Friday, 27 June 2008

NUZUL AINI RAMADHANI

BUNGAKU
OLEH :RAHMAT .M.RIDHO


Meski kemarau belum berlalu
Bungaku di halaman tak pernah layu
Kadang kulihat kumbang dan kupu-kupu
Sesekali datang mengisap madu


Udara panas bercampur debu
Sering menganggu indah bungaku
Kuturuti nasihat ibu
Memelihara dan menyiram bunga setiap waktu

Terima kasih bungaku
Halaman rumahku
Tempat bermainku
Menjadi indah selalu

BUKU
OLEH :RAHMAT .M.RIDHO

Bermacam-macam jenismu
Berbagai corak warnamu
Berjenis –jenis ukuranmu
Beraneka ragam isimu

Banyak manfaatmu
Tuk kami gunakan slalu
Akan kubaca di rimu
Supaya kuberkembang maju
Engkau adalah sumber ilmu
Yang sangat berguna
Bagi kehidupanku

Engkau adalah jedela dunia
Tuk memberantas kebodohan
Tanpamu
Kami tak akan mampu
tuk membangun
tanah persada , Indonesia TERCINTA




AYAH
OLEH :RAHMAT .M.RIDHO

Ayah engkau bekerja mencari nafkah
Untuk menghidupi seluruh keluarga
Ayah kau tak menganal lelah
Dan tak merasa lesu

Ayah walaupun kami nakal
Tetapi engkau tetap mencitai kami
Ayah kasihmu pun sungguh besar
Engkau adalah seorang pahlawan buat keluarga

Ayah jasamu sudah terlalu besar
Bagi seluruh anggota keluarga
Ayah engkaau menyekolahkan aku
Agar kelak aku menjadi orang yang berguna

LAUT
OLEH :RAHMAT .M.RIDHO


Kau sungguh indah dipandang
Warnamu biru menakjubkan
Di tengahmu batu karang tak goyang
Pohon kelapa melambai di tepimu
Hembusan angin bertiup lembut
Menambah indah suasanamu
Aku sangat kagum padamu

PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
OLEH :RAHMAT .M.RIDHO

Dengan penuh kasih sayang
Kau beraitahu kami
Apa yang kami tidak tahu

Tanpamu….
Orang tidak bisa membaca
Tidak tahu sopan santun
Kami sangat berterimakasih
Padamu….

Guruku yang baik…
Engkaulah pelita dalam kegelapan

Kelak…
Ilmumu yang telah engkau berikan
Pasti berguna untuk masa depanku
Menyongsong masa depan yang cerah

Yang dapat kuberikan
Hanyalah sebuah puisi
Untukmu guru…
Pahlawan tanpa tanda jasa


PAPA DAN MIMI
OLEH :RAHMAT .M.RIDHO

Papa adalah matahari siang hari
Yang gagah perkasa
Dan menerangi bumi
Serta memberikan kehidupan
Pada bumi

Mimi adalah bulan di malam hari
Yang halus dan lembut
Memancarkan bias sinarnya
Dan menerangi malam
Yang membuat bumi selalu ceria

Papa…
Mimi…
Dunia ini akan beku
Tanpa kehadiranmu
Dan akan kuturuti
Segala nasehatmu
Hingga
Akhir hidupku

KRABU HITAM KRABU PUTIH

OLEH :RAHMAT .M.RIDHO

Nyanyian dermawan sudah datang
Krabu hitam dan krabu putih bernyanyi
Terdengar suara syair yang
Sangat bagus .pandanganmu
Krabu hitam sangat tajam
Seakan tidak ada yang berani
Melihatmu kalau kau
Krabu putih pandanganmu
Indah sekali seakan ada yang
Memakaimu tetapi kalian sama
hujutnya tetapi sipatnya lain sekali
permintaan ibuku untuk memakaimu
krabu hitam danpun aku menoleh
untuk memakaikankun krabu putih
akupun menangis tapi
tangisan itu dari hatiku aku pun
menahan nangisku. karbu hitam
pun lengket di kupingku yang bagus
aku menangis setiap malam
merindukan krabu putih yang
cantik sekali .krabu hitam
pun menangis .akhirnya krabu
hitam terlepas sendiri dari kupingku


MEDAN SUMUT
TANGGAL :15-2-2008


CERMIN CINTA
OLEH:RAHMAT .M.RIDHO

Cinta –cinta telah lepas dari
Kebencian yang sangat sensara
Hati –hatipun cerah seperti cahaya
Lampu yang tidak bisa mati
Orang-orangpun penuh dengan
Cinta yang sangat berbunga-
Bunga tapi kebencian ada
Di mana –mana
Pas cinta berkembang biak
Akhirnya kebencian hilangDari bumi kita
.tapi bukan kebencian
Yang ada tapi kejahatanpun
Ada jadi belum setengahnya
Bumi kita indah masih jadi
Percintaan menjadi sedikit
Jadi banyak yang mencari
Dengan kesusahan akhirnya
Percintaan datang sendiri

MEDAN SUMUT
TANGGAL :16-2-2008
BUAH CINTA

OLEH:RAHMAT.M. RIDHO


Buah-buah cinta telah jatuh dari
Setangkai ranting yang sangat
Rapuh .jatuh seperti
Angin yang sangat kencang
Yang bertaburan ke seluruh
Perosot-prosot cinta yang
Sedang membara seperti lautan yang
Terhempas ke daratan
Buah-buah cinta itu akhrinya
Membusuk dan cinta-cinta
Pun membusuk seperti
Petir yang ganas
Orang-orangpun saling membenci
Pasangnya akhirnya pohon-
Pohon buah cinta berbuah
Pohon itu berbuah lain
Yang bernama buah petapa


Medan sumut
Tangal:07-4-2008



RAHMAT .M.RIDHO

PERGI KE ANCOL

Oleh :rahmat .m. ridho

Pagi-pagi sekali rahmat,aini,
Nanda,nantulang,dan tulang ewin
Pergi ke ancol dan sessampainya
Kami terlalu datang pagi pagi
Sekali jadi kami memutuskan
Jalan ke pantai saya kepingin
Berenag di pantai itu tapi
Tidak di ijinkan tulang ewin
Jadi kami kembali ke yang kami tuju
dufan dan kami paling duluan dapat
Karcisnya kemudian kami langsung
Naik komedi putar
Sesudah naik komedi putar kami
Langsung naik gajah berputar
Saya langsung pening
Ya terus saya naik burung rajawali
Yang seram
Masih banyak permainan yang
Sudah kami mainkan ya
Itu cerita ku


Medan sumut
Tanggal :8-2-2008



Jalan –Jalan di Tahun
Baru
Oleh ;Rahmat .M. Ridho

Malam –malam kami
Semua jalan menikmati
Malam tahun baru
Saya ,nanda dan aini
Membeli terompet
Yang cantik kemudian
Kami berhenti di monas
Kemudian saya ,nanda ,dan
Adek aini meniup
Terompet sekeras –kerasnya
Kemudian ayah nanda
Mengajak berkeliling monas
Yang indah dan tinggi .
Saya membeli gulali
Empat biji sesaat ini
Kami tidak sadarsudah malam
Sekali sesaat di perjalanan
Semua mengantuk yang
Cuma bangun tulang ewin ,
Saya, nanda ade aini ya
Disuruh bernyanyi apa saja biar
Rame dan tidak sepi sekali
Medan sumut
Tanggaal :8-2-2008




PERGI KE BANDUNG

OLEH :Rahmat .M. Ridho

Pada saat pagi tulang
Ewin mengajak kami
Semua ke bandung
Dan kami menyiapkan
Maknan ,baju ,dan minyak
Kayu putih
Di saat perjalanan ade
Aini muntah di mobil
Terpaksa tulang ewin
Berhenti di jalan
Untuk mengganti
Baju ade aini
Kemudian kami
Melanjutkan perjalanan
Kemudian kami berhenti.
Di mesjid untuk solat
Masuk ke mesjid
Rupanya masuk harus
Membuka selop kita
Atau sepatu sesudah
Masuk kami semua
Melewati air yang dingin
Itu untuk bias masuk ke mesjid
Dan saya,nandadan ade aini
Kemudian nanda mengajak
Saya untuk mandi air itu
Dan kami melanjutkan
Perjalanan oma membeli
Ketoprak yang enak
Kami sampai di tujuan
Saya langsung menangkap
Ikan yang besar.saya
Mendapat ikan gurami
Yang besar lagi bunting
Jadi saya melepaskan
Ikan itu dia lagi bunting
Dan kami memesan
Iakanyang tidak
Di pancing
Tapi taya dan kuitidak
Mau makan taya dan kuin
Melihat ikan saja nantulang
Memmanggil taya dan kuin
Ke mudian kami pulang
Pas di perjalan oma
Membeli rambutan
Merah kami semua
Makan di perjalanan teryata
Asam dan banyak semutnya
Tiba-tiba bensin mobil
Habis tulang ewin mengisinya
Tiba –tiba saya gatal –gatal
Dan kami sampai dirumah
Kemudian mba yanti
Bilang ke saya harus keringat
Besoknya saya lari –lari di
Komplek saya langsung
Berkeringat dan pun saya
Sembuh


Medan sumut
Tanggal :9-2-2008



ULANG TAHUN QUIN
OLEH :RAHMAT .M. RIDHO


Pada saat itu nantulang bikin
Kue untuk quin ulang tahun
sampai malam
Sekali dan saya ,nanda ,dan ade aini
Mau membantu nantulang
Kami bercelepotan
Jadi pas jam 00:00
Kami siap dan kuenya
Berbentuk dora jadi nantulang
Menyuruh kami tidur biar
Tidak terlambat bangun nanti
Kami pun tidur
Pas sudah paginya nanda
Yang terlambat bangun
Jadi nantulang membangunkan
Nanda tapi nanda tidak bangun
Tulang Ewin mengambil
Air dan tulang ewin menyiram
Nanda pakai air itu dan nanda pun
Bangun. Kemudian kami bersama tulang
Ewin meniup balon quin sudah siap
Mandi dan quin meminta balon
Tapi tulang ewin tidak mengasi
Kemudian quin nangis terpaksa tulang
Ewin mengasi balon yang berwarna
Hijau dan berdatangan tamu –tamu
Kamipun memulai acaranya

Medan sumut
Tanggal :9-2-2008



PULANG KE MEDAN
OLEH:RAHMAT .M.RIDHO


Pagi-pagi sekali kami berencana
Mau pulang ke medan jadi
Nantulang membelikan tiket
Pesawat .pas sore tiket sudah
Ada jadi saya ,nenek,kakek,dan
Ade aini menyiapkan baju-baju
Dan makanan untuk di dalam pesawat
Esok harinya kami bersiap-siap
Dan kamipun berangkat ke
Bandara soekarno harta
Perjalanan ke bandara
Sangat jauh jadi
Saya tertidur di mobil
Jam 13:00 kami sampai
Di bandara jadi pas mau
Turun dari mobil rupanya
Pesawat laion eiar mau berangkat
Kami langsung masuk
Dan kami tek of di dalam
pesawat kami dapat
bangku nomor tiga
saya paling sudut duduknya
kalau adik aini di tengah
dan oma terpisa dari kami tapi
oma di sebelah kami saya melihat –
lihat ke bawah dan sayapun
tertidur saya haus sekali
di dalam pesawat dan akhirnya
ada minuman dan beberapa kemudian
kami sampai di MEDAN saya
mencari mimi saya dan saya nelihatnya
tapi mimi saya tidak nampak saya.
pas kami keluar mimi saya nampak juga


MEDAN SUMUT
TANGAL :11-2-2008



KETEMU MIMI DAN PAPA
OLEH:RAHAMT .M. RIDHO

Saya ketemu mimi pas pulang
Dari Jakarta kami pulangnya
Dengan taksi tapi mimi dan
Papa naik motor. kamipun sampai
Tapi mimi dan papa tidak nampak
Rupanya lagi makanan
Dan kami pun makan
Mimi membelikan ayam goreng untuk saya

MEDAN SUMUT
TANGGAL:11-2-2008

















NUZUL AINI RAMADHANI

PESAWAT

Aku jalan- jalan ke depok
Dengan ayah dan ibuku
Sesampai di bandara
Aku turun dari pesawat
Dengan gembira sekali

Aku melihat orang gembira
Dan kami naik delman bersama
Setelah sampai kami makan dulu
Dan kami beristirahat

Nuzul aini
Medan sumut
Tanggal ; 3-12-2007

DI MEKARSARI

Saya mengelilingi kebun jeruk
Selain jeruk ada kelengkeng
Kemudian ada juga manggis dan
Banyak lagi kami jumpa pesulap
Dan kami beli minum dan naik
Kereta

Nuzul aini ramadani
Medan sumut
Tanggal : 9-2-2008


KE BANDUNG

Saya pergi ke bandung
Dengan tulang ewin , nan tulang ,nanda
taya , queen , dan pembantu
Saya melewati gunung- gunung yang tinggi sekali
Dan saya muntah – muntah kami berenti sebentar
Dan kami mampir di masjid ahirnya kami sampai juga
Kami berfoto disana dan kami beli kue di toko kue

Nuzul aini ramadani
Medan sumut
TANGGAL : 11-2-2008
SENYUM

Senyum itu melukiskan kecantikan seseorang
Senyum itu melukiskan kebaikan seseorang
Senyum itu melukiskan ketulusan hati seseorang
Tanpa senyum ,dunia ini
Tidak akan melahirkan keramahan ,
Dan kegembiraan seseorang
Oh senyum …
Betapa senyum banyak memiliki
Titik cahaya yang sangat terang
Nuzul aini ramadani
Medan sumut


AIR

Di mana kau air
Semua mencarimu
Tanpa dirimu
Orang akan mati karena haus
Menjadi lemas kering layu

Dari pejabat tinggi, rendah
Sampai pengemis pun
Kau akan dicari
Memang kau tirta

Sangat dibutuhkan oleh semua
Tapi kehadiranmu yang berlimpah
Banyak membikin manusia susah
Bagaimana tidak
Rumah, tanaman, dan ternak
Bisa habis karena kau marah

Nuzul aini ramadani
Medan sumut

PITA RAMBUT

Pita…
Kau membuat rambutku kelihatan indah
Kau membuat rambutku kelihatan rapi
Kau membuat aku menjadi cantik

Pita…
Warnamu bermacam-macam
Ada kuning, merah, dan putih
Cocok dengan warna bajuku

Pita…
Kau sangat berarti bagiku
Karena membuatku kelihatan cantik
Kalau melihatmu, aku senang dan langsung membelinya

Nuzul aini ramadani
Medan sumut

CITA-CITAKU

Jika kelak aku dewasa
Aku ingin jadi astronot
Aku terbang ke bulan
Naik pesawat ruang angkasa

Aku harus rajin belajar
Agar cita-citaku terlaksana
Ya , Tuhan. Kabulkanlah permintaanku
Jadikanlah aku anak yang berguna
Bagi nusa bangsa, dan agama
Nuzul aini ramadani
Medan sumut

JERITAN ANAK SAMPAH


Adakah tuan lihat kami
Mengais sampah sepagi ini
Berpacu dengan waktu demi sesuap nasi
Dan terpanggang matahari di siang hari

Kami tidak menyalahkan siapa-siapa
Kami hanya minta keadilan
Kami hanya minta belas kasihan
Tentang nasib kami yang akan dating
Dan tentang kami yang sekarang malang melintang

Adakah tuan lihat kami
Yang tiada berbaju
Bukan kami tak malu
Tapi karena kami tak mampu

Nuzul Aini Ramadani

BIDADARI

Kata orang kau cantik
Kata orang kau baik hati
Kata orang kau turun dari langit
Benarkah itu?

Kata orang kau dapat terbang
Kata orang kau turun jika ada pelangi
Mungkinkah itu?

Kadang aku tak percaya
Tetapi kau sering ada dalam cerita
Oh, bidadari…
Benarkah kau ada?

Nuzul aini ramadani
Medan sumut

BAKTIMU GURU

Engkaulah guru
Setiap hari mengajar
Anak-anak kecil dan lucu
Penuh sabar dan tawakal
Tanpa kenal lelah

Engkau tuntun
Engkau bina
Engkau asuh
Engkau didik
Berikan ilmu pengetahuan
Terapkan ketrampilan
Penuh kasih saying

Engkau hadapi suka dan duka
Tawa dan tangis mereka
Jiwamu tetap tegar
Harapmu semoga mereka kelak
Tercipta insan-insan berguna
Berbakti seperti engkau

Nuzul aini ramadani
Medan sumut
PAPA – MIMI

Papa…
Mimi…
Demi anak-anakmu ini
Kau bekerja sepanjang waktu
Semua tenaga dan pikiran
Kau kerahkan
Tanpa mengenal rasa lelah
Walau hujan deras
Walau teriknya matahari
Namun…
Engkau tetap sabar, tanpa mengeluh
Dan mempunyai rasa bosan

Papa…
Mimi…
Begitu besar pengorbananmu

Papa…
Mimi…
Sungguh besar kasih sayangmu
Bagi kami anak-anakmu
Sungguh, kami tak dapat
Membalas jasamu
Hanya do’a kami panjatkan
Semoga engkau panjang umur
Dan sehat selalu, serta rezekimu
Selalu hadir dan mengalir

Papa…
Mimi….
Terimalah tanda terimakasih
Dari kami

Nuzul Aini Ramadani
Medan sumut









ADIK BAYI

Kakimu kecil
Tanganmu kecil
Mulutmu kecil
Mukamu kecil
Semua yang ada padamu
Serba kecil dan mungil
Aku senang punya adik bayi
Adik bayi seperti kamu
Yang lucu dan menggemaskan
Adik bayi….
Jika kelak kau dewasa
Jadilah manusia yang berguna


Nuzul aini ramadani
Medan sumut


SEKOLAH

Di sanalah ku menuntut ilmu
Di sanalah aku mendapat teman

Sekolahku….
Engkau tetap ku ingat
Sampai kapan pun

Nuzul aini ramadani
Medan sumut

HARAPAN

Aku mempunyai harapan
Harapanku hanya menjadi orang yang pintar
Selalu meraih juara di kelas

Aku berjalan berkilo-kilo meter
Hambatan tidak kurisaukan
Harapanku sudah di depan mata
Ingin rasanya ku memilikinya, memeluknya
Hingga aku meraihnya

Nuzul aini ramadani
Medan sumut

Monday, 23 June 2008

Aku Penari

Aku Penari
Oleh: Indah Zuhairani


Namaku masih tergurat di batang pohon Seri itu. Walau mengabur, namun bisa dapat kubaca: Sulan. Bedanya, dulu guratan itu sejajar dengan wajahku dan kini sedadaku. Sekarang dengan hanya mengulurkan tangan aku bisa mengambil buahnya. Tak seperti tujuh tahun lalu. Aku harus memanjatnya.

Biasanya pohon bisa menutupi wajahku yang kecil. Tapi bukan salahnya. Tubuhku makin mengembang. Gampang terlihat jadinya. Kalau dulu, pohon ini mendukung ritual mengintip orang-orang belajar. Mengintip mereka memainkan selendang sambil menari. Melukis padang dan pohonan. Bercerita dan belajar matematika. Mengutip bahasa dan sajak yang selalu kubawa menjelang tidur bersama ayam-ayamku, ehhh ayam nenek itu. Aih, bagaimana pula kandang ayam yang menjadi rumahku dulu?

Bagaimana ya dengan nenek pemilik ayam itu. Masih galakkah dia? Atau sudah mati? Aku ingat bagaimana dia memberiku makan jika bisa menjual telur-telur ayamnya dengan harga tinggi. Itu pun sekali sehari. Itu juga yang membuat aku jadi sering mengintipnya ada atau tidak di rumah. Lalu mencuri di rumahnya. Untung dia tak pernah tahu. Bisa kubayangkan makiannya. Soalnya, masuk kamar mandi untuk mandi saja dia marah apalagi mencuri makannya.

Malunya. Aku jadi biasa mencuri di rumah yang memberi aku tumpangan kandang ayam. Tapi dia juga yang membuat anak-anak sebayaku malas main denganku. Anak-anak itu sering mengejekku. Bahkan ada yang menyebutku Sulan Monyet Ayam. Monyet karena aku sering memanjat pohon Seri. Ayam karena aku tinggal di kandang ayam. Mereka juga sering menutup hidung saat aku lewat. Katanya aku bau.

Tapi tak apa, kurasakan keasikan di sana. Bau yang bertahun-tahun kuhirup mengharum. Bulu-bulu ayam membuang alergi. Aku sehat-sehat saja. Telur-telurnya dapat kumakan mentah-mentah. Tak pernah merasa capek jadinya.

Mereka tidak tahu dari keayamanku dan kemonyetanku, aku bisa mencuri pelajaran di sekolah terbuka mereka. Memang lebih asyik lagi jika aku bisa sekolah terang-terangan, tanpa harus mengintip. Tapi bagaimana bisa? Sekolah itu hanya untuk anak petani. Sedang aku anak siapa? Aku sendiri tak tahu. Aku seorang anak yang entah tercecer di mana lalu dipungut entah untuk kepentingan apa. Tapi tak apa. Toh sekarang aku bisa hidup lebih baik. Tarianku memberiku rumah dan hidup yang lebih baik. Bisa mengajarkan tarian yang kudapat dari mengintip. Aku tidak lagi tinggal di kandang ayam. Tidak mencuri makanan. Tidak memonyet untuk mengambil buah Seri yang merah dan manis. Sekarang lebih sering mandi di kamar mandi keramik biru. Kota, ternyata tempat yang memberiku kehidupan lebih baik untuk anak yang menumpang di kandang ayam.

Tapi bukan karena mengintip aku berteman dengan kota. Memang, memang dari mengintip aku bisa menghayati selendang menggelombang mengikuti angin. Aku juga bisa merasakan angin mengayun-ayun rasa dan badan penari. Tapi, semua itu memang percuma, kalau saja aku kelewatan menonton pertunjukan rombongan penari keliling di pasar.

Waktu mereka tampil, kutinggalkan telur-telurku. Aku tak peduli nenek itu marah. Aku bosan melihat tarian yang hampir setiap hari kuintip. Aku ingin melihat yang lain. O, Tuhan. Aku merasa melihat yang tak terbayangkan. Selendang membelai perasaan. Angin menyelusup ke jiwa. Pori-poriku terbuka. Ada yang menggeliat dalam diri. Aih! Entah kenapa aku mendadak berada di antara penari-penari. Aku hanya ingin bergerak. Hanya ingin mereka melihatku bergerak. Anjing! Ekstaseku pecah. Aku ditarik. Tangan-tangan kuat menyeretku keluar dari arena pertunjukan. Aku hanya bisa menangis. Tapi hatiku terus-terus memanggil-manggil tarian. Tapi mereka tuli. Mereka buta. Seperti Tuhan, mereka menolakku hadir di arena tadi. Mereka tak membolehkanku menari dengan iringan gamelan dan seruling sawah. Mereka mengusirku sambil memakiku, "Gila!"

Tapi aku tidak menyerah. Seorang tukang sayur menyemangatiku.
"Kau mau menari seperti mereka? Ikuti saja lenggak-lenggoknya. Ajari dirimu menari seperti mereka. Mereka dua minggu di sini. Masih banyak waktu untuk kau menunjukkan kemampuanmu. Jika butuh selendang banyak di rumah. Besok kubawakan kau satu. Kau akan menari. Bahkan lebih indah dari mereka. Tapi, ingat. Jangan pernah jual tarianmu pada orang-orang yang bukan hanya suka pada tarianmu. Catat itu dalam kepala. Kau bukan anak seperti ejekan orang kampung. Kau lebih cerdas dari mereka yang belajar di sekolah terbuka. Kau lebih pintar menghitung belanjaan daripada anakku."

Mendengar ucapan itu, aku bagai orang kehausan mendapat segelas air. Tak dingin tapi hangat. Ya, aku mendapat kehangatan manusia yang jarang kurasa. Kehangatan manusia itu mengantarkan selendang itu padaku. Dimana tukang sayur yang hangat itu sekarang? Aku jadi rindu dia. Tadi waktu melalui pasar bersama rombongan penari tak kulihat dia berjualan. Apa sudah pindah? Atau dia bangkrut karena memberi satu selendang untukku? Tidak mungkin. Selendang itu tidak baru, tapi manik-maniknya masih rapih. Warnanya juga belum terlalu pudar. Memang ada sedikit sobekan. Tapi tak apa. Selendang itu yang membawaku ke rombongan penari.

Hari berikutnya aku terus menonton tarian yang mereka bawakan. Kupikir biasa saja. Bisa lebih baik jika mereka menghayati angin. Aku jadi ingin memperkenalkan angin kepada mereka.

"Biarkan aku menari sebentar saja. Tiga menit saja. Lihat dulu. Aku penari. Aku bisa menari. Tolonglah! Setelah hari ini aku takkan mengganggu acara kalian lagi. Aku janji."
Tarianku berkelebatan di angin. Menawan mata pemilik rombongan. Matanya, mata seorang ibu yang teduh. Dia yang menyapaku lebih dulu. Dia juga yang menawarkan untuk ikut. Beberapa hari kulewati dengan usiran rombongan, akhirnya kini aku menjadi anggota rombongan. Senangnya!

Bu Wiyan. Cantik. Janda yang memberikan seluruh hidupnya untuk menari, penarinya dan orkestra musik ringan. Persis seperti penari zaman dulu yang sering kulihat gambarnya di papan tempat anak-anak belajar. Betul-betul mirip. Bahkan awalnya kupikir gambar itu hidup dan menjelma menjadi Bu Wiyan. Perempuan itu begitu kusayang, seperti dia menyayangiku. Menyekolahkanku hingga sekarang. Aku belajar dengan utuh. Aku juga diizinkan ikut rombongan pada waktu-waktu liburan sekolah, seperti sekarang. Liburan kenaikan ini yang membawaku pulang. Pulang ke kampung dimana hanya rombongan dan penjual sayur yang menerima aku sebagai anak perempuan yang bisa menari. Bisa menggambar. Bisa segalanya.

Bu Wiyan juga suka mengoleksi lukisanku tentang kampung. Tentang kandang ayam. Tentang rumah yang sering kumasuki untuk mencuri. Tapi dia tak marah padaku. Karena aku tak pernah mencuri di rumahnya. Lagi pula buat apa aku mencuri? Sekarang aku bisa makan tiga kali sehari. Aku bisa mandi sesukaku. Bisa menonton TV. Bisa belajar dengan buku-buku yang mahal. Bisa mengetik di komputer. Komputernya memang sudah agak rusak. Tapi sajak-sajakku tak ikut rusak. Dia juga suka menyuruh anak-anak di dekat rumah kami membacakan sajak-sajakku ketika ada acara apa saja. Dia sepertinya mengagumiku, seperti aku mengaguminya. Dia ibuku, dia mengubah jalan hidup.

Tak bisa kulupakan, hidupku banyak berubah sekarang. Sekarang kampung ini juga. Memang pohon Seri masih menoreh namaku. Tapi di sekitarnya masih banyak pohon Seri yang tidak kutau namanya. Dulu hanya ada tujuh. Semua kuberi nama seperti nama ayam-ayam di kandangku. Kalau kulihat kulit pohon lebih muda dan basah, maka mereka adalah perempuan. Kalau agak keriput dan tua, itu laki-laki. Ya, begitu juga aku menilai ayam-ayam yang tidur bersamaku di kandang. Mozza, Ringga, Sarma, Gondo, Herman, Dadang. Pohon Seri itu namanya Sulan, seperti namaku. Hanya dia yang tak punya pasangan. Tadinya aku berniat menikahkan mereka semua. Tapi itu kan waktu kecil, umurku saja masih sembilan tahun. Sekarang mereka seperti sudah menikah saja. Punya keturunan yang banyak. Ahh, bodohnya aku. Mana bisa pohon menikah. Tapi mereka pasti berkembang atau ada yang menanamnya lagi. Terpuji sekali dia. Jadi teduh. Tapi aku tidak suka pondok-pondok kecil yang tertutup di sekitar pohonan.

Pondok-pondok itu didatangi pasangan yang bermacam-macam. Ada yang perempuannya muda laki-lakinya tua. Ada juga sebaliknya. Ada yang sebaya. Dan ahhkh, itu urusan mereka. Yang penting mereka sudah merusak kerindangan pohonku. Atau pemilik warung itu yang menanami pohon dan membangun pondok-pondok? Terserahlah, tapi bagaimana orang-orang kampung sebayaku? Apa masih menolakku dan mengataiku monyet ayam? Tidak, pasti tidak. Aku sekarang tak perlu memanjat untuk ambil buah seri. Aku juga tidak tidur di kandang ayam.

Hei, itukan Lasri! Berapa umurnya sekarang ya? Waktu aku sembilan, dia sebelas tahun. Dia lebih tua dariku. Tapi dia terlihat lebih tua dari usianya. Apa karena temannya itu. Temannya terlalu tua. Sangat tua. Siapanya ya? Pacarnya. Atau... suaminya. berarti dia sudah menikah. Cepat sekali. Aku saja masih sekolah kelas tiga SMP. Ah, tapi kurasa itu biasa. Ini 'kan kampung. Tapi tidak juga. Bangunan di sini sudah banyak yang megah. Sudah banyak kendaraan dan kantor-kantor meski agak kecil dibanding kantor di kota. Ih, itukan Burhan, Lili, Gita. Mereka ada di situ juga. Sedang apa ya? Apa mereka masih mengenalku? Kurasa tidak. Aku terlihat lebih cantik dibanding mereka. Tapi si Burhan sedang apa? Dia bergandeng dengan laki-laki juga? Tak mungkin pacar. Hanya teman. Pasti!

Astaga! Mereka berciuman? Burhan.... Burhan pacaran dengan laki-laki? Saling belai pula. Astaga! Gila! Mereka semua sepertinya sudah gila. Apa tidak ada niat melanjut ke sekolah terbuka lanjutan? Atau memang hanya begitu saja ilmu mereka? Malaskah? Atau tak ada uang? Tapi aneh betul.

Kurasa mereka pasti malas. Lebih asyik bersenang-senang. Buktinya Kak Satti yang dulu juga bersekolah di sekolah terbuka kelihatannya masih bekerja. Aku pernah melihatnya lewat berseragam rapi boncengan dengan laki-laki juga rapi. Sampai sekarang aku tak pernah jumpa dia lagi. Tapi aku yakin itu dia. Dulu aku sempat mengaguminya. Dia murid paling tua di sekolah terbuka. Usianya waktu itu sudah tiga belas tahun. Tapi dia tidak malu bersama-sama belajar dengan anak-anak yang tiga atau empat tahun lebih muda darinya. Dia juga pinter menari. Tapi itu pasti dia. Tompel di dekat dagunya masih hitam kemerahan.

Maunya mereka juga seperti Satti. Seperti aku. Menjumpai hidup baru di kota. Tapi mereka betah di sini. Terlalu cinta pada kampung? Mau cari apa di sini! Paling-paling bertani, beternak, dan berdagang. Tak ada hal baru yang mengembangkan pikiran. Besok pagi sebelum menari aku harus menemui mereka. Satu-satu. Tapi sebelumnya aku ke rumah nenek pemilik ayam itu dulu. Semoga masih ada. Aku masih hapal gang di kampung ini meski banyak bangunan batu yang asing untuk mataku.

Mereka semua berkumpul. Apa tinggal serumah?
"Hei,..... Apa kabar? Masih ingat?"
Kelihatannya mereka begitu aneh memandangku. Ada apa ya?
"Sulan!"
"Monyet ayam?"
Hmmm, mereka masih memanggilku begitu. Lucu juga mendengarnya.
"Kalian semua tinggal di sini?"
"Tidak! Kami hanya malas pulang. Dari tadi malam belum tidur. Banyak tamu yang datang. Perlu dilayani spesial. Tadi malam 'kan malam minggu, jadi banyak pengunjung."
"Suaramu lembut sekali Burhan?"
"Ahhh biasa saja!"
Apa yang kalian lakukan di sini? Kulihat kemarin kalian masing-masing punya pasangan intim. Yang paling aneh kau Burhan!"
"Dia kan homo!"
"Jangan gitu, Li. Dia bukan homo. Hanya tuntutan tugas. Bukan begitu, Han?"
"Gita, Gita! Jangan munafik gitu. Kau sama seperti aku. Seperti kami, kita! Kita semua pasangan komersil yang dibayar. Pelacur. Kau tahu itu?"
"Kau yang pelacur! Aku hanya menemani satu tamu malam ini. Dia itu pun suami gelap yang menikahiku dua bulan lalu,"
"Alah...."
"Sudah! Sesama kawan tak perlu begitu. Kita sama-sama dan ini kita!"
Pelacur? Mereka semua pelacur? Lantas apa yang dikatakan orangtua mereka? Siapa yang menjadikan mereka begitu? Apa maunya mereka dengan begitu? Kenapa tidak memilih hidup selain melacur?
"Apa kabar? Sulan!"
"Baik, Las! Kau juga?"
"Ya."
"Kenapa kau begitu? Lebih baik menari. Kau pintar menari. Kau juga pintar mengajari anak-anak membaca. Kau juga pintar menggambar. Lalu ibu dan ayahmu bagaimana?"
"Mereka yang menyuruhku. Kenapa tidak? Uang dari sini lebih banyak. Mereka bisa menikmati kopi dan pisang goreng tanpa harus ke ladang, sawah dagang dan beternak. Mereka hanya membutuhkan aku. Apa masalahnya kalau aku melacur? Tak ada kan? Kau hanya beruntung, pergi ke kota dengan rombongan tari dan sekolah sebisamu."
"Aku tidak beruntung. Kalian harusnya lebih beruntung. Punya orangtua dan sempat belajar lebih dulu dari aku. Lalu kenapa harus melacur?"

"Ini paling gampang dilakukan. Lagi pula tak ada risiko selain penyakit dan ditangkap hansip. Kurasa pekerjaan ini lebih menguntungkan. Tanpa modal. Hanya tubuh saja. Dan sedikit cumbuan. Menari pun ada gunanya? Penari-penari di sini juga disamakan dengan pelacur. Kerjanya juga lebih berat. Harus lebih menari dulu, ditiduri baru dibayar. Sedang kami, sekadar menemani minum, dibawa pergi lalu dibayar. Lebih gampang kan? Tak usah menari untuk melacur, Sulan!"

"Aku lebih memilih jadi penari. Sejak warung ini buka. Kau tahu ini warung milik orang kota. Dia yang membawa kami dan menawarkan harga mahal. Itu juga yang membuat orang-orangtua sekampung ini menerima. Uangnya besar. Apalah petani? Tak ada. Penghasilan tak sebanding dengan hama dan kering yang datang setiap tahun. Hampir seluruh petani setiap tahun rugi. Hampir juga kerugian itu seratus persen. Petani-petani dan tak terkecuali orangtua kami harus terus meminjam uang. Dibayar dengan anak-anak perempuannya. Kurang ajar memang. Tapi inilah pelajaran yang lebih berharga dari sekolah terbuka. Pelajaran itu juga yang membawa kemauan kami jadi pelacur!"

"Aku tak sependapat! Kalian bodoh. Percuma kalian duluan sekolah. Tapi otak kalian buntu. Terlalu mau dibodohi dengan kebodohan dan kemiskinan. Terlalu gampang menyerah,"
"Bukan menyerah. Ini balasan. Dan kami membalas dengan ikhlas untuk orangtua kami. Daripada rumah harus dibongkar. Lebih baik begini. Kau ingat nenek yang kau tumpangi. Karena dia tak punya anak, ayam dan semua isi rumah diambil paksa. Dia tidur di mana saja di lorong kampung. Akhirnya dia meninggal! Sadis bukan. Lebih sadis daripada orang-orang tua yang membiarkan anaknya melacur!"

"Meninggal?"
"Ya, tiga tahun kau pergi. Kampung ini banyak didatangi orang kota. Dan ya, akhirnya mereka menguasai. Beginilah. Tapi tak apa. Inilah perubahan Sulan. Perubahan yang mendasar hingga ke anak-anak. Kehidupan seperti inilah yang menjanjikan kenyamanan. Kau harus setuju! Penari tidak lebih dihargai dibanding pelacur warung ini!"
"Kau mau menari ya, Sulan?"
"Ya, jangan sampai diusir. Setahun ini sudah lima rombongan penari diusir. Mereka mengurangi omset warung dan kami. Kami merasa dirugikan."
"Aku tetap akan menari! Tetap!"
"Keras kepala!"
"Bukan begitu Burhan! Aku cuma melekangkan kepelacuran dari penari. Penari bukan pelacur seperti kalian"
"Kau juga pelacur, Sulan! Nikmatilah, seperti kami menikmati hidup"
"Tidak! Aku penari. Sampai jumpa nanti sore. Nikmati saja hidup sebagai pelacur. Lihat saja. Jam tiga nanti kami menari di lapangan bola!"
"Persetan dengan menari dan penari."

Lantunan irama seperti musik dari dunia baru. Lenggak-lenggok penari menyulam selendang di tangan dan di pinggul mereka. Hanya sedikit yang menonton. Sulan tetap terlihat begitu semangat. Setidaknya semangat itu hadir juga di hati teman-teman yang pernah menolaknya. Teman yang melacur hanya karena takut tidak makan. Takut tidak punya rumah.

Mereka datang juga. Teman-teman lamaku yang pelacur!

"Mereka penari! Usir saja. Mereka akan merusak pendapatan kita. Kalian mau rumah dan sawah digusur? Tidak 'kan. Usir saja!"
"Tidak! Jangan usir. Kami mau menari. Kami menari bukan melacur seperti hidup kampung ini!"
"Usir!......"
"Terlalu banyak, Sulan! Kita tak bisa terus menari. Nanti kendaraan dan segala milik kita bisa-bisa dibakar!"
"Tidak mau! Sulan mau terus menari, Bu. Mereka harus buang pikiran tentang penari itu pelacur. Sulan mau kasih tau mereka, penari itu seniman tubuh yang tak menjual tubuh!"
"Sudahlah, Sulan! Kita pergi saja. Hentikan musiknya!"
"Jangan, Bu. Mereka harus lihat Sulan menari"
"Usir! Bakar!"
"Mereka banyak, Sulan!"
"Biar!"
"Sulan sayang ibu 'kan? Sulan sayang rombongan kita 'kan? Ayolah nak. Biar saja mereka begitu. Yang penting kita penari, bukan pelacur. Lagi pula kita harus mengamen lagi di kampung lain. Liburanmu sudah mau habis,"
"Sulan ajak ibu ke sini karena Sulan rindu kampung. Sulan ingin tunjukkan Sulan bukan monyet ayam yang bisa manjat yang tidur di kandang ayam lagi."
"Sudahlah! Ayo!"
"Anjing. Dasar kampung pelacuran!"
"Sulan, jangan!"

"Ibu, ternyata kampung ini tetap sama. Bukan hanya pohon serinya. Mereka juga masih menolak Sulan. Padahal Sulan tidak lagi tidur di kandang ayam. Tidak lagi suka manjat. Sulan juga sudah bisa menari. Sulan benci mereka. Sampai mati pun Sulan takkan mau menari di kampung ini lagi. Biar saja mereka mencari hidupnya sebagai pelacur!"
"Ya, yang penting Sulan 'kan anak ibu. Anak ibu yang pintar menari, tapi bukan pelacur! Ayo."

Aku tak bisa menolak ibu seperti orang-orang kampung ini menolakku. Tapi aku tak bisa menolak harapan. Ya harapan. Harapan agar namaku tetap tertoreh di pohon Seriku. Agar kembali anak-anak menari di balik pohon itu, walau tanpa Sulan yang mengintip.
"Ayo, bu."

Medan, 31 Agustus 2006

Monday, 16 June 2008

Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung




Buku ini berisi 125 sajak Joko Pinurbo yang pernah dimuat dalam Celana, Di Bawah Kibaran Sarung, dan Pacarkecilku, trio kumpulan puisi yang telah memperkenalkan penyairnya sebagai salah satu ikon penting dunia perpuisian Indonesia modern. Jokpin (demikian penyair ini kerap disapa) mematahkan stigma bahwa puisi sulit dibaca. Jokpin tidak bersusah-susah dan menyulitkan pembaca dengan metafora atau idiom menyesatkan seperti yang cenderung dilakukan banyak penyair lain di tanah air kita.


Buku ini merupakan dokumentasi karya yang sangat berharga dari penyair yang telah menerima berbagai penghargaan sastra.


PACAR KECILKU


untuk Anggra


Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya
ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.



Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: "Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga."
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan
pelan-pelan membuka matanya.


Pacarkecilku tak akan mengerti:
pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.


(2001)

***


Kerap saya menonton ia membacakan sajaknya. Penyair ceking itu membaca tanpa ekspresi. Namun kekuatan kata-katanya senantiasa membuat orang tergelitik. ...sajak-sajak itu seolah melampaui estetika, menyentuh wilayah peka manusia.
--Ayu Utami, 2005


...Saudara Joko Pinurbo memang memberikan warna yang sama sekali baru dalam puisi Indonesia. ... Dia itu menggunakan suatu cara pengungkapan yang mungkin orang lain dulu tidak pernah mau mengembangkannya.
--Sapardi Djoko Damono, 2002


Penyair kelahiran 1962 ini adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik.... ...puisi Pinurbo bercerita dengan gamblang, tapi dengan aforisme yang mengejutkan di sana-sini.
--Nirwan Dewanto, 2002


...sajak-sajak yang bercerita dengan kuat, yang menyuling drama pertemuan manusia, tak mati-mati dalam ingatan....
--Hasif Amini, 2003



Judul Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung
No. ISBN 979-22-2838- 1
Penulis Joko Pinurbo
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit Mei - 2007
Jumlah Halaman 232
Jenis Cover Soft Cover
Dimensi(L x P) 135x200mm
Kategori Kumpulan Puisi
Text Bahasa Indonesia
Harga Rp 42.500,-

Tuhan, Kita Begitu Dekat

LANGKAH – LANGKAH

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal – gumpal menjadi
Seonggok awan hitam , di antara
Mendung – mendung
Dan menjadi hujan dalam mataku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa – bisa
Teriknya dan menusuk jantung – jantung
Hingga berdarah , dan seketika detik – detik
Kematian menyelimuti jiwaku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi limbah pada pabrik – pabrik kemaksiatan
Adalah bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi – nadi darahku
Menyumbat mulutku karena tak terbiasa
Melafaskan asma – Mu
Suara azan itu adalah
Langkah – langkah kakiku
Yang terseret satu – satu.


AMSAL MUHARRAM

Allah ,
Hari – hari yang tersusun dalam hurup – hurup keabadian
Pada langit , pada bumi , pada bintang ,
Pada tanah kelahiran adalah
Hijaiyah pergantian musim ke musim
Bermula dari Adam yang mempersunting Hawa
Dalam surga
Lalu , lahirlah pasangan Kabil , lahirlah pasangan Habil
Dalam belantara dunia
Allah ,
Seperti hiasan langit yang gemerlapan
Menjadi cahaya alam semesta jiwa
Adalah Ibrahim yang mencari Sang Pencipta ,
Lalu menunggu kelahiran Ismail tiba
Yang hampir terbentur dalam usia senja Siti Hajar ,
Istrinya dan Allah kembali menguji ke – Imanan
Dalam qurbannya
Allah ,
Dalam lidah cakrawala yang terikat
Bendera – bendera curiga di antara batu karang nafsu
Dan keserakahan dunia lahirlah putra cahaya
Dari rahim Aminah berbapa Abdullah
Muhammad Rasulullah merobah peta suram dunia jahiliyah


Melepas Do’a Air Mata


Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyantuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga – liwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera

Puisi Abdul W. M

Tuhan, Kita Begitu Dekat

Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Tuhan,
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

Pusi Sahril

Laut Telah Tak Bertepi

Ingin kukayuh biduk ini hingga segitiga bernama
ketika magnet-magnet kutub
menarik dajal ke perutnya
tapi konon pengayuhku patah
digunting ombak melaka
dan layarku tumbang dihantam
kalimbubu dan puting beliung
kemudiku kehilangan kompas
disikut debat pariwara
hingga aku terdampar di pulau tak bernama
di situs-situs email
masih kulihat belanak mencari terumbu
antara limbah-limbah politik dan tanker keangkuhan
nelayan-nelayan hanya kuasa
sisiri pantai berlumpur
menjala anak sembilang
sisa auman pukat tauke sipit
nipah – simali-mali telah gundul
tempat lokan dan ketam kelapa bertapa
laut telah tak berpantai
ombak pun enggan bertepi
Medan, 2002

Sepeda Mini

Kulit elang di tengah siang
Saat ombak menggiring pasang
Mak Ijah masih menampi beras segantung
di ujung pantai layar sudah tak di bentang
ayah si Antan menambat sampan
tangkapan hari ini hanya bisa bayar utang
di kedainya Pak Dulah
seikat rokok daun nipah dan tambakau cina
terselip di kopiah lusuh itu. Masih belum di bayar
malam merangkak, Antan pulang mengaji
merengek minta belikan sepeda mini
lelaki itu membisu
Kubah Padang, 2002


Puisi sahril

Di Laut Harimau Mengaum

Julang angin dalam buaian
dihembuskan selat melaka, jahil
sibak untaian mayang di
kening langsat dara pesisir
dan gegap gelak di bibir pantai
dara melayu sukat kepah
menjulur kaki mandi pada jilatan
ombak pasang
nun di samudera, senandung pengayuh
sayup belai di ujung pendengaran
: oii.... nandung di nandung
angin, datanglah puan
tiupkan layar tuju tepian kuala
konon di sana belahan jiwa sendirian
tunggu kasih bawa hantaran
oii.... didong.... didong, sayang
ajat hati melabuh kasih di pelaminan
apatah dayalaut telah mengaum
dekil berbagi
bujang menghanyut berantal lengan
tetap awan, mencibir angan
trbakar rindu pada tunangan
nan tiada bertatap berbilang bulan
oh... alam mengapa engkau siksa
batin nelayan bjang pejaka
pada lembut tatap dara pejaka
pada lembu dara jelita
nan berjanji tuk hidup berumah tangga
oh... laut dimanakah engkau sembunyikan ikan
hingga aku lelah mengayuh sampan
berpeluh embun kuyupkan badan
biarpun panas – hujan tetap kutahan
oh... kasih di tepi kuala
adakah engkau menanti dengan setia
akan ikrar janji kita
selepas purnama mengikat cinta

Puisi Sahril

Gadis Pantai

selamat tidur rembulan
pada tuakak ini aku merajut mimpi
mungkin selat melaka ini hantarkan angan
pada gemerincing ringgit di seberang
hingga benang tali kasih cinta kita
terlambat di pelaminan
pulau berhala telah terlewakan
mentari tinggal sepenggalahan
malam kedua menjelang hadapan
wadah adinda tak isa terlupakan
putih pasir pantai negeri
tempat kita berkejar-kejaran
mengelak langkah pada jilatan ombak
engkau angkat rok panjangmu
aku terpana pada betismu
ah, tersipu malu kala engkau tahu
di sinar suaranya tuakak ini
aku masih ingin mewujudkan impi
Kw. Tanjung, 2002

Habis Berbilang

masih kukayuh harapan
pada angan belum kesampaian
sedang janji kian di hadapan
malu bermuka pada handai tolan
nan pasik bertanya, bilakah awak berjulang?
tak mungkin hidup membujang
padahal usia semakin membentang
sebelum petang datang
sebelum dandang meradang untuk didiang
sebelum janur habis di tebang
dan sebelum dara ke seberang
Kw. Tanjung, 2002

Puisi Sahril

Lelaki Itu

lelaki itu memikul pengayuh
tak ada kayu pada kating
jaring dan rawai tak sempat dilabuh
sebab alun gelombang menari-nari
tak sudi menayang neleyan
ikan-ikan menangis
kerang-kerang tersedu-sedan
laut mengamuk
lelaki itu memikul lelah
memikul tatap istrinya
di ujung pandang dua bocah
berlari menerpa
lelaki itu tetap memikulnya
Kw. Tanjungm, 2002

Kenduri Laut

pada pucuk nipah
saat salawat dulang menggema
sepanjang isya membelah samudera
tiga kerbau di sembelih sudah
menghanyutkan lancang
kain tuju warna
pawang menari di unggun bara
gegap riuh ratip nelayan
menembus cakrawala
dara-dara menari inai
upacara hampir di penghujung
renjis tepungtawar menebar
(salam anak cucu pada datu mambang)
pada ratu bunian, mambang tali arus
berkat lailah aillallah Muhammad rasulullah
usai pawang tunaikan kenduri
datu-datu lantunkan ayat kursi
glai daging pembuka rezeki
tubuh rebana diiringi bangsih
tanda syukur
ke hadirat ilahi
bahwa rezeki harus di bagi
agar alam dan manusia harmoni

SERATUS UNTAI BIJI TASBIH

Telah kurangkai
Seratus untai biji tasbih
Mengurai Asma–Mu
Dalam amalan
Dalam Ilahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi

Telah ku rangkai
Seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai

Tapi gejolak jiwa ini
tak mampu jua
Menampung tumpahan
Kerinduan
Yang membanjiri air mata

Padahal telah ku arungi keluasan
Laut semesta-Mu

Padahal telah kukayuh sampan
Sejadahku menuju rahmad-Mu

Telah kurangkai
Seratus biji tasbih

Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama Allah.

999999999999999

DARI PERTUNJUKAN TEATER SIKLUS 2005

Begitu masuk ke dalam gedung pertunjukan, penonton seakan telah "terjebak" aura Kereta Kencana karya Eugene Ionesco, yang disadur WS.Rendra dan disutradarai Hafiz Taadi, di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara, pada 23-24 Juli 2005 lalu. Seke-liling ruangan dibungkus dengan kain hitam, tanpa menghilangkan sentuhan artistik tentu nya. Tambahan lagi artistik panggung yang "sedap" dipandang mata, dengan layar yang telah terbuka, nyaris menyedot pikiran penonton untuk segera membuat kesimpulan awal bahwa sepasang tokoh tua (Agus dan Patia) yang berusia sekitar dua abad itu, terkesan sangat kaya, dengan nuansa rumah mewah ciri khas dari rumah Prancis (bukan berarti a daptasi yang tanggung). Dan sekali lagi pikiran penonton sengaja atau tidak telah "digi ring" dengan suasana yang "simpang-siur".
Hanya saja masalahnya tidaklah sesederhana itu, dikarenakan tingkat pemikiranpenon
ton yang tidak seragam tentunya. Dan jika ada yang tidak sepaham, hal itu sangatlah wa-jar dan manusiawi sekali. Sepenuhnya adalah hak penonton, inilah inti dari pemikiran ab-surd Ionesco, Luigi Pirandello, Albert Camus, Samuel Backett,dan lain-lain. Tidak ada yang mampu menyimpulkan sebenarnya secara benar karena memang tidak ada kesimpul
an. Ia hadir dan mengalir begitu saja.
"Ionesco sendiri patut dimaknai sebagai upaya seorang avan-gardist, meskipun ia sen diri tak terlalu perduli dengan kriteria-kriteria yang euphemeral seperti itu, sebagaimana karya-karyanya, Kura-kura dan Bekicot atau Badak, yang menolak segala macam "to- peng kebesaran".
Demikian juga halnya dengan Kereta Kencana. Peristiwa yang hadir di atas panggung semakin "menyentak" pikiran kita, begitu suasana alam bawah sadar hadir dan sosok tua satu persatu muncul dengan sebatang lilin. Suasana ini telah pula "menyerap" pikiran pe- nonton untuk tak putus-putusnya tetap fokus ke arah panggung. Berkat sentuhan musik dari Achi, penonton "ngeri" untuk berkedip. Tokoh kakek yang hadir merespon suasana mistis, suasana supranatural, seolah menjadi sebuah pertanda atau simbol kematian. Lela ki tua itu mulai bergelut diantara alam bawah sadarnya, mencari sumber suara yang me-menuhi ruang "hatinya". Ia merasa begitu tertekan oleh bayang-bayang kematian yang ha dir diantara remang-remang ketakutannya. Perlahan suara-suara hayal itu menghilang dengan kehadiran nenek yang selalu hadir sebagai pengobat jiwa dari belahan jiwanya. Dan ternyata persoalan yang sama dihadapi pula oleh sang nenek, hanya saja ia lebih mampu menahan diri, belajar menghibur diri. Mencoba bertahan terhadap derasnya arus kehidupan yang dijalaninya selama dua abad dengan berbagai persoalan yang begitu kompleksnya. Dan disini hadir semacam filsafat kebosanan, dimana keduanya berusaha untuk saling menghibur, saling menguatkan. Perasaan saling menguatkan inilah yang membuat mereka bertahan dalam mengayuh sampan "senja kala".
Peristiwa hayalpun hadir untuk menghilangkan kejenuhan dalam "mendaki" tangga-tangga usia. Suatu ketika mereka mengulangi romantisme masa lalu, minum sambil me-nikmati panganan kecil yang tersedia. Di lain peristiwa mereka seperti anak-anak kecil yang mengarungi masa belia, dengan bermain layang-layang. Di waktu berikutnya mereka berhadapan ketika pertama sekali mengarungi bahtera keluarga. Mereka menimang bayi dengan senyum penuh bunga. Walaupun diantara rentetan peristiwa yang memang pasti dialami siapa saja, tak jarang kesedihan hadir begitu mendera. Mengenang bayang-bayang kematian, yang mengintip disela-sela jendela usia, menjemput. Dan hal itu berlanjut terus menerus, sampai akhirnya bayang-bayang kematian itu telah menung-gu di depan pintu.

A B S U R D I S M E

Sebagai sebuah pertunjukan, Kereta Kencana yang berdurasi lebih kurang dua jam ini, dianggap cukup berhasil. Hanya saja sebagai sebuah karya seni ada bebeapa hal yang per- lu menjadi catatan. Tokoh yang berusia dua abad itu tidak singkron dengan keberadaan ruangan yang terkesan tertata rapi. Dan bunyi tetes air dari awal sampai akhir pertunjuk kan menggambarkan seolah rumah itu dikungkungi oleh goa yang bermata air. Tokoh yang begitu ringkihnya, seperti terlalu diberat-beratkan. Air liur yang terus menerus me-ngalir memberi kesan mempersetankan penonton dengan kenyamanan menikmati per-tunjukan. Rambut dan pakaian antara terurus dengan tidak terurus, sangat bertolak be-lakang dengan keberadaan setting panggung yang cukup terjaga kerapiannya (walau tom bol lampu entah dimana letaknya).
Tambahan lagi suara yang terlalu dipaksakan ketuaannya menyebabkan artikulasi yang tidak jelas. Ketidak-jelasan itu justru diperkuat dengan sound system yang agak terganggu , tidak stabil. Wireless yang timbul tenggelam. Apakah ini yang dimaksud oleh Sutradara,"Perceraian antara manusia dan hidupnya , antara sang aktor dan pentasnya… itulah perasaan absurditas yang sesungguhnya"?
Bagaimanapun sebuah pertunjukkan, seabsurd apapun itu harus mampu menunjukkan benang merah sehalus apapun. Setting harus mampu "berbicara",mampu dimultifungsi kan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Dan konsistensi sebuah pertunjukan juga harus dipertimbangkan dalam kaitankehadirannya di dunia maya, di alam bawah sadar. Perlu ada kesingkronan antara setting yang rapi dengan tokoh yang kelihatan tidak terurus. Analisis naskah tampaknya perlu digali lagi. Dan tidak ada hu bungan dengan miscasting , dimana keberadaan kedua tokoh yang masih terkesan terba-ta-bata dalam memaksimalkan pola akting yang terkesan sangat lambat yang hampir saja mengundang rasa kantuk, jenuh atau geli dengan mengalirnya air liur secara terus mene rus dari awal sampai akhir pertunjukkan. Masih terkesan keterpaksaan berakting, belum menyertakan roh tokoh yang diperankan. Hal ini terlihat dari langkah atau bloking yang sudah paku mati.
Charles Ralo menulis, Analisis Camus tentang absurd dimulai dengan menunjukkan bahwa secara wajar orang menemukan dan cukup mudah untuk menerima kehidupan ru tinnya sehari-hari. Tetapi dalam kehidupan rutin itu suatu hari timbul ‘mengapa’ – suatu pertanyaan apakah hidup memiliki makna."
Senada dengan hal diatas, dari beberapa tulisan tentang tokoh-tokoh teter absurd dapat kita ketahui, bahwa mereka lebih dahulu telah menguasai teknik konvensional sebelum menunjukkan pengungkapan yang lain, misalnya Eugene Ionesco (kelahiran Rumania), Arthur Adamov (kelahiran Rusia), Samuel Backett (kelahiran Irlandia), Antonin Artaut (Kelahiran Prancis), Gunter Grass (Jerman Barat), Harold Pinter (Kelahiran Inggris), Ed-ward Albee (kelahiran AS), dll. Karena dasar pijakannya telah dikuasai, mereka jadi lebih kuat sewaktu memproklamirkan diri sebagai seniman absurd. Sehingga wajar jika Ionesco sendiri berkata bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai character without characters.


K L A S I K-P U I T I K
Pandangan Filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkrit hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan . Inilah mungkin yang menjadi dasar dari WS. Rendra, menyadur Les Chaises/The Chairs, 1954 (kursi-kursi) menjadi Kereta Kencana. Keajaiban, miste teri, kerinduan, alam sadar dan bawah sadar, prototype kaum pesimis yang menganggap hidup ini adalah proses menuju tragedi, simbol atau genre tragick farce (realitas yang lucu dan menyedihkan), memiliki kekuatannya tersendiri.
Dengan gaya klasik puitik, naskah Kereta Kencana, hasul polesan WS.Rendra terasa begitu kuat. Dan kekuatan Ionesco-Rendra , ini sayang kurang tergarap pada pertunjukan dari Teater Siklus ini. Dialog-dialog yang sangat puitik ini, tidak meninggalkan kesan pui tiknya sama sekali, diakibatkan artikulasi yang terputus-putus, dan sound system yang agak terganggu.
Beban itu yang agaknya muncul ke permukaannya. Filsafat kebosanan tidak hanya ha-dir dari naskah, ia juga hadir dalam setiap gesture yang dipaksakan, pandangan mata kakek yang terkesan butam dan make-up artistik yang perlahan luntur, serta keringat dan liur yang bercucuran. Hal ini jelas tidak melahirkan suasana klasik maupun puitik tentunya. Dan ketidak puitikan itu nyata hadir, ditambah lagi kecenderungan naskah operarealisme belaka.
Akhirnya, terlepas dari itu semua keberanian sutradara patut diacungi jempol. Perjua ngan pemain yang pantang menyerah, membuat pertunjukan Kereta Kencana yang diusung Teater Siklus di Gedung tertutup Taman Budaya Sumatera utara itum tetap mem beri nilai lebih. Proses kreatif yang tidak amatiran. Kesungguhan terasa begitu merasuk dengan proses kerja yang memakan waktu yang cukup lama. Sungguh dari segi art dan non-art-nya. Dan yang lebih penting penonton tetap bertahan ditempatnmya, mudah-mudahan tidak karena hujan atau alasan segan. Dan mudah-mudahan tidak. Selamat!
Juli, 2005
Penulis pengamat/penikmat teater di Medan

Thursday, 5 June 2008

Naskah Teater Fredy Sr. Wowor : "½ dari 1"

Panggung lengang. Di tenga ruangan badiri dua orang yang berlaku sbagai PERAWAT I dan II. Dorang badiri rupa patong kong babale balakang pa panonton.
PASIEN I
(Bajalang ka tenga ruangan. Tangannya menggenggam brapa buah balon warna warni. Sambil meremas balon yang mengeluarkan bunyi-bunyian, dia manyanyi)
Balonku ada lima
Rupa-rupa warnanya
Merah,kuning,kelabu,
Merah muda dan hijau

PASIEN II
(Datang kage-kage dan kemudian dia memecahkan balon yang ada di tangan PASIEN I. Setelah itu, sambil mengambil posisi yang bersebrangan dengan PASIEN I, Ia mencibir dan mulai mengejek)
Manangis ! Ayo, nangis !!
Nangis !
Nangis !

PASIEN I
(Mulai mewek, tapi tiba-tiba ia nda jadi manangis)
PASIEN II
(Tidak bisa menerima kenyataan. Dia lantas naik darah)
Kiapa ngana nda jadi nangis ?!
Ayo, jawab !
Kiapa ngana nda jadi manangis tadi ?
PASIEN I
(Tersipu kebingungan)
Kiapa qta musti manangis ?
PASIEN II
(mengamuk dalam kepedihan)
Ngana musti manangis ! Ngana musti manangis ! Ngana musti manangis !
Musti manangis ! Musti manangis !
Manangis !
PERAWAT I dan PERAWAT II
(Terlompat kaget dari keterpakuannya dan dengan terburu mereka berusaha menahan amukan PASIEN II)
PASIEN III dan PASIEN IV
(Terburu datang begitu mendengar ada keributan. Masing-masing muncul dari arah yang berlawanan)
PASIEN I
(Menatap penuh iba)
PASIEN II
(Kian Memedihkan)
Qta nimau dikasihani !
Qta nimau dikasihani !
Qta nimau dikasihani !
PERAWAT I dan PERAWAT II
(Menyeret PASIEN II dengan sekuat tenaga keluar menjauhi PASIEN I)
PASIEN I
(Tidak sanggup menerima kenyataan ini. Dia kejang-kejang kemudian terkapar tiba-tiba ke atas lantai)
PASIEN III dan PASIEN IV
(berlari sambil berteriak-teriak tapi pas berpapasan, mereka ketakutan sendiri. Keduanya berbalik lantas masing-masing terburu ke arah yang saling berlawanan)
Gila
Gila
Gila
Gila
PASIEN I
(Tersadar dari ketidaksadarannya)
LaGi
PASIEN III dan PASIEN IV
(Melintas kembali dari arah masing-masing yang saling berlawanan. Mulut mereka menggumam dengan terbata-bata. Saling berbalasan. Dan kemudian terus menghilang)
PASIEN III
Gila
PASIEN IV
Gila
PASIEN III
Gila
PASIEN IV
Gila
PASIEN III
Gila
PASIEN IV
Gila
PERAWAT I dan PERAWAT II
(Muncul kembali terus membawa PASIEN I pergi, pause)
PASIEN V
(Melintas masuk, berhenti di tengah ruangan dan sambil berpaling ke penonton ia menjengek)
HeHe
PASIEN VI
(Muncul tiba-tiba dengan sebuah senjata mainan di tangannya. Ia menodong Pasien V)
Jang bagra
PASIEN V
(Kecut mengangkat tangannya)
PASIEN VI
(Tersenyum ganjil)
Roko dang
PERAWAT I & PERAWAT II
(Muncul dan membawa pergi Pasien V dan Pasien VI)
Waktu barmaeng so abis
Manjo !!!

14 September 2005

Naskah Teater Fredy Sr. Wowor: SUATU WAKTU DALAM HIDUP SEORANG AKTOR

( Pada bagian TENGAH BELAKANG berdiri ORANG I, ORANG II, dan ORANG III sambil membelakangi penonton. Tubuh mereka dicat dalam motif tembok, untuk beberapa waktu lamanya saat pertunjukan berlangsung, mereka berfungsi sebagai latar. Pada bagian TENGAH panggung duduk ORANG IV sambil memeluk lutut.
Cahaya perlahan-lahan menyelimuti panggung. Awalnya cahaya tersebut menyinari sosok-sosok yang telah berada diatas panggung. Kemudian menyinari ke arah samping kiri samping kanan yang berfungsi sebagai pintu masuk dari ORANG V dan ORANG VI )
ORANG V
( Masuk, mengambil tempat disamping orang IV, bicara pada dirinya sendiri )
Setengah bungkus rokok ? Lumayan, dari pada tidak sama sekali
( Menyalakan sebatang rokok dan dihirup dalam-dalam. Matanya
menerawang jauh kedepan )
ORANG VI
( Masuk dan mendapati ORANG V lagi menghisap rokok
dengan pandangan menerawang, dia menyapa )
Selamat……!
ORANG V
( Kecut mencoba menawarkan rokok )
Rokok……..?
ORANG VI
( Latah menjawab dalam kegagapan )
Rokok,
eh, tidak !
Maaf, saya tidak merokok !!
Trima kasih !!!
ORANG V
( Gembira rokoknya tidak berkurang / basa basinya tidak
ditanggapi serius ORANG VI )
Tidak merokok ?!
Selamat !
ORANG VI
Kenalkan, saya Aktor cabutan dari teater KRONIS manado.
ORANG IV
( Terusik perhatiannya begitu mendengar kata AKTOR…! )
ORANG V
Ooh, Aktor ?! Bagus !
Pasti lagi Observasi ya ?
ORANG IV
( Makin terusik perhatiannya mendengar kata… AKTOR dan
OBSERVASI )
ORANG VI
Kok, tahu ?
ORANG V
Jelas tahu.
Saya dulu pernah disuruh mengamati
bagimana tingkah prajurit sisa perang
yang bergelandangan di jalan raya
tanpa sadar bahwa negeri yang diperjuangkannya itu
ternyata tidak merdeka.
Bisa kamu bayangkan,
hampir tiga bulan lamanya
saya kelayapan di jalanan kayak orang gila.
ORANG VI
Wah, rupanya bung juga seorang Aktor !
ORANG IV
(Kian terusik perhatiannya mendengar kata AKTOR terus disebut)
ORANG V
Tapi
ORANG VI
Tapi kenapa !?
ORANG V
Sayang
ORANG VI
( Makin ingin tahu)
Sayang bagimana !?
ORANG V
Pementasan itu dibatalkan.
ORANG VI
Dibatalkan ?!
Mengapa !?
ORANG V
Karena naskah yang akan dipentaskan itu,
termasuk dalam kategori DILARANG PEMERENTA.
Tiga tahun aku dibui,
istriku diperkosa tentara,
Tentara yang datang menyuluhkan program bersih lingkungan.
Dan istriku bunuh diri dihadapanku, selepas aku dari penjara.
ORANG VI
( Terpaku tanpa kata lagi )
ORANG V
Oya, bukankah bung datang untuk observasi ?
ORANG VI
Iya, saya datang untuk mengamati tingkah orang gila yang ada disini
ORANG V
Mengamati tingkah orang gila yang ada di sini ?
O, mengamati dia !
( Mengarahkan pandang ke ORANG IV )
ORANG VI
( Mengikuti pandangan ORANG V )
ORANG IV
( Dalam puncak keterusikannya )
Aktor, hah ?!
ORANG VI
( Melempar pandangan kedepan dengan cepat bersama dengan ORANG V )
Dia tahu…..
ORANG IV
Datang mengamati saya…!
ORANG IV
( Bersama ORANG V )
Dia tahu diamati….
ORANG V
( Bersama ORANG VI )
Dia tahu diamati…..
ORANG IV
Mengapa mesti saya ?
Mesti saya ?
Saya ?
Mengapa ?!
Mengapa ?!
( Merintih penuh kegeraman )
Mengapa mesti saya !?
ORANG I, II, III
( Sama-sama membalikkan tubuhnya dengan cepat )
ORANG V dan VI
( Tegang dalam kecemasan )
Dia tahu…..
ORANG I, II, III
( Membuka kaca mata hitam bersama-sama )
ORANG IV
( Mengamuk kesetanan )
Mengapa mesti saya
Mengapa mesti saya
Mengapa mesti saya
Mengapa ?!
ORANG V dan VI
( Sama-sama panik dan saling memeluk )
Dia
Dia
Dia
Dia
ORANG IV
( Kaku meradang tanpa kata )
Akh
ORANG II dan III
( Berlari kebingungan dan keluar )
Dokter…!
Dokter… !
Dokter… !
ORANG IV
( Terlompat marah )
Biarkan aku !
Biarkan…
Aktor ?!
( Mencemooh)
Aktor kampungan !
( Tidak sanggup meneruskan )
Kampung….
( Muntah )
ORANG I
( Berlari kebingungan dan keluar )
Gila
Gila
Gila
Ini tidak mungkin !
ORANG V dan VI
( Sama-sama keluar dan berkata )
Gila
ORANG IV
( Tertinggal sendirian dan berkata )
Gila ?
Aku tidak gila !
Aku hanya memainkan peranku sebagai seorang Aktor !?
***** TAMAT *****