Wednesday, 15 December 2010

Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010


Judul: Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010
Editor: Suyitno Ethexs
Kurator: Chamim Kohari-Saiful Bakri-Umi Salama
Desain cover: warung grafis indonesia
Lukisan cover: Joni Ramlan, Mojosari, Mojokerto
Layout: kang madrim
Cetakan pertama:Oktober 2010
ISBN: 978-602-97907-0-2
Tebal: 829 + xxxviii halaman
Penerbit: Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361

email : dewankeseniankabmojokerto@gmail.com, Hak cipta ada pada masing-masing penulis
Berikut catatan kurator:

PUISI DI GAPURA CANDI WRINGIN LAWANG

Sebuah Pengantar

“Ia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk didengar; nia tidak menghidangkan teka-teki, tetapi menulis untuk dimengerti” ( A. Teeuw ).

“Pikiran merubah kapas menjadi kain emas dan merubah batu menjadi cermin terang, namun penyair dengan pesona sajak yang dilakukan memerah minuman bermadu dari sengat kehidupan” (Iqbal, Tulip dari Sinai)

”Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah hayalan dan kata, dan mereka suka mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika dizalimi”. (Terjemahan QS. Asysyu’araa: 224-227)

Sungguh, kami harus tahu diri, dan kami mencoba meyakinkan bahwa tugas kurator yang hendak diamanatkan kepada kami sebenarnya salah alamat, dan kami menyodorkan beberapa nama yang layak mengemban tugas itu, tetapi ditolak dengan alasan bahwa nama-nama yang dimaksud memang layak, tetapi dianggap tidak “steeril” dari virus-virus “Primodialisme komunitas” yang justru akan menjadi “beban” bagi niat baik diselenggarakannya “Festival Bulan Purnama Majapahit”, memang selama ini jarang ada yang berani menerbitkan antologi puisi atau cerpen di luar “klik”nya.

Tugas kurator itu akhirnya tetap diamanatkan kepada kami yang “wong ndeso” yang dianggap belum terkontaminasi oleh “primordialisme komunitas” dan hirukpikuk sastra di media massa. Terus terang dengan “tergagap-gagap” kami terima amanat itu, dan betul setelah kami baca karya-karya sastra yang telah dikirim, dan kami buka lembaran-lembaran kertas yang menumpuk sekitar 7 rim, yang di dalamnya masih campur antara karya puisi dan karya cerpen, ternyata terdapat banyak nama-nama “beken” yang sudah terkenal di jagad sastra Indonesia, nyali kami menjadi semakin “mungkret”, tetapi dengan kesabaran dan keberanian yang diberani-beranikan, kami terus membenamkan diri dalam kubangan puisi-puisi dan cerpen-cerpen, ternyata semakin dalam kami menyelam semakin asyik.

Membaca puisi dan cerpen yang bertebaran dan yang hendak dikumpulkan dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, sungguh sangat mendebarkan, kami semacam menapaki “Cahaya Tajalli” yang berjajar panjang penuh pesona, kami betul-betul diajak melayari aneka pelangi warna-warni keindahan Nusantara. Dari “puisi terang” sampai “puisi gelap”. Dari penyair yang sudah terkenal seperti Ahmadun Yosi Herfanda, sampai yang baru muncul seperti Mas Hikmatul Azimah yang lulusan setingkat Kejar Paket B, mereka semua berusaha menyuguhkan karya-karyanya yang terbaik, mereka telah “ijtihad” untuk melahirkan karya-karyanya dengan mempertaruhkan seluruh jiwa dan raganya kedalam “bentuk” dan “isi” puisi, tentu dengan caranya sendiri-sendiri. Meski sangat heterogin tetapi belum ada yang ingin “merusak” konvensi bahasa, dan ia juga tidak beranjak lebih jauh, tak ada keinginan dari para penyair itu untuk menyimpang, sebagaimana disinyalir oleh Cassier, yang pada umumnya menimpa para seniman. Mereka para penyair yang mengirimkan karya-karyanya belum ada yang berani menggunakan hak “licentia poetica” nya.

Berbeda dengan Chairil Anwar, atau setidak-tidaknya Sutardji Calzoum Bachri yang berani menentukan dan membuat jalannya sendiri, sehingga ia layak dijadikan pemimpin madzhab perpuisian di Indonesia, meski kami yakin suatu saat kelak akan lahir mujaddid (pembaharu) perpuisian di Indonesia. Kami berharap dari Gapura Wringin Lawang, Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini mampu membuka pintu cakrawala sastra Indonesia, hingga melahirkan sastrawan-sastrawan terbaik Indonesia, walau pun Budi Darma menyatakan “Angkatan dalam sastra tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan dalam sastra itu sendiri. Suatu angkatan dalam sastra dapat ada, apa bila ada gejolak yang bersambung-gayung dengan dunia pemikiran”

Secara sederhana, menulis puisi itu mudah, apa bila hal itu dilihat dari persoalan teknis yang bisa dipelajari dan dilakukan oleh siapa pun. Menurut Afrizal Malna “apa sulitnya menulis puisi, tetapi menjadi seorang penyair seringkali lahir dari konstruksi kondisi-kondisi tertentu. Penghormatan terhadap puisi dan penyair justru berlangsung dalam ketegangan-ketegangan ini, karena itu tidak semua orang bisa menjadi penyair”.

Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, sengaja memberi ruang kepada siapa pun yang intens menulis karya sastra, sebuah ruang yang sangat luas untuk mereka-mereka yang sudah “tercemar” mau pun yang “terhambat” atau bahkan yang “terlempar” dari mass media, komunitas-komunitas, dan klik-klik sastra tertentu. Dan biarlah karya-karya puisi yang ada dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, hidup bebas berdiri dan berbicara sendiri dengan eksistensi dan esensinya masing-masing. Sebagai kurator kami tidak ingin menghakimi. Para penyair dan puisi-puisinya yang lolos masuk dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, semoga tidak hanya “kebetulan” atau hanya sekedar “numpang beken”, atau sekedar latah biar disebut penyair. Dan kami tidak ingin menggurui, sebab hidup adalah pilihan-pilihan nurani, yang demi kehormatan harus diseriusi, bila tidak, maka cap “pecundang” akan menempel terus dan menjadi bayang-bayang yang dapat menghantui di setiap langkahnya. Penyair romantik John Keats (1795-1821) mengatakan “Sebab utama kegagalan seniman, baik dalam menggarap obyek umum maupun obyek yang sudah dikenal identitas keindahannya adalah karena kurangnya intensitas pada diri senimannya”.

Harga diri dan eksistensi penyair terdapat pada karya dan kecintaannya terhadap apa yang digelutinya, tetapi kata D. Zawai Imron “Banyak penyair yang pada akhirnya tidak setia dengan kepenyairannya. Semula menggebu-gebu menulis puisi namun dengan mudahnya meninggalkan puisi begitu saja”

Dari Gapura Candi Wringin Lawang Trowulan Mojokerto, kami dan masyarakat sastra menggantungkan harapan, semoga Antologi Cerpen Festifal Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, mampu membuka pintu cakrawala sastra Indonesia, meskipun kami sadar bahwa hal itu seperti mimpi, tidak mudah dan memerlukan kerja besar dari semua pihak.

Akhirnya, dari 1.524 judul puisi yang dikirimkan oleh 310 penyair, hanya 620 judul puisi yang dinyatakan lolos dan dapat ditampilkan di Antologi Puisi Festifal Bulan Purnama Majapahit tahun 2010 ini, dan selebihnya yang 1.214 judul puisi dinyatakan tidak lolos, bukan karena tidak baik, tetapi hanya persoalan keterbatasan tempat saja.

Dengan ketulusan dan kerendahan hati, kami mohon maaf atas keterbatasan kami, kami yakin tiada gading yang tak retak, karena itu tegur sapa dan sumbang saran dari semua pihak sangat diharapkan.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Mojokerto, 20 Oktober 2010

Kurator, (1. Chamim Kohari , 2. Umi Salama, 3. Saiful Bakri)

Ujung Laut Pulau Marwah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III

Ujung Laut Pulau Marwah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III

"Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini.

Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya."

Begitulah tulisan pada bagian atas sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” yang diambil dari Pengantar Kuratorial, “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman”.

Buku ini diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya, “Temu Sastrawan Indonesia III” (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober lalu—setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).

Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).

Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun “sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia.

Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, “Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul “Bustan’l Katibin” (1857), dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.

Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan setelah melalui proses seleksi tentunya.

Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.

Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk “Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni:

“Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), “Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), “Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), “Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), “Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), “Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta).

“Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), “Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), “Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), “Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten).

“15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), “Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), “Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), “Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Sungailiat, Bangka-Belitung), “Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), “Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Bai Liang” (Marsel Robot, Kupang, NTT), “Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau).

“Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), “Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), “Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), “Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung).

“Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), “Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan “Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).

Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).

Lepas dari itu, “Ujung Laut Pulau Marwah” terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.

Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. “Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis “Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, “Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada “kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan “Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis “Yos Gamalama”.

Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?

Pada bagian bawah sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk.

Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan CGR: menyigi adalah sisipan atau celah, berbabit adalah ikut serta/terlibat secara langsung atau tidak langsung)

Tuesday, 7 December 2010

Pion Ratulolly

ISYARAT;

Menerawang Senandung Perih Dendang Saluang[1])[2]

Karya M. Raudah Jambak[3] Dengan Lampu Pijar Semiotika



Pengantar



Pada kegiatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III di Tanjung Pinang tanggal 28-31 Oktober 2010 lalu, seluruh sastrawan di Indonesia yang berniat mengikuti TSI III diprasyaratkan oleh penyelenggara untuk mengirim sebuah naskah puisi atau cerpen. Naskah-naskah ini pada akhirnya sudah dibukukan oleh penyelenggara setelah melewati kurasi tim kurator yang terdiri dari beberapa sastrawan senior (sebenarnya dalam sastra tidak ada senior dan junior namun pengklasifikasian yang saya lakukan ini semata untuk memudahkan pembeda antara sastrawan kurator dan sastrawan peserta TSI III). Naskah-naskah puisi dibukukan dalam Percakapan Lingua Franca: Antologi Puisi sedangkan naskah-naskah cerpen dibukukan dalam Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen. Semua sastrawan peserta kemudian dibagikan kedua buku ini oleh penyelenggara. Saya pun langsung melahap buku Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen membuka daftar isi. Cerpen yang pertama saya cari –untuk mengecek kepastian apakah naskah saya diterima atau tidak- tentunya adalah cerpen saya Tanam Pinang Tumbuh Gading. Dan ternyata cerpen saya juga ikut tergenang di atas Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen. Saya lalu membacanya -tepatnya membaca cepat.

Selepas mengkhatam Tanam Pinang Tumbuh Gading, saya kembali lagi ke daftar isi. Bagian nama sastrawan menjadi ekor mata saya. Dan M. Raudah Jambak adalah sastrawan yang ingin pertama saya baca karyanya, berhubung beliau adalah orang pertama yang saya kenal dalam kegiatan TSI III. Persis, cerpen Senandung Perih Dendang Saluang pun mulai saya lahap. Saya bahkan menghkhatam cerpen ini sampai beberapa kali. Akan tetapi, senandung perih dendang saluang itu terus saja terngiang-terngiang di telingaku. Ada apa gerangan?

Cerpen ini, sebagaimana cerpen lainnya, juga mengandung dua unsur dasar, estetika dan etika[4]. Keduanya hal ini bisa ditemukan dalam struktur atau tubuh cerpen (baik tema, alur, penokohan dan perwatakan, geya penceritaan, dll). Akan tetapi, yang membuat senandung perih dendang saluang itu terus saja terngiang-terngiang di telingaku lantaran saya dikejar beberapa pertanyaan misterius; mengapa judulnya harus Senandung Perih Dendang Saluang? Mengapa perih? Mengapa Saluang? Mengapa kejadiannya saat hujan, kilat guntur, langit muram (maksudnya tak ada cahaya bintang dan bulan). Sederetan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini lalu berelindanan liar di kepala saya. Karena itu, demi meminimalisir –tidak bermaksud mengeliminir- senandung perih dendang saluang yang terus mengiang-ngiang di telinga ini dan demi menjinakkan pertanyaan-pertanyan misterius di kepala ini maka saya akan mencoba untuk menerawangnya. Meskipun jujur saya akui bahwa tulisan ini agak jauh dari sifat keilmiahan.



Sekilas Tentang SPDS



Cerpen Senandung Perih Dendang Saluang (SPDS; pen) mengisahkan tentang kepanikan tokoh aku pada suatu malam saat hujan mengguyur rumah[5]nya. Ia khawatir akan terjadinya banjir. Kalau pun tidak banjir maka kebakaran. Kedua bencana ini sering hadir pada saat hujan dalam waktu yang relatif lama dan anehnya acap kali terjadi pada tiap bulan Ramadhan. Kepanikan tokoh aku tidak hanya habis sampai di situ. Ia juga menghawatirkan keberadaan rumah mertuanya yang ditinggal pergi oleh mertuanya ke Pariaman.

Cerita berlanjut, isrti tokoh aku yang sebelumnya sudah terlelap, tiba-tiba meraung-raung. Istrinya mimpi buruk. Mimpi tentang Mamak dan Bapak dari tokoh istri, terkubur dinding rumah Andung di kampung (baca: Pariaman). Dan setelah menenagkan istri, tokoh aku pergi ke rumah mertuanya untuk memastikan tak terjadi apa-apa. Betul saja, di rumah mertuanya tak terjadi apa-apa. Namun sekembali ke rumahnya, tokoh aku mendapati anak-anaknya menangis histeris. Di sisi anak-anak, istrinya tergeletak pingsan. Di tangan istrinya tergenggam subuah HP. Ternyata istri tokoh aku pingsan karena membaca pesan masuk di HP itu. Isi pesan masuknya adalah “Kak, Pariaman gempa. 7,6 SR. Rumah Andung hancur. Mamak….”.

Menariknya dalam beberapa peristiwa yang ada dalam cerpen SPDS selalu dimunculkan mengenai tokoh aku yang beberapa kali mendengar bunyi saluang dan suara sirine. Sejalan dengan itu, tokoh aku juga menyaksikan, awan yang terlihat buram, langit suram, hujan terus menerus mengguyur-menderas, banjir, lumpur, kilat serta guntur. Di samping itu, ada hal lain yang sempat disitir Raudah, yaitu kritik-kritik sosial. Baik terhadap masyarakat maupun pemerintah. Nah, bagi saya, beberapa hal inilah yang akan coba saya terawang. Tujuan dari proses penerawangan ini adalah agar bisa melihat salah satu aura cerpen Senandung Perih Dendang Saluang karya M. Raudah Jambak dalam rupa yang alternatif. Oleh karena itu, saya membutuhkan sebuah lampu pijar yang berkapasitas kuat untuk proses penerawangan. Dan lampu pijar yang saya gunakan adalah Semiotika de Saurse.



Lampu Pijar Semiotika Saurse



Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hipersemiotika mengutip definisi semiotika (semiotics) oleh Ferdinand de Saussure “bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dalam kehidupan sosial”. Dengan kata lain, Saussure berpendapat bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social rule) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. (Piliang, 2003:256). Senada dengan itu, mengutip pernyataan penulis Perancis, Michael Butor, bahwa Aart van Zoest (1993) dalam bukunya Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya menyatakan bahwa masalah manusia adalah mencari arti dari yang tidak mempunyai arti. Dia juga menyatakan bahwa semua mempunyai arti, atau tidak satupun mempunyai arti. Titik tolak dari pernyataan ini adalah bahwa manusia mencari arti dalam benda-benda dan gejala-gejala yang mengelilinginya dan bahwa dia, tepat atau tidak tepat, benar atau salah, memberikan arti. Karena manusia mampu, maka ia dapat memberikan arti pada benda-benda dan gejala-gejala.

Dari pandangan ini maka saya akan mencoba mengklasifikasikan pembahasan ini dari dua aspek yang sudah saya garis bawahi di atas yakni, 1) benda-benda, dan 2) gejala-gejala.



1) Benda-benda

a) Saluang.

Benda yang pertama sekali hadir dalam cerpen ini tentu saja saluang lantaran ia nampang dalam judul dan kadar keberadaannya sangat mendukung kisah dalam cerpen SPDS. Berdasarkan makna denotatif, saluang adalah alat musik tiup sejenis seruling tradisional khas Minangkabau, Sumatra Barat. Biasanya dipakai dalam pertunjukan untuk mengiringi lagu-lagu lepas yang diceritakan secara spontan. Unsur spontanitas juga terdapat dalam syair-syair untuk lagu-lagu lepasnya. Sedangkan berdasarkan konotatif saluang ini dapat mewakili suara-suara perih, sedih, duka, dan segala hal yang berkaitan dengan duka cita (bisa pula kematian). Sebagaimana kehadiran saluang dalam cerpen ini yang selalu dikaitkan dengan musibah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan cerpen, hal: 158, paragraf 1, sebagai berikut:



…..

LAMA mataku tidak mau terpejam. Dan memang aku tidak mau memejamkannya sedikit pun. Padahal, aku sudah mengantuk berat. Istri dan anak-anakku sudah lama terlelap. Sebelumnya mereka berusaha bercengkrama, sambil berjaga. Betapa tidak. Sudah hampir seminggu daerah tempat tinggal kami diguyur hujan. Awan terlihat buram. Langit terus-menerus muram. Seolah menebar kesedihan yang mendalam. Bukan hanya disebabkan jalan raya yang basah. Atau air yang menggenang sampai ke lutut orang dewasa, di beberapa tempat. Sebilah saluang seolah bersenandung di pikiranku, mengikuti irama rembesan air hujan dari langit-langit rumah kami yang rapuh itulah, yang paling mengganggu.

…..



Dalam paragraf ini diceritakan tentang kesedihan tokoh aku di suatu malam lantaran daerah tempat tinggalnya telah seminggu diguyur hujan. Dan ia merasakan kesedihan akibat itu. Namun anehnya, kesedihan yang lebih mendalam justru di saat tokoh aku mendengar sebilah seluang yang seolah bersenandung di pikirannya. Dapat dipekirakan bahwa ada sebuah berita duka yang dikabarkan atau diisyaratkan melalui bunyi saluang itu. Dan pada akhir cerita diketahui bahwa berita duka itu adalah kecelakaan (kematian? boleh jadi!) Mamak (dan Bapak? boleh jadi!) dari istri tokoh aku, karena rumah Andung (dari istri tokoh aku) hancur akibat gempa Pariaman.



b) Sirine.

Kalau saluang barangkali hanya dikenal di Pulau Sumatera umumnya. Sedangkan sirine hampir dikenal oleh seluruh warga Indonesia –boleh jadi dunia. Suara sirine ini biasanya muncul dari mobil ambulance. Mobil ambulance biasanya diasosiasikan dengan mobil jenazah. Dengan demikian, di saat tokoh aku mendengar suara sirine (meskipun dalam pikiran) maka di saat itulah kabar duka telah disuarakan oleh sirine. Hal ini bisa disandingkan pada kutipan cerpen, hal: 161, paragraf: 9, sebagai berikut:



…..

Mataku terus mengawasi sisi langit-langit yang merembeskan hujan. Aman, pikirku. Tetapi telingaku sayup-sayup mendengar sayup sirine yang melesat di antara deru irama hujan menembus gendang telingaku. Dan aku hanya bisa menelan ludah. Rumah siapa lagi, pikirku kembali.

…..



Tokoh aku mengkhawatirkan kalau-kalau bunyi sirine (yang masuk ke telinganya secara nyata atau melalui pikiran?) ini berasal dari rumah yang terbakar. Ia juga mencemaskan kalau-kalau suara sirine itu berasal dari rumah mertuanya yang kosong ditinggal pergi mertua tokoh aku ke Pariaman.



c) Rumah

Rumah secara makna denotasi adalah tempat tinggal, berteduh dari panas dan hujan, tempat prifasi, tempat segala suka dan duka ditanak di dalamnya, menjadi tempat yang vital dan sangat dibutuhkan setiap orang untuk menjalani segala urusannya di dunia ini. Singkatnya, rumah adalah surga. Maka makna konotasi rumah adalah jantung, nafas, paru-paru, nadi, urat, intinya segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup matinya seseorang.

Dalam cerpen ini tokoh aku mengkhawatirkan keberadaan rumah mertuanya yang sedang dalam keadaan kosong, tanpa penghuni. Dan ketika menenangkan istrinya yang mendapatkan mimpi buruk tentang Mamak dan Bapak (dari istri tokoh aku) yang terkubur dinding rumah Andung (dari istri tokoh aku). Naasnya, tokoh aku memahami rumah (yang diisyaratkan oleh bayang wajah mertuanya) secara denotatif. Bukan secara konotatif. Dari salah tafsir ke salah tindak.



2) Gejala-gejala

a) Gejala dari alam

Gejala dari alam yang dimaksud berkaitan dengan peristiwa-peristiwa alam yang mendukung/ mempertegas kualitas cerita. Di antaranya, awan terlihat buram, langit suram, hujan mengucur deras, genangan air, kilat dan guntur. Peristiwa-peristiwa ini biasanya menimbulkan ketidaknyamanan bagi manusia. Ketidaknyamanan ini biasanya menimbulkan kecemasan (mungkin akan terjadi banjir atau kebakaran). Kecemasan inilah terkadang akan mengantarkan orang kepada tindakan-tindakan yang gegabah. Gejala-gejala dari alam seperti ini biasanya menyiratkan tentang kesedihan, kedukaan dan kelaraan. Bahkan menghantarkan orang kepada kepasrahan.



b) Gejala dari manusia

Gejala yang dimaksud seperti mata tidak mau terpejam, cemas, terbawa mimpi buruk, serta dada bergemuruh kencang. Gejala-gejala ini menandakan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Biasanya berkaitan dengan berita duka. Contoh kasus yang sederhana adalah ketika sesorang mengalami kejadian mata yang tiba-tiba saja berkedip berulang-ulang. Hal ini mengisyaratkan akan adanya kabar buruk yang berkaitan dengan dirinya (kalau bukan dirinya maka orang-orang dekatnya). Dan kejadian-kejadian seperti ini lebih mengarah kepada mitos atau kepercayaan (bukan agama) tradisional.



Kritik Sosial



Dalam cerpen Senandung Perih Dendang Saluang juga ditemukan beberap kritik sosial. Sekali lagi demi kenyamanan telaah, saya terpaksa mengklasifikasikan kritik sosial ini ke dalam dua aspek, yakni 1) Kritik Sosial Terhadap Masyarakat dan 2) Kritik Sosial Terhadap Pemerintah.

1) Kritik Sosial Terhadap Masyarakat.

Kritik ini nampak pada beberapa kejadian yaitu: jalan raya yang basah (tentunya dalam kadar yang banyak), air yang menggenang sampai lutut orang dewasa, banjir, lumpur, kebakaran karena lilin kalau listrik padam dan petasan kalau musim Ramadhan serta gesekan arus pendek kalau liatrik menyala, lari sepeda motor yang kurang awas di saat hujan. Nah, Raudah ingin menyampaikan kritik kepada kita selaku masyarakat (sekaligus pemerintah) agar lebih memperhatikan persoalan di atas. Misalnya akibat dari jalan raya tergenang, air yang tergenang hingga lutut orang, banjir lumpur, dll, maka kebersihan harus dijaga. Buanglah sampah pada tempatnya. Kaitan dengan kebakaran agar kita lebih memperhatikan lagi posisi/ tempat lilin agar di saat tertiup angin tidak menyebabkan benda di sekitar terbakar. Begitu pun petasan yang dibakar oleh anak-anak sebaiknya penggunaannya diawasi oleh orang dewasa.



2) Kritik Sosial Terhadap Pemerintah

Selain kritik sosial terhadap masyarakat di atas juga mengena kepada pemerintah, ada kritik lainnya yang ikut mengena juga kepada pemerintah, yakni: banjir (termasuk kebakaran dan dan bencana di saat musim hujan umumnya) seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Adapun perhatian yang dimaksud adalah kerja nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah banjir. Baik pada masa sebelumnya sebagai bentuk pencegahan (prefentife) atau pun pada masa terjadi (membersihkan selokan/parit yang terendam, memperlancar arus air) maupun pada saat sesudah terjadinya banjir. Dengan demikian maka kehidupan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik adanya sebagaimana yang diharapkan oleh setiap manusia.



Penutup



Dengan beberapa uraian di atas diharapkan mampu menjadi penerawang sederhana untuk memahami cerpen Senandung Perih Dendang Saluang karya M. Raudah Jambak berdasarkan pendekatan semiotik de Saurse. Tulisan ini bukanlah sebuah kebenaran yang pasti karena itu saya memohon kiranya kalau ada hal yang bisa diterawang, silahkan menyarankan. Tulisan ini semata pembacaan saya secara subjektif atas cerpen SPDS. Bagi yang ingin menerawangnya dari aspek yang lain, saya persilahkan. Selamat melanjutkan aktifitas selanjutnya dan selamat membaca isyarat.





Kupang, Malam, November 2010, besoknya hari raya qurban…





Pion Ratulolly; Penulis Novel “atma” Putih Cinta Lamahala Kupang, Peserta Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang.





[1] Saluang merupakan alat musik tiup yang tumbuh dan berkembang di Minangkabau. Terbuat dari potongan pohon bambu pilihan, berdiameter kira-kira 2-3 cm dengan panjang kurang lebih 90 cm. Bentuknya serupa dengan seruling atau flute, hanya saja pangkal potongan pohon bambu ini tidak ditutup seperti flute atau seruling pada umumnya, alias ujung dan pangkalnya bolong.



[2] Senandung Perih Dendang Saluang adalah salah satu cerpen yang ada dalam buku Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III di Tanjung Pinang, 28-31/10/2010).



[3] Raudah Jambak, sastrawan dari Medan, Sumatera Utara.



[4] Estetika dan Etika merupakan nilai-nilai yang ada dalam Aksiologi (Salah satu cabang ilmu Filsafat Pendidikan). Estetika bermakna nilai keindahan (baik bahasa, gaya cerita, tema, dll) sedangkan nilai etika lebih kepada nilai moral, kebaikan dan kebenaran. Keduanya selalu diperjuangkan oleh setiap penulis.



[5] Bila dilihat dari penamaan tokoh, seperti Mamak maka latar tempat cerpen ini ada di Sumatera, Minang, Medan; sesuai dengan asal sang cerpenis.

Sunday, 14 November 2010

Teater Monolog ‘Matinya Toekang Kritik’

KR, Lephen Purwaraharja : Catatan Budaya

PERISTIWA kematian tragis nan getir. Tukang kritik dan budaya itu wafat terkulai di kursi goyangnya. Ketika itu tahun 3005 pembantunya robot: Bambang Mangkukulkas XI kode mesin PRT 3005 GX telah mendapatkan surat yang ditunggu-tunggu majikannya. Kritikus legendaris mati kutu di kesunyian, kehidupan telah teratur, tertib, damai, humanis dan berbudaya, sepaham utopia Jawa: tata titi tentrem kerta raharja terwujud. Suatu titik nadir peradaban tanpa ada celah dikritik. Begitulah ujung teater monolog Butet Kartaredjasa, Matinya Toekang Kritik (MTK) karya Agus Noor yang dipentaskan di TIM Jakarta, 3 - 5 Februari, TBY 11-12 Februari.

Setelah hampir empat tahun Raja Monolog itu ‘terlena’ dalam hiruk-pikuk ‘industri hiburan’, tampaknya Butet Kertaredjasa (berjuang keras) memperkokoh legitimasinya: aktor monolog yang kritis, cerdas, komedis dan memikat. Kritis terhadap persoalan kontekstual dan aktual. Cerdas mengemas peristiwa teatrikal dengan logika realitas dan formula satir. Efek komedis digerakkan oleh daya kreatifnya yang kadang tak diduga. Ia berusaha tampil terbaik, memikat, nyaris tanpa cacat (perfek). Butet (masih) mampu tampil prima untuk pertunjukan berdurasi 90 menit tersebut. Ia mempersiapkan diri bersama tim kreatifnya secara intensif dan matang. Tak heran tontonannya nyaris tanpa cacat.

MTK mengisahkan kehidupan kritikus RM Suhikayatno. Ia hidup dari zaman mitologi pewayangan sampai tahun 3000-an. Tokoh rekaan itu bermakna sesuai akar kata pada namanya: su (Jawa Kuna: sangat, baik, bagus, cantik, besar); hika (Jawa Kuna = hiku ----> hiku: itu), yatna = (Jawa Kuna = hati-hati, seksama, teliti, ingat-ingat, awas dan waspada. Atau, dari kata hikayat = karya sastra berisi kisahan baik berupa sejarah maupun fiksi untuk membangkitkan patriotisme, dan renungan bersama. Memang, MKT berani mengkritisi berbagai fenomena kebudayaan; dari soal sejarah, politik, ekonomi, sampai sosial budaya. Dari ulah kritikus ini dapat melahirkan satir dan kritik baru dari yang nakal sampai yang konyol.

Agus Noor memilih penguatan pada alur pokok dengan menunggu kedatangan surat dari istana. Penantian tak kunjung usai hingga tahun 3000-an. Realitas menyelinap masuk-keluar dari masa lalu, masa kemarin, dan sesudah masa terkini sehingga fakta peristiwa menjadi ‘analog’ berbisa satir, ironi dan plesetan getir. Dibanding teks monolog yang dimainkan Butet sebelumnya, tampak lebih berbobot pada aspek rangkaian peristiwa, pengaluran, penokohan, karakter tokoh dan kemungkinan perkakas semiotika dalam teater seluruhnya meneguh dalam kebutuhan (unity). Kejutan, surprise berulang kali menyembul yang menjadikan penonton (apresiator) tetap terjaga.

Ketika Butet memerankan Suhikayatno tertidur mendengkur di kursi goyang, lalu muncul Butet sebagai Bambang, dengan karakter kontras menyerupai pembantu zaman kuna: berpeci, bersafari dan bercelana panjang mulai kekecilan. Lain itu, ketika Bambang mengisahkan ndara-nya tahun 2008 pernah ditawari jadi Ketua KPU tetapi tidak mau, sebab tidak melakukan tindakan korupsi berjamaah. Akhirnya Suhikayatno, 2009 dicalonkan sebagai Wakil Presiden berpasangan dengan SBY -- sebuah kecerdikan penulis teks -- menghindar dari fakta dan menghadirkan kejutan baru memenangkan Partai Panji Tengkorak dan Butet Kartaredjasa terpilih menjadi presiden. Kejutan lainnya program utama Presiden Butet bukan menaikkan devisa, tetapi defisit negara dan semacamnya. Mengganti nama jalan militeristik menjadi nama seniman. Ide brilian!

Sayang teks MTK, tokoh Suhikayatno dimatikan hanya karena tidak ada hal dapat dikritik lagi. Formula surprise seyogianya dapat diaplikasikan, misalnya RM Suhikayatno pun, misal, menjadi robot/hasil clonning, atau peristiwa chaos kembali tampak layar audiovisual, meski kritikus itu mati. Jika kritik robotik hidup maka permasalahan sosial politik menjelma lagi (secara visual). Cara alternatif ini mungkin pesan MTK lebih sublimatif.

Secara keseluruhan karakter Semar, Bambang, sosok Suhikayatno, Semar Gadjah Mada oleh Butet berhasil dijiwainya, dan pintar meyakinkan serta menyatukan peran dengan dirinya tanpa jarak. Butet tampak luluh dengan peran-perannya. Apalagi kisah Suhikayatno dan Bam-bang ini sejak awal sangat disukainya.

Panggung mampu memikat sejak awal hingga akhir. Interaksi penonton dan pemusik dengan aktor pun memperkaya pertunjukan monolog sebagai teater. Ini berkat penyutradaraan Whani Darmawan yang cermat dan pandai memilih serta memilah pengadegan. Musik garapan Djaduk Ferianto membingkai dan mengisi pertunjukan MTK cukup pas dan jumbuh. Demikian pula tata artistik (garapan Ong Harry Wahyu) efisien namun multifungsi: background, media tampilan audiovisual, dan setting. Ketiga fungsi itu dapat direspons aktor dan videograf (Jompet) senantiasa berkembang menyempurnakan seluruh visualisasi pertunjukan. Tata cahaya (Clink Sugiharto) dapat mengimbangi kebutuhan videograf, suasana pementasan, dan kebutuhan aktor di panggung.

Monolog MTK itu memang menarik dan unik. Teks membuka refarat berbeda dengan monolog Butet sebelumnya semacam Racun Tembakau, karya Jim Adilimas (1986), Lidah Pingsan, karya Indra Tranggono & Agus Noor (1997), Lidah (Masih) Pingsan, karya Indra T & Agus Noor 1998, Benggol Maling, karya Butet K (1998), Raja Rimba Jadi Pawang, karya Butet K dan Indra Tranggono (1999), Iblis Nganggur, karya Indra Tranggono 1999, Mayat Terhormat, karya Indra Tranggono & Agus Noor (200), Guru Ngambeg, karya Indra Tranggono (2000). Pembeda utama pada: pertama, penulis teks monolog (Agus Norr, saja), prosais memberi peluang bermain total karakter utama bagi aktor lebih menguat saat memerankan Bambang dan Suhikayatno. Kedua, teks menghendaki aspek visualisasi dan videograf menjadi jeda sekaligus magnet pemikat kaya gambar hologram mengisi tanda dan simbolisasi teks. Ketiga, teks membuka ruang pada sutradara dan tim lainnya menafsir lebih leluasa antara ‘teater serius’.... ‘kritik satir’.... dengan ‘komedi kontemplatif’.

Butet kembali meneguhkan dirinya sebagai ‘Aktor Toekang Kritik’ yang tak mati-mati ditelan euphoria Reformasi. Konsep estetika Butet dan timnya (kini) berhasil menyelinap dari bentuk kritik barbar, demonstrasi anarkis, dan kritikus yang ‘mulut’-nya terbeli oleh penguasa dan pengusaha, lalu berbagai meledek diri sendiri, bersama mereka dan bersama-sama agar masa depan peradaban (kita) lebih indah dan dinamis. Tak heran bila penonton terpesona tak beranjak meski isyarat usai pertunjukan telah diisi dengan adegan Robot Bambang menyampaikan surat. Memang, semua peristiwa dan kata menggelinding memikat nikmat/segar/mencerdaskan.

Biarpun dalam kisah MTK tokoh Suhikayatno wafat lunglai oleh faktor eksternal di titik nadir, bukan berarti akhir hikayat. Selama Butet dan tim ‘kenakalan bersama’ tetap solid terjaga, pasti kisah baru, teater monolog lainnya lahir tetap bersengat bagi semua insan yang belum bangun dari ‘mimpi busuk’-nya. q - s

*) Lephen Purwaraharja, Pengkaji teater Jurusan Teater ISI Yogyakarta.

Tuesday, 12 October 2010

Idris Siregar; Menulis, Memberikan Setitik Manfaat buat Orang lain

Rina Mahfuzah Nst

Saat berhadapan dengannya, kesan pendiam lebih menonjol dalam diri lelaki yang bekerja sebagai PNS di Pemkab Deli Serdang ini. Sebaliknya, dia tidak pernah diam dengan kreatifitas dan karya-karyanya.

Baginya, pekerjaaan, kehidupan berumah tangga dan persoalan kehidupan lainnya, tidak menghalangi semangat menulis yang tetap terus bersemi di dalam hatinya. Selain menulis untuk dipublikasikan di media cetak, lelaki penyuka traveling, musik, film dan olahraga catur ini, juga rajin menulis di Blog dan mengikuti kegiatan-kegiatan lomba menulis di Blog.

Di sela-sela kesibukannya menyusun Tesis di Pasca Sarjana UMN Medan, Idris menulis novel, skrip film dan sinetron. Idris juga menulis lagu, bermain musik dan hobi fotografi. Bibit menulis sudah terlihat dalam diri lelaki kelahiran Medan, 2 Januari 1968 ini sejak masih di sekolah dasar. Bungsu dari tujuh bersaudara ini, selalu mendapatkan nilai pelajaran mengarang paling tinggi dari teman-temannya yang lain.

Kegembiraan sebagai seorang penulis mulai dirasakan Idris, ketika cerpen pertamanya dimuat di majalah HAI tahun 1986. Betapa senangnya dia kala itu. Honor yang dia dapatkan tidak disia-siakan. Idris membeli sepasang baju dan celana. Setiapkali dia memakainya, dia merasa kepercayaan dirinya bertambah.

Seolah ingin berkata, baju dan celana ini hasil dari menulis. Begitu juga saat masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum USU Medan. Idris bersama teman sekampus bernama Jenny. G menulis naskah fragmen penyuluhan hukum, shooting di TVRI Medan. Idris merasa senang bisa melakukan hal seperti itu.

Sejak itu, Idris menancapkan keinginan untuk terus menulis. Melepaskan berbagai ide yang menyesaki kepala, pikiran maupun hatinya. Dia mengagumi Arswendo Atmowiloto, lewat bukunya ‘cara gampang menulis cerpen’. Sedikit banyak telah memotivasinya untuk lebih giat lagi menulis. Idris juga menyukai Seno Gumira Ajidarma, dengan teknik bercerita yang mewarnai cerpen-cerpennya.

Dalam berkarya Idris tidak membatasi tema tulisannya. Dia menulis tema Anak-anak, remaja, politik, sastra, budaya dan lain lain. Sejumlah karyanya pernah dimuat di Majalah Dewan Sastera Malaysia, Majalah Bahana Brunei Darussalam, Majalah Annida, Analisa, Harian Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan, Sumatra, Taruna Baru, SIB, Koran Tempo, Waspada, Garuda Minggu, Medan Bisnis, Global, Swadesi, Sinar Pagi, Persada, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Radio Jepang NHK, Radio Jerman DW, dan lainlain.

Bersama rekan sesama penulis, Lely Zailani, Idris menulis buku bertajuk Merajut Bersama. Buku ini diterbitkan HAPSARI dengan dukungan HIVOS Jakarta Tahun 2008. Di samping itu sejumlah puisi dan cerpennya telah terangkum dalam berbagai Antologi Puisi bersama maupun tungggal.

Dalam perkembangan karir menulisnya di berbagai media, Idris tidak melupakan beberapa tokoh yang telah memberikan nasehat dan dorongan buatnya dalam berkarya. Sebut saja almarhum Wildan Nasution, redaktur harian Garuda Minggu. Beberapa tokoh lainnya, Idris Pasaribu, YS Rat, Adi Mujabir, Sulaiman Sambas, Harta Pinem, Bersihar Lubis dan Ristata S, ketika masih aktif berdiskusi di TBSU.

Untuk menunjang ide-ide sekaligus menambah wawasan, Idris kerap mengunjungi perpustakaan dan beberapa toko buku di Medan. Ketika menulis, dia ingin tumbuh dalam kewajaran semata. Menulis, menjadi jembatan pentransformasian gagasan yang ada dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan nyata kepada para pembaca. Menulis tidak lagi sekedar mendapatkan honor atau nama, melainkan tanggung jawab sebagai seorang manusia yang dianugerahi Allah SWT talenta atau keterampilan menulis.

Untuk itu ayah empat anak lelaki ini, terus mengasah keterampilannya dengan terus belajar, banyak membaca buku-buku dan latihan terus menerus. Sebenarnya sudah lama Idris mendambakan adanya sebuah wadah di Sumatera Utara yang representatif, memberikan apresiasi tahunan kepada penulis kreatif atau penulis berbakat di Sumatera Utara, seperti anugerah Sagang di Riau.

“Seni khususnya sastra tetap memberikan warna dalam kehidupan ini, walaupun masih saja penghargaan untuk sastra belum begitu maksimal. Bandingkan saja dengan sebuah kuis di salah satu televisi. Dengan sekedar menjawab pertanyaan atau melakukan sesuatu bisa memperoleh hadiah uang 2 sampai 3 juta. rupiah.

Bahkan jika beruntung bisa membawa mobil mewah. Beberapa organisasi seni memang sudah mencoba untuk membangun penghargaan kepada para penulis melalui lomba lomba dengan hadiah yang cukup significan tetapi sifatnya masih insidentil,” ujarnya.

“Menulis berbeda dengan main film, di mana pemerannya bisa dilihat para penonton. Terkadang pembaca tidak merasa penting untuk mengetahui bagaimana sosok seorang penulis yang dibaca karyanya. Belakangan ini memang ada trend tulisan dilengkapi dengan wajah penulisnya. Begitu juga dengan buku buku yang kerap memuat wajah si penulis. Tidak ada korelasi wajah seorang penulis dengan hasil tulisannya,” lanjutnya.

Dari keterampilannya menulis, sejumlah prestasi menulis telah diperolehnya antara lain:
Juara II Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan BP-7 Kota Medan Tahun 1995. Juara II Lomba Menulis Pusi yang diselenggarakan Studio Seni Indonesia Medan 1995. Juara Lomba Cipta Cerpen yang diselenggarakan LKK Unimed 1995. Juara III Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan KNPI Deli Serdang 199. Juara II Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan Pemprovsu Tahun 2000. Pemenang Harapan Krakatau Award (Puisi) Tahun 2000. Pemenang Harapan Lomba Menulis Puisi yang diselenggarakan INTI Jakarta Tahun 2007. Pemenang Harapan Lomba Menulis di Blog yang diselenggarakan BNI Tahun 2009.

Kalau ingat perjuangannya ketika mengandalkan mesin tik, sangat memerlukan konsentrasi agar tidak salah mengetik. Idris merasa perkembangan teknologi yang ada di zaman sekarang, sangat mendukungnya dalam mengembangkan karya. Dengan adanya media blog dan facebook, Idris merasa dapat lebih mengembangkan, menyalurkan dan mempromosikan karya-karyanya. Bahkan dengan kemampuan berbahasa asing seperti bahasa Inggeris, menurutnya seorang penulis bisa menyalurkan karya atau mengikuti kegiatan writing contest melalui internet.

Menulis memang bukan merupakan cita-cita lelaki penyuka nasi goreng dan kopi susu ini. Idris juga tidak ingin berhenti dari kegiatan menulis. Dia merasa harus mensinergikan antara pekerjaan dengan kegiatan menulis yang sudah ditekuninya sejak lama.

Dia justru menyayangkan beberapa teman, harus berhenti menulis sama sekali ketika memiliki profesi di dalam kehidupan yang dijalankannya. Menurutnya, dia bercita cita menjadi orang yang berguna saja dan mampu memberikan meskipun setitik manfaat bagi orang lain. Menulis atau berkarya dan berkerja merupakan sarananya untuk mewujudkan hal itu.

Saturday, 9 October 2010

Teroris

Teroris,
siapa?
Aku
kamu
atau kita?

Teroris,
berapa?
satu
kelompok
atau semua?

Teroris,
yang mana?
meresahkan
mengganggu
atau menghancurkan?

Ah, tak usah diperpanjang
kita sudah sama-sama tahu
tetapi mengapa harus diobral
untuk saling menghancurkan?

Tuhan berkata,
"setiap manusia telah kutitipkan
satu teroris di sisi kirinya!"

maka,
teroris akan tetap ada
sampai manusia binasa!

Friday, 8 October 2010

Tuhan ataukah pemimpin?

TUHAN ATAU PEMIMPIN
PEMIMPIN ATAU TUHAN
TUHAN
TUHAN
TUHAN
ADAKAH....?
PEMIMPIN
PEMIMPIN
PEMIMPIN
ADAKAH
satu sisi kita selalu saja patuh pada pemimpin
mengabaikan tuhan
satu sisi kita selalu saja patuh pada tuhan
mengabaikan pemimpin
suatu saat kita berfikir
tuhan tidak pernah melarang kita patuh
pada pemimpin
suatu saat pemimpin selalu saja melarang kita patuh
pada tuhan
siapa yang mencuci otak kita
Tuhan ataukah pemimpin?
dimana sebenarnya kita berdiri?

Monday, 4 October 2010

Menulis

KATA

Subagyo Sastrowardoyo

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa

“Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu”Ungkapan di atas tidak kurang dari 13 abad yang lalu disampaikan Ali Bin Abi Thalib R.A. bahwa masa-masa kita mengenyam pendidikan dulu tidak sama dengan pendidikan masa sekarang dan di masa yang akan datang. Barangkali kata-kata ini diadaptasi oleh para pengambil kebijakan pendidikan ditingkat elit sehingga timbul pergantian dan pengembangan kurikulum. Saya mencatat tidak kurang dari delapan kali kurikulum pendidikan kita berubah-ubah, yakni kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan kurikulum 2006 yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan alasan mutu, relevansi, efisiensi, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.

GURU yang menjadikan tradisi tulis-menulis sebagai kegiatan sehari-hari mungkin sama langkanya dengan tradisi membaca yang juga rendah. Dapat diperkirakan, ini tak lepas dari budaya baca-tulis kita yang memang buruk.

Suasana sekolah-sekolah kita berbeda jauh dari sekolah-sekolah di negara-negara Asia tetangga kita, bahkan dengan Vietnam yang baru merdeka dan belum sedekade bergabung dengan ASEAN.

Pula berbeda dari universitas maupun sentra-sentra pengkajian ilmu zaman dulu yang digambarkan penuh pemandangan orang menenteng buku, berdiskusi, berorasi, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.

Sekolah dan universitas masa kini diwarnai berita tawuran antarpelajar/mahasiswa, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, video porno, tuntutan guru untuk diangkat menjadi pegawai negeri, kenaikan honor, serta Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang monoton dan membosankan.

Menulis adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan para guru. Selain untuk mendokumentasikan kegiatan pribadinya sebagai agen perubahan, menulis juga dalam rangka mempertanggungjawabkan pengajarannya yang mesti diselaraskan dengan kurikulum.

Administrasi yang diisi guru di antaranya absensi murid, daftar nilai, leger (kumpulan nilai selama semester yang bersangkutan), rencana pelaksanaan pembelajaran, selain administrasi tambahan yang digariskan sekolah tempatnya mengajar.
Pengembangan Keilmuan

Kegiatan menulis (dan membaca) pulalah yang memungkinkan terjadinya pengembangan keilmuan. Meski Einstein, misalnya, ketika duduk di bangku sekolah dasar disebut gurunya sebagai ”Herr Langweil” (Si Bodoh), komitmennya terhadap pengembangan ilmu dan potensi diri menjadikannya melahap habis sebuah buku geometri yang diberikan oleh seorang teman ayahnya (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu Tahu: Gemar Membaca, 2009).

Kerajinannya belajar (Jawa: niteni), membuatnya mengadakan dokumentasi—berupa tulisan—atas pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan membaca hingga menemukan teori relativitas yang terkenal itu dan dunia pun mengenangnya sebagai Bapak Sains Modern.

Atau Isaac Newton, yang ketika duduk-duduk santai di bawah pohon apel dan kejatuhan buahnya menemukan teori gravitasi bumi, kemudian didokumentasikannya menjadi buku Philosophie Naturalis Principia Mathematica yang dianggap sebagai karya ilmiah terbaik sepanjang masa (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu: Orang-orang Besar, 2009)

Apa yang terjadi bila orang-orang cerdas ini tak mencatat temuannya? Apa jadinya kalau seorang guru tak pernah mendokumentasikan kegiatan sehari-hari serta pengajarannya untuk murid-murid?

Akankah kita mendapat murid berprestasi jika guru tak mampu mencatat apa-apa yang dibutuhkan murid agar berprestasi? Tentu saja kebutuhan para pelajar lebih diketahui gurunya ketimbang oleh para penulis yang khusus dikontrak penerbit buku.

Pantas saja, guru yang menjadi penulis (buku) dapat dihitung dengan jari. Memang, memadamkan lampu lebih mudah ketimbang menyalakan sebatang lilin.
Kata siapa menulis itu sulit?
Dan siapa yang bilang menulis itu mudah?
Bila Anda menemui permasalahan atas pertanyaan tersebut di atas, simaklah tulisan ini. Bagi Anda yang berprofesi menjadi guru tentu hal ini akan menjadi semakin berguna karena setiap hari Anda bergumul dengan dunia tulis menulis. Kuncinya terletak pada kebiasaan. Kebiasaan bagi seorang petani yang terbiasa mencangkul di sawah akan lebih mudah mencangkul daripada orang yang pakai dasi di kantoran yang kerjanya di belakang meja. Seorang nelayan akan mudah menebar dan membuat jala dibandingkan dengan pekerjaan lain, karena itu memang kebiasaannya. Dulu saya terbiasa ikut bapak ke laut mencari ikan di laut, maka saya terbiasa dengan kehidupan laut. Tapi lambat laun kebiasaan itu hilang ketika saya tidak membiasakan diri ke laut.
• Teruslah berlatih menulis. Jangan pernah berhenti menulis. Sebab menulis itu seperti menyetir mobil. Semakin tinggi jam terbang Anda, maka keahlian Anda pun insya Allah semakin baik.
• Rajin-rajinlah membaca buku-buku yang berkualitas. Jika tubuh kita diibaratkan “pabrik penulis”, maka inputnya – antara lain adalah bacaan, dan outputnya (atau produk yang dihasilkan) adalah tulisan. Dengan demikian, kegiatan membaca bagi seorang penulis sangat penting. Tulisan kita akan banyak diwarnai oleh jenis bacaan yang kita lahap. Bila Anda rajin membaca teenlit, maka Anda akan menjadi seorang penulis teenlit. Bila Anda rajin membaca opini di surat kabar, maka Anda akan menjadi seorang penulis opini. Demikian seterusnya.
Tulisan yang berkualitas, pastilah didahului dulu dengan proses membaca. Tak ada tulisan berkualitas yang langsung mengalir begitu saja bila anda tak membiasakan diri dalam membaca dan menulis. Pada intinya bahwa menulis itu menyenangkan, menulis itu mengasyikkan, menulis itu membebaskan, menulis itu menata pikiran.

1. menulis sebelum tidur
2. menulis catatan harian
3. jangan pernah menunda menulis
4. jangan pernah berhenti menulis
5. menulis itu berjuang

Tak usah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal-hal sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.

Ada beberapa strategi penting menembus media mulai dari cara nonteknis seperti, banyak membaca, kenali karakteristik media, kenali pembaca sampai pada cara teknis penulisan yang pada intinya tidak mempersulit tugas redaktur. “Permudah tugas redaktur” ungkapnya menjelang akhir penyampaian materi.

Menulis resensi atau kritik buku sebenarnya nggak sulit. Kalau mau,
kamu juga bisa. Nah, berikut ini ada beberapa tips agar kamu piawai
menulis resensi.
* Tulisan resensi yang menggambarkan sinopsis harus sesuai dengan isi
buku. Banyak peserta yang terdaftar dalam kompetisi ini ternyata kurang
memahami isi buku sehingga sinopsis mereka berbeda dengan isi buku.
* Ketajaman analisa. Setelah memahami isi buku, kamu harus bisa menilai
apakah isi buku bermanfaat atau tidak ? Jika memang bagus, beri
penjelasan di mana letak sisi bagus itu. Begitu pun sebaliknya. Di samping
itu, kamu harus pula menguasai pengetahuan lain sebagai bahan pembanding
isi buku yang hendak kamu kritisi itu, termasuk di dalamnya menyikapi
masalah yang ditampilkan buku tersebut.
Asal kamu tahu, prosentase terbesar kriteria penilaian ada pada
ketajaman analisa. Di sini, kamu harus bisa mengaitkan masalah lain yang ada
dengan masalah yang diangkat buku itu. Dari sini, gagasan kamu dan isi
buku mengenai masalah yang sama, bisa bertemu. Tentu saja kamu bisa
mengungkapkan ketidaksetujuan atas gagasan penulis buku yang bersangkutan.
Pada saat yang sama, kamu juga harus menawarkan argumen untuk mendukung
pendapatmu.
* Gunakan bahasa yang terstruktur, lugas, dan jelas sehingga memudahkan
pembaca memahami maksud kamu. Melalui bahasa semacam itu, kamu bisa
menulis ulang isi atau materi yang terkandung dalam buku, kemudian
mengkritisi isinya jika ada yang dinilai kurang tepat. Selain itu, penulis
resensi juga harus memiliki kemampuan memahami isi buku secara benar.
* Terakhir, hindari penggunaan kalimat yang panjang dan bertele-tele.
Kalimat panjang bisa mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Jangan
lupa, pilih kata-kata yang tepat untuk merangkai tulisan resensimu. Dengan
cara ini, niscaya pembaca akan gampang memahami maksud kamu. Tidak
sulit, kan? Oke deh, selamat mencoba.
KIAT PENULISAN LAKON
Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa yang biasa disebut “inspirasi”.

Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.

Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.
Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.
Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.
Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun. Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru.
Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit.
Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak, idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral.
Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu.
Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan konsepnya.
Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide tidak terhambat.
Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya, jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana, tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan.
Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru. Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar biasa.
Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.
Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali menegakkan keadilan.
Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau muncrat.
Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.
Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama “kloset”.
Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.
Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.
Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga menciptakan pengalaman spiritual.
Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.
II.CATATAN DARI LAPANGAN
Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk perbandingan:
Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.
Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov, Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany, Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.
Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis. Misalnya Merdeka dan Zmar.
Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan, saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah). Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di Jakarta.
Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan, sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali. Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL. Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya kembali kepada kata-kata.
Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas, Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.
Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah, Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.
Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art, Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto, Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam buku DAR-DER-DOR.
Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan, Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI). Dalam perjalanan saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri. Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi sekali kerja dua hal tercapai.
Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan itu harmoni yang dinamis.
Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun 1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.
Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974) Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.
Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula semua naskah yang saya buat sampai 1989.
Pesan moral yang saya pegang dalam setiap pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan mendusin dari tidurnya.
Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan (politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat ( idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya, tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.
Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.
Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau penontonnya.
Maksud saya untuk memberikan ruang kepada sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.
Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat. Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas. Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah yang yang tak terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.
Sebuah tulisan yang baik tidak selalu harus benar-benar “tulisan pribadi” atau yang sering kita bayangkan sebagai karya asli/original, meluncur dari kata-kata sendiri, buah pikiran asli, murni.
Ada memang naskah yang lebih enak ditulis dengan cara “mengarang“, yaitu yang keluar dari hati nurani atau pikiran sendiri. Misalnya saat menulis surat pribadi atau surat pembaca, menulis essay/opini, menulis hasil pengamatan, pengalaman atau observasi. Akan tetapi untuk tulisan jurnalistik, cara “ngarang” ini harus dipakai hati-hati. Jangan sampai kebablasan.
Kekuatan naskah karya jurnalistik sebenarnya bukan lagi terletak pada “cara atau skill anda menulis” melainkan pada isi atau materi alias substansi. Dan ini tidak mungkin dihasilkan hanya mengandalkan pikiran sendiri apalagi melulu suara hati penuh emosi. Pembaca berita tidak akan peduli dengan pikiran anda, juga perasaan anda. Yang mereka mau, fakta-fakta apa yang anda temukan dan laporkan. Fokuslah pada fakta itu.
Jadi intinya, kalau mau menulis untuk media-massa, rahasianya cuma satu. BAHAN! Skill menulis apapun yang anda miliki saat ini, pakai sajalah. Asal bisa menulis kalimat yang orang lain ngerti, sudah cukup itu. Soal bagus atau jelek, biarkan saja. Ntar juga diperbaiki sama editor/redaktur, asalkan memang isinya “layak terbit”. Sambil terus berjalan, saking seringnya menulis, lama-lama skill atau cara kita menulis itu akan baik juga secara otomatis. Pasti akan berlaku teori “kuantitas akan melahirkan kualitas“.
Menulis Tanpa Beban
Cara menulis yang sering saya sarankan bagi kalangan penulis pemula adalah FreeWriting dan Re-Writing.
Dengan teknik Free Writing berarti kita menulis secara bebas, tanpa mempedulikan bagus tidaknya tulisan yang sedang digarap. Pokoknya terus saja menulis sampai capek, sampai tidak ada lagi yang mau ditulis. Sekalipun nggak urut biarkan saja. Tidak bagus cuekin saja. Bahkan karena bingung, akhirnya kita hanya menulis: “… apa ya? Aku tak tahu mau nulis apa? Ah gimana nih? Dst”. Yang ada dalam pikiran kita cuma: what next, next, next!
Perhatikan saja kalau kita lagi emosi (khususnya marah atau gembira), atau dalam pengaruh tekanan (seperti lagi ujian essay). Naturalnya sebagian besar kita akan menulis dengan cara free writing, ya ‘kan?
Anda yang dalam keadaan normal ngakunya tidak bisa menulis, saya yakin sekali dalam dua keadaan itu dengan ajaib tiba-tiba bisa lancar menulis. Apalagi jika yang mau disampaikan begitu banyak. Bisa sampai pegel.
Lha, setelah selesai menulis, tentu hasilnya wow… jelek sekali ya. Semua serba ada. Banyak yang asal-asalan, atau juga urutannya bisa jadi ngaco.
Disinilah saatnya anda mulai menyunting, mulai dari membuang yang tidak perlu, menyusun lagi urutannya serta membaguskan bahasanya. Bisa bolak-balik berkali-kali, sampai akhirnya anda suka dengan hasil akhirnya.
Cara lain adalah menulis dengan teknik Re-Writing atau menulis ulang. Ini sangat ampuh digunakan dan sangat mudah bagi para pemula. Yang kita lakukan hanyalah mengumpulkan bahan-bahan (tertulis atau hasil wawancara) lalu kemudian menuliskan-ulang kembali bahan tersebut dengan tentu saja memakai gaya bahasa sendiri. Sebut sajalah hasilnya sebagai naskah-ramuan.
Ramuan yang baik biasanya selalu berupa pernyataan yang disusun dengan kalimat lain, yang berbeda dengan kalimat sumber informasi yang asli. Sedang ramuan yang buruk seringnya berbentuk kumpulan kalimat sama dengan sumber aslinya. Kadang-kadang malah ada semacam ramuan atau rangkuman yang tidak merangkum, tapi mengutip berbagai pernyataan sesuai dengan aslinya, walaupun dengan kata-kata yang disana-sini diganti dengan kata lain, agar agak berbeda.
Selama naskah-ramuan itu tidak menunjukkan hasil pengumpulan berbagai informasi (lebih dari satu sumber), ia belum dapat disebut naskah-ramuan namanya, tapi itu jiplakan yang ringkas.
Sebaiknya dalam menulis naskah ramuan gunakan gaya bebas saja, seperti sedang menyampaikan informasi kepada seorang teman akrab. Apa yang ditulis biasanya memakai kata lain yang berbeda dengan kata dalam informasi aslinya. Hanya idenya saja yang sama.
Sesudah ramuan itu selesai ditulis, tetap saja sebaiknya naskah itu disunting lagi minimal mengedit bahasanya, atau paling tidak ya judul dan leadnya. Bila perlu, agar lebih gurih rasanya, mungkin masih bisa kita selipkan dan perbaiki intonasinya, nadanya, gaya bahasanya, atau bahkan sedikit digarami dengan humor-humor jenaka.
Menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan sekaligus mencerahkan. Banyak orang berkeinginan untuk bisa menulis secara teratur namun terhalang tidak adanya waktu karena kesibukan pekerjaan.
Apakah karena halangan tersebut kegiatan menulis harus terhenti? Jawabnya tidak. Semua orang tetap dapat menyalurkan pemikiran dan perenungannya lewat tulisan sesibuk apapun jika menemukan kiat yang tepat.
Tulisan berikut akan memberikan beberapa kiat buat orang-orang yang sibuk agar bisa menulis secara teratur dan konsisten.
1. Teguhkan niat menulis
Segala sesuatu berawal dari niat. Dengan menetapkan niat yang kuat untuk menulis, maka akan ada dorongan yang memaksa diri untuk melakukannya. Sama halnya dengan menulis, tetapkan target yang jelas misalnya 1 tulisan per minggu atau 2 tulisan per bulan. Dengan cara ini secara mental kita akan merasa berhutang jika belum melakukannya dan secara aktif akan mencari cara agar bisa menyelesaikan hutang tersebut.
Saya pribadi menetapkan target 2 tulisan per minggunya dan sejauh ini masih bisa memenuhinya, meskipun dengan berbagai tantangan kesibukan yang ada.
2. Temukan waktu produktif Anda
Tiap orang memiliki waktu produktif yang berbeda-beda. Ada yang sangat produktif di pagi hari ketika banyak orang belum bangun. Ada yang produktif di tengah malam ketika semua orang tengah terlelap. Ada pula yang menikmati waktu di tengah hari ketika semua orang sedang sibuk bekerja.
Menemukan waktu yang tepat akan membantu produktivitas tinggi dalam menulis. Memanfaatkan waktu yang tepat dan nyaman secara natural, seseorang dapat menyelesaikan beberapa tulisan sekaligus.
Saya sendiri paling suka menulis di tengah malam sampai pagi hari setelah tidur beberapa jam sebelumnya. Pada waktu tersebut, segala sesuatunya menjadi sangat lancar dan berbagai ide bermunculan. Tak jarang saya menulis 2-3 tulisan sekaligus untuk diterbitkan di hari yang berbeda dalam blog ini.
3. Manfaatkan waktu senggang dengan baik
Jika Anda memiliki pekerjaan full time yang menuntut perhatian penuh, maka memanfaatkan waktu dengan baik adalah kunci agar Anda bisa menulis. Sepulang kerja, coba perhatikan kegiatan apa saja yang Anda lakukan. Mandi, makan malam, sholat, bercengkrama dengan keluarga, menonton TV, istirahat dan lain-lain. Kurangi kegiatan yang kurang bermanfaat dan gunakan untuk menulis. Jika Anda terlalu lelah, maka segeralah beristirahat untuk kemudian bangun dengan segar sehingga dapat menulis.
Selain itu, Anda juga dapat memanfaatkan waktu istirahat di kantor dengan menulis. Gunakan waktu istirahat kerja secara efektif sehingga masih ada sisa untuk menulis. Atau Anda dapat membuat draft tulisan dalam perjalanan pergi dan pulang dari kantor. Tentunya hal ini baru bisa dilakukan jika Anda tidak membawa kendaraan sendiri.
Jangan lupa manfaatkan pula waktu akhir pekan ketika libur dari pekerjaan. Saya sering memanfaatkan waktu akhir pekan ini terutama di pagi hari. Jika beruntung, dalam dua jam bisa menyelesaikan beberapa tulisan sekaligus.
4. Kurangi waktu istirahat
Jika Anda benar-benar ingin konsisten menulis sementara Anda juga orang yang sibuk, mau tidak mau harus ada waktu istirahat yang harus dikorbankan. Sebagai contoh sepulang kerja mungkin Anda harus bercengkrama dengan keluarga sampai waktunya tidur malam. Setelah anggota keluarga tertidur, Anda dapat memanfaatkan waktu untuk menulis. Atau sebaliknya, Anda bisa ikutan tidur dan bangun di tengah malam untuk menyelesaikan tulisan.
Mengurangi waktu istirahat adalah cara paling akhir jika memang Anda benar-benar tidak punya waktu. Lantas bagaimana dengan kewajiban kerja keesokan harinya? Jika sudah terbiasa, maka tubuh akan membiasakan diri. Jadi cukup dengan tidur 3-4 jam sehari sudah membuat Anda segar untuk melaksanakan tugas keesokan harinya.
5. Catat ide tulisan
Ide dapat muncul kapan saja. Sama seperti Newton yang mendapat ide gravitasi ketika melihat sebuah apel jatuh. Oleh karena itu segera catat segala ide yang melintas di kepala Anda. Menundanya akan membuat lupa dan menghabiskan energi ketika berusaha mengingatnya kembali.
Catatan ide ini sangat berguna ketika Anda punya waktu senggang untuk menulis. Seringkali orang yang tidak membuat catatan kehabisan waktu mencari ide ketika sebenarnya dia punya waktu yang cukup untuk membuat tulisan.
Saya pribadi memiliki catatan khusus untuk semua ide tentang tulisan yang ingin saya buat. Total ada 50 judul dan ide di sana. Setiap kali saya terpikir akan suatu ide, kutipan, frase yang menarik, akan segera saya catat. Ketika nanti punya waktu luang, saya tinggal membaca daftar tersebut dan menulis yang paling menarik dan nyaman buat saya saat itu.
IDE sudah mantap, menulis sudah dilakukan, tulisan sudah jadi, tapi … takut mempostingnya. Nah lho. Kalau menemukan pesharing berperilaku demikian tanpa banyak komentar dikatakan: “Mas, tulisan itu tulisan siapa? Blog itu punya siapa? FB itu milik siapa? Punya Sampeyan kan?”
“Ya”, katanya pendek. “Tapi, saya tidak PD. Minder”, jelasnya mantap. “Begini saja. Coba mindset Sampeyan di upgrade”. “Maksudnya?”, tanyanya bingung. “Begini”, kata saya sesabar mungkin sekaligus ‘menyinggung’ agar rasa percaya dirinya bangkit.
“Sampeyan itu berpikir, orang lain jahat semua. Tidak baik itu. ‘Curigation’ boleh, namun kalau berlebihan merugikan diri sendiri, dan menumpuk dosa”. Dikuliahi sekalian biar lebih mantap: “Hilangkan kecurigaan, biasakan berprasangka baik”. Pikiran buruk itu bersarang di batok kepala Sampeyan.
Wajar saja dia kurang berterima. “Saya tidak …”. Langsung dipotong. “Coba. Anggap saya, juga teman-teman blogger atau Facebooker saudaramu. Orang yang mau menolong. Kalau salah, tidak akan ditertawakan, tetapi dibetulkan. Kalau sesama saudara, mana ada istilah malu. Kekurangan dijadikan bahan perbaikan agar lebih baik”.
Setelah kuliah agak ‘ganas’ pesahring tersebut mengalami kemajuan menulis sangat baik. Dia tidak takut lagi salah. Tidak membesarkan kesalahan, tidak menganggap salah dan kesalahan aib besar. Sekalipun dikatakan: “Kalau salahnya itu-itu saja, salah yang berulang, itu bodoh namanya”.
SALAH KOK DIPELIHARA
Yap, salah adalah hak kita, milik kita. Nabi Adam AS saja melakukan ‘kesalahan’ agar menjadi pelajaran buat manusia sampai hari kiamat. Apalagi menulis. Salah? Ya, bagus itu. Kalau sadar salah, perbaiki. Kalau diketahui teman, ditunjukkan dimana salahnya, perbaiki. Enteng saja kok. Bersalah (dosa) kepada Allah SWT boleh-boleh saja. Makanya dibukakan pintu minta ampun, pintu tobat.
Apalagi, ya apalagi, kalau belajar menulis, baru penulis pemula. Saya pikir, semua penulis pernah melakukan kesalahan. Tetapi, jangan dituduh semua penulis bersalah. Itu lain lagi maknanya. Dari kesalahan itu belajar dengan mantap. Kenapa harus malu? Salah dan kesalahan dipahami agar tidak bersalah pada kesempatan berikutnya.
Hanya mereka yang sok perfeksionis saja yang tidak menoleransi salah, apalagi pada awal belajar. Baru belajar saja sombong, sok hebat. Tapi, kalau menulis untuk lomba, kompetisi, atau karya keilmuan atau sederajatnya, ya tidak mungkin ditolerir. Pada hal sedemikian kualitas prima yang dipertaruhkan.
Dengan kata lain, turunkan kadar kesombongan. Salah, biar saja. Namanya juga belajar. Baru belajar menulis tulisan disepadankan dengan karya Sitor Situmorang, yo opo rek.
Mari lawan takut salah dengan mempublikasikan tulisan, dan dari situ belajar, menapak tulisan agar tidak salah. Salah adalah jalan menuju betul. Mari lakukan, dan dari situ tancapkan percaya diri alias PD. Tidak PD kok dipelihara dengan bangga. Aya-aya wae.

Wednesday, 29 September 2010

Tujuh Sastrawan Sumut ke TSI III Tanjungpinang

Sebanyak 200 sastrawan Indonesia dari berbagai daerah akan berkumpul di Kota Tanjungpinang dalam acara Temu Sastrawan Indonesia III, tanggal 28-31 Oktober mendatang. Tema yang diusung adalah Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman.

Dari Medan atau Sumatera Utara, panitia mengundang tujuh sastrawan untuk mengikuti perhelatan akbar tersebut. Mereka adalah Idris Pasaribu, Thompson HS, Hasan Al Banna, Suyadi San, M Raudah Jambak, Panda MT Siallagan, dan Zulkarnain Siregar.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim MT baru-baru ini menjelaskan, perhelatan akbar sastrawan itu merupakan upaya meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia ke arah yang lebih modern. Penetapan jumlah sastrawan 200 orang merupakan hasil keputusan rapat antara kurator dengan pihak Pemerintah Kota Tanjungpinang diwakili Kadisbudpar yang berlangsung di Yogyakarta baru-baru ini.

Menurut Akib, panggilan Abdul Kadir Ibrahim, dalam waktu dekat Pemerintah Kota Tanjungpinang selaku penyelenggara Temu Sastra Indonesia 2010 akan mengundang resmi para sastrawan sebagai peserta. Mereka akan diundang langsung oleh Wali Kota Tanjungpinang Hj Suryatati A Manan, yang juga terkenal sebagai penyair.

Peserta yang akan diundang perwakilan Aceh Nanggroe Darussalam adalah lima orang, Sumut tujuh orang (Hasan Al Banna, Idris Pasaribu, M.Raudah Jambak,Panda MT. Sialagan, Suyadi San, Thomson HS, dan Zulkarnain Siregar), Sumbar 10 orang, Riau delapan orang, Sumsel enam orang, Bengkulu dua orang, Jambi lima orang, Bangka Belitung enam orang, Lampung tujuh orang, Banten enam orang, DKI Jakarta 16 orang, Jawa Barat sembilan orang, Jawa Tengah 12 orang, Jogyakarta 15 orang, Jawa Timur 12 orang, Bali 10 orang, NTB tiga orang, NTT delapan orang, Kalimantan 12 orang, Sulawesi 11 orang, Maluku enam orang, dan Papua satu orang. Seterusnya, perwakilan dari delapan kabupaten/ kota se-Provinsi Kepulauan Riau pasti diundang.

Secara khusus, Pemerintah Kota Tanjungpinang dipastikan mengundang sastrawan asal Kepulauan Riau. Antara lain Sutardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia), Rida K Liamsi, dan Hasan Junus. Akib mengungkapkan, TSI pertama 2008 diselenggarakan oleh Pemerintah Jambi dan kedua pada tahun 2009 di Bangka Belitung.
Untuk TSI ke-3 tahun 2010 di Kota Tanjungpinang, para kurator telah menetapkan tema “Sastra Indonesia Mutahir, Kritik dan Keragaman.” Akan hadir sebagai pemakalah: Budi Dharma, Gunawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, Hasanuddin WS, dan Al Azhar, Melani Budianta, Faruq HT, Keitch Foulcer, Halim HD, dan Asep Sambodja.

Pemakalah nantinya dibagi empat kelompok, yaitu Budi Dharma, Gunawan Muhammad, dan Sapardi untuk membahas topik Sastra Indonesia Mutahir. Kemudian Hasanuddin, Al Azhar, membahas “Tinjauan Sastra Indonesia dari aspek Kemelayuan dan Keindonesiaan”. Lalu, Melani Budianta, Faruq HT, Keitch Poulcer dengan bahasan “Teks Sastra Indonesia Mutahir.” Terakhir, Halim HD dan Asep Sambodja membicarakan “Fenomena Sastra Indonesia”.
Akib menambahkan, di samping seminar, turut diadakan pentas sastra untuk baca puisi dan visualisasi puisi. Bengkel sastra pun akan ditampilkan khusus bagi pelajar di Tanjungpinang, tetapi jumlah peserta dibatasi hanya 20 orang.
Akib berharap, Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai tuan rumah TSI 2010 mengharapkan hasil pertemuan itu dapat mengantar sastra Indonesia menjadi lebih modern dan mutakhir.

Tuesday, 28 September 2010

Pantun dan Teks Pelajaran

Anak-anak sekolah di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, dari tingkat SD sampai SMA, menggalakkan pantun pada berbagai kegiatan. Pantun telah menjadi salah satu cabang pendidikan tambahan.

Guru besar Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Dr Lince Sihombing, Mpd, mengatakan, dewasa ini seni berpantun telah hilang dari sebagian besar isi buku teks Bahasa Indonesia.

"Padahal pantun sangat berpotensi untuk menyosialisasikan kesantunan berbahasa sekaligus menyantunkan pengguna bahasa Indonesia," katanya di Medan, Sabtu (2/1/2010).

Pantun adalah cara seseorang untuk menyampaikan maksud atau isi hati kepada orang lain secara sopan, santun, dan tidak dengan kata-kata yang kasar. Disebut santun sebab maksud hati tidak disampaikan secara langsung tetapi dialihkan melalui penyertaan sampiran yang sesungguhnya lebih sering tidak berhubungan dengan isi pantun yang terdapat pada baris-baris berikutnya.

"Artinya dengan pantun, orang diajarkan untuk menyampaikan maksudnya dengan cara yang sopan, halus dan santun meskipun apa yang akan disampaikannya itu sebenarnya bentuk protes ataupun kecaman," katanya.

Ia mencontohkan, ketika seseorang pembuat pantun duduk merenung atau memikirkan bagaimana menautkan kata-kata yang terdapat dalam baris-baris sampiran dengan kata-kata yang berada dalam baris-baris berikutnya, maka secara tidak langsung dia telah melakukan seleksi atau memilih kata-kata yang digunakan, mana yang layak dan mana pula yang tidak layak.

Selain itu pembuat pantun juga harus memikirkan rima ataupun harmonisasi bunyi dari kata-kata terakhir dari dua baris sampiran dan dua baris isi yang membentuk pantun.

Tidak tertutup kemungkinan pembuat pantun terpaksa mengganti salah satu dari kata yang ada di baris-baris sampiran maupun di baris-baris isi agar ketika diucapkan tercapai harmonisasi bunyi dan ketika dikaji secara tidak langsung akan melatih pembuat pantun santun menggunakan kata-kata .

Sebaliknya, seorang penikmat pantun juga akan merekam dalam benaknya untuk tidak sembarangan menggunakan kata-kata ketika akan menyampaikan maksud hati. Jika pantun diajarkan di sekolah, akan membuat siswa menjadi santun dalam berbahasa sehari-hari," katanya.

Monday, 6 September 2010

Temu Sastrawan III di Tanjungpinang

Laporan wartawan KOMPAS Yurnaldi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, akan menjadi tempat digelarnya perhelatan besar Temu Sastrawan Indonesia III, tanggal 28-31 Oktober mendatang. Tema yang diusung adalah Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Abdul Kadir Ibrahim mengatakan, ada enam jenis kegiatan utama yang akan diikuti ratusan sastrawan, yaitu stadium general dan seminar dengan pembicara Budi Darma, Katrin Bandel, Nanang Suryadi, Putu Wijaya, Akmal Nassery Basral, Faruk HT, Keitch Foulcer, Hasanuddin WS, Amien Sweeny, dam Al Azhar.
Kemudian malam apresiasi pentas sastra, yang akan menampilkan tari, musik, ciloteh pantun dan sebagainya, baik yang berupa tradisional maupun kontemporer. Forum dan bazar buku , penerbitan buku antologi sastra, dan bengkel sastra dengan narasumber Agus R Sarjono, Joko Pinurbo, AS Laksana, dan Hamsad Rangkuti.
"Juga ada wisata budaya, mengunjungi bekas pusat Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga di Hulu Sungai Carang dengan kawasan wisata hutan bakau, peninggalan Tiong Hua berusia 300 tahun di Senggarang, dan sejumlah tempat lainnya," kata Abdul Kadir Ibrahim, Minggu (5/9/2010).
Keterangan lebih lanjut bisa menghubungi kutaror dan panitia di: memorabledestination@yahoo.com atau akib_penyair@yahoo.com, atau fax (0771) 7000212.
Temu Sastra Indonesia II di Pangkalpinang, Bangka-Belitung

sayyid — April 5, 2009 / 12:23 pm
Topik: Seputar Dunia Sastra Indonesia
Sehubungan akan diselenggarakannya “Temu Sastrawan Indonesia II” di Pangkalpinang, Bangka-Belitung pada bulan Juli 2009 (Tanggal akan diumumkan kemudian), maka kepanitiaan TSI II mengundang Anda sekalian untuk bergabung bersama dalam event sastra tahunan yang merupakan terusan dari event serupa (Temu Sastrawan Indonesia I) yang telah berlangsung di kota Jambi tahun lalu, dengan mengirimkan karya berupa cerpen dan puisi.
Karya-karya yang masuk–sebagaimana kesepakatan sidang di Jambi–nantinya akan dikurasi oleh sejumlah rekan sastrawan.
Adapun ketentuan pengiriman karya tersebut adalah sbb:
• Karya berupa cerpen atau puisi.
• Diketik 1/2 spasi menggunakan MS.Word dan disimpan dalam format RTF.
• Masing-masing mengirimkan 5 (lima) buah karya.
• Karya dikirimkan ke email: tsibabel@yahoo.com
• Karya masuk paling lambat: Akhir April 2009.
Salam dari Panitia TSI II Bangka-Belitung.
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Temu Sastrawan di Jambi Dibuka
Berlangsung Hingga 11 Juli
Laporan: Yurnaldi & Irma Tambunan/Wartawan Kompas
Sumber: Tribun Pekan Baru Online [Senin 07/07/08, 22:30:19]
JAMBI, TRIBUN – Pertunjukan baca puisi, tarian dan lagu oleh anak-anak yang diiringi musik kolintang kayu, gendang, dan akordeon yang dimainkan anak-anak, Senin (7/7) malam, memukau sekitar 200 lebih sastrawan. Pertunjukan anak-anak itu mengawali prosesi pembukaan Temu Sastrawan Indonesia I di Kota Jambi, Provinsi Jambi.
Gubernur Jambi diwakili Staf Ahli Gubernur, Junaidi T Noor, mengatakan, Temu Sastrawan Indonesia ini membuka ruang interaksi pemikiran dari beragam etnis, kultur, yang sarat dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing.
“Karya sastra yang digali dari subkultur yang ada di Indonesia akan memberi rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (Bhinneka Tunggal Ika). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi,” katanya.
Menurut dia, keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang. Usai memberikan kata sambutan Staf Ahli Gubernur melanjutkan pembacaan puisi karya Dimas Arika Mihardja berjudul Pucuk Jambi Sembilan Lurah Batangnyo Alam Barajo.
Koreografer Tom Ibnur juga mempertunjukan koreografi terbarunya. Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia Sudaryono mengatakan, bahwa satrawan yang datang hampir dari seluruh pulau di Indonesia. Tampak hadir antara lain Putu Wijaya, Harris Effendi Tahar, Jose Rizal Manua, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti, Dinullah Rayes, Irmansyah, Asrizal Nur, dan Ahmadun Yosi Herfanda.
Temu Sastrawan yang berlangsung hingga 11 Juli mendatang, menggelar enam kegiatan, yaitu Dialog Sastra dan Musyawarah Sastrawan Indonesia, Workshop Penulisan Esai dan Kritik Sastra, Panggung Apresiasi, Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen dan Puisi, Pameran dan Bazar, dan Wisata Budaya ke Situs Candi Muaro.
Pembukaan sekaligus peluncuran buku puisi Tanah Pilih dan buku kumpulan cerpen Senarai Batanghari, yang diserahkan secara simbolis kepada Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti. “Temu Sastrawan Indonesia selain ajang silaturahmi, juga tukar pemikiran sastra Indonesia yang diharapkan berkembang dinamis untuk membenahi rumah tangga sastra Indonesia,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Mualimah Radhiana.(*)
200 Sastrawan Kumpul di Jambi
Kompas, Minggu, 6 Juli 2008 | 10:29 WIB
JAKARTA, MINGGU – Sedikitnya 200 sastrawan Indonesia, Senin sampai Jumat (7-11/7), bertemu di Kota Jambi. Mereka selain mengadakan dialog sastra dan musyawarah juga menggelar panggung apresiasi, wisata budaya ke situs Candi Muaro, serta peluncuran buku antologi puisi dan cerpen sastrawan Indonesia.
Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia I Sakti Alam Watir mengatakan, perkembangan karya sastra Indonesia sepeninggal Paus Sastra HB Jassin tidak diiringi oleh kinerja sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau.
“Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis,” kata Sakti Alam Watir, Minggu (6/7).
Pada sesi dialog pembicara yang tampil di antaranya mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Ivan Adilla, guru besar satra Indonesia dari Universitas Negeri Padang Hasanuddin WS, sastrawan Sunartono Basuki, Acep Zamzam Noor, dan Abdul Bari Bazed.
Panggung Apresiasi akan menampilkan pembacaan puisi, keragaman seni di setiap kota/kabupaten di Jambi. Panitia juga memamerkan aneka corak serta bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Yurnaldi
—-
Menyongsong Temu Sastrawan Indonesia
Sumber: WASPADA ONLINE, Minggu, 29 Juni 2008 03:09 WIB
Pemerintah Provinsi Jambi pada 7 hingga 11 Juli 2008, menggelar Temu Sastrawan Indonesia (TSI).Sejumlah sastrawan dari seluruh penjuru tanah air akan mengikuti hajatan tersebut. Lalu, siapakah sastrawan Sumatera Utara yang diundang?
Bocoran yang diperoleh dari panitia TSI, Sumatera Utara akan mengutus enam orang sastrawan. Yakni, (secara alfa-betis) Afrion, Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak, S. Ratman Suras, Suyadi San, dan Thompson HS.
Bagi saya, TSI ini perlu dijadikan forum rekonsiliasi. Ia (baca: TSI) diharapkan mampu menjadi perekat, ajang silaturahmi antarsastrawan, dan revitalisasi peran sastrawan itu sendiri.
Jika kita lihat, kondisi kesusastraan Indonesia masih berada di persimpangan. Buram. Retak-retak menunggu pecah. Dan, serpihannya bakal menusuk-nusuk anak bangsa.
Keberagaman sastra Indonesia jika tidak terpelihara, bakal menjadi kutub-kutub yang saling serang. Menjadi sekat-sekat yang saling sikut, saling sikat. Jika terbiarkan berlarut-larut, bakal menjadi bom waktu – yang ledakannya kemungkinan mengimbangi bom atom Hiroshima-Nagasaki.
Lihat saja, hampir dua dasawarsa belakangan, banyak hajatan sastra tergelar. Masing-masing membawa hegemoni sektoral. Ada Temu Sastrawan se-Jawa-Bali. Ada pula Temu Sastrawan Sumatera, Temu Penyair Sumatera, Kongres Cerpen, Kongres KSI. Dan sebagainya. Namun,tidak hanya menuntaskan kebuntuan, malah menghasilkan percekcokan. Semua berjalan pada rel masing-masing. Memang, kita selalu mempertentangkan keberagaman dan bukan mengunggulkan kesatuan?
Ada beberapa agenda penting yang perlu kita perhatikan terkait (TSI) 2008 di Jambi. Agenda itu secara fundamental berkaitan dengan beberapa persoalan yang mendesak dicarikan solusinya. Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, Cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran sebagai ekologi yang tidak sehat.
Artinya, masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) terkesan berjalan sendiri-sendiri dan terpisah oleh adanya jurang yang membatasi kebersamaan dan saling pengertian. Bahkan, ‘bentrok’ dan perselisihan paham di antara mereka melahirkan kegelisahan tersendiri.
Ingatlah perseteruan antar-komunitas sastra akhir-akhir ini, polemik yang melibatkan media massa, langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra, dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra. Tidak sehatnya
ekologi sastra Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang harus dijadikan wacana penting dalam mengurus rumah tangga sastra Indonesia mutakhir.
Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat, sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra pedalaman, sastra arus bawah. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya.
Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. Nah, akankah TSI 2008 mampu mewadahi dan menyediakan fasilitas untuk membangun rumah tangga sastra Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan sehingga tercipta ekologi sastra Indonesia yang kondusif.
Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra dan diangkat di atas panggung wacana dalam iklim yang demokratis. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhineka Tunggal Ika”).
Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi. Dengan tampilnya identitas lokal yang beragam. sastra Indonesia mutakhir akan memberikan tawaran-tawaran tematis dan capaian estetis yang menyemarakkan denyut kehidupan sastra Indonesia. Identitas keindonesiaan dapat dibangun berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia. Selain keberagaman, anggota rumah tangga sastra Indonesia (sastrawan, kritikus, media, dan masyarakat) masing-masing perlu memiliki kedinamisan yang mandiri.
Kedinamisan dan kemandirian ini memiliki arti penting ketika, misalnya, ada sebagian sastrawan yang ‘ditelikung’, diintimidasi, dikekang kebebasan kreatifnya, dipinggirkan oleh pihak-pihak lain (pemerintah, pimpinan redaktur koran, organisasi tertentu, pemilik media) memiliki kekuatan advokasi dan pembelaan secara adil dan berimbang. Kedinamisan dan kemandirian anggota rumah tangga sastra Indonesia akan memberikan iklim kondusif kedinamisan kehidupan sastra secara demokratis dan jauh dari sikap-sikap otoriter yang kelewat batas.
Lalu, apa yang bisa dicapai untuk menyatukan keberagaman sehingga menghasilkan kedinamisan dalam bersastra? Ya, mungkin saja akan muncul gagasan, para sastrawan bersatu dalam suatu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalistik Independent (AJI), Ikatan Keluarga Pengarang Indonesia (IKAPI) yang memiliki keharmonisan? Dengan keharmonisan, dimungkinkan sastrawan Indonesia memiliki bargaining power dan bargaining position yang lebih baik.Mungkin para sastrawan perlu melakukan kongres untuk membicarakan “wadah” dan sekaligus menuntaskan ketidakharmonisan.
Dalam kaitan ini, melalui TSI yang – konon – akan dihadiri para pelaku sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) minimal dapat disepakati perlunya agenda forum sastrawan secara kontinu. Ekologi sastra tidak sehat, antara lain disebabkan tidak berfungsinya kritik sastra. Realitas menunjukan bahwa kuantitas penerbitan karya sastra tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra hadir dalam bentuk catatan pengantar atau catatan penutup sebuah buku sastra.
Saat berada di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin 21 Mei lalu, penulis merasakan, sepeninggal H.B. Jassin kinerja kritik sastra belum menampilkan hasil maksimal. Dalam hubungannya dengan minimnya kritikus sastra, dipandang perlu melaksanakan workshop penulisan esai/kritik sastra yang diikuti penulis muda berbakat, guru, mahasiswa yang telah biasa menulis di media massa.
Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra perlu dijembatani melalui Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazar. Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazar dapat menampilkan atraksi keberagaman, kemandirian, kedinamisan dan keharmonisan sastra Indonesia dalam paket performance. Lalu, apa saja agenda penting TSI 2008 itu? Bocoran yang didapat dari panitia TSI, agenda TSI 2008 di Jambi ada beberapa macam.
Pertama, Kongres Sastrawan. Kongres? Ya. Agendanya membicarakan kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama (sastrawan, kritikus, media, penerbit, apresiator), pemetaan capaian estetik sastra Indonesia, keberagaman genre, gaya ungkap, dan kreativitas, dan regenerasi sastrawan. Pesertanya adalah sastrawan (3 generasi), Kritikus, media massa, penerbit, dan undangan khusus.
Kedua, Workshop penulisan esai/kritik sastra: memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra. Menurut rekan dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi, workshop akan digelar di instansi bahasa malik pemerintah tersebut. orang.
Ketiga, Panggung Apresiasi. Aacara ini akan menampilkan sastrawan undangan khusus (penyair dan cerpenis Indonesia terpilih), menampilkan keberagaman seni di setiap kota/kabupaten dalam provinsi Jambi, dan sanggar-sanggar seni di kota Jambi. Selain itu, memberi ruang bagi olah kreativitas sastrawan kota lain (Medan, Padang, Riau, dll) yang dibatasi jumlahnya.
Keempat, Wisata Budaya. Wisata budaya ini dimaksudkan untuk memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta. Mereka misalnya diajak ke situs Candi Muaro Jambi, Pusat batik/kerajinan, kawasan batanghari, Museum, Monumen, dsb. Penulis sendiri pernah melihat peninggalan candi Muaro tahun 2006 lalu.
Kelima, Penerbitan Buku Antologi. Pihak panitia akan : menerbitkan 2 buku, yakni: (1) Puisi, cerpen, dan esai sastrawan Indonesia yang dipilih berdasarkan seleksi dan (2) buku puisi sastrawan muda Sumatera. Buku-buku ini dijadikan cenderamata bagi seluruh peserta TSI.
Keenam, Pameran dan Bazar. Pameran dan bazar ini dimaksudkan untuk menampilkan keberagaman karya sastra didukung oleh penerbit-penerbit buku di Indonesia.
Jadi, begitulah. Mudah-mudahan TSI ini bisa menghasilkan formula jitu untuk menyelamatkan sastra Indonesia.
Suyadi San, Staf teknis Balai Bahasa Medan