Begitu masuk ke dalam gedung pertunjukan, penonton seakan telah "terjebak" aura Kereta Kencana karya Eugene Ionesco, yang disadur WS.Rendra dan disutradarai Hafiz Taadi, di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara, pada 23-24 Juli 2005 lalu. Seke-liling ruangan dibungkus dengan kain hitam, tanpa menghilangkan sentuhan artistik tentu nya. Tambahan lagi artistik panggung yang "sedap" dipandang mata, dengan layar yang telah terbuka, nyaris menyedot pikiran penonton untuk segera membuat kesimpulan awal bahwa sepasang tokoh tua (Agus dan Patia) yang berusia sekitar dua abad itu, terkesan sangat kaya, dengan nuansa rumah mewah ciri khas dari rumah Prancis (bukan berarti a daptasi yang tanggung). Dan sekali lagi pikiran penonton sengaja atau tidak telah "digi ring" dengan suasana yang "simpang-siur".
Hanya saja masalahnya tidaklah sesederhana itu, dikarenakan tingkat pemikiranpenon
ton yang tidak seragam tentunya. Dan jika ada yang tidak sepaham, hal itu sangatlah wa-jar dan manusiawi sekali. Sepenuhnya adalah hak penonton, inilah inti dari pemikiran ab-surd Ionesco, Luigi Pirandello, Albert Camus, Samuel Backett,dan lain-lain. Tidak ada yang mampu menyimpulkan sebenarnya secara benar karena memang tidak ada kesimpul
an. Ia hadir dan mengalir begitu saja.
"Ionesco sendiri patut dimaknai sebagai upaya seorang avan-gardist, meskipun ia sen diri tak terlalu perduli dengan kriteria-kriteria yang euphemeral seperti itu, sebagaimana karya-karyanya, Kura-kura dan Bekicot atau Badak, yang menolak segala macam "to- peng kebesaran".
Demikian juga halnya dengan Kereta Kencana. Peristiwa yang hadir di atas panggung semakin "menyentak" pikiran kita, begitu suasana alam bawah sadar hadir dan sosok tua satu persatu muncul dengan sebatang lilin. Suasana ini telah pula "menyerap" pikiran pe- nonton untuk tak putus-putusnya tetap fokus ke arah panggung. Berkat sentuhan musik dari Achi, penonton "ngeri" untuk berkedip. Tokoh kakek yang hadir merespon suasana mistis, suasana supranatural, seolah menjadi sebuah pertanda atau simbol kematian. Lela ki tua itu mulai bergelut diantara alam bawah sadarnya, mencari sumber suara yang me-menuhi ruang "hatinya". Ia merasa begitu tertekan oleh bayang-bayang kematian yang ha dir diantara remang-remang ketakutannya. Perlahan suara-suara hayal itu menghilang dengan kehadiran nenek yang selalu hadir sebagai pengobat jiwa dari belahan jiwanya. Dan ternyata persoalan yang sama dihadapi pula oleh sang nenek, hanya saja ia lebih mampu menahan diri, belajar menghibur diri. Mencoba bertahan terhadap derasnya arus kehidupan yang dijalaninya selama dua abad dengan berbagai persoalan yang begitu kompleksnya. Dan disini hadir semacam filsafat kebosanan, dimana keduanya berusaha untuk saling menghibur, saling menguatkan. Perasaan saling menguatkan inilah yang membuat mereka bertahan dalam mengayuh sampan "senja kala".
Peristiwa hayalpun hadir untuk menghilangkan kejenuhan dalam "mendaki" tangga-tangga usia. Suatu ketika mereka mengulangi romantisme masa lalu, minum sambil me-nikmati panganan kecil yang tersedia. Di lain peristiwa mereka seperti anak-anak kecil yang mengarungi masa belia, dengan bermain layang-layang. Di waktu berikutnya mereka berhadapan ketika pertama sekali mengarungi bahtera keluarga. Mereka menimang bayi dengan senyum penuh bunga. Walaupun diantara rentetan peristiwa yang memang pasti dialami siapa saja, tak jarang kesedihan hadir begitu mendera. Mengenang bayang-bayang kematian, yang mengintip disela-sela jendela usia, menjemput. Dan hal itu berlanjut terus menerus, sampai akhirnya bayang-bayang kematian itu telah menung-gu di depan pintu.
A B S U R D I S M E
Sebagai sebuah pertunjukan, Kereta Kencana yang berdurasi lebih kurang dua jam ini, dianggap cukup berhasil. Hanya saja sebagai sebuah karya seni ada bebeapa hal yang per- lu menjadi catatan. Tokoh yang berusia dua abad itu tidak singkron dengan keberadaan ruangan yang terkesan tertata rapi. Dan bunyi tetes air dari awal sampai akhir pertunjuk kan menggambarkan seolah rumah itu dikungkungi oleh goa yang bermata air. Tokoh yang begitu ringkihnya, seperti terlalu diberat-beratkan. Air liur yang terus menerus me-ngalir memberi kesan mempersetankan penonton dengan kenyamanan menikmati per-tunjukan. Rambut dan pakaian antara terurus dengan tidak terurus, sangat bertolak be-lakang dengan keberadaan setting panggung yang cukup terjaga kerapiannya (walau tom bol lampu entah dimana letaknya).
Tambahan lagi suara yang terlalu dipaksakan ketuaannya menyebabkan artikulasi yang tidak jelas. Ketidak-jelasan itu justru diperkuat dengan sound system yang agak terganggu , tidak stabil. Wireless yang timbul tenggelam. Apakah ini yang dimaksud oleh Sutradara,"Perceraian antara manusia dan hidupnya , antara sang aktor dan pentasnya… itulah perasaan absurditas yang sesungguhnya"?
Bagaimanapun sebuah pertunjukkan, seabsurd apapun itu harus mampu menunjukkan benang merah sehalus apapun. Setting harus mampu "berbicara",mampu dimultifungsi kan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Dan konsistensi sebuah pertunjukan juga harus dipertimbangkan dalam kaitankehadirannya di dunia maya, di alam bawah sadar. Perlu ada kesingkronan antara setting yang rapi dengan tokoh yang kelihatan tidak terurus. Analisis naskah tampaknya perlu digali lagi. Dan tidak ada hu bungan dengan miscasting , dimana keberadaan kedua tokoh yang masih terkesan terba-ta-bata dalam memaksimalkan pola akting yang terkesan sangat lambat yang hampir saja mengundang rasa kantuk, jenuh atau geli dengan mengalirnya air liur secara terus mene rus dari awal sampai akhir pertunjukkan. Masih terkesan keterpaksaan berakting, belum menyertakan roh tokoh yang diperankan. Hal ini terlihat dari langkah atau bloking yang sudah paku mati.
Charles Ralo menulis, Analisis Camus tentang absurd dimulai dengan menunjukkan bahwa secara wajar orang menemukan dan cukup mudah untuk menerima kehidupan ru tinnya sehari-hari. Tetapi dalam kehidupan rutin itu suatu hari timbul ‘mengapa’ – suatu pertanyaan apakah hidup memiliki makna."
Senada dengan hal diatas, dari beberapa tulisan tentang tokoh-tokoh teter absurd dapat kita ketahui, bahwa mereka lebih dahulu telah menguasai teknik konvensional sebelum menunjukkan pengungkapan yang lain, misalnya Eugene Ionesco (kelahiran Rumania), Arthur Adamov (kelahiran Rusia), Samuel Backett (kelahiran Irlandia), Antonin Artaut (Kelahiran Prancis), Gunter Grass (Jerman Barat), Harold Pinter (Kelahiran Inggris), Ed-ward Albee (kelahiran AS), dll. Karena dasar pijakannya telah dikuasai, mereka jadi lebih kuat sewaktu memproklamirkan diri sebagai seniman absurd. Sehingga wajar jika Ionesco sendiri berkata bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai character without characters.
K L A S I K-P U I T I K
Pandangan Filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkrit hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan . Inilah mungkin yang menjadi dasar dari WS. Rendra, menyadur Les Chaises/The Chairs, 1954 (kursi-kursi) menjadi Kereta Kencana. Keajaiban, miste teri, kerinduan, alam sadar dan bawah sadar, prototype kaum pesimis yang menganggap hidup ini adalah proses menuju tragedi, simbol atau genre tragick farce (realitas yang lucu dan menyedihkan), memiliki kekuatannya tersendiri.
Dengan gaya klasik puitik, naskah Kereta Kencana, hasul polesan WS.Rendra terasa begitu kuat. Dan kekuatan Ionesco-Rendra , ini sayang kurang tergarap pada pertunjukan dari Teater Siklus ini. Dialog-dialog yang sangat puitik ini, tidak meninggalkan kesan pui tiknya sama sekali, diakibatkan artikulasi yang terputus-putus, dan sound system yang agak terganggu.
Beban itu yang agaknya muncul ke permukaannya. Filsafat kebosanan tidak hanya ha-dir dari naskah, ia juga hadir dalam setiap gesture yang dipaksakan, pandangan mata kakek yang terkesan butam dan make-up artistik yang perlahan luntur, serta keringat dan liur yang bercucuran. Hal ini jelas tidak melahirkan suasana klasik maupun puitik tentunya. Dan ketidak puitikan itu nyata hadir, ditambah lagi kecenderungan naskah operarealisme belaka.
Akhirnya, terlepas dari itu semua keberanian sutradara patut diacungi jempol. Perjua ngan pemain yang pantang menyerah, membuat pertunjukan Kereta Kencana yang diusung Teater Siklus di Gedung tertutup Taman Budaya Sumatera utara itum tetap mem beri nilai lebih. Proses kreatif yang tidak amatiran. Kesungguhan terasa begitu merasuk dengan proses kerja yang memakan waktu yang cukup lama. Sungguh dari segi art dan non-art-nya. Dan yang lebih penting penonton tetap bertahan ditempatnmya, mudah-mudahan tidak karena hujan atau alasan segan. Dan mudah-mudahan tidak. Selamat!
Juli, 2005
Penulis pengamat/penikmat teater di Medan
No comments:
Post a Comment