Sastra dan Politik, Saudara Kembar yang Berbeda Wataknya?
M. Raudah Jambak.
Bicara politik, tidak akan pernah selesai. Paling tidak,
politik mungkin sejalan dan senafas dengan aliran pikiran kita. Politik lebih cenderung kepada segala urusan dan tindakan dengan menekankan kepada kebijakan juga siasat yang biasanya dipersiapkan individu atau kelompok lebih kepada persoalan kenegaraan. Politik yang diarahkan kepada persoalan pemahaman, justru menjurus kepada ideologi juga sikap atau pandangan terhadap sesuatu.
Pada dasarnya, politik lebih kepada hal-hal yang positif bermuara kepada kebaikan demi kemajuan yang menguntungkan semua pihak. Pemahaman yang berkembang, politik lebih terarah kepada hal-hal yang negatif atau akal-akalan. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai opini yang sesat demi keuntungan pribadi atau golongan. Sekarang persolannya adalah bagaimana dengan sastra?
Sebagai sebuah ilmu sastra harus dipelajari. Persoalan apakah sastra mampu meng ubah cara pandang seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Mampu meningkatkan taraf hidup dan kemajuan masyarakat atau mungkin sebaliknya, itu adalah persoalan lain. Ada juga yang beranggapan persoalan keberpihakan. Sebuah strategi, yang diharpkan dapat menimbulkan atau mencapai sesuatu yang diharapkan. Mungkin demi meluluskan sebuah kepentingan?
Jika sastra dikaitkan ke arah kepentingan atau keberpihakan, apakah ini politik? Atau apakah perlu mewujudkan sastra sebagai media politik? Semua terserah kepada kita. Tergantung kepada niat yang punya hajatan. Sastra sebagai sebuah ilmu, ideologi, atau apalah namanya, terserah. Sekarang pertanyaannya adalah apakah itu tidak bagian dari politik, terlepas dari persoalan kenegaraan, kepentingan, atau keberpihakan.
Saya jadi teringat kepada persoalan ilmu sebagai filsafat, atau filsafat sebagai sebuah ilmu yang diletakan pada level tertentu, misalnya. Dimana perkembangan Ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu: Level Preconvenstional, Level Conventional dan Level Postconventional.
Level Preconvenstional, misalnya, level ini berkembang pada masa kanak-kanak. Dimana mereka hanya mengikuti naluri mereka dan mengabaikan nasehat dan pendapat orang lain. Selanjutnya, level Conventional dimana individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok. Dengan demikian seseorang itu telah mengikuti apa yang baik dan menjauhi mana yang buruk dengan menganut apa yang ditentukan oleh kelompok mereka. Sedangkan level Postconventional, orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Dalam fase ini biasanya seseorang akan menentang kelompoknya dimana hal yang dia tentang adalah yang menurutnya benar padahal kelompoknya menganggapnya salah.
Menarik seperti apa yang digelisahkan Yulhasni. Seperti yang disampaikannya, jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik. Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur kepentingan, sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan itu.
Politik bisa saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat, tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca masyarakat.
Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal. Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan, penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala bentuk kreativitas’.
Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28 Agustus 2011).
Budi P. Hatees memiliki pandangan, Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, "telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang kultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.
Hal ini juga pernah disinggung dalam diskusi omong-omong sastra di rumah Jaya Arjuna beberapa waktu lalu, menghadirkan Sakinah Annisa Mariz dan Suyadi San sebagai pembicara. Dalam diskusi itu, sempat muncul polemik, ketika Suyadi San menyebut, sastrawan Sumut, masih belum dianggap di kancah nasional. Indikasinya dari beberapa pertemuan sastrawan yang sifatnya skala nasional, sastrawan Sumut, hanya datang sebagai peserta pasif. Selain itu, di forum-forum yang sama, peserta (sastrawan) Sumut jarang diunjuk sebagai penyaji. Suyadi membatasi kajiannya pada satu dekade terakhir. Dia pun menggugat beberapa sastrawan senior yang dulu sempat punya nama di nasional dan rajin menyumbangkan kritik dan pemikirannya melalui media massa.
Salah satunya Damiri Mahmud, yang juga hadir di acara itu, selain juga Maulana Syamsuri, Sulaiman Sambas dan lainnya.
"Kemanakah Anda selama ini?" tanya Suyadi. Tak pelak, Damiri harus mengakui, beberapa tahun terakhir, dia memang tak produktif, bersebab faktor fisik dan phisikis, seiring usia.
"Sumut kehilangan "jubir" sastranya di tingkat nasional." Kata Suyadi. Sugeng, yang seorang mantan redaktur budaya salah koran di Medan, menyanggah istilah "jubir" itu.
"Sastra tidak membutuhkan jubir, karena karya itu sendiri yang akan bicara. Harus dibenahi para sastrawan Sumut adalah semangat entrepreuner dalam berkarya," tegas Sugeng.
Kesan yang sama ditunjukkan Mihar Harahap. Baginya, kegelisahan Suyadi adalah kegelisahan semua pelaku sastra, tidak hanya di Sumut, tapi juga di hampir semua daerah. Hal ini merupakan wacana lama yang memang tak kunjung tuntas. Mihar tidak setuju dengan istilah lokal-nasional dalam sastra. Apa itu sastra nasional, siapa itu sastrawan nasional? Apa itu sastra lokal, siapa itu sastrawan lokal? Karenanya Mihar menekankan sastra jalur kedua, sebagaimana dimunculkan Esten Mursal, yang menjadikan lokal sebagai basis, sehingga mengurangi dikotomi sentralis.
Tentang politik sastra, Mihar mengajak peserta untuk lebih jeli mengkaji, makna dan acuan dua kata itu, seperti tertera dalam makalah. Sebelumnya, soal ini ditanggapi serius oleh Ali Yusran yang mengatakan, tak ada sastra yang tak politik. Perbedaannya soal tujuan, apakah demi nilai-nilai kemanusiaan universal atau kepentingan sekelompok orang. Diskusi sempat memanas ketika Sakinah yang terinsipirasi buku "Politik Sastra" yang ditulis Saut Situmorang itu, mengetengahkan contoh kasus Pram, yang secara implisit disebut Sakinah sebagai korban politik sastra. Bahkan Damiri di awal-awal sempat mengajak peserta diskusi untuk lebih luas melihat persoalan yang dialami Pram dalam kesusasteraan nasional.
Sakinah juga memberikan pandangan, perluasan pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui politik sastra semakin merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komperhensif mengenai napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Politisasi pemerintah atas karya sastra sebenarnya tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang melahirkan karya, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia yang di dalamnya termasuk sejarah, kritik dan teori sastra.
Menurut Sakinah, politik sastra Indonesia tidak lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia dijelaskannya mulai melirik nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi pengusaha, serta dampaknya dalam sejarah sastra Indonesia.
Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra Indonesia ini, sebenarnya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang mengikuti. Pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah berhenti tanpa solusi. Sebagai contoh tetralogi pulau baru karya Pramoedya Ananta Toer yang mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme pada masa rezim orde baru berkuasa karyanya ditarik dan dimusnahkan secara sengaja.
Pada diskusi hangat siang itu juga sempat dibahas bahwa sastra harus tetap berpolitik, tetapi politik sastra adalah yang baik, mendidik dan menghibur. Hadirnya sebuah karya sastra seperti puisi, pada diskusi juga dibahas saat ini lahir sangat banyak tetapi kehidupan masyarakat tetap hidup pada tahap ketelanjangan, mural, spritual dan nurani yang tidak bekerja lagi.
Sebenarnya hal-hal negatif seperti itu lahir dari banyaknya penulis manja. Tatkala memasukkan tulisannya di media cetak, seorang penulisa saat ini tidak malu untuk menanyakan kapan tulisannya akan dimuat. Contoh muram seperti itu dijelaskan pada diskusi yang rentan untuk dikritik.
Dari pernyataan-pernyataan yang terlontar, kita dapat memberikan pandangan, sastra dan politik sebenarnya akan hadir dan mengalir dengan sendirinya. Tidak hanya di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Pertanyaannya adalah apakah sastra di arahkan kepada hal-hal yang negatif ataukah positif? Jika positif siapapun yang menjadi pelakunya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Jika negatif, hal ini yang harus diwaspadai. Sedikit mempelintir ungkapan mantan seorang Presiden Amerika, jika politik itu kejam, maka sastra yang akan menghaluskannya. Bukankah demikian?
Rebana - Minggu, 13 Nov 2011 01:03 WIB
Tataran Pemahaman dalam Sastra
Oleh: M. Raudah Jambak. Penggunaan istilah, terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya.
Hal-hal yang berkenaan dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Ketika kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang berbeda pula. Di wilayah sastra, bahasa hanya sebagai media. Dia lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Demikian etika, estetika dan logika tentu tidak bisa kita kesampingkan.
Wilyah-wilayah seperti ini yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya. Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu dia harus masuk ke dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Ketika dia mengkaji persoalan sastra tentunya dia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul pro-kontra pemahaman.
Pro-kontra pemahaman ini yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan masuk kepada tataran konsep. Bahasa lisan dan isyarat masuk kepada wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu bisa kita pilah-pilah lagi ke wialyah yang berbeda pula.
Berdasarkan hal di atas, ada hal yang menarik jika kita membaca tulisan yang tertuang di ruang Rebana Analisa. Tulisan-tulisan yang bernas itu selalu menyinggung persoalan politik dan sastra. Politik dalam sastra atau sastra dalam politik. Tulisan-tulisan Yulhasni, Budi P. Hates, T. Agus Khaidir, Jones Gultom, dan sebagainya, membicarakan persoalan itu.
Yulhasni dengan ‘kepiawaiannya’ selalu menulis tulisan-tulisan yang ‘menggugah-rasa’ kita tentang hal itu, termasuk ketika membahas ‘Teks-teks Semu pada Karya Sastra Sumut’ (Rebana Minggu, 30/11). Yulhasni mengungkapkan, Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
Bagi yang mengenal Yulhasni tentu akan memahami persoalan ini. Memahami arah tembaknya. Haya Aliya Zaki ada menuliskan tentang Yulhasni, katanya menurut Yulhasni bukan orang yang tergolong produktif menulis. Selain rutinitas sebagai wartawan, proses kreatifnya hanya sampai cerpen. Jujur, dia tak piawai merangkai puisi. Da hobi menulis kritik dan esai sastra. Yulhasni melihat dunia sastra Sumut adem-ayem saja, maka sesekali dia melempar ide dan mengkritik orang-orang. Dia suka ’ribut-ribut’ dalam konteks kreativitas. Biar semangatlah!, ungkap Yulhasni yang juga dosen Jurnalistik dan Menulis Kreatif di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, santai.
Meski merasa paling tak pintar menulis puisi, karya Yulhasni yang termaktub dalam buku-buku antologi, antara lain Rezim, Surat Buat Merah Putih, Muara III, Koin Satu Milyar, Kado Ulang Tahun, Amuk Gelombang, dan Kosong, justru berupa puisi. Selain menulis puisi, pria yang sehari-hari juga menjadi pelatih tetap jurnalistik dan calon wartawan di beberapa instansi ini pernah menggarap beberapa naskah teater dan telah dipentaskan. Karya serupa cerpen, kritik, esai sastra, politik dan HAM, terbit di sejumlah media massa lokal dan nasional.
Dengan menulis, Yulhasni bisa berteriak dan bersuara bebas. Dengan menjadi penulis, dia bisa memposisikan diri sejajar dengan siapa pun. Dia bisa berdiri tegak dengan politisi, pejabat, pengusaha, perampok, pelacur dan semua orang di dunia ini.Yulhasni sangat menyukai tulisan bertema pergerakan.
Nah, kembali ke persoalan, menarik apa yang dituangkan Yulhasni, bahwa karya sastra Sumut hanya teks-teks semu belaka. Jika kita masuk ke wilayah sastra, maka Yulhasni sudah menyampaikan hal yang benar. Dalam pengertian semu berati tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya). Begitu juga pemahaman akrobatik yang berarti peragaan yang hebat dan mengagumkan persoalan ketangkasan.
Sastra dalam hal ini puisi maupun cerpen memang semu (fiktif) dan ia lebih kepada bahasa konsep dalam bentuk tulisan. Jika dikatakan dia dikatakan akrobatik, maka dia lebih kepada bahasa tindakan (aksi), inipun jika ia ditampilkan dalam sebuah wilayah pertunjukan. Pemahaman kontradiktif Yulhasni ini sangat menarik untuk dikaji ulang.
Jika dcia menyatakan semu dalam pengertian bahwa sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
Muncul persoalan, apakah seorang komentator harus menjadi seorang pionir. Seorang pelatih harus menjadi pemain?
Sebagai bahasa konsep, dia menawarkan gagasan untuk menghadirkan bahasa tindakan. Minimal mengajak pembaca untuk merenung dalam menyusun kekuatan baru sebelum bertindak. Orang bijak mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi renungkan, pahami apa yang disampaikan. Jika pesan yang disampaikan itu ke arah kebaikan, maka wajarlah kiranya kita masuk ke wailayah aksi (tindakan), walaupun yang menyampaikan itu penjahat besar sekalipun. Akhirnya, terserah pada kita menerima atau menolak. Seperti halnya, Iblis yang mengajarkan manusia menghafal ayat kursi.
Bahasa konsep akan menimbulkan tindakan, bukan adalah tindakan. Persoalan kejujuran adalah wilayah perenungan, bukan penilaian. Urusan ketuhanan, bukan manusia.
Pemahaman akrobatik jika dimaksudkan adalah sebagai lompatan-lompatan, juga perlu ditinjau ulang. Daya ungkap puisi dengan cerpen tentu jauh perbedaannya. Lompatan-lompatan dalam puisi jauh berbeda dengan cerpen. Begitu juga antara cerpen dengan novel. Apalagi jika kita berhadapan dengan model prosa lirik, tentu memiliki lompatan yang berbeda jika dihadapkan dengan cerpen biasa. Akhirnya, sebagai sebuah konsep saya sangat setuju dengan tataran yang ditawarkan Yulhasni. Jika konsep sama dengan tindakan kita lihat dulu wilayah pemahamannya. Salam.
Penulis; Direktur Komunitas Home Poetry
Rebana - Minggu, 05 Jun 2011 16:11 WIB
Pendidikan, Penataan Permukiman dan Lingkungan Hidup bagi Komunitas Sastra
Oleh : M. Raudah Jambak, SPd. Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa di antaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra di dalamnya.
Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati. Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.
Seperti yang pernah kita baca, seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai "wajah" terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan "asupan" gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Karenanya, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.
* * *
Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Dia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.
Kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan, keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya. Dalam beberapa kali diskusi, kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas -terutama pemula.
Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya -tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah "luar biasa" sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah "buruk muka cermin dibelah".
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan "mendewakan" sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas, bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas, sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah lain, seperti M. Badri, Sawali, Irmansyah, dan lain-lain, sebagai bahan perbandingan kita. Terimakasih.
Penulis: Direktur Komunitas Home Poetry
Rebana - Minggu, 26 Jun 2011 13:07 WIB
Politik,Seniman dan Telur
Oleh : M. Raudah Jambak. Bicara seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan pendapat. Tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan atau kritis dalam perbuatan?
Demikian yang tercatat, ketika diskusi dengan Saut Situmorang dan Katerin Bandel, yang dilaksanakan Komunitas Sastra Indonesia, mengambil tempat di Galeri Payung Teduh, Selasa, 14 Juni 2011, yang dimoderatori oleh Idris Pasaribu.
Seperti yang pernah tercatat, dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dan lain-lain. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.
Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara.
Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme. Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari, karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa.
Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. "Tulis! Suatu saat berguna," kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya.
Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing.
Kita mengenal Umar Kayam menulis "Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.
Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi.
Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat. Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.
Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, dia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.
Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, seniman dengan kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi, tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain.
Seniman tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi. Apa yang telah diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan, jalan mereka menjadi buntu.
Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dan lain-lain, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan seni man deg. Pertanda apa ini? Saya setuju seperti yang dikemukakan Saut, sebenarnya bukan persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Persoalan internal yang harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak perduli. Selalu muncul pertanyaan, mana seniman? Perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman?
Saya jadi teringat dengan ayam betina yang baru saja bertelur. Satu butir telurnya, tetapi hebohnya cukup memekakkan telinga satu kampung. Bayangkan, jika telur yang dihasilkan banyak. Berapa besar suara yang dihasilkan.
Begitupun seniman telur itu masih jauh lebih berarti dibandingkan seniman bunglon. Jika seniman angkat telur, jelas yang diangkatnya. Seniman pegang telur, jelas yang dipegangnya. Seniman selentik ataupun remas telur juga jelas. Seniman bunglon? Kita selalu ragu terkadang apakah dia seniman apa tidak. Karena setiap pergerakannya selalu dalam wilayah kepentingan. Seniman dalam rangka.
Cukup arif saya kira Idris Pasaribu dalam menutup diskusi sore itu. Biarkanlah mereka begini dan begitu asal jangan kita. Seniman yang dekat dengan pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara tidak langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka. Berkaryalah. Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada mencela. Bukankah begitu? Demikian.
Penulis; Direktur Komunitas Home Poetry
No comments:
Post a Comment