Sunday, 9 November 2008

KEDIGDAYAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA

KEDIGDAYAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA
Oleh: Kiki Amelia, S.S.

Apabila berbicara tentang wacana perempuan seolah tak pernah kering untuk dibahas. Di berbagai wilayah kehidupan kita selalu melihat dan mendengar pembahasan mengenai kaum hawa, baik di bidang sosial, hukum, politik, ekonomi, agama maupun dalam seni budaya. Terlebih jika mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini yaitu rencana pengesahan RUU antipornografi dan pornoaksi. Meski sampai saat ini masih diwarnai pro dan kontra di berbagai kalangan. Suka tidak suka kita kembali mengaitkannya dengan perempuan yang dianggap menjadi objek RUU tersebut, setidaknya begitulah anggapan para aktivis feminis.
Agaknya kita perlu menyadari bahwa posisi perempuan sejak dahulu seakan termarginalkan di bawah dominasi superioritas kaum laki-laki bahkan hingga kini masih saja kita saksikan adanya kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Kondisi inilah yang membuat para aktivis perempuan tersebut memberontak yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme yaitu “gerakan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan dan dikendalikan oleh kebudayaan dominant” (Ratna,2004).
Pemikiran gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada karya sastra yang notabene merupakan wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra boleh dikatakan sebagai wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang.
Demikian halnya jika menilik beberapa karya sastra. Dalam karya sastra dunia kita mengetahui beberapa tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki (mengutamakan pihak lelaki). Sebut saja Virginia Woolf yang menulis A Room of One’s Own atau Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize untuk bukunya The Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan juga memilki hak atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak disukainya.
Kembali ke tanah air, kita melihat pengarang feminis yang didominasi oleh perempuan mulai menjejali jagad kesusasteraan Indonesia terutama pada era Angkatan Modern sekitar tahun 1970-an. Nh. Dini, Toety Heraty, Titis Basino, Titis said adalah sedikit contoh pengarang perempuan yang selalu menyelipkan pesan emansipasi dalam setiap karya mereka.
Seiring dengan arus globalisasi dan semakin majunya pola pikir pengarang perempuan turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Karya-karya mereka dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Pesan ideologi feminisme yang disampaikan umumnya tidak sampai menceramahi pembaca. Kadangkala hanya dengan bahasa tubuh, tokoh perempuan dengan mudahnya menaklukkan laki-laki. Meski banyak mendeskripsikan seksualitas, namun para feminis ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Membicarakan masalah ini (seksual) secara gamblang tentu bukan tanpa rintangan. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap tabu ketika membaca tulisan-tulisan beraroma seksual dan berlindung di bawah payung sastra. Para penulisnya dikecam karena dianggap menyebarkan pornografi. Hingga kini polemik mengenai sastra dan seks terus berlangsung. Para pembela sastra feminis berargumen persoalan seksualitas perempuan sebenarnya hanya metafora untuk menggambarkan masalah sebenarnya yang dihadapi perempuan, yaitu ketertindasan yang masih dialami oleh perempuan (Arivia,167). Sedangkan yang kontra mengganggap bahwa membanjirnya cerita tentang kekuasaan perempuan melalui adegan-adegan yang dinilai mesum telah merendahkan harga diri kaum perempuan itu sendiri dan dianggap karya sampah, demikian pendapat sastrawan Taufik Ismail di sebuah media.
Terlepas dari polemik kedua kubu yang bertentangan tersebut agaknya kita perlu mengulang ingatan terhadap tokoh-tokoh fiksi perempuan dalam khasanah sastra Melayu Klasik. Tokoh perempuan bernama Tun Teja dalam Hikayat Hang Tuah dilukiskan sebagai perempuan yang bermarwah tinggi dan berani bersuara jika sesuatu itu tidak disukainya..Dikisahkan bahwa Tun Teja dengan yakin menolak pinangan Sultan Malaka (Syaifuddin,1999).
Begitu pula yang tergambar pada tokoh sentral perempuan dalam Syair Siti Zubaidah Perang Cina. Siti Zubaidah berjuang tanpa henti demi mempertahankan keluarga dan negaranya dari pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dan pada akhirnya beliau dinobatkan menjadi Raja Kembayat Negara (Samin Siregar,1997).
Dari kedua kedua contoh cerita klasik di atas menunjukkan bahwa sedari dulu terdapat kisah-kisah yang menampilkan perjuangan dan kekuatan perempuan yang tentunya jauh dari unsur seksualitas seperti yang banyak dilukiskan dalam karya sastra kontemporer.
Menarik jika kita simak karya sastra teranyar dan sedang menjadi pembicaraan hangat yaitu novel laris Laskar Pelangi. Selain menceritakan anak-anak yang tergabung dalam kelompok laskar pelangi juga dikisahkan tentang tokoh perempuan sederhana bernama Bu Mus alias Bu Muslimah. Ibu guru yang ikhlas mengabdikan hidupnya untuk anak-anak didiknya yang tercinta meski ia harus mengalami pasang surut pengorbanan dan penderitaan. Perjuangan Bu Mus inilah yang menginspirasi Andrea Hirata untuk mempersembahkan Laskar Pelangi kepada guru sekolah dasar sang pengarang tersebut.

Penutup
Kedigdayaan atau kekuatan perempuan dalam kesusasteraan, baik karya sastra dunia maupun pada karya sastra lokal sebenarnya bukan hal yang baru. Karya-karya sastra klasik (Melayu) ternyata sudah melompat cukup jauh dalam menggambarkan kekuatan perempuan. Tokoh perempuan dikisahkan tidak hanya bertindak pasif, cengeng serta tunduk pada keadaan, melainkan dapat berlaku aktif, pantang menyerah demi harga diri sebagai seorang perempuan. Apabila dibandingkan dengan karya sastra kontemporer masa kini tentu telah terjadi pergeseran ideologi yang cukup signifikan.

• Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU

No comments: