Monday, 23 June 2008

Aku Penari

Aku Penari
Oleh: Indah Zuhairani


Namaku masih tergurat di batang pohon Seri itu. Walau mengabur, namun bisa dapat kubaca: Sulan. Bedanya, dulu guratan itu sejajar dengan wajahku dan kini sedadaku. Sekarang dengan hanya mengulurkan tangan aku bisa mengambil buahnya. Tak seperti tujuh tahun lalu. Aku harus memanjatnya.

Biasanya pohon bisa menutupi wajahku yang kecil. Tapi bukan salahnya. Tubuhku makin mengembang. Gampang terlihat jadinya. Kalau dulu, pohon ini mendukung ritual mengintip orang-orang belajar. Mengintip mereka memainkan selendang sambil menari. Melukis padang dan pohonan. Bercerita dan belajar matematika. Mengutip bahasa dan sajak yang selalu kubawa menjelang tidur bersama ayam-ayamku, ehhh ayam nenek itu. Aih, bagaimana pula kandang ayam yang menjadi rumahku dulu?

Bagaimana ya dengan nenek pemilik ayam itu. Masih galakkah dia? Atau sudah mati? Aku ingat bagaimana dia memberiku makan jika bisa menjual telur-telur ayamnya dengan harga tinggi. Itu pun sekali sehari. Itu juga yang membuat aku jadi sering mengintipnya ada atau tidak di rumah. Lalu mencuri di rumahnya. Untung dia tak pernah tahu. Bisa kubayangkan makiannya. Soalnya, masuk kamar mandi untuk mandi saja dia marah apalagi mencuri makannya.

Malunya. Aku jadi biasa mencuri di rumah yang memberi aku tumpangan kandang ayam. Tapi dia juga yang membuat anak-anak sebayaku malas main denganku. Anak-anak itu sering mengejekku. Bahkan ada yang menyebutku Sulan Monyet Ayam. Monyet karena aku sering memanjat pohon Seri. Ayam karena aku tinggal di kandang ayam. Mereka juga sering menutup hidung saat aku lewat. Katanya aku bau.

Tapi tak apa, kurasakan keasikan di sana. Bau yang bertahun-tahun kuhirup mengharum. Bulu-bulu ayam membuang alergi. Aku sehat-sehat saja. Telur-telurnya dapat kumakan mentah-mentah. Tak pernah merasa capek jadinya.

Mereka tidak tahu dari keayamanku dan kemonyetanku, aku bisa mencuri pelajaran di sekolah terbuka mereka. Memang lebih asyik lagi jika aku bisa sekolah terang-terangan, tanpa harus mengintip. Tapi bagaimana bisa? Sekolah itu hanya untuk anak petani. Sedang aku anak siapa? Aku sendiri tak tahu. Aku seorang anak yang entah tercecer di mana lalu dipungut entah untuk kepentingan apa. Tapi tak apa. Toh sekarang aku bisa hidup lebih baik. Tarianku memberiku rumah dan hidup yang lebih baik. Bisa mengajarkan tarian yang kudapat dari mengintip. Aku tidak lagi tinggal di kandang ayam. Tidak mencuri makanan. Tidak memonyet untuk mengambil buah Seri yang merah dan manis. Sekarang lebih sering mandi di kamar mandi keramik biru. Kota, ternyata tempat yang memberiku kehidupan lebih baik untuk anak yang menumpang di kandang ayam.

Tapi bukan karena mengintip aku berteman dengan kota. Memang, memang dari mengintip aku bisa menghayati selendang menggelombang mengikuti angin. Aku juga bisa merasakan angin mengayun-ayun rasa dan badan penari. Tapi, semua itu memang percuma, kalau saja aku kelewatan menonton pertunjukan rombongan penari keliling di pasar.

Waktu mereka tampil, kutinggalkan telur-telurku. Aku tak peduli nenek itu marah. Aku bosan melihat tarian yang hampir setiap hari kuintip. Aku ingin melihat yang lain. O, Tuhan. Aku merasa melihat yang tak terbayangkan. Selendang membelai perasaan. Angin menyelusup ke jiwa. Pori-poriku terbuka. Ada yang menggeliat dalam diri. Aih! Entah kenapa aku mendadak berada di antara penari-penari. Aku hanya ingin bergerak. Hanya ingin mereka melihatku bergerak. Anjing! Ekstaseku pecah. Aku ditarik. Tangan-tangan kuat menyeretku keluar dari arena pertunjukan. Aku hanya bisa menangis. Tapi hatiku terus-terus memanggil-manggil tarian. Tapi mereka tuli. Mereka buta. Seperti Tuhan, mereka menolakku hadir di arena tadi. Mereka tak membolehkanku menari dengan iringan gamelan dan seruling sawah. Mereka mengusirku sambil memakiku, "Gila!"

Tapi aku tidak menyerah. Seorang tukang sayur menyemangatiku.
"Kau mau menari seperti mereka? Ikuti saja lenggak-lenggoknya. Ajari dirimu menari seperti mereka. Mereka dua minggu di sini. Masih banyak waktu untuk kau menunjukkan kemampuanmu. Jika butuh selendang banyak di rumah. Besok kubawakan kau satu. Kau akan menari. Bahkan lebih indah dari mereka. Tapi, ingat. Jangan pernah jual tarianmu pada orang-orang yang bukan hanya suka pada tarianmu. Catat itu dalam kepala. Kau bukan anak seperti ejekan orang kampung. Kau lebih cerdas dari mereka yang belajar di sekolah terbuka. Kau lebih pintar menghitung belanjaan daripada anakku."

Mendengar ucapan itu, aku bagai orang kehausan mendapat segelas air. Tak dingin tapi hangat. Ya, aku mendapat kehangatan manusia yang jarang kurasa. Kehangatan manusia itu mengantarkan selendang itu padaku. Dimana tukang sayur yang hangat itu sekarang? Aku jadi rindu dia. Tadi waktu melalui pasar bersama rombongan penari tak kulihat dia berjualan. Apa sudah pindah? Atau dia bangkrut karena memberi satu selendang untukku? Tidak mungkin. Selendang itu tidak baru, tapi manik-maniknya masih rapih. Warnanya juga belum terlalu pudar. Memang ada sedikit sobekan. Tapi tak apa. Selendang itu yang membawaku ke rombongan penari.

Hari berikutnya aku terus menonton tarian yang mereka bawakan. Kupikir biasa saja. Bisa lebih baik jika mereka menghayati angin. Aku jadi ingin memperkenalkan angin kepada mereka.

"Biarkan aku menari sebentar saja. Tiga menit saja. Lihat dulu. Aku penari. Aku bisa menari. Tolonglah! Setelah hari ini aku takkan mengganggu acara kalian lagi. Aku janji."
Tarianku berkelebatan di angin. Menawan mata pemilik rombongan. Matanya, mata seorang ibu yang teduh. Dia yang menyapaku lebih dulu. Dia juga yang menawarkan untuk ikut. Beberapa hari kulewati dengan usiran rombongan, akhirnya kini aku menjadi anggota rombongan. Senangnya!

Bu Wiyan. Cantik. Janda yang memberikan seluruh hidupnya untuk menari, penarinya dan orkestra musik ringan. Persis seperti penari zaman dulu yang sering kulihat gambarnya di papan tempat anak-anak belajar. Betul-betul mirip. Bahkan awalnya kupikir gambar itu hidup dan menjelma menjadi Bu Wiyan. Perempuan itu begitu kusayang, seperti dia menyayangiku. Menyekolahkanku hingga sekarang. Aku belajar dengan utuh. Aku juga diizinkan ikut rombongan pada waktu-waktu liburan sekolah, seperti sekarang. Liburan kenaikan ini yang membawaku pulang. Pulang ke kampung dimana hanya rombongan dan penjual sayur yang menerima aku sebagai anak perempuan yang bisa menari. Bisa menggambar. Bisa segalanya.

Bu Wiyan juga suka mengoleksi lukisanku tentang kampung. Tentang kandang ayam. Tentang rumah yang sering kumasuki untuk mencuri. Tapi dia tak marah padaku. Karena aku tak pernah mencuri di rumahnya. Lagi pula buat apa aku mencuri? Sekarang aku bisa makan tiga kali sehari. Aku bisa mandi sesukaku. Bisa menonton TV. Bisa belajar dengan buku-buku yang mahal. Bisa mengetik di komputer. Komputernya memang sudah agak rusak. Tapi sajak-sajakku tak ikut rusak. Dia juga suka menyuruh anak-anak di dekat rumah kami membacakan sajak-sajakku ketika ada acara apa saja. Dia sepertinya mengagumiku, seperti aku mengaguminya. Dia ibuku, dia mengubah jalan hidup.

Tak bisa kulupakan, hidupku banyak berubah sekarang. Sekarang kampung ini juga. Memang pohon Seri masih menoreh namaku. Tapi di sekitarnya masih banyak pohon Seri yang tidak kutau namanya. Dulu hanya ada tujuh. Semua kuberi nama seperti nama ayam-ayam di kandangku. Kalau kulihat kulit pohon lebih muda dan basah, maka mereka adalah perempuan. Kalau agak keriput dan tua, itu laki-laki. Ya, begitu juga aku menilai ayam-ayam yang tidur bersamaku di kandang. Mozza, Ringga, Sarma, Gondo, Herman, Dadang. Pohon Seri itu namanya Sulan, seperti namaku. Hanya dia yang tak punya pasangan. Tadinya aku berniat menikahkan mereka semua. Tapi itu kan waktu kecil, umurku saja masih sembilan tahun. Sekarang mereka seperti sudah menikah saja. Punya keturunan yang banyak. Ahh, bodohnya aku. Mana bisa pohon menikah. Tapi mereka pasti berkembang atau ada yang menanamnya lagi. Terpuji sekali dia. Jadi teduh. Tapi aku tidak suka pondok-pondok kecil yang tertutup di sekitar pohonan.

Pondok-pondok itu didatangi pasangan yang bermacam-macam. Ada yang perempuannya muda laki-lakinya tua. Ada juga sebaliknya. Ada yang sebaya. Dan ahhkh, itu urusan mereka. Yang penting mereka sudah merusak kerindangan pohonku. Atau pemilik warung itu yang menanami pohon dan membangun pondok-pondok? Terserahlah, tapi bagaimana orang-orang kampung sebayaku? Apa masih menolakku dan mengataiku monyet ayam? Tidak, pasti tidak. Aku sekarang tak perlu memanjat untuk ambil buah seri. Aku juga tidak tidur di kandang ayam.

Hei, itukan Lasri! Berapa umurnya sekarang ya? Waktu aku sembilan, dia sebelas tahun. Dia lebih tua dariku. Tapi dia terlihat lebih tua dari usianya. Apa karena temannya itu. Temannya terlalu tua. Sangat tua. Siapanya ya? Pacarnya. Atau... suaminya. berarti dia sudah menikah. Cepat sekali. Aku saja masih sekolah kelas tiga SMP. Ah, tapi kurasa itu biasa. Ini 'kan kampung. Tapi tidak juga. Bangunan di sini sudah banyak yang megah. Sudah banyak kendaraan dan kantor-kantor meski agak kecil dibanding kantor di kota. Ih, itukan Burhan, Lili, Gita. Mereka ada di situ juga. Sedang apa ya? Apa mereka masih mengenalku? Kurasa tidak. Aku terlihat lebih cantik dibanding mereka. Tapi si Burhan sedang apa? Dia bergandeng dengan laki-laki juga? Tak mungkin pacar. Hanya teman. Pasti!

Astaga! Mereka berciuman? Burhan.... Burhan pacaran dengan laki-laki? Saling belai pula. Astaga! Gila! Mereka semua sepertinya sudah gila. Apa tidak ada niat melanjut ke sekolah terbuka lanjutan? Atau memang hanya begitu saja ilmu mereka? Malaskah? Atau tak ada uang? Tapi aneh betul.

Kurasa mereka pasti malas. Lebih asyik bersenang-senang. Buktinya Kak Satti yang dulu juga bersekolah di sekolah terbuka kelihatannya masih bekerja. Aku pernah melihatnya lewat berseragam rapi boncengan dengan laki-laki juga rapi. Sampai sekarang aku tak pernah jumpa dia lagi. Tapi aku yakin itu dia. Dulu aku sempat mengaguminya. Dia murid paling tua di sekolah terbuka. Usianya waktu itu sudah tiga belas tahun. Tapi dia tidak malu bersama-sama belajar dengan anak-anak yang tiga atau empat tahun lebih muda darinya. Dia juga pinter menari. Tapi itu pasti dia. Tompel di dekat dagunya masih hitam kemerahan.

Maunya mereka juga seperti Satti. Seperti aku. Menjumpai hidup baru di kota. Tapi mereka betah di sini. Terlalu cinta pada kampung? Mau cari apa di sini! Paling-paling bertani, beternak, dan berdagang. Tak ada hal baru yang mengembangkan pikiran. Besok pagi sebelum menari aku harus menemui mereka. Satu-satu. Tapi sebelumnya aku ke rumah nenek pemilik ayam itu dulu. Semoga masih ada. Aku masih hapal gang di kampung ini meski banyak bangunan batu yang asing untuk mataku.

Mereka semua berkumpul. Apa tinggal serumah?
"Hei,..... Apa kabar? Masih ingat?"
Kelihatannya mereka begitu aneh memandangku. Ada apa ya?
"Sulan!"
"Monyet ayam?"
Hmmm, mereka masih memanggilku begitu. Lucu juga mendengarnya.
"Kalian semua tinggal di sini?"
"Tidak! Kami hanya malas pulang. Dari tadi malam belum tidur. Banyak tamu yang datang. Perlu dilayani spesial. Tadi malam 'kan malam minggu, jadi banyak pengunjung."
"Suaramu lembut sekali Burhan?"
"Ahhh biasa saja!"
Apa yang kalian lakukan di sini? Kulihat kemarin kalian masing-masing punya pasangan intim. Yang paling aneh kau Burhan!"
"Dia kan homo!"
"Jangan gitu, Li. Dia bukan homo. Hanya tuntutan tugas. Bukan begitu, Han?"
"Gita, Gita! Jangan munafik gitu. Kau sama seperti aku. Seperti kami, kita! Kita semua pasangan komersil yang dibayar. Pelacur. Kau tahu itu?"
"Kau yang pelacur! Aku hanya menemani satu tamu malam ini. Dia itu pun suami gelap yang menikahiku dua bulan lalu,"
"Alah...."
"Sudah! Sesama kawan tak perlu begitu. Kita sama-sama dan ini kita!"
Pelacur? Mereka semua pelacur? Lantas apa yang dikatakan orangtua mereka? Siapa yang menjadikan mereka begitu? Apa maunya mereka dengan begitu? Kenapa tidak memilih hidup selain melacur?
"Apa kabar? Sulan!"
"Baik, Las! Kau juga?"
"Ya."
"Kenapa kau begitu? Lebih baik menari. Kau pintar menari. Kau juga pintar mengajari anak-anak membaca. Kau juga pintar menggambar. Lalu ibu dan ayahmu bagaimana?"
"Mereka yang menyuruhku. Kenapa tidak? Uang dari sini lebih banyak. Mereka bisa menikmati kopi dan pisang goreng tanpa harus ke ladang, sawah dagang dan beternak. Mereka hanya membutuhkan aku. Apa masalahnya kalau aku melacur? Tak ada kan? Kau hanya beruntung, pergi ke kota dengan rombongan tari dan sekolah sebisamu."
"Aku tidak beruntung. Kalian harusnya lebih beruntung. Punya orangtua dan sempat belajar lebih dulu dari aku. Lalu kenapa harus melacur?"

"Ini paling gampang dilakukan. Lagi pula tak ada risiko selain penyakit dan ditangkap hansip. Kurasa pekerjaan ini lebih menguntungkan. Tanpa modal. Hanya tubuh saja. Dan sedikit cumbuan. Menari pun ada gunanya? Penari-penari di sini juga disamakan dengan pelacur. Kerjanya juga lebih berat. Harus lebih menari dulu, ditiduri baru dibayar. Sedang kami, sekadar menemani minum, dibawa pergi lalu dibayar. Lebih gampang kan? Tak usah menari untuk melacur, Sulan!"

"Aku lebih memilih jadi penari. Sejak warung ini buka. Kau tahu ini warung milik orang kota. Dia yang membawa kami dan menawarkan harga mahal. Itu juga yang membuat orang-orangtua sekampung ini menerima. Uangnya besar. Apalah petani? Tak ada. Penghasilan tak sebanding dengan hama dan kering yang datang setiap tahun. Hampir seluruh petani setiap tahun rugi. Hampir juga kerugian itu seratus persen. Petani-petani dan tak terkecuali orangtua kami harus terus meminjam uang. Dibayar dengan anak-anak perempuannya. Kurang ajar memang. Tapi inilah pelajaran yang lebih berharga dari sekolah terbuka. Pelajaran itu juga yang membawa kemauan kami jadi pelacur!"

"Aku tak sependapat! Kalian bodoh. Percuma kalian duluan sekolah. Tapi otak kalian buntu. Terlalu mau dibodohi dengan kebodohan dan kemiskinan. Terlalu gampang menyerah,"
"Bukan menyerah. Ini balasan. Dan kami membalas dengan ikhlas untuk orangtua kami. Daripada rumah harus dibongkar. Lebih baik begini. Kau ingat nenek yang kau tumpangi. Karena dia tak punya anak, ayam dan semua isi rumah diambil paksa. Dia tidur di mana saja di lorong kampung. Akhirnya dia meninggal! Sadis bukan. Lebih sadis daripada orang-orang tua yang membiarkan anaknya melacur!"

"Meninggal?"
"Ya, tiga tahun kau pergi. Kampung ini banyak didatangi orang kota. Dan ya, akhirnya mereka menguasai. Beginilah. Tapi tak apa. Inilah perubahan Sulan. Perubahan yang mendasar hingga ke anak-anak. Kehidupan seperti inilah yang menjanjikan kenyamanan. Kau harus setuju! Penari tidak lebih dihargai dibanding pelacur warung ini!"
"Kau mau menari ya, Sulan?"
"Ya, jangan sampai diusir. Setahun ini sudah lima rombongan penari diusir. Mereka mengurangi omset warung dan kami. Kami merasa dirugikan."
"Aku tetap akan menari! Tetap!"
"Keras kepala!"
"Bukan begitu Burhan! Aku cuma melekangkan kepelacuran dari penari. Penari bukan pelacur seperti kalian"
"Kau juga pelacur, Sulan! Nikmatilah, seperti kami menikmati hidup"
"Tidak! Aku penari. Sampai jumpa nanti sore. Nikmati saja hidup sebagai pelacur. Lihat saja. Jam tiga nanti kami menari di lapangan bola!"
"Persetan dengan menari dan penari."

Lantunan irama seperti musik dari dunia baru. Lenggak-lenggok penari menyulam selendang di tangan dan di pinggul mereka. Hanya sedikit yang menonton. Sulan tetap terlihat begitu semangat. Setidaknya semangat itu hadir juga di hati teman-teman yang pernah menolaknya. Teman yang melacur hanya karena takut tidak makan. Takut tidak punya rumah.

Mereka datang juga. Teman-teman lamaku yang pelacur!

"Mereka penari! Usir saja. Mereka akan merusak pendapatan kita. Kalian mau rumah dan sawah digusur? Tidak 'kan. Usir saja!"
"Tidak! Jangan usir. Kami mau menari. Kami menari bukan melacur seperti hidup kampung ini!"
"Usir!......"
"Terlalu banyak, Sulan! Kita tak bisa terus menari. Nanti kendaraan dan segala milik kita bisa-bisa dibakar!"
"Tidak mau! Sulan mau terus menari, Bu. Mereka harus buang pikiran tentang penari itu pelacur. Sulan mau kasih tau mereka, penari itu seniman tubuh yang tak menjual tubuh!"
"Sudahlah, Sulan! Kita pergi saja. Hentikan musiknya!"
"Jangan, Bu. Mereka harus lihat Sulan menari"
"Usir! Bakar!"
"Mereka banyak, Sulan!"
"Biar!"
"Sulan sayang ibu 'kan? Sulan sayang rombongan kita 'kan? Ayolah nak. Biar saja mereka begitu. Yang penting kita penari, bukan pelacur. Lagi pula kita harus mengamen lagi di kampung lain. Liburanmu sudah mau habis,"
"Sulan ajak ibu ke sini karena Sulan rindu kampung. Sulan ingin tunjukkan Sulan bukan monyet ayam yang bisa manjat yang tidur di kandang ayam lagi."
"Sudahlah! Ayo!"
"Anjing. Dasar kampung pelacuran!"
"Sulan, jangan!"

"Ibu, ternyata kampung ini tetap sama. Bukan hanya pohon serinya. Mereka juga masih menolak Sulan. Padahal Sulan tidak lagi tidur di kandang ayam. Tidak lagi suka manjat. Sulan juga sudah bisa menari. Sulan benci mereka. Sampai mati pun Sulan takkan mau menari di kampung ini lagi. Biar saja mereka mencari hidupnya sebagai pelacur!"
"Ya, yang penting Sulan 'kan anak ibu. Anak ibu yang pintar menari, tapi bukan pelacur! Ayo."

Aku tak bisa menolak ibu seperti orang-orang kampung ini menolakku. Tapi aku tak bisa menolak harapan. Ya harapan. Harapan agar namaku tetap tertoreh di pohon Seriku. Agar kembali anak-anak menari di balik pohon itu, walau tanpa Sulan yang mengintip.
"Ayo, bu."

Medan, 31 Agustus 2006

No comments: