. ITSHUKO
Tidak ada jang harus kurahasiakan lagi kepadanja. Kurasa ia sudah tjukup dewasa untuk mengerti dan mengetahui tentang dirinja dan tentang ajahnja. Djuga tentang kelahirannja. Semua kutjeritakan padanja sedjudjur-djudjurnja.. Ia menangis tersedu. Pipinja basah oleh derai airmata jang mengalir seperti hudjan lebat. Biarlah airmatanja mengalir, biarlah berderai. Memang sewadjarnya ia harus tahu,bahwa ajahnja bukanlah Djefri. Lelaki itu adalah suamiku jang kedua, hanjalah ajah tirinja. Biarlah ia tahu ,bahwa Iskandar , Ainun, Fadilah dan Ratna bukanlah adik kandungnja.
Derai airmata semakin deras membasahi pipinja ketika kukatakan,bahwa ajahnja adalah seorang lelaki berkebangsaan Djepang, Memang sedjak ketjil ia selalu diedjek kawan-kawannja dengan kata-kata kotor:
“Ajahmu serdadu Nipon,Safini!”
“Lihatlah matamu jang sipit. Ibumu gundik Nipon!”
“Kau tidak punja ajah. Djefri bukanlah ajahmu!”
Itulah edjekan jang selalu dilontarkan pada anakku, sejak ketjil hingga ia dewasa edjekan itu selalu terdengar dimana-mana, bergaung di langit. Ditebarkan angin hingga ke seberang samudera. Hingga ke balik gunung dan lembah. Bahkan hingga ke dalam djurang jang amat dalam. Burung-burung terbangpun mendengarnja.
Ia selalu mengadu padaku tentang edjekan jang didengarnja dimana-mana. Namun aku tidak dapat berbuat apa-apa selain menghapus airmatanja dan membelainja dengan kasih sajang. Edjekan itu adalah kenjataan pahit. Djefri bukanlah ajahnja. Matanja memang seperti umumnja bentuk mata orang-orang Djepang. Ajahnya memang serdadu Nipon.
Hatiku lega setelah semua kutjeritakan kepada anakku. Semua itulah jang selama ini menjesak dalam dadaku. Aku sengaja menunggu sampai anak jang kulahirkan dewasa untuk mentjeritakan semua perdjalanan hidupku dan riwajat kelahiarannya.. Semua jang kukatakan kepadanja menjebabkan airmatanja mengalir seperti hudjan lebat,
“Kalau begitu benarlah semua edjekan kawan-kawanku,bahwa ajahku adalah serdadu Nipon!,” tjetusnja diantara tangisnja.
“Memang benar,Safini. Ketika kau lahir dari rahim ibu,ajahmu memberi nama Itshuko, sebuah nama Djepang dan enak didengar. Itshuko Matshura .Tapi ibu juga memberimu nama Indonesia, Safini Azizah,sebuah nama Islami yang berarti kemuliaan”.
“Aku djadi bahan edjekan semua kawan-kawan.Katanja serdadu Nipon sangat kedjam dan banjak membunuh bangsa kita. Semua tahu kekejaman serdadu Djepang!”
“Tapi ajahmu bukanlah serdadu,anakku. Ajahmu tidak pernah membunuh orang. Tidak pernah ajahmu memegang bedil. Bahkan ajahmu banjak menolong bangsa kita!”
“Katanya semua serdadu sama saja. Semua pendjadjah kedjam.”
“Memamg benar. Tapi ajahmu tidak demikian.”
“Katanya Bapak Si Djohan mati dibunuh Nipon!. Banjak lagi orang-orang jang dibunuh Djepang. Bapak si Arifin buta karena dihukum orang Nipon jang didjemur dan disuruh menatap matahari selama sehari penuh. Bapak si Dewi mati ditusuk dengan bajonet.Ibu tahu si Nita,bukan? . Ibunja diperkosa tentara Nipon. Semua bentji kepada serdadu Nipon. Akupun ikut dibentji oleh semua orang. Mereka tahu aku adalah anak serdadu Nipon.”
Aku tidak mampu menahan tangis. Airmataku berderai di pipi. Aku hanja mampu memeluk anakku amat erat dan rambutnja basah karena derai airmataku.
“Ajahmu tidak seperti itu ,anakku!. Ajahmu tidak pernah memperkosa orang. Bahkan ajahmu tidak pernah menjakiti orang lain. Bajonet tidak pernah ada di tangannja. Iapun tidak pernah menjentuh sendjata”.
“Bukankah ajahku juga seorang serdadu?”
“Benar!. Tapi ajahmu tidak pernah menembak orang.”
“Kenapa serdadu tidak pernah menembak orang?”
“Karena ajahmu adalah seorang dokter tentara!,” tjetusku.
“Dokter?,” ulangnja seperti tidak pertjaja pada kata-kata ibunja.
“Benar!. Ajahmu adalah dokter dan pasien jang dirawat ajahmu tidak hanja serdadu Djepang jang luka-luka tertembak .tapi juga mengobati bangsa kita jang sakit.”
“Kalau begitu tugas ajahku sangat mulia di negeri kita!”
“Ja!. Sangat mulia!. Mulia sekali”!
“Ja,Allah . Aku jadi bangga memiliki ajah seorang serdadu Djepang kalau memang tugasnja amat mulia di negeri kita.”
“Ajahmu adalah Dokter Shujito Matshura,kelahiran Osaka. Semua orang beranggapan, bahwa serdadu Djepang amat kejam dan biadab. Tapi di antara ratusan ribu serdadu Djepang, terdapat satu dua orang jang hatinja amat mulia, seperti ajahmu Shujito. Ajahmu datang ke negeri kita bukan untuk mendjadjah, bukan untuk menembak orang, bukan untuk memperkosa, tapi untuk tugas-tugas kemanusiaan. Ajahmu datang bukan untuk berperang, tapi untuk menjembuhkan mereka jang sakit dan butuh pertolongan!”
“Oh,Ibu. Aku bangga kepadanja. Aku bangga pada ajahku,” anakku memelukku amat erat. Ajahanda shujito Matshura, Shujito Matshura! Berkali-kali ia menjebut nama ajahnja
Airmata tidak lagi membasahi pipinja. Aku bahagia sekali ketika ia menatapku dengan tersenjum. Ia memandang potret ajahnja di dinding rumah bukan memanggul senapan laras pandjang,tetapi menggenggam stetescope di tangannja.
***
Kenanganku mendjalar bertahun-tahun jang silam , di tahun 1942 ketika serdadu Nipon mendarat di negeri ini untuk mendjadjah. Mereka datang dengan bajonet terhunus untuk membunuh rakjat negeri ini. Tapi di antara sekian ribu serdadu Djepang jang amat kedjam itu, terdapat seorang serdadu tanpa senapan, tanpa membawa bajonet. Serdadu tanpa senjata itulah jang akhirnja kukenal sebagai dokter Shujito Matshura.
Serdadu tanpa bajonet itu tidak berwadjah bengis seperti umumnja serdadu Djepang . Memang matanja sipit,tapi di matanja tampak sinar kemanusiaan dan kasih sajang. Sinar matanja memantjarkan djiwanja jang tulus,putih dan bersih,seperti kapas. Sebagai seorang dokter lulusan Belanda, dokter itu memahami bahasa Belanda dan akupun mengerti bahasa itu meskipun secara pasif,sehingga komunikasi berlangsung tanpa kesulitan. Apa susahnja bitjara tentang tjinta dan kasih sajang dalam bahsa Belanda?.
Semua penduduk negeri ini menganggap bahwa serdadu Djepang adalah manusia-manusia kedjam, bengis,djahanam dan haus darah. Tapi aku tidak menganggapnja seperti itu.
Aku merasakan kelembutan hatinja. Aku merasakan djiwanja yang seputih kapas. Aku djuga merasakan kehalusan budi pekertinja. Ia memahami sikap dan sifat orang Djawa. Ia djuga senang tjerita wajang. Ia senang dan kagum pada tokoh Ardjuna dan Srikandi serta djuga Batara Kresna. Ia amat bentji tokoh Durno.
Hampir semua bangsa ini menganggap bahwa tiga setengah tahun dalam pendjadjahan Djepang menjebabkan penduduk negeri ini amat menderita dan sengsara.
Tapi bagiku kedatangan Dr.Shujito Matshura bukan menjengsarakan bangsaku. Ia datang untuk tugas sutji dan kemanusiaan. Bahkan iapun rela memberikan darahnja bila ada serdadu atau penduduk pribumi tidak berdosa jang terluka.
Kalau akhirnja aku menikah dengannja bukan karena aku mentjintai kebangsaanja, bukan mentjintai bangsa Djepang, tapi karena ketulusan hatinja.
Akulah seorang perempuan jang paling dekat dengannja. Aku ikut hadir di rumah sakit dan membersihkan luka-luka para serdadu jang tertembak. Siapapun orangnja, Indonesia atau Djepang, jang terluka pasti diberi pertolongan. Pakaianku sudah terbiasa dipertjiki darah para serdadu Djepang atau pedjuang kemerdekaan Indonesia.
Akulah jang mengajarnja berbahasa Indonesia dan bahasa Djawa meskipun hanja pada sebatas bukan kromo inggil. Akulah jang mengadjarkanja tentang pola hidup Indonesia. Akulah jang menjediakan sajur gudeg jang paling disukainja. Akulah jang membuatnja kerasan hidup di negeri ini dan mulai mentjintai negeri ini. Ia kepingin nonton wajang kulit. Ia ingin nonton ronggeng Djawa. Akulah jang mengajarnja mengenal almanak Djawa dan memahami hari-hari orang Djawa seperti Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi. Aku bangga ia senang pada kesenian kuda lumping, ketoprak , ludruk dan karawitan.
Aku hahagia di sisinya. Aku bahagia mendjadi isterinja. Aku menikmati hari-hari jang amat manis dan penuh kebahagiaan disisinja. Hingga lahirlah anakku jang diberinja nama Itshuko dan aku memberinya nama Safini Azizah. . Ia tidak marah ketika kutakan kepadanja, anak jang kulahirkan akan mendjadi muslimah sedjati jang taat kepada agamanja. Ia tidak marah ketika kukatakan kepadanja, suatu saat kalau ada kemurahan rezeki pergi menunaikan rukun Islam jang kelima, pergi ke Makkah.
***
KEBAHAGIAAN itu tidak selamanja mendjadi milikku.Kebahagaan itu harus segera berachir, seperti berachirnya pendjadjahan oleh bangsa Djepang atas negeri ini. Ia harus pulang kenegerinja, Djepang. Dr.Shujito Matshura harus kembali ke negeri lehuhurnja setelah Hiroshima dan Nagasaki dibumi hanguskan oleh tentara sekutu. Bom atom itu mengachiri pendudukan Djepang di mana-mana. Tidak sadja pendudukan tentera Nipon jang harus berachir, tapi djuga rumah tangga dan kebahagiaanku bersamanja.
Demi tjintaku jang amat tulus kepadanja, aku ingin ikut pulang kenegeri leluhurnja di Osaka, Djepang.
“Aku juga ingin membawamu pulang ke Djepang bersama Itshuko, tapi keadaan belum memungkinkan!,” katanja menolak hasratku dengan amat halus.
Aku dan anakku menangis tersedu.
“Aku ingin membawamu ke Djepang, tapi aku berangkat dengan kapal perang dan tidak boleh ada perempuan disana!. Kamu tidak akan sampai hati melihat serdadu Djepang melakukan harakiri diatas kapal itu,” budjuknja dan memberiku tjiuman penuh kasih sajang.
“Aku merasa kehilangan segalanja, Hidupku tidak berarti lagi tanpa dirimu di sini,”, kataku
“Aku berdjandji untuk mendjeputmu setelah suasana benar-benar aman nanti. Aku djuga sangat mentjintaimu dan anak kita.Bersabarlah!”
Perpisahan itupun harus terdjadi. Seorang serdadu Nipon tanpa senjata, seorang serdadu Djepang tanpa bajonet itu akhirnya kurelakan kepergiannja untuk pulang kenegerinja. Berhari-hari setelah kepergiannya, aku dan anakku selalu menangis. Airmata kami seperti tidak pernah kering.
Ia sudah kembali kenegeri leluhurnja di Osaka, Djepang. Aku dan anakku sudah kehilangan dirinja, Jang ada dalam hatiku hanja kesedihan dan kerinduan jang tidak pernah ada achirnja
Akupun tidak harus mengachiri pengabdianku kepada sesama manusia. Seperti halnja, pengabdiannja untuk kemanusiaan sebagai seorang dokter, aku bekerja di Palang Merah Indonesia. Pendjadjahan Djepang memang sudah berakhir. Proklamasi memang sudah dikumandangkan ke seluruh pendjuru dunia, tapi pertumpahan darah belumlah berachir Korban-korban terus berdjatuhan.
Darah masih terus tertumpah dinegeri tertjinta ini. Peluru masih sering meletus dimana-mana. Pendjadjah masih terus mengintjer negeri ini untuk tetap didjadjah dan diduduki, apalagi jang namanya sekutu tetap menghendaki Indonesia tidak usah merdeka. Mereka ingin mengeruk kekajaan alam negeriku.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun aku menanti kedatangan Dr.Shujito Matshura untuk mendjemputku. Tapi ia tidak kundjung datang hingga achirnya aku menikah dengan Djefri. Hingga lahirlah anak-anakku, Iskandar, Wulansari, Ainun dan Ratna. Sebagai seorang muslimah, kelahiran anak-anak itu disambut dengan alunan azan untuk anak lelaki dan Iqomah untuk anak perempuan. Juga dilaksanakan pemotongan aqiqah dua ekor kambing untuk anak lelaki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Aku ingin anak-anak itu semua menjadi muslim jang selalu istiqomah dan taat pada agamanja. Akulah jang mengajarnja membatja Al Qur’an.
Anakku jang berdarah Djepang tumbuh dan besar atas asuhanku seorang diri karena ajahnja sudah kembali ke negeri leluhurnja. Selalu kukatakan kepadanja, bahwa Safini Azizah adalah anak Indonesia. Aku lebih sering memanggilnja Zizah. Selalu kukatakan kepadanja bahwa ia seorang muslimah. Kepada siapapun selalu kukatakan kepadanja, ajahnja bernama Djefri, seorang pedagang meubel dari Tjiandjur
“Dalam dirimu memang mengalir darah Djepang,anakku. Tapi kau dilahirkan di negeri ini dan ibumu adalah orang Indonesia. Kau adalah puteri Indonesia.,” aku selalu berkata begitu kepadanja setip saat.
“Ajahku masih hidup di Djepang,Bu?,”, ia bertanja pada suatu malam. Ia menatapku amat dalam. Tatapan matanja penuh harap.
“Tante Linda jang baru kembali dari Djepang dan melatjak keberadaannja, mendapat informasi, bahwa ajahmu masih hidup dan sudah pensiun. Ia tinggal di pinggiran kota menikmati hari tuanja jang damai.”
“Tidak pernah terpikir oleh ibu, bahwa suatu saat akan mempertemukan aku dengan ajahku?”
“Tentu sadja hal itulah jang selalu terpikir di benak ibu. Tapi kita tidak punja uang. Kita tidak berdaja. Ibu hanja mampu berdoa, semoga suatu saat Tuhan mempertemukan kau dengan ajahmu,anakku.”
“Kita bisa menabung. “
“Hanja kasih sajang dan kebesaran Tuhan sajalah jang kita harapkan,anakku.”
“Aku juga berusaha berhemat dan menabung.”
Keinginan untuk bertemu dengan ajahnja dari hari ke se hari semakin besar dalam diri anakku. Aku merasa tidak berdaja. Aku terkadang merasa ada tjairan bening jang mengalir di pipiku dan karena ada rasa sedih jang amat dalam di hatiku. Betapa besar kerinduan anakku pada ajahnja. Seorang ajah jang sangat ia banggakan, jang sangat ia muliakan karena pengabdiannja untuk sesama manusia sebagai seorang dokter.
“Sudah berapa tabungan kita,Bu?,” anakku selalu bertanja meskipun dalam kebisuan malam.
“Belum tjukup, anakku. Sabarlah hingga tahun depan!”
Ia mengatakan, di malam jang dingin dan sepi, di malam jang senjap dan beku, ia selalu berbisik kepada angin lalu tentang kerinduan kepada sang ajah.Aku makin terharu. Kesedihan selalu bermuara di dasar hatiku. Kapan anakku bisa menemui ajahandanja di negeri sakura itu?. Kapan Tuhan akan mempertemukan mereka?.
Pada saat kesedihan semakin membesar di rongga dadaku, tiba-tiba Tante Lidya muncul.
“Aku ingin mengadjakmu ke Osaka,Zizah!,” tjetusnja kepada anakku.
“Tapi ibu dan saja tidak punja uang! Tabungan kami masih djauh dari cukup!”
“Tante baru saja mendjual tanah di kawasan Puntjak. Harganja lumajan tinggi. Tante bermaksud ke Djepang untuk mentjari universitas jang bagus untuk anak tante. Tante ingin mengadjakmu.”
“Terima kasih Tante. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan tante!”.
Anakku memeluk adik Almarhumah ibuku jang memiliki usaha batik di Pekalongan dan memiliki beberapa villa di kawasan Tjisarua, Puntjak Djawa Barat.
“Ingat,Azizah!. Di depan ajahmu kau harus menjebut namamu adalah Itshuko. Itulah nama pemberiannja.”
Anakku hanja tersenjum. Betapa ia terlihat amat tjantik ketika akan berangkat dengan pesawat JAL. Ia mengenakan jilbab dan mengenakan busana muslimah. Tidak hanja pakaian sehari-hari jang dibawanja, tapi juga seuntai tasbih pemberianku jang selalu ada di djarinja. Aku merasa bangga telah melahirkan seorang anak secantik Safini Azizah jang pada saat lahirnja bernama Itshuko Matshura.
Aku merasa kesunjian setelah kepergian anakku ke negeri Sakura. Siang dan malam, terutama seusai solat lima waktu, pasti doaku amat panjang. Semoga anakku bertemu dengan ajahandanja. Semoga ajahnja tidak menjia-njiakan kedatangannja. Semoga ia mendapat bimbingan di sana. Semoga ajahnja menerimanja dengan baik dan tetap sajang kepadanja. Semoga anakku mendapat kemudahan dan Rahmat Allah di negeri Sakura jang sangat djauh dari tanah air.
***
SEMINGGU setelah kepergiannja, kuterima sebuah surat dari Djepang. Berdebar keras djantungku ketika buru-buru aku membuka surat dari anakku. Alhamdulillah, aku amat bersjukur ketika dalam surat itu ia mengatakan sudah bertemu dengan ajahandanja. Ia disambut dengan baik oleh sang ajah jang kini tampak sudah amat tua dan renta. Ia tetap diterima sebagai anak kandung. Safini juga mengatakan, bahwa sang ajah sangat sajang dan menerimanja dengan baik. Sang ajah bangga dan bahagia dapat bertemu dengan seorang puteri jang sudah bertahun-tahun ditinggalkan dan kini sudah mendjadi seorang gadis remadja jang tjantik dan sudah djadi mahasiswi Fakultas Sastra djurusan Bahasa Djepang .
“Ajah sangat bangga karena kehadiranku,Ibu!,” tulis Safini dalam suratnja.
“Apalagi aku bisa berbahasa Djepang dan pintar menari serimpi dan aku diminta menari di depan sanak keluarganja. Semua mengagumi diriku. Tepuk tangan sangat meriah ketika aku selesai menari dan akupun mendapat hadiah tjiuman dari para ibu-ibu Djepang.”
Aku tersenjum membatja surat itu.
“Orang-orang Djepang itu sangat berharap aku bisa menetap di Djepang agar dapat mengadjar anak-anak mereka menari serimpi dan main wajang orang.”, katanja lagi dalam surat itu.
“Ajah sendiri sangat mengadjurkan agar aku menetap di Djepang. Aku senang mendengar tawaran itu. Ajah juga berdjanji suatu saat akan mendjemput ibu dari Djawa. Bersiap-siaplah ibu untuk berangkat ke Djepang dan menetap di sini.”
Akupun tersenjum lagi membatja tulisan anakku. Tanganku gemetar ketika aku membatja tulisan anakku dalam surat berikutnja:
“Aku bersjukur bisa menjejakkan kaki di negeri sakura ini. Inilah negeri leluhur ajahku. Asap mengepul di mana-mana, karena negeri ini memang negeri industri. Rakjatnja kaja dan makmur, tidak seperti rakjat negeri kita jang sangat menderita akibat pendjadjahan selama ratusan tahun dan djuga karena salah urus dari para pemimpinnja. Osaka adalah kota industri sampai didjuluki sebagai “kota asap”.
Ibu, bolehkah aku menetap di negeri sakura ini?. Aku sangat senang kepada warganja jang ramah.”
“Boleh-boleh sadja,anakku!,” kataku dalam hati ketika membatja surat itu.
“Aku sering diadjak warga Djepang nonton teater.”, tulis anakku lagi dalam surat itu. “Aku senang sekali ketika diadjak ke pesta “Tsukimi” bersama keluarga Djepang. Pernahkah dulu ajah bertjerita tentang pesta tsukimi?. Pesta tsukimi adalah pesta memandang bulan. Pesta itu diadakan ketika bulan purnama sedang menerangi bumi. Orang Djepang menamakannja “Iugoya” atau “Meigetsu”. Pada malam itu setiap keluarga Djepang menjediakan medja ketjil dari kaju jang diletakkan di beranda rumah lalu keluarga berkumpul menjantap makanan sambil memandang bulan. Sungguh amat menjenangkan dan membahagiakan. Andainja ibu ada di sini, berkumpul dengan ajah, betapa bahagianja kita.
Ibu, bolehkan aku menetap di Djepang?. Ibu tidak keberatan kalau aku tidak pulang ke Tanah air?.”
Ada rasa haru di hatiku ketika membatja surat itu.
“Terserah kepadamu, apakah kau ingin menatap di Djepang atau kembali ke Kampung halamamu di Djakarta, di tanah kelahiranmu”,kataku dalam hati.
Aku bersjukur ia sudah bertemu dengan ajahnja dan merasakan suasana damai, manis dan bahagia di sana.
***
HARI-hari berikutnja, surat-suratnja selalu datang dan semua berisi tentang kebahagiaannja selama bermukim di Djepang bersama ajahandanja jang semakin tua. Ia tetap berkata tentang niatnja untuk menetap di negeri sakura itu. Apalagi anakku selalu merawat ajahnja , memberinja minum teh, menjiapkan sarapan pagi dan makan bersama. Ajahnja sangat senang dengan masakan Djawa, seperti gudeg jang disiapkan anakku. Safini yang kuliah di Fakultas Sastra jurusan Bahasa Djepang membuatnja tidak mengalamsi kesulitan apapun di negeri itu.
Akupun harus bersiap-siap untuk kehilangan anakku jang tidak ingin kembali ke tanah air. Biarlah ia menetap di sana, bersama ajahnja. Biarlah ia berbahagia di negeri sakura itu. Aku hanja menunggu nasib, menetap di tanah air, atau menjusul puteriku ke negeri sakura itu.
Tiga bulan setelah kepergian Safini Azizah ke Osaka, ketika aku sedang duduk-duduk di teras rumah, ketika aku senang memandang kupu-kupu berwarna coklat bermain di kuntum-kuntum bunga dan anak burung geredja bermain di halaman, sebuah taksi berhenti di depan rumah.
Aku kaget setengah mati, ketika seorang penumpang jang turun mengenakan busana muslimah dan berjilbab. Penumpang taksi itu adalah Itshuko, puteriku jang selama ini menulis surat tentang kebahagiaannja dan keinginannja untuk menetap di Djepang, tapi kini tiba-tiba ia pulang tanpa kabar terlebih dulu. Apa jang terjadi?.
“Zizah,anakku. Kenapa tiba-tiba kau pulang?. Apa jang terdjadi atas dirimu?”, sambutku penuh rasa heran. Aku memeluknja amat erat.
“Ibu!. Aku merasa lebih berbahagia di sisi ibu. Aku kembali ke pangkuan ibu,” tjetusnja dan tangisnja berderai-derai.
“Kenapa,anakku? Apa jang terjadi atas dirimu?. Kau mendapat perlakuan jang tidak menjenangkan dari ajahmu?. Kau tidak kerasan di Djepang?.”, tanjaku dan memeluknja erat sekali.
“Aku betah di sana. Aku bahagia di negeri itu. Tapi ajah dan saudara dan kerabat mereka ingin mendjodohkan aku dengan seorang lelaki Djepang,” tjetusnja dengan derai air mata.
“Apa salahnja kalau memang lelaki itu baik?.” sahutku.
“Lelaki itu memang baik dan gagah seperti ajah. Tapi dia seorang penganut Shinto jang sangat fanatik. Keluarga itu memaksa aku harus beralih akidah. Mereka memaksa agar aku tidak usah lagi menganut Islam, tidak usah lagi menjadi seorang muslimah, tapi menjadi seorang penganut Shinto.”
“Lalu kamu menolak?”
“Ja!. Aku merasa lebih berbahagia sebagai seorang muslimah!”
Ia rebah di dadaku,. Dan aku memeluknja amat erat. Seuntai tasbih jang dibawanja dari Djakarta dulu , masih ada di tangannja. ***
Majalah Selecta Jakarta, No.535 Thn ke XIII 20 Desember 1971
(Disalin dengan ejaan lama sesuai aslinya)
2. B E O
MENGANCINGKAN baju saja Pak Tua itu tidak mampu lagi melakukannya. Juga mengupas pisang atau jeruk manis harus meminta bantuan orang lain, terutama isterinya yang selalu berada di sisinya sejak Pak Tua itu terbangun dari tidurnya hingga siang dan malam, hingga Pak Tua itu memejamkan mata lagi. Di hari tuanya ia harus menggantungkan hidupnya pada orang lain. Ke kamar mandi harus memanggil isterinya dan bila sang isteri terlambat memapahnya, ia pasti akan terkencing di atas kursi roda yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Meskipun usia belum genap enam puluh, Pak Tua itu kini hanya mampu menghabiskan sisa-sisa umurnya di atas kursi roda dan yang dapat dilakukannya hanya mendengar suara burung beo yang tiap hari diajarnya berbicara seperti manusia sejak ia belum mengalami penyakit pembuluh darah yang menyebabkan kaki dan tangan kanannya lumpuh total. Masih syukur kaki dan tangan kirinya masih mampu ia gerakkan meskipun yang dilakukannya hanya untuk mengangkat gelas atau mengusap senapan, sebuah benda yang paling ia sayangi, yang sudah banyak membunuh amat banyak burung, musang dan binatang buruan lainnya.
Sekarangpun ia hanya mampu mengusap senapan itu dengan tangan kiri .Iapun masih ingin menembakkan senapan itu, tapi tidak mampu mengisi pelurunya. Itulah yang tidak dapat dilakukan isterinya.
“Bapak masih sakit, kalau bapak menggunakan senapan itu, pasti arahnya melenceng.Bagaimana kalau yang menjadi sasaran adalah si Ucok yang tiap pagi mengantar koran kita?. Bagimana kalau yang tertembak adalah Suster Ratna yang tiap hari datang kerumah kita untuk memberikan terapi kepada bapak?,” itulah kata-kata yang diucapkan isterinya yang selalu sabar di sisinya.
Pak Tua yang masih mengelus senapan itu menghela nafas panjang. Ia amat kecewa. Burung beo peliharaannya di teras rumah itu terus berbicara,mengucapkan kata-kata selamat pagi,mengucapkan kata-kata bangkitlah Indonesia atau menirukan sebuah lagu kesayangan Pak Tua itu Home sweet Home.
“Panggil Wisnu kemari,Bu!,” Pak Tua itu menyebut salah seorang puteranya yang selalu mengajaknya jalan-jalan atau mengajaknya mandi di pemandian air hangat.
“Wisnu sedang bertugas di Lampung. Lagi pula Wisnu baru datang tiga hari yang lalu. Yang sudah lama tidak datang kemari adalah Bambang, Yoga dan Ningrum,” sang isteri menyebut nama-nama anak mereka.
“Panggil mereka kemari, sudah lama aku tidak menikmati lobster dan kepiting. Sudah lama yang kunikmati hanya nasi dan sayur melulu dan tanpa garam,” keluh Pak Tua itu dan memperhatikan lengannya yang semakin kurus sejak stroke dideritanya.
“Astaga!,” sahut sang isteri. “Bapak lupa,bahwa bapak lumpuh karena stroke. Bapak dilarang dokter makan udang, kepiting, sop buntut, soto jeroan, bahkan garam juga harus dikurangi. Kalau bapak melanggar larangan itu, bapak lekas masuk liang kubur!”
Pak Tua itu menghela nafas panjang, hatinya amat sedih. Banyak makanan yang dulu merupakan kegemarannya, sekarang justeru diharamkan. Tapi kata-kata tentang kematian amat menakutkan Pak Tua itu yang kini hanya mampu duduk di atas kursi roda. Pak Tua itu merasa seakan ingin hidup seribu tahun lagi.
“Rasanya aku tidak sabar untuk pergi ke hutan lagi,” terdengar lagi suara Pak Tua itu kepada isterinya.
“Untuk apa?” sang isteri menatap suaminya dengan sikap iba.
“Tentu saja untuk berburu lagi.Biasanya tidak satupun peluru yang terbuang percuma.Aku adalah pemburu ulung di negeri ini.Tapi sayang, penyakit keparat ini mengurung diriku di rumah!”
Pak Tua itu amat menyesali stroke yang datangnya tiba-tiba tanpa kulonuwun, yang menyebabkan ia jadi penghuni rumah sakit selama dua bulan,lalu setelah diizinkan pulang harus rela hanya duduk di kursi roda dan sepanjang hari hanya mendengar suara burung beo kesayangannya. Juga nyanyian kacer, cucak rawa dan tekukur. Suara kicau burung itu terdengar jauh lebih merdu ketimbang nyanyian para artis cantik yang selalu tampil di layar kaca.
“Bapak boleh berburu setelah bapak benar-benar sembuh,setelah dapat berdiri sendiri, setelah berjalan tanpa kursi roda dan setelah dapat memasukkan sendiri peluru ke dalam senapan.” ujar sang isteri dengan sabar.
“Alangkah lamanya penyakit ini menempel pada diriku. Aku bosan dengan keadaan seperti ini. Aku bosan dengan kursi roda ini. Aku bosan duduk di sini sepanjang hari.” Pak Tua itu mengepalkan tinju kirinya dan memukul lengan kursi tempat duduknya karena amat kesal.
“Jadi bapak juga bosan dengan diriku?,” sahut sang isteri melototkan mata. “Bapak juga bosan dengan isterimu?”
Pak Tua tiu tidak segera menyahut.
“Kalau bapak bosan dengan isterimu, biarlah aku pergi. Burung-burung itu akan mati karena tidak ada lagi yang memberinya makan dan minum.Dan bapak juga akan mati karena tidak ada lagi yang memberikan obat serta menyuapkan nasi. Atau bapak akan jatuh di kamar mandi dan menemui kematian dengan keadaan mengenaskan.”
Kata-kata tentang kematian memang paling amat menakutkan bagi Pak Tua itu. Ia ingin cepat sembuh. Ia ingin cepat pergi berburu ke hutan lagi, iapun ingin makan enak, ingin hidup lama, seribu tahun lagi tanpa peduli apakah hidupnya akan bermanfaat bagi orang lain atau menjadi beban keluarganya. Sekarang betapa ia amat merindukan nikmatnya soto jeroan dan kari kambing.
“Aku belum ingin mati. Aku masih ingin hidup. Nafasku masih utuh. Suaraku masih sempurna. Hanya kaki dan tangan kananku yang tidak berdaya. Akupun belum ingin meninggalkanmu.”
Pak Tua itu memandang isterinya dan tersenyum kepadanya.
“Aku memang belum ingin mati sekarang. Tapi andainya Tuhan mencabut nyawaku, aku sudah meninggalkan pesan kepada Wisnu,anakku,” terdengar suara Pak Tua itu parau. Senapan pemburu masih terletak di tangan kirinya. Ia menyebut nama putera bungsunya.
“Bapak bicara apa dengan Wisnu?,” sang isteri menatapnya dalam-dalam.
“Andainya hidupku harus berakhir, beo kesayangan itu harus dipelihara olehnya. Aku melihat prilakunya yang santun, aku melihat tutur sapanya yang lembut dan aku melihat pada sinar matanya yang bening dan ada rasa cinta dan sayang kepada semua binatang.”
“Tapi Bambang juga senang memelihara burung seperti bapak.Yoga juga begitu. Bahkan beo miliknya sekarang sudah pintar bicara.”
“Aku melihat Wisnu memiliki kelebihan sendiri. Sikapnya yang lembut membuat aku lebih sayang kepadanya. Bukankah hanya Wisnu yang selalu membawaku mandi air panas setelah aku lumpuh?. Bukankah hanya Wisnu yang selalu datang hari minggu pagi dan mengajakku berolah raga?.Aku ingin Wisnu juga mengajakku ke hutan, biarlah tidak usah berburu, biar aku hanya mendengar kicau burung di sana. Biarlah aku cuma memandang pohon-pohon yang tegar dan hijau.Biarlah yang berburu adalah Wisnu.”
“Mudah-mudahan Wisnu dapat memenuhi keinginan bapak nanti. Wisnu memang selalu mengerti keiniginan bapak,” sang isteri memuji si bungsu.
“Wisnu memang seorang anak yang baik dan nasibnya juga leih baik, lebih mapan dari abang-abangnya.”
Pak Tua itu memandang ke arah pohon mangga yang meneduhi halaman rumah yang terletak di pojok jalan itu. Sepasang burung sedang berkiau di ranting pohon itu.
***
Meskipun tetap duduk di kusi roda tanpa daya, tetap saja Pak Tua itu tampak seperti seorang pemburu yang andal, tetap mengenakan sepatu laras, bertopi lebar dan senapan di tangan kiri ketika Wisnu mengajaknya ke pinggir hutan. Suara burung bersahut-sahutan terdengar dari arah hutan dan angin berhembus sepoi. Udara di pinggir hutan itu benar-benar nyaman dan suasananya hijau.
Tatapan mata Pak Tua itu masih tetap jeli dan mampu melihat seekor burung berparuh panjang, berbulu lebat di ranting pohon yang tinggi.. Ia mendekati burung itu bersama kursi rodanya.
“Tembak burung itu,,Wisnu!,” ,Pak Tua itu memberi perintah penuh semangat dan menyerahkan senapan di tangannya kepada putera bungsunya. “Kau pasti penembak jitu seperti bapakmu!”
Senapan yang sudah banyak membunuh burung-burung ketika Pak Tua itu masih segar bugar sudah di tangan puteranya, tapi lelaki muda itu tidak segera memasukkan peluru ke dalam senapannya. Wisnu hanya memandang burung berparuh panjang dan berbulu lebat di ranting pohon besar.
“Ayo isi senapan itu, anakku.! Ayo tembak burung itu!,” Pak Tua itu memberi perintah lagi, lebih bersemangat. Tapi anak muda itu tetap saja tidak mengisi senapan itu dengan peluru.
Bekali-kali sang bapak memberi aba-aba untuk menembak burung berparuh panjang itu ,tetapi tetap saja sang anak lelaki itu tidak menembaknya. Sampai akhirnya burung itu terbang dan anak muda iu mengembalikan senapan itu kepada Pak Tua.
“Kenapa kau membiarkan kesempatan emas ini hilang, anakku?. Justru bapak ingin melihat bakatmu menjadi seorang pemburu ulung apakah seperti bapak!”
“Tidak!. Aku tidak akan membunuh mahluk hidup meskipun terhadap seekor burung,” sahut sang anak dengan polos dan kata-kata itu memang lahir dari dalam dasar hatinya. Pak Tua itu amat kecewa.
“Baiklah,anakku. Meskipun kau tidak berbakat menjadi seorang pemburu, tapi setelah akhirnya bapak meninggal nanti, bapak memberimu amanah, kaulah yang harus memelihara beo dan burung-burung kesayangan bapak.” ujar Pak Tua itu ketika mereka berjalan pulang meninggalkan kawasan hutan.
Lelaki tua itu amat kecewa. Perjalanannya ke pinggir hutan itu tidak seindah seperti yang ia bayangkan. Lelaki tua itu tampak sangat murung dan sedih. Seorang anak yang amat ia banggakan ternyata tidaklah memiliki darah pemburu andalan. Ia seorang pengecut. Wisnu adalah anak yang lemah. Tidak percaya diri. Bahkan loyo,pikir Pak Tua itu. Kamu seperti banci,anakku!.
“Beo itu sudah dapat mengucapkan banyak kata-kaa. Banyak orang yang tergiur untuk memilikinya dan ingin membelinya. Yang menawar tiga juta juga ada, tapi bapak tidak tergiur oleh uang.”
“Setelah di tanganku nanti,meskipun ada yang berminat sepuluh juta, aku tidak akan menjualnya.” sahut sang putera yang selalu mengajak Pak Tua itu ke pinggir hutan. “Aku akan mengajarnya untuk nyanyi Romo ono maling dan lagu Jawa lainnya.”
“Nah seperti itulah yang bapak harapkan darimu. Karena itulah aku memberi amanah beo itu harus jatuh ke tanganmu, bukan di tangan abang-abangmu.”
Lelaki muda yang baru menikah dengan seorang gadis dari suku Melayu kelahiran Sumatera itu tersenyum.
***
Takdir Tuhan telah terjadi atas diri seorang umat-Nya. Seorang lelak tua yang selama hidupnya menjadi seorang pemburu andal dan ulung harus meninggalkan senapan dan burung-burung kesayangannya. Di saat-saat nyawanya berada di ujung tenggorokan, ucapan yang terakhir terdengar bukanlah zikir,bukan tasbih, tapi sebuah pesan untuk seorang anak yang amat dibanggakannya.
“Ingat,Wisnu. Sayangilah beo itu seperti kau menyayangi anakmu. Rawat beo itu baik-baik dan kau harus memberinya makan dan minum tepat waktu. Bapak akan sengsara di kubur kalau beo itu tersia-sia di tanganmu.”
Lelaki muda di depannya mengangguk lirih. Pak Tua itu menghembuskan nafas terakhir di depan anak-anaknya. Bambang, Yoga, Ningrum dan si bungsu, Wisnu. Senapan dan pelurunya , serta semua burung-burung kesayangan lelaki tua itu segera diboyong keluar dari rumah di pojok jalan sesuai dengan amanat almarhum.
Dan esok hari, setelah jenazah Pak Tua itu dikuburkan, pagi-pagi benar, setelah azan terdengar dari puncak menara masjid, setelah orang-orang melaksanakan sholat subuh, burung beo dan burung-burung lainnya dibawa ke pinggir hutan oleh Si Bungsu. Seorang anak bungsu kebanggaan sang bapak dan telah menikah dengan seorang perempuan Melayu, membawa burung-burung itu bukan untuk dijual, bukan untuk diserahkan kepada orang lain. Si bungsu membawa burung-burung itu ke pinggir hutan untuk dilepas ke habitatnya semula, di hutan belantara.
Bila si bungsu melepas burung-burung itu ke alam bebas karena kehendak isterinya yang berdarah Melayu dan tidak menghendaki ada mahluk hidup yang terkekang kebebasannya meskipun sangkarnya terbuat dari emas.
Dada lelaki muda itu, yang tidak berbakat menjadi pemburu ulung, merasa plong.
Ia bahagia meskipun tidak memiliki beo yang pintar berbicara seperti manusia. Ia lebih senang memelihara anggrek atau bunga hias lainnya ketimbang binatang seperti burung-burung itu. Kasihan unggas-unggas itu, kalau terkekang kebebasannya.***
Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta, Minggu Pon 12 Nopember 2006
3.ANGKARA MURKA
SUDAH tiga kali jamuan laut itu dilaksanakan. Seluruh biaya tidak dikutip dari masyarakat. Semua perlengkapan upacara di pinggir laut yang menghadap ke Selat Malaka itu ditanggung oleh Haji Toyib yang sudah bertahun-tahun tidak lagi melaut, bertahun-tahun tidak lagi mengayuh sampan, tidak pernah lagi menebar jala. Haji Toyib tidak pernah lagi merasakan angin laut yang amat dingin ketika puluhan sampan-sampan milik nelayan menuju ke tengah laut untuk menangkap ikan dan pulang esok sore. Haji Toyib tidak pernah lagi merasakan teriknya matahari di tengah laut. Sudah lama Haji Toyib tidak merasakan hempasan ombak atau terpaan badai kencang di tengah samudera.
Haji Toyib bukan lagi seorang nelayan,. Ia sudah menjadi pemilik tambak yang terletak di lahan hampir lima hektar tidak jauh dari pantai. Kini ia terbilang seorang warga desa pantai yang paling kaya di desa yang penduduknya sebagian besar adalah nelayan. Tambak miliknya tidak kurang dari sepuluh persil dan semuanya menghasilkan uang jutaan rupiah. Siapa pemilik mobil pick up yang baru keluar dari toko itu kalau bukan Haji Toyib?. Siapa umat yang sudah tiga kali menginjakkan kakinya di tanah suci kalau bukan juragan Haji Toyib yang berjenggot putih itu?. Hartanya melimpah sekarang, padahal anaknya cuma satu orang, Cuma seorang gadis cantik bernama Zainab yang baru saja mnyelesaikan pendidikannya di tingkat Qismul Ali dan sebentar lagi akan menikah dengan lelaki anak seorang juargan kain dari kota.
Seekor kambing hitam sudah ditambatkan untuk dikorbankan sebagai sasajen pada acara jamuan laut yang sesaat lagi akan dimulai. Semua bahan-bahan untuk jamuan laut itu juga sudah disediakan oleh Pak Haji, seperti beras putih, beras kuning, bertih yang tidak ditampi, bunga rampai satu talam, limau purut,limau pagar serta rincian tepung tawar. Sebatang nibung juga sudah tersedia serta setalam kue juga sudah ada. Tidak ketinggalan kain lima warna untuk bendera-bendara adat.
Jamuan laut itu sudah semakin sering dilaksanakan bukan saja karena tangkapan ikan para nelayan sudah jauh berkurang, tapi juga karena bencana sudah sering terjadi di desa nelayan di pinggiran Selat Malaka itu. Warga nelayan sudah sering diterpa bala, seperti angin puting beliung, penyakit menular, badai dan bahkan tsunami yang banyak meminta nyawa dan harta benda.
Upacara jauman laut itu berlangsung amat meriah, dihadiri oleh seluruh nelayan dan keluarganya dan juga pemuka masyarakat, Pak Camat, Kepala Desa,Pengetua Adat dan Alim Ulama. Kambing jantan dan kue-kue serta bunga rampai dan rincisan tepung tawar sudah dijadikan sesajen untuk para penguasa laut agar tidak lagi murka kepada para nelayan dan warga desa itu, serta permohonan agar melimpahkan ikan-ikan kepada para nelayan yang selalu bermandi peluh.
Haji Toyibpun naik ke mimbar dan membaca mantera:
“Assalamu ‘alaikum
Aku kirim salam kepada jin laut
Aku tahu asalmu
Mau keluar dari air ketubang
Bukan aku melepas bala mustaka
Sang Kaka sang Kipat melepas
Bala mustaka
Bukan aku melepas bala mustaka
Jin Taru melepas bala mustaka
Jin yang tua melepas bala mustaka
Usai membaca mantera, Haji Toyibpun berpidato dan mengungkap mengapa jamuan laut semakin sering dilaksanakan di desa pantai itu. Lelaki berjanggut putih itupun menyempatkan diri untuk mengutarakan rencana tentang pernikahan puteri tunggalmya yang bernama Zainab.
“Saya mengundang seluruh peserta jamuan laut ini untuk hadir di pesta perkawinan puteri saya pada hari jum’at mendatang,” ujarnya sesungguh hati.
“Insya Allah!,” sahut hadirin serentak. Semua menyambut gembira undangan itu. Semua ikut berbahagia atas perkawinan puteri tunggal Haji Toyib yang kaya itu. Puteri juragan kaya itu akan menikah dengan juragan kain dari kota, sungguh jodoh yang amat pantas. Juragan berbesan dengan juragan.
Pesta perkawinan itu pasti akan berlangsung amat meriah. Kesenian Makyong dan Manora pasti akan ditampilkan. Juga tidak ketinggalan tari-tarian seperti Serampang Dua Belas. Juga pantun-pantun Melayu akan terdengar bersahut-sahutan membuat hadirin akan terlena. Juga lagu-lagu Melayu seperti Tanjung Katung dan Kuala Deli akan dilantunkan orang. Pencak silat juga tidak ketinggalan hadir diperhelatan akbar itu.
Hanya seorang lelaki muda yang tampak cemberut dan murung mendengar pidato serta undangan sang juragan ikan. Apalagi tentang rencana perkawinan Zainab dengan lelaki dari kota. Lelaki muda berkulit hitam legam itu adalah Si Kolok yang sudah lama selalu bertemu dan selalu merindukan puteri Haji Toyib.
“Ini tidak boleh terjadi!,” cetus lelaki muda itu mengepalkan tindju dan darahnya gemuruh. Ia meninju batang kelapa yang tumbuh di pantai itu. “Zainab tidak boleh menikah dngan pemuda dari kota. Perkawinan itu harus dibatalkan!.”
“Kau mampu membatalkan rencana perkawinan itu?,” sahut seorang sahabat kentalnya sesama nelayan muda bernama Alang.
“Kenapa tidak? Aku akan membereskannya dalam sesaat!,” terdengar lagi suara Si Kolok penuh kesombongan.
“Apa yangakan kau lakukan?”
“Lihat saja nanti. Tunggu saja tanggal mainnya. Setelah perkawiwan itu batal, lalu aku akan membawa Zainab lari!” ujar Si Kolok lagi penuh nada arogan.
“Kau yakin akan berhasil?. Haji Toyib punya banyak pengawal!”
“Jangan panggil aku Si Kolok sebagai anak nelayan kalau usaha ini gagal. Lemparkan aku ke laut kalau tidak berhasil!,” lagi-lagi nada suara Si Kolok penuh kesombongan.
Si Kolok memang sudah amat lama memendam rasa cinta terhadap puteri Haji Toyib yang memang cantik itu. Si Kolok seperti tidak pernah puas memandang wajah Zainab yang bundar telur dan bila tertawa ada lesung pipit di pipinya yang mulus. Rasa lelah dari melaut sepanjang malam seperti hilang seketika bila melihat Zainab hadir di Terminal Pelelangan Ikan,apalagi gadis cantik itu sengaja mampir di perahunya dan menawar sejumlah ikan hasil tangkapannya yang masih segar.
“Untukmu pasti kuberikan harga yang paling murah, Dinda Zainab,” ujar Si Kolok dan hatinya berbunga-bunga.
“Jangan seperti itu Bang Kolok!,” gadis cantik itu tersipu.
“Rasanya tidak usah Dik Zainab bayar dengan uang. Hanya dengan seulas senyum hati abang sudah sangat senang dan terbawa dalam mimpi.”
“Akh,Abang ada-ada saja!”
“Benar!. Abang selalu merindukan seyummu.”
Gadis itu hanya tersipu dan pipinya kemerahan. Hampir tiap sore puteri Haji Toyib itu hadir di Terminal Pelelangan Ikan dan mampir di perahu Si Kolok. Hati lelaki muda itu seperti dinginnya salju setiap bertemu Zainab, apalagi gadis itu tersenyum kepadanya. Bahkan terkadang gadis itu duduk di perahu, tidak perduli bau amis dan mereka ngobrol.
Tapi sudah lebih lima minggu Zainab tidak hadir di perahunya. Sudah lebih sebulan Zainab tidak pernah menyapanya. Sudah lebih lima minggu gadis itu tidak pernah muncul lagi. Selama itu ada kerinduan di hati Si Kolok. Ia tidak pernah lagi merasakan kesejukan di hatinya. Gadis itu kini dipingit orang tuanya karena akan segera menikah dengan putera juragan kain.
Kini, setelah Si Kolok mendengar rencana perkawinan Zainab, tidak pernah lagi ia rasakan kesejukan, justru seperti ada bara api yang amat panas di rongga dadanya.
“Temani aku ke warung Ompung Simajuntak!,” ajar Si Kolok kepada sahabat kentalnya ,Si Alang.
“Untuk apa ke Warung Ompung Simanjutak,” tanya sahabat yang selalu setia
“Aku mau membeli racun tikus!”
“Seberapa banyakkah tikus di rumahmu? Tikus hampir tidak pernah ada di rumah-rumah nelayan. Bukankah elang selalu memangsa tikus-tikus di sini?. Yang banyak tikus hanya di kantor pemerintahan!”
“Bukan untuk membunuh tikus!”
“Lalu untuk apa racun tikus itu?”
“Aku tidak rela Zainab kawin dengan orang lain. Perkawinan itu harus dibatalkan. Ikan-ikan di tambak milik Haji Toyib harus dimusnahkan. Biar dia jatuh miskin. Biar melarat. Juga sapi yang sudah disediakan untuk pesta nanti.. Kalau perlu Haji Tyoib juga harus musnah dari muka bumi ini!”
“Astaga!. Kau tidak boleh melakukannya,Kolok!. Jangan lakukan hal-hal sekeji itu. Relakan Zainab kawin dengan orang lain. Lagi pula gadis cantik jelita masih ada yang lain. Dunia ini tidak sesempit daun kelor,Kolok. Cari yang lain!”
“Apa boleh buat. Aku terlalu mincintai Zainab dan tidak mungkin tergantikan orang lain. Hatiku sudah menjadi baja yang amat keras!”
Apapun yang dikatakan sahabatnya agar lelaki muda itu tidak melakukan hal-hal yang amat kejam, tapi ia tidak perduli lagi. Hatinya sudah menjadi lempengan baja yang amat keras. Ia sendiri rela mati demi gadis itu.
Dua anak muda yang selama ini selalu berada di tengah laut menantang ombak dan badai terlihat berjalan ke warung Ompung Simanjutak. Apapun yang dikatakn Si Alang, lelaki muda di sisinya tidak perduli lagi. Ia benar-benar bersumpah ,rela mati demi Zainab.
Cukup sepuluh bungkus racun tikus untuk memusnahkan ikan-ikan di tambak milik Haji Toyib, juga sapi yang kini ditambat tidak jauh dari tambak itu. Bahkan kalau perlu Haji Toyib juga akan disingkirkan dari muka bumi oleh lelaki muda itu.
***
GERIMIS sedang turun rintik-rintik di desa nelayan yang menghadap ke Selat Malaka itu dan para nelayan sedang mengayuh perahu mereka ke tengah laut untuk menangkap ikan. Udara dingin terasa menyusup hingga ke sumsum tulang. Fajar hampir terbit dan orang-orang berjalan kaki menuju masjid untuk menunaikan sholat subuh. Sebentar lagi azan subuh akan terdengar dilantunkan orang dari puncak menara masjid.
Puluhan nelayan tidak perduli dinginnya udara pagi itu. Tidak perduli angin pagi yang berhembus giris. Mereka terus mengayuh sampan hingga ke tengah laut.Si Alang juga tampak di atas perahunya. Yang tidak melaut hanya seorang anak muda, yakni Si Kolok yang saat itu hatinya sedang panas seperti bara api. Di rongga dadanya sedang berkecamuk angkara murka.
Anak muda itu tidak melaut bukan karena dinginnya udara pagi subuh, bukan karena gelombang besar, bukan karena angin kencang. Ia tidak ke laut karena di dadanya sedang diamuk dendam kesumat. Ia tidak melaut karena tidak tahan merasakan gemuruh darah muda di dadanya karena sesaat lagi ia akan kehilangan seorang gadis yang amat ia cintai. Ia tidak rela kekasihnya direnggut orang lain.
Dengan mengendap-endap lelaki muda yang dadanya sedang dibakar panasnya bara api, berjalan menyusuri tambak. Wajah dan kepalanya ditutupi sarung yang sudah usang biar tidak dikenali orang, agar tidak dikenali oleh Juragan Haji Toyib.
Tepat pada saat azan subuh terdengar dari puncak menara masjid, nelayan muda itu menaburkan racun tikus ke dalam tambak ikan. Sesaat kemudian ratusan dan ribuan ikan siap panen mengapung mati seketika karena rarcun tikus. Sepuluh persil tambak semua sudah ditaburi racun tikus. Semua ikan di tambak itu mati mendadak.
Hanya tinggal seekor sapi yang ditambatkan dekat tambak paling ujung. Api unggun untuk sapi itu masih menyala dan asapnya masih mengepul. Si Kolok mendekati kandang sapi itu. Tetapi ketika kakinya melangkah, seperti ada sesuatu yang menggigit kakinya. Amat sakit. Dan pedih.
Lelaki muda yang sedang dibakar dendam kesumat itu tidak menyadari kakinya memijak seekor ular berbisa, Tentu saja ular itu amat marah dan menggigit kaki lelaki muda itu. Sakit dan panas. Bisa ular itu amat cepat menjalar ke pembuluh darah, hingga ke jantung. Tapi lelaki muda itu dengan sisa racun tikus di tangan masih berusaha untuk terus melangkah. Langkahnya gontai karena dadanya perih, karena bisa ular sudah sampai ke jantungnya. Seluruh tubuhnya terasa amat sakit. Dan lemah.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai ke kandang sapi, nelayan muda yang hatinya sedang diamuk angkara murka itu tersungkur karena kehabisan tenaga. Bisa ular itu sudah menjalar hingga ke jantung dan menyusup ke setiap tetes darah lelaki muda itu.
Yang mati bukanlah sapi yang sesaat lagi akan dipotong untuk pesta. Yang menemui kematiannya bukanlah Haji Toyib, tapi lelaki muda itu, yang di rongga dadanya ada angkara murka. Bisa seekor ular berbisa telah menyebabkan kematiannya
Seputar Indonesia (Jakarta), Minggu 18 Maret 2007
4. DI SEBERANG GURUN PASIR
SUARA takbir terdengar sayup-sayup ketika lelaki muda itu menjejakkan kakinya di pelataran bandara Soekarno-Hatta. Sesaat lelaki muda itu memandang sekitar bandara yang masih seperti lima tahun lalu,ketika ia terbang jauh ke seberang gurun pasir. Tidak banyak perubahan yang terjadi selama lima tahun ia tinggalkan.
Hari ini aku menjejakkan kaki kembali di bumi tanah air. Hari ini , di malam takbir ini , aku pulang untuk bersujud di kaki ayah bundaku. Lelaki muda itu berkata-kata sendiri ketika melangkah keluar dari bandara. Langkahnya tegar, seperti tidak ada rasa lelah meskipun telah menempuh perjalanan yang teramat jauh, m,enyeberangi lautan, menyeberangi gunung, lembah, sungai dan gurun pasir.
Lelaki muda itu memang sengaja pulang tanpa memberi kabar lebih dulu. Dan ia merasa terpanggil untuk bersujud di depan ibu dan ayahnya tercinta. Juga memohon maaf. Biasanya tiap hari raya, ia selalu berkumpul di rumah besar yang menghadap ke timur, namun rumah besar di kawasan elite itu sudah lima tahun ia tinggalkan. Sudah lima kali malam takbir lelaki muda itu jauh dari rumah, jauh dari tanah air. Ia sengaja pergi ke seberang laut, ke seberang gurun pasir untuk menimba ilmu.
“Ingat,anakku. Masa depanmu harus cemerlang seperti kakak-kakakmu!. Hari esokmu harus cemerlang seperti bintang-bintang di langit!,” ucapan ibunya lima tahun silam masih terngiang di rongga telinganya. Lelaki muda itu hanya menunduk mendengar semua nasihat ibundanya.
“Selagi ayahmu masih bekeja dan memangku jabatan yang lumayan, kau boleh memilih tempat belajar yang baik. Kau boleh memilih belajar di Inggeris, Amerika atau Australia. Lihatlah kakakmu, bukankah akhirnya ia mapan hidupnya?,”
“Ibu bangga ketika kakakmu selesai belajar di University of Illinois, Amerika dan ibu dapat hadir di sana ketika kakakmu diwisuda. Ibu bersyukur, akhirnya kakakmu juga menemukan jodoh seorang lelaki yang mapan hidupnya. Ibu sungguh sangat bersyukur kakakmu kawin dengan pejabat di bank papan atas“
Kata-kata itupun masih terngiang kembali di rongga telinganya meskipun sudah lebih lima tahun berlalu. Namun ketika ibunya dengan bangga berkata tentang kesuksesan kakak-kakaknya belajar di luar negeri, lelaki muda itu hanya menunduk.
“Katakan kepada ibu kamu akan kuliah dimana!. Tidak usah khawatir, ayahmu masih mampu!”, desak ibunya lagi. “Kau ingin kuliah di University California?”
Jack muda hanya menggeleng,lirih.
“Atau Cambrige University”
Lagi-lagi Jack muda menggeleng lirih.
“Atau University Harvard?”
Jack muda tetap menggleng.
“Mungkin kau ingin menimba ilmu di Nederland, di University Wageningen?”
Jack menundukkan wajah.
“Atau di Montpeller Prancis?”
Lagi-lagi Jack muda menunduk.
“Pilihlah salah satu, Oxford atau Cornell University di Inggeris yang terkenal itu?”
Dan lelaki muda itu masih saja tetap menunduk. Ibunya menyebut sederetan univesitas favorit di Amerika dan Eropah. Tapi lelaki muda itu masih tetap diam.
“Jangan diam terus, anakku.. Katakan kau memilih kuliah dimana.?,” desak ibundanya lagi.
Perlahan sekali lelaki itu mengangkat wajah dan memandang bola mata ibunya.
“Saya akan belajar di Al Azhar!,” suara itu perlahan sekali diucapkan lelaki muda itu.
“Al Azhar?,” ulang sang ibu tercengang. “Di mana Al Azhar itu?. Jurusan apa yang kamu pilih di sana?”
Sang ibu sama sekali tidak pernah mendengar Universitas Al Azhar Cairo, sebagai pusat pendidikan tinggi Islam yang tertua di dunia. Ibunya tidak pernah mendengar nama Madinah Munawwarah University di Arab Saudi. Ibunya juga tidak pernah mendengar Avecennna University atau Universitas Ibnu Sina di Timur Tengah. apalagi Universitas Ibnu Saud di Riyadh. Ibunya hanya kenal universitas-universitas di negeri barat.. Yang ada di benak ibunya hanya fakultas ekonomi, hukum, teknik,kedokteran dan dan jurusan itu banyak diserbu para mahasiswa. Ibunya tidak pernah berpikir sama sekali tentang kuliah di jurusan agama.
Lelaki muda itu memang menyadari, bahwa ayah bundanya selama ini hidup serba kecukupan. Bahkan kaya. Lelaki muda itu menyadari, bahwa ayah bundanya tidak pernah melakukan sholat lima waktu. Ayah bundannya tidak pernah menyentuh Al Qur’an. Ayah bundanya tidak tahu apa itu fikih dan kumpulan hadist.. Ketika azan magrib terdengar sang bunda masih berada di salon kecantikan. Mereka lalai beribadah. Mereka jauh dari masjid. Mereka tidak pernah ingin tahu ada kehidupan lain setelah kehidupan dunia. Ayah bundanya tidak pernah ingin tahu tentang akhirat. Tiap hari raya datang, semua berkumpul dan hanya mohon maaf. Lalu bersenang-senang . Hanya itu. Mereka memang mendengar suara takbir dilantunkan orang dimana-mana, tapi tidak pernah menyadari makna dari takbir itu. Mereka tidak tahu ada nilai-nilai keagungan Tuhan dalam kalimat-kalimat takbir itu.
Ayah bundanya tidak mau tahu, bahwa setiap bulan Ramadhan setiap umat Islam diharuskan berpuasa untuk membakar dosa. Ayah bundanya tidak pernah perduli untuk membayar zakat. Nilai-nilai Islami amat jauh dari keluarga itu.
Lihatlah dalam hal memberi nama anak-anak, sang ayah bunda lebih senang memilih nama kebarat-baratan, Seperti nama kakaknya Elisabeth, dan abangnya Alex. Seorang lagi kakaknya diberi nama Grace.. Ketika lelaki muda itu dilahirkan dulu, ibunya memberi nama Jack, tapi setelah lima tahun belajar di Al Azhar, lelaki itu menukar namanya dengan Yazid.
Selama ini, ayah budanya tidak pernah mendapatkan siraman rohani. Ayah bundanya terlalu mengejar harta benda, terlalu memburu kehidupan duniawi. Ayah bundanya seperti tidak pernah butuh tausiyah dan ajaran agama serta siraman rohani, sepeti umumnya manusia yang butuh makan dan minum.
Betapa ibunya amat terkejut ketika lelaki itu baru selesai es-em-a bertekad untuk belajar di Cairo
“Ibu tidak setuju!. Dan ayahmu juga sangat tidak setuju kamu kuliah di sana. Ayahmu juga akan sangat marah!.” cetus ibundanya dan wajahnya merah karena kesal.”Kamu akan jadi apa setelah tamat dari sana? Ha?”
“Kalau ayah dan ibu tidak setuju terserah saja. Tapi saya tetap bertekad untuk belajar di sana. Saya akan pulang dengan membawa ilmu yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia, untuk kebahagiaan dunia dan akhirat!” sahut lelaki muda itu dari dasar hatinya yang amat dalam.
“Lalu siapa yang akan membiayai?,” sang ibu membelalakkan mata.
“Ayah dan ibu tidak usah terlalu risau memikirkan biaya ananda kuliah di Al Azhar. Masih banyak orang lain yang akan memberikan infaq dan memberikan bea siswa.”
Apapun yang diucapkan oleh lelaki muda itu,ibunya tetap tidak setuju puteranya belajar di Cairo.
“Masa depanmu akan gelap,anakku. Ingatlah itu. Kamu mau jadi apa?. Ibu tidak sampai hati melihat masa depanmu suram!”
“Justru ananda yakin masa depan ananda akan terang benderang!”
Pertengkaran yang serius tidak terhindarkan. Sang ibu tetap saja menentang kehendak puteranya yang akan berangkat ke Cairo.
Hidup melarat, serba kekurangan, membeli rumah tidak sanggup,paling-paling akan menyewa rumah bedengan di pinggir kota..Hutang pasti akan melilit hidupnya. Itulah yang ada di benak ibunya setelah puteranya pulang dari Cairo nanti. Hidup dalam kemiskinan. Kemana-mana naik angkot. Sepatu yang dipakaipun tidak bakalan dapat terganti hingga solnya tipis. Perabotan rumah tangga yang dimiliki hanya perabotan reot. Betapa beda dengan kehidupan kakak dan abangnya yang semua mapan, punya rumah bagus, punya mobil dan serba kecukupan. Akuarium dihiasi ikan-ikan arwana yang amat mahal harganya. Sang bunda tetap menginginkan si bungsu memilih kuliah di bidang ekonomi, sains atau hukum atau kedokteran di Univertistas terkenal di Amerika atau Eropa..
. ***
KINI , lima tahun setelah lelaki itu meninggalkan tanah air, meninggalkan rumah ayah bunda, setelah mengganti nama Jack dengan Yazid, setelah sekian lama jauh berada di seberang lautan, jauh di seberang gurun pasir, lelaki itu kembali menjejakkan kaki di tanah air, di rumah orang tua tercinta. Ia akan menjejakkan kakinya di rumah orang tua yang dulu amat menentangnya belajar di Cairo.
Lelaki itu memang amat merindukan ayah bunda dan kakak-kakaknya. Ia pulang di malam takbir. Ia pulang ketika jalanan ramai oleh arak-arakan orang yang melantunkan kalimat-kalimat Takbir yang memuji kebesaran Tuhan. Sudah terbayang suasana yang serba “wah” di rumah ayah bundanya. Kursi tamu baru, gorden baru, rumah juga baru dicat dan makanan yang terhidang juga makanan istimewa. Kue-kue lebaran juga sudah tersedia. Di halaman rumah besar itu pasti akan berderet-deret mobil bagus milik kakak-kakaknya.
Kakak-kakaknya tentu sudah berkumpul di rumah besar itu. Juga sudah terbayang di pelupuk mata lelaki itu, kehidupan kakaknya yang mapan, memiliki rumah besar, mobil berharga mahal dan perabotan rumah yang serba baru.
Kehidupan kakak dan abangnya memang kehidupan kalangan atas. Betapa bedanya dengan Yazid nanti yang akan hidup sederhana sebagai seorang sarjana Islam. Hidupnya akan sangat sederhana dan tidak akan memburu kehidupan duniawi. Tapi ia tidak akan menyesal. Justru ia akan merasa bahagia dan tenang hidup dalam kesederhanaan.
Dalam perjalanan ke rumah ayah bundanya sudah terbayang suasana rumah yang gemerlap. Kakak dan semua abang sudah berkumpul di rumah besar itu. Tapi Yazid tidak merasa rendah diri. Ia akan tetap tegar dan percaya diri. Biarlah kakak dan abangnya semua hidup senang dan mapan. Biarlah mereka meremehkan dirinya.Biarlah cuma Yazid sendiri yang hidup dalam kesederhanaan. Dalam keterbatasan.
Takbir terus terdengar dimana-mana. Anak-anak bermain lilin dan membakar kembang api. Sesekali terdengar suara petasan dibakar anak-anak muda. Taksi yang ditumpangi dari bandara berhenti di depan sebuah rumah besar yang menghadap ke timur
Lelaki muda itu tidak segera turun dari taksi. Sesaat ia memandang ke arah rumah yang tampak suram, tidak seperti biasanya rumah-rumah orang muslim yang selalu cerah menyambut datangnya hari raya Idulfitri. Tidak ada lampu hias. Tidak ada gordin baru. Bahkan rumahpun tidak dicat sama sekali. Bahkan lelaki muda itu masih sempat memandang ke arah taman di depan rumah. Banyak rumpun bunga yang layu karena tidak terurus. Tidak ada suasana semarak dan gembira. Rumah besar itu tampak lengang, suram dan kelam. Tidak ada satupun mobil mewah tampak parkir di halaman rumah yang luas itu.
Ketika lelaki muda itu turun dari taksi, tidak langsung melangkah ke arah rumah besar itu. Sesaat ia tertegun. Betapa suasana di rumah itu amat berbeda dengan apa yang ia bayangkan dalam perjalanan pulang dari seberang padang pasir. Sang ibu yang dulu selalu hadir di salon kecantikan, yang selalu hadir di klinik perawatan kulit, kini tampak duduk termenung dengan pakaian sederhana. Sang bunda mengenakan pakaian yang warnanya sudah pudar. Wajahnya seperti menyimpan duka yang amat dalam.
Sang bunda yang dulu amat bangga pada puterinya yang menepuh pelajaran di Amerika tampak amat lesu, tidak bersemangat dan duduk termenung di ruang depan. Apa yan terjadi di rumah besar ini?. Apa yang terjadi atas diri ayah bunda?.,pikir lelaki muda yang baru saja menempuh perjalanan jauh, Cairo-Jakarta.
Suasana di rumah besar itu amat berbeda dengan suasana rumah para tetangga yang cerah dan terang benderang. Anak-anak tetangga amat riang bermain lilin, membakar kembang api dan membakar petasan. Tapi di rumah besar itu, pintu depan ditutup rapat, seperti menghindari datangnya tamu. Keluarga yang dulu hidup senang dan mewah ,kini seakan tertutup untuk orang lain.
Di depan pintu lelaki muda itu tertegun, lalu mengetuk pintu diiringi salam.
“Assalamu alaikum!,”
Tidak ada sahutan dari dalam. Keluarga di rumah itu memang seperti sedang menhindari tamu-tamu. Sekali lagi dan sekali lagi lelaki yang baru menempuh perjalanan amat jauh itu memberi salam, barulah pintu depan terbuka. Ketika wajah Yazid menyembul di depan pintu, barulah sang ibu kaget dan segera menyerbunya dengan pelukan.
“Astaga, kamu Jack!. Kamu pulang,Jack?. Kenapa tidak memberi kabar dulu?”, cetus ibunya. Lama lelaki itu dalam pelukan sang ibu.
“Jangan panggil lagi nama ananda dengan Jack. Panggil saja Yazid!”
“Bukankah nama itu adalah pemberian ibu,anakku?. Ibu senang nama itu.”
“Nama itu tidak sesuai dengan seorang muslim!”
“Oh,anakku. Kamu jauh berubah sekarang.”
“Ya,pola hidupku sudah menjadi pola hidup seorang muslim. Ananda sudah lama membiasakan diri dalam keadaan zuhud.”
“Oh,anakku!. Ibu sungguh tidak mengerti kata-katamu.,” sang ibu hanya mampu menghela nafas panjang. Pastilah ibundanya tidak mengerti makna zuhud.
“Ibu memang sangat merindukan dirimu,anakku!”, cetus ibunya lagi.
“Ananda memang sengaja pulang di malam takbir,Bu. Ananda ingin melihat bagaimana suasana menjelang hari raya Idulfitri di rumah besar ini! Masihkah seperti dulu?”
Tiba-tiba saja air mata sang ibunda mengalir amat deras dan masih memeluk puteranya..
“Ibu selalu mmikirkan dirimu,anakku. Ibu amat merindukanmu!”
“Ibu juga terlihat sudah berubah sekarang. Ananda senang ibu sudah mengenakan jilbab.. Ibu masih selalu ke salon kecantikan?”
“Tidak lagi,anakku. Tidak pernah lagi!”
“Ibu masih sering ke klinik perawatan kulit?”
Sang ibu menggeleng.
“Ibu masih sering main bowling?”
“Ibu tidak penah lagi pergi kemana-mana, anakku. Ibu lebih sering di rumah. Semua sudah berubah ,anakku!”
Sang bunda melepaskan pelukannya. Sang ayah muncul dari ruang dalam. Sang ayahanda tampak jauh lebih kurus dari lima tahun silam. Matanya cekung, wajahnya berkeriput, dan rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban. Wajahnya tidak ceria seperti dulu. Sekarang wajahnya seperti ditutupi kabut. Sinar matanya juga redup.
Sang ayah segera memeluk Yazid.
“Selamat datang di rumah ayah bundamu,anakku! Tapi kamu pasti akan terheran-heran, rumah ini tidak seperti dulu lagi yang selalu gemerlap. “
“Ya, malam ini tampak suram dan kelam!”
“Kakak dan abangmu juga mengalami nasib yang menyedihkan. Bank tempatnya bekerja mengalami collaps dan sekarang menganggur.”, terdengar suara sang ibu dengan nada sedih.
Tiba-tiba saja air mata sang ibu berderai lagi, bahkan lebih deras lagi:
“Ayah menghadapi masalah di kantor,” terdengar suara sang ayah parau.
“Masalah apa? Ayah dipensiunkan lebih cepat?”
“Tidak hanya itu,anakku. Instansi tempat ayah bekerja mengalami kehilangan dana yang tidak sedikit jumlahnya.”
“Ada kebocoran dana di kantor ayah?,” tanya sang putera dan menatap wajah sang ayahnya penuh tanda tanya.
“Ya!. Ayah dianggap sebagai seorang pelaku dan penyebab kerugian negara dan harus menjalani pemeriksaaan oleh kejaksaan.”
“Tapi ayah tidak melakukan korupsi,bukan?. Ayah tidak melakukan penyalah gunaaan wewenang,bukan?”
“Itulah yang sulit bagi ayah untuk menjawabnya.”
Yazid yang baru saja kembali dari seberang gurun itu menatap wajah ayahnya.
“Harta benda kita habis terjual untuk membayar seorang pengacara. Sebagian lagi disita. Tanpa bantuan pengacara, ayah pasti harus masuk penjara dan dihukum berat’”
Ada rasa perih di dada lelaki muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di seberang padang pasir itu. Ia merasa bersyukur telah memperoleh pendidikan di bidang agama jauh di seberang laut. Lelaki muda itu merasa telah mendapatkan bekal dan benteng yang amat tangguh untuk menghadapi hidup yang selalu penuh dengan godaan yang menggiurkan. Seperti yang dialami ayahandanya.
Utusan Malaysia (Kuala Lumpur), Ahad 31 Januari 1999
5. KEMBANG SEPATU
(Cuplikan dari novel Tangis Semakin Sendu)
DESA itu selalu sepi. Apalagi ketika sore hari, ketika para lelaki sedang memacul di ladang dan para ibu rumah tangga memetik sayur mayur di halaman untuk dijual ke pasar esok hari. Yang selalu terdengar hanya kicau burung di ranting pohon. Hanya suara gemercik air sungai kecil yang airnya mengalir dari puncak bukit. Atau desau angin sore bercanda dengan daun-daun pepohonan. Atau nyanyian sekelompok anak-anak yang bermain rimbang di halaman .
Matahari sudah condong ke barat. Yang tampak sepanjang jalan desa yang tidak beraspal adalah tanaman padi yang sedang menghijau. Sesekali terlihat anak-anak duduk di punggung kerbau yang sedang digembalakan di pinggir sawah. Di atasnya burung-burung sedang terbang. Sepasang elang melayang-layang mengintai anak ayam milik warga desa . Di kejauhan, tampak asap mengepul dari cerobong pabrik kelapa sawit milik sebuah perkebunan.
Kembang sepatu berwarna merah tampak bergoyang-goyang dibelai angin sore ketika Prapti dan Joko berjalan perlahan di jalan setapak. Sepanjang pinggiran jalan di desa itu memang ditumbuhi tanaman kembang sepatu yang teratur. Dari hari ke hari kembang sepatu itu tetap mekar, berwana merah... Sepasang manusia muda itu berpegangan tangan berjalan menelusuri jalan di pinggiran desa yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit. Lama tidak bertemu menyebabkan jalan kaki di desa itu terasa amat indah dan manis. Kupu-kupu yang sedang hinggap di kuntum kembang sepatu tampak seperti ikut merasakan kebahagiaan itu.
Sesekali sepasang manusia muda itu berpapasan dengan warga desa dengan memanggul cangkul dan kaki yang dikotori lumpur yang sudah mongering. Selalu ada saja orang-orang yang menyapa Prapti di sore hari itu.
“Selamat sore,Bu Dokter!,” sapa salah seorang bocah dari atas sepedanya.
“Selamat sore!,” Prapti menyahut dan melempar senyum.
Bocah itu amat kenal dengan Prapti yang sudah bertugas lebih lima bulan sebagai doker gigi di Puskesmas di desa itu. Masih bocah, masih duduk di kelas tiga es-de,tapi sudah mengalami carries dentis atau gigi berlubang. Kasihan bocah itu. Dan sebagai dokter gigi Prapti sudah amat sering mengalami kasus seperti itu. Warga desa yang umumnya hidup sederhana, bahkan terbilang miskin , hampir tidak pernah memperhatikan perawatan gigi-gigi anaknya. Mereka tidak mampu membeli pasta gigi. Dan mereka, warga desa itu tidak memahami bagaimana seharusnya setiap bocah menjaga giginya. Seharusnya setiap ibu membiasakan anak-anaknya menyikat giginya sebelum tidur. Bukan setelah bangun tidur.
Hidup yang sederhana menyebabkan anak-anak desa menggosok giginya dengan pasir ketika mandi di sungai, sehingga gigi anak-anak itu rusak. Kalau hanya sekedar gigi berlubang, tidak perlu dicabut, Prapti dapat memberinya pertolongan dengan penambalan agar bakteri tidak masuk ke dalam gigi.
Baru belasan meter berjalan , dari kejauhan tampak seorang wanita desa bertopi lebar turun dari sepedanya dan menyapa dengan senyum dan sikap ramah. Di belakang sepedanya tampak seorang bocah empat tahun, Wanita desa itu tiap hari mengajak anaknya ke ladang.
“Jalan-jalan sore,Bu?,” sapa perempuan desa bertopi lebr itu.
“Iya,Bu!,” sahut Prapti.
Wanita desa itu menyandarkan sepedanya, lalu membuka topi lebarnya dan menghampiri Prapti. Masih sempat Prapti melihat bocah perempuan di atas sepeda dan di tangan bocah empat tahun itu ada sekuntum kembang sepatu berwarna merah.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Bu Dokter karena penyakit saya sudah sembuh.” ujar perempuan desa itu dan mengalurkan tangan.
Barulah Prapti ingat, bahwa perempuan desa bertopi lebar itu adalah salah seorang dari sekian banyak pasiennya yang datang untuk berobat. Perempuan desa itu selalu mengeluh giginya yang sudah sangat lama berlubang dan selalu mendenyut. Belasan kali Prapti memberinya obat, juga antibiotik untuk membunuh kuman-kuman di giginya yang berlubang tapi tak kunjung sembuh. Akhirnya Prapti melihat selain ada carries dentis, juga ada pyoalveolane atau abses gigi, malah bakteri sudah menjalar hingga ke akar gigi.
Prapi akhirnya berkesimpulan, bahwa perempuan desa itu juga menderita xerostomia atau mulut kering dan calculus atau karang gigi yang sudah menahun dan sudah amat melebar hingga merobek dinding rongga mulut dan gusi.. Selain itu Prapti juga melihat ada luka di mata kaki perempuan desa itu bernanah dan tidak kunjung sembuh.
Sebagai seorang yang sudah bertahun-tahun menimba ilmu di Fakultas Kedokteran gigi, Prapti curiga, bahwa perempuan desa itu menderita diabetes mellitus. Akibat penyakit gula itu terjadi penyempitan pembuluh darah kecil atau Ischemia dan gangguan neoropati atau gangguan syaraf..
Dugaan Prapti memang benar adanya. Perempuan desa beranak empat itu memang menderita diabetes dan Prapti segera memberinya obat anti diabetic. Alahmadulillah perempuan desa yang hidupnya amat sederahana itu akhirnya sembuh. Sembuh diabetesnya dan sembuh penyakit giginya. Masih amat jarang orang desa mengenal apa itu penyakit diabetes mellitus. Prapti menganjurkan agar perempuan itu selalu diet ringan..
“Masih diet,Bu?,” tanya Prapti
“Masih! Saya kepingin sehat koq, biar disayang suami!”
Prapti tersenyum. Joko juga ikut senyum.
“Terus terang, saya takut suami saya kawin lagi kalau saya sakit-sakitan terus!,” terdengar lagi suara perempuan desa itu diiringi seulas senyum..
Prapi dan Joko juga tersenyum.
“Saya ingin memberikan sesuatu kepada ibu!,” ujar perempuan desa itu lagi.
“Memberikan apa?”
Perempuan desa itu kembali menghampiri sepedanya yang sudah amat usang. Ia membuka tasnya dan meraih dua kuntum kembang sepatu.
“Ada bunga sepatu untuk ibu dan sahabat ibu!,” ujar perempuan desa itu dan mengulurkan bunga sepatu di tangannya.
“Apa artinya kembang sepatu ini,Bu?”
“Besok warga desa ini mau mengadakan unjuk rasa!”
“Unjuk rasa menuntut apa?. Biasanya di desa tiak pernah ada demo” Prapti menatap wajah perempuan desa itu. Amat jarang terdengar warga desa melakukan unjuk rasa. Petani selalu tidak banyak menuntut. Petani selalu hidup sederhana dan menerima apa adanya.
“Pihak perkebunan kelapa sawit itu mau menambah perluasan kebunnya!,” perempuan desa itu menunjuk ke arah kepulan asap dari cerobong pabrik kelapa sawit.. “Mereka mau merebut lahan yang sudah belasan tahun digarap dan dihuni oleh petani, tanpa ganti rugi. Mereka mau mengusir kami para petani yang tidak berdaya. Kemana kami akan tinggal kalau tanah yang kami tempati diambil perkebunan?. Kemana kami akan menanam padi kalau tanah kami direbut perkebunan?. Kemana kami akan mencari nafkah kalau tidak punya tanah lagi?.”
Perempuan desa itu menahan kesedihan. Ia menahan air mata agar tidak jatuh ke pipinya.
“Kami, semua perempuan desa ini, besok akan mengadakan demo aksi damai. Kami tidak akan membakar ban bekas. Tidak ada gambar pemimpin yang dibakar. Tidak ada aksi pelemparan dan pengrusakan. Tidak akan ada kerusuhan. Tidak ada pidato-pidato yang menghujat seseorang. Ibu-ibu para petani akan melakukan gerakan damai dengan membagikan kembang sepatu yang sangat banyak di desa ini kepada Pak Lurah, kepada Pak Camat, kepada Bu Dokter, kepada Komandan Koramil, kepada tiap orang yang melintas di jalan raya dengan harapan pihak perkebunan mau mengerti tuntutan kami agar tidak merebut tanah yang sudah menjadi sumber kehidupan kami selama bertahun-tahun.”
“Saya ikut prihatin,Bu,” sahut Prapti.
“Kami mohon doa ibu, agar hati para komisaris perkebunan tergugah hatinya untuk tidak jadi merebut tanah kami. Doakan kami tidak ada penggusuran!”
“Saya akan mendoakan ibu!”
“Terima kasih,Bu!”
Perempuan desa itu mengenakan topi lebarnya lagi dan mengayuh sepedanya membonceng anaknya pulang dan membawa sekeranjang kembang sepatu yang segar dan mekar untuk dibagikan kepada masyarakat esok hari.
“Betapa amat murni perjuangan mereka,” cetus Prapti di depan Joko.
“Aku salut dengan warga desa yang masih sangat polos.”
“Tidak pernah ada kekerasan di sini. Tidak pernah ada seseorang warga menyakiti tetangganya. Tidak ada orang yang mau mencubit orang lain.”
Kasihan perempuan desa itu, kalau tanahnya diambil alih pihak perkebunan, kemana dia dan anak-anaknya akan tinggal?. Kemana dia akan menanam padi?. Kemana ratusan petani yang hidupnya amat sederhana itu akan bercocok tanam kalau tanah mereka diambil alih pihak perkebunan?. Padahal tanah yang mereka tempati sudah belasan tahun digarap dan dikerjakan. Lihatlah para warga desa menanam kembang sepatu sepanjang jalan. Kalau tidak ada petani yang menanam kembang sepatu, pasti yang akan tumbuh adalah ilalang dan rumput liar atau semak belukar.
Desa itu memang sebuah desa yang damai. Penggusuran sering terjadi hanya di kota terhadap pedagang kaki lima atau bangunan liar. Di desa tidak pernah ada penggusuran. Desa yang sejuk dan hijau merasa terusik. .Tidak pernah ada kerusuhan di sana. Masyarakatnya masih suka melakukan tolong menolong terhadap sesama. Kucing yang masuk dalam paritpun pasti akan ditolong warga desa. Kecuali tikus yang terkadang merusak padi milik warga atau mencuri ikan asin.. Yang selalu berbuat kejahatan di desa itu hanya elang yang selalu memangsa anak ayam milik warga.
Kembang sepatu membuat suasana desa itu tampak indah dan sejuk. Alangkah cantiknya bocah-bocah perempuan yang masih duduk di sekolah dasar, tiap pulang sekolah memetik sekuntum kembang sepatu dan menyelipkan di rambutnya.
Prapti mencium kembang sepatu pemberian perempuan desa itu. Tidak ada aroma harum, tapi Prapti senang dengan kembang sepatu. Pagar rumah dinasnya disamping Puskesmas juga ditumbuhi kembang sepatu. Hampir tiap hari, ada saja kembang sepatu yang mekar berwarna merah. Kupu-kupu amat senang hinggap di kuntum kembang sepatu itu.
“Kenalanmu banyak di desa ini,” cetus Joko yang berjalan lagi menyusuri jalan setapak di desa itu.
“Banyak!. Banyak sekali. Semua ramah dan selalu mampir ke klinik. Bahkan pemburu burung juga terkadang mampir ke rumah untuk numpang sholat.”
Joko tersenyum.
“Tidak ada salahnya aku menerima kedatangan petugas sensus atau petugas servey yang datang ke daerah ini,bukan?”
“Tentu saja tidak!”
“Yang banyak tidak suka kepadaku hanya anak-anak balita”
“Kenapa mereka tidak suka?”
“Soalnya ibu-ibu yang memeriksakan giginya ke klinik selalu membawa anak-anaknya yang masih balita. Anak balita yang dibawanya menangis ketakutan kalau mulut ibunya menganga lalu dimasukkan alat. Dan sang ibu selalu berkata ketus kepada anak-anaknya, awas kamu tidak boleh nakal, kalau nakal ibu panggil dokter gigi biar gigimu dicabut. Tentu saja sang balita itu ketakutan!”
Joko tertawa dan senang mendengar penuturan itu.
“Kadang-kadang ada juga hal-hal yang membuat aku cemas bertugas di sini?” terdengar lagi suara Prapti di antara desau angin yang bermain dengan pucuk pepohonan.
“Kenapa cemas?” Joko menatapnya.
“Ada seorang pedagang keliling, namanya Gangga. Lelaki itu selalu mengedarkan barang dagangannya ke rumah-rumah penduduk.”
“Apa yang dijual laki-laki itu?”
“Macam-macam. Ada bedak murahan. Ada parfum yang baunya sengak, ada baju, mainan anak, handuk, kompor, tas, radio, bahkan juga cangkul.”
“Ada yang membeli?”
“Tentu saja ada meskipun tidak banyak. Ibu-ibu yang kepingin baju baru selalu membelinya dari lelaki itu dengan cara angsuran.”
“Tentu harganya naik berkali-kali lipat!”
“Ya!. Harga sepuluh ribu bisa menjadi tiga puluh ribu karena diangsur. Yang lebih menyedihkan lagi adalah caranya meminjamkan uang. Lelaki itu tidak lebih dari seeorang rentenir. Warga meminjam uang lima ratus ribu untuk sunatan anak, kembalinya bisa mencapai sejuta!”
“Kasihan para petani di sini. Tapi begitulah adanya, petani yang hidup miskin selalu jadi santapan empuk para rentenir.” ujar Joko.
“Melihat tampangnya saja aku mau muntah. Di lengannya ada tattoo bergambar perempuan. Aku jijik melihatnya. Apalagi caranya memandang perempuan, tampak seperti sangat bernafsu. Maunya laki-laki itu tidak usah masuk ke desa ini lagi.”
“Berhati-hatilah kepadanya,” Joko memberi nasihat.
“Kau tidak usah khawatir diriku di sini. Warga desa ini baik-baik dan pemurah serta suka menolong orang lain. Terkadang aku menerima kiriman pisang atau mangga matang. Yang memberi hadiah induk ayam juga ada ketika anaknya yang sakit gigi sembuh setelah berobat ke klinik. Warga desa ini akan segera keluar kalau ada sesuatu yang tidak beres di malam hari.. Ketika ada rumah warga yang hampir terbakar, seluruh warga keluar membawa ember berisi air dan goni basah untuk memadamkan api. Tidak perlu ada mobil kebakaran, warga setempat mampu memadamkan api.”
Joko tersenyum dan mereka terus berjalan. Kembang sepatu masih ada di tangan mereka.. Sesekali Prapti menciumnya.
Pustaka Wira (Malaysia), Bilangan 85, Mac 1995
6. SURAT-SURAT DARI ANAKKU
(Makam Isteriku)
SURAT itu membuat aku heran dan marah. Siapa pula yang membawa kabar bohong itu kepada anak-anakku?. Siapa pula orang yang tega menggores hati anak-anakku dengan beling tajam?.. Siapa gerangan yang telah menusukkan duri tajam ke relung hati anak-anakku?.
Berkali-kali kubaca surat itu:
“Demi Tuhan, kami tidak rela abi keluar masuk kelab malam. Demi Tuhan, kami tidak mengizinkan abi berjam-jam hingga larut malam di ruang karaoke. Tuhan akan sangat marah kalau abi selalu berada di tempat-tempat hiburan. Demi Tuhan, tiga orang anak abi yang dilahirkan dari rahim ummi sangat menentang jalan hidup abi yang sekarang jauh berubah arah di tengah jalan. Kami, tiga orang anak-anak abi, tidak rela kalau abi selalu mengunjungi wisma pijat atau message dan berkencan dengan pramuria cantik di sana. Hati kami hancur berkeping-keping seperti serpihan kaca yang terhempas di atas batu ketika mendengar jalan hidup abi sudah tidak lurus lagi. Mengapa hati abi demikian rapuh?.
Karena itukah abi pergi setelah ummi meninggal?. Karena abi ingin bebas mandi sauna dan bebas bercanda dengan perempuan yang bukan isteri abi. Supaya abi bebas berhura-hura di ruang diskotek, pub atau tempat hiburan malam. Abi sengaja meninggalkan kami agar apa yang abi lakukan tidak terlihat oleh anak-anak abi di rumah yang selalu membutuhkan perhatian dan perlindungan serta bimbingan abi. “
Itulah bunyi surat yang ditulis, Ida, anakku yuang pertama. Dan di bagian akhir surat itu anakku menambahkan:
“Sebelum abi terlalu jauh perjalanan menuju jurang terjal, kami berharap abi pulang dan tinggallah bersama anak-anak abi di rumah. Andainya abi ingin mencari seseorang untuk pengganti ummi, kami tidak melarang. Atau haruskah kami,anak-anak abi , yang mencarikan seseorang untuk pengganti ummi di sisi abi?”
Aku menghela nafas panjang.
“Tidak,Ida!. Semua kabar itu tidak benar. Semua itu bohong!. Semua itu fitnah,” kataku seorang diri, biar angin yang berhembus sepoi menyampaikan kata-kata itu kepada anak-anakku di rumah.
“Sejak ummi meninggal, abi belum pernah menginjakkan kaki di wisma pijat. Sejak ummi tidak ada, abi belum pernah hadir di ruang diskotek. Tidak sekalipun abi mengenal yang namanya mandi sauna. Abi belum pernah bercanda dengan perempuan penghibur di kelab malam, karaoke, pub atau tempat hiburan malam. Demi Allah!”
Sejenak wajah ketiga anak-anakku yang lahir dari rahim isteriku, yakni Ida, Ulfa dan Dini, membersit di pelupuk mataku. Aku buru-buru menulis surat untuk membalas surat itu, biar anak-anakku tidak salah duga. Kutulis dengan segera surat yang panjang agar ketiga anak-anakku tidak terlalu jauh buruk sangka terhadap ayahandanya.
“Siapa yang membawa kabar bohong tentang abi kepada kalian di rumah?. Demi Tuhan, semua itu tidak benar!. Demi Allah , semua itu bohong. Semua itu hanyalah fitnah belaka. Andainya abi tahu siapa yang membawa kabar bohong itu, abi pasti akan sangat marah kepadanya dan akan menampar pipinya hingga merah andainya dia adalah perempuan. Dan abi akan meninjunya sampai bibirnya berdarah, bahkan sampai dia roboh andainya yang membawa kabar bohong itu adalah laki-laki. Atau abi akan memulas batang lehernya!”
Lebih satu jam aku menulis surat untuk anak-anakku:
“Mulai detik ini, abi berharap, jangan kalian percaya omongan orang yang bukan-bukan tentang abi. Percayalah meskipun ummi sudah tidak ada, jalan hidup abi masih lurus. Percayalah, meskipun ummi sudah meninggal, belum pernah sekalipun abi pernah berbuat dosa dengan perempuan lain. Percayalah, abi masih takut kepada dosa yang amat besar.
Percayalah, meskipun abi hidup sendiri tanpa seorang isteri yang mendampingi, tapi langkah abi belum pernah sekalipun terseret ke lembah hitam.
Mudah-mudahan sampai detik ini, abi masih terpelihara dari dosa. Tuhan masih melindungi abi dari lumpur dosa yang amat kotor. Sampai detik in abi masih mampu menepis bujukan syetan yang akan menuntun abi ke pinggir jurang terjal yang dasarnya penuh dengan batu kerikil, beling tajam dan duri-duri.
Tentang pengganti ummi, sampai saat ini abi masih belum memikirkannya. Untuk sementara, biarlah abi sendiri dulu. Belum ada seorangpun yang mampu mengugah hati abi sampai detik ini. Biarlah sepi. Biarlah dingin. Biarlah beku.”
Semoga ketiga anak-anakku di rumah, yakin, bahwa di hati abi mereka masih ada iman. Semoga mereka percaya, bahwa abi mereka masih mampu menepis bujukan iblis.
***
TIDAK sampai sepuluh hari kemudian, datang lagi surat dari anakku yang ditulis oleh anakku yang kedua, Ulfa, yang masih duduk di Fakultas Ekonomi semester tujuh. Surat itu hanya berisi beberapa baris kalimat yang berisi imbuan agar aku segera pulang.
“Abi harus segera pulang. Ingat anak-anak abi di rumah. Jangan biarkan anak-anak abi tumbuh tanpa bimbingan orang tua. Ummi sudah meninggal dan abi pergi ke tempat yang sangat jauh. Kami,anak-anak abi bermaksud untuk mengadakan kenduri, mengirim doa untuk almarhumah ummi. Biar arwah ummi tenteram di alam kuburnya yang sudah sangat lama tidak pernah abi ziarahi. Kami selalu mimpi bertemu dengan ummi dan ummi memeluk kami sangat erat. Ummi selalu berkata agar kami meimbau agar abi pulang. Pulanglah abi!. Pulanglah, demi anak-anak!. Segera!”
Aku hanya mengusap dada membaca surat itu dan aku segera membalasnya:
“Abi belum dapat pulang,anakku,” balasku dalam surat: “Tanpa kalian melaksanakan kenduri mengirim doa untuk arwah ummi, abi selalu mendoakan ummi hampir tiap saat. Terus terang, hingga detik ini abi selalu ingat ummi. Wajah ummi tidak pernah henti-hentinya hadir di pelupuk mata abi. Teruslah mendoakan ummi,anakku. Kalau kalian selalu bermimpi bertemu dengan ummi dan ummi memeluk kalian adalah hal yang wajar. Ummi juga selalu hadir dalam mimpi abi dan kami selalu berdialog. Abi tidak pernah mengabaikan tentang anak-anak, abi selalu memperhatikan nasib kalian.Ummi juga selalu berkata kepada abi agar abi selalu berjalan lurus, agar mampu menepis dosa. Kalau kalian mau melaksanakan kenduri untuk mendoakan ummi, silahkan saja laksanakan dengan baik. Undanglah ustaz Haji Safwan untuk memimpin doa, beliau adalah kenalan abi sejak dulu dan sangat baik kepada kita semua. Mudah-mudahan ummi tenteram di alam kuburnya.”
Hanya selang seminggu, datang lagi sebuah surat anakku yang ketiga,Dini, yang masih kuliah di fakultas Sospol. Surat si bungsu itu membuat aku mengusap dada yang terasa amat perih.
“Kami sangat mengharapkan keberadaan abi. Bagaimana kalau abi sakit?. Siapa yang akan merawat abi?. Kami juga khawatir kalau abi berjalan di malam hari tiba-tiba ditabrak kenderaan dan abi terkapar di tengah jalan, siapa yang akan menolong?. Apalagi kalau abi pulang dari diskotek berjalan dengan sempoyongan karena mengantuk lalu muncul anak-anak muda yang sedang mabuk menabrak abi dengan sepeda motor.
Karena itulah kami sangat menharapkan abi pulang. Biar kami tidak terlalu khawatir dengan keadaan abi. Kami bermaksud untuk membersihkan kuburan ummi. Saat ini musim hujan sedang berlangsung. Tiada hari tanpa hujan. Apalagi ketika malam hujan deras selalu tercurah dari langit. Musim hujan membuat rumput dan ilalang tumbuh subur. Kuburan ummi sangat kotor dan dipenuhi dengan semak belukar. Rumput dan ilalang membuat kuburan ummi seperti tidak terurus dan jorok. Abi tidak kasihan melihat keadaan ummi?. Kuburnya kotor dan penuh semak belukar. Abi tidak sayang kepada ummi?. Kalau abi sayang kepada ummi, pulanglah segera!.”
Hatiku terenyuh membaca surat itu. Tetap saja anak-anakku di rumah menuduh aku selalu keluar malam, masih tetap saja menuduh aku selalu hadir di diskotek atau pub. Anak-anakku masih beranggapan aku selalu hadir di tempat hiburan malam. Hatiku amat sedih ketika membaca tentang kuburan isteriku yang seperti hutan belantara, kotor dan ditumbuhi semak belukar.
Tanganku gemetar ketika membalas surat itu.
“Abi sangat sayang kepada ummi,anakku. Abi tetap ingat, selama ini, selama bertahun-tahun, sebagian nafkah keluarga kita adalah dari ummi yang berprofesi sebagai karyawati sebuah be-u-em-en go public.. Selama ini yang membayar uang kuliah kalian bukanlah abi, tapi ummi yang telah melahirkan kalian bertiga. Abi tidak berdaya karena biaya kuliah sangat mahal. Syukurlah ummi seorang karyawati be-u-em-en, yang mampu membayar semua biaya kuliah. Abi sungguh tidak berdaya. Demi Tuhan, abi sangat sayang kepada ummi. Belahlah dada abi, pasti kalian akan tahu betapa besar kasih sayang abi kepada ummi sejak masih hidup hingga setelah ummi tidak di sisi kita lagi, abi tetap sayang kepadanya. Sulit dicari seorang perempuan seperti ummi di muka bumi ini. Karena itulah sulit bagi abi ntuk menemukan seorang pengganti ummi di sisi abi.
Abi tetap mendoakan ummi, agar Tuhan mengampuni semua dosanya
Tidak akan terlupakan oleh abi, saat-saat terakhir ketika ummi terbaring di rumah sakit St.Oloan Glugur dalam keadaan tidak berdaya.”
Sejenak aku berhenti menulis surat itu karena dadaku yang nyeri karena rongga hatiku yang perih teringat kepada almahumah isteriku. Sejak perkawinan kami,, penghasilan isteriku sebagai seorang karyawati be-u-em-en, jauh lebih besar dari penghasilanku yang bekerja sebagai karyawan swasta. Bahkan rumah yang ditempati anak-anakku sekarang, juga dibangun dari gaji almarhumah isteriku. Aku benar-benar tidak berdaya.
Kukatakan dalam suratku berikutnya, bahwa mereka tidak perlu merasa khawatir meskipun aku meninnggalkan rumah. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Kalaupun aku meninggalkan rumah, anak-anakku tidak akan terlantar. Karena almurhumah isteriku menghadap Tuhan, dengan meninggalkan polis asuransi jiwa dan setelah isteriku meninnggal, anak-anak itu tidak hanya menerima warisan sebuah rumah, tapi juga klaim asuransi dalam bentuk dolar yang cukup untuk biaya kuliah dan biaya hidup selama beberapa bulan. Isteriku seakan tahu,bahwa suatu saat ia akan pergi untuk selamanya dan khawatir pendidikan anak-anaknya akan terlantar. Betapa polis asuransi yang ditinggalkannya adalah sebuah warisan yang tidak ternilai harganya.
“Dua puluh tujuh hari ummi terbaring di rumah sakit, abi senantiasa berada di sisinya. Tidak pernah sedetikpun abi meninggalkannya. Abi takut ummi merasa haus. Abi takut ada seekor nyamuk yang hinggap di tubuh ummi. Abi benar-benar menjaganya tanpa lelah dan bosan. Hampir tidak pernah sepicingpun abi memejamkan mata karena menjaga ummi . Siapa lagi yang menyuapkan bubur setiap harinya kalah bukan abi?
Abi pula yang memberikan obat-obatan dari dokter. Abi yang menyeka keringat di kening ummi. Bahkan abi pula yang menggendong ummi ke kamar mandi kalau ummi mau pipis. Hampir sebulan abi tidak pernah tidur karena harus menjaga ummi.
Namun kecintaan dan kasih sayang abi kepada ummi, lebih besar lagi kasih sayang Tuhan terhadap ummi. Tuhan mamanggil ummi pada saat kita semua sangat menyayanginya. Kita semua menangis karena kehilangan ummi. Dan ummi menghembuskan nafas terakhir di pangkuan abi. Itulah tanda kasih sayang abi kepada ummi, sampai saat terakhir. Abi tidak pernah menyakiti hati ummi. Abi tidak pernah menggores hati ummi. Demi Allah!. Juga hingga saat ini, setelah ummi tidak ada di sisi kita. Karena itu, abi sangat berharap jangan percaya kepada kata-kata orang tentang diri abi. Jangan anggap abi selalu hadir di diskotek atau pub dan pulang pagi. Kapan abi pulang ke rumah tunggu saja saat yang tepat.”
Hampir empat halaman surat itu kutulis untuk anakku, untuk meyakinkan hati mereka, bahwa aku tetap menyayangi ummi mereka dan tidak pernah keluyuran ke tempat hiburan malam, apalagi sampai pagi. Aku berharap ketiga anakku mau mengerti. Semoga mereka tetap ingat, akulah yang menancapkan cabang pohon kamboja hingga tubuh subur meneduhi kuburan isteriku. Sesekali bunga kamboja itu diluruhkan angin dan kelopak bunganya berserakan di atas gundukan tanah di pusara isteriku. Dan menyebarkan aroma harum.
Dua puluh satu tahun aku dan isteriku membina rumah tangga. Hampir tidak pernah terjadi pertengkaran serius meskipun gajiku lebih kecil dibandingkan dengan penghasilannya. Tidak pernah ada badai dahsyat mengguncang perkawinan kami. Tidak pernah ada gempa dahsyat di tengah tengah rumah tangga kami.
Andainya aku tetirah dari rumah yang dibangun dari gaji isteriku, bukanlah untuk berhura-hura agar tidak terlihat oleh anak-anakku. Aku masih tetap setia kepada almarhumah isteriku. Masih belum ada penggantinya di sisiku. Dan foto isteriku selalu berada di dompetku dan kubawa kemana saja aku pergi. Sesekali aku selalu menatapnya. Dan menciumnya, seperti aku menciumnya ketika ia masih hidup.
***
SAYANG surat-surat yang kukirimkan tidak meyakinkan hati anak-anakku. Mereka tetap saja menanggap aku selalu menghabiskan waktu di karaoke atau diskotek. Mereka tetap saja menuduh aku selalu keluar masuk kelab malam, menghabiskan waktu di wisma pijat atau mandi sauna bersama perempuan-perempuan cantik.
Aku cuma mengusap dada. Mereka tidak yakin Tuhan masih menjaga diriku agar tidak terjerumus dalam lembah hitam. Anak-anakku tetap saja menganggap jalan hidupku tidak lagi lurus setelah ummi mereka tidak ada lagi. Mereka mengira aku selalu iseng dan mencari hiburan. Mereka menganggap setelah ummi mereka tidak ada, hidupku kini sepi, beku dan dingin.
Surat dari Dini minggu berikutnya membuat aku tersenyum,
“Pulanglah,abi!. Kami sangat mengharapkan kepulangan abi. Dan kami sudah menemukan seorang wanita yang sesuai sebagai pengganti ummi untuk mendampingi abi. Sudah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kami mempelajari pribadinya, penampilannya dan asal usul keluarganya. Ia ierasal dari keluarga terhormat, yang sangat taat kepada agama, Namanya adalah Bu Zahra dan suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Tampaknya Bu Zahra adalah seorang calon ibu yang dapat menyayangi anak-anak tirinya sebagai darah dagingnya sendiri. Kami sudah sangat mengenalnya.
Sesekali kami main ke rumahnya untuk lebih mengenal pribadinya dan juga keadaannya sehari-hari. Rasanya Bu Zahra dapat menyayangi kami seperti almarhumah ummi.
Kami akan bahagia sekali bila Bu Zahra dapat menjadi pengganti ummi di sisi abi. Tataplah gambar Bu Zahra dalam-dalam. Abi akan menemukan sorot matanya yang jernih seperti air telaga, yang memancarkan isi hatinya yang tulus dan selembut sutera. Lihatlah bibirnya yang tipis karena biasa melantunkan ayat-ayat Qur’an. Lihatlah keningnya yang mulus, tandanya selalu sujud kepada Tuhan.
Kalau abi mampir ke rumahnya nanti, abi akan melihat suasana rumah yang Islami. Apalagi penampilannya sehari-hari. Ba Zahra selalu mengenakan jilbab dan berbusana muslimah. Perabotan rumah teratur, gambar Masjidil Haram yang dipadati orang-orang tawaf terpampang di dinding ruang depan, juga masjid Nabawi. Ada lukisan seorang musafir sedang menuntun seekor onta di tengah padang pasir di antara pohon-pohon kurma. Semuanya beraroma Islami, itulah yang sangat menggugah hati kami.
Satu hal lagi yang membuat kami sangat senang kepada Bu Zahra, karena masakannya. Ia sangat pintar memasak, terutama masakan Melayu, sebab ia dilahirkan di kawasan Kabupaten Langkat. Anyang pakis dan gulai asam podeh, enaknya bukan main. Membuat asinan asam glugur atau pepaya, dialah ahlinya. Lihatlah suasana rumahnya yang khas dengan gaya ornamen Melayu.
Tahukah abi apa lagi yang istimewa pada diri Bu Zahra?. Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga Melayu. Suaranya merdu melantunkan tembang-tembang Melayu, seperti Sri Mersing dan Makan sirih. Yang kami kagumi lagi adalah, ternyata ia selalu menjadi pembawa acara-acara kebesaran,seperti pada upacara perkawinan, khitanan, naik haji dan banyak lagi. Juga pada acara kenegaraan di kecamatan. Apa lagi kalau ia mengumandangkan berzanzi dan marhaban orang akan terkagum-kagum. Lantunan pantunnya membuat orang terlena.
Kami senang sekali kepada Bu Zahra. Karena itulah kami berharap abi sgera pulang. Kami yakin kehadiran Bu Zahra akan meluruskan kembali jalan hidup abi yang selama ini sudah hampir di pinggir jurang. Kami khawatir kalau abi tidak segera pulang, abi akan terjungkal dalam jurang itu dan dasarnya penuh dengan batu cadas yang amat keras. Pulanglah abi!, Pulanglah.
Setelah abi pulang, abi tidak berjalan sendirian lagi. Abi tidak akan berjalan dalam gelap lagi. Abi tidak akan terseret lagi ke diskotek dan karaoke. “
Astaga!. Aku bergumam dalam hati. Sejauh itu anak-anakku menduga aku berbuat dosa. Di mata anak-anakku selama ini, setelah ummi mereka tiada, aku berjalan dalam gelap, aku selalu melangkahkan kaki ke diskotek atau mandi sauna. Aku dianggap sudah terlalu jauh berjalan meyimpang dan langkahku terseret ke pinggir jurang terjal yang amat dalam.
Lama kutatap potret Bu Zahra yang dibanggakan anak-anakku. Memang cantik dan sorot matanya memancarkan isi hatinya yang selembut sutera. Sikapnya lembut dan penuh kasih sayng, Pantas anak-anakku sangat berharap perempuan ini akan menjadi pengganti ummi mereka disisiku.
Tapi hatiku belum tergugah oleh kehadiran siapapun,meskipun oleh seorang perempuan secantik bidadari. Siapapun wanita yang disebut anak-anakku, aku tetap menutup semua pintu dan jendela-jendela hatiku.
Foto yang dikirimkan anak-anakku sengaja kupajang di sisi foto almarhumah isteriku. Mereka berdampingan. Mereka memiliki sifat dan hal yang sama. Kedua-duanya adalah ibu yang baik. Keduanya cantik dan memiliki hal yang sama, yakni hati yang tulus dan selalu menyayangi sesama. Hati mereka sama-sama seputih kapas. Tapi Bu Zahra untuk mendampingi hidupku, nanti dulu!.
Surat itu sengaja tidak kubalas. Namun surat-surat dari anakku terus saja mengalir setiap minggunya. Tiap surat yang kuterima tetap berisi pujian tentang Bu Zahra. Juga tentang imbauan agar aku pulang. Ketiga anakku sudah sering berkunjung ke rumah Bu Zahra dan menikmati masakan khas Melayu,terutama bubur lambuk. Diam-diam mereka sudah sering jalan-jalan ke istana Maimoon, sebagai pusat pemerintahan kesultanan Deli di masa lalu. Anakku mengirimkan foto mereka di depan balairung, di depan tahta kerajaan dan juga di depan meriam puntung yang ada kaitannya dengan hikayat Puteri Hijau yang amat terkenal di Tanah Melayu. Ketiga anakku mengapit Bu Zahra yang mengenakan busana muslimah. Namun pintu hatiku masih tetap saja tertutup. Kadang-kadang lama kutatap foto-foto anakku bersama Bu Zahra. Betapa mereka sudah sangat akrab, rukun dan saling membagi kasih sayang. Mereka tampak saling mengerti dan saling butuh . Tapi untuk membuka pintu hatiku, tunggu dulu!.
“Kenapa papa tidak juga pulang?,” tulis anakku Ida dalam surat berikutnya dengan anda kesal. “Kenapa abi tidak acuh terhadap seorang perempuan yang hatinya selembut sutera seperti Bu Zahra?. Wanita macam apa lagi yang abi cari?. Perempuan yang bagaimana lagi yang abi inginkan untuk pengganti ummi?. Apakah abi menunggu datangnya bidadari dari langit?. Kalau seperti itu yang abi inginkan sungguh sangat mustahil!”
“Abi tidak menunggu siapa-siapa,anakku. Abi tidak menunggu turunnya bidadari dari langit”, cetusku dan berharap angin lalu menyampaikan kata-kata itu kepada anakku di rumah.
“Abi belum punya rencana untuk mencari pengganti ummi. Abi memang belum dapat membuka pintu dan jendela hati abi untuk menerima kehadiran siapapun. Biarlah untuk sementara hati abi tetap tertutup. Biarlah abi sendiri dulu!”
Terbayang lagi di pelupuk mataku, makam isteriku. Pusaranya diapit oleh almarhum Haji Thahir di sebelah kiri, seorang imam masjid yang pusaranya selalu terawat rapi dan bersih , lalu di sebelah kanannya pusara Hj.Fatimah, seorang dokter. Ah,betapa bahagia isteriku di tempat peristirahatannya. Diapit oleh orang-orang yang penuh makna dalam hidupnya. Dan aku belum tahu entah akan bagaimana nasibku.
Belasan kali surat-surat anakku tidak kubalas,karena isinya hanya permintaan agar aku segera pulang,dan aku berkenan menerima Bu Zahra sebagai pengganti isteriku yang sangat kucintai. Hanya tentang dua hal itu..Hal itulah yang membuat anak-anakku berang dalam surat berikutnya:
“Abi keterlaluan!. Abi tidak menyayangi anak-anak yang ditinggalkan ummi. Abi tidak pernah lagi memikirkan nasib kami. Abi tidak kasihan kepada kami yang telah kehilangan kasih sayang ummi, setelah kepergian ummi. Kami seperti kehilangan segalanya, ummi pergi selamanya dan abi pergi pula dari rumah.
Kasihan Bu Zahra. Kami sudah sangat dekat dengannya. Kami sudah terlalu banyak memberinya harapan dan kami juga selalu mendapatkan siraman kasih sayang , tapi abi sama sekali tidak acuh. Abi terlalu asyik dengan cara hidup abi sendiri.. Kalau abi tetap tidak pulang, dan tetap tidak perduli kepada kami, kami akan menyusul abi!”
Aku hanya geleng-geleng kepala. Betapa ketiga anakku amat mengharapkan aku pulang. Betapa mereka amat mengharapkan ada seorang wanita yang menggantikan ummi mereka di sisiku dan perempuan itu adalah Bu Zahra, seorang perempuan Melayu. Tapi aku memang belum dapat menerima kehadiran siapapun dalam hidupku. Pintu hatiku masih tetap tertutup.
Aku hanya membalas surat itu dengan kalimat pendek. Agar mereka tidak usah menyusulku. Karena aku berada di tempat yang jauh, di sebuah lereng gunung , jauh dari keramaian kota. Kukatakan aku memang akan pulang kalau sudah waktunya nanti. Andainya aku pulang nanti, yang pertama kulakukan adalah menziarahi pusara almarhumah isteriku. Tentang Bu Zahra, aku tidak menyebutnya sama sekali. Nanti saja,setelah aku memikirkannya matang-matang.
***
PANAS terik seakan ingin membakar bumi. Tidak ada awan yang melindungi matahari yang menyengat setiap mahluk penghuni bumi. Tapi aku tidak merasakan panas dan terik matahari, karena aku sedang berada jauh dari keramaian kota, jauh dari kesibukan ummat yang memburu duit.
Aku sedang berada di lereng Gunung Salak, tidak jauh dari perkebunan teh, di atas lahan sekitar 5 hektar dan udara gunung yang sejuk serta angin yang selalu berhembus lembut menyebabkan panas matahari tidak menyentuh kulit. Burung Elang Jawa dan Sri Gunting terbang rendah dan berkali-kali wira-wiri di sekitar aku yang sedang berada di sebuah proyek bangunan berlantai tiga.
Lereng gunung itu hampir setiap saat sepi, jauh dari keramaian, jauh dari berbagai kenderaan, jauh dari manusia-manusia yang memburu rupiah. Disini, di tempat yng jauh dari kota, suasananya damai, nyaman, sejuk dan manusia yang lewat hanya sesekali, hanya para pedaki gunung yang ingin mencapai puncak Gunung Salak.
Elang Jawa dan Sri Gunting, unggas pegunungan itu terbang rendah dan wira-wiri seakan memberi tanda akan ada seseorang yang akan datang dari jauh untuk bertamu. Sesekali aku menatap burung-burung itu.
“Hai, burung!. Apa yang ingin kamu katakan kepadaku?. Siapa tamu yang akan datang ke tempat yang sepi ini?,” kataku kepada burung yang terbang wira-wiri di atasku yang masih berdiri di proyek. Tapi burung-burung itu tidak menyahut, hanya terbang rendah dan pergi lagi menjauh.
Hanya sesaat kemudian, ketika aku sedang istirahat di kamarku, terlihat sebuah taksi berhenti dan penumpangnya seorang perempuan turun . Aku seperti sangat mengenalnya. Aku segera berdiri dan menyambutnya.
“Kak Ainun!,” aku menyebut namanya dan mengulurkan tangan. Sang tamu adalah kakak kandung almarhumah isteriku.
“Ya,ampun!,” keluhnya panjang. “Betapa sangat sulit untuk mencarimu. Aku sudah menjelajah Jakarta, mulai dari Ciputat, Cipinang, Pasar Rebo, Kramat Jati, Pluit, Lebak Bulus, Pulo Mas, hingga ke kawasan kumuh di pinggiran Kali Ciliwung, juga ke pinggiran kota seperti Bekasi dan Tangerang, tapi tidak menemukan dirimu.”
“Aku merasakan ada kedamaian dan nyaman tinggal di kawasan lereng gunung ini!,” sahutku dan kubiarkan kakak almarhuman isteriku duduk.
“Apa yang kamu cari di tempat sesepi ini?,” sang tamu menatapku.
“Tentu saja kedamaian , ketenteraman dan suasana hijau!”
“Andainya yang mencarimu adalah anak-anakmu pasti tidak akan menemukan dirimu.”
“Aku memang berharap anak-anakku tidak usah mencariku.”
“Bagaimanapun mereka adalah anak-anakmu yang sudah kehilangan umminya, mereka sangat merindukan dirimu.”
“Suatu saat aku akan pulang, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.”
“Kasihan anak-anakmu!”
“Mereka baik-baik saja dan tidak kelaparan. Biaya kuliah juga tidak menjadi persoalan!,” aku masih sempat menyebut klaim asuransi dalam bentuk dolar yang diwariskan almarhumah isteriku untuk anak-anakku.
Sesaat Kak Ainun berhenti bicara, ia memperhatikan foto almarhumah isteriku yang kupajang di ruang tamu, juga foto Bu Zahra. Tidak hanya foto-foto itu yang diperhatikan kakak almarhumah isteriku, tapi juga sejumlah buk-buku tentang kumpulan hadist, fikih, tafsir, fadilah amal, sejarah para rasul, juga buku-buku tentang tauhid.
“Tolong sampaikan kepada anak-anakku, bahwa apa yang didengarnya tentang diriku adalah tidak benar. Katakan kepada anak-anakku,bahwa aku tidak pernah menginjakkan kaki di diskotek, pub atau karaoke,apalagi mandi sauna. Kakak lihat sendiri, aku lebih senang membaca kitab-kitab tentang tauhid ketimbang berada di tempat hiburan malam.”
“Aku juga tidak percaya kabar itu. Dan di sini aku melihat sendiri bagaimana keadaan dirimu setelah isterimu meninggal. Kamu pergi dari rumah dan tinggal di kaki gunung yang sepi, hanya ditemani sejumlah kitab-kitab. Anak-anakmu memang salah duga.”
“Terima kasih!”
Aku tersenyum.
“Apa yang kamu cari di tempat sesunyi ini?”, Kak Ainun menatap wajahku.
“Aku menemukan ketenteraman di sini. Dan di sini pula aku menemukan fondasi kehidupan. Aku merasakan pukulan batin yang amat menyesakkan nafas, ketika isteri meninggal dan aku terkena pe-ha-ka. Aku terpaksa menginggalkan rumah untuk mencari kehidupan baru. Sampai suatu saat aku bertemu kawan sekuliah yang menjadi pengusaha sukses dan memimpin sebuah el-es-em.”
“Lalu sahabatmu memberimu pekerjaan dan jaminan hidup?. Begitukah?”
“Ya!. Kalau aku memilih bermukim di sini, karena di sinilah proyek milik sahabatku. Lahan ini seluas lima hektar, dan akan dijadikan rumah singgah bagi penderita kecanduan narkoba. Tidak kurang dari 5 Lembaga Swadaya Masyarakat peduli penderita narkoba, sepakat mendirikan proyek rehabilitasi penderita kecanduan narkotika.”
“Kamu ikut di dalamnya?. Begitukah?”
Aku hanya mengangguk.
“Di atas lahan ini akan dibangun gedung besar berlantai tiga, dilengkapi dengan berbagai sarana, mulai dari sarana olahraga, seni, taman, perpustakaan, masjid dan panggung seni. Akan ada lapangan sepak bola di sini. Akan ada panggung seni dan banyak lagi. Aku yang mengawasi proyek ini. Aku yang mencari dokter, psikiater, ustaz, seniman, juru masak dan semua unsur yang dapat mempercepat kesembuhan bagi penderita narkotika. Bayangkan jutaan manusia mati setiap tahun di negeri ini. Padahal mereka masih dapat diselamatkan. Di tempat ini mereka akan direhabilitasi”
“Hebat kamu!,” cetusnya.
“Syukurlah kakak bisa menemukan aku di sini, hingga dapat melihat dengan nyata apa yang kulakukan sepanjang hari di sini.”
“Aku senang bisa bertemu denganmu di tempat ini!”
Aku tersenyum lagi. Tuhan memang memberiku petunjuk. Aku tidak sempat salah arah. Aku tidak sempat berjalan ke arah jurang terjal yang dasarnya penuh batu cadas. Aku telah menemukan arah hidupku yang sebenarmya. Aku telah menemukan jalan lurus.
Dadaku terasa plong sudah ada utusan dari Sumatera yang kini sudah mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Utusan itu akan menyampaikan kabar tentang diriku kepada anak-anakku. Dadaku terasa lapang, tidak lagi terasa sesak.
Tapi sebelum Kak Ainun pulang ke Sumatera, sebuah surat dari anakku kuterima lagi dan isinya membuat jantungku berdebar keras. Membuat dadaku terasa tergores oleh beling tajam dan terasa amat sakit, amat perih. Surat itu membuat aku ingin segera terbang, ingin segera menemui anak-anakku dan mengajak mereka ke pusara ummi mereka. Surat itu seperti sebuah mukzizat yang menggerakkan hatiku untuk segera meninggalkan proyek di lereng Gunung Salak.
Tanganku gemetar ketika membaca surat itu untuk kedua kalinya.
“Pusara ummi rusak berat,abi. Sebatang pohon kelapa yang tumbang diterjang angin kencang menimpa pusara ummi!,” tulis anakku dalam suratnya. “Nisan yang ada di atas pusara ummi patah dan nama ummi tidak terbaca lagi. Hampir semua porselin pada pusara ummi hancur berkeping-keping. Hati kami hancur melihat kuburan ummi. Kami menangis di atas makam ummi. Abi harus segera pulang. Kami sebenarnya mampu memperbaiki pusara ummi tanpa abi, tapi kami sengaja tidak mau berbuat apa-apa sebelum abi pulang menyaksikan pusara ummi yang tersia-sia. Kalau abi tidak juga pulang, berarti abi tidak sayang kepada ummi dan tidak kasihan melihat anak-anak abi yang tiap saat menangis karena pusara ummi yang terlantar.”
Surat itu amat singkat, tapi mampu menggugah hatiku untuk segera pulang ke Sumatera. Hatiku terenyuh. Aku segera berkemas untuk pulang.
***
BUKAN main anak-anakku. Mereka unjuk rasa ketika aku tiba di rumah meskipun tidak ada yang mendalangi anak-anakku. Kedatanganku disambut dengan sebuah poster berwarna hijau dan berisi tulisan besar dengan spidol berwarna merah.
“Selamat datang abi yang hilang!”
Tidak kuhiraukan poster itu. Yang penting aku pulang dan melihat pusara isteriku yang rusak tertimpa pohon kelapa yang diterjang angin. Taksi yang membawaku dari bandara kuminta untuk menunggu sesaat karena aku ingin segera melihat makam isteriku di Taman Pemakaman Umum Mandala.
“Ayo kita ke makam ummi sekarang juga!,” kataku kepada ketiga anakku.
“Tunggu sebentar!,” sahut anak-anakku hampir serentak.
“Tunggu apa lagi?. Abi tidak bisa tidur karena memikirkan kuburan ummi yang rusak parah!”
“Ada seseorang yang mau ikut,” ujar anakku si sulung ,Ida.
“Siapa?” kutatap dalam-dalam wajah anakku berganti-ganti.
“Bu Zahra!,” sahut anakku. “Ia juga ingin menziarahi makam ummi.”
Aku menghela nafas panjang. Aku tidak berkomentar apapun. Bahkan aku tidak acuh dengan kehadiran seorang perempuan yang mengenakan jilbab berwarna hitam dan berbusana muslimah.
“Ayo kita ke kuburan ummi sekarang, mumpung ada taksi!,” aku mengajak ketiga anakku untuk segera berngkat ke TPU Mndala.
Ya,ampun. Aku tercengang ketika tiba di kompleks pemakaman tiu dan tertegun di sisi pusara almarhumah isteriku. Pusara isteriku masih utuh. Bahkan bersih. Tidak ada goresan apapun pada nisan yang bertuliskan namanya. Tidak ada kerusakan apapun. Bahkan pohon kelapa yang tumbuh tidak jauh dari pusara almarhumah isteriku masih berdiri tegar, tidak ada yang tumbang. Makam isteriku bersih dan tercium olehku aroma harum kembang kamboja. Nisan isteriku masih bagus dan juga namanya masih jelas terbaca pada nisan itu.
Aku segera menatap wajah ketiga anakku, juga wajah Bu Zahra.
“Apa sebenarnya yang terjadi?. Pusara dan nisan ummi masih utuh, kenapa kalian mengatakan rusak berat?. Apa artinya semua ini?”
Tidak seorangpun anakku yang menjawab.
“Sandiwara apa yang sedang kalian mainkan di depan abi?. Sepertinya abi dibohongi. Abi telah dipermainkan sehingga harus segera pulang,padahal pekerjaan dan tugas berat abi belum selesai.”
“Maafkan kami,abi,” terdengar suara anakku yang sulung. “Kami memang telah membohong abi agar segera pulang. Sebab kami melihat sikap dan pola hidup abi berubah sejak ummi meninggal. Hati abi seperti batu gunung yang amat keras. Dengan mengatakan pusara ummi rusak tertimpah pohon tumbang, kami yakin abi akan pulang.”
Aku menghela nafas panjang dan kesal. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika anakku Ulfa dan Dini membaca Qur’an dengan diiringi linangan air mata yang membasahi pipi mereka. Aku tidak sempat menyapa Bu Zahra karena ia juga segera membuka Qur’an berukuran saku dan melantunkan surah Al Aadiyaat yang berarti kuda perang yang berlari kencang. Suaranya amat merdu, dan aku berdiam diri . Dalam hati aku menerjemahkan makna surah itu.
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Kuda yang mencetuskan api dengan pukulan kuku kakinya. Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka ia menerbangkan debu. Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. Sesungguhnya manusia itu menyaksikan sendiri keingkarannya. Dan sesungguhnya sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur?. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Sejak aku pergi dari rumah, memang aku selalu membaca buku-buku tafsir. Makna yang terkandung pada ayat yang dibaca Bu Zahra adalah tentang ancaman Allah kepada manusia-manusia yang ingkar dan sangat mencintai harta,bahwa mereka akan mendapat balasan yang setimpal di kala mereka dibangkitkan dari kubur dan di kala isi dada mereka ditampakkan.
Suara Bu Zahra masih terdengar merdu melantunkan ayat-ayat itu, ketika anakku yang sulung menghampiriku dan berbisik:
“Kenapa abi bersikap dingin terhadap Bu Zahra,padahal dia seorang wanita yang berhati tulus?. Masih adakah bidadari lain yang abi tunggu-tunggu turun dari langit ke sisi abi ?”.
Aku menggeleng, lirih.
“Lalu siapa yang abi tunggu-tunggu?. Siapa yang abi harapkan menjadi pengganti ummi?”
“Tidak ada!”
“Lalu kenapa abi tidak acuh terhadap Bu Zahra?. Abi tidak pernah berkata apapun tentang dirinya.”
Aku tidak mampu menyahut. Hanya menekur, merenungi pusara isteriku.
“Katakan,abi!. Katakan apa sebenarnya yang ada dalam hati abi selama ini!,” desak anakku.
Aku tetap tidak mampu menyahut. Aku tetap menekur, merenungi makam isteriku. Terlalu sukar untuk mengatakan kepada anak-anakku, apalagi mereka semua adalah perempuan. Alangkah sulit untuk mengatakan apa yang kuhadapi selama isteriku meninggalkan kami semua. Terlalu sukar untuk mengatakan kepada anak-anakku, bahwa sebenarnya aku sedang menderita sejenis penyakit yang terlalu tabu untuk kukatakan kepada anak-anakku. Dan penyakit itu adalah sejenis penyakit yang ditakuti oleh kaum lelaki. Namun penyakit itu tidak disebabkan oleh kuman, tidak disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit itu tidak menyebabkan kematian, tapi menyebabkan penderitaan batin.
Bu Zahra adalah seorang perempuan yang masih muda, yang membutuhkan kasih sayang, nafkah lahir dan batin. Terlalu sukar untuk mengatakan kepada anakku, bahwa aku tidak mampu memberi kebahagiaan kepada Bu Zahra. Aku tidak mampu memberi nafkah batin. Mengertikah anak-anakku kalau kukatakan, bahwa aku memang memiliki sebuah pistol tapi tanpa peluru?. Apa artinya sebuah pistol kalau tidak dapat digunakan untuk menembak?. Lebih baik pistol itu dibuang. Apa artinya seorang lelaki kalau senapan miliknya bodong?.
Betapa malang seorang lelaki yang tidak berdaya untuk bergaul intim dengan isterinya.
“Abi sedang berobat!,” hanya itu yang mampu kuucapkan kepada anakku.***
Majalah Kartini Jakarta, no.468 Oktober 1992
(Dalam nomor ini juga tercantum novel Suparto Brata Terjebak Di Monitor)
7. KURIR DARI SIPIROK
LELAKI tua itu tubuhnya sudah sangat kurus, tinggal tulang terbalut kulit, rambutnya memutih seluruhnya, giginya tidak bersisa lagi, matanya kuyu dan selalu menatap langit-langit atau memandang sekitar kamarnya tempat ia terbaring tanpa daya. Bibirnya yang hitam itu selalu bergetar menanyakan anak-anaknya.
“Dimana kau Monang,anakku?,” kalimat itu selalu bergetar dari celah bibirnya.
“Aku di sini,ayah. Aku ada di kaki ayah!.”, sahut seorang anak lelaki tua itu.
“Syukurlah, jangan tinggalkan aku sekejappun,” pinta lelaki tua itu.
“Ya!”
“Aku ingin di saat menghembuskan nafas terakhir, ada anakku yang membisikkan kata-kata zikir di telingaku!,” pinta lelaki tua itu lagi.
“Aku yang akan membisikkan zikir itu!,” sahut Monang.
“Aku juga akan mengucapkan zikir itu di telinga ayah!”, sahut anak yang lain.
“Mana Si Lolom?,” sepasang bibir lelaki tua itu bergetar lagi.
“Lolom belum datang. Murid-muridnya sedang ujian naik kelas. Besok atau lusa mungkin baru sampai di sini.”
“Nauli kapan datang?”
“Anak perempuan ayah sedang di dapur,membuat bubur untuk ayah.”
Lelaki tua yang terbaring itu menyebut nama anak-anaknya satu demi satu. Juga si Soripada, Pintor, Lindung dan Tigor. Lelaki tua itu hanya seorang pembuat gula bargot selama bertahun-tahun. Selama bertahun-tahun, sejak masa mudanya, tiap hari yang dilakukannya adalah memanjat pohon aren yang terletak di kebun, di belakang rumahnya. Tiap hari yang dibawanya adalah garung, tabung dari bamboo, tempat menampung ngiro atau air nira sebagai bahan baku gula bargot.
Dari hasil membuat gula aren itulah, lelaki tua itu membiayai hidupnya bersama almarhumah Maimunah, isterinya dan juga untuk membiayai anak-anaknya bersekolah, hingga jadi guru, jadi pegawai di kantor bupati dan jadi pedagang di Pasar Tradisonal Simpang Limun. Yang jadi perawat di rumah sakit juga ada.
Lelaki tua itu dikenal oleh orang-orang desa di kaki gunung Si Bual-Buali itu dengan panggilan Ompung Doli. Dan Ompung Doli hanyalah seorang pembuat gula bargot, tapi mampu membiayai dan mendidik anak-anaknya bersekolah di kota sehingga hampir semua anak-anaknya hidup mapan dan tidak seorangpun yang akan menjadi pembuat gula bargot di desa di kawasan Sipirok Saipar Dolok Hole.
Usia tua menyebabkan lelaki tua itu tidak lagi mampu mamanjat pohon enau yang tingginya belasan meter menggunakan tangga dari bambu atau sige.. Usia lenajut menyebabkanb lelaki itu gamang melihat bumi dari puncak pohon enau. Sekarang Ompung Doli hanya mampu berbaring dan makanpun hanya bubur.
***
SEKARANG Ompung Doli hanya terbaring tidak berdaya,padahal lebih dari setengah abad usianya ia habiskan di atas pohon enau untuk mengambil ngiro atau air nira. Sekarang ia terbaring tanpa daya dan semua anak cucunya sudah berkumpul di sisinya. Semua anak cucunya duduk bersila mengelilingi jasadnya yang kini tampak kurus dan tidak berdaya.
“Semua anak-anakku sudah datang?,” tanya Oppung Doli.
“Sudah!”, sahut salah seorang puterinya yang bertubuh hitam dan diberi nama oleh lelaki tua itu Si Lolom.
“Cucuku juga sudah ada di rumah ini?”
“Sudah!. Mereka bermain di halaman!.”
“Syukurlah. Aku bahagia sekali anak dan cucuku pada hari ini hadir di sini.
Aku sudah tua, aku sudah berumur lanjut. Mungkin tidak lama lagi Tuhan akan memanggilku. Aku sduh rela,”
“Tapi kami selalu berdoa untuk ayah agar ayah kembali sehat dan panjang umur.”
sahut salah seorang anak perempuan yang bernama Tiur.
“Sudahlah!. Tuhan sudah memberiku umur panjang. Aku sudah bekerja keras selama bertahun-tahun memanjat pohon bargot. Dari pohon bargot itu mengalir rezeki yang tidak putus-putusnya untuk hidupku dan untuk kalian semua.”
“Alhamdulillah!,” cetus salah seorang anak perempuan.
Semua anak cucu yang duduk bersila di depan Oppung Doli tertegun mendengar kata-kata itu. Semua tertegun mendengar kata-kata lelaki tua yang sudah sangat uzur.
“Garung-garung itu sudah harus kutinggalkan. Tidak ada seorangpun anak cucuku yang mau menjadi pemanjat pohon aren. Biarlah cuma aku yang bekerja keras memajat pohon dan membuat gulo bargot. Syukurlah anak-anakku hidup dikota dengan layak tanpa harus bekerja keras seperti aku.”
Lelaki itu terdiam sejenak dan menghela nafas panjang, lalu berkata lagi:
“Aku meminta jangan buang garung-garung itu. Jangan bakar garung-garung itu. Jangan musnahkan benda-benda itu. Simpanlah benda-benda itu dengan baik.”
“Tidak!. Kami tidak akan membuangnya. Kami akan menjaganyanya.”
“Itulah yang kuharap. Garung itu memiliki sejarah yang panjang.”
“Kami tahu itu!”
“Garung-garung itu tidak hanya untuk menampung air ngiro yang akhirnya menjadi gula bargot.Banyak kenangan yang tidak terlupakan pada garung-garung itu.”
“Apakah ayah pernah terjatuh dari pohon bargot bersama garung-garung itu?”
“Ayah selalu berhati-hati. Belasan tahun aku memanjat pohon bargot dan memijakkan telapak kakiku di atas sige. Tidak pernah sekalipun aku terpeleset karena aku selalu berhati-hati dan malaikatpun selalu menjaga diriku.”
“Syukurlah ayah selalu dilindungi Tuhan. Andainya kaki ayah terpeleset di atas sige, pastilah ayah akan jatuh ke tanah dan akibatnya membawa kematian.”
“Mudah-mudahan tidak pernah jatuh, hingga hari terakhir aku memanjat pohon-pohon itu!”
Semua anak-cucu yang hadir di kamar itu memandang kepada Oppung Doli yang hanya mampu terbaring di hari tuanya.
“Dengarlah baik-baik. Aku tidak hanya sekedar pembuat gula bargot. Aku juga pernah membantu para pejuang di daerah Sipirok ini. Pada masa awal kemerdekaan, rakyat Sipriok Saipar Dolok Hole sangat benci kepada orang-orang Kuria yanga berasal dari Hajaon Natolu yang menindas rakyat dan mereka sewenang-wenang mengutip balasting atau melakukan kerja paksa. Tapi syukurlah kepala Kuria itu diganti oleh Dewan Negeri yang dipilih oleh warga dan membela kepentingan rakyat banyak”
Oppung Doli sudah tua dan lemah, tetapi ia seperti mendapatkan mukzizat, seperti mendapat kekuatan untuk bertutur tentang masa mudanya ketika penjajah Belanda ada di kawasan Sipirok Saipar Dolok Hole.
“Serdadu Belanda menjaga ketat jembatan yang menghubungkan desa Utara dan Selatan, sehingga pasukan republik di kawasan Selatan itu kekurangan makanan dan senjata.,” tutur Ompung Doli lagi.
“Lalu bagaimana sikap orang-orang republik!”
“Tentara republik butuh senjata untuk melawan serdadu Belanda. Karena itulah pasukan kita yang berada di kawasan Utara harus mengirim senjata kesana karena ada rencana untuk menyerang markas Belanda secara besar-besaran.. Dan aku juga ikut ambil bagian.”
“Ayah ikut berjuang?” tanya salah seorang anak lelaki itu yang bernama Lokot..
“Ayah memang tidak ikut menembaki Belanda. Ayah tidak ikut di medan perang. Tapi aku ikut membantu pasukan mereka mengirimakn senjata dan peluru.”
“Ayah tidak takut?”
“Pada waktu itu tidak seorangpun yang cinta tanah air dan cinta kemerdekaan takut kepada Belanda. Semua warga ingin mengusir Belanda dari negeri tercinta ini. Juga aku. Juga warga lainnya di Kawasan Sipirok Saipar Dolok Hole ini.”
Semua anak-anak yang tidak pernah menghadapi penjajah Belanda itu hanya manggut-manggut penuh rasa kagum.
“Apa yang ayah lakukan?” tanya Lindung.
“Aku , Sopar dan Pintor sesama pembuat gula bargot hanya jadi kurir yang mengirim senjata dan peluru.”
“Tugas yang sangat mengerikan dan bila tertangkap Beladna pasti ditembak!”
“Tapi kami punya cara dan tipu daya.”
“Tipu daya bagaimana?” tanya anak-anak Ompung Doli serentak.
“Kami adalah orang-orang Sipirok yang tiap hari memanjat pohon aren dengan membawa garung yang terbuat dari bulu godang. Hari itu kami menyeberangi jembatan yang dijaga ketat oleh pasukan Belanda dengan membawa garung yang baisanya berisi air ngiro. Tapi pada hari itu, dalam garung yang kami bawa bukanlah air ngiro, namun berisi senjata dan peluru. Belanda sama sekali tidak curiga. Belasan senjata dan cukup banyak peluru kami kirim ke desa seberang dengan menggunakan garung sehingga pasukan Belanda tidak curiga sama sekali. Mereka mengira garung yang kami bawa adalah air ngiro untuk dijadikan gula bargot, padahal dalam tabung bambu itu isiinya adalah senjata dan peluru untuk membunuh mereka dan seluruh serdadu Belanda”
“Luar bisa!,” ujar Lindung penuh rasa kagum..
“Ayah adalah pejuang kemerdekaan!,” sambut yang lain.
Seorang pemanjat pohon aren, seorang pembuat gula bargot di sebuah desa di Sipirok Saipar Dolok Hole, ternyata adalah seorang pejuang. Itulah Oppung Doli yang terbaring lemah di hari tuanya.
Garung-garung milik Oppung Doli sampai kini tetap tersimpan dengan baik karena benda dari tabung bambu itu mengandung nilai sejarah . Sebab dalam tabung bambu itu pernah dimasukkan senjata dan peluru untuk penegak kemerdekaan di desa Selatan yang trsilor.
Lelaki tua itu, Oppung Doli, sudah tiada, dia sudah menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Jenazahnya dikuburkan di kaki Tor Si Bual-Buali yang hawanya sejuk dan alamnya amat indah serta tidak jauh dari pemakaman itu mengalir sebuah sungai yang airnya jernih dan di sungai itu banyak ikan Gappual, Tikkalang, Mirik dan Haruting . Di pohon-pohon yang tumbuh di pemakamn itu juga selalu hinggap berbagai jenis burung, seperti burung Balom, Katitaren dan Ambaroba yang kicaunya amat nyaring.
Garung = Tabung penampung air nira terbuat dari bamboo
Sige = Tangga, juga terbuat dari bambu
Analisa , Minggu 20 Agustus 2008
8. JAKARTA - BEIJING
Awan putih sedang berarak perlahan di langit yang berwarna kemerahan karena senja mulai menyungkup wajah kota Jakarta. Burung-burung yang sejak pagi terbang melanglang buana, pulang bersama datangnya senja Di rembang petang itupun semut-semut kecil beriring pulang ke sarangnya sambil mengusung bangkai belalang. Kuli bangunan dan penjajah makanan, juga berjejal dalam bis kota untuk kembali berkumpul bersama keluarganya di kawasan kumuh.
Hampir seribuan orang-orang bermata sipit, tua dan muda, gadis-gadis remaja, lelaki bertongkat, nenek-nenek bongkok berwajah keriput yang matanya sudah rabun, tidak bergeming dan semuanya memadati pelataran museum Fatahillah. Mereka menyaksikan atraksi akrobatik barongsai. Ratusan dan hampir seribuan orang-orang China dari suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis bejubel menjadi satu .. Semua mengagumi kelincahan sang barongsai melompat dari satu tonggak ke tonggak lainnya, padahal di bawahnya ada benda tajam seperti pisau terhunus.
Orang-orang Tionghoa itu amat asyik menyaksikan atraksi akrobatik barongsai yang saat ini dirancang sebagai komoditas pariwisata unggulan di negeri ini.
Bila atraksi barongsai itu berakhir, seorang gadis cantik bermata sipit, menyerbu ke tengah lapangan dan menghampiri ,Wang You Shan, seorang pemain barongsai yang pernah menjadi juara Open Lion Dance Invitation Championship di Seremban Malaysia.
“Hebat kamu,Shan.. Penampilanmu benar-benar memukau ribuan orang. Memang pantas kamu menjadi juara.”, cetus gadis bermata sipit itu,Yang Huiyan ,dan menyeka peluh di wajah Wang Yoe Shan, sang pemain barongsai. Mereka berdua pernah amat akrab sebelum Jakarta terbakar oleh api kerusuhan terhadap etnis Tionghoa lebih sepuluh tahun silam
“Kamu hadir di sini, Huiyan” lelaki itu terkejut. “Aku mengira kau sudah tidak ingat lagi dengan negeri ini. Kukira kau sudah terlena di Beijing”
“Aku rindu negeri ini,Shan. Aku rindu Jakarta. Sebab di sini papa dan mamaku serta aku dilahirkan dan dibesarkan. Di bumi ini keluargaku diberi kehidupan layak.
Tapi kerusuhan yang terjadi sepuluh tahun silam menyebabkan banyak orang-orang Tionghoa harus meninggalkan Jakarta untuk mencari keselamatan.. Juga keluargaku.”
Gadis bermata sipit itu menunduk sedih. Juga lelaki pemain barongsai yang masih bermandi keringat tampak sedih mengenang tragedi lebih sepuluh tahun silam, ketika meletus anti China, ketika api berkorbar di Jakarta. Pabrik, toko, pasar swalayan, rumah milik orang China dibakar dan isinya dijarah. Bahkan banyak gadis-gadis keturunan etnis itu menjadi korban pelecehan.
Asap tebal mengepul di langit Jakarta lebih sepuluh tahun silam dan Yang Huiyan tidak sempat menyaksikan rumah-rumah, pabrik dan toko-toko dibakar, karena ia sudah eksodus ke Bejing bersama ribuan warga China lainnya. Ia hanya tahu dari kerabat yang masih tetap bertahan di negeri ini. Kabar tentang rumahnya yang jadi abu juga didengarnya dari kerabat dan dari Engkong Oei Giok Eng yang saat itu sudah berumur 70 tahun tidak ingin ikut terbang ke Beijing. Engkong Oei yang sudah tua itu ingin mati di negeri ini, ingin mati di Jakarta.
Engkong tua bangka itu pasrah ketika pagar rumahnya dijebol para perusuh dan isi rumahnya dijarah. Dan engkong tua itu kini masih hidup, masih mampu menyambut kedatangan cucunya yang lebih sepuluh tahun bermukim di negeri leluhurnya, China.
Dan sekarang Engkong Oei itupun ikut menyaksikan atraksi barongsai di pelataran museum Fatahillah dan ikut mengagumi penampilan Wang Yoe Shan
“Aku tidak ikut lari ke luar negeri, Huiyan.. Tapi aku dan kakak-kakak perempuanku selamat dan juga rumah serta harta bendaku tidak tersentuh oleh para perusuh itu.,” lelaki pemain barongsai itu berkata sambil meneguk air mineral.
“Aku heran, mukzizat apa yang melindungi dirimu, Shan. Dan semua kerabatku juga heran, bagaimana kamu bisa lolos dari lubang jarum pada saat kerusuhan itu.”
“Kalau aku selamat, yang melindungi diriku bukanlah mukzizat.”
“Lalu siapa yang melindungi keluarga dan harta benda orang tuamu?. Adakah tentara berpangkat tinggi yang menjaga rumahmu?. ”
“Tidak!. Tidak sama sekali. Kami tidak punya kenalan tentara.”
“Lalu siapa yang melindungi rumahmu?”
“Hanya ondel-ondel!”
“Jangan main-main,Shan. Ondel-ondel adalah boneka besar milik orang Betawi,.” tukas Yang Huiyan yang tahu persis tentang ondel-ondel, boneka Betawi yang tingginya 2 meter, rambut dari ijuk, wajah ondel laki-laki dicat warna merah dan perempuan dicat warna putih.
“Sungguh mati!, ondel-ondellah yang melindungi rumah dan harta bendaku!”
Masih di pelataran museum Fatahillah itu dan ratusan orang belum bergeming, belum ada yang meninggalkan tempat itu, lelaki pemain barongsai itu bertutur lagi:.
“Terus terang, aku tidak hanya pemain barongsai. Aku juga mencintai kesenian Betawi lainnya.. . Aku mahir memainkan ondel-ondel. Aku ikut main Lenong. Aku ikut kesenian Gambang Kromong dan mahir memainkan alat musik yang namanya kongahyan, tehyan dan skong yang sebenarnya masih dipengaruhi unsur kesenian Tiongkok. Aku ikut organisasi kesenian Betawi. Aku selalu ikut latihan berbagai kesenian Betawi yang terletak di Setu Babakan Srengseng Sawah di bagian selatan Jakarta. Aku ingin mengajakmu ke tempat itu dan kamu pasti akan kagum melihat kesenian Betawi dilestarikan disana.”
“Lalu bagaimana ondek-ondel itu menyelamatkan rumah dan harta benda serta keamanan keluargamu, padahal kakakmu perempuan dan mereka semua selamat dan aman-aman saja?”
“Anak-anak peserta latihan seni Betawi itu kumpul dirumahku ketika kerusuhan itu terjadi. Mereka membawa ondel-ondel dan kakakku memainkannya di halaman rumah. Musik Gambang Keromongpun dilantunkan.. Kamu masih ingat ,bukan?. Bahwa dalam sejarah Gambang Kromong, lelaki Tionghoa seperti kita memiliki andil yang amat besar, yakni Nie Hu Kong?. Sementara Jakarta jadi lautan api karena kerusuhan dan penjarahan, keadaan rumahku aman-aman saja karena para perusuh itu melihat tampilan ondel-ondel dan mendengar musik Gambang Kromong dari rumahku. Mereka mengira rumahku adalah milik tokoh kesenian dan budayawan Betawi.”
“Hebat kamu,Shan.” cetus gadis yang baru menjejakkan kakinya dari Beijing setelah lebih sepuluh tahun bermukim di negeri tirai bambu itu. “Rumah dan harta benda serta keluargamu selamat, sementara ribuan orang China menjadi korban kerusuhan itu.”
“Rasanya aku semakin mencintai Jakarta, semakin mencintai negeri ini dan mencintai budaya dan karya seninya.”
“Aku juga begitu,Yoe Shan. Aku sudah bermukim jauh di Beijing, tapi hatiku selalu berada di sini, di kota ini. Aku bangga dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta dan Engkong Oei selalu bercerita tentang sejarah Jakarta.”
Gadis bermata sipit yang masih berdiri di pelataran Museum Fatahillah , didepan pemain barongsai itu, sesaat ingat penuturan kakeknya tentang kota Jakarta. Sampai kapanpun gadis yang baru menjejakkan kakinya dari Beijing itu selalu ingat , bahwa sebelum Belanda menjejakkan kakinya di Batavia, kota ini masih berbukit-bukit dan banyak hutan jati. Tapi Belanda menebang pohon-pohon jati itu. Karena banyaknya pohon-pohon jati itulah beberapa kawasan mengabadikan pohon jati dalam nama perkampungan, seperti Kramat Jati, Jati Bening, Jati Baru, Jati Bunder, Jati Petamburan, Jatinegara dan banyak lagi.
“Engkong Oei menuturkan, bahwa dulu Jakarta yang masih bernama Batavia adalah sebuah kota yang hijau.” ujar gadis berdarah China itu lagi..
“Ya, aku juga pernah mendengar penuturan itu. Aku pernah mendengar tentang Gubernur berkebangsaan Belanda ketika masih berkuasa di Batavia di tahun 1780 menanam pohon jati di sekitar Batavia.”.
“Aku bangga dapat bertahan di Jakarta. Aku bangga akrab dengan orang-orang suku Betawi yang tiap tahun mengadakan sedekah bumi sebagai tanda kesyukuran mereka mendapat rezeki yang lancar. Jakarta sebagai “emak bumi” selalu memberi rezeki yang layak bagi warganya, hingga detik ini. Memang sepantasnya, Jakarta sebagai emak bumi yang memberi kemurahan rezeki kepada warganya dengan latar belakang berbagai etnis, suku dan agama. Sudah sepantasnya setiap orang yang dilahirkan di sini menyayangi emaknya, meyayangi Jakarta dan berbuat yang terbaik untuknya.”
Kata-kata itu membuat gadis yang baru menjejakkan kakinya dari negeri panda itu termenung. Ia merasa berdosa, eksodus ke Beijing hanya beberapa hari sebelum meletusnya kerusuhan anti etnis China di negeri ini. Ia merasa telah berbuat keliru, ia merasa tidak setia kepada kota kelahirannya. Ia merasa tidak mencintai kota kelahirannya yang bernama Jakarta dan sedang berbenah diri menuju kota “megapolitan”.
Padahal semua orang yang bermukim di kota ini berharap agar Jakarta sebagai kota budaya dan penduduknya menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, budaya dan etika.
“Terus terang,Shan. Dari tempat yang sangat jauh di Beijing aku selalu mengikuti kabar apa yang terjadi di Jakarta. Aku bangga melihat kenyataan, bahwa Jakarta adalah sebuah kota terbesar di Asia Tenggara yang dihuni oleh penduduk dengan berbagai latar belakang etnis dan suku serta agama.. Kota ini harus menjadi sebuah kota majemuk sejak zaman ke zaman.”
Di pelataran museum Fatahillah yang masih ramai oleh warga China yang baru saja menyaksikan atraksi barongsai, sepasang manusia yang pernah akrab itu saling bertukar informasi tentang Jakarta, sebagai kota kelahiran mereka. Mereka tahu, bahwa etnis Betawi mendiami Jakarta sejak 11 abad silam dan sejak abad X, Jakarta mulai menerima kedatangan warga baru dari luar daerah yang namanya urbanisasi.
Mereka berdua adalah warga yang dilahirkan di Jakarta, mereka berdarah China, tapi mereka banyak mengetahui tentang seluk beluk Jakarta. Mereka tahu, bahwa saat ini Jakarta sedang menuju kota megapolitan dan untuk mewujudkannya perlu waktu yang lama. Tapi konsep itu akan terwujud pada suatu saat nanti, ketika proses perubahan nilai-nilai kota Jakarta semakin pluralistik, masyarakatnya semakin terbuka. Dalam proses konsep inilah diperlukan untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya Betawi yang selama ini ditekuni lelaki pemain barongsai itu. Tiap anggota masyarakat berharap pertumbuhan Jakarta megapolitan tidak menjadi ancaman bagi moral masyarakat. Semua warga berharap, bahwa Jakarta yang secara phisik makin modern dan berkembang luas, dalam hal wilayah dan penduduk yang semakin padat, harus perduli dengan moralitas dan kehidupan beragama agar kemajuan material berjalan serasi dengan kehidupan spiritual dan keagamaan serta adat istiadat warganya.
Pagi pagi benar, Wang You Shan, sudah hadir di tempat Yang Huiyan menginap dan gadis yang baru saja menjejakkan kaki dari Beijing itu masih menyisir rambutnya.
“Hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” ujar Wang Yoe Shan dan memperhatikan gadis itu amat dalam,sejak ujung rambut, lekuk tubuh, hingga ujung kaki.
“Kemana kamu akan membawaku?. Ke vihara tempat kita selalu melakukan doa bersama seperti dulu?”.
“Tidak!. Sudah amat lama aku tidak pernah ke vihara ”
“Ke Puncak?. Ke Bandung atau ke Yogya untuk menyaksikan tari Bedhaya atau melihat wayang orang di sana?”
“Ke suatu tempat yang indah dan di sana kamu akan melihat sesuatu yang sangat menggugah hati dan mengagumkan. .Kamu tidak akan pernah melupakannya nanti.”
“Terkadang aku kesal keluar rumah, dimana-mana terjebak kemacetan!,” keluh gadis cantik yang matanya sipit itu.
“Itulah konsekwensinya kota metropolitan, padat, sesak, macet dimana-mana, kejahatan meningkat, moral dn etika terabaikan, penyakit masyarakat juga merajalela, gerakan menegakkkan disiplin gagal , dan masyarakatpun semakin kurang perduli terhadap lingkungan. Pengguna obat-obat terlarang semakin menjadi-jadi. Sampah ada dimana-mana. Padahal banyak pakar sudah menyampaikan amanatnya, bahwa pada umumnya negara-negara di Asia gagal melaksanakan pembangunan karena gagal menegakkan disiplin sosial masyarakatnya.”
“Hebat pola pikirmu,Shan,” cetus gadis berdarah China itu penuh rasa kagum.
“Untuk beralih dari Jakarta sebagai kota metropolitan ke tingkat megapolitan memang membutuhkan kerja keras para pemimpin di wilayah ini dan butuh dukungan masyarakat luas.” sambung lelaki pemain barongsai itu amat serius.
Di Setu Babakan, dari jauh sudah terdengar musik Gambang Kromong yang berasal dari alat musik gesek tradisional kongahyan, tehyan, skong, gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang , kempul dan gong sehingga melahirkan irama yang amat enak di dengar. Sepasang manusia berdarah China itu merasakan suasana sejuk karena menyadari seni gambang kromong terdapat alat musik tradisonal China yang dikolaborasikan dengan tari-tarian cokek. Dari jarak jauh sudah terlihat suasana Betawi, rumah-rumah seluruhnya berarsitektur Betawi..Wisatawan mancanegara juga banyak di sana.
Ratusan orang berasal dari berbagai daerah, bahkan turis dari mancanegara sudah lebih awal memasuki perkampungan Betawi, Setu Babakan, sebagai pusat pelestarian budaya Betawi. Dari gerbang yang diberi nama Pintu Bang Pitung, mereka berdua disambut sepasang ondel-ondel.
Meskipun mereka berdua berdarah China dan saat ini Yang Huiyan bermukim di Beijing, tapi ia tahu ,bahwa ondel-ondel selalu memeriahkan pesta perkawinan, sunatan, bahkan acara kenegaraan. Tidak jarang di hotel-hotel internasional ondel-ondel juga di pajang. Masyarakat Betawi meyakini, bahwa ondel-ondel dapat mengusir roh, dan dipercaya sebagai simbol nenek moyang yang menjaga cucu-cucunya.
Suasana Betawi benar-benar menyejukkan hati ratusan pengunjung pusat pelestarian budaraya Betawi di Setu Babakan. Di tengah arena terlihat bangunan pentas berukuran besar yang diteduhi pepohonan, dan pertunjukan Lenong sedang ditampilkan. Di pentas ini tiap malam ditampilkan berbagai seni budaya Betawi seperti Tajidor yang sudah ada sejak abad ke 18. Dulu seorang gubernur jenderal Belanda, Valckeneier menggabungkan alat musik gamelan, suling China dan tambur asal Turki sehingga Tajidor memikat hati amat banyak orang.
“Aku beruntung datang dari Beijing menjejakkan kaki di bumi Jakarta dan menyaksikan perkampungan budaya ini. Sungguh sangat menyenangkan,”
“Besok kita menelusuri Jawa. Kita menyinggahi kota-kota yang pernah disinggahi oleh Laksamana Cheng Ho.” cetus Wang You Shan.
“Perjalanan itu pasti menyenangkan.”
Sebagai lelaki yang amat mencintai seni budaya negeri ini, Wang Yoe Shan bertutur tentang petualangan Laksamana Cheng Ho. Tujuh kali kali pelayaran Cheng Ho ke Nusantara dalam rangka menyebarkan Islam, banyak menyinggahi banyak kota-kota di Jawa. Tokoh idola You Shan, bukan Bush, bukan Napoleon, tapi Cheng Ho.
“Bila Islam berkembang di Pulau Jawa, peran Cheng Ho amat besar!,” tutur Shan. Dan gadis cantik di sisinya hanya manggut-manggut. “Kita akan menyaksikan berbagai kesenian Jawa, mulai dari Bedhaya, tari Srimpi, Jatilan, hingga reog.”
Gadis bermata sipit itu tersenyum , tapi akhirnya berkata lagi:
“Aku datang dari Beijing tidak hanya rindu Jakarta dan rindu negeri ini,Shan. Tapi aku juga rindu kepadamu. Aku ingin mengajakmu ke Beijing dan ikut serta menangani usaha papaku yang berkembang pesat di pusat kota Beijing. Kita menikah nanti,” gadis manis bermata sipit itu berbisik di telinga pemain barongsai itu. “Kau boleh menunjukkan kehebatanmu memainkan barongsai di sana nanti..”
Lama lelaki itu terdiam dan menunduk. Ia membiarkan gadis itu berkata lagi:
“Negeri Tiongkok saat ini sedang dikagumi dunia. Kau tentu sudah mendengar tentang seorang warga Tiongkok sudah terbang ke luar angkasa. Nama Zhai Zhigang sebagai taikonot China dikenal seluruh dunia karena mampu berjalan di luar angkasa. Sebentar lagi Tiongkok akan membangun stasiun luar angkasa dan warga kita akan segera menjejakkan kaki di bulan. Ayolah ke Beijing bersamaku!,” imbau Yang Huiyan.
Tapi Wang Yoe Shan tetap diam dan menunduk. Ia tahu saat ini Beijing amat megah, gemerlap dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik, tapi Wang Yoe Shan tidak tergugah hatinya. Ia merasa lebih bahagia menjadi warga Jakarta dan amat akrab dengan warga Betawi dan suku-suku lain yang datang dari berbagai daerah di republik ini. Dari tahun ke tahun arus urbanisasi membuat Jakarta semakin padat dan sesak.
“Kenapa membisu, Shan. Kenapa diam?. Pesta perkawinan kita rayakan di Jakarta, dengan pertunjukan ondel-ondel, lenong dan musik Gambang Kromong, Lalu di Beijing juga kita adakan pesta yang lebih meriah. “
“Maafkan aku, Huiyan. Aku sudah memiliki pilihan hati,” suara lelaki itu perlahan sekali, hampir tidak terdengar,setelah beberapa saat menekur. .
“Kau sudah punya pilihan?. Kamu akan menikah dengan orang lain?.”
“Ya. Namaku bukan lagi Wang You Shan, tapi Yusuf Hasan,nama khas Betawi. Aku akan menikah dengan seorang gadis Betawi.. Aku sudah menjadi seorang muslim.”
Gadis itu menunduk sedih. Ada cairan bening bergulir di pipi gadis yang kini menetap di Beijing. Kepulangannya ke Jakarta menyebabkan air matanya mengalir seperti anak sungai kecil Hatinya seakan terbelah dua, di Jakarta dan di Beijing..***
Jakarta International Literary Festival
(Kumpulan 24 Cerita Pendek Pilihan JILFES 2008)
9.JENAZAH DI ATAS PASIR
TIDAK peduli hujan lebat yang turun siang dan malam serta badai pun terus-menerus berlangsung, gelombang pun amat besar, pencarian jenazah Salam dan Salim terus dilakukan sepanjang pantai, sepanjang tepian, menelusuri muara hingga ke tengah laut yang paling dalam, tapi tidak membuahkan hasil. Kedua jenazah bersaudara kembar yang bekerja sebagai awak perahu nelayan itu tetap saja tidak ditemukan, sementara dua jenazah lainnya sudah ditemukan sudah membusuk di muara sungai Bah Bolon dan masih dikenali keluarganya dari ikat pinggangnya dan satu lagi dari cincin kawin di jari manis nelayan yang malang itu.
Akan halnya jenazah Salam dan Salim tetap saja misterius hingga acara jamuan laut digelar, jenazah itu tetap belum diketahui nasibnya. Penduduk sepanjang pantai yang umumnya adalah keluarga nelayan melakukan percepatan jamuan laut setelah musibah tenggelamnya perahu nelayan berawak 8 orang itu dan empat nelayan sempat diselamatkan perahu nelayan lainnya.
Percepatan jamuan laut itu dilakukan juga karena berbagai penyakit yang menimpa warga desa nelayan itu dan juga karena hasil tangkapan ikan para nelayan semakin menurun. Ayam dan kambing peliharaan warga juga ikut-ikutan mati. Warga menganggap roh dan jin penguasa laut sudah sangat lapar dan murka.
Masyarakat Melayu yang bermukim di sepanjang pinggiran pantai yang menghadap ke Selat Malaka itu mempercayai, bahwa laut dikuasai oleh para jin dan roh yang bernama Mayang Mengurai, Laksamana, Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju, Katimanah, Panglima Merah, Datuk Panglima Hitam, Babu Rahman dan Babu Rahim.
Seekor kambing jantan berwarna hitam, bertanduk panjang sudah disembelih, juga seekor ayam jago. Kepala, tulang dan kulit dari kambing kurban itu lalu dibawa ke tengah laut untuk dipersembahkan kepada para jin dan roh penguasa laut. Doa dan zikir pun segera dilantunkan oleh segenap warga yang dipimpin oleh ustad dan seorang pawang laut.
Pada saat itulah tangis Zaitun, isteri Salam yang jenazahnya belum ditemukan meraung-raung seperti kemasukan jin laut.
“Kembalikan suamiku! Kembalikan suamiku!”, perempuan hamil tujuh bulan itu meraung-raung dan berlari ke arah laut, ingin mencebur ke dalam air.
Beberapa warga segera mengejarnya sebelum perempuan itu terjun ke laut untuk menyusul suaminya yang hingga saat itu entah di mana.
“Sabar, Atun, Sabar!”, seorang perempuan tua mengusap mukanya dengan air putih. “Pawang sudah berdoa memohon petunjuk di mana suamimu berada”.
“Tapi suamiku masih hidup. Dia masih hidup. Suamiku disekap Mambang Tali Arus, pemakan manusia!”
“Sabarlah, sebentar lagi setelah pawang selesai berdoa jin laut itu akan melepaskan suamimu!”
Setelah dibacakan mantera-mantera barulah Zaitun sadar sepenuhnya. Tubuhnya lemas. Zaitun tidak bernafsu untuk makan bersama pada kenduri jamuan laut itu, padahal seluruh warga nelayan para peserta jamuan laut itu dengan lahap menyantap makanan yang terhidang.
Tiap tahun jamuan laut selalu digelar di pinggir laut itu untuk menolak bala, untuk memohon keselamatan para nelayan. Beberapa perahu nelayan pun ditepung tawari. Tiap tahun di pinggir laut itu dipersembahkan seekor kambing jantan, ayam jago, limau purut, bunga rampai, beras putih serta beras kuning, perlengkapan tepung tawar serta kue-kue. Bendera-bendera dari kain lima warna juga sudah dikibarkan di pantai itu. Tapi jin jahat penghuni laut tetap saja marah, sehingga perahu nelayan berawak 8 orang itu ditenggelamkan badai dan empat orang mampu menyelamatkan diri setelah ditolong awak perahu lainnya dan empat lainnya tenggelam.
***
HANYA sesaat setelah jamuan laut itu digelar, hujan dan badai dahsyat pun reda, serta gelombang pun tidak lagi besar. Mambang Tali Air serta Mayang Mangurai serta seluruh kerabatnya, para jin dan roh jahat yang menguasai laut seperti tidak lagi murka. Doa dan mantera pawang yang dilantunkan di pantai itu terlihat sangat ampuh. Laut tampak tenang, buihnya berderai-derai dan ombak kecil bergulung-gulung berkejaran menuju pantai. Angin laut pun berhembus semilir.
Hanya sehari setelah jamuan laut itu digelar, sebuah perahu nelayan menepi dan yang dibawanya bukanlah ikan hasil tangkapannya, tapi dua jenazah Salam dan Salim yang sudah berhari-hari dicari. Dua jenazah bersaudara kembar itu ditemukan di tengah laut yang paling dalam, tepat pada pusaran air laut.
Dua jenazah itu ditemukan dalam keadaan membusuk, wajahnya sudah tidak dikenali lagi, perutnya mengembung, salah satu jenazah tidak lagi mempunyai tangan. Jenazah itu sudah menjadi santapan binatang laut yang terkadang lebih ganas daripada binatang di darat. Sulit untuk mengenali mana jenazah Salam dan mana jenazah Salim, saudara kembarnya.
Perahu yang membawa dua jenazah itu melaju menuju pantai. Warga nelayan seperti sudah tahu sebelumnya, bahwa hari itu jenazah Salam dan Salim ditemukan. Warga yang umumnya nelayan segera berkumpul di pantai menanti kedatangan jenazah itu.
Warga segera beramai-ramai menurunkan kedua jenazah itu dari perahu dan dengan amat hati-hati meletakkannya di atas pasir yang terbentang sepanjang pantai yang berkilau diterpa matahari sore. Laut memang sedang surut hingga pantai tampak menjorok ke tengah.
“Mana Salam? Mana Salim?” tanya salah seorang pemuka masyarakat desa nelayan itu.
“Sulit dikenali mana jenazah Salam dan mana Salim,” sahut pawang laut yang memandu pencarian jenazah itu hingga ditemukan lalu membawanya ke tepian.
“Seharusnya pawang dapat memastikan mana Salam dan mana Salim. Jangan sampai isterinya keliru membawa pulang jenazah suaminya,” ujar salah seorang yang paling dituakan di kawasan nelayan itu.
“Kewajiban saya hanya mencari kedua jenazah ini,” sahut Sang Pawang Laut. “Untuk memastikan mana Salam dan mana Salim lebih sulit daripada mencari jenazahnya karena keduanya sangat mirip”.
“Lalu harus bagaimana?”
“Yang dapat memastikan hanya isterinya, Zaitun dan Fatima!”
“Ya, benar. Hanya isteri mereka yang dapat memastikan yang mana Salam dan Salim”.
Sang Pawang Laut yang berumur lanjut itu sudah berhasil menemukan kedua jenazah yang membusuk, tapi tetap saja tidak dapat memastikan mana jenazah Salam dan mana Salim. Warga segera berkerumun dan semua bertanya-tanya mana jenazah Salam dan mana jenazah saudara kembarnya.
Ketika kerumunan warga desa pantai mengelilingi dua jenazah yang dibaringkan di atas pasir, dari kejauhan terdengar ratap tangis isteri almarhum nelayan yang malang itu. Zaitun dan Fatima datang bersamaan dan dari jauh mereka sudah tidak mampu membendung air mata.
Dua jenazah yang sudah membusuk itu beberapa saat dibiarkan tergeletak di atas pasir pantai. Zaitun dan Fatima tidak dapat segera memastikan yang mana jenazah suaminya karena kedua jenazah itu bersaudara kembar yang banyak memiliki kemiripan.
Burung-burung camar terbang melayang mengitari kawasan pantai itu. Burung-burung camar itu seakan ikut bersedih melihat dua perempuan yang meratapi suaminya dan salah seorang dalam keadaan hamil. Angin laut pun berhembus giris. Sebentar lagi senja akan menyungkup kawasan pantai itu. Warna merah di langit sudah mulai terlihat. Sesaat lagi matahari akan tenggelam. Dua jenazah di atas pasir itu harus segera dikebumikan.
Dua perempuan, Zaitun dan Fatima, masih menangisi dua jenazah di depannya. Tapi kedua perempuan itu tidak tahu harus menangisi jenazah yang mana adalah suaminya, sebab lima hari tenggelam di dasar laut menyebabkan tubuh jenazah itu rusak dan tidak dikenali lagi. Itulah sebabnya dua perempuan itu pun tidak dapat memastikan yang mana jenazah suaminya.
“Tidak usah menangis lagi. Takdir Tuhan sudah terjadi atas umatNya. Kita harus bersyukur jenazah ini dapat ditemukan dan kita harus melaksanakan penguburannya dengan segera!”, ujar sang pawang laut kepada Zaitun dan Fatima.
Fatima mengusap air mata namun Zaitun yang sedang hamil tujuh bulan tidak mampu membendung tangisnya. Zaitun merasakan kesedihan yang amat besar dalam hatinya.
“Hanya kalian berdua sebagai isteri yang dapat memastikan mana suaminya kemudian membawanya pulang,” ucap sang pawang laut.
“Tapi saya tidak tahu yang mana jenazah suami saya,” sahut Zaitun.
“Saya juga tidak dapat memastikan yang mana jenazah ayah anak-anak saya,” sahut Fatima pula.
“Sebagai isteri seharusnya kalian berdua tahu tanda-tanda khusus yang ada di tubuh suami,” lanjut sang pawang laut dan memandang kepada isteri nelayan itu.
Kata-kata sang pawang laut itu menyebabkan Fatima yang sudah melahirkan empat orang anak itu teringat sesuatu. Sebagai isteri yang sudah tujuh tahun menikah dengan almarhum Salim, dia tahu persis ada tanda-tanda khusus pada tubuh suaminya, bahkan tanda-tanda khusus yang ada pada bagian tubuh yang paling sensitif dan tersembunyi. Fatima ingat benar ada andeng-andeng pada organ tubuh suaminya yang selalu tersembunyi dan amat sensitif. Justru suaminya amat bangga memiliki tahi lalat di tempat itu.
“Saya akan meneliti tanda-tanda khusus yang ada pada suami saya,” ujar Fatima kepada sang pawang laut.
“Itulah yang terbaik. Biar jenazah ini segera dikebumikan dengan selayaknya,” sahut sang pawang laut.
Fatima yang sudah melahirkan empat anak itu segera mengamati kedua jenazah itu hingga ke balik celananya yang sudah robek-robek. Kedua jenazah itu memang memiliki banyak kemiripan karena mereka bersaudara kembar. Tapi hanya satu yang memiliki andeng-andeng pada bagian tubuh yang tersembunyi itu, hanya Salim, suami Fatima yang sudah melahirkan empat anak.
Syukurlah tidak semua bagian tubuh kedua jenazah itu rusak disantap binatang laut hingga Fatima menemukan tanda-tanda itu pada jenazah yang terbaring sebelah kanan.
Tahi lalat yang ada di bagian tubuh yang paling tersembunyi dan sensitif itu memberi petunjuk kepada isterinya, bahwa ia tidak salah pilih untuk membawa pulang jenazah suaminya. Siapa pula yang pernah melihat andeng-andeng di tempat tersembunyi kalau bukan isterinya sendiri?
Jenazah di atas pasir itu pun akhirnya dibawa pulang isterinya untuk dimandikan, dikafani, disalatkan dan dikuburkan. ***
Dimuat di Kedaulatan Rakyat Silakan Kunjungi Situsnya!02/05/2006 Telah Disimak 703 kali
( Dikutip dari Internet)
10. E M B R I O
TIDAK ADA suara apa-apa.. Burung-burung tidak seekorpun yang berkicau, daun-daun tidak bergerak, angin tidak berhembus. Udarapun amat dingin di tengah hutan di lereng gunung itu. Suasananya amat sepi., diam, bisu dan beku. Barak yang biasanya dihuni puluhan orang-orang bersenjata AK 47, senja itu sudah hampir kosong. Puluhan orang sudah meninggalkan barak itu, sudah menuruni lereng gunung, sudah berangkat ke kota untuk menyerahkan diri, untuk menyatakan kesadarannya kembali ke pangkuan ibu pertiwi, untuk menyatakan kesetiaannya kepada republik ini.
Hanya tinggal dua anak manusia yang tinggal di barak itu, Meutia dan Agam . Pasangan suami isteri itu masih menyandang senapan laras panjang ..
“Ayo kita berangkat sekarang!,” terdengar suara Meutia parau. “Sebentar lagi malam datang. Hanya tinggal kita berdua di barak ini!,”
“Tidak!. Kalau untuk menyerah aku akan tetap mengatakan tidak!. Aku tidak akan pernah mengijinkan kamu untuk menyerah,”sahut sang suami dengan wajah tegang.
“Di barak ini hanya tinggal kita berdua. Kita tidak punya kekuatan lagi. Semua sudah menyerah.”
“Kita harus bertahan!”
“Meskipun hanya tinggal kita berdua?”
“Ya!,” lelaki itu berkata tegas “Meskipun hanya tinggal aku sendiri!”
“Sampai kapan?”
“Sampai yang kita cita-citakan tercapai, sampai kita benar-benar merdeka.”
“Tidak ada harapan lagi. Aceh Merdeka tidak akan mungkin terwujud karena para petingginya sudah menanda tangani kesepakatan damai di Helsinki. Dunia mendukung perdamaian itu. Tidak ada lagi yang mendukung perjuangan kita. Tidak mungkin kita memperjuangkan kemerdekaan hanya berdua. Perjuangan kita akan sia-sia. Lebih baik menyerah..” Meutia tetap bersikukuh untuk membawa senjatanya dan menyerah.
Tiba-tiba lelaki itu menghunus rencong dan mengacungkannya di depan Meutia.
“Jangan!. Jangan pernah menyerah. Daripada kamu menyerah lebih baik aku mengakhiri hidupmu. Aku akan membunuhmu, bukan dengan peluru, tapi dengan rencong ini. . Rencong ini akan mencabut nyawamu, supaya kamu tidak merasa sakit.”
Berdebur darah dalam diri Meutia memandang sebilah rencong di tangan suaminya yang sudah bertahun-tahun tinggal di hutan dan sesekali turun ke kota untuk melakukan penyerangan terhadap konvoi aparat. Jantung Meutia gemuruh ketika memandang sebilah rencong terhunus di tangan suaminya. Jantungnya semakin gemuruh ketika lelaki itu mendekat.
“Aku tidak akan segera membunuhmu. Aku akan mengaulimu sebagai isteriku. Aku ingin menikmati kemesraan bersamamu, mungkin untuk terakhir kali.”
Meutia tidak berdaya ketika suaminya membuka kancing bajunya satu demi satu. Seperti ia tidak berdaya menghadapi sebilah rencong yang terhunus di tangan lelaki itu.
“Setelah kamu menggauli diriku, kamu akan merelakan aku menyerah?”
“Tidak!”
“Kamu tetap akan membunuhku dengan rencong itu?”
“Ya. Karena aku tidak ingin ada pengkhianatan di antara kita.”
“Setelah aku mati, setelah aku tidak ada , kamu akan berjuang sendiri dengan dua pucuk senjata di tanganmu?”
“Aku yakin akan datang lagi perempuan-perempuan lain yang akan berjuang untuk kemerdekaan Aceh.. Kamu harus ingat, sejak ratusan tahun silam, selalu ada saja perempuan berjuang untuk Aceh Merdeka. Kamu tidak boleh lupa di Aceh pernah ada armada laut dengan ribuan pejuang perempuan yang dipimpin Laksamana Malahayati. Esok hari akan muncul lagi perempuan seperti Pocut Meuligo yang gagah berani dan membunuh ribuan serdadu Belanda serta jenderalnya.”
Meutia hanya manatap suaminya ketika lelaki itu menyebut sejumlah wanita pejuang kemerdekaan melawan penjajah, seperti Meurah Ganti, Cut Meurah Inseuen dan bayak lagi. Juga tentang Ratu Nihranisyah. Meutia hanya pasrah ketika lelaki itu melaksanakan tugasnya sebagai suami menggauli isterinya. Tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat itu, ketika puluhan para pejuang Aceh Merdeka sudah menyerahkan diri, Mautia tidak bersemangat. Yang terpikir di benaknya hanya menyerah dan menyerahkan diri bersama senjatanya. Tekadnya kembali ke pangkuan bunda pertiwi.
“Berdoalah sebelum rencong ini mengakhiri hidupmu!,” terdengar suara lelaki itu setelah ia menggauli isterinya.
“Aku sudah siap untuk mati,tapi perkenankan aku mengenakan pakaianku dan juga menyandang senjataku ,setelah itu tusuklah dadaku dengan rencong di tanganmu!”
Meutia mengenakan pakaiannya dan mengancingkan bajunya satu demi satu. Ia mengenakan sepatu larasnya dan menyandang senaja laras panjang padahal pelurunya hanya tinggal satu.. Satu peluru terakhir itu akan ia serahkan kepada republik ini.
“Berdoalah!,” pinta lelaki yang masih menghunus rencong.
“Tidak ada yang kuminta. Aku siap untuk mati, demi kehendak suami!”
Perlahan sekali lelaki yang masih menghunus rencong itu mendekat setelah Meutia menyandang senapannya. Tapi sebelum rencong di tangan lelaki itu merobek perut Meutia, bagaikan kilat Meutia mengarahkan laras senapannya ke dada lelaki itu kemudian terdengar letusan peluru. Letusan peluru itu menggelegar, memecah sepi dan mengejutkan burung-burung . Hutanpun tidak lagi senyap, diam, tidak lagi. bisu dan beku. Anginpun berhembus sepoi, daun-daun pepohonan bergoyang-goyang. Burungpun berkicau, seperti mengucapkan selamat atas kemenangan Meutia. Lelaki yang diberi pangkat kapten oleh kelompok Aceh Merdeka itu sudah tersungkur di tanah setelah dadanya bersimbah darah
“Maafkan aku, Agam. Hatimu terlalu keras hingga aku harus mengakhiri hidupmu!”,” Meutia mencium pipi suaminya berkali-kali. Ia menangis.
“Selamat ginggal suaamiku tercinta. Relakan aku kembali kepada Bunda pertiwi. Aku juga rindu rumah!” terdengar suaranya lirih.
Dengan menyandang dua senapan, satu miliknya dan satu lagi milik suaminya, Meutia melangkah menyusuri jalan setapak di lereng gunung itu. Sendiri. Puluhan,bahkan ratusan orang yang selama ini berjuang di hutan, sudah lebih awal menyerah. Sepanjang jalan ia mendengar kicau burung. Sepanjang jalan ia merasakan desau angin yang sejuk.
SUDAH amat lama, sudah berbulan-bulan Meutia meninggalkan rumah, juga meninggalkan karirnya sebagai seorang guru di sebuah kota kecil. Dulu ia harus rela meninggalkan ratusan anak-anak didiknya, harus rela meninggalkan rumah dan tinggal di hutan berjuang untuk Aceh Merdeka atas kehendak suaminya.
Sekarang perempuan itu turun ke kota, dengan berpakaian seragam, dengan membawa dua senapan AK 47. Ia yakin akan diterima dengan baik. Ia yakin tidak akan dimusuhi. Ia tidak akan disambut dengan moncong senjata.. Ia yakin tidak akan dizolimi.. Bahkan ia yakin karirnya sebagai guru akan dapat direhabilitasi. Ia akan kembali ke rumah dan itulah yang amat ia rindukan.
Lapangan terbuka itu dipenuhi oleh orang-orang yang selama ini bersembunyi di hutan dan sesekali melakukan serangan terhadap konvoi atau markas aparat. Tidak ada dendam di hati puluhan aparat yang menerima penyerahan diri para pejuang Aceh Merdeka. Jusrtru mereka disambut baik. manis dan senyum.
Mereka tidak harus duduk di atas rumput dengan tangan diborgol. Mereka, mantan pejuang Aceh Merdeka yang puluhan, bahkan ratusan banyaknya, semua duduk di kursi. Mereka adalah tamu-tamu ibu pertiwi. Mereka adalah tamu-tamu terhormat dari republik ini. Mereka disambut dengan sikap manis, lemah lembut dan senyum. Mereka tidak lagi memanggul senjata. Puluhan, bahkan ratusan senjata yang selama ini yang sewaktu-waktu meletus menembak aparat, sudah disusun rapi dan akan dimusnahkan.
“Saya kembali kepada bunda pertiwi!,” itulah ucapan yang terdengar dari celah bibir Meutia ketika ia pasrah, ketika ia menyerahkan dua pucuk senapan AK 47.
“Kenapa anda menyerahkan dua senapan?,” tanya aparat yang menyambutnya dengan sikap manis, ramah dan senyum.
“Satu lagi milik suami saya!”
“Dimana suami anda!”
“Ia sudah tidak ada.”
“Tewas ditembak aparat?”
Meutia menggeleng dan menunduk. Setetes demi setetes air mata mengalir dan membentuk sungai kecil di pipinya. Ia terkenang suaminya.
“Saya sendiri yang membunuh suami saya karena menghalangi saya untuk kembali kepada bunda pertiwi.” Kata-kata itu lahir dari celah bibir Meutia amat pelan.
“Kami kagum kepada anda!”
Meutia mendapat hadiah jabatan tangan yang amat erat dari aparat. Meutia menyeka air matanya. Tiga bulan setelah ia kembali ke bunda pertiwi, ia merasakan ada gerakan perlahan di bagian perutnya. Meutia sadar, bahwa ia hamil Apa yang dilakukan suaminya sebelum ia menyerahkan diri, menyebabkan di rahimnya tumbuh embrio. Meutia berharap,setelah bayinya dewasa nanti akan menjadi tentara republik
(Cerpen ini ditulis 2010 dan belum dipublikasikan)
No comments:
Post a Comment