(Harian Analisa, Minggu 29 April 2012)
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik awan. Laju kendaraan meluncur satu-satu. Perempuan itu masih berdiri, bersandar pada tiang traffic light. Samar-samar, dia masih mendengarkan suara orang mengaji dari puncak menara masjid. Ada pedih yang tergores di dadanya. Masih terngiang jerit tertahan anaknya yang melihat kepergiannya. Meronta dari pelukan Sumiati, ibu kosnya. Sesak dadanya, tapi dia harus pergi. Dia harus bekerja. Sudah tiga hari anaknya tidak menikmati susu.
Tadi pagi suhu tubuh anaknya memanas. Sampai terakhir tadi sebelum kepergiannya, suhu tubuh anaknya tidak juga turun. Malah cenderung naik. Dia tetap memutuskan untuk pergi.
Jika sudah seperti itu, acap kali dia memaki dirinya sendiri. Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya akan menjadi seperti ini. Tidak pernah sekalipun dia bercita-cita menjadi seorang pelacur. Puih! Apalagi ketika wajah seorang lelaki yang pernah dicintainya, melintas begitu saja.
Kalau tidak karena lelaki itu, mungkin dia sudah menjadi direktris pada salah satu perusahaan cabang milik ayahnya. Kalau saja lelaki itu tidak membuat ulah, mungkin ayahnya juga akan menyerahkan perusahaan yang lain kepadanya. Apa daya dia terlanjur salah langkah. Dia lebih memilih lelaki itu daripada ayahnya.
"Kau harus tahu, Anakku," ujar ayahnya,"Rizal tidak sepadan untukmu. Kau anak orang terhormat, sedangkan Rizal?"
"Aku sangat mencintainya, Ayah."
"Lelaki yang selalu mengganggu rumah tangga orang lain. Lelaki yang selalu mengumbar nafsunya pada orang lain. Lelaki yang menghancurkan perusahaan kita, keluarga kita. Lelaki seperti itu yang kau pilih?!"
"Aku sudah membuat keputusan, Ayah."
"Baik. Kalau memang itu sudah tekadmu. Ayah juga akan membuat keputusan!"
Ayahnya tepaksa membuat keputusan. Dengan suara berat dan berwibawa, ayahnya terpaksa memberikan pilihan yang sulit. Memenjarakan lelaki itu, yang menghancurkan perusahaan ayahnya atau tetap menjadi bagian dari keluarga besar Sudirman, ayahnya. Apa, lacur. Dia lebih memilih lelaki yang jelas-jelas telah menghancurkan keluarganya. Sejak saat itu ayahnyapun secara tegas tidak lagi mengakuinya sebagai seorang anak. Dia tetap memutuskan untuk pergi.
Pernah sekali waktu, dia mengunjungi ayahnya yang sedang keadaan sakit keras. Itupun karena ibunya berkali-kali meneleponnya, memintanya untuk pulang. Ayahnya selalu mengigau menyebut namanya. Begitu ia sampai, bukan kerinduan yang dia rasakan, justru makian bertubi-tubi yang dia dapatkan. Padahal, dia telah menghiba-hiba bermohon untuk dimaafkan. Demi melihat kondisi kesehatan ayahnya yang semakin parah melihat kehadirannya, dia memutuskan untuk pergi. Dia pergi ditingkahi suara tangis ibunya yang memintanya untuk tetap bertahan. Dia memutuskan untuk tetap pergi.
Memang ada penyesalan mendalam. Hanya saja, tekadnya sudah bulat. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Sepanjang perjalanan, dia renungi segalanya. Semua terasa gelap. Dia tidak menemukan jalan keluar. Persis seperti kelengangan jalan. Persis seperti kepekatan malam. Dia memutuskan untuk hidup bersama tanpa ikatan bersama Rizal, kekasihnya. Itupun karena janji Rizal akan menikahinya secara resmi, jika dia sudah mendapatkan pekerjaan.
Bersama Rizal, dia menyewa sebuah rumah sederhana. Dia bisa menerima. Selama menunggu Rizal mendapatkan pekerjaan, dia yang mengatasi uang sewa rumah. Termasuk segala kebutuhan hidup mereka berdua. Juga segala kebutuhan Rizal. Untunglah tabungannya lebih dari cukup. Ayahnya selalu memberikan apa yang dia inginkan. Sejak memutuskan hubungan keluarga ayahnya juga memutuskan segalanya. Termasuk urusan uang.
Hampir setahun mereka hidup bersama. Keresahan dan kebahagiaan semakin terasa tipis batasannya. Terutama ketika dia menyampaikan kabar gembira, dia sudah telat bulan. Sudah satu bulan mengandung calon anak mereka. Rizal terdiam. Rizal malah menyarankan, menggugurkan kandungan itu. Dia bertahan, sebab dia merasa bahagia. Rizal memberi solusi lain. Rizal meminjam uang lima puluh juta, untuk dibayarkan kepada sebuah perusahaan yang akan menerimanya bekerja, jika Rizal bisa menyetor uang sejumlah lima puluh juta.
Perempuan itu ragu, tetapi Rizal mampu meyakinkannya. Akhirnya, isi tabungan perempuan itu hanya menyisakan lima juta. Selebihnya berpindahtangan ke Rizal. Tak berpanjang kalam, Rizalpun segera meluncur ke perusahaan yang dia maksud. Dengan segala cinta dan doa, perempuan itu melepas Rizal. Entah karena waktu meluncur terlalu cepat atau karena hasrat yang tak terbendungkan, perempuan itu seperti tak sabar menunggu kabar berita dari Rizal.
Belum berbilang minggu, kabar tentang Rizalpun terdengar. Tubuhnya seperti hancur, sehancur-hancurnya. Lelaki yang melebihi segala hatinya, telah menikah dengan perempuan lain. Dengan seorang menejer perusahaan tempat rencana Rizal bekerja. Dia harus bertahan. Dia bertekad harus tetap bertahan hidup. Itu filosofi yang diajarkan oleh ayahnya. Bertahan hidup.
Malam pekat. Bulan masih sembunyi di bilik malam. Perempuan itu masih bersandar di tiang traffic light. Suara orang mengaji dari menara masjid, masih terdengar samar ditingkahi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Kebahagiaannya sempat membuncah ketika jerit lengking si bayi mungil di pelukannya. Sepeninggal Rizal, dia pindah dari kota J ke kota M. Bekerja di sebuah pabrik. Memutuskan cuti melahirkan. Menganggur menghabiskan simpanan setelah pabrik tempat dia bekerja tidak menerimanya lagi, dengan alasan yang tak jelas. Menghabiskan simpanan, setelah semua tempat menolak lamarannya. Mengatur semua kebutuhan dia dan anaknya.
Dia tidak pernah bercita-cita ingin seperti ini. Dia tidak pernah sekalipun berharap menjadi seorang pelacur. Puih! Karena lelaki itu. Bukan. Bukan karena lelaki itu. Demi anaknya, yang kini terbaring sakit. Anaknya yang menjerit tertahan melihat kepergiaannya. Dia harus pergi. Memutuskan untuk pergi.
Jujur, dia kikuk, ragu. Dia hanya memberanikan diri. Selama ini, dia masih tetap bisa bertahan walau mandor pabrik tempat dia bekerja dulu sempat memintanya menjadi istri simpanan. Memaksanya menikah siri. Memaksanya menjadi istri dengan janji menceraikan istri sahnya. Termasuk bertahan ketika sang mandor berusaha memperkosanya. Dia meyakinkan dirinya, Tuhan tak akan pernah meninggalkannya. Yakin Tuhan akan selalu menjaga dia dan anaknya.
Malam sepekat ini. Keyakinannya seakan buyar. Pertahanannya seakan ditembus peluru keraguan. Dia merasa Tuhan seakan membiarkannya. Sesamar suara orang mengaji dari menara masjid di ujung jalan sana. Segelap malam yang pekat. Sesunyi laju kendaraan yang meluncur satu-satu. Sepedih hatinya yang koyakmoyak. Sepanas suhu tubuh anaknya yang terbaring sakit. Dia lapar, haus. Tubuhnya gemetar.
Dalam beberapa kesempatan, dia belum juga memberanikan diri menawarkan diri. Mulai dari anak jalanan sampai lelaki hidung belang. Mulai dari penarik becak sampai pembawa gerobak. Dia juga belum berani mengiyakan beberapa tawaran dari laki-laki yang hobi jajan. Termasuk segerombolan lelaki yang berusaha memaksakan hasratnya.
Perempuan itu meronta. Perempuan itu memberontak. Gerombolan lelaki itu berusaha mendekap. Berusaha membekapnya. Dengan beringas gerombolan lelaki itu melucuti pakaian perempuan itu satu persatu, sampai akhirnya polos tanpa sehelai benangpun. Perempuan itu pasrah. Samar-samar dia masih mendengar suara mengaji dari menara masjid. Samar-samar terbayang wajah bayinya yang menjerit, ditingkahi suara tertawa penuh nafsu gerombolan laki-laki itu. Samar-samar wajah gerombolan lelaki itu tak lagi tampak olehnya. Yang ada hanya gelap pekat. Terdengar seperti suara letusan senjata api menggema di udara diselingi samar-samar suara orang mengaji dari puncak menara masjid di ujung jalan sana. Mung kin Tuhan belum sempat menjenguknya.
Perempuan itu tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Perempuan itu hanya tahu, dia sekarang berada di sebuah ruangan yang sangat menyenangkan. Serba putih. Aromanya begitu semerbak. Dia berada di atas sebuah tempat tidur yang begitu lembut dan bersih. Di sebelah kanan atas sebuah pesawat telepon. Tidak jauh dari arah kakinya di atas sebuah bufet, sebuah pesawat televisi. Perabotan lain yang berada dalam ruangan itu. Lengkap sangat lengkap.
Belum hilang keterkejutannya dengan suasana ruangan yang begitu nyaman. Dia terpesona dan takjub ketika melihat ke arah cermin. Seolah seorang putri tengah menatapnya. Ada perasaan malu bukan kepalang. Apalagi dibandingkan dengan kondisinya saat ini. Ketika dia melihat, ternyata perempuan dalam cermin itu adalah dirinya. Da lebih terkejut lagi. Ada rasa bahagia sekaligus sedih bersamaan. Bahagia karena akhirnya dia menjadi seorang putri. Sedih karena dia teringat anaknya. Perempuan itu merasa Tuhan telah menjeputnya. Tuhan telah menempatkannya di Surga.
Dia menari gembira di depan cermin. Dia berjanji suatu waktu nanti, dia akan mengunjungi anaknya. Belum sempat dia meluapkan kegembiraannya, sebuah ketukan keras di pintu mengejutkannya. Begitu dia bergerak hendak membuka pintu, seseorang telah masuk begitu saja. Sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, dia mendengar sebuah perintah mengejutkan.
"Persiapkan dirimu. Layani Bos dengan baik!"
Perempuan itu tersentak, begitu dia menyadari situasinya, dia menangis sejadi-jadinya. Dia menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Telungkup. Terisak. Menghardik Tuhan. Memanggil nama anaknya. Memanggil nama ibunya. Memanggil nama ayahnya. Berteriak histeris. Aliran ketakutan seketika menjalar di nadinya. Terdiam tertahan, ketika sebuah bentakan seolah memecahkan telinganya.
"Diam!" nafas lelaki itu terdengar memburu,"Tak ada gunanya kau menangis. Kau milikku sepenuhnya. Tugasmu melayaniku. Tugasku merasakan kepuasan darimu..."
Perempuan itu terdiam. Dia merasakan aura penuh nafsu dari nafas lelaki itu. Di balik itu, dia begitu mengenal suara berat dan berwibawa dari laki-laki itu. Suara yang begitu dikenalnya selama bertahun-tahun. Mirip suara dari orang yang begitu melindungi dan menyayanginya. Mirip suara orang yang begitu menjunjung tinggi kehormatan. Segera dia membalikkan badan. Perempuan itu terkejut begitu mengetahui lelaki separuh baya yang ada di hadapannya. Bersamaan dengan itu, lelaki separuh baya yang nyaris bugil itu, lebih terkejut lagi.
"Sumbi?!" (*)
Komunitas Home Poetry, 2011
No comments:
Post a Comment