Monday 14 November 2011

Pahlawan bertopeng

YULHASNI

Sebuah sajak lahir dari penyair Sumatera Utara, M. Raudah Jambak. Ia menulis di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata di pualam pipinya, tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia, setua misteri yang beralis segala teka teki, dan memberi namaku pahlawan. Puisi itu ia beri judul sebab pahlawan namaku. Puisi penuh makna dan tentu saja memberikan sebuah pesan soal nilai kepahlawanan.

Pahlawan adalah kata yang sulit didefenisikan dan diuraikan secara rinci. Pahlawan bagi anak-anak adalah para superhero yang menghiasi memori mereka. Pada masa lalu mungkin Superman, Batman, dan Spiderman adalah pahlawan yang melintasi benak sebagian besar anak-anak Indonesia. Pada masa sekarang pahlawan mereka bisa saja sosok yang mereka saksikan tayangan film-film karton di televisi. Setiap anak memiliki pahlawan sendiri, kadang-kadang sosok yang punya kekuatan super, biasanya mereka adalah anak atau binatang yang pemberani. Seorang pahlawan sejati tidak memiliki ayah atau ibu, jauh dari orang tua. Pada sebagian orang pahlawan bisa berbeda-beda, tergantung cara pandang mereka terhadap sosok yang diidolakan. Bahkan pahlawan bisa saja berlaku dalam hitungan menit dan kemudian hilang seketika.

Tidak selamanya pahlawan itu digolongkan sebagai kata yang mempunyai makna positif. Pahlawan juga bisa digolongkan dalam kosakata negatif jika merujuk pada idiom pahlawan kesiangan, sok jadi pahlawan, dan sebagainya. Tentu saja pahlawan bukanlah kata yang berhenti pada sifat dan karakter yang dibawanya. Mungkin kita adalah pahlawan untuk diri kita sendiri. Semangat kepahlawanan tidaklah diartikan dalam rutinitas mengenang jasa mereka yang telah memberi arti kepada republik ini. Mengenang hanyalah ungkapan betapa bangsa ini tidak pernah sampai kepada kesejatian menghargai dan menghormati mereka yang memberi ruang untuk kita sekarang bisa bebas berekspresi. Setiap tahun di tanggal 10 November, kita hanya menyaksikan riuhnya slogan-slogan tentang kepahlawanan. Selepas itu, kita akan kembali menafikan semua yang pernah terjadi di negeri ini.

Anis Matta pernah menulis buku Mencari Pahlawan Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan The Tarbawi Center itu ia menguraikan bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan. ‘Dalam skala peradaban’ setiap bangsa bergiliran ‘merebut piala kepahlawanan.’ Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi yang sulit. Sejarah memang kerap harus dilihat dalam berbagai sisi untuk memetakan sosok pahlawan sejati. Tiap zaman membuat sosok pahlawannya sendiri dan itulah yang terus muncul dalam sejarah bangsa ini.

Anak-anak muda kita pernah begitu bangga mengenakan kaos Che Guevara. Pejuang Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba bernama asli Ernesto Guevara Lynch de La Serna itu seolah lebih hebat perjuangannya dibanding Jenderal Sudirman yang melawan Belanda dari hutan ke hutan. Sosok Che Guevara menghiasi pelbagai poster, stiker, baju kaos anak muda Indonesia mengalahkan sosok Tan Malaka yang sama sekali asing dalam ingatan sejarah bangsa ini meski pria bernama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu telah meletakkan semangat ‘pemberontakan’ terhadap dominasi kapitalisme di tanah air. Ia yang tak jelas kuburannya tersebut adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Pada masa sekarang, riuh politik di Indonesia sering memunculkan sosok pahlawan bagi kepentingan politik itu sendiri. Indonesia telah begitu lama percaya kepada dunia tahyul sehingga pahlawan selalu dinantikan untuk sebuah perubahan yang maha dahsyat. Padahal, pahlawan itu hanya kamuflase, sebuah fatamorgana yang tak tersentuh mata secara utuh. Pahlawan yang ditunggu adalah ratu adil yang sejak Indonesia merdeka tak pernah kunjung menyambangi republik ini.

Terlalu banyak memang kata pahlawan disalahartikan, dibengkokkan untuk kemudian dibungkus atasnama berbagai kepentingan. Pahlawan pun tidak lagi dimaknai sebagai sosok pejuang pada masa revolusi kemerdekaan karena kata itu telah mengalami makna yang meluas. Pahlawan bisa saja adalah guru yang memberi ilmu dan kepadanya diberi tanda gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan juga boleh jadi kepada mereka yang berjuang menyelamatkan lingkungan hidup sehingga layak disebut pahlawan lingkungan. Begitu beragamnya kata pahlawan melekat pada setiap aktivitas kita sehingga kata itu bukan lagi milik para pejuang republik.

Ketika Bung Tomo meneriakkan kata merdeka pada revolusi di Surabaya untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari pahlawan, semangatnya jelas terdeteksi dengan mata telanjang. Bung Tomo tidak meneriakkan slogan kosong karena di depannya rakyat bergerak dengan senjata ala kadarnya dan membuktikkan darah kepahlawan tersebut. Teriakan itu berkumandang dalam semangat revolusi di seantero negeri, memberi spirit perlawanan.

Di negeri yang selalu dipenuhi praktik kecurangan ini, teriakan ‘merdeka’ tidak lagi ada makna. Mahasiswa berteriak di jalanan berdemonstrasi meneriakkan kata merdeka untuk memprotes pelbagai ketimpangan, sementara sebagian besar lagi di antara mereka saling lempar batu di kampus. Para politisi berteriak ‘merdeka’ saat berusaha merebut suara rakyat pada masa kampanye, sementara di gedung-gedung wakil rakyat berbagai praktik pembohongan rakyat berlangsung mulus. Pejabat berpidato berapi-api mengalahkan suara lantang Bung Tomo sambil mengacungkan tangan seolah mereka adalah pahlawan sejati republik ini.

Di mana pahlawan itu sebenarnya? Bukankan peringatan Hari Pahlawan tidak pernah berhasil menciptakan hero-hero baru bagi republik ini selain makin bertambahnya orang-orang yang memperkaya diri sendiri? Tercabik-cabiknya rasa nasionalisme pada anak-anak bangsa tidak lain karena ketidakpercayaan mereka terhadap praktik pembohongan elite terus-menerus. Kita sudah seperti hidup di negara yang tak berideologi. Tidak ada pernah ada semangat kepahlawanan yang murni selain topeng-topeng yang berkelindan dalam riuh rendah praktik berbangsa dan bernegara. Negeri ini terlalu banyak pahlawan bertopeng!

*Penulis adalah Dosen Bahasa Dan Sastra Indonesia FKIP UMSU.

No comments: