Wednesday, 15 December 2010

Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010


Judul: Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010
Editor: Suyitno Ethexs
Kurator: Chamim Kohari-Saiful Bakri-Umi Salama
Desain cover: warung grafis indonesia
Lukisan cover: Joni Ramlan, Mojosari, Mojokerto
Layout: kang madrim
Cetakan pertama:Oktober 2010
ISBN: 978-602-97907-0-2
Tebal: 829 + xxxviii halaman
Penerbit: Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361

email : dewankeseniankabmojokerto@gmail.com, Hak cipta ada pada masing-masing penulis
Berikut catatan kurator:

PUISI DI GAPURA CANDI WRINGIN LAWANG

Sebuah Pengantar

“Ia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk didengar; nia tidak menghidangkan teka-teki, tetapi menulis untuk dimengerti” ( A. Teeuw ).

“Pikiran merubah kapas menjadi kain emas dan merubah batu menjadi cermin terang, namun penyair dengan pesona sajak yang dilakukan memerah minuman bermadu dari sengat kehidupan” (Iqbal, Tulip dari Sinai)

”Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah hayalan dan kata, dan mereka suka mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika dizalimi”. (Terjemahan QS. Asysyu’araa: 224-227)

Sungguh, kami harus tahu diri, dan kami mencoba meyakinkan bahwa tugas kurator yang hendak diamanatkan kepada kami sebenarnya salah alamat, dan kami menyodorkan beberapa nama yang layak mengemban tugas itu, tetapi ditolak dengan alasan bahwa nama-nama yang dimaksud memang layak, tetapi dianggap tidak “steeril” dari virus-virus “Primodialisme komunitas” yang justru akan menjadi “beban” bagi niat baik diselenggarakannya “Festival Bulan Purnama Majapahit”, memang selama ini jarang ada yang berani menerbitkan antologi puisi atau cerpen di luar “klik”nya.

Tugas kurator itu akhirnya tetap diamanatkan kepada kami yang “wong ndeso” yang dianggap belum terkontaminasi oleh “primordialisme komunitas” dan hirukpikuk sastra di media massa. Terus terang dengan “tergagap-gagap” kami terima amanat itu, dan betul setelah kami baca karya-karya sastra yang telah dikirim, dan kami buka lembaran-lembaran kertas yang menumpuk sekitar 7 rim, yang di dalamnya masih campur antara karya puisi dan karya cerpen, ternyata terdapat banyak nama-nama “beken” yang sudah terkenal di jagad sastra Indonesia, nyali kami menjadi semakin “mungkret”, tetapi dengan kesabaran dan keberanian yang diberani-beranikan, kami terus membenamkan diri dalam kubangan puisi-puisi dan cerpen-cerpen, ternyata semakin dalam kami menyelam semakin asyik.

Membaca puisi dan cerpen yang bertebaran dan yang hendak dikumpulkan dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, sungguh sangat mendebarkan, kami semacam menapaki “Cahaya Tajalli” yang berjajar panjang penuh pesona, kami betul-betul diajak melayari aneka pelangi warna-warni keindahan Nusantara. Dari “puisi terang” sampai “puisi gelap”. Dari penyair yang sudah terkenal seperti Ahmadun Yosi Herfanda, sampai yang baru muncul seperti Mas Hikmatul Azimah yang lulusan setingkat Kejar Paket B, mereka semua berusaha menyuguhkan karya-karyanya yang terbaik, mereka telah “ijtihad” untuk melahirkan karya-karyanya dengan mempertaruhkan seluruh jiwa dan raganya kedalam “bentuk” dan “isi” puisi, tentu dengan caranya sendiri-sendiri. Meski sangat heterogin tetapi belum ada yang ingin “merusak” konvensi bahasa, dan ia juga tidak beranjak lebih jauh, tak ada keinginan dari para penyair itu untuk menyimpang, sebagaimana disinyalir oleh Cassier, yang pada umumnya menimpa para seniman. Mereka para penyair yang mengirimkan karya-karyanya belum ada yang berani menggunakan hak “licentia poetica” nya.

Berbeda dengan Chairil Anwar, atau setidak-tidaknya Sutardji Calzoum Bachri yang berani menentukan dan membuat jalannya sendiri, sehingga ia layak dijadikan pemimpin madzhab perpuisian di Indonesia, meski kami yakin suatu saat kelak akan lahir mujaddid (pembaharu) perpuisian di Indonesia. Kami berharap dari Gapura Wringin Lawang, Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini mampu membuka pintu cakrawala sastra Indonesia, hingga melahirkan sastrawan-sastrawan terbaik Indonesia, walau pun Budi Darma menyatakan “Angkatan dalam sastra tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan dalam sastra itu sendiri. Suatu angkatan dalam sastra dapat ada, apa bila ada gejolak yang bersambung-gayung dengan dunia pemikiran”

Secara sederhana, menulis puisi itu mudah, apa bila hal itu dilihat dari persoalan teknis yang bisa dipelajari dan dilakukan oleh siapa pun. Menurut Afrizal Malna “apa sulitnya menulis puisi, tetapi menjadi seorang penyair seringkali lahir dari konstruksi kondisi-kondisi tertentu. Penghormatan terhadap puisi dan penyair justru berlangsung dalam ketegangan-ketegangan ini, karena itu tidak semua orang bisa menjadi penyair”.

Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, sengaja memberi ruang kepada siapa pun yang intens menulis karya sastra, sebuah ruang yang sangat luas untuk mereka-mereka yang sudah “tercemar” mau pun yang “terhambat” atau bahkan yang “terlempar” dari mass media, komunitas-komunitas, dan klik-klik sastra tertentu. Dan biarlah karya-karya puisi yang ada dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, hidup bebas berdiri dan berbicara sendiri dengan eksistensi dan esensinya masing-masing. Sebagai kurator kami tidak ingin menghakimi. Para penyair dan puisi-puisinya yang lolos masuk dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, semoga tidak hanya “kebetulan” atau hanya sekedar “numpang beken”, atau sekedar latah biar disebut penyair. Dan kami tidak ingin menggurui, sebab hidup adalah pilihan-pilihan nurani, yang demi kehormatan harus diseriusi, bila tidak, maka cap “pecundang” akan menempel terus dan menjadi bayang-bayang yang dapat menghantui di setiap langkahnya. Penyair romantik John Keats (1795-1821) mengatakan “Sebab utama kegagalan seniman, baik dalam menggarap obyek umum maupun obyek yang sudah dikenal identitas keindahannya adalah karena kurangnya intensitas pada diri senimannya”.

Harga diri dan eksistensi penyair terdapat pada karya dan kecintaannya terhadap apa yang digelutinya, tetapi kata D. Zawai Imron “Banyak penyair yang pada akhirnya tidak setia dengan kepenyairannya. Semula menggebu-gebu menulis puisi namun dengan mudahnya meninggalkan puisi begitu saja”

Dari Gapura Candi Wringin Lawang Trowulan Mojokerto, kami dan masyarakat sastra menggantungkan harapan, semoga Antologi Cerpen Festifal Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, mampu membuka pintu cakrawala sastra Indonesia, meskipun kami sadar bahwa hal itu seperti mimpi, tidak mudah dan memerlukan kerja besar dari semua pihak.

Akhirnya, dari 1.524 judul puisi yang dikirimkan oleh 310 penyair, hanya 620 judul puisi yang dinyatakan lolos dan dapat ditampilkan di Antologi Puisi Festifal Bulan Purnama Majapahit tahun 2010 ini, dan selebihnya yang 1.214 judul puisi dinyatakan tidak lolos, bukan karena tidak baik, tetapi hanya persoalan keterbatasan tempat saja.

Dengan ketulusan dan kerendahan hati, kami mohon maaf atas keterbatasan kami, kami yakin tiada gading yang tak retak, karena itu tegur sapa dan sumbang saran dari semua pihak sangat diharapkan.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Mojokerto, 20 Oktober 2010

Kurator, (1. Chamim Kohari , 2. Umi Salama, 3. Saiful Bakri)

No comments: