Pusuk Buhit
Sawah Menguning
di bawah lembah Siargur Mula-Mula
dari kaki gunung Pusuk Buhit
mulanya orang Batak
Bogor
Gerimis di pagi-pagi
merangkul dingin
yang membeku
di kota hujan
Bogor yang gerimis
Mengiris-iris
diseharian
di kota yang hening
Rindu
Rumah batu
jendela besi
di sini kusimpan rindu
Padamu mutiaraku
Jatinanggor
Rindu padamu
membuat kuseberangi lautan
dalam sejuk senja Jatinanggor
kutemui bidadriku
dara dan pemuda
berdiri tegar dengan unifrom
menimba ilmu jadi pamong
untuk kelak jadi pemimpin
Kavleri Berkuda
Lembang yang dingin
ada sepasukan kavleri berkuda
begitu gagah
lindungi negeri
Pahlawan
Satu tujuh delapan tahun empat lima
awal kemerdekaan bangsa ini
saksi sejarah
Veteran yang telah tua renta
jika mereka tiada
kepada siapa kita berguru
tentang kepahlawanan
tentang cita-cita merdeka
Orang Istimewa Bernama Koruptor
Tak bisa dibedakan
antara pengacara dan terdakwa
sama parlentenya
tak bisa dibedakan
antara seleberiti dan terdakwa
saling umbar senyum dan tertawa
tak bisa dibedakan
antara jaksa dan terdakwa
karena mereka bisa main mata
Tak Punya Malu
Seorang ayah bertanya pada anak
apalagi yang kau butuhkan, nak
mau mobil ada
mau rumah ada
mau uang ada
mau bini tinggal tancap
seorang ibu bertanya pada anaknya
apa yang kau risaukan nak
semuanya kita punya
tetapi bu kita tak punya malu
Kelahiran
Embun gugur ke halaman rumah
dinginnya yang menyekap
malam yang pekat
perempuan itu menyerit
seorang bayi lahir
Rumah Rakyat
Katanya gedungnya rumah rakyat
ketika kau minta suara kami kau wakil kami
tak menyuarakan nasib kami
musim datang lagi
dengan 34 wajah
berjanji-janji
apa iya nanti
Perut
Kisah tentang perut
melahap
tahu, singkong, tempe,ramos , kuku balam
sampai raskin
kisah tentang perut
tentang nafsu dan kekuasaan
melahap segalanya
semen, besi, hodmix….
Parpol
Kini kau hadir lagi
berganti kulit
kutu loncat
melompat-lompat
memikat lagi
membujuk-bujuk
marah, tak ada yang mau
golput
Suap
Ketika bayi
mereka disuapi ibu
ketika besar
mereka masih suka suap
suap untuk sebuah jabatan
suap untuk proses hukum
Wednesday, 26 November 2008
Shafwan Hadi Umry : Pencetus Program Pentas Siswa
Oleh : Ardani
Berangkat dari minatnya pada sastra Indonesia saat menjadi siswa SMA di Lubuk Pakam lelaki ini melanjutkan pendidikanya ke IKIP Negeri Medan pada Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia (FBS). Selesai jadi sarjana bekerja sebagai guru dan akhirnya dia menjabat Kepala Balai Bahasa Medan tahun 2001-2006.
Jabatan itu diberikan kepada Shafwan Hadi Umry karena selain akademis juga dia praktisi di bidang itu. Ditunjuk atau dipromosikan oleh Kepala Pusat Bahasa di Jakarta, Gogi Sujono untuk menjabat Kepala Balai Bahasa Medan menggantikan Prof Dr Teguh Amin Ridwan.
Dia ditugaskan untuk membenahi Balai Bahasa Medan karena diangap mampu mengembangkannya. Setelah menjabat dia pun membenahi balai bahasa itu. “Jabatan itu diberikan karena saya berhasil melaksanakan program rutin Pentas Siswa atas prakarsa saya di sekolah-sekolah yang ada di Sumatera Utara saat saya menjabat Kabid Kesenian di Kanwil Dekdikbud Sumut,” kata Shafwan Hadi Umry terkenang.
Saat Kanwil Dekdikbud Sumut di reorganisasi dia dipindahkan tugas sebagaiPelaksana Tugas Kepala Taman Budaya Sumatera Utara selama empat bulan.
Setelah tidak menjabat Kepala Balai Bahasa Medan dia kembali sebagai dosen diperbantukan (DPK) di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Swadaya, dan dosen di Fakkultas Sastra USU untuk mata ajar Bahasa Indonesia, dan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangnan (STKIP) untuk mata ajar media massa dan masyarakat.
Dia ditemui di Fakultas Sastra USU usai mengajar dan kini di kampus itu dia juga mahasiswa program pasca sarjana untuk program studi Kosentrasi Wacana Kesusastraan (KWK). “Saya memang berminat besar sekali pada sastra dan bahasa Indonesia, jadinya baru sekarang bisa mengambil program magister. Soalnya bidang studi itu baru dibuka tahun ini. Saya tak mau magister yang lain akan tidak sejalan dengan sarjana saya,” katanya.
Baginya, seorang sastrawan tidak cukup menghasilkan karya sastra saja tetapi perlu juga diimbangi pengetahuan teoritis. Teori-teori sastra saya peroleh di universitas. “Guru formal saya peroleh dari dosen di IKIP Negeri Medan. Sedangkan guru non formal saya banyak di antaranya BY Tan dan Sabaruddin Ahmad yang ahli Bahasa Indonesia itu,” kata pria yang dilahirkan di Bedagai , 27 Januari 1961.
Suami dari Zulhaida yang disuntingnya pada 1981 saat dia berstatus Pak Umar Bakrie megajar di SMP Tebing Tingi Deli. Di sela kesibukannya mengajar dia aktif menulis puisi, cerpen, esai sastra di koran Wasada, Analisa , Mimbar Umum, Harian Angkatan Bersenjata dan lainnya, Di harian Angkatan Bersenjata mengisi tetap untuk rubrik Titian yang diasuh Gunawan Tampubolon.
Dari kegiatan menulis itu beberapa puisinya telah dibukukan dalam kumpulan puisi Tiga Muka yang terdiri dari penyair Shafwan Hadi Umry, Damiri Mahmud, dan Jamak Samil, antologi Titian Laut kumpulan puisi penyair Indonesia-Malasyia, antologi Puisi Nusantara dengan editing Lazuardi Anwar, kumpulan puisi Muara program Dialog Utara, Sumatera Utara dengan Wilayah Utara Malasyia.
Buku lainnya berupa kumpulan cerpen berisikan 25 cerpen Sumatera Utara dengan editor Johan A Nasution, Damiri Mahmud dan Zakaria M Pase, buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA diterbitkan Yudistira Jakarta tahun 1991, dan kumpulan esai dengan judul Apresiasi Sastra diterbitkan Peneribit Wina Jakarta 1995.
Shafwan menilai, saat ini dan seterusnya agar globalisasi menjadi baik harus ada program mempertahankan budaya. Pentas siswa dulunya dan sekarang masih dipakai di Sumut atas usulan saya sebagai Wiyata Mandala memperkenalkan budaya lokal kepada siswa SMA. Sebelum siswa mengenal budaya nasional dia harus kenal budaya lokalnya dan seterusnya kenal budaya nasional dan budaya global. Dengan demikian siswa paham budaya global dan lokal. Dalam budaya kita harus fundamentalis.
Dia aktif di organiasi kesenian dan budaya, di ataranya Wakil Ketua Cabang Sumatera Utara Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) sampai sekarang ini.
Pertemuan /seminar yang pernah diikutinya di dalam negeri ketua tim membawa lakon pentas Tunggul Panaluan pada Festifal Teater di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan pertemuan/seminar di luar negeri sebagai Ketua Tim Rombongan Tari Batak Ke Jepang tahun 1995, Instruktur Bahasa Indonesia tingkat nasional di Sidney Australia utusan dari Sumut, pemakalah Dunia Pendidikan di Indonesia yang berlangsung di gedung Dewan Bahasa dan Pustaka di Malasyia tahun 2002. Pembicara pada seminar Dunia Melayu dalam Konteks Generasi Muda di Bangkok.
Agar dia tetap bisa terus mengajar dia telah mempersiapkan magisternya, namun soal pendidikan dia kalah dengan anaknya yang perempuan Dra Weni Hawayuni MEc yang saat ini sedang menyelesaikan kandidat Doktor di Universitas Islam Antar Bangsa , Kuala Lumpur, Malasyia. Kini Syafwan tinggal bersama istri dan anaknya Miftahul Ikhsan di Jalan Mandala By Pass Gang Selam Lima 41 Medan.
Medan, 9 September 2008
Berangkat dari minatnya pada sastra Indonesia saat menjadi siswa SMA di Lubuk Pakam lelaki ini melanjutkan pendidikanya ke IKIP Negeri Medan pada Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia (FBS). Selesai jadi sarjana bekerja sebagai guru dan akhirnya dia menjabat Kepala Balai Bahasa Medan tahun 2001-2006.
Jabatan itu diberikan kepada Shafwan Hadi Umry karena selain akademis juga dia praktisi di bidang itu. Ditunjuk atau dipromosikan oleh Kepala Pusat Bahasa di Jakarta, Gogi Sujono untuk menjabat Kepala Balai Bahasa Medan menggantikan Prof Dr Teguh Amin Ridwan.
Dia ditugaskan untuk membenahi Balai Bahasa Medan karena diangap mampu mengembangkannya. Setelah menjabat dia pun membenahi balai bahasa itu. “Jabatan itu diberikan karena saya berhasil melaksanakan program rutin Pentas Siswa atas prakarsa saya di sekolah-sekolah yang ada di Sumatera Utara saat saya menjabat Kabid Kesenian di Kanwil Dekdikbud Sumut,” kata Shafwan Hadi Umry terkenang.
Saat Kanwil Dekdikbud Sumut di reorganisasi dia dipindahkan tugas sebagaiPelaksana Tugas Kepala Taman Budaya Sumatera Utara selama empat bulan.
Setelah tidak menjabat Kepala Balai Bahasa Medan dia kembali sebagai dosen diperbantukan (DPK) di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Swadaya, dan dosen di Fakkultas Sastra USU untuk mata ajar Bahasa Indonesia, dan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangnan (STKIP) untuk mata ajar media massa dan masyarakat.
Dia ditemui di Fakultas Sastra USU usai mengajar dan kini di kampus itu dia juga mahasiswa program pasca sarjana untuk program studi Kosentrasi Wacana Kesusastraan (KWK). “Saya memang berminat besar sekali pada sastra dan bahasa Indonesia, jadinya baru sekarang bisa mengambil program magister. Soalnya bidang studi itu baru dibuka tahun ini. Saya tak mau magister yang lain akan tidak sejalan dengan sarjana saya,” katanya.
Baginya, seorang sastrawan tidak cukup menghasilkan karya sastra saja tetapi perlu juga diimbangi pengetahuan teoritis. Teori-teori sastra saya peroleh di universitas. “Guru formal saya peroleh dari dosen di IKIP Negeri Medan. Sedangkan guru non formal saya banyak di antaranya BY Tan dan Sabaruddin Ahmad yang ahli Bahasa Indonesia itu,” kata pria yang dilahirkan di Bedagai , 27 Januari 1961.
Suami dari Zulhaida yang disuntingnya pada 1981 saat dia berstatus Pak Umar Bakrie megajar di SMP Tebing Tingi Deli. Di sela kesibukannya mengajar dia aktif menulis puisi, cerpen, esai sastra di koran Wasada, Analisa , Mimbar Umum, Harian Angkatan Bersenjata dan lainnya, Di harian Angkatan Bersenjata mengisi tetap untuk rubrik Titian yang diasuh Gunawan Tampubolon.
Dari kegiatan menulis itu beberapa puisinya telah dibukukan dalam kumpulan puisi Tiga Muka yang terdiri dari penyair Shafwan Hadi Umry, Damiri Mahmud, dan Jamak Samil, antologi Titian Laut kumpulan puisi penyair Indonesia-Malasyia, antologi Puisi Nusantara dengan editing Lazuardi Anwar, kumpulan puisi Muara program Dialog Utara, Sumatera Utara dengan Wilayah Utara Malasyia.
Buku lainnya berupa kumpulan cerpen berisikan 25 cerpen Sumatera Utara dengan editor Johan A Nasution, Damiri Mahmud dan Zakaria M Pase, buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA diterbitkan Yudistira Jakarta tahun 1991, dan kumpulan esai dengan judul Apresiasi Sastra diterbitkan Peneribit Wina Jakarta 1995.
Shafwan menilai, saat ini dan seterusnya agar globalisasi menjadi baik harus ada program mempertahankan budaya. Pentas siswa dulunya dan sekarang masih dipakai di Sumut atas usulan saya sebagai Wiyata Mandala memperkenalkan budaya lokal kepada siswa SMA. Sebelum siswa mengenal budaya nasional dia harus kenal budaya lokalnya dan seterusnya kenal budaya nasional dan budaya global. Dengan demikian siswa paham budaya global dan lokal. Dalam budaya kita harus fundamentalis.
Dia aktif di organiasi kesenian dan budaya, di ataranya Wakil Ketua Cabang Sumatera Utara Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) sampai sekarang ini.
Pertemuan /seminar yang pernah diikutinya di dalam negeri ketua tim membawa lakon pentas Tunggul Panaluan pada Festifal Teater di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan pertemuan/seminar di luar negeri sebagai Ketua Tim Rombongan Tari Batak Ke Jepang tahun 1995, Instruktur Bahasa Indonesia tingkat nasional di Sidney Australia utusan dari Sumut, pemakalah Dunia Pendidikan di Indonesia yang berlangsung di gedung Dewan Bahasa dan Pustaka di Malasyia tahun 2002. Pembicara pada seminar Dunia Melayu dalam Konteks Generasi Muda di Bangkok.
Agar dia tetap bisa terus mengajar dia telah mempersiapkan magisternya, namun soal pendidikan dia kalah dengan anaknya yang perempuan Dra Weni Hawayuni MEc yang saat ini sedang menyelesaikan kandidat Doktor di Universitas Islam Antar Bangsa , Kuala Lumpur, Malasyia. Kini Syafwan tinggal bersama istri dan anaknya Miftahul Ikhsan di Jalan Mandala By Pass Gang Selam Lima 41 Medan.
Medan, 9 September 2008
Sunday, 9 November 2008
KEDIGDAYAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA
KEDIGDAYAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA
Oleh: Kiki Amelia, S.S.
Apabila berbicara tentang wacana perempuan seolah tak pernah kering untuk dibahas. Di berbagai wilayah kehidupan kita selalu melihat dan mendengar pembahasan mengenai kaum hawa, baik di bidang sosial, hukum, politik, ekonomi, agama maupun dalam seni budaya. Terlebih jika mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini yaitu rencana pengesahan RUU antipornografi dan pornoaksi. Meski sampai saat ini masih diwarnai pro dan kontra di berbagai kalangan. Suka tidak suka kita kembali mengaitkannya dengan perempuan yang dianggap menjadi objek RUU tersebut, setidaknya begitulah anggapan para aktivis feminis.
Agaknya kita perlu menyadari bahwa posisi perempuan sejak dahulu seakan termarginalkan di bawah dominasi superioritas kaum laki-laki bahkan hingga kini masih saja kita saksikan adanya kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Kondisi inilah yang membuat para aktivis perempuan tersebut memberontak yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme yaitu “gerakan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan dan dikendalikan oleh kebudayaan dominant” (Ratna,2004).
Pemikiran gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada karya sastra yang notabene merupakan wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra boleh dikatakan sebagai wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang.
Demikian halnya jika menilik beberapa karya sastra. Dalam karya sastra dunia kita mengetahui beberapa tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki (mengutamakan pihak lelaki). Sebut saja Virginia Woolf yang menulis A Room of One’s Own atau Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize untuk bukunya The Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan juga memilki hak atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak disukainya.
Kembali ke tanah air, kita melihat pengarang feminis yang didominasi oleh perempuan mulai menjejali jagad kesusasteraan Indonesia terutama pada era Angkatan Modern sekitar tahun 1970-an. Nh. Dini, Toety Heraty, Titis Basino, Titis said adalah sedikit contoh pengarang perempuan yang selalu menyelipkan pesan emansipasi dalam setiap karya mereka.
Seiring dengan arus globalisasi dan semakin majunya pola pikir pengarang perempuan turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Karya-karya mereka dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Pesan ideologi feminisme yang disampaikan umumnya tidak sampai menceramahi pembaca. Kadangkala hanya dengan bahasa tubuh, tokoh perempuan dengan mudahnya menaklukkan laki-laki. Meski banyak mendeskripsikan seksualitas, namun para feminis ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Membicarakan masalah ini (seksual) secara gamblang tentu bukan tanpa rintangan. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap tabu ketika membaca tulisan-tulisan beraroma seksual dan berlindung di bawah payung sastra. Para penulisnya dikecam karena dianggap menyebarkan pornografi. Hingga kini polemik mengenai sastra dan seks terus berlangsung. Para pembela sastra feminis berargumen persoalan seksualitas perempuan sebenarnya hanya metafora untuk menggambarkan masalah sebenarnya yang dihadapi perempuan, yaitu ketertindasan yang masih dialami oleh perempuan (Arivia,167). Sedangkan yang kontra mengganggap bahwa membanjirnya cerita tentang kekuasaan perempuan melalui adegan-adegan yang dinilai mesum telah merendahkan harga diri kaum perempuan itu sendiri dan dianggap karya sampah, demikian pendapat sastrawan Taufik Ismail di sebuah media.
Terlepas dari polemik kedua kubu yang bertentangan tersebut agaknya kita perlu mengulang ingatan terhadap tokoh-tokoh fiksi perempuan dalam khasanah sastra Melayu Klasik. Tokoh perempuan bernama Tun Teja dalam Hikayat Hang Tuah dilukiskan sebagai perempuan yang bermarwah tinggi dan berani bersuara jika sesuatu itu tidak disukainya..Dikisahkan bahwa Tun Teja dengan yakin menolak pinangan Sultan Malaka (Syaifuddin,1999).
Begitu pula yang tergambar pada tokoh sentral perempuan dalam Syair Siti Zubaidah Perang Cina. Siti Zubaidah berjuang tanpa henti demi mempertahankan keluarga dan negaranya dari pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dan pada akhirnya beliau dinobatkan menjadi Raja Kembayat Negara (Samin Siregar,1997).
Dari kedua kedua contoh cerita klasik di atas menunjukkan bahwa sedari dulu terdapat kisah-kisah yang menampilkan perjuangan dan kekuatan perempuan yang tentunya jauh dari unsur seksualitas seperti yang banyak dilukiskan dalam karya sastra kontemporer.
Menarik jika kita simak karya sastra teranyar dan sedang menjadi pembicaraan hangat yaitu novel laris Laskar Pelangi. Selain menceritakan anak-anak yang tergabung dalam kelompok laskar pelangi juga dikisahkan tentang tokoh perempuan sederhana bernama Bu Mus alias Bu Muslimah. Ibu guru yang ikhlas mengabdikan hidupnya untuk anak-anak didiknya yang tercinta meski ia harus mengalami pasang surut pengorbanan dan penderitaan. Perjuangan Bu Mus inilah yang menginspirasi Andrea Hirata untuk mempersembahkan Laskar Pelangi kepada guru sekolah dasar sang pengarang tersebut.
Penutup
Kedigdayaan atau kekuatan perempuan dalam kesusasteraan, baik karya sastra dunia maupun pada karya sastra lokal sebenarnya bukan hal yang baru. Karya-karya sastra klasik (Melayu) ternyata sudah melompat cukup jauh dalam menggambarkan kekuatan perempuan. Tokoh perempuan dikisahkan tidak hanya bertindak pasif, cengeng serta tunduk pada keadaan, melainkan dapat berlaku aktif, pantang menyerah demi harga diri sebagai seorang perempuan. Apabila dibandingkan dengan karya sastra kontemporer masa kini tentu telah terjadi pergeseran ideologi yang cukup signifikan.
• Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU
Oleh: Kiki Amelia, S.S.
Apabila berbicara tentang wacana perempuan seolah tak pernah kering untuk dibahas. Di berbagai wilayah kehidupan kita selalu melihat dan mendengar pembahasan mengenai kaum hawa, baik di bidang sosial, hukum, politik, ekonomi, agama maupun dalam seni budaya. Terlebih jika mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini yaitu rencana pengesahan RUU antipornografi dan pornoaksi. Meski sampai saat ini masih diwarnai pro dan kontra di berbagai kalangan. Suka tidak suka kita kembali mengaitkannya dengan perempuan yang dianggap menjadi objek RUU tersebut, setidaknya begitulah anggapan para aktivis feminis.
Agaknya kita perlu menyadari bahwa posisi perempuan sejak dahulu seakan termarginalkan di bawah dominasi superioritas kaum laki-laki bahkan hingga kini masih saja kita saksikan adanya kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Kondisi inilah yang membuat para aktivis perempuan tersebut memberontak yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme yaitu “gerakan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan dan dikendalikan oleh kebudayaan dominant” (Ratna,2004).
Pemikiran gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada karya sastra yang notabene merupakan wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra boleh dikatakan sebagai wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang.
Demikian halnya jika menilik beberapa karya sastra. Dalam karya sastra dunia kita mengetahui beberapa tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki (mengutamakan pihak lelaki). Sebut saja Virginia Woolf yang menulis A Room of One’s Own atau Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize untuk bukunya The Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan juga memilki hak atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak disukainya.
Kembali ke tanah air, kita melihat pengarang feminis yang didominasi oleh perempuan mulai menjejali jagad kesusasteraan Indonesia terutama pada era Angkatan Modern sekitar tahun 1970-an. Nh. Dini, Toety Heraty, Titis Basino, Titis said adalah sedikit contoh pengarang perempuan yang selalu menyelipkan pesan emansipasi dalam setiap karya mereka.
Seiring dengan arus globalisasi dan semakin majunya pola pikir pengarang perempuan turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Karya-karya mereka dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Pesan ideologi feminisme yang disampaikan umumnya tidak sampai menceramahi pembaca. Kadangkala hanya dengan bahasa tubuh, tokoh perempuan dengan mudahnya menaklukkan laki-laki. Meski banyak mendeskripsikan seksualitas, namun para feminis ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Membicarakan masalah ini (seksual) secara gamblang tentu bukan tanpa rintangan. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap tabu ketika membaca tulisan-tulisan beraroma seksual dan berlindung di bawah payung sastra. Para penulisnya dikecam karena dianggap menyebarkan pornografi. Hingga kini polemik mengenai sastra dan seks terus berlangsung. Para pembela sastra feminis berargumen persoalan seksualitas perempuan sebenarnya hanya metafora untuk menggambarkan masalah sebenarnya yang dihadapi perempuan, yaitu ketertindasan yang masih dialami oleh perempuan (Arivia,167). Sedangkan yang kontra mengganggap bahwa membanjirnya cerita tentang kekuasaan perempuan melalui adegan-adegan yang dinilai mesum telah merendahkan harga diri kaum perempuan itu sendiri dan dianggap karya sampah, demikian pendapat sastrawan Taufik Ismail di sebuah media.
Terlepas dari polemik kedua kubu yang bertentangan tersebut agaknya kita perlu mengulang ingatan terhadap tokoh-tokoh fiksi perempuan dalam khasanah sastra Melayu Klasik. Tokoh perempuan bernama Tun Teja dalam Hikayat Hang Tuah dilukiskan sebagai perempuan yang bermarwah tinggi dan berani bersuara jika sesuatu itu tidak disukainya..Dikisahkan bahwa Tun Teja dengan yakin menolak pinangan Sultan Malaka (Syaifuddin,1999).
Begitu pula yang tergambar pada tokoh sentral perempuan dalam Syair Siti Zubaidah Perang Cina. Siti Zubaidah berjuang tanpa henti demi mempertahankan keluarga dan negaranya dari pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dan pada akhirnya beliau dinobatkan menjadi Raja Kembayat Negara (Samin Siregar,1997).
Dari kedua kedua contoh cerita klasik di atas menunjukkan bahwa sedari dulu terdapat kisah-kisah yang menampilkan perjuangan dan kekuatan perempuan yang tentunya jauh dari unsur seksualitas seperti yang banyak dilukiskan dalam karya sastra kontemporer.
Menarik jika kita simak karya sastra teranyar dan sedang menjadi pembicaraan hangat yaitu novel laris Laskar Pelangi. Selain menceritakan anak-anak yang tergabung dalam kelompok laskar pelangi juga dikisahkan tentang tokoh perempuan sederhana bernama Bu Mus alias Bu Muslimah. Ibu guru yang ikhlas mengabdikan hidupnya untuk anak-anak didiknya yang tercinta meski ia harus mengalami pasang surut pengorbanan dan penderitaan. Perjuangan Bu Mus inilah yang menginspirasi Andrea Hirata untuk mempersembahkan Laskar Pelangi kepada guru sekolah dasar sang pengarang tersebut.
Penutup
Kedigdayaan atau kekuatan perempuan dalam kesusasteraan, baik karya sastra dunia maupun pada karya sastra lokal sebenarnya bukan hal yang baru. Karya-karya sastra klasik (Melayu) ternyata sudah melompat cukup jauh dalam menggambarkan kekuatan perempuan. Tokoh perempuan dikisahkan tidak hanya bertindak pasif, cengeng serta tunduk pada keadaan, melainkan dapat berlaku aktif, pantang menyerah demi harga diri sebagai seorang perempuan. Apabila dibandingkan dengan karya sastra kontemporer masa kini tentu telah terjadi pergeseran ideologi yang cukup signifikan.
• Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU
Sastra dan Realitas
Sastra dan Realitas
Oleh : Muharrina Harahap, S.S.
Dunia fiksi itu merupakan dunia lain yang berdiri di samping kenyataan. Tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan. Sekalipun seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup di dalam suatu lingkungan khayalan namun tetap ada kaitan-kaitan tertentu antara tokoh-tokoh dan perbuatan mereka yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertian mengenai dunia nyata, seperti hubungan ruang dan waktu, sebab akibat, dan pola-pola bereaksi secara psikologis.
Dunia yang diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata, termasuk pengetahuannya tentang dunia nyata dan tradisi sastra. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan dengan kenyataan (novel yang realistik atau biografik), dan tak jarang menyimpang jauh dari kenyataan (science fiction dan dongeng). Dalam roman Kejahatan dan Hukuman, Dostojevski (Rusia) menyebut jumlah langkah Raskolnikov dari pondokannya ke rumah si nenek tua yang rentenir itu dan yang kemudian dibunuhnya. Suatu penelitian yang pernah dilakukan di kota Leningrad (dulu Petersburg) membuktikan bahwa jumlah langkah itu ternyata klop dengan kenyataan dan jarak itu tidak dikhayalkan oleh Dostojevski.
Masalah serupa juga terjadi jika kita membaca novel-novel historik, misalnya Rumah Kaca karya Pramudya Ananta Toer. Pada novel tersebut ditemukan nama-nama para intelektual dalam organisasi Indonesia di zaman Hindia Belanda, termasuk tokoh-tokoh nasional yang kemudian terlibat dalam gerakan PKI. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa novel ini pernah dilarang beredar di Indonesia.
Fiksi vs Nonfiksi
Kadang-kadang memang sukar membedakan sebuah teks fiksi dari sebuah teks nonfiksi. Sebuah kasus perbatasan kita jumpai dalam otobiografi si pengarang. Pengarang melaporkan fakta dari hidupnya sendiri, ia berpretensi melukiskan kenyataan. Tetapi, mungkin juga ada hal-hal yang diciptakannya atau yang dilukiskannya lain daripada apa yang sesungguhnya terjadi. Pembacalah yang memutuskan apakah itu sebuah realitas atau tidak.
Sebuah teks fiksi tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Itulah sebabnya teks fiksi sangat cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan. Dengan melukiskan sebuah peristiwa yang jarang terjadi, maka teks fiksi dapat memperlihatkan masalah-masalah dari ilmu jiwa yang berlaku umum, atau suatu aspek dari hidup manusia pada umumnya.
Di sini, Aristoteles menilai sastra dalam kemampuannya memperlihatkan yang tipik, yang khas, dalam suatu peristiwa individual, sehingga pengertian kita mengenai kenyataan makin diperdalam. Menarik juga bahwa di sini fiksi dan mimesis, dua pengertian yang rupanya bertolak belakang, bergandengan tangan.
Kehidupan dalam sastra dan kehidupan nyata memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling memengaruhi sehingga pembaca mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra pada posisi persinggungan dengan kehidupan yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa dengan masyarakat pun berawal dari frase De Bonald yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” (Wellek dan Warren, 1989:110).
Sejak manusia mempelajari sastra, secara kritis timbul pertanyaan sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra..
Mimetik
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau jiplakan) pertama-tama dipergunakan dalam teori-teori tentang seni yang diutarakan oleh Plato (423-348) dan Aristoteles (384-322) yang dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut Plato, tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu. Para penyair kalah penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, panglima-panglima, dan seterusnya karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, maka mereka tak pernah dapat dijadikan contoh atau teladan. Maka dari itu, menurut Plato para penyair tak ada gunanya di dalam sebuah negara ideal. Mereka bahkan harus dikeluarkan dari dari negara itu, apalagi karena puisi memberi umpan kepada emosi dan meredupkan akal budi. Itu sebabnya mengapa puisi menghalangi usaha manusia untuk menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Satu-satunya bentuk puisi yang boleh dilaksanakan ialah puisi yang berisikan pujian terhadap para dewa dan tokoh-tokoh yang berguna bagi umat manusia; puisi serupa itu mengarahkan manusia kepada aspek-aspek positif dalam tata negara.
Sekalipun ucapan Plato itu hendaknya kita baca dalam konteksnya (yang ingin digambarkannya ialah sebuah negara yang ideal, yang utopis), tetapi penolakan Plato terhadap puisi cukup mengherankan. Plato tidak melihat kenyataan bahwa seorang seniman, bila ia melukiskan sesuatu, sekaligus juga menciptakan sesuatu. Dengan menolak suatu bentuk sastra tertentu dan menerima suatu bentuk sastra lain (yang bersifat pujian), maka Plato dapat dipandang sebagai penemu lembaga sensor yang tak terpuji itu.
Aristoteles mengoper pengertian tentang mimesis itu dari Plato, yakni seni melukiskan kenyataan, tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimesis ala Aristoteles juga lain daripada teori mimesis ala Plato.
Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas dari yang satu dengan yang lain; dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari obyek itu. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.
Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita).
Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta mimesis, maka dalam bukunya yang berjudul Poetica Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai satu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dan ini bukan seperti dalam pandangan Plato, yakni dunia Ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas dari seorang manusia.
Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga : mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, zaman, kepribadian pengarang, dsb. Tetapi, yang satu tanpa yang lain tidak mungkin. Dan, catatan terakhir : perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca. Dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik denga kreatif-mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dari kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya. Atau lebih sederhana : berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.
Penulis adalah mahasiswa Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara
Oleh : Muharrina Harahap, S.S.
Dunia fiksi itu merupakan dunia lain yang berdiri di samping kenyataan. Tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan. Sekalipun seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup di dalam suatu lingkungan khayalan namun tetap ada kaitan-kaitan tertentu antara tokoh-tokoh dan perbuatan mereka yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertian mengenai dunia nyata, seperti hubungan ruang dan waktu, sebab akibat, dan pola-pola bereaksi secara psikologis.
Dunia yang diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata, termasuk pengetahuannya tentang dunia nyata dan tradisi sastra. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan dengan kenyataan (novel yang realistik atau biografik), dan tak jarang menyimpang jauh dari kenyataan (science fiction dan dongeng). Dalam roman Kejahatan dan Hukuman, Dostojevski (Rusia) menyebut jumlah langkah Raskolnikov dari pondokannya ke rumah si nenek tua yang rentenir itu dan yang kemudian dibunuhnya. Suatu penelitian yang pernah dilakukan di kota Leningrad (dulu Petersburg) membuktikan bahwa jumlah langkah itu ternyata klop dengan kenyataan dan jarak itu tidak dikhayalkan oleh Dostojevski.
Masalah serupa juga terjadi jika kita membaca novel-novel historik, misalnya Rumah Kaca karya Pramudya Ananta Toer. Pada novel tersebut ditemukan nama-nama para intelektual dalam organisasi Indonesia di zaman Hindia Belanda, termasuk tokoh-tokoh nasional yang kemudian terlibat dalam gerakan PKI. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa novel ini pernah dilarang beredar di Indonesia.
Fiksi vs Nonfiksi
Kadang-kadang memang sukar membedakan sebuah teks fiksi dari sebuah teks nonfiksi. Sebuah kasus perbatasan kita jumpai dalam otobiografi si pengarang. Pengarang melaporkan fakta dari hidupnya sendiri, ia berpretensi melukiskan kenyataan. Tetapi, mungkin juga ada hal-hal yang diciptakannya atau yang dilukiskannya lain daripada apa yang sesungguhnya terjadi. Pembacalah yang memutuskan apakah itu sebuah realitas atau tidak.
Sebuah teks fiksi tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Itulah sebabnya teks fiksi sangat cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan. Dengan melukiskan sebuah peristiwa yang jarang terjadi, maka teks fiksi dapat memperlihatkan masalah-masalah dari ilmu jiwa yang berlaku umum, atau suatu aspek dari hidup manusia pada umumnya.
Di sini, Aristoteles menilai sastra dalam kemampuannya memperlihatkan yang tipik, yang khas, dalam suatu peristiwa individual, sehingga pengertian kita mengenai kenyataan makin diperdalam. Menarik juga bahwa di sini fiksi dan mimesis, dua pengertian yang rupanya bertolak belakang, bergandengan tangan.
Kehidupan dalam sastra dan kehidupan nyata memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling memengaruhi sehingga pembaca mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra pada posisi persinggungan dengan kehidupan yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa dengan masyarakat pun berawal dari frase De Bonald yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” (Wellek dan Warren, 1989:110).
Sejak manusia mempelajari sastra, secara kritis timbul pertanyaan sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra..
Mimetik
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau jiplakan) pertama-tama dipergunakan dalam teori-teori tentang seni yang diutarakan oleh Plato (423-348) dan Aristoteles (384-322) yang dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut Plato, tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu. Para penyair kalah penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, panglima-panglima, dan seterusnya karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, maka mereka tak pernah dapat dijadikan contoh atau teladan. Maka dari itu, menurut Plato para penyair tak ada gunanya di dalam sebuah negara ideal. Mereka bahkan harus dikeluarkan dari dari negara itu, apalagi karena puisi memberi umpan kepada emosi dan meredupkan akal budi. Itu sebabnya mengapa puisi menghalangi usaha manusia untuk menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Satu-satunya bentuk puisi yang boleh dilaksanakan ialah puisi yang berisikan pujian terhadap para dewa dan tokoh-tokoh yang berguna bagi umat manusia; puisi serupa itu mengarahkan manusia kepada aspek-aspek positif dalam tata negara.
Sekalipun ucapan Plato itu hendaknya kita baca dalam konteksnya (yang ingin digambarkannya ialah sebuah negara yang ideal, yang utopis), tetapi penolakan Plato terhadap puisi cukup mengherankan. Plato tidak melihat kenyataan bahwa seorang seniman, bila ia melukiskan sesuatu, sekaligus juga menciptakan sesuatu. Dengan menolak suatu bentuk sastra tertentu dan menerima suatu bentuk sastra lain (yang bersifat pujian), maka Plato dapat dipandang sebagai penemu lembaga sensor yang tak terpuji itu.
Aristoteles mengoper pengertian tentang mimesis itu dari Plato, yakni seni melukiskan kenyataan, tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimesis ala Aristoteles juga lain daripada teori mimesis ala Plato.
Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas dari yang satu dengan yang lain; dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari obyek itu. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.
Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita).
Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta mimesis, maka dalam bukunya yang berjudul Poetica Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai satu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dan ini bukan seperti dalam pandangan Plato, yakni dunia Ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas dari seorang manusia.
Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga : mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, zaman, kepribadian pengarang, dsb. Tetapi, yang satu tanpa yang lain tidak mungkin. Dan, catatan terakhir : perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca. Dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik denga kreatif-mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dari kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya. Atau lebih sederhana : berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.
Penulis adalah mahasiswa Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara
Mari Membangun Jiwa¹ Siswa Melalui Pembelajaran Puisi
Mari Membangun Jiwa¹ Siswa Melalui Pembelajaran Puisi
Oleh : Saripuddin Lubis
Pengantar
Beberapa tahun sejak ditetapkannya standar kelulusan minimal bagi siswa kelas tiga (belakangan kelas XII) dalam menentukan kelulusan, tidak dapat dihindari kalau guru-guru bahasa Indonesia akhirnya hanya berperan untuk menciptakan siswa menjadi penembak-penembak jitu soal-soal pilihan ganda pada ujian nasional. Guru menyiapkan siswa yang harus menjawab soal-soal ujian nasional secara tepat sasaran, sebab kalau meleset akan berakibat fatal dalam menentukan kelulusan siswa.
Pro dan kontra pelaksanaan ujian nasional setiap tahun terus berkembang. Berbagai pihak mengacungkan bermacam argumentasi dan sibuk mencari pembenaran terhadap argumentasi yang mereka ajukan. Dalam sebuah proses, hal tersebut tentu saja sesuatu yang lumrah terjadi. Tetapi kalau dibiarkan terlalu berkembang akan memberi warna yang negatif bagi perkembangan pendidikan di tanah air.
Salah satu imbasnya adalah, tugas pokok guru (terutama guru kelas tiga/ XII) telah banyak yang melenceng dari hal utama yang termaktub dalam kurikulum.Yang salah tentu saja bukan kurikulumnya. Banyak indikator yang menyebabkan kesalahtafsiran dalam menghadapi ujian nasional. Dan guru sebagai laskar terdepan harus selalu siap sedia mengangkat senjata menerima instruksi sang atasan dalam menghadapi arena ujian nasioal tadi.Guru pun harus siap menjadi tumbal mortir yang ia tembakkan sendiri.
Sementara itu sejak awal di dalam kurikulum telah diamanatkan pembelajaran bahasa Indonesia yang (untuk sementara) sebenarnya sudah cukup baik dalam mengakomodir pembelajaran sastra. Jika kita buat pemetaan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas (khususnya pembelajaran puisi), maka keadaannya kira-kira seperti berikut.
------------------------------------------------------------------------
¹) Mengutip istilah yang digunakan Habiburrahman el Shirazy dalam novel Ayat-Ayat Cinta
Halaman 1 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
No Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1 X (sepuluh) 1. Memahami siaran atau
cerita yang disampaikan
secara langsung/ tidak
langsung
2. Membahas cerita pendek
melalui kegiatan diskusi
3. Memahami wacana sastra
melalui kegiatan membaca
puisi dan cerpen
4. Mengungkapkan pikiran,
dan perasaan melalui
kegiatan menulis puisi
5. Memahami cerita rakyat
yang dituturkan
6.Mengungkapkan pendapat
terhadap puisi melalui
diskusi
7. Memahami sastra Melayu
klasik
8. Mengungkapkan pengalaman
diri sendiri dan orang lain ke
dalam cerpen Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung/melalui rekaman
1. Mengemukakan hal-hal yang menarik
atau mengesankan dari cerita pendek
melalui kegiatan diskusi
2. Menemukan nilai-nilai melalui kegiatan
diskusi
1. Membacakan puisi dengan lafal, nada,
tekanan, dan intonasi yang tepat
2. Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik
suatu cerpen dengan kehidupan sehari-
hari
1. Menulis puisi lama dengan memper-
hatikan bait, irama, dan rima
2. Menulis puisi baru dengan memper-
hatikan bait, irama, dan rima
1. Menemukan hal-hal yang menarik ten-
tang tokoh cerita rakyat yang disampai
kan secara langsung dan atau melalui
rekaman
2. Menjelaskan hal-hal yang menarik
tentang latar cerita rakyat yang
disampaikan secara langsung dan atau
melalui rekaman
1. Membahas isi puisi berkenaan dengan
gambaran penginderaan, perasaan,
pikiran, dan imajinasi melalui diskusi
2. Menghubungkan isi puisi dengan
realitas alam, sosial budaya, dan
masyarakat melalui dskusi
1. Mengidentifikasi karakteristik dan
strukur unsur intrinsik sastra Melayu
klasik
2. Menemujkan nilai-nilai yang terkandung
di dalam sastra Melayu klasik
1. Menulis karangan berdasarkan kehidupan
diri sendiri dalam cerpen (pelaku,
peristiwa, latar)
2. Menulis karangan berdasarkan
pengalaman orang lain dalam cerpen
(pelaku, peristiwa, latar)
Halaman 2 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
.
No Kelas
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1
XI (sebelas)
1.Memahami pementasan
drama
2. Memerankan tokoh
dalampementasan drama
3. Memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/ novel
terjemahan
4. Memahami pembacaan
cerpen
5. Mengungkapkan wacana
sastra dalambentuk
pementasan drama
6. Memahami buku biografi,
novel, dan hikayat
7. Menulis naskah drama
1. Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan
perwatakannya, dialog, dan konflik pada
pementasan drama
2. Menganalisis pementasan drama
berdasarkan teknik pementasan
1. Menampaikan dialog disertai gerak-gerik
dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
2. Mengekspresikan perilaku dan dialog
tokoh protogonis dan antagonis
1. Menemukan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik hikayat
2. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan
1. Mengidentifikasi alur, penokohan, dan
latar dalam cerpen yang dibacakan
2. Menemukan nilai-nilai dalam cerpen
yang dibacakan
1. Mengekspresikan dialog para tokoh
dalam pementasan drama
2. Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan
intonasi, sesuai dengan watak tokoh
dalam pementasan drama
Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat
1. Mendeskripsikan perilaku manusia
melalui dialog naskah drama
2. Menarasikan pengalaman manusia
dalambentuk adegan dan latar pada
naskah drama
Halaman 3 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
No Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1 XII
(dua belas) 1. Memahami pembacaan novel
2. Mengungkapkan pendapat
tentang pembacaan puisi
3. Memahami wacana sastra
puisi dan cerpen
4. Mengungkapkan pendapat,
informasi, dan pengalaman
dalam bentuk resensi dan
cerpen
5. Memahami pembacaan teks
drama
6. Mengungkapkan tang-
gapan terhadap
pembacaan puisi lama
7. Memahami buku
kumpulan puisi
kontemporer dan karya
sastra yang dianggap
penting pada tiap priode
8. Mengungkapkan pendapat
dalam bentuk kritik dan esai 1. Menanggapi penmbacaan penggalan
novel dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan
2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari
pembacaan novel
1. Menanggapi pembacaan puisi lama
tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat
2. Mengomentari pembacaan puisi baru
tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat.
1. Membacakan puisi karya sendiri
dengan lafal, intonasi, penghayatan,
dan ekspresi yang sesuai
2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik
cerpen
1. Menulis resensi buku kumpulan cerpen
berdasarkan ursur-unsur resensi
2. Menulis cerpen berdasarkan kehidupan
orang lain (pelaku, peristiwa, dan latar)
1. Menemukan unsur-unsur intrinsik teks
drama yang didengar melalui pembacaan
2. Menyimpulkan isi drama melalui
pembacaan teks drama
1. Membahas ciri-ciri dan nilai-nilai yang
terkandung dalam gurindam
2. Menjelaskan keterkaitan gurindam
dengan kehidupan sehari-hari
1. Mengidentifikasi tema dan ciri-ciri
puisi kontemporer melalui kegiatan
membaca buku kumpulan puisi
kontemporer
2. Menemukan perbedaan karakteristik
angkatan melalui membaca karya sastra
yang dianggap penting setiap priode
1. Memahami prinsip-prinsip penulisan
kritik dan esai
2. Menerapkan prinsip-prinsip penulisan
kritik dan esai untuk mengomentari karya
sastra.
Sumber: Permen 22, 23 tahun 2006 ²
-------------------------------------------------------------------------------------------
²) Kurikulum Bahasa Indonesia SMA
Halaman 4 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
Agaknya pada pembelajaran sastra di sekolah-sekolah, kedua hal tersebut di atas selalu yang menjadi alasan mengapa pembelajaran sastra selalu diabaikan. Pertama, ujian nasional selalu dianggap sebagai monster yang sangat menakutkan. Kedua materi sastra dan ketersediaan alokasi waktu yang tidak memadai.
Padahal kalau melihat realitas pembelajaran yang ada, kedua alasan tersebut sungguh sangat tidak realistis. Logikanya, kalau semua yang diamanatkan pada kurikulum yang terdiri dari kompetensi membaca, menulis,mendengar, dan berbicara benar-benar diajarkan dengan maksimal, maka secara tidak langsung penembak-penembak jitu soal ujian nasional tersebut sebenarnya sudah siap tempur. Mengapa demikian? Bukankah sebenarnya materi soal ujian nasional tersebut adalah pengejewantahan dari kompetensi membaca, menulis, mendengar, dan berbicara tadi?
Kedua, kalau materi sastra dan alokasi waktu yang menjadi alasan, maka itu juga tidak realistis. Lihatlah materi sastra yang tersedia pada pada kurikulum sekolah menengah pada tabel di atas. Untuk kapasitas seorang siswa sekolah menengah, materi sastra di atas sudah cukup kaya. Lalu tentang alokasi waktu? Bukankah pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru benar-benar sudah harus mampu memanej sendiri pembelajarannya? Artinya, guru sudah harus mampu mengelola sendiri alokasi waktu sesuai dengan materi yang tersedia. Cheng dalam Abu-Duhou (2003: 127) menyatakan anggota pengelola sekolah (termasuk guru) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar atas penggunaan sumberdaya dalam memecahkan persoalan dan kegiatan pendidikan yang efektif ³
Memang, masih banya persoalan yang acap kali muncul di permukaan yang kalau dicermati cukup sensitif juga dalam memengaruhi pembelajaran misalnya persoalan seputar sarana pembelajaran. Namun bagi seorang guru yang profesional, kiranya hal-hal semacam itu akan dapat diatasi secara baik. Benar memang kalau didukung sarana sekolah yang lebih lengkap, maka pembelajaran sastra akan dapat berlangsung lebih baik. Tetapi untuk pembelajaran sastra sebenarnya cukup memberi peluang yang sangat besar dalam menggunakan berbagai sarana/ media alternatif.
--------------------------------------------------------------------
³) Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, (Jakarta, 2003), hlm. 127. Lihat juga Zamroni dalam Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jakarta, 2003), hlm. 26: Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. Instruksi, pengarahan , dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin.
Halaman 5 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara15 Novemberi 2008.
Pembelajaran Puisi, Pembelajaran Penuh Warna Membangun Jiwa
Adalah suatu anugerah bagi seorang guru yang ditawari untuk memberikan pembelajaran puisi kepada siswa melalui kurikulum bahasa Indonesia di sekolah. Pembelajaran puisi tersebut sungguh akan dapat memberi warna bagi perkembangan mental siswa ke arah yang lebih positif. Bahwa sebuah keniscayaan kalau materi pembelajaran bahasa Indonesia (terutama pembelajaran sastra) tentulah memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan materi mata pelajaran lain di sekolah. Materi pembelajaran sastra (puisi) harus hadir sebagai pembelajaran yang tidak saja sebagai ladang ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu harus hadir untuk dinikmati bersama-sama oleh guru dan siswa. Siswa harus ditempatkan sebagai subjek pembelajaran. Hal tersebut sangat dimungkinkan dengan sistem school based management 4 Artinya, guru hasrus benar-benar mampu menerjemahkan tujuan utama yang diharapkan oleh kurikulum.Guru lah aktor utama di dalam kelas.
Pembelajaran puisi bukan sekadar pembelajaran yang diselaraskan dengan kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan matematis yang diajukan guru. Pembelajaran puisi (juga) adalah sebuah sebuah proses pematangan diri siswa yang hasil akan diperoleh dalam sebuah proses yang panjang. Proses ketika siswa melakoni kehidupannya yang akan banyak memiliki hubungan simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam (pembelajaran) puisi. dan bukan sekadar pembelajaran. Karena itu juga guru harus mamp menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Ini tentu saja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti yang termaktub pada Pasal 40 ayat 2 yang menyatakan bahwa seorang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis 5
Pembelajaran puisi juga harus diselelaraskan antara pembelajaran yang menghasilkan kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep dasar puisi dengan kompetensi komunikatif siswa secara praktis tentang puisi. Bahkan kalau ditarik benang merah, maka porsi untuk kemampuan praktis siswa harus menjadi prioritas. Kurikulum bahasa Indonesia tentu saja juga lebih mengamanatkan kemampuan praktis tersebut dibandingkan kemampuan teoretis belaka. Kalau kemampuan teoretis tersebut yang diutamakan, maka tujuan utama
---------------------------------------------------------------------
4) Zamroni, Manuju Masyarakat Belajar (Jakarta, 2003), hlm.20 yang artinya manajemen berbasis sekolah.
5) Depdiknas. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. (Jakarta, 2003), hlm.37.
Halaman 6 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
pembelajaran puisi tidak akan tercapai selain sekadar menciptakan siswa menjadi penembak-penembak jitu seperti pembicaraan awal tulisan ini.
Agar pembelajaran puisi dapat hadir seperti yang diharapkan, yaitu sebuah proses pematangan diri siswa dan mampu mengapresiasi puisi serta hubungannya dengan nilai-nilai kehidupan di sekitar siswa, maka tentu saja harus diciptakan sebuah proses pembelajaran seperti yang dimanatkan oleh undang-undang di atas. Zamroni mengatakan kalau dalam mengajar guru tidak boleh terpancang pada materi dalam kurikulum semata, melainkan guru harus aktif untuk mengaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial 7. Berikut ini akan ditawarkan beberapa teknik dalam melakukan pembelajaran puisi di kelas. Sebagian mungkin saja pernah dilakukan oleh para guru. Namun jika belum, maka teknik-teknik yang seluruhnya sudah pernah dicobakan ini akan mampu membawa ke sebuah proses pembelajaran yang benar-benar mengasyikkan siswa (juga guru).
1. Menulis Puisi Ala Pak Taufik Ismail
Materi ini diajarkan pada kelas X dengan standar kompetensi, Mengungkapkan pikiran, dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi. Sedangkan kompetensi dasarnya adalah,1. Menulis puisi lama dengan memperhatikan bait, irama, dan rima, dan 2. Menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima. Menulis puisi ala Pak Taufik Ismail ini dapat dipraktikkan dengan sangan menarik di kelas.
2. Publikasi Puisi dalam terbitan Antologi Puisi Sederhana, Mading, Koran, dan Majalah
Setelah siswa menulis puisi, maka sebaiknya beberapa karya mereka diterbitkan secara priodik dalam antologi puisi yang sederhana. Penerbitan dalam bentuk antologi puisi tersebut akan menambah rasa percaya diri siswa dalam menulis puisi. Penerbitan antologi puisi ini langsung di bawah bimbingan guru. Selain itu, publikasi pusi siswa dapat pula dilakukan pada majalah dinding, koran, dan majalah.
3. Musikalisasi Puisi
Materi ini terdapat pada kelas X dengan standar kompetensi, mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi. Kompetensi dasar yang ditawarkan adalah, 1. Membahas isi puisi
--------------------------------------------------------------------------------------------
7) Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Jakarta, 2003), hlm. 31.
Halaman 7 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara15 Novemberi 2008.
berkenaan dengan gambaran penginderaan, perasaan, pikiran, dan imajinasi melalui diskusi, dan 2. Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi
Langkah-langkah pembelajaran:
1. Siswa dibagi atas beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari lebih kurang empat atau
lima orang.
2. Kepada masing-masing kelompok diberikan sebuah puisi yang berisi realitas alam, sosial
budaya, dan masyarakat untuk diaransemen.
3. Puisi yang telah diaransemen kemudian dilatihkan untuk tampilan musikalisasi puisi.
4. Masing-masing kelompok menampilkan hasil musikalisasi puisinya di kelas.
5. Kelompok yang lain memberikan taggapan terhadap penampilan dan isi puisi kelompok
lain dalam format diskusi yang dipandu guru.
4. Diskusi Bersama Sastrawan/ Penyair
Megundang sastrawan ke hadapan siswa secara langsung akan membawa pencerahan batin siswa. Dengan bertemu langsung dengan pencipta puisi yang mereka baca ketika sedang belajar di kelas akan menambah cakrawala berpikir positif siswa. Motivasi yang kuat untuk mampu menulis diharapkan muncul dari siswa. Para sastrawan pun akan dengan senang hati akan bersedia hadir ke kelas tanpa harus dibayar mahal. Hal ini dimungkinkan sebab mereka juga menginginkan sosialisasi lebih luas tentang dunia sastrawan/ penyair, terutama terhadap para siswa sebagai generasi masa depan.
5. Pembacaan Puisi dengan Teknik Balainang (Baca, Nilai,dan Menentukan Pemenang)
Teknik ini digunakan pada kelas XII dengan standar kompetensi, mengungkapkan
pendapat tentang pembacaan puisi. Kompetensi dasarnya adalah, menanggapi pembacaan
puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat, dan 2. Mengomentari pembacaan puisi baru tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
Teknik Balainang ini dilakukan langsung oleh siswa melalui panduan guru. Dengan membaca, menilai, dan menentukan pemenang pembacaan puisi akan membuat siswa memiliki perhatian penuh terhadap pembelajaran puisi yang sedang berlangsung.
Halaman 8 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
.
Penutup
Sesungguhnya untuk mengembangkan apresiasi siswa terhadap puisi dan penciptanya sangat dimungkinkan dimulai dari sebuah pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Kurikulum telah memberi sebuah ruang dan waktu yang cukup terbuka bagi pengembangan sastra tersebut. Hal mendasar sesungguhnya yang harus dibangkitkan justru motivasi seorang guru bahasa Indonesia untuk mulai membuka cakrawala baru pembelajaran sastra (puisi) di kelas. Mereka memiliki wewenang kearifan yang sangat tinggi untuk mengembangkan sastra di sekolah. Pengembangan sastra di sekolah harus didasari untuk membentuk pencerahan batin dan kehalusan budi siswa. Dengan didasari hal tersebut, maka tujuan yang diharapkan kurikulum pun akan tercapai dengan sendirinya. Jadi sekali lagi, akar pembelajaran sastra itu akan berkembang di sekolah terletak pada pundak seorang guru. Mulailah mencintai sastra. Guru lah kata kuncinya!
Sumber Rujukan
Abu-Duhou, Abu-Duhou. 2003. School-Based Managemen. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
El Shirazy, Habiburrahman, 2004. Ayat-Ayat Cinta. Jakarta: Republika.
Ismail, Taufik. 2005. Metode Penulisan Puisi. Makalah. Jakarta: Depdiknas.
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas
Halaman 9 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
Oleh : Saripuddin Lubis
Pengantar
Beberapa tahun sejak ditetapkannya standar kelulusan minimal bagi siswa kelas tiga (belakangan kelas XII) dalam menentukan kelulusan, tidak dapat dihindari kalau guru-guru bahasa Indonesia akhirnya hanya berperan untuk menciptakan siswa menjadi penembak-penembak jitu soal-soal pilihan ganda pada ujian nasional. Guru menyiapkan siswa yang harus menjawab soal-soal ujian nasional secara tepat sasaran, sebab kalau meleset akan berakibat fatal dalam menentukan kelulusan siswa.
Pro dan kontra pelaksanaan ujian nasional setiap tahun terus berkembang. Berbagai pihak mengacungkan bermacam argumentasi dan sibuk mencari pembenaran terhadap argumentasi yang mereka ajukan. Dalam sebuah proses, hal tersebut tentu saja sesuatu yang lumrah terjadi. Tetapi kalau dibiarkan terlalu berkembang akan memberi warna yang negatif bagi perkembangan pendidikan di tanah air.
Salah satu imbasnya adalah, tugas pokok guru (terutama guru kelas tiga/ XII) telah banyak yang melenceng dari hal utama yang termaktub dalam kurikulum.Yang salah tentu saja bukan kurikulumnya. Banyak indikator yang menyebabkan kesalahtafsiran dalam menghadapi ujian nasional. Dan guru sebagai laskar terdepan harus selalu siap sedia mengangkat senjata menerima instruksi sang atasan dalam menghadapi arena ujian nasioal tadi.Guru pun harus siap menjadi tumbal mortir yang ia tembakkan sendiri.
Sementara itu sejak awal di dalam kurikulum telah diamanatkan pembelajaran bahasa Indonesia yang (untuk sementara) sebenarnya sudah cukup baik dalam mengakomodir pembelajaran sastra. Jika kita buat pemetaan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas (khususnya pembelajaran puisi), maka keadaannya kira-kira seperti berikut.
------------------------------------------------------------------------
¹) Mengutip istilah yang digunakan Habiburrahman el Shirazy dalam novel Ayat-Ayat Cinta
Halaman 1 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
No Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1 X (sepuluh) 1. Memahami siaran atau
cerita yang disampaikan
secara langsung/ tidak
langsung
2. Membahas cerita pendek
melalui kegiatan diskusi
3. Memahami wacana sastra
melalui kegiatan membaca
puisi dan cerpen
4. Mengungkapkan pikiran,
dan perasaan melalui
kegiatan menulis puisi
5. Memahami cerita rakyat
yang dituturkan
6.Mengungkapkan pendapat
terhadap puisi melalui
diskusi
7. Memahami sastra Melayu
klasik
8. Mengungkapkan pengalaman
diri sendiri dan orang lain ke
dalam cerpen Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung/melalui rekaman
1. Mengemukakan hal-hal yang menarik
atau mengesankan dari cerita pendek
melalui kegiatan diskusi
2. Menemukan nilai-nilai melalui kegiatan
diskusi
1. Membacakan puisi dengan lafal, nada,
tekanan, dan intonasi yang tepat
2. Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik
suatu cerpen dengan kehidupan sehari-
hari
1. Menulis puisi lama dengan memper-
hatikan bait, irama, dan rima
2. Menulis puisi baru dengan memper-
hatikan bait, irama, dan rima
1. Menemukan hal-hal yang menarik ten-
tang tokoh cerita rakyat yang disampai
kan secara langsung dan atau melalui
rekaman
2. Menjelaskan hal-hal yang menarik
tentang latar cerita rakyat yang
disampaikan secara langsung dan atau
melalui rekaman
1. Membahas isi puisi berkenaan dengan
gambaran penginderaan, perasaan,
pikiran, dan imajinasi melalui diskusi
2. Menghubungkan isi puisi dengan
realitas alam, sosial budaya, dan
masyarakat melalui dskusi
1. Mengidentifikasi karakteristik dan
strukur unsur intrinsik sastra Melayu
klasik
2. Menemujkan nilai-nilai yang terkandung
di dalam sastra Melayu klasik
1. Menulis karangan berdasarkan kehidupan
diri sendiri dalam cerpen (pelaku,
peristiwa, latar)
2. Menulis karangan berdasarkan
pengalaman orang lain dalam cerpen
(pelaku, peristiwa, latar)
Halaman 2 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
.
No Kelas
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1
XI (sebelas)
1.Memahami pementasan
drama
2. Memerankan tokoh
dalampementasan drama
3. Memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/ novel
terjemahan
4. Memahami pembacaan
cerpen
5. Mengungkapkan wacana
sastra dalambentuk
pementasan drama
6. Memahami buku biografi,
novel, dan hikayat
7. Menulis naskah drama
1. Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan
perwatakannya, dialog, dan konflik pada
pementasan drama
2. Menganalisis pementasan drama
berdasarkan teknik pementasan
1. Menampaikan dialog disertai gerak-gerik
dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
2. Mengekspresikan perilaku dan dialog
tokoh protogonis dan antagonis
1. Menemukan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik hikayat
2. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan
1. Mengidentifikasi alur, penokohan, dan
latar dalam cerpen yang dibacakan
2. Menemukan nilai-nilai dalam cerpen
yang dibacakan
1. Mengekspresikan dialog para tokoh
dalam pementasan drama
2. Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan
intonasi, sesuai dengan watak tokoh
dalam pementasan drama
Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat
1. Mendeskripsikan perilaku manusia
melalui dialog naskah drama
2. Menarasikan pengalaman manusia
dalambentuk adegan dan latar pada
naskah drama
Halaman 3 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
No Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1 XII
(dua belas) 1. Memahami pembacaan novel
2. Mengungkapkan pendapat
tentang pembacaan puisi
3. Memahami wacana sastra
puisi dan cerpen
4. Mengungkapkan pendapat,
informasi, dan pengalaman
dalam bentuk resensi dan
cerpen
5. Memahami pembacaan teks
drama
6. Mengungkapkan tang-
gapan terhadap
pembacaan puisi lama
7. Memahami buku
kumpulan puisi
kontemporer dan karya
sastra yang dianggap
penting pada tiap priode
8. Mengungkapkan pendapat
dalam bentuk kritik dan esai 1. Menanggapi penmbacaan penggalan
novel dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan
2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari
pembacaan novel
1. Menanggapi pembacaan puisi lama
tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat
2. Mengomentari pembacaan puisi baru
tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat.
1. Membacakan puisi karya sendiri
dengan lafal, intonasi, penghayatan,
dan ekspresi yang sesuai
2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik
cerpen
1. Menulis resensi buku kumpulan cerpen
berdasarkan ursur-unsur resensi
2. Menulis cerpen berdasarkan kehidupan
orang lain (pelaku, peristiwa, dan latar)
1. Menemukan unsur-unsur intrinsik teks
drama yang didengar melalui pembacaan
2. Menyimpulkan isi drama melalui
pembacaan teks drama
1. Membahas ciri-ciri dan nilai-nilai yang
terkandung dalam gurindam
2. Menjelaskan keterkaitan gurindam
dengan kehidupan sehari-hari
1. Mengidentifikasi tema dan ciri-ciri
puisi kontemporer melalui kegiatan
membaca buku kumpulan puisi
kontemporer
2. Menemukan perbedaan karakteristik
angkatan melalui membaca karya sastra
yang dianggap penting setiap priode
1. Memahami prinsip-prinsip penulisan
kritik dan esai
2. Menerapkan prinsip-prinsip penulisan
kritik dan esai untuk mengomentari karya
sastra.
Sumber: Permen 22, 23 tahun 2006 ²
-------------------------------------------------------------------------------------------
²) Kurikulum Bahasa Indonesia SMA
Halaman 4 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
Agaknya pada pembelajaran sastra di sekolah-sekolah, kedua hal tersebut di atas selalu yang menjadi alasan mengapa pembelajaran sastra selalu diabaikan. Pertama, ujian nasional selalu dianggap sebagai monster yang sangat menakutkan. Kedua materi sastra dan ketersediaan alokasi waktu yang tidak memadai.
Padahal kalau melihat realitas pembelajaran yang ada, kedua alasan tersebut sungguh sangat tidak realistis. Logikanya, kalau semua yang diamanatkan pada kurikulum yang terdiri dari kompetensi membaca, menulis,mendengar, dan berbicara benar-benar diajarkan dengan maksimal, maka secara tidak langsung penembak-penembak jitu soal ujian nasional tersebut sebenarnya sudah siap tempur. Mengapa demikian? Bukankah sebenarnya materi soal ujian nasional tersebut adalah pengejewantahan dari kompetensi membaca, menulis, mendengar, dan berbicara tadi?
Kedua, kalau materi sastra dan alokasi waktu yang menjadi alasan, maka itu juga tidak realistis. Lihatlah materi sastra yang tersedia pada pada kurikulum sekolah menengah pada tabel di atas. Untuk kapasitas seorang siswa sekolah menengah, materi sastra di atas sudah cukup kaya. Lalu tentang alokasi waktu? Bukankah pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru benar-benar sudah harus mampu memanej sendiri pembelajarannya? Artinya, guru sudah harus mampu mengelola sendiri alokasi waktu sesuai dengan materi yang tersedia. Cheng dalam Abu-Duhou (2003: 127) menyatakan anggota pengelola sekolah (termasuk guru) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar atas penggunaan sumberdaya dalam memecahkan persoalan dan kegiatan pendidikan yang efektif ³
Memang, masih banya persoalan yang acap kali muncul di permukaan yang kalau dicermati cukup sensitif juga dalam memengaruhi pembelajaran misalnya persoalan seputar sarana pembelajaran. Namun bagi seorang guru yang profesional, kiranya hal-hal semacam itu akan dapat diatasi secara baik. Benar memang kalau didukung sarana sekolah yang lebih lengkap, maka pembelajaran sastra akan dapat berlangsung lebih baik. Tetapi untuk pembelajaran sastra sebenarnya cukup memberi peluang yang sangat besar dalam menggunakan berbagai sarana/ media alternatif.
--------------------------------------------------------------------
³) Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, (Jakarta, 2003), hlm. 127. Lihat juga Zamroni dalam Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jakarta, 2003), hlm. 26: Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. Instruksi, pengarahan , dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin.
Halaman 5 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara15 Novemberi 2008.
Pembelajaran Puisi, Pembelajaran Penuh Warna Membangun Jiwa
Adalah suatu anugerah bagi seorang guru yang ditawari untuk memberikan pembelajaran puisi kepada siswa melalui kurikulum bahasa Indonesia di sekolah. Pembelajaran puisi tersebut sungguh akan dapat memberi warna bagi perkembangan mental siswa ke arah yang lebih positif. Bahwa sebuah keniscayaan kalau materi pembelajaran bahasa Indonesia (terutama pembelajaran sastra) tentulah memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan materi mata pelajaran lain di sekolah. Materi pembelajaran sastra (puisi) harus hadir sebagai pembelajaran yang tidak saja sebagai ladang ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu harus hadir untuk dinikmati bersama-sama oleh guru dan siswa. Siswa harus ditempatkan sebagai subjek pembelajaran. Hal tersebut sangat dimungkinkan dengan sistem school based management 4 Artinya, guru hasrus benar-benar mampu menerjemahkan tujuan utama yang diharapkan oleh kurikulum.Guru lah aktor utama di dalam kelas.
Pembelajaran puisi bukan sekadar pembelajaran yang diselaraskan dengan kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan matematis yang diajukan guru. Pembelajaran puisi (juga) adalah sebuah sebuah proses pematangan diri siswa yang hasil akan diperoleh dalam sebuah proses yang panjang. Proses ketika siswa melakoni kehidupannya yang akan banyak memiliki hubungan simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam (pembelajaran) puisi. dan bukan sekadar pembelajaran. Karena itu juga guru harus mamp menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Ini tentu saja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti yang termaktub pada Pasal 40 ayat 2 yang menyatakan bahwa seorang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis 5
Pembelajaran puisi juga harus diselelaraskan antara pembelajaran yang menghasilkan kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep dasar puisi dengan kompetensi komunikatif siswa secara praktis tentang puisi. Bahkan kalau ditarik benang merah, maka porsi untuk kemampuan praktis siswa harus menjadi prioritas. Kurikulum bahasa Indonesia tentu saja juga lebih mengamanatkan kemampuan praktis tersebut dibandingkan kemampuan teoretis belaka. Kalau kemampuan teoretis tersebut yang diutamakan, maka tujuan utama
---------------------------------------------------------------------
4) Zamroni, Manuju Masyarakat Belajar (Jakarta, 2003), hlm.20 yang artinya manajemen berbasis sekolah.
5) Depdiknas. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. (Jakarta, 2003), hlm.37.
Halaman 6 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
pembelajaran puisi tidak akan tercapai selain sekadar menciptakan siswa menjadi penembak-penembak jitu seperti pembicaraan awal tulisan ini.
Agar pembelajaran puisi dapat hadir seperti yang diharapkan, yaitu sebuah proses pematangan diri siswa dan mampu mengapresiasi puisi serta hubungannya dengan nilai-nilai kehidupan di sekitar siswa, maka tentu saja harus diciptakan sebuah proses pembelajaran seperti yang dimanatkan oleh undang-undang di atas. Zamroni mengatakan kalau dalam mengajar guru tidak boleh terpancang pada materi dalam kurikulum semata, melainkan guru harus aktif untuk mengaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial 7. Berikut ini akan ditawarkan beberapa teknik dalam melakukan pembelajaran puisi di kelas. Sebagian mungkin saja pernah dilakukan oleh para guru. Namun jika belum, maka teknik-teknik yang seluruhnya sudah pernah dicobakan ini akan mampu membawa ke sebuah proses pembelajaran yang benar-benar mengasyikkan siswa (juga guru).
1. Menulis Puisi Ala Pak Taufik Ismail
Materi ini diajarkan pada kelas X dengan standar kompetensi, Mengungkapkan pikiran, dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi. Sedangkan kompetensi dasarnya adalah,1. Menulis puisi lama dengan memperhatikan bait, irama, dan rima, dan 2. Menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima. Menulis puisi ala Pak Taufik Ismail ini dapat dipraktikkan dengan sangan menarik di kelas.
2. Publikasi Puisi dalam terbitan Antologi Puisi Sederhana, Mading, Koran, dan Majalah
Setelah siswa menulis puisi, maka sebaiknya beberapa karya mereka diterbitkan secara priodik dalam antologi puisi yang sederhana. Penerbitan dalam bentuk antologi puisi tersebut akan menambah rasa percaya diri siswa dalam menulis puisi. Penerbitan antologi puisi ini langsung di bawah bimbingan guru. Selain itu, publikasi pusi siswa dapat pula dilakukan pada majalah dinding, koran, dan majalah.
3. Musikalisasi Puisi
Materi ini terdapat pada kelas X dengan standar kompetensi, mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi. Kompetensi dasar yang ditawarkan adalah, 1. Membahas isi puisi
--------------------------------------------------------------------------------------------
7) Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Jakarta, 2003), hlm. 31.
Halaman 7 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara15 Novemberi 2008.
berkenaan dengan gambaran penginderaan, perasaan, pikiran, dan imajinasi melalui diskusi, dan 2. Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi
Langkah-langkah pembelajaran:
1. Siswa dibagi atas beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari lebih kurang empat atau
lima orang.
2. Kepada masing-masing kelompok diberikan sebuah puisi yang berisi realitas alam, sosial
budaya, dan masyarakat untuk diaransemen.
3. Puisi yang telah diaransemen kemudian dilatihkan untuk tampilan musikalisasi puisi.
4. Masing-masing kelompok menampilkan hasil musikalisasi puisinya di kelas.
5. Kelompok yang lain memberikan taggapan terhadap penampilan dan isi puisi kelompok
lain dalam format diskusi yang dipandu guru.
4. Diskusi Bersama Sastrawan/ Penyair
Megundang sastrawan ke hadapan siswa secara langsung akan membawa pencerahan batin siswa. Dengan bertemu langsung dengan pencipta puisi yang mereka baca ketika sedang belajar di kelas akan menambah cakrawala berpikir positif siswa. Motivasi yang kuat untuk mampu menulis diharapkan muncul dari siswa. Para sastrawan pun akan dengan senang hati akan bersedia hadir ke kelas tanpa harus dibayar mahal. Hal ini dimungkinkan sebab mereka juga menginginkan sosialisasi lebih luas tentang dunia sastrawan/ penyair, terutama terhadap para siswa sebagai generasi masa depan.
5. Pembacaan Puisi dengan Teknik Balainang (Baca, Nilai,dan Menentukan Pemenang)
Teknik ini digunakan pada kelas XII dengan standar kompetensi, mengungkapkan
pendapat tentang pembacaan puisi. Kompetensi dasarnya adalah, menanggapi pembacaan
puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat, dan 2. Mengomentari pembacaan puisi baru tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
Teknik Balainang ini dilakukan langsung oleh siswa melalui panduan guru. Dengan membaca, menilai, dan menentukan pemenang pembacaan puisi akan membuat siswa memiliki perhatian penuh terhadap pembelajaran puisi yang sedang berlangsung.
Halaman 8 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
.
Penutup
Sesungguhnya untuk mengembangkan apresiasi siswa terhadap puisi dan penciptanya sangat dimungkinkan dimulai dari sebuah pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Kurikulum telah memberi sebuah ruang dan waktu yang cukup terbuka bagi pengembangan sastra tersebut. Hal mendasar sesungguhnya yang harus dibangkitkan justru motivasi seorang guru bahasa Indonesia untuk mulai membuka cakrawala baru pembelajaran sastra (puisi) di kelas. Mereka memiliki wewenang kearifan yang sangat tinggi untuk mengembangkan sastra di sekolah. Pengembangan sastra di sekolah harus didasari untuk membentuk pencerahan batin dan kehalusan budi siswa. Dengan didasari hal tersebut, maka tujuan yang diharapkan kurikulum pun akan tercapai dengan sendirinya. Jadi sekali lagi, akar pembelajaran sastra itu akan berkembang di sekolah terletak pada pundak seorang guru. Mulailah mencintai sastra. Guru lah kata kuncinya!
Sumber Rujukan
Abu-Duhou, Abu-Duhou. 2003. School-Based Managemen. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
El Shirazy, Habiburrahman, 2004. Ayat-Ayat Cinta. Jakarta: Republika.
Ismail, Taufik. 2005. Metode Penulisan Puisi. Makalah. Jakarta: Depdiknas.
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas
Halaman 9 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
M. Yunus Rangkuti
HARAPAN YANG RETAK
Oleh: M. Yunus Rangkuti
sepi pagi ini adalah titis gerimis tak henti/menderai dedaunan/resahku tumpah di tanah berbasah/gugur dedaunan menabur kenangan/bagai puisi-puisi mempelangi hati menjel-ma fatamorgana/hanya hampa/di sini segores senyum secuil tawa sebegitu lang ka /selepas isya jerit tangis menggema/di antara talqin-doa/kesima seketika menghentak dada ternya ta kepergian yang pasti/tak mudah dimengerti/sunyi kembali menjalari lantai koridor/dingin mulai mengendap/aroma kematian masih/mendekap /malam kian larut/jenazah berlalu sudah/menyisa Tanya gelisah/pabila maut kembali menjemput?
***
Aku mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Pengaruh minuman beralkohol memang kurasa, namun pikiranku masih normal. Kulirik arloji, hampir mendekati pukul satu dinihari. Jalan protokol yang kulalui begitu lengang. Hanya satu dua kenderaan melintas. Ruko-ruko telah pada bertutupan. Konsentrasiku masih terjaga. Aku meraih bungkus rokok di dash-board, hanya tersisa sebatang. Rokok kusulut, dan mengisapnya dengan tarikan lebih dalam. Kuturunkan sedikit kaca samping, angin malam menerpa wajahku dengan kencang. Aku merasa lebih nyaman.
Dari kejauhan, lampu pengatur lalulintas masih bewarna hijau. Pedal gas agak kutekan menambah kecepatan. Tiba-tiba saja dari sebalik kenderaan yang parkir, dua sosok berangkulan menyeberang. Aku tersentak. Klos kupijak dan menurunkan porsneling dan buru-buru memijak rem mencoba menurunkan kecepatan. Terlambat, mobilku menyambar satu dari mereka yang sempat reflek mendorong yang lainnya. Terdengar benturan dan jeritan. Aku sedemikian panik. Tak mampu mengendalikan laju kederaan. Mobilku meluncur menabrak trotoar, lalu terangkat menghantam tiang traffic light.
***
“Sudah, bung! Dari tadi Anda berdiri terus di situ. Lebih baik kita duduk-duduk di pojokan sana,” ajak seseorang membuyar ingatanku akan mimpi buruk itu. Tangannya berusaha melepaskan jemariku dari terali besi yang tak sadar kupegang erat. “Ayo bung!” Bahuku dirangkulnya. Tubuhku serasa lemah. Aku seakan kehilangan separuh tenaga.
“Nah, di sini kan lebih enak. Kita bisa ngobrol apa aja. Betulkan bung. Bah! hampir lupa, aku Tigor,” ujarnya menyodorkan tangan.
“Haris,” sambutku tanpa gairah.
“Oke, Bung Haris. Kalau boleh aku tau, apa yang jadi penyebab bung terdampar di sini? Maksudku, mengapa bung masuk penjara? ”.
“Aku telah membunuh seseorang,” jawabku datar. Lelaki di hadapanku tampak terkejut. “Kenapa terkejut, bung?”.
“Ah, tidak. Cuma, aku tak percaya itu. Aku lihat tampang bung bukan tipe seperti itu. Maksudku, tampang kriminal.”
“Terserah penilaian bung. Yang jelas aku telah membunuh seseorang.”
“Perkelahian? Bung terpaksa melakukannya? Lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang telah kulakukan. Aku merasa lelaki itu sedikit bisa membaca tipe seseorang. Aku jadi ingin tau pula tentangnya. Apa yang menjadi penyebab dia masuk penjara.
“Bukan. Bukan perkelahian. Aku telah menabrak…”
“Bah! Betul dugaanku. Tak mungkin bung telah membunuh,” potongnya cepat.
“Ya. Tapi, sama saja itu. Sama-sama membunuh.”
“Jelas beda bung! Kategori bung pelanggaran, bukan pembunuhan.”
“Pendapat bung betul. Masalahnya, tuduhan yang dikenakan padaku tidak hanya sebatas pelanggaran, tetapi ditambah unsur kesengajaan. Jelasnya aku dituduh sengaja melanggar untuk membunuh.”
“Bah! Mengapa begitu? Apa dia musuh bung?”
“Hanya orang sinting yang membunuh musuhnya dengan cara melanggar, sementara dia sendiri nyaris mampus, Kawan.”
“Jelasnya dia bukan musuh bung. Lantas, mengapa tuduhannya berkembang seperti itu?”
“Ini gara-gara perempuan sial itu!”
“Amangoi! Apa pula hubungannya dengan perempuan?”
“Kejadiannya memang bermula dari perempuan itu. Mau bung mendengar ceritanya?”
“Teruskan bung. Aku jadi tertarik.”
***
Satu waktu ada relasi menghubungi dan mengajakku makan siang untuk membicarakan bisnis yang akan ditawarkannya. Kami memilih restoran yang terletak di sudut perempatan jalan. Seorang waitress menyerahkan daftar menu seraya menghadiahkan senyum teramat manis. Wajahnya tampak cantik di mataku. Tubuh serta cara dia melangkah membuatku terpesona. Sejak saat itu, tanpa harus diajak pun, aku selalu menyempatkan diri makan ke restoran itu.
Kami berkenalan dan berkembang menjalin hubungan akrab. Setiap ada kesempatan, aku menjemputnya. Mengajaknya jalan-jalan, menonton, berbelanja, dan apa saja untuk menyenangkan hatinya. Ini kulakukan, karena yakin dia telah jadi milikku. Kekasihku. Tak jarang pada beberapa kesempatan, kami menyewa penginapan dan telah berkali berhubungan intim. Layaknya suami isteri.
Hingga satu waktu aku mendengar kabar, perempuan itu sebenarnya isteri simpanan. Suaminya perwira kapal pesiar mancanegara. Dalam setahun hanya dua kali berlabuh ke sini. Awalnya aku tak yakin, namun setelah mendengar dari banyak orang, aku mulai goyah. Apalagi setelah melihatnya sedemikian mesra berangkulan di satu pusat perbelanjaan.
Melihat dan mendapatkan kenyataan itu, darahku sontak mendidih, namun aku masih sanggup menahan emosi untuk tidak membuat keributan. Saat kutanyakan tentang kabar miring yang kudengar, ia pun mengaku tentang status dirinya. Seraya berupaya menahan amarah, karena ditipu dan merasa dipermainkan, aku sempat melontar ancaman pada mereka.
Rasa kecewa kulampiaskan ke tempat-tempat hiburan. Hampir setiap malam aku berada di bar atau diskotik. Entah berapa banyak pelacur yang telah kugauli. Nyaris setengah dari gajiku kufoyakan untuk itu. Menjelang pagi baru kembali. Hingga malam kejadian itu, aku baru pulang dari satu diskotik di luar kota. Mobil yang kukenderai memang kupacu kencang. Tiba-tiba saja dua orang yang sedang berangkulan menyeberang seenaknya. Kegugupan seketika kurasa.
Semuanya berlangsung cepat. Aku menabrak satu dari mereka, mobilku meluncur menabrak trotoar, dan terhempas dengan deras menghantam tiang traffic light. Sesudah itu aku tak ingat apa-apa. Dua hari kemudian aku tersadar telah di rumah sakit. Hampir sebulan aku menjalani perawatan. Di sanalah baru aku tau orang yang kutabrak itu tewas seketika di tempat. Ternyata pria malang itu adalah si perwira kapal pesiar yang beristeri gelap si perempuan yang kuceritakan tersebut. Sementara perempuan itu sendiri selamat.
***
“Demikianlah Bung Tigor. Dari kejadian itulah timbul tuduhan aku sengaja hendak membunuh dengan cara menabrak, karena merasa sakit hati. Ditambah lagi perihal ancaman yang pernah aku lontarkan.”
“Bah! Betul-betul tragis apa yang bung alami. Namun, inilah kehidupan. Segalanya bisa bersebab-akibat. Kita tidak bisa memastikan realita apa yang akan kita hadapi, jalani, dan terima. Aku sendiri telah lima tahun menjalani hidup di penjara ini. Sebagai ganjaran dari pembunuhan yang kulakukan terhadap seorang yang tak bertanggung jawab setelah menghamili adikku.
Terlepas dari salah tak bersalah, sengaja atau tak disengaja, kita sedang menanggung akibat dari sebuah sebab. Ini realita yang tengah kita jalani dan terima. Satu hal pasti, kita terkadang harus membayar mahal untuk sekeping harga diri, bahkan sepenggal kecewa sekalipun. Mari Bung Haris, saatnya kita makan siang.”
***
kembang warna putih/mekar tiga tangkai/dedaunannya bersih/dibasuh embun dibelai angin/disapa mentari/kembang putih/tangkai dipetik/dedaun tersayat perih/lirih merintih/lalu layu/mati…
Sampali, 9608
Oleh: M. Yunus Rangkuti
sepi pagi ini adalah titis gerimis tak henti/menderai dedaunan/resahku tumpah di tanah berbasah/gugur dedaunan menabur kenangan/bagai puisi-puisi mempelangi hati menjel-ma fatamorgana/hanya hampa/di sini segores senyum secuil tawa sebegitu lang ka /selepas isya jerit tangis menggema/di antara talqin-doa/kesima seketika menghentak dada ternya ta kepergian yang pasti/tak mudah dimengerti/sunyi kembali menjalari lantai koridor/dingin mulai mengendap/aroma kematian masih/mendekap /malam kian larut/jenazah berlalu sudah/menyisa Tanya gelisah/pabila maut kembali menjemput?
***
Aku mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Pengaruh minuman beralkohol memang kurasa, namun pikiranku masih normal. Kulirik arloji, hampir mendekati pukul satu dinihari. Jalan protokol yang kulalui begitu lengang. Hanya satu dua kenderaan melintas. Ruko-ruko telah pada bertutupan. Konsentrasiku masih terjaga. Aku meraih bungkus rokok di dash-board, hanya tersisa sebatang. Rokok kusulut, dan mengisapnya dengan tarikan lebih dalam. Kuturunkan sedikit kaca samping, angin malam menerpa wajahku dengan kencang. Aku merasa lebih nyaman.
Dari kejauhan, lampu pengatur lalulintas masih bewarna hijau. Pedal gas agak kutekan menambah kecepatan. Tiba-tiba saja dari sebalik kenderaan yang parkir, dua sosok berangkulan menyeberang. Aku tersentak. Klos kupijak dan menurunkan porsneling dan buru-buru memijak rem mencoba menurunkan kecepatan. Terlambat, mobilku menyambar satu dari mereka yang sempat reflek mendorong yang lainnya. Terdengar benturan dan jeritan. Aku sedemikian panik. Tak mampu mengendalikan laju kederaan. Mobilku meluncur menabrak trotoar, lalu terangkat menghantam tiang traffic light.
***
“Sudah, bung! Dari tadi Anda berdiri terus di situ. Lebih baik kita duduk-duduk di pojokan sana,” ajak seseorang membuyar ingatanku akan mimpi buruk itu. Tangannya berusaha melepaskan jemariku dari terali besi yang tak sadar kupegang erat. “Ayo bung!” Bahuku dirangkulnya. Tubuhku serasa lemah. Aku seakan kehilangan separuh tenaga.
“Nah, di sini kan lebih enak. Kita bisa ngobrol apa aja. Betulkan bung. Bah! hampir lupa, aku Tigor,” ujarnya menyodorkan tangan.
“Haris,” sambutku tanpa gairah.
“Oke, Bung Haris. Kalau boleh aku tau, apa yang jadi penyebab bung terdampar di sini? Maksudku, mengapa bung masuk penjara? ”.
“Aku telah membunuh seseorang,” jawabku datar. Lelaki di hadapanku tampak terkejut. “Kenapa terkejut, bung?”.
“Ah, tidak. Cuma, aku tak percaya itu. Aku lihat tampang bung bukan tipe seperti itu. Maksudku, tampang kriminal.”
“Terserah penilaian bung. Yang jelas aku telah membunuh seseorang.”
“Perkelahian? Bung terpaksa melakukannya? Lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang telah kulakukan. Aku merasa lelaki itu sedikit bisa membaca tipe seseorang. Aku jadi ingin tau pula tentangnya. Apa yang menjadi penyebab dia masuk penjara.
“Bukan. Bukan perkelahian. Aku telah menabrak…”
“Bah! Betul dugaanku. Tak mungkin bung telah membunuh,” potongnya cepat.
“Ya. Tapi, sama saja itu. Sama-sama membunuh.”
“Jelas beda bung! Kategori bung pelanggaran, bukan pembunuhan.”
“Pendapat bung betul. Masalahnya, tuduhan yang dikenakan padaku tidak hanya sebatas pelanggaran, tetapi ditambah unsur kesengajaan. Jelasnya aku dituduh sengaja melanggar untuk membunuh.”
“Bah! Mengapa begitu? Apa dia musuh bung?”
“Hanya orang sinting yang membunuh musuhnya dengan cara melanggar, sementara dia sendiri nyaris mampus, Kawan.”
“Jelasnya dia bukan musuh bung. Lantas, mengapa tuduhannya berkembang seperti itu?”
“Ini gara-gara perempuan sial itu!”
“Amangoi! Apa pula hubungannya dengan perempuan?”
“Kejadiannya memang bermula dari perempuan itu. Mau bung mendengar ceritanya?”
“Teruskan bung. Aku jadi tertarik.”
***
Satu waktu ada relasi menghubungi dan mengajakku makan siang untuk membicarakan bisnis yang akan ditawarkannya. Kami memilih restoran yang terletak di sudut perempatan jalan. Seorang waitress menyerahkan daftar menu seraya menghadiahkan senyum teramat manis. Wajahnya tampak cantik di mataku. Tubuh serta cara dia melangkah membuatku terpesona. Sejak saat itu, tanpa harus diajak pun, aku selalu menyempatkan diri makan ke restoran itu.
Kami berkenalan dan berkembang menjalin hubungan akrab. Setiap ada kesempatan, aku menjemputnya. Mengajaknya jalan-jalan, menonton, berbelanja, dan apa saja untuk menyenangkan hatinya. Ini kulakukan, karena yakin dia telah jadi milikku. Kekasihku. Tak jarang pada beberapa kesempatan, kami menyewa penginapan dan telah berkali berhubungan intim. Layaknya suami isteri.
Hingga satu waktu aku mendengar kabar, perempuan itu sebenarnya isteri simpanan. Suaminya perwira kapal pesiar mancanegara. Dalam setahun hanya dua kali berlabuh ke sini. Awalnya aku tak yakin, namun setelah mendengar dari banyak orang, aku mulai goyah. Apalagi setelah melihatnya sedemikian mesra berangkulan di satu pusat perbelanjaan.
Melihat dan mendapatkan kenyataan itu, darahku sontak mendidih, namun aku masih sanggup menahan emosi untuk tidak membuat keributan. Saat kutanyakan tentang kabar miring yang kudengar, ia pun mengaku tentang status dirinya. Seraya berupaya menahan amarah, karena ditipu dan merasa dipermainkan, aku sempat melontar ancaman pada mereka.
Rasa kecewa kulampiaskan ke tempat-tempat hiburan. Hampir setiap malam aku berada di bar atau diskotik. Entah berapa banyak pelacur yang telah kugauli. Nyaris setengah dari gajiku kufoyakan untuk itu. Menjelang pagi baru kembali. Hingga malam kejadian itu, aku baru pulang dari satu diskotik di luar kota. Mobil yang kukenderai memang kupacu kencang. Tiba-tiba saja dua orang yang sedang berangkulan menyeberang seenaknya. Kegugupan seketika kurasa.
Semuanya berlangsung cepat. Aku menabrak satu dari mereka, mobilku meluncur menabrak trotoar, dan terhempas dengan deras menghantam tiang traffic light. Sesudah itu aku tak ingat apa-apa. Dua hari kemudian aku tersadar telah di rumah sakit. Hampir sebulan aku menjalani perawatan. Di sanalah baru aku tau orang yang kutabrak itu tewas seketika di tempat. Ternyata pria malang itu adalah si perwira kapal pesiar yang beristeri gelap si perempuan yang kuceritakan tersebut. Sementara perempuan itu sendiri selamat.
***
“Demikianlah Bung Tigor. Dari kejadian itulah timbul tuduhan aku sengaja hendak membunuh dengan cara menabrak, karena merasa sakit hati. Ditambah lagi perihal ancaman yang pernah aku lontarkan.”
“Bah! Betul-betul tragis apa yang bung alami. Namun, inilah kehidupan. Segalanya bisa bersebab-akibat. Kita tidak bisa memastikan realita apa yang akan kita hadapi, jalani, dan terima. Aku sendiri telah lima tahun menjalani hidup di penjara ini. Sebagai ganjaran dari pembunuhan yang kulakukan terhadap seorang yang tak bertanggung jawab setelah menghamili adikku.
Terlepas dari salah tak bersalah, sengaja atau tak disengaja, kita sedang menanggung akibat dari sebuah sebab. Ini realita yang tengah kita jalani dan terima. Satu hal pasti, kita terkadang harus membayar mahal untuk sekeping harga diri, bahkan sepenggal kecewa sekalipun. Mari Bung Haris, saatnya kita makan siang.”
***
kembang warna putih/mekar tiga tangkai/dedaunannya bersih/dibasuh embun dibelai angin/disapa mentari/kembang putih/tangkai dipetik/dedaun tersayat perih/lirih merintih/lalu layu/mati…
Sampali, 9608
Subscribe to:
Posts (Atom)