menikmati kesementaraan dan kebahagiaan sejati di ladang-Mu Medan, 2003 55 Hidayat Banjar Lahir di Medan, 1 April 1962. Rumah Jl. Kapten M. Jamil Lubis - Aspol Blok A. No. 4 A Medan Telepon 061 7356324, Handphone 0812 6461581 Mulai menulis puisi, cerpen, cerbung dan esay/artikel tahun 1980 di media massa Waspada, Analisa, Bukit Barisan, Garuda, Mimbar Umum, Perjuangan Mandiri, Portibi (Medan) dan Harian Merdeka, Pelita (Jakarta). Karya cerpennyanya dimuat dalam Antologi cerita pendek Ah... Gerimis Itu cetakan I, 1990, diterbitkan oleh CV Monora Medan. 50 puisi Serenada, 1994, dipentaskan teater Kartupat Medan. Menerbitkan SKM Mediamassa, 2003. Sebagai pimpinan redaksi Tabloid Tona MUSALA. Staf ahli dr. Robert Valentino Tarigan SPd, BT/BS Bima. Aktif dalam seminar, diskusi sastra dan jurnalistik, masalah HAM serta lingkungan hidup dan pertelekomunikasian 56 Prodeo et Patria Kebersamaan kau dan aku dengan rakyat melarut di rimba-rimba, di liku-liku kota di sungai-sungai peradaban urban karena kita adalah rakyat jutaan tangan yang lunglai Bersebab kita melarut jutaan tangan yang lunglai berubah jadi karang yang tahan segala tiba Duhai sahabat benih yang kau tabur di kebun dan ladang-ladang cinta kasih membuahkan keikhlasan menerima segala tiba sebagaimana para santo kau berjuang bersama rakyat melawan kezaliman tidak untuk dan jadi apa-apa prodeo et patria Bersama rakyat kita lalui siang terik berdebu gulita malam berembun membuhul makna perjuangan, harapan cinta kasih dan kesetiaan Duhai sahabat bukan perjuangan dan semangat perlawananmu yang membuat nurani bergemuruh dan burung-burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya di langit jingga bukan...... bukan perjuangan dan perlawananmu 57 Barusjahe, beratus kilometer dari tempatmu bekerja kami catat dalam sejarah pergerakan kaum lingkungan kemudian menyebar ke seluruh tanah karo simalem siosar, kacinambun, kutakendit dan rimba-rimba lainnya Sahabat, bukan perjuangan dan perlawananmu benar yang membuat nurani bergemuruh bukan..... bukan itu kasetiaan dan keridhaanmu menerima segala tiba bagai mazmur, menyirami jiwa-jiwa kering Kebersamaan yang melarut membuahkan pengertian tentang hak-hak rakyat yang dimarjinalkan tawaran uang, jabatan, dan todongan pistol kau lawan agar mata air rakyat tak berubah menjadi air mata agar tanah karo simalem tak berubah jadi simelas agar ibu pertiwi tetap lestari Medan, 2004 58 Jangan Menangis Valentino Jangan menangis Valentino ketika jutaan tangan lunglai menggapai-gapai pundakmu meraba-raba kegelapan tertatih-tatih menghimpun kekuatan agar mata air yang dirampok kezaliman kekuasaan tak berubah menjadi airmata, darah dan nanah Inilah negeri kita untaian zamrud di khatulistiwa jutaan hektar hutan perkebunan dan laut energi yang besar jutaan ton tambang emas, batubara, minyak dan gas energi yang masih tersimpan milik negeri ini milik kita tapi tak didistribusikan dengan adil Puluhan tahun orang-orang marjinal terus menanti terus bermimpi tentang bintang harapan yang terus menyinari siapa saja penduduk negeri ini sebuah negeri indah dengan nyanyian nyiur melambai dengan deru ombak Samudra Hindia dan Selat Malaka dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun namun rakyatnya kekurangan energi Kini engkau datang Valentino saat hutan bakau berubah jadi laut hutan gunung berubah jadi ladang-ladang pertikaian 59 hujan yang merupakan rahmat berubah jadi bencana banjir sinar mentari yang hangat berubah jadi kemarau Inilah negeri kita Valentino sebuah sorga yang dibangun dengan air mata, darah dan nyawa rakyat tapi mereka terus terpinggirkan dan tak berdaya Hadirlah bersama rakyat tanpa tangis kepedihan mencari sorga kemerdekaan yang hilang entah ke mana Valentino, jadilah kidung bagi rakyat membasuh luka tak bertepi menerangi jalan-jalan panjang agar tak terjebak labirin berbau apek yang tanpa pintu dan jendela 60 Bahorok 1 Ada banyak alasan menyalahkan kami berumah di bantaran sungai dalam diskusi panjang di hotel berbintang yang mengantarkan kalian menjadi pemerhati lingkungan sejati Medan, 2004 Bahorok 2 Sudahlah, hentikanlah pertikaian jadikan kami, ratusan nyawa yang meregang tanpa arti sebagai jejak sejarah bahwa kita memang abai menjaga lingkungan Medan, 2004 61 Bahorok 3 Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, yang menyimpan kenangan Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini bandang itu membuatku bagai sebatang pohon di tengah gurun anak, istri, orang tua, mertua dan orang-orang terkasih lenyap ditelan air yang membawa ribuan ton kayu Rusuk retak, kepala pun nyaris pecah keajaiban jualah yang melemparku dari timbunan balok kematian itu Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, bukan batu bersendiri di penampungan sesekali amis darah menelusup di rongga jiwa Hai para maling kayu masih sanggupkah bersembunyi memakai mulut dan tangan penguasa menyebut kami makhluk yang pantas menerima bencana ini Medan, 2004 62 Tiga Senja di Banda senja pertama januari kususuri pantai yang terlihat di sini adalah jejak tsunami langit memerah dalam lnskap menggoda bianglala memayungi banda burung-burung laut masih sempat menyambar-nyambar ombak pantai yang kian melebar senja kedua januari, aku masih di sini terpana menatap jejak tsunami yang perkasa tak sanggup membayangkan nazli si kecil yang belum usai esde tercampak dansyat ke gunung mata’i dan tersangkut di ranting-ranting pohon sementara nazli-nazli yang lain lenyap ditelan gelombang tiga senja aku di banda sejauh-jauh mata memandang adalah silhuet hitam dengan mulut menganga ulee lheu, meuraxa, pekan bada, dan lainnya adalah genangan duka serta ketakutan tiga senja di banda adalah perasaan yang melompat-lompat merah-jingga-hitam-merah-jingga-hitam kemudian tsunami menggumpal di dada Allah Medan, 2005 63 Pagi adalah nyanyian pengantin yang membasahi bunga-bunga mekar taman pun mewangi dalam berjuta kemungkinan kapal-kapal yang bersandar menarik jangkar kawan pagi adalah senyum perwan yang menggerai rambutnya memanggil sang jejaka untuk mengolah lahan Medan, 2005 Siang adalah arena kurusetra tempat para lelaki mempertaruhkan tanggungjawab kawan, tak usah ragu majulah kalah dan menang bukan tujuan nilai terletak pada seberapa besar kesanggupanmu menerima segala tiba dengan keikhlasan bumi yang siap memikul beban apa pun Medan, 2005

No comments: