Rina Mahfuzah Nst
Saat berhadapan dengannya, kesan pendiam lebih menonjol dalam diri lelaki yang bekerja sebagai PNS di Pemkab Deli Serdang ini. Sebaliknya, dia tidak pernah diam dengan kreatifitas dan karya-karyanya.
Baginya, pekerjaaan, kehidupan berumah tangga dan persoalan kehidupan lainnya, tidak menghalangi semangat menulis yang tetap terus bersemi di dalam hatinya. Selain menulis untuk dipublikasikan di media cetak, lelaki penyuka traveling, musik, film dan olahraga catur ini, juga rajin menulis di Blog dan mengikuti kegiatan-kegiatan lomba menulis di Blog.
Di sela-sela kesibukannya menyusun Tesis di Pasca Sarjana UMN Medan, Idris menulis novel, skrip film dan sinetron. Idris juga menulis lagu, bermain musik dan hobi fotografi. Bibit menulis sudah terlihat dalam diri lelaki kelahiran Medan, 2 Januari 1968 ini sejak masih di sekolah dasar. Bungsu dari tujuh bersaudara ini, selalu mendapatkan nilai pelajaran mengarang paling tinggi dari teman-temannya yang lain.
Kegembiraan sebagai seorang penulis mulai dirasakan Idris, ketika cerpen pertamanya dimuat di majalah HAI tahun 1986. Betapa senangnya dia kala itu. Honor yang dia dapatkan tidak disia-siakan. Idris membeli sepasang baju dan celana. Setiapkali dia memakainya, dia merasa kepercayaan dirinya bertambah.
Seolah ingin berkata, baju dan celana ini hasil dari menulis. Begitu juga saat masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum USU Medan. Idris bersama teman sekampus bernama Jenny. G menulis naskah fragmen penyuluhan hukum, shooting di TVRI Medan. Idris merasa senang bisa melakukan hal seperti itu.
Sejak itu, Idris menancapkan keinginan untuk terus menulis. Melepaskan berbagai ide yang menyesaki kepala, pikiran maupun hatinya. Dia mengagumi Arswendo Atmowiloto, lewat bukunya ‘cara gampang menulis cerpen’. Sedikit banyak telah memotivasinya untuk lebih giat lagi menulis. Idris juga menyukai Seno Gumira Ajidarma, dengan teknik bercerita yang mewarnai cerpen-cerpennya.
Dalam berkarya Idris tidak membatasi tema tulisannya. Dia menulis tema Anak-anak, remaja, politik, sastra, budaya dan lain lain. Sejumlah karyanya pernah dimuat di Majalah Dewan Sastera Malaysia, Majalah Bahana Brunei Darussalam, Majalah Annida, Analisa, Harian Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan, Sumatra, Taruna Baru, SIB, Koran Tempo, Waspada, Garuda Minggu, Medan Bisnis, Global, Swadesi, Sinar Pagi, Persada, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Radio Jepang NHK, Radio Jerman DW, dan lainlain.
Bersama rekan sesama penulis, Lely Zailani, Idris menulis buku bertajuk Merajut Bersama. Buku ini diterbitkan HAPSARI dengan dukungan HIVOS Jakarta Tahun 2008. Di samping itu sejumlah puisi dan cerpennya telah terangkum dalam berbagai Antologi Puisi bersama maupun tungggal.
Dalam perkembangan karir menulisnya di berbagai media, Idris tidak melupakan beberapa tokoh yang telah memberikan nasehat dan dorongan buatnya dalam berkarya. Sebut saja almarhum Wildan Nasution, redaktur harian Garuda Minggu. Beberapa tokoh lainnya, Idris Pasaribu, YS Rat, Adi Mujabir, Sulaiman Sambas, Harta Pinem, Bersihar Lubis dan Ristata S, ketika masih aktif berdiskusi di TBSU.
Untuk menunjang ide-ide sekaligus menambah wawasan, Idris kerap mengunjungi perpustakaan dan beberapa toko buku di Medan. Ketika menulis, dia ingin tumbuh dalam kewajaran semata. Menulis, menjadi jembatan pentransformasian gagasan yang ada dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan nyata kepada para pembaca. Menulis tidak lagi sekedar mendapatkan honor atau nama, melainkan tanggung jawab sebagai seorang manusia yang dianugerahi Allah SWT talenta atau keterampilan menulis.
Untuk itu ayah empat anak lelaki ini, terus mengasah keterampilannya dengan terus belajar, banyak membaca buku-buku dan latihan terus menerus. Sebenarnya sudah lama Idris mendambakan adanya sebuah wadah di Sumatera Utara yang representatif, memberikan apresiasi tahunan kepada penulis kreatif atau penulis berbakat di Sumatera Utara, seperti anugerah Sagang di Riau.
“Seni khususnya sastra tetap memberikan warna dalam kehidupan ini, walaupun masih saja penghargaan untuk sastra belum begitu maksimal. Bandingkan saja dengan sebuah kuis di salah satu televisi. Dengan sekedar menjawab pertanyaan atau melakukan sesuatu bisa memperoleh hadiah uang 2 sampai 3 juta. rupiah.
Bahkan jika beruntung bisa membawa mobil mewah. Beberapa organisasi seni memang sudah mencoba untuk membangun penghargaan kepada para penulis melalui lomba lomba dengan hadiah yang cukup significan tetapi sifatnya masih insidentil,” ujarnya.
“Menulis berbeda dengan main film, di mana pemerannya bisa dilihat para penonton. Terkadang pembaca tidak merasa penting untuk mengetahui bagaimana sosok seorang penulis yang dibaca karyanya. Belakangan ini memang ada trend tulisan dilengkapi dengan wajah penulisnya. Begitu juga dengan buku buku yang kerap memuat wajah si penulis. Tidak ada korelasi wajah seorang penulis dengan hasil tulisannya,” lanjutnya.
Dari keterampilannya menulis, sejumlah prestasi menulis telah diperolehnya antara lain:
Juara II Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan BP-7 Kota Medan Tahun 1995. Juara II Lomba Menulis Pusi yang diselenggarakan Studio Seni Indonesia Medan 1995. Juara Lomba Cipta Cerpen yang diselenggarakan LKK Unimed 1995. Juara III Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan KNPI Deli Serdang 199. Juara II Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan Pemprovsu Tahun 2000. Pemenang Harapan Krakatau Award (Puisi) Tahun 2000. Pemenang Harapan Lomba Menulis Puisi yang diselenggarakan INTI Jakarta Tahun 2007. Pemenang Harapan Lomba Menulis di Blog yang diselenggarakan BNI Tahun 2009.
Kalau ingat perjuangannya ketika mengandalkan mesin tik, sangat memerlukan konsentrasi agar tidak salah mengetik. Idris merasa perkembangan teknologi yang ada di zaman sekarang, sangat mendukungnya dalam mengembangkan karya. Dengan adanya media blog dan facebook, Idris merasa dapat lebih mengembangkan, menyalurkan dan mempromosikan karya-karyanya. Bahkan dengan kemampuan berbahasa asing seperti bahasa Inggeris, menurutnya seorang penulis bisa menyalurkan karya atau mengikuti kegiatan writing contest melalui internet.
Menulis memang bukan merupakan cita-cita lelaki penyuka nasi goreng dan kopi susu ini. Idris juga tidak ingin berhenti dari kegiatan menulis. Dia merasa harus mensinergikan antara pekerjaan dengan kegiatan menulis yang sudah ditekuninya sejak lama.
Dia justru menyayangkan beberapa teman, harus berhenti menulis sama sekali ketika memiliki profesi di dalam kehidupan yang dijalankannya. Menurutnya, dia bercita cita menjadi orang yang berguna saja dan mampu memberikan meskipun setitik manfaat bagi orang lain. Menulis atau berkarya dan berkerja merupakan sarananya untuk mewujudkan hal itu.
No comments:
Post a Comment