PENYESALAN#03
Karya : Ali Antoni
masih teringat kuat bagaimana aku mengendap dulu
diam-diam mengambil selendangmu ditelaga
berjingkat-jingkat ku atur langkah
agar kau kehilangan sayap dan tak ada pilihan lain kecuali hinggap di peraduanku
sampai kemudian musim berganti musim
hujan di susul hujan
kalender tanggal satu-satu
dan jarum jam di ruang kamar kita sudah terganti puluhan kali
namun aku tetap merasa bahwa kau adalah musim panenku
sungguh aku tak menyesal kenapa aku mengendap
dan mencuri kesucianmu
biarlah itu menjadi dosaku
sebagai neraka yang aku syukuri
dan aku hangat dalam apimu yang menyambar-nyambar
kau mematangkan beras lumbung padiku
kau adalah air yang menghidupkan kebunku
kau pula yang menjadi damar penerang
yang membantuku mengeja huruf-huruf kuno dari masa silam
…..
namun satu hal yang membuat telagaku mengering
sungaiku tak lagi sejernih dulu
benih tunasku gagal tumbuh
setelah tak sengaja kau temukan sayapmu yang kusimpan rapat-rapat
kau menuduhku sebagai pendusta, sebagai setan berkepala lima
dengan mudahnya kau lupakan kembang gula
yang sering kita nikmati berdua
TUKANG KAYU
Karya : A. Muttaqin
Kupilih kayu untuk selembar pintu.
Kupilih jati ketimbang mahoni dan trembesi.
Sebab pada jati serat keteguhan merangkum diri.
Sebab pada jati segala janji sepi terberi.
Mungkin jati kenyang menyusu sungai.
Menggugurkan daun saat tanah pecah
dan padi-padi menundukkan kepala.
Sebab itu jati tumbuh sebagai pohon kuat.
Ketika dibuat pintu tak gampang dicungkil
pencuri laknat. Jati juga bisa jadi jendela
yang indah. Berbekal serat murni yang mirip
rajah di telapak tangan kita:
rajah yang memanggil sejuk angin timur
jika kita sedang susah tidur. Atau membawa
angin barat, jika pikiran kita sedang semburat.
Kadang ia juga membawa angin selatan
atau utara, seperti salam mesra yang diucap
bibir berkah. Begitulah. Begitu kayu-kayu
kupelajari rahasianya. Agar tak keliru saat kutebang
di hutan sana. Seperti kala kupilih kayu meranti
daripada mahoni, untuk kotak lemari dan lelaci.
Sebab meranti menyimpan serat lembut murni.
Meniru perempuan yang gemi dan primpan.
Mengamankan intan dan marjan dari pengintai.
Pernah kupilih kayu jangkang ketimbang
kampar rindang. Kayu jangkang yang pahit
namun wingit, nyaman untuk meja panjang,
kuda goyang, atau ranjang senggang
yang diukiri elang, kawanan kijang
dan tujuh dayang yang sedang mandi di sendang.
Kupilah juga kayu pilihan untuk podium besar.
Kuhadapkan kayu itu ke matahari agar ia bersih
dari jamur dan sisa hujan. Dan dengan segenap
kekuatan, kuhiaskan ukiran kembang, burung terbang
atau khat yang merawikan sholawat dan pujian.
Kubikin sedemikian nyaman. Sebab di sanalah
khotbah dan kitab suci kelak ditegakkan.
Di tanganku tergenggam tata ketam dan palu godam.
Dengan gergaji kutipiskan balok kayu jadi papan.
Kadang aku bertanya tentang takdir sang kayu:
apakah ia akan jadi tiang rumah, jadi meja, kursi
atau malah jadi peti yang menyimpan orang mati.
Kucipta mereka dengan teliti dan senang hati.
Seperti meramut anak-anak sendiri.
Dari hari ke hari. Dengan kecermatan penyawur benih.
Dengan ketulusan seorang ibu yang tak terbagi.
Kerap terpikir juga mencipta pola pintu dan jendela
yang sanggup mengantar orang ke gerbang mimpi.
Atau ke jalan landai yang membuat mereka damai.
Atau yang seperti bibir kekasih, terbuka dan terkatup
sendiri, mengucap doa-doa jika kita pulang atau pergi.
Pernah pintu dan jendela macam itu dicipta sang Yesus.
Dengan rasa paling halus. Dengan sepasang tangan tulus
dan kudus. Berkali-kali lelaki lembut gondrong itu datang
ke mimpiku. Memberi perkul landep dan palu antep padaku.
Ketika terbangun, perkul dan palu seolah masih terpegang.
Tapi kedua tanganku gemetar. Kesepuluh jarinya mengaduk diri seperti geruguk sepi.
Terantuk dan tersaruk, mereka seolah
berkeras merayap dari sisiku. Merayap miring, menyamping
mirip prilaku kepiting. Membawa telapak tanganku pergi.
Satu ke kanan. Satunya lagi ke kiri. Mencari muara sungai
paling murni yang saban malam mengalir dari sebidang pipi:
sungai yang tak mungkin terjamah tanganku yang hanya
mengenal perkul, palu, dan gergaji.
2011
KUPU-KUPU KUNING
DALAM CERITA PENDEK PUTU ARYA TIRTAWIRYA
Karya : Sindu Putra
ia sentuhkan tanganku yang kering
ke dadanya
yang paru-parunya basah oleh getah tembakau
sembari minta doa: “ sengatkan naga dati tubuhmu
hingga menggigit luka hatiku……..”
lelaki yang terbaring di atas jalan cerita,
yang ditulisnya diseantero Lombok
tubuhnya menyimpan demam, yang dideritanya seumur hidup
tak ada yang ditutup-tutupinya, tak ada yang tidak dituturkannya:
“lihatlah, sindu, kupu-kupu kuning
yang hinggap di potret masa muda saya……….”
kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok
menemukan taman bunga bawah laut,
dengan sungai-sungai apinya yang menyala
menemukan taman rahasia, tempat Sita disembunyikan
kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,
yang lebih manis dari susu ibu
ia sentuhkan lagi tangannya yang kering
ke dadanya, yang biru oleh batu rindu:
“ciumlah bau tuak, sindu
yang menenggelamkan bulan di Cakranegara
dengarlah kokok ayam jantan,
yang menggiring penangkar kupu-kupu
ke goa-goa di pinggiran kota.
saya ini, seorang urban di kampung halaman……”
kupu-kupu yang tua Putu Arya Tirtawirya
dalam cerita-cerita pendeknya yang getir.
kupu-kupu getas yang kehilangan sehektar taman bunga
kupu-kupu garam yang kehilangan bunga padi yang wangi,
kupu-kupu yang tua itu, kini hinggap di potret masa lalumu
dalam kamar, tanpa sungai-sungai api
tanpa pohon-pohon sungsang
kupu-kupu yang ditinggalkan malam, kupu-kupu yang ditinggalkan pagi
tapi, Putu Arya Tirtawirya
terimakasih
telah kau contohkan
bagaimana menceritakan diri sendiri
Mataram 2011
CERITA TIGA RUPA
Karya : Frans Ekodhanto Purba
Si Tumang
akulah pemilik tetubuh jelita, pemenang
taruh dan pertarungan, tanpa mengalirkan dendam
tanpa menggaligali luka, menumpahkan nanah amarah
akulah pemenang, bukan raja, bukan penguasa, bukan juga manusia
dengan sehelai torak aku melamarnya
darah, cinta, kasih dan nafsu yang kujejakkan di rahimnya
adalah keutuhan janinjanin cinta kami
dirajut sepanjang malam bulan purnama, akulah situmang
seekor anjing jantan
karena akulah segala yang tiada menjadi nyata
segala yang mustahil menjadi hidup
tapi karena dia pulalah aku menjadi kenangan
yang hanya bisa dijejak cerita
diraba airmata yang memata airkan usia
Dayang Sumbi
hamba dayang sumbi
pada hamba kesempurnaan dianugerahkan
karena hamba taruh dan pertarungan pecah
memadati sungaisungai dendam
mengombak, menerjang siapa saja
karena hamba pulalah kebencian menganga
raja mengangkat pedang
saling menikam, bersaing demi keinginan
karena hamba darah menjelma airbah
menenggelamkan mimpi
siapa punya doa berenanglah sekuat mampu
sebelum semuanya menjelma kenangan
mengapung bersama hampa nafsu
Sangkuriang
Sebelum fajar tumpah
telah kurapal timur jalanmu
kugenapkan barat sebagai detak kerinduan
hulu layar-layar perahu
dalam rahimku kecemasan tuntas ditebus
sungguh, musimlah yang telah mengawinkan kita
menjadi sedarah, serasa dan sejiwa
bolehlah kiranya aku meminjam sebaris perjalanan
dari hidupmu untuk usiaku, sebelum maut
memagut, melemparkan nasib
pada tebing-tebing kesunyian
sebab perangku adalah kau
yang berhianat di puncak batas
Kereta subuh, Maret 2011
Keterangan:
Si Tumang: Seekor anjing jantan yang menjadi teman sekaligus suami Dayang Sumbi dalam pengasingan.
Dayang Sumbi:Putri raja tanah Parahyangan
Sangkuriang: Anak kandung Dayang Sumbi dan Si Tumang yang telah membunuh bapaknya Si Tumang, sekaligus yang mencintai ibunya Dayang Sumbi.
VARIASI ATAS SANGKURIANG
Karya : Alex R. Nainggolan
karena asmara
segalanya nampak sia
hanya terpukau rupa
wangi tubuh dan birahi menyala
bertahun-tahun ia panggul kutuk itu
tapi tak mau jadi sisipus
meski tubuhnya tak kurus atau kelopak matanya tirus
sebab pertemuan kerap sisakan debar
ketika ia bergetar
pada setiap kesiut warna
"bagaimana aku tahu jika engkau ibuku;
sedangkan berpuluh tahun kita tak bertemu?"
ia mendesau sengau, juga permintaan yang panjang dari sumbi
sebab nyala birahi, membuatnya berulang ditikam sepi
"aku sudah jadi lelaki perkasa. kecuplah segala urat tubuhku
dan aku takjub pada siluet tubuhmu,"
*
saat itu pagi merekah tertinggal basah
pada bibir perempuan
meskipun hujan belum tiba
betapa perempuan itu kembali jadi dara
yang memecah mantra ketika bicara
kelopak bibirnya setengah terbuka
semacam tenung yang mengurung
bagi dada lelaki
sungguh! perempuan itu telah mencatat prasasti
di suatu pagi,
liuk tatapnya seperti panah yang menancap dada
tapi lelaki itu tak juga sakit
bahkan saat panah itu kembali menancap
berulangkali. toh, ia terbiasa menahannya sejak kecil dan mungil
kini,
ia yakin bila jodohnya tiba
*
apakah ia lupa menandai dulu;
saat terbungkus di rahim milik siapa?
hanya diingatnya hangat alir darah
desir sayat kesakitan menjerti
dan ia menangis saat bayi
ia mengingat hari kelahiran
dan merasa ada mimpi baru
yang tak pernah ditempuh
bertahun-tahun ia lupa pada ibu
tapi ibu bukan pendendam
tak semacam ibunya kundang
mengutuk jadi batu telanjang
ihwal anak durhaka
menandai bekas rahimnya yang pecah
berapa banyak engkau rendam;
kangen yang merajam pada anak lanang
ketika beratus malam tandang
lenyap di tengah gelap
lenyap ketika mengingat
engkau yang sendirian
setelah kelahiran
kutinggalkan dirimu, sangkuriang
*
di hari-hari yang kelabu
ia masuk keluar hutan
akrab dan bertahan di rindang dahan
tumbuh bersama tanah dan akar
tapi ia telah bermimpi basah
bayangan perempuan
lingga yang basah dan suara penuh desah
ia telah memanggul napas lelaki dewasa
di kepalanya penuh dengan lekuk bidadari
*
ketika ia tiba di sebuah rumah,
cuma ada perempuan itu--
yang beratus hari kemudian memanah dadanya.
dan ia merasa bahagia
ada yang bercambah
menyesaki tubuh
ia yang menyerah
pada harum tubuh
*
mereka bertemu pada tahun yang lembap
tembang asamara itupun bergeriap
dosakah satu kecupan bagimu, ibu?
dan burung-burung menyanyikan balada
hutan bergema penuh dengan desah akar
"semestinya aku tahu tanda itu. bukankah kulit jangat tubuh
begitu liat dan mengikat. aku ingat, kelahirannya yang dibisiki misteri.
ah, anak lanagnku; mengapa engkau jatuh cinta padaku?"
perempuan dengan tubuh wangi itu menyesali yang terjadi
ia paham, tak mungkin menolak birahi
dari perjaka muda itu
ia senang dengan pertemuan ini
bertahun-tahun kehilangan anak semata wayang
tapi segalanya terlanjur celaka
membuatnya limbung, jatuh di tahun-tahun ia masih muda
tapi kecantikan tak pernah sirna
seperti cahaya matahari yang abadi
tak bisa ditolak
meskipun malamnya dipenuhi dengan isak
*
"aku ingin sebuah perahu. tapi bukan nuh."
pagi yang tinggi
lesung yang menyanyi
ia tahu,
lelaki muda sakti itu bakal marah
dan ia menjadi abu
meskipun mencintainya sepenuh hati
sebagai anak lelaki semata wayangnya
2010-2011
SAJAK DAUN
__di pantai air manis
Karya : Romi Zaman
Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.
Tak pernah ia membenci angin
sebagai biang kepergian
meskipun terombang-ambing antara arah
dan tujuan.
Hidup di rantau
ia lebih gemar membayangkannya
sebagai tanah terjauh
sebagai tanah tempat ia jatuh.
Tak pernah ia mengukur jarak
berapa jauh dari induk
Pun tak pernah ia berpikir
kapan akan kembali
krena setiap kepergian tak pernah
menjanjikan kepulangan.
Terombang-ambing oleh angin
Serupa terombang-ambing di tengan lautan.
Hanya kapal.
Tak pernah ia belajar bagaimana garam
bisa lesap ke dalam air.
Tak pernah ia belajar kepada ikan
yang tak pernah sedikitpun terasa asin
meskipun berenang di lautan garam.
Ia lepas dari tampuk
serupa anak yang lepas dari induk.
Ibukku tampuk, ayahku angin.
Benarkah aku ini Malin?
Berlayar jauh ke dalam malam.
Terombang-ambing antara cahaya bulan
dan mata perempuan.
Hanya gelombang dan pasang mengepung kapal
sedangkan embun tak pernah membasahi layar.
Jika benar aku ini Malin,
sampai kapankah embun sanggup menetesiku tubuhku
yang batu?
Ia lepas,ia lepas
melayang jauh di pantai itu.
BALADA SI KUNDANG
Karya : Era Sofiyah
i
Inilah sesungguhnya jejak yang tak berdusta
Ketika waktu menggerus masa
Dintara luka yang tak berkelu
’’maaf nak’’, bukan maksudku sengaja membuatmu membatu
Ini hanya sekedar tentang cinta yang tak kau tahu
Maka tak ada sesal yang harus kueja
Karena waktu mengajariku untuk tak menangisi sejarah
Akan kuceritakan sebuah hikyat
Tentang selaksa peristiwa
Ketika asa mencipta harapan
’’Ijinkn aku bu, mengangkat sauh’’, katamu dulu
Kan kuhirup aroma dikedalaman laut
Menaklukkan segala curam batu karang
Kelak kan kubawakan segenggam pualam
Untukmu yang telah membagi air kehidupan
Duh, Inilah sesungguhnya keberangkatan
Tak harus ada seduh sedan
Kupupuskan segala resah yang menggoyah
Kugenggamkan hatiku pada ceracau tetua
Biarlah bujang pergi kenegeri seberang
Karena laut akan membawanya pulang
Pada nyiur dan jelaga hitam
Maka kehilangan adalah kematian bagiku
Duh,anakku
Kau yang telah sematkan bunga api
Dari mulut sumbingmu
Setelah berbilang waktu
Kau rengkuh kenikmatan di rahimku
Lalu kepada siapa lagi rindu ini harus kupasung, duhai sayang
Sungguh, aku hanyalah wanita tua yang tak berdaya menggenggam bara
Maka disini aku akan menemanimu setiap subuh
Untuk hapuskan segala resah
Kan kudendangkan lagu –lagu perindu
Agar hilang segala kelu
Kan kubacakan syair tua-tua dahulu
Agar kau tak melulu diserbu sesal yang gaduh
ii
Kupasrahkan segala yang tersisa
Di negeri yang kini telah luluh
Lihat, lihatlah perempuan-perempuan yang berjalan setengah telanjang
Dengan tuak ditangan
Dan mata yang menggelinjang
Lalu mereka campakkan benih-benih tak bertuan
Oh, negeri ini telah menjelma menjadi sarang durjana
Dengar,dengarlah nak!
Seduh sedan para tetua
Telah hilang bujang-bujang kecintaan mereka
Sebab dikutuk peradaban
Untukkmu yang berhidmat dalam bisu
Kan kubingkai keikhlasan dalam pilu
Bila itu mengembalikanmu pada yang dulu
Agar aku bisa memelukkmu setiap subuh
iii
Ibu, Rasanya aku tak perlu lagi mengingatmu
Mengingatmu adalah mengingat kesakitan masa lalu
Sungguh bu, hasrat telah menenggelamkanku pada lautan dendam
Dendam atas segala peristiwa yang tak kau rasa
Dendam atas segala kemiskinan yang membuatku tak berharga
Dendam atas segala kebodohan yang tak terbantahkan
Bagiku kau hanyalah perempuan renta pengunyah sirih
Tak seharusnya kau ada di tepian dermaga
Menantiku dengan sejumput rindu
Ibu, katamu dulu kau akan menungguku
Pada nyiur dan jelaga hitam
Lalu mengapa kau memanggilku sang durjana laknat
Maka seduh sedan tak ada guna
Karena laut telah mengekalkanku dalam diam
Karena laut telah melahirkan petaka
Bagi si anak durhaka
Duhai ibu, kabarkan pada setiap yang bernyawa
Sebelum laut kembali murka
Biarlah tubuh bekuku menjelma prasasti
Bila durhaka telah meraga dalam jiwa
Bila harus kutumpangkan sang pendosa di tubuh perawan
Hingga tercipta benih-benih tak bertuan
Kau tahu bu, aku hanyalah lelaki rapuh
Yang tak berdaya akan hasrat perindu
Bukankah perempuan itu juga yang telah melahirkan sumpah serapah
Dari bibir bergincumu ?
Bu, dari cadasnya karang
Kutitipkan salam
Demi kerinduan yang terpendam
Sungguh, akulah si celaka itu
Yang telah memerah habis air susumu
Kutuk saja menjadi batu
Agara lunas hutang sangsiku
Agar tak ada lagi keberangkatan
Agar tak ada lagi seduh sedan
Agar tak ada lagi benih-benih yang tercampakkan
Karena aku dilahirkan sebagai lelaki kundang
TUTUR AKHIR SANG PARIKESIT
Karya : Andromeda Ken Prabuhening
“Takdirmu adalah akhirmu,
Berlarilah ke tempat persembunyianmu!”
Gema raungan sang petapa
Membelah alam keheningan yang menutup sepi
Mengutuk Parikesit yang terengah berlari
Dengan senyum yang mampu membuat setiap dewa mengerang
Begitulah negeri ini,
Dia yang telah mengoyak habis tulang rakyat
Hanya memberi senyum kebinasaan
Dia perlakukan setiap bawah sebagai pijakan
Dia perlakukan setiap sujud sebagai tempat ludah
Ular mampu kau permainkan untuk berdiri di atas kedudukan
Ular mampu kau gantung demi memuaskan hasrat kuasa-mu
“Seperti tumbuhnya matahari di ufuk timur,
Maka terbenamlah menuju arah barat dan akan berlangsung demikian”
Dharma ditegakkan oleh sang penguasa
Jatuhnya parikesit oleh kutukan sang petapa
Nafasnya terengah membelah hutan hitam
Mencari tempat untuk mengubur kenistaan
Begitulah juga negeri ini,
Telah digalinya lubang pada ibu pertiwi oleh para tikus tanah
Menanam sisa – sisa kotoran dan debu materi
Menutup mata, mulut, dan hati demi kemunafikan
Kau telah berlari dengan menyebut setiap nama
Kau tutupi setiap senyum licik yang melingkar di otakmu
Mengingat kau telah meminum darah rakyat ini
“Padi yang telah dituai maka akan tumbuh tinggi
hingga hasil nya akan jatuh ke tanah dan membusuk”
Sang naga Taksaka berlari menyembur api keadilan
Di mana pun parikesit telah berlari dan bersembunyi
Maka datanglah sang naga
Yang datang dengan keadilan telah mampu membunuhnya
Demikian akhir negeri ini,
Dulu kami menutup setiap kesadaran kami
Namun kini, berlarilah para tikus mencari lubang tanah
Kuasamu kau bawa ke dalam perut buncitmu
Kami telah mengutuk hidup dan alam kematianmu
Negeri ini temukan tikus terbesar yang mampu melubangi kubah persatuan
Berlarilah bak parikesit yang telah mati oleh kutukan sang petapa
Karena pada akhirnya begitulah takdir yang akan membawamu ke lubang kehancuran.
AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
Karya : M. Raudah Jambak, S.Pd
/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan
Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.
Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010
PUTRI HIJAU
Versi Batak Karo
Karya : Sedia W Barus
Wahai Putri nan hijau kemilau.
Bapak bermarga Meliala konon berdarah Hundustan.
Ibu bermarga Barus berleluhur tanah kamper.
Berparas cantik disukai para perempuan dan lelaki dari delapan penjuru angin.
Terlahir dari janda kampung Sebaraya,Tanah Karo di Sumatera,Putri Hijau ditimang dibesarkan para kurcaci dalam gua sungai Lau Biang
Bersama dua saudara kembar yang menyerupai naga dan mariam, menghisap udara sejagad.
Putri Hijau Dewasa dipinang Maharaja Haru Sicapah.
Berkalang tahun tak punya keturunan Putri Hijau dicerai
Bermodal tanah sekepa; putri menunggang Naga dikawal Mariam saudaranya
Sampailah mereka di Tanah Deli yang subur nan permai.
Berkat bantuan saudara tua san ayah Meliala,Putri mendirikan Kerajaan Haru Deli Tuah1.
Walau digoda Sultan Aliuddin Ryat Alkahar di abad limabelas ceritranya, ia tetap dalam
Keyakinan.Setia sampai mati pada suami Manang Ginting Suka.
Kerajaan Haru Lingga Timur Raja, Kutabuluh,Wampu, Sicapah boleh tunduk pada Sultan2
Putri Hijau, srikandi ratu penguasa Kerajaan Haru Deli Tua, karena pembangkangannya diserang berkali-kali agar ia menyerahkan kekuasaan dan mengubah keyakinan,
Tapi Haru Deli Tua bertahan sampai tubuh berkalang tanah
Terjun ke Laut Selat Malaka pilihannya dengan berikrar, erbelawan3.
“Lebih baik menjaga harga diri daripada kekuasan”.
Brahma dan adat junjungannya
Putri Hijau ditabur cahaya rembulan dan matahari
Rambut tergerai menaungi gunung Sibayak dan Sinabung.
Langkah gesit gemulai meyisiri jalan dari Tamiang ke Jambi
Satu kaki berpijak di daratan satu di samudera luas.
Dagu pipi kening ranum cerlang berlulur kesucian ari kelapa hijau
Bercampur perasaan aneka jeruk wewangian.
Wajah dan bicara lembut pancaran hatinya
Keras watak dan lakunya ditemppa alam insani
Hijaunya Sang Putri dan Deli Tua ini meneduhkan
Tegar menghadapi musuh dengan bersahabatkan belantara Bukit Barisan.
Kearipannya memimpin negeri adalah kasih sayang
Sang Putri menegakkan keadilan dengan cinta
Sorot mata yang tulus bahasa diplomasinya
Kepada Malaka dan Portugis ia berbantuan
Sayang, kekuasaan Putri digerogoti para hulubalang korup
Ditembaki mariam Aceh berpeluru emas mereka tergiur
Deli tak lagi bertuah sampai Gocah pun melawan
Gocah Menjadi raja4
terciumlah ranumnya tanah deli
Kepada simancung berkulit putih konsesi diberi
Tanam paksa dan kuli berlaku di Tanah Deli
Memakmurkan negeri salju dengan tembakau cerutu.
Cimanggis, Februari 2011
1Tuah(bhs Karo) asal kata Tua, yang artinya keturunan/anak. Jadi Deli Tua(dulu sering ditulis tuwa) bukan lawan kata dari Deli (muda). Diduga nama ini diambil karena janda kembang si Putri Hijau belum punya keturunan.
2Sekitar tahun 1539
3Erbelawan(bhs Karo), asal nama kota/pelabuhan Belawan. Er(awalan)=ber. Belawan=sumpah
4Tahun 1612
KAU TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI
: Timun Emas
karya: Arif Fitra Kurniawan
- Tak ada yang lebih raksasa dari kaki mimpiku
yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap
kupu-kupu yang berterbangan menuju kebun matamu
mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali,
yang membuat jejak perih ketika aku menyibak
rimbunan jarum demi mencari seruas jerami
- Tiba-tiba jalan menjadi tak begitu penting,
ketika bagiku engkau tujuan dari apa yang
disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan
sebagai kekalahan.
- Satu-satunya cara melawan kesedihan adalah tertawa,
satu-satunya perihal yang mampu melengkapi kebahagian
adalah airmata.
itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali,
sebab tanpa keduanya
usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama
- Jarak sengaja telah menjauhkan aku
sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit
agar tak bisa aku panjat,
- Kelak kau akan mengerti mengapa
tiap kali bermimpi
tak juga henti aku merakit tangga-tangga ini.
sebab usiaku semakin buta dan
tak ada yang bisa ditemui
sebelah mataku selain dendam yang batu
untuk menyebut keinginanmu
sementara separuh penglihatanku yang lain
bertahan dalam kepalan yang air
yang akan kau lihat sewaktu aku mencapai hilir,
sewaktu kau memilih tergelincir.
- Kapan?
ketika kau meyakini cinta adalah ibu
dari seluruh perihal yang menyakitkan.
(*catatan: puisi ini terinsiprasi dongeng Timun Emas yang berkembang di Pulau Jawa)
Tuesday, 29 November 2011
Monday, 14 November 2011
Kepengarangan adalah kerja besar
Sastra dan Politik, Saudara Kembar yang Berbeda Wataknya?
M. Raudah Jambak.
Bicara politik, tidak akan pernah selesai. Paling tidak,
politik mungkin sejalan dan senafas dengan aliran pikiran kita. Politik lebih cenderung kepada segala urusan dan tindakan dengan menekankan kepada kebijakan juga siasat yang biasanya dipersiapkan individu atau kelompok lebih kepada persoalan kenegaraan. Politik yang diarahkan kepada persoalan pemahaman, justru menjurus kepada ideologi juga sikap atau pandangan terhadap sesuatu.
Pada dasarnya, politik lebih kepada hal-hal yang positif bermuara kepada kebaikan demi kemajuan yang menguntungkan semua pihak. Pemahaman yang berkembang, politik lebih terarah kepada hal-hal yang negatif atau akal-akalan. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai opini yang sesat demi keuntungan pribadi atau golongan. Sekarang persolannya adalah bagaimana dengan sastra?
Sebagai sebuah ilmu sastra harus dipelajari. Persoalan apakah sastra mampu meng ubah cara pandang seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Mampu meningkatkan taraf hidup dan kemajuan masyarakat atau mungkin sebaliknya, itu adalah persoalan lain. Ada juga yang beranggapan persoalan keberpihakan. Sebuah strategi, yang diharpkan dapat menimbulkan atau mencapai sesuatu yang diharapkan. Mungkin demi meluluskan sebuah kepentingan?
Jika sastra dikaitkan ke arah kepentingan atau keberpihakan, apakah ini politik? Atau apakah perlu mewujudkan sastra sebagai media politik? Semua terserah kepada kita. Tergantung kepada niat yang punya hajatan. Sastra sebagai sebuah ilmu, ideologi, atau apalah namanya, terserah. Sekarang pertanyaannya adalah apakah itu tidak bagian dari politik, terlepas dari persoalan kenegaraan, kepentingan, atau keberpihakan.
Saya jadi teringat kepada persoalan ilmu sebagai filsafat, atau filsafat sebagai sebuah ilmu yang diletakan pada level tertentu, misalnya. Dimana perkembangan Ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu: Level Preconvenstional, Level Conventional dan Level Postconventional.
Level Preconvenstional, misalnya, level ini berkembang pada masa kanak-kanak. Dimana mereka hanya mengikuti naluri mereka dan mengabaikan nasehat dan pendapat orang lain. Selanjutnya, level Conventional dimana individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok. Dengan demikian seseorang itu telah mengikuti apa yang baik dan menjauhi mana yang buruk dengan menganut apa yang ditentukan oleh kelompok mereka. Sedangkan level Postconventional, orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Dalam fase ini biasanya seseorang akan menentang kelompoknya dimana hal yang dia tentang adalah yang menurutnya benar padahal kelompoknya menganggapnya salah.
Menarik seperti apa yang digelisahkan Yulhasni. Seperti yang disampaikannya, jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik. Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur kepentingan, sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan itu.
Politik bisa saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat, tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca masyarakat.
Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal. Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan, penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala bentuk kreativitas’.
Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28 Agustus 2011).
Budi P. Hatees memiliki pandangan, Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, "telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang kultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.
Hal ini juga pernah disinggung dalam diskusi omong-omong sastra di rumah Jaya Arjuna beberapa waktu lalu, menghadirkan Sakinah Annisa Mariz dan Suyadi San sebagai pembicara. Dalam diskusi itu, sempat muncul polemik, ketika Suyadi San menyebut, sastrawan Sumut, masih belum dianggap di kancah nasional. Indikasinya dari beberapa pertemuan sastrawan yang sifatnya skala nasional, sastrawan Sumut, hanya datang sebagai peserta pasif. Selain itu, di forum-forum yang sama, peserta (sastrawan) Sumut jarang diunjuk sebagai penyaji. Suyadi membatasi kajiannya pada satu dekade terakhir. Dia pun menggugat beberapa sastrawan senior yang dulu sempat punya nama di nasional dan rajin menyumbangkan kritik dan pemikirannya melalui media massa.
Salah satunya Damiri Mahmud, yang juga hadir di acara itu, selain juga Maulana Syamsuri, Sulaiman Sambas dan lainnya.
"Kemanakah Anda selama ini?" tanya Suyadi. Tak pelak, Damiri harus mengakui, beberapa tahun terakhir, dia memang tak produktif, bersebab faktor fisik dan phisikis, seiring usia.
"Sumut kehilangan "jubir" sastranya di tingkat nasional." Kata Suyadi. Sugeng, yang seorang mantan redaktur budaya salah koran di Medan, menyanggah istilah "jubir" itu.
"Sastra tidak membutuhkan jubir, karena karya itu sendiri yang akan bicara. Harus dibenahi para sastrawan Sumut adalah semangat entrepreuner dalam berkarya," tegas Sugeng.
Kesan yang sama ditunjukkan Mihar Harahap. Baginya, kegelisahan Suyadi adalah kegelisahan semua pelaku sastra, tidak hanya di Sumut, tapi juga di hampir semua daerah. Hal ini merupakan wacana lama yang memang tak kunjung tuntas. Mihar tidak setuju dengan istilah lokal-nasional dalam sastra. Apa itu sastra nasional, siapa itu sastrawan nasional? Apa itu sastra lokal, siapa itu sastrawan lokal? Karenanya Mihar menekankan sastra jalur kedua, sebagaimana dimunculkan Esten Mursal, yang menjadikan lokal sebagai basis, sehingga mengurangi dikotomi sentralis.
Tentang politik sastra, Mihar mengajak peserta untuk lebih jeli mengkaji, makna dan acuan dua kata itu, seperti tertera dalam makalah. Sebelumnya, soal ini ditanggapi serius oleh Ali Yusran yang mengatakan, tak ada sastra yang tak politik. Perbedaannya soal tujuan, apakah demi nilai-nilai kemanusiaan universal atau kepentingan sekelompok orang. Diskusi sempat memanas ketika Sakinah yang terinsipirasi buku "Politik Sastra" yang ditulis Saut Situmorang itu, mengetengahkan contoh kasus Pram, yang secara implisit disebut Sakinah sebagai korban politik sastra. Bahkan Damiri di awal-awal sempat mengajak peserta diskusi untuk lebih luas melihat persoalan yang dialami Pram dalam kesusasteraan nasional.
Sakinah juga memberikan pandangan, perluasan pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui politik sastra semakin merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komperhensif mengenai napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Politisasi pemerintah atas karya sastra sebenarnya tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang melahirkan karya, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia yang di dalamnya termasuk sejarah, kritik dan teori sastra.
Menurut Sakinah, politik sastra Indonesia tidak lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia dijelaskannya mulai melirik nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi pengusaha, serta dampaknya dalam sejarah sastra Indonesia.
Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra Indonesia ini, sebenarnya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang mengikuti. Pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah berhenti tanpa solusi. Sebagai contoh tetralogi pulau baru karya Pramoedya Ananta Toer yang mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme pada masa rezim orde baru berkuasa karyanya ditarik dan dimusnahkan secara sengaja.
Pada diskusi hangat siang itu juga sempat dibahas bahwa sastra harus tetap berpolitik, tetapi politik sastra adalah yang baik, mendidik dan menghibur. Hadirnya sebuah karya sastra seperti puisi, pada diskusi juga dibahas saat ini lahir sangat banyak tetapi kehidupan masyarakat tetap hidup pada tahap ketelanjangan, mural, spritual dan nurani yang tidak bekerja lagi.
Sebenarnya hal-hal negatif seperti itu lahir dari banyaknya penulis manja. Tatkala memasukkan tulisannya di media cetak, seorang penulisa saat ini tidak malu untuk menanyakan kapan tulisannya akan dimuat. Contoh muram seperti itu dijelaskan pada diskusi yang rentan untuk dikritik.
Dari pernyataan-pernyataan yang terlontar, kita dapat memberikan pandangan, sastra dan politik sebenarnya akan hadir dan mengalir dengan sendirinya. Tidak hanya di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Pertanyaannya adalah apakah sastra di arahkan kepada hal-hal yang negatif ataukah positif? Jika positif siapapun yang menjadi pelakunya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Jika negatif, hal ini yang harus diwaspadai. Sedikit mempelintir ungkapan mantan seorang Presiden Amerika, jika politik itu kejam, maka sastra yang akan menghaluskannya. Bukankah demikian?
Rebana - Minggu, 13 Nov 2011 01:03 WIB
Tataran Pemahaman dalam Sastra
Oleh: M. Raudah Jambak. Penggunaan istilah, terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya.
Hal-hal yang berkenaan dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Ketika kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang berbeda pula. Di wilayah sastra, bahasa hanya sebagai media. Dia lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Demikian etika, estetika dan logika tentu tidak bisa kita kesampingkan.
Wilyah-wilayah seperti ini yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya. Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu dia harus masuk ke dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Ketika dia mengkaji persoalan sastra tentunya dia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul pro-kontra pemahaman.
Pro-kontra pemahaman ini yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan masuk kepada tataran konsep. Bahasa lisan dan isyarat masuk kepada wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu bisa kita pilah-pilah lagi ke wialyah yang berbeda pula.
Berdasarkan hal di atas, ada hal yang menarik jika kita membaca tulisan yang tertuang di ruang Rebana Analisa. Tulisan-tulisan yang bernas itu selalu menyinggung persoalan politik dan sastra. Politik dalam sastra atau sastra dalam politik. Tulisan-tulisan Yulhasni, Budi P. Hates, T. Agus Khaidir, Jones Gultom, dan sebagainya, membicarakan persoalan itu.
Yulhasni dengan ‘kepiawaiannya’ selalu menulis tulisan-tulisan yang ‘menggugah-rasa’ kita tentang hal itu, termasuk ketika membahas ‘Teks-teks Semu pada Karya Sastra Sumut’ (Rebana Minggu, 30/11). Yulhasni mengungkapkan, Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
Bagi yang mengenal Yulhasni tentu akan memahami persoalan ini. Memahami arah tembaknya. Haya Aliya Zaki ada menuliskan tentang Yulhasni, katanya menurut Yulhasni bukan orang yang tergolong produktif menulis. Selain rutinitas sebagai wartawan, proses kreatifnya hanya sampai cerpen. Jujur, dia tak piawai merangkai puisi. Da hobi menulis kritik dan esai sastra. Yulhasni melihat dunia sastra Sumut adem-ayem saja, maka sesekali dia melempar ide dan mengkritik orang-orang. Dia suka ’ribut-ribut’ dalam konteks kreativitas. Biar semangatlah!, ungkap Yulhasni yang juga dosen Jurnalistik dan Menulis Kreatif di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, santai.
Meski merasa paling tak pintar menulis puisi, karya Yulhasni yang termaktub dalam buku-buku antologi, antara lain Rezim, Surat Buat Merah Putih, Muara III, Koin Satu Milyar, Kado Ulang Tahun, Amuk Gelombang, dan Kosong, justru berupa puisi. Selain menulis puisi, pria yang sehari-hari juga menjadi pelatih tetap jurnalistik dan calon wartawan di beberapa instansi ini pernah menggarap beberapa naskah teater dan telah dipentaskan. Karya serupa cerpen, kritik, esai sastra, politik dan HAM, terbit di sejumlah media massa lokal dan nasional.
Dengan menulis, Yulhasni bisa berteriak dan bersuara bebas. Dengan menjadi penulis, dia bisa memposisikan diri sejajar dengan siapa pun. Dia bisa berdiri tegak dengan politisi, pejabat, pengusaha, perampok, pelacur dan semua orang di dunia ini.Yulhasni sangat menyukai tulisan bertema pergerakan.
Nah, kembali ke persoalan, menarik apa yang dituangkan Yulhasni, bahwa karya sastra Sumut hanya teks-teks semu belaka. Jika kita masuk ke wilayah sastra, maka Yulhasni sudah menyampaikan hal yang benar. Dalam pengertian semu berati tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya). Begitu juga pemahaman akrobatik yang berarti peragaan yang hebat dan mengagumkan persoalan ketangkasan.
Sastra dalam hal ini puisi maupun cerpen memang semu (fiktif) dan ia lebih kepada bahasa konsep dalam bentuk tulisan. Jika dikatakan dia dikatakan akrobatik, maka dia lebih kepada bahasa tindakan (aksi), inipun jika ia ditampilkan dalam sebuah wilayah pertunjukan. Pemahaman kontradiktif Yulhasni ini sangat menarik untuk dikaji ulang.
Jika dcia menyatakan semu dalam pengertian bahwa sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
Muncul persoalan, apakah seorang komentator harus menjadi seorang pionir. Seorang pelatih harus menjadi pemain?
Sebagai bahasa konsep, dia menawarkan gagasan untuk menghadirkan bahasa tindakan. Minimal mengajak pembaca untuk merenung dalam menyusun kekuatan baru sebelum bertindak. Orang bijak mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi renungkan, pahami apa yang disampaikan. Jika pesan yang disampaikan itu ke arah kebaikan, maka wajarlah kiranya kita masuk ke wailayah aksi (tindakan), walaupun yang menyampaikan itu penjahat besar sekalipun. Akhirnya, terserah pada kita menerima atau menolak. Seperti halnya, Iblis yang mengajarkan manusia menghafal ayat kursi.
Bahasa konsep akan menimbulkan tindakan, bukan adalah tindakan. Persoalan kejujuran adalah wilayah perenungan, bukan penilaian. Urusan ketuhanan, bukan manusia.
Pemahaman akrobatik jika dimaksudkan adalah sebagai lompatan-lompatan, juga perlu ditinjau ulang. Daya ungkap puisi dengan cerpen tentu jauh perbedaannya. Lompatan-lompatan dalam puisi jauh berbeda dengan cerpen. Begitu juga antara cerpen dengan novel. Apalagi jika kita berhadapan dengan model prosa lirik, tentu memiliki lompatan yang berbeda jika dihadapkan dengan cerpen biasa. Akhirnya, sebagai sebuah konsep saya sangat setuju dengan tataran yang ditawarkan Yulhasni. Jika konsep sama dengan tindakan kita lihat dulu wilayah pemahamannya. Salam.
Penulis; Direktur Komunitas Home Poetry
Rebana - Minggu, 05 Jun 2011 16:11 WIB
Pendidikan, Penataan Permukiman dan Lingkungan Hidup bagi Komunitas Sastra
Oleh : M. Raudah Jambak, SPd. Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa di antaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra di dalamnya.
Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati. Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.
Seperti yang pernah kita baca, seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai "wajah" terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan "asupan" gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Karenanya, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.
* * *
Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Dia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.
Kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan, keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya. Dalam beberapa kali diskusi, kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas -terutama pemula.
Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya -tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah "luar biasa" sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah "buruk muka cermin dibelah".
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan "mendewakan" sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas, bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas, sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah lain, seperti M. Badri, Sawali, Irmansyah, dan lain-lain, sebagai bahan perbandingan kita. Terimakasih.
Penulis: Direktur Komunitas Home Poetry
Rebana - Minggu, 26 Jun 2011 13:07 WIB
Politik,Seniman dan Telur
Oleh : M. Raudah Jambak. Bicara seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan pendapat. Tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan atau kritis dalam perbuatan?
Demikian yang tercatat, ketika diskusi dengan Saut Situmorang dan Katerin Bandel, yang dilaksanakan Komunitas Sastra Indonesia, mengambil tempat di Galeri Payung Teduh, Selasa, 14 Juni 2011, yang dimoderatori oleh Idris Pasaribu.
Seperti yang pernah tercatat, dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dan lain-lain. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.
Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara.
Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme. Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari, karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa.
Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. "Tulis! Suatu saat berguna," kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya.
Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing.
Kita mengenal Umar Kayam menulis "Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.
Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi.
Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat. Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.
Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, dia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.
Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, seniman dengan kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi, tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain.
Seniman tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi. Apa yang telah diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan, jalan mereka menjadi buntu.
Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dan lain-lain, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan seni man deg. Pertanda apa ini? Saya setuju seperti yang dikemukakan Saut, sebenarnya bukan persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Persoalan internal yang harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak perduli. Selalu muncul pertanyaan, mana seniman? Perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman?
Saya jadi teringat dengan ayam betina yang baru saja bertelur. Satu butir telurnya, tetapi hebohnya cukup memekakkan telinga satu kampung. Bayangkan, jika telur yang dihasilkan banyak. Berapa besar suara yang dihasilkan.
Begitupun seniman telur itu masih jauh lebih berarti dibandingkan seniman bunglon. Jika seniman angkat telur, jelas yang diangkatnya. Seniman pegang telur, jelas yang dipegangnya. Seniman selentik ataupun remas telur juga jelas. Seniman bunglon? Kita selalu ragu terkadang apakah dia seniman apa tidak. Karena setiap pergerakannya selalu dalam wilayah kepentingan. Seniman dalam rangka.
Cukup arif saya kira Idris Pasaribu dalam menutup diskusi sore itu. Biarkanlah mereka begini dan begitu asal jangan kita. Seniman yang dekat dengan pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara tidak langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka. Berkaryalah. Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada mencela. Bukankah begitu? Demikian.
Penulis; Direktur Komunitas Home Poetry
M. Raudah Jambak.
Bicara politik, tidak akan pernah selesai. Paling tidak,
politik mungkin sejalan dan senafas dengan aliran pikiran kita. Politik lebih cenderung kepada segala urusan dan tindakan dengan menekankan kepada kebijakan juga siasat yang biasanya dipersiapkan individu atau kelompok lebih kepada persoalan kenegaraan. Politik yang diarahkan kepada persoalan pemahaman, justru menjurus kepada ideologi juga sikap atau pandangan terhadap sesuatu.
Pada dasarnya, politik lebih kepada hal-hal yang positif bermuara kepada kebaikan demi kemajuan yang menguntungkan semua pihak. Pemahaman yang berkembang, politik lebih terarah kepada hal-hal yang negatif atau akal-akalan. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai opini yang sesat demi keuntungan pribadi atau golongan. Sekarang persolannya adalah bagaimana dengan sastra?
Sebagai sebuah ilmu sastra harus dipelajari. Persoalan apakah sastra mampu meng ubah cara pandang seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Mampu meningkatkan taraf hidup dan kemajuan masyarakat atau mungkin sebaliknya, itu adalah persoalan lain. Ada juga yang beranggapan persoalan keberpihakan. Sebuah strategi, yang diharpkan dapat menimbulkan atau mencapai sesuatu yang diharapkan. Mungkin demi meluluskan sebuah kepentingan?
Jika sastra dikaitkan ke arah kepentingan atau keberpihakan, apakah ini politik? Atau apakah perlu mewujudkan sastra sebagai media politik? Semua terserah kepada kita. Tergantung kepada niat yang punya hajatan. Sastra sebagai sebuah ilmu, ideologi, atau apalah namanya, terserah. Sekarang pertanyaannya adalah apakah itu tidak bagian dari politik, terlepas dari persoalan kenegaraan, kepentingan, atau keberpihakan.
Saya jadi teringat kepada persoalan ilmu sebagai filsafat, atau filsafat sebagai sebuah ilmu yang diletakan pada level tertentu, misalnya. Dimana perkembangan Ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu: Level Preconvenstional, Level Conventional dan Level Postconventional.
Level Preconvenstional, misalnya, level ini berkembang pada masa kanak-kanak. Dimana mereka hanya mengikuti naluri mereka dan mengabaikan nasehat dan pendapat orang lain. Selanjutnya, level Conventional dimana individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok. Dengan demikian seseorang itu telah mengikuti apa yang baik dan menjauhi mana yang buruk dengan menganut apa yang ditentukan oleh kelompok mereka. Sedangkan level Postconventional, orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Dalam fase ini biasanya seseorang akan menentang kelompoknya dimana hal yang dia tentang adalah yang menurutnya benar padahal kelompoknya menganggapnya salah.
Menarik seperti apa yang digelisahkan Yulhasni. Seperti yang disampaikannya, jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik. Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur kepentingan, sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan itu.
Politik bisa saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat, tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca masyarakat.
Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal. Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan, penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala bentuk kreativitas’.
Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28 Agustus 2011).
Budi P. Hatees memiliki pandangan, Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, "telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang kultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.
Hal ini juga pernah disinggung dalam diskusi omong-omong sastra di rumah Jaya Arjuna beberapa waktu lalu, menghadirkan Sakinah Annisa Mariz dan Suyadi San sebagai pembicara. Dalam diskusi itu, sempat muncul polemik, ketika Suyadi San menyebut, sastrawan Sumut, masih belum dianggap di kancah nasional. Indikasinya dari beberapa pertemuan sastrawan yang sifatnya skala nasional, sastrawan Sumut, hanya datang sebagai peserta pasif. Selain itu, di forum-forum yang sama, peserta (sastrawan) Sumut jarang diunjuk sebagai penyaji. Suyadi membatasi kajiannya pada satu dekade terakhir. Dia pun menggugat beberapa sastrawan senior yang dulu sempat punya nama di nasional dan rajin menyumbangkan kritik dan pemikirannya melalui media massa.
Salah satunya Damiri Mahmud, yang juga hadir di acara itu, selain juga Maulana Syamsuri, Sulaiman Sambas dan lainnya.
"Kemanakah Anda selama ini?" tanya Suyadi. Tak pelak, Damiri harus mengakui, beberapa tahun terakhir, dia memang tak produktif, bersebab faktor fisik dan phisikis, seiring usia.
"Sumut kehilangan "jubir" sastranya di tingkat nasional." Kata Suyadi. Sugeng, yang seorang mantan redaktur budaya salah koran di Medan, menyanggah istilah "jubir" itu.
"Sastra tidak membutuhkan jubir, karena karya itu sendiri yang akan bicara. Harus dibenahi para sastrawan Sumut adalah semangat entrepreuner dalam berkarya," tegas Sugeng.
Kesan yang sama ditunjukkan Mihar Harahap. Baginya, kegelisahan Suyadi adalah kegelisahan semua pelaku sastra, tidak hanya di Sumut, tapi juga di hampir semua daerah. Hal ini merupakan wacana lama yang memang tak kunjung tuntas. Mihar tidak setuju dengan istilah lokal-nasional dalam sastra. Apa itu sastra nasional, siapa itu sastrawan nasional? Apa itu sastra lokal, siapa itu sastrawan lokal? Karenanya Mihar menekankan sastra jalur kedua, sebagaimana dimunculkan Esten Mursal, yang menjadikan lokal sebagai basis, sehingga mengurangi dikotomi sentralis.
Tentang politik sastra, Mihar mengajak peserta untuk lebih jeli mengkaji, makna dan acuan dua kata itu, seperti tertera dalam makalah. Sebelumnya, soal ini ditanggapi serius oleh Ali Yusran yang mengatakan, tak ada sastra yang tak politik. Perbedaannya soal tujuan, apakah demi nilai-nilai kemanusiaan universal atau kepentingan sekelompok orang. Diskusi sempat memanas ketika Sakinah yang terinsipirasi buku "Politik Sastra" yang ditulis Saut Situmorang itu, mengetengahkan contoh kasus Pram, yang secara implisit disebut Sakinah sebagai korban politik sastra. Bahkan Damiri di awal-awal sempat mengajak peserta diskusi untuk lebih luas melihat persoalan yang dialami Pram dalam kesusasteraan nasional.
Sakinah juga memberikan pandangan, perluasan pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui politik sastra semakin merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komperhensif mengenai napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Politisasi pemerintah atas karya sastra sebenarnya tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang melahirkan karya, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia yang di dalamnya termasuk sejarah, kritik dan teori sastra.
Menurut Sakinah, politik sastra Indonesia tidak lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia dijelaskannya mulai melirik nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi pengusaha, serta dampaknya dalam sejarah sastra Indonesia.
Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra Indonesia ini, sebenarnya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang mengikuti. Pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah berhenti tanpa solusi. Sebagai contoh tetralogi pulau baru karya Pramoedya Ananta Toer yang mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme pada masa rezim orde baru berkuasa karyanya ditarik dan dimusnahkan secara sengaja.
Pada diskusi hangat siang itu juga sempat dibahas bahwa sastra harus tetap berpolitik, tetapi politik sastra adalah yang baik, mendidik dan menghibur. Hadirnya sebuah karya sastra seperti puisi, pada diskusi juga dibahas saat ini lahir sangat banyak tetapi kehidupan masyarakat tetap hidup pada tahap ketelanjangan, mural, spritual dan nurani yang tidak bekerja lagi.
Sebenarnya hal-hal negatif seperti itu lahir dari banyaknya penulis manja. Tatkala memasukkan tulisannya di media cetak, seorang penulisa saat ini tidak malu untuk menanyakan kapan tulisannya akan dimuat. Contoh muram seperti itu dijelaskan pada diskusi yang rentan untuk dikritik.
Dari pernyataan-pernyataan yang terlontar, kita dapat memberikan pandangan, sastra dan politik sebenarnya akan hadir dan mengalir dengan sendirinya. Tidak hanya di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Pertanyaannya adalah apakah sastra di arahkan kepada hal-hal yang negatif ataukah positif? Jika positif siapapun yang menjadi pelakunya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Jika negatif, hal ini yang harus diwaspadai. Sedikit mempelintir ungkapan mantan seorang Presiden Amerika, jika politik itu kejam, maka sastra yang akan menghaluskannya. Bukankah demikian?
Rebana - Minggu, 13 Nov 2011 01:03 WIB
Tataran Pemahaman dalam Sastra
Oleh: M. Raudah Jambak. Penggunaan istilah, terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya.
Hal-hal yang berkenaan dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Ketika kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang berbeda pula. Di wilayah sastra, bahasa hanya sebagai media. Dia lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Demikian etika, estetika dan logika tentu tidak bisa kita kesampingkan.
Wilyah-wilayah seperti ini yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya. Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu dia harus masuk ke dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Ketika dia mengkaji persoalan sastra tentunya dia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul pro-kontra pemahaman.
Pro-kontra pemahaman ini yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan masuk kepada tataran konsep. Bahasa lisan dan isyarat masuk kepada wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu bisa kita pilah-pilah lagi ke wialyah yang berbeda pula.
Berdasarkan hal di atas, ada hal yang menarik jika kita membaca tulisan yang tertuang di ruang Rebana Analisa. Tulisan-tulisan yang bernas itu selalu menyinggung persoalan politik dan sastra. Politik dalam sastra atau sastra dalam politik. Tulisan-tulisan Yulhasni, Budi P. Hates, T. Agus Khaidir, Jones Gultom, dan sebagainya, membicarakan persoalan itu.
Yulhasni dengan ‘kepiawaiannya’ selalu menulis tulisan-tulisan yang ‘menggugah-rasa’ kita tentang hal itu, termasuk ketika membahas ‘Teks-teks Semu pada Karya Sastra Sumut’ (Rebana Minggu, 30/11). Yulhasni mengungkapkan, Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
Bagi yang mengenal Yulhasni tentu akan memahami persoalan ini. Memahami arah tembaknya. Haya Aliya Zaki ada menuliskan tentang Yulhasni, katanya menurut Yulhasni bukan orang yang tergolong produktif menulis. Selain rutinitas sebagai wartawan, proses kreatifnya hanya sampai cerpen. Jujur, dia tak piawai merangkai puisi. Da hobi menulis kritik dan esai sastra. Yulhasni melihat dunia sastra Sumut adem-ayem saja, maka sesekali dia melempar ide dan mengkritik orang-orang. Dia suka ’ribut-ribut’ dalam konteks kreativitas. Biar semangatlah!, ungkap Yulhasni yang juga dosen Jurnalistik dan Menulis Kreatif di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, santai.
Meski merasa paling tak pintar menulis puisi, karya Yulhasni yang termaktub dalam buku-buku antologi, antara lain Rezim, Surat Buat Merah Putih, Muara III, Koin Satu Milyar, Kado Ulang Tahun, Amuk Gelombang, dan Kosong, justru berupa puisi. Selain menulis puisi, pria yang sehari-hari juga menjadi pelatih tetap jurnalistik dan calon wartawan di beberapa instansi ini pernah menggarap beberapa naskah teater dan telah dipentaskan. Karya serupa cerpen, kritik, esai sastra, politik dan HAM, terbit di sejumlah media massa lokal dan nasional.
Dengan menulis, Yulhasni bisa berteriak dan bersuara bebas. Dengan menjadi penulis, dia bisa memposisikan diri sejajar dengan siapa pun. Dia bisa berdiri tegak dengan politisi, pejabat, pengusaha, perampok, pelacur dan semua orang di dunia ini.Yulhasni sangat menyukai tulisan bertema pergerakan.
Nah, kembali ke persoalan, menarik apa yang dituangkan Yulhasni, bahwa karya sastra Sumut hanya teks-teks semu belaka. Jika kita masuk ke wilayah sastra, maka Yulhasni sudah menyampaikan hal yang benar. Dalam pengertian semu berati tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya). Begitu juga pemahaman akrobatik yang berarti peragaan yang hebat dan mengagumkan persoalan ketangkasan.
Sastra dalam hal ini puisi maupun cerpen memang semu (fiktif) dan ia lebih kepada bahasa konsep dalam bentuk tulisan. Jika dikatakan dia dikatakan akrobatik, maka dia lebih kepada bahasa tindakan (aksi), inipun jika ia ditampilkan dalam sebuah wilayah pertunjukan. Pemahaman kontradiktif Yulhasni ini sangat menarik untuk dikaji ulang.
Jika dcia menyatakan semu dalam pengertian bahwa sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
Muncul persoalan, apakah seorang komentator harus menjadi seorang pionir. Seorang pelatih harus menjadi pemain?
Sebagai bahasa konsep, dia menawarkan gagasan untuk menghadirkan bahasa tindakan. Minimal mengajak pembaca untuk merenung dalam menyusun kekuatan baru sebelum bertindak. Orang bijak mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi renungkan, pahami apa yang disampaikan. Jika pesan yang disampaikan itu ke arah kebaikan, maka wajarlah kiranya kita masuk ke wailayah aksi (tindakan), walaupun yang menyampaikan itu penjahat besar sekalipun. Akhirnya, terserah pada kita menerima atau menolak. Seperti halnya, Iblis yang mengajarkan manusia menghafal ayat kursi.
Bahasa konsep akan menimbulkan tindakan, bukan adalah tindakan. Persoalan kejujuran adalah wilayah perenungan, bukan penilaian. Urusan ketuhanan, bukan manusia.
Pemahaman akrobatik jika dimaksudkan adalah sebagai lompatan-lompatan, juga perlu ditinjau ulang. Daya ungkap puisi dengan cerpen tentu jauh perbedaannya. Lompatan-lompatan dalam puisi jauh berbeda dengan cerpen. Begitu juga antara cerpen dengan novel. Apalagi jika kita berhadapan dengan model prosa lirik, tentu memiliki lompatan yang berbeda jika dihadapkan dengan cerpen biasa. Akhirnya, sebagai sebuah konsep saya sangat setuju dengan tataran yang ditawarkan Yulhasni. Jika konsep sama dengan tindakan kita lihat dulu wilayah pemahamannya. Salam.
Penulis; Direktur Komunitas Home Poetry
Rebana - Minggu, 05 Jun 2011 16:11 WIB
Pendidikan, Penataan Permukiman dan Lingkungan Hidup bagi Komunitas Sastra
Oleh : M. Raudah Jambak, SPd. Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa di antaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra di dalamnya.
Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati. Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.
Seperti yang pernah kita baca, seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai "wajah" terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan "asupan" gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Karenanya, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.
* * *
Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Dia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.
Kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan, keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya. Dalam beberapa kali diskusi, kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas -terutama pemula.
Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya -tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah "luar biasa" sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah "buruk muka cermin dibelah".
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan "mendewakan" sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas, bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas, sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah lain, seperti M. Badri, Sawali, Irmansyah, dan lain-lain, sebagai bahan perbandingan kita. Terimakasih.
Penulis: Direktur Komunitas Home Poetry
Rebana - Minggu, 26 Jun 2011 13:07 WIB
Politik,Seniman dan Telur
Oleh : M. Raudah Jambak. Bicara seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan pendapat. Tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan atau kritis dalam perbuatan?
Demikian yang tercatat, ketika diskusi dengan Saut Situmorang dan Katerin Bandel, yang dilaksanakan Komunitas Sastra Indonesia, mengambil tempat di Galeri Payung Teduh, Selasa, 14 Juni 2011, yang dimoderatori oleh Idris Pasaribu.
Seperti yang pernah tercatat, dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dan lain-lain. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.
Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara.
Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme. Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari, karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa.
Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. "Tulis! Suatu saat berguna," kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya.
Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing.
Kita mengenal Umar Kayam menulis "Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.
Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi.
Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat. Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.
Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, dia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.
Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, seniman dengan kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi, tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain.
Seniman tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi. Apa yang telah diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan, jalan mereka menjadi buntu.
Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dan lain-lain, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan seni man deg. Pertanda apa ini? Saya setuju seperti yang dikemukakan Saut, sebenarnya bukan persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Persoalan internal yang harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak perduli. Selalu muncul pertanyaan, mana seniman? Perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman?
Saya jadi teringat dengan ayam betina yang baru saja bertelur. Satu butir telurnya, tetapi hebohnya cukup memekakkan telinga satu kampung. Bayangkan, jika telur yang dihasilkan banyak. Berapa besar suara yang dihasilkan.
Begitupun seniman telur itu masih jauh lebih berarti dibandingkan seniman bunglon. Jika seniman angkat telur, jelas yang diangkatnya. Seniman pegang telur, jelas yang dipegangnya. Seniman selentik ataupun remas telur juga jelas. Seniman bunglon? Kita selalu ragu terkadang apakah dia seniman apa tidak. Karena setiap pergerakannya selalu dalam wilayah kepentingan. Seniman dalam rangka.
Cukup arif saya kira Idris Pasaribu dalam menutup diskusi sore itu. Biarkanlah mereka begini dan begitu asal jangan kita. Seniman yang dekat dengan pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara tidak langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka. Berkaryalah. Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada mencela. Bukankah begitu? Demikian.
Penulis; Direktur Komunitas Home Poetry
Pahlawan bertopeng
YULHASNI
Sebuah sajak lahir dari penyair Sumatera Utara, M. Raudah Jambak. Ia menulis di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata di pualam pipinya, tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia, setua misteri yang beralis segala teka teki, dan memberi namaku pahlawan. Puisi itu ia beri judul sebab pahlawan namaku. Puisi penuh makna dan tentu saja memberikan sebuah pesan soal nilai kepahlawanan.
Pahlawan adalah kata yang sulit didefenisikan dan diuraikan secara rinci. Pahlawan bagi anak-anak adalah para superhero yang menghiasi memori mereka. Pada masa lalu mungkin Superman, Batman, dan Spiderman adalah pahlawan yang melintasi benak sebagian besar anak-anak Indonesia. Pada masa sekarang pahlawan mereka bisa saja sosok yang mereka saksikan tayangan film-film karton di televisi. Setiap anak memiliki pahlawan sendiri, kadang-kadang sosok yang punya kekuatan super, biasanya mereka adalah anak atau binatang yang pemberani. Seorang pahlawan sejati tidak memiliki ayah atau ibu, jauh dari orang tua. Pada sebagian orang pahlawan bisa berbeda-beda, tergantung cara pandang mereka terhadap sosok yang diidolakan. Bahkan pahlawan bisa saja berlaku dalam hitungan menit dan kemudian hilang seketika.
Tidak selamanya pahlawan itu digolongkan sebagai kata yang mempunyai makna positif. Pahlawan juga bisa digolongkan dalam kosakata negatif jika merujuk pada idiom pahlawan kesiangan, sok jadi pahlawan, dan sebagainya. Tentu saja pahlawan bukanlah kata yang berhenti pada sifat dan karakter yang dibawanya. Mungkin kita adalah pahlawan untuk diri kita sendiri. Semangat kepahlawanan tidaklah diartikan dalam rutinitas mengenang jasa mereka yang telah memberi arti kepada republik ini. Mengenang hanyalah ungkapan betapa bangsa ini tidak pernah sampai kepada kesejatian menghargai dan menghormati mereka yang memberi ruang untuk kita sekarang bisa bebas berekspresi. Setiap tahun di tanggal 10 November, kita hanya menyaksikan riuhnya slogan-slogan tentang kepahlawanan. Selepas itu, kita akan kembali menafikan semua yang pernah terjadi di negeri ini.
Anis Matta pernah menulis buku Mencari Pahlawan Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan The Tarbawi Center itu ia menguraikan bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan. ‘Dalam skala peradaban’ setiap bangsa bergiliran ‘merebut piala kepahlawanan.’ Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi yang sulit. Sejarah memang kerap harus dilihat dalam berbagai sisi untuk memetakan sosok pahlawan sejati. Tiap zaman membuat sosok pahlawannya sendiri dan itulah yang terus muncul dalam sejarah bangsa ini.
Anak-anak muda kita pernah begitu bangga mengenakan kaos Che Guevara. Pejuang Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba bernama asli Ernesto Guevara Lynch de La Serna itu seolah lebih hebat perjuangannya dibanding Jenderal Sudirman yang melawan Belanda dari hutan ke hutan. Sosok Che Guevara menghiasi pelbagai poster, stiker, baju kaos anak muda Indonesia mengalahkan sosok Tan Malaka yang sama sekali asing dalam ingatan sejarah bangsa ini meski pria bernama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu telah meletakkan semangat ‘pemberontakan’ terhadap dominasi kapitalisme di tanah air. Ia yang tak jelas kuburannya tersebut adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada masa sekarang, riuh politik di Indonesia sering memunculkan sosok pahlawan bagi kepentingan politik itu sendiri. Indonesia telah begitu lama percaya kepada dunia tahyul sehingga pahlawan selalu dinantikan untuk sebuah perubahan yang maha dahsyat. Padahal, pahlawan itu hanya kamuflase, sebuah fatamorgana yang tak tersentuh mata secara utuh. Pahlawan yang ditunggu adalah ratu adil yang sejak Indonesia merdeka tak pernah kunjung menyambangi republik ini.
Terlalu banyak memang kata pahlawan disalahartikan, dibengkokkan untuk kemudian dibungkus atasnama berbagai kepentingan. Pahlawan pun tidak lagi dimaknai sebagai sosok pejuang pada masa revolusi kemerdekaan karena kata itu telah mengalami makna yang meluas. Pahlawan bisa saja adalah guru yang memberi ilmu dan kepadanya diberi tanda gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan juga boleh jadi kepada mereka yang berjuang menyelamatkan lingkungan hidup sehingga layak disebut pahlawan lingkungan. Begitu beragamnya kata pahlawan melekat pada setiap aktivitas kita sehingga kata itu bukan lagi milik para pejuang republik.
Ketika Bung Tomo meneriakkan kata merdeka pada revolusi di Surabaya untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari pahlawan, semangatnya jelas terdeteksi dengan mata telanjang. Bung Tomo tidak meneriakkan slogan kosong karena di depannya rakyat bergerak dengan senjata ala kadarnya dan membuktikkan darah kepahlawan tersebut. Teriakan itu berkumandang dalam semangat revolusi di seantero negeri, memberi spirit perlawanan.
Di negeri yang selalu dipenuhi praktik kecurangan ini, teriakan ‘merdeka’ tidak lagi ada makna. Mahasiswa berteriak di jalanan berdemonstrasi meneriakkan kata merdeka untuk memprotes pelbagai ketimpangan, sementara sebagian besar lagi di antara mereka saling lempar batu di kampus. Para politisi berteriak ‘merdeka’ saat berusaha merebut suara rakyat pada masa kampanye, sementara di gedung-gedung wakil rakyat berbagai praktik pembohongan rakyat berlangsung mulus. Pejabat berpidato berapi-api mengalahkan suara lantang Bung Tomo sambil mengacungkan tangan seolah mereka adalah pahlawan sejati republik ini.
Di mana pahlawan itu sebenarnya? Bukankan peringatan Hari Pahlawan tidak pernah berhasil menciptakan hero-hero baru bagi republik ini selain makin bertambahnya orang-orang yang memperkaya diri sendiri? Tercabik-cabiknya rasa nasionalisme pada anak-anak bangsa tidak lain karena ketidakpercayaan mereka terhadap praktik pembohongan elite terus-menerus. Kita sudah seperti hidup di negara yang tak berideologi. Tidak ada pernah ada semangat kepahlawanan yang murni selain topeng-topeng yang berkelindan dalam riuh rendah praktik berbangsa dan bernegara. Negeri ini terlalu banyak pahlawan bertopeng!
*Penulis adalah Dosen Bahasa Dan Sastra Indonesia FKIP UMSU.
Sebuah sajak lahir dari penyair Sumatera Utara, M. Raudah Jambak. Ia menulis di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata di pualam pipinya, tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia, setua misteri yang beralis segala teka teki, dan memberi namaku pahlawan. Puisi itu ia beri judul sebab pahlawan namaku. Puisi penuh makna dan tentu saja memberikan sebuah pesan soal nilai kepahlawanan.
Pahlawan adalah kata yang sulit didefenisikan dan diuraikan secara rinci. Pahlawan bagi anak-anak adalah para superhero yang menghiasi memori mereka. Pada masa lalu mungkin Superman, Batman, dan Spiderman adalah pahlawan yang melintasi benak sebagian besar anak-anak Indonesia. Pada masa sekarang pahlawan mereka bisa saja sosok yang mereka saksikan tayangan film-film karton di televisi. Setiap anak memiliki pahlawan sendiri, kadang-kadang sosok yang punya kekuatan super, biasanya mereka adalah anak atau binatang yang pemberani. Seorang pahlawan sejati tidak memiliki ayah atau ibu, jauh dari orang tua. Pada sebagian orang pahlawan bisa berbeda-beda, tergantung cara pandang mereka terhadap sosok yang diidolakan. Bahkan pahlawan bisa saja berlaku dalam hitungan menit dan kemudian hilang seketika.
Tidak selamanya pahlawan itu digolongkan sebagai kata yang mempunyai makna positif. Pahlawan juga bisa digolongkan dalam kosakata negatif jika merujuk pada idiom pahlawan kesiangan, sok jadi pahlawan, dan sebagainya. Tentu saja pahlawan bukanlah kata yang berhenti pada sifat dan karakter yang dibawanya. Mungkin kita adalah pahlawan untuk diri kita sendiri. Semangat kepahlawanan tidaklah diartikan dalam rutinitas mengenang jasa mereka yang telah memberi arti kepada republik ini. Mengenang hanyalah ungkapan betapa bangsa ini tidak pernah sampai kepada kesejatian menghargai dan menghormati mereka yang memberi ruang untuk kita sekarang bisa bebas berekspresi. Setiap tahun di tanggal 10 November, kita hanya menyaksikan riuhnya slogan-slogan tentang kepahlawanan. Selepas itu, kita akan kembali menafikan semua yang pernah terjadi di negeri ini.
Anis Matta pernah menulis buku Mencari Pahlawan Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan The Tarbawi Center itu ia menguraikan bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan. ‘Dalam skala peradaban’ setiap bangsa bergiliran ‘merebut piala kepahlawanan.’ Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi yang sulit. Sejarah memang kerap harus dilihat dalam berbagai sisi untuk memetakan sosok pahlawan sejati. Tiap zaman membuat sosok pahlawannya sendiri dan itulah yang terus muncul dalam sejarah bangsa ini.
Anak-anak muda kita pernah begitu bangga mengenakan kaos Che Guevara. Pejuang Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba bernama asli Ernesto Guevara Lynch de La Serna itu seolah lebih hebat perjuangannya dibanding Jenderal Sudirman yang melawan Belanda dari hutan ke hutan. Sosok Che Guevara menghiasi pelbagai poster, stiker, baju kaos anak muda Indonesia mengalahkan sosok Tan Malaka yang sama sekali asing dalam ingatan sejarah bangsa ini meski pria bernama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu telah meletakkan semangat ‘pemberontakan’ terhadap dominasi kapitalisme di tanah air. Ia yang tak jelas kuburannya tersebut adalah pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada masa sekarang, riuh politik di Indonesia sering memunculkan sosok pahlawan bagi kepentingan politik itu sendiri. Indonesia telah begitu lama percaya kepada dunia tahyul sehingga pahlawan selalu dinantikan untuk sebuah perubahan yang maha dahsyat. Padahal, pahlawan itu hanya kamuflase, sebuah fatamorgana yang tak tersentuh mata secara utuh. Pahlawan yang ditunggu adalah ratu adil yang sejak Indonesia merdeka tak pernah kunjung menyambangi republik ini.
Terlalu banyak memang kata pahlawan disalahartikan, dibengkokkan untuk kemudian dibungkus atasnama berbagai kepentingan. Pahlawan pun tidak lagi dimaknai sebagai sosok pejuang pada masa revolusi kemerdekaan karena kata itu telah mengalami makna yang meluas. Pahlawan bisa saja adalah guru yang memberi ilmu dan kepadanya diberi tanda gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan juga boleh jadi kepada mereka yang berjuang menyelamatkan lingkungan hidup sehingga layak disebut pahlawan lingkungan. Begitu beragamnya kata pahlawan melekat pada setiap aktivitas kita sehingga kata itu bukan lagi milik para pejuang republik.
Ketika Bung Tomo meneriakkan kata merdeka pada revolusi di Surabaya untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari pahlawan, semangatnya jelas terdeteksi dengan mata telanjang. Bung Tomo tidak meneriakkan slogan kosong karena di depannya rakyat bergerak dengan senjata ala kadarnya dan membuktikkan darah kepahlawan tersebut. Teriakan itu berkumandang dalam semangat revolusi di seantero negeri, memberi spirit perlawanan.
Di negeri yang selalu dipenuhi praktik kecurangan ini, teriakan ‘merdeka’ tidak lagi ada makna. Mahasiswa berteriak di jalanan berdemonstrasi meneriakkan kata merdeka untuk memprotes pelbagai ketimpangan, sementara sebagian besar lagi di antara mereka saling lempar batu di kampus. Para politisi berteriak ‘merdeka’ saat berusaha merebut suara rakyat pada masa kampanye, sementara di gedung-gedung wakil rakyat berbagai praktik pembohongan rakyat berlangsung mulus. Pejabat berpidato berapi-api mengalahkan suara lantang Bung Tomo sambil mengacungkan tangan seolah mereka adalah pahlawan sejati republik ini.
Di mana pahlawan itu sebenarnya? Bukankan peringatan Hari Pahlawan tidak pernah berhasil menciptakan hero-hero baru bagi republik ini selain makin bertambahnya orang-orang yang memperkaya diri sendiri? Tercabik-cabiknya rasa nasionalisme pada anak-anak bangsa tidak lain karena ketidakpercayaan mereka terhadap praktik pembohongan elite terus-menerus. Kita sudah seperti hidup di negara yang tak berideologi. Tidak ada pernah ada semangat kepahlawanan yang murni selain topeng-topeng yang berkelindan dalam riuh rendah praktik berbangsa dan bernegara. Negeri ini terlalu banyak pahlawan bertopeng!
*Penulis adalah Dosen Bahasa Dan Sastra Indonesia FKIP UMSU.
Monday, 10 October 2011
Sajak-sajak Hasan Al Banna
BATU, LUKA DAN DERITA
maka sekalian saja menjadi batu kalau musti kunyatakan ini sendu sejak lalu gemuruh tangis di dada tidak kulabuhkan di kopak mata
perjalanan tidak dituntun garis tangan apalagi tunduk pada petunjuk ramalan sebab semua urusan Tuhan tentang itu jangan campur tangan!
ini luka adalah luka tidak musti kueja : derita!
Medan, 2003
TELEGRAM BUAT JAKARTA
kami sedang dahaga luar biasa maka tolong kirimkan secawan cinta segera!
Medan, 2004
TENTANG SENJA DAN PAGI
kau selalu bangga dengan penjelajahanmu, seperti aku yang juga mengagungkan petualanganku.
Hujan, Melon, dan Alkisah Cinta
aku membayangkan daun-daun
yang bersimbah hujan
semacam irisan melon
di dalam kulkas: malu-malu
tapi menebar kerling ke penjuru dada
menagih hangat rahang dan kerongkongan
serupa kau?
aku terkenang ketika kau pernah tiba
dengan pisau cinta yang ditumpulkan lelaki
di masa silam: riwayat cinta
yang senantiasa menetaskan telur-telur luka
tak lebih dari selingkar janji yang mengingkar jari
siapa kau?
aku tak menyimpan segenggam pelipur duka
karena tanganku pun berdarah
oleh duri mawar: kelopak bunga
cuma mampu menyelubungkan noda
tapi tak kuasa sewangi sorga
pergi kau! Medan, 2008
*
Sebuah Malam, Kasih Tak Sampai
ini tiang perahu patah didobrak angin
tombak badai melukai jantung layar
lenteraku kunang-kunang yang kelelahan
sepasang dayungku lengan-lengan
yang kedinginan
sedang laut adalah jalan
yang menanjak dan berliku
karang ialah perangkap berhati batu
dan ai, malam tak juga tergenggam tangan
pula ia laksana kerajaan pitam
itu bulan hanya cahaya angan-angan
itu bintang cuma kerling kunang-kunang
aku kini semakin paham
perahuku menuju ke alamat karam
ih, aku tak sampai pada pantai
yang semampai
ah, aku tak tiba pada dermaga yang jelita.
Medan, 2008
*
Sajak Cinta di Dermaga
angin laut memantul di tiang-tiang kapal
parau dan letih
napas garam adalah musafir
yang berputar-putar
langit menjelma gadis yang pendiam!
sedang nyala lampu-lampu dermaga
adakah semacam lelaki kumal yang kesepian?
sebatas mengabarkan matahari segera karam
ke dasar malam
demikianlah, sejak lampau aku ingin meniru ketabahan
jangkar kapal; patuh dalam tualang
setia dipanggil pulang
tapi hai, tubuhku masih juga dipahat dari alur api
menghanguskan kenangan di pencil kepala
memusnahkan asa di haribaan dada
adakah riwayat diri tinggal sekerat hari
atau sejengkal tali?
perempuan adalah pengacau hidup, kataku
lelaki cuma budak kelamin, balasmu
aku kutuk kalian sebagai tugu pertengkaran,
sindir camar
alah, perahu rinduku senantiasa terperangkap
di antara cinta dan dendam
terombang, gamang
seperti ombak yang acap ditolak
pundak dermaga
ke rahim samudera. Medan, 2008
*
Sajak Pertengkaran
engkau bertampang jelita
tapi bermata curiga
maka sebut saja itu angin malam
lebih lihai menjelajahi hatimu tinimbang diriku
bangku taman pemangku yang gemulai
aku perayu yang kaku
engkau bersenyum permata
tapi berlidah cuka
lantas katakan saja, aku pengkhianat kecil
pada tualang kasih, pada arung cinta
aku pecundang di tubuh rindu
di kujur janji. Medan, 07-08
Rindu|1
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur jarak
selain dengan rindu?
aku terkenang saat langit jingga pernah menanggalkan
gerimis merah jambu
kita kehilangan setangkai payung
tubuh sewarna pudar
tapi degup cinta di celah dada
senyala saga
benar, tak pernah aku-kau mampu menebak
kapan secengkram jarak menyeret kita
dari bangku taman
uh, usia pertemuan tak lebih dari sepagut ciuman
yang tergesa
dan tak bergaram
kau tahu, betapa menakutkan tersuruk
di beranda rindu
tiada kibas lampu
tiada telunjuk waktu
siut daun akasia menjelma kelebat
sembilu
mengelupas kenangan dan cinta aku-kau
yang belum rampung
o, mengapa bulan sabit di langit malam
seperti lengkung senyum yang kecut
dingin dan menjengkelkan
ah, aku terperangkap di rimbun sepi
senantiasa
semacam candu
tak berpenawar
tak tertakar
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur rindu
selain dengan jarak?
Medan, 2007
*
Rindu|2
pada tembok kenangan kita tak mampu
menggurat sekerat alamat-lihat, surat-surat cinta
terlantar, menjelma hujan
menjelma lumut
ah, aku sering merinding, menggelepar
dengar, lolong rinduku memanjang
dari dada yang berlubang
seperti sayup sayatan
semacam seretan luka
kekasih, kau tahu, kabut rindu kian menebal
jalan menuju bukit janji-masa bersua
menerjal, melulu batu
melulu ngarai
maka ketika derit engsel mengabarkan kecemasan
ke punggung pintu
aku paham mengapa ladang cinta
dipenuhi ilalang
juga bangkai belalang
begitulah kekasih, aku kini tugu rindu yang terbengkalai
pula kau adalah penziarah
yang dikhianati arah
yang ditinggalkan langkah!
Medan, 2007-2008
*
Rindu|3
demikianlah kekasih,
pada pusaran rindu yang kian memabukkan
aku senantiasa
menggigil
memanggil-manggil namamu
mengail-ngail
cintamu
melekacak-lacak wangi tubuhmu
cuma kenangan durhaka
yang tidak melahirkan kerinduan!
maka, hei, aku terkenang sepojok taman usang
di belakang kota
kursi-kursi gelisah, bunga-bunga basah
aku-kau lelah
menerjemahkan kerumitan cinta
dan betapa getir secangkir air mata
tapi dari mana muasal suara pecahan kaca
kalau tidak dari lorong dada?
dan ketika hujan kembali berderai
melerai pertengkaran
tanah-batu berpagut, rerumput bersidekap
aku-kau bergegas
menyingkirkan serpih kenangan
yang pernah mengoyak telapak kaki
tapi mengapa selekas itu matahari
menyalip hujan?
maka kekasih, pada kelokan
rindu yang makin licin
aku sering terjerembab
menafsir-nafsir
degup dadamu
menaksir-naksir
keranjang cintamu
menggapai-ngapai
lambai tanganmu.
Medan, 2007-2008
Rindu|4
demi air mata yang tergelincir malam ini, tolong
pulangkan saputangan ke sepintal benang
sebab isak ibarat puisi yang sedang menggali makna
lantas tinggal menunggu, seberapa tangguh aku-kau
menanggungkan tombak rindu yang menancap
di dada kelabu
kabut telah menjelma tungku
bulan seperti gorden yang camping
tidak semestinya aku-kau terperangkap dalam kebekuan
semacam ini. mulut jangan tertambat
bayangkan kau adalah sekerat kata yang terluka
betapa pedih terkunci di lembab laci
kau tahu, sepasang telingaku adalah dua goa
yang setia merangkul rahasia
percakapan musti mengangkut segala kalimat
meski tanpa titik koma
dan kekasih, bersegeralah aku-kau meracik
sebuah malam menjadi sungai rindu?
penuh kelok dan kicau air
kelak aku-kau mencebur diri, mandi kenangan
sambil menyaksikan lelehan hujan kabut
dan batu-batu yang berciuman.
Medan, 2008
BURUH 3
"sesungguhnya kamilah deru mesin itu yang menderu dari sabtu ke sabtu menyepuh ngilu!"
otot tulang yang soak adalah otot tulang kami nadi daging yang koyak adalah nadi daging kami puih resah yang serak adalah puih resah kami tapi sungut takut yang degup bukanlah sungut takut kami
ei, selalu kami dulang suara-suara yang segantang menjadi aum yang lantang namun selalu pula kami bernama: harimau tandus gigi puntung kaki!
lalu kami sebenar tahu sejauh mana pun kami kobarkan amarah perlawanan pasti pulang juga ke pantai almanak hampar pasir angka-angka seperti ribuan tadah tangan yang merogoh ceruk rompal saku sampai tandas, sampai kandas!
iya, setinggi apapun kami kibarkan slogan-slogan pasti terjungkal juga ke sangar kedai ada saja macam racau yang menagih segala tumpuk utang: tiga bulan sewa kontrakan entah berapa mok beras berbatu dan berantang lauk masam tak terbayar oi, rokok basi dan jamu pegalinu, berapa bungkus yang belum lunas?
tapi tidak, terus lantak tonggak zalim musti dirubuhkan ombak sewenang musti ditaklukkan sampai padam tungku badan sampai tumbang batang tubuh menuju ke hilang: segala penat perih berpulang
"sesungguhnya kamilah derak mesin itu yang berseru dari waktu ke waktu tapi acap dipaksa bisu!"
Medan, 2006
Ghaza
▪ Sitok Srengenge
Begitu gema rudal itu sampai padaku, segera kukirim email, menanyakan kabarmu. Seminggu kemudian, ketika kian banyak korban berjatuhan, kukirim lagi surat yang lebih cemas. Keduanya, hingga kini, tak kaubalas.
Aku berharap kau sedang tidak berada di kota itu, Ghaza. Seperti tahun lalu, ketika berkali-kali aku mengontakmu, hanya sekretarismu yang selalu menjawab santun, mengabarkan bahwa kau sedang melakukan perjalanan di sebuah gurun. Tapi, ketika lebih dari tujuh ratus jiwa telah melayang sebagai korban kekejian, alangkah muskil berandai-andai bahwa kau sedang jauh dari kota kecintaan. Setiap kali kusaksikan seseorang tewas atau terluka dalam kecamuk perang tak seimbang itu, aku kembali teringat kamu. Entah mengapa. Barangkali lantaran perasaan, sedih atau senang, senantiasa membutuhkan nama.
Dan aku terkenang bagaimana pertama kali kauperkenalkan namamu. Ketika itu musim sedang gugur di Midwest, Amerika. Tiga puluh penulis dari dua puluh empat negara berkumpul di sebuah ruang bernama Common Ground, bagian dari hotel apik di pusat negara bagian Iowa. Pada dinding ruang itu terpampang peta dunia berukuran besar, agar para peserta dapat mengenalkan diri sambil menunjukkan di mana letak negeri mereka. Seorang demi seorang maju dan selalu berakhir dengan gemuruh tepuk tangan. Sampai pembawa acara memanggilmu. Oh, bukan. Ia memanggil seorang peserta dari West Bank, nama wilayah sebagaimana tercantum di kertasnya dan di peta dunia versi Amerika.
Kau beranjak ke bagian depan ruang dan berkata, “Kalian bisa memanggilku Ghaza, cara lebih mudah dibanding melafalkan nama lengkapku: Ghassan Zaqtan.” Setelah menyebut dirimu penyair, kau pun meralat penamaan yang keliru untuk tanah airmu. “Aku tidak berasal dari West Bank. Tanah airku bernama Palestina!”
Digerakkan oleh ikatan emosional, simpul gaib yang juga menautkan batin begitu banyak orang muslim di negeriku dengan warga negaramu, aku pun maju mendahuluimu mendekati peta di dinding itu. Dengan spidol merah, aku coret kata West Bank dan menggantinya dengan Palestine. Orang-orang serentak bertempik sambil tertawa. Kau memeluk dan memanggilku saudara.
Bahkan sesuatu yang tak kita bayangkan terjadi. Etgar Keret, peramu cerita dan pembuat film dari Israel, mengacungkan tangan dan mendukungmu. “Ghaza benar!” serunya. “Kita harus mengakui keberadaan negara Palestina.” Sejumlah orang Amerika yang hadir di ruangan itu seolah tak berdaya. Tak seorang pun menyanggah ketika Etgar maju berkeluh-kesah. “Politik,” katanya, “telah mengubah kedamaian di benak warga Palestina dan Israel menjadi konflik yang kian pelik.” Lalu, ia pun bercerita.
Di masa kanak dulu, sempat ia nikmati suasana damai itu. Di kotanya, Hebron, orang Arab dan orang Yahudi berhubungan layaknya handaitaulan. Di kelas ia pun belajar Quran dan bahasa Arab. Tapi, “Sekarang tidak lagi. Di banyak sekolah diajarkan bahwa orang Palestina adalah musuh, dan kami hanya boleh menggunakan bahasa Ibrani.”
Saat itu aku seakan melihat percik harapan. Kelak, ketika orang berpikir kritis tentang ajaran Hasan Al-Banna, tak lagi memuji patriotisme Amin Al-Husseini, mungkin mereka tak akan mudah terhasut oleh radikalisme Hamas, tak hanyut dalam haluan politik Benjamin Netanyahu atau Ariel Sharon yang ganas. Diperlukan seratus atau lebih banyak lagi Etgar Keret di Israel, juga seratus atau lebih banyak lagi Ghassan Zaqtan di Palestina, untuk memulihkan kerukunan cucu-cicit Ibrahim.
Tapi barangkali benar keyakinanmu, Ghaza, seteru bebuyutan itu tak mudah disudahi dengan sekian perjanjian dan genjatan senjata. “Gairah perang terus mengarus di urat nadi kami. Secara genetik gairah itu akan menurun ke sel-sel syaraf anak-cucu kami.” Dan kau pun berkisah tentang perlawanan Intifadah. Anak-anak belia Palestina yang, dengan bebutir batu dalam genggaman, gagah menghadang tank-tank Israel yang digerakkan oleh amarah dan kekejian.
“Kami adalah bangsa yang tak kunjung usai mengalami proses mimikri,” tuturmu lagi. Dulu, lanjutmu, Daud—moyang bangsa Israel—melawan raksasa Goliath seolah tanpa takut. Kini Israel telah menjelma Goliath yang lebih kuat dan orang Palestina mengandaikan diri sebagai Daud. Perang, katamu, tak melulu perkara kalah-menang, melainkan terkait erat dengan keyakinan dan harga diri—apa pun tafsir kita tentang keyakinan dan harga diri itu.
“Seperti rabuk, setiap pejuang yang gugur akan merangsang tunas-tunas baru tumbuh subur.” Tapi, sebagaimana kautulis dalam sajakmu, perang juga kenangan kelam yang muskil kaulupa.
Aku ingin mengenangmu
seperti lagu yang kuhafal di sekolah dasar dulu
lagu yang kuhafal secara lengkap tanpa kesalahan
cadel, kepala condong, sumbang
kaki-kaki kecil penuh semangat menapaki jalanan bersemen
tangan-tangan terbuka yang menepuki bangku-bangku
Mereka semua tewas dalam perang,
sahabat-sahabat dan teman-teman sekelasku
kaki-kaki kecil mereka/ tangan-tangan lincah mereka.
Mereka masih menapaki lantai setiap ruangan
menepuki meja-meja
dan masih menapaki trotoar-trotoar jalan,
menepuki punggung orang-orang lewat, pundak-pundak mereka
Ke mana pun aku pergi
aku masih mendengar mereka
aku masih melihat mereka
Di lain kesempatan, kutemukan kau tercenung di kamar hotelmu. Sebetik berita buruk baru saja kauterima. Rumah dan kantormu di Ghaza dihancurkan serdadu Israel dengan serbuan udara. “Aku sedang membangun rumah di Ramallah.”
Di atas mejaku di Ramallah
surat-surat yang belum selesai
dan foto teman-teman lamaku,
tulisan tangan seorang penyair muda dari Ghaza,
jam pasir
Larik pembuka yang mengepak di kepalaku seperti sayap
“Saya sampaikan hormat dan terima kasih atas simpati dan solidaritas kaum muslim di negerimu,” katamu. “Tapi, katakan kepada mereka, perang kami bukan perang agama. Di Palestina, orang Islam berjuang bersama orang Kristen, bahkan mereka yang ateis; melawan Israel.”
Andai kausampaikan kalimat itu sekarang. Andai kau mengabarkan keadaanmu, juga aktivitasmu, dalam bengis perang itu. Ah. Aku hanya bisa berharap kau selamat. Kubayangkan saat ini kau sedang gelisah di sebuah bukit di Ramallah, di rumah barumu yang katamu punya panggung kecil, di mana suatu waktu, ketika dunia damai, kau ingin mengundangku membaca sajak sambil memandang ke arah lembah.
Rumah Seorang Perempuan
JIMMY MARULI ALFIAN
perempuan yang baru memotong rambutnya
ingin berumah dalam sajak-sajakku
katanya ia sudah tak betah
oleh rambut panjang
dan ruang tunggu pelabuhan yang membuatnya gerah
maka kubiarkan saja ia membawa televisi,
kipas angin
dan matahari sendiri
tak lupa
ia menyempatkan membeli bibit palma
dan sebuah bel
yang akan memanggilnya ke halaman setiap senja
tapi ia terkejut
betapa gelapnya ruangan dalam kalimat-kalimatku:
tak ada tiang listrik
ataupun pijar lampu taman plastik
namun lihatlah,
sebuah kata menyala dalam kamar
merupa cahaya yang menarik tubuhnya menjauhi hingar bingar
2003
Perempuan Terluka
KRISHNA PABICHARA
perempuan itu baru saja belajar mencinta.
aku letih menjadi sarang luka, katanya.
petaka tak memberinya jeda.
ceruk di matanya menjelma telaga,
tempat nestapa riuh berdansa. oi, ingin
sekali aku menghiburnya dengan lagu
paling jenaka. sayang, dia sudah lupa
bagaimana caranya tertawa.
sudah, bersandarlah di bahuku!
Bogor, Januari 2009
Batu Penanda
aku ingin berlari ke puncak sajak. melipat jalan setapak di matamu yang berkabung. merentang telaga lengang: biar ikan-ikan dan nestapa berenang dengan bebas. menanti perempuan penyair berambut kabut, yang selalu berselisih dengan waktu, berusaha menemu bahasa suasana paling bisu. kita pernah jadi nelayan di laut itu. berenang meninggalkan semenanjung kata: tempat kita merancang istana riang.
ayo, perempuanku, kita ziarah ke makam pantun. mata kita basah mencium hujan berkali-kali. lihatlah, perempuanku, lihat: kayu nisan, huruf-huruf dan nyeri itu makin biru. sudah lama kita ingin berguru bagaimana bisa menahan gelinjang rindu, sambil memanggil masa-masa haru dan tersedu dengan pilu. sungguh, perempuanku, sungguh. tak perlu keluh-kesah. kita harus mencari penanda cinta: dalam kata, dalam makna.
Bogor, Januari 2009
Kepada Lelaki yang Mengucapkan Da
bagi Hasan Al Banna
SAJAK ILHAM WAHYUDI
Penjahit
ternyata, o, ternyata. Tak mampu kujahit ia. Baik yang baik.
Baik yang buruk sekalipun. "Mungkin harus lebih sungguh-sungguh,"
kata mereka. Adakah yang lebih sederhana dari sungguh-sungguh?
Agar mulai kujahit yang kupikir pernah kujahit.
O, betapa sakit menjadi penjahit ini!
Medan. 2010
Yang Selalu Sakit
Sakit memang sakit, memang! Sebab itu ia gulai pedih dalam
kuali waktu. Saban terus saban kali ia putar otak di kaki; kaki di otak.
Begitu pun ternyata si peramu pedih pula yang merengek-rengek
menyedihkan, minta minyak wangi, katanya. "Minyak wangi dari lubang
buaya katanya harum," kata salah satunya. "Tidak itu Cuma mitos!"
Kata satunya lagi penuh siasat.
O, tidakkah yang pedih juga yang ‘kan menanggungnya? Lalu
kemanakah perginya si peramu pedih…
Medan. 2010
Prajurit Hujan
Prajurit hujan
Datang dalam bimbang
Dalam kemurungan
Pagi
O, aku sakit
Adakah yang mahir menerjemahkan sakit
Semahir ia menerjemahkan kebahagian?
O, aku kehilangan
Adakah yang lebih menyedihkan
Melebihi kehilangan?
Prajurit hujan
Datang tibatiba
Tibatiba hilang
Seketika
Medan. 2010
Hati
ambillah pisau; belah!
iris setipis gerimis
cuci sebersih sprei pengantin
hidangkan pagipagi.
Medan, 2010
Beri Aku Sajakmu
beri aku sajakmu
rerimbun daun
butir hujan
kesegaran hidup
yang di dalamnya ribuan
planet saling memandang
jutaan bintang
saling berbincang
Medan. 2009
secarik fotomu ingin kubasuh
air kenangan yang mengenang
sajakku terbang menyunting bulan
sepanjang musim yang terus berulang
ini rindu ‘dah macam hantu
melintang panjang di jalan pulang
lutut bergetar tercemar kabar
tentang pujaan seberang angan
wahai kau pejalan sunyi
sudikah mengulang pora
selamat datang?
Medan, 2009
Suatu Malam
Di puncak kecemasan kutemui wajahmu yang basah. Yang mengajakku berlari menyusuri ceruk sepi. Angin sepoi yang menyamar kemudian menyusup di dinding-dinding batinku yang berkarat setelah terbenam sekian ribu tahun adalah bau tubuhmu, perempuanku. Bau yang terus memaksaku menerjemahkanmu ke dalam sebentuk sajak yang ganjil deretannya. Tapi sajak, sayangku, sungguh telah lama meninabobokkanku kepada persoalan-persoalan yang terus-menerus semakin tak menentu. Dan kembali hanya kecemasanlah yang setia menyelimuti tidurku malam ini. Seperti liur yang berkarat di kasur. Seperti senyummu yang memanu di bibirku.
Medan, 2009
Bola
Mungkin aku adalah bola kulit yang licin. Aku menggelinding menuju
cerukmu. Meraba kemungkinan-kemungkinan seraya bermunajat,
“Semoga hujan hanya numpang lewat.” Tapi jendelamu terlalu lebar terbuka
dan angin terlalu polos menyampaikan rahasia malam. Sebenarnya
aku ingin lebih lama lagi di sana. Tapi tidak untuk tertidur atau menelurkan
cemas ini sekejap. Tidak untuk mabuk atau mandi bunga mawar. Aku hanya
ingin berkunjung. Ya, berkunjung saja. Esok bila aku menggelinding kembali
maukah kau menari untukku dan menepikan biji pasir ini?
Medan, 2009
Sepanjang Jalan
“bersumpahlah untuk tetap menungguku kembali!” katamu
sedikit serak saat bus antarkota itu memisahkan bau mulutmu
dengan hidungku.
dan sejak itu, ya sejak itu! tak ada lagi yang menggodaku
bergelut dirapatnya gigi putihmu atau sekadar menumpahkan
kopi di kaos kutangku yang menguning.
mungkin kita terlalu buru-buru bertemu sehingga semua
menjadi terlalu lama mengendap. atau mungkin kau memang
sengaja meminangku dengan rindu tetapi kau lupa kapan
mempersetubuh hatiku.
dadaku terasa makin dingin. suara-suara ganjil memenuhi
lambungku; asam sekaligus pahit. kaukah yang mencangkulnya?
kemudian mencungkilnya pula?
seperti pemabuk, tak ada lagi yang bisa aku tuangkan
dalam kecemasan ini. “o, anggurku yang diteguk bulan,”
teriak rohku sepanjang jalan yang malam, sumpah!
Medan, 2009
Suatu Sore yang Setelahnya Gerimis Berhamburan
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan
serupa serbuk sari yang di terbangkan angin: hidungku
pucat kau todongkan segelas kopi; baunya memenuhi selasar,
seketika huruf-huruf dalam kolom olahraga menjelma
baris-baris sajak yang aneh.
“Bagaimana jika aku tak kembali?” Bisikmu mengejutkanku;
buru-buru kubersihkan tumpahan kopi di koran; pelan-pelan
kuhapus juga sesuatu; kubuang jauh jauh.
“Apakah kau tetap akan menungguku?” tanyamu curiga;
aku meraba-raba nomor telepon biro perjalanan; diam-diam aku
hafal angka-angka ganjil yang berenang di mataku.
Ahk, aku megap menghabiskan kopi ini sendirian, perempuanku;
mabuk menelan huruf-huruf yang berbisik-bisik menggoda;
merayuku untuk menuliskan sesuatu untukmu yang jauh.
Aku teringat kau, perempuanku.
Berulang kali kutelepon nomor biro perjalanan itu;
Maaf, nomor yang anda tuju belum terpasang!
entahlah, apakah aku yang salah menghafal
atau aku yang keliru memencetnya?
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan.
Sungguh!
Medan, 2009
——–
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Alumnus FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat ini bergiat di Komunitas Hape (Home Poetry) dan Komunitas Kun. Aktif menulis puisi, cerpen, esai di beberapa media. Puisinya termaktup dalam antologi Penyair Muda Malaysia-Indonesia(2009).
Sajak M. Raudah Jambak
SUNGAI PENGEMIS
1.
Seorang pengemis duduk di pusat kota
menggenggam terompet yang dibuang
oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.
Seorang pengemis duduk di simpang kota
meniup terompet yang basah terimbas
air hujan. Suaranya tersekat.
Seorang pengemis duduk di tiang
lampu jalan raya yang mati arusnya,
pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.
2.
Pada malam tahun baru ini, para pengemis
mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan
para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan
segala sisa.
sepanjang malam pengemis itu menahan
gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.
Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi
yang terburai.
Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib
yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,
lampu merah tak jua padam di antara langkah
yang tertahan
3.
dan perlahan suara malam senyap
meninabobokkan bulan di peraduan.
Suara terompet dan jerit petasan sedari
tadi telah dibungkam.
Menjelang pagi seorang pengemis
membangun kepingan mimpi. Bersama
tumpukan sisa hujan yang perlahan
meninggalkannya di sepanjang selokan
4.
Di antara pagi
Pengemis kecil duduk sendiri
Mendekap sisa hujan
Di dadanya
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu per satu
Pengemis kecil duduk sendiri
menumpukkan sisa nasib
mengumpulkan kepingan mimpi
dalam nyenyak tidurnya
5.
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
6.
Pengemis kecil bertubuh dekil
menyanyikan senandung sunyi
lagu dari segala kepedihan
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Pengemis kecil bertubuh dekil
Menghalau masa lampau
Tentang bulan dan matahari
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Sepanjang jalan raya
7.
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu rindu
Sisa mati lampu dan deru segala hujan
Entah tanggal yang ke berapa
Zikir mengalir
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
8.
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiran
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
9.
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah
Yang ditinggalkan peradaban kata-kata
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI
1.
Menyusuri sungai, ketekketek bersin
Menggeram pada isak gemuruh mesin
riakriaknya menari pada perih segala sedih
rindu muara penawar tubuh segala ringkih
di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita
di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca
tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari
melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri
bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur
yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur
di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian
ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian
selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci
di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi
Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan
yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.
Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota
yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala
Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan
dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan
sepanjang hari awan merangkak pelan
mengabarkan permulaan salam perjumpaan
2.
Menyusuri sungai, terbayang segala kenang
tongkang menerjang. Berlari kencang garang
Permukaannya membelah memberi jalan Musa
dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka
Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata
Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota
Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga
rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta
laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam
terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam
yang usianya melampaui batas keserakahan
tentang sebuah keimanan dan keyakinan
anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman
kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan
saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang
begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang
sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri
yang bergoyang kita seolah diajak menari
3.
Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir
Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair
permukaanya menggelombang sesekali
di tepiannya bocahbocah telanjang menari
Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri
Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi
SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI
1.
pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj yang berlari
hiruplah aroma kesumat birahi ini
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
2.
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa kenang
hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang
aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah
yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah
3.
dan rauplah cuka
lalulalang aroma
segala pembusukkan
segala pembusukkan
2008
UJUNG PENA SUNGAI TINTA
1.
Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.
Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,
menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam
yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam
peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.
Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,
berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan
perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.
Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,
menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-
musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
2.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis
sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.
sebuah pesta dari segala napas peristiwa
cahaya matahari menghadirkan madu makna
menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta
terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,
menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,
bertopengkan segala wawancara para dasamuka
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak
yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak
3.
langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa
membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.
Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,
meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,
lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala
rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara
Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,
memburu di setiap perhentian kata menggumulinya
untuk kemudian dilahirkan pada cerita
gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.
Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.
4.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.
Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,
mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap
pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap
di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa
membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.
Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan
yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,
Mewarta segala peristiwa.
Mewarta segala cuaca
2008
DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED. SAAT ini aktif di Komunitas Home Poetry, sebagai Direktur Art. Alamat kontak Taman Budaya Sumatera Utara Jl. Perintis Kemerdekaan no. 33 Medan-Sumatera Utara
maka sekalian saja menjadi batu kalau musti kunyatakan ini sendu sejak lalu gemuruh tangis di dada tidak kulabuhkan di kopak mata
perjalanan tidak dituntun garis tangan apalagi tunduk pada petunjuk ramalan sebab semua urusan Tuhan tentang itu jangan campur tangan!
ini luka adalah luka tidak musti kueja : derita!
Medan, 2003
TELEGRAM BUAT JAKARTA
kami sedang dahaga luar biasa maka tolong kirimkan secawan cinta segera!
Medan, 2004
TENTANG SENJA DAN PAGI
kau selalu bangga dengan penjelajahanmu, seperti aku yang juga mengagungkan petualanganku.
Hujan, Melon, dan Alkisah Cinta
aku membayangkan daun-daun
yang bersimbah hujan
semacam irisan melon
di dalam kulkas: malu-malu
tapi menebar kerling ke penjuru dada
menagih hangat rahang dan kerongkongan
serupa kau?
aku terkenang ketika kau pernah tiba
dengan pisau cinta yang ditumpulkan lelaki
di masa silam: riwayat cinta
yang senantiasa menetaskan telur-telur luka
tak lebih dari selingkar janji yang mengingkar jari
siapa kau?
aku tak menyimpan segenggam pelipur duka
karena tanganku pun berdarah
oleh duri mawar: kelopak bunga
cuma mampu menyelubungkan noda
tapi tak kuasa sewangi sorga
pergi kau! Medan, 2008
*
Sebuah Malam, Kasih Tak Sampai
ini tiang perahu patah didobrak angin
tombak badai melukai jantung layar
lenteraku kunang-kunang yang kelelahan
sepasang dayungku lengan-lengan
yang kedinginan
sedang laut adalah jalan
yang menanjak dan berliku
karang ialah perangkap berhati batu
dan ai, malam tak juga tergenggam tangan
pula ia laksana kerajaan pitam
itu bulan hanya cahaya angan-angan
itu bintang cuma kerling kunang-kunang
aku kini semakin paham
perahuku menuju ke alamat karam
ih, aku tak sampai pada pantai
yang semampai
ah, aku tak tiba pada dermaga yang jelita.
Medan, 2008
*
Sajak Cinta di Dermaga
angin laut memantul di tiang-tiang kapal
parau dan letih
napas garam adalah musafir
yang berputar-putar
langit menjelma gadis yang pendiam!
sedang nyala lampu-lampu dermaga
adakah semacam lelaki kumal yang kesepian?
sebatas mengabarkan matahari segera karam
ke dasar malam
demikianlah, sejak lampau aku ingin meniru ketabahan
jangkar kapal; patuh dalam tualang
setia dipanggil pulang
tapi hai, tubuhku masih juga dipahat dari alur api
menghanguskan kenangan di pencil kepala
memusnahkan asa di haribaan dada
adakah riwayat diri tinggal sekerat hari
atau sejengkal tali?
perempuan adalah pengacau hidup, kataku
lelaki cuma budak kelamin, balasmu
aku kutuk kalian sebagai tugu pertengkaran,
sindir camar
alah, perahu rinduku senantiasa terperangkap
di antara cinta dan dendam
terombang, gamang
seperti ombak yang acap ditolak
pundak dermaga
ke rahim samudera. Medan, 2008
*
Sajak Pertengkaran
engkau bertampang jelita
tapi bermata curiga
maka sebut saja itu angin malam
lebih lihai menjelajahi hatimu tinimbang diriku
bangku taman pemangku yang gemulai
aku perayu yang kaku
engkau bersenyum permata
tapi berlidah cuka
lantas katakan saja, aku pengkhianat kecil
pada tualang kasih, pada arung cinta
aku pecundang di tubuh rindu
di kujur janji. Medan, 07-08
Rindu|1
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur jarak
selain dengan rindu?
aku terkenang saat langit jingga pernah menanggalkan
gerimis merah jambu
kita kehilangan setangkai payung
tubuh sewarna pudar
tapi degup cinta di celah dada
senyala saga
benar, tak pernah aku-kau mampu menebak
kapan secengkram jarak menyeret kita
dari bangku taman
uh, usia pertemuan tak lebih dari sepagut ciuman
yang tergesa
dan tak bergaram
kau tahu, betapa menakutkan tersuruk
di beranda rindu
tiada kibas lampu
tiada telunjuk waktu
siut daun akasia menjelma kelebat
sembilu
mengelupas kenangan dan cinta aku-kau
yang belum rampung
o, mengapa bulan sabit di langit malam
seperti lengkung senyum yang kecut
dingin dan menjengkelkan
ah, aku terperangkap di rimbun sepi
senantiasa
semacam candu
tak berpenawar
tak tertakar
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur rindu
selain dengan jarak?
Medan, 2007
*
Rindu|2
pada tembok kenangan kita tak mampu
menggurat sekerat alamat-lihat, surat-surat cinta
terlantar, menjelma hujan
menjelma lumut
ah, aku sering merinding, menggelepar
dengar, lolong rinduku memanjang
dari dada yang berlubang
seperti sayup sayatan
semacam seretan luka
kekasih, kau tahu, kabut rindu kian menebal
jalan menuju bukit janji-masa bersua
menerjal, melulu batu
melulu ngarai
maka ketika derit engsel mengabarkan kecemasan
ke punggung pintu
aku paham mengapa ladang cinta
dipenuhi ilalang
juga bangkai belalang
begitulah kekasih, aku kini tugu rindu yang terbengkalai
pula kau adalah penziarah
yang dikhianati arah
yang ditinggalkan langkah!
Medan, 2007-2008
*
Rindu|3
demikianlah kekasih,
pada pusaran rindu yang kian memabukkan
aku senantiasa
menggigil
memanggil-manggil namamu
mengail-ngail
cintamu
melekacak-lacak wangi tubuhmu
cuma kenangan durhaka
yang tidak melahirkan kerinduan!
maka, hei, aku terkenang sepojok taman usang
di belakang kota
kursi-kursi gelisah, bunga-bunga basah
aku-kau lelah
menerjemahkan kerumitan cinta
dan betapa getir secangkir air mata
tapi dari mana muasal suara pecahan kaca
kalau tidak dari lorong dada?
dan ketika hujan kembali berderai
melerai pertengkaran
tanah-batu berpagut, rerumput bersidekap
aku-kau bergegas
menyingkirkan serpih kenangan
yang pernah mengoyak telapak kaki
tapi mengapa selekas itu matahari
menyalip hujan?
maka kekasih, pada kelokan
rindu yang makin licin
aku sering terjerembab
menafsir-nafsir
degup dadamu
menaksir-naksir
keranjang cintamu
menggapai-ngapai
lambai tanganmu.
Medan, 2007-2008
Rindu|4
demi air mata yang tergelincir malam ini, tolong
pulangkan saputangan ke sepintal benang
sebab isak ibarat puisi yang sedang menggali makna
lantas tinggal menunggu, seberapa tangguh aku-kau
menanggungkan tombak rindu yang menancap
di dada kelabu
kabut telah menjelma tungku
bulan seperti gorden yang camping
tidak semestinya aku-kau terperangkap dalam kebekuan
semacam ini. mulut jangan tertambat
bayangkan kau adalah sekerat kata yang terluka
betapa pedih terkunci di lembab laci
kau tahu, sepasang telingaku adalah dua goa
yang setia merangkul rahasia
percakapan musti mengangkut segala kalimat
meski tanpa titik koma
dan kekasih, bersegeralah aku-kau meracik
sebuah malam menjadi sungai rindu?
penuh kelok dan kicau air
kelak aku-kau mencebur diri, mandi kenangan
sambil menyaksikan lelehan hujan kabut
dan batu-batu yang berciuman.
Medan, 2008
BURUH 3
"sesungguhnya kamilah deru mesin itu yang menderu dari sabtu ke sabtu menyepuh ngilu!"
otot tulang yang soak adalah otot tulang kami nadi daging yang koyak adalah nadi daging kami puih resah yang serak adalah puih resah kami tapi sungut takut yang degup bukanlah sungut takut kami
ei, selalu kami dulang suara-suara yang segantang menjadi aum yang lantang namun selalu pula kami bernama: harimau tandus gigi puntung kaki!
lalu kami sebenar tahu sejauh mana pun kami kobarkan amarah perlawanan pasti pulang juga ke pantai almanak hampar pasir angka-angka seperti ribuan tadah tangan yang merogoh ceruk rompal saku sampai tandas, sampai kandas!
iya, setinggi apapun kami kibarkan slogan-slogan pasti terjungkal juga ke sangar kedai ada saja macam racau yang menagih segala tumpuk utang: tiga bulan sewa kontrakan entah berapa mok beras berbatu dan berantang lauk masam tak terbayar oi, rokok basi dan jamu pegalinu, berapa bungkus yang belum lunas?
tapi tidak, terus lantak tonggak zalim musti dirubuhkan ombak sewenang musti ditaklukkan sampai padam tungku badan sampai tumbang batang tubuh menuju ke hilang: segala penat perih berpulang
"sesungguhnya kamilah derak mesin itu yang berseru dari waktu ke waktu tapi acap dipaksa bisu!"
Medan, 2006
Ghaza
▪ Sitok Srengenge
Begitu gema rudal itu sampai padaku, segera kukirim email, menanyakan kabarmu. Seminggu kemudian, ketika kian banyak korban berjatuhan, kukirim lagi surat yang lebih cemas. Keduanya, hingga kini, tak kaubalas.
Aku berharap kau sedang tidak berada di kota itu, Ghaza. Seperti tahun lalu, ketika berkali-kali aku mengontakmu, hanya sekretarismu yang selalu menjawab santun, mengabarkan bahwa kau sedang melakukan perjalanan di sebuah gurun. Tapi, ketika lebih dari tujuh ratus jiwa telah melayang sebagai korban kekejian, alangkah muskil berandai-andai bahwa kau sedang jauh dari kota kecintaan. Setiap kali kusaksikan seseorang tewas atau terluka dalam kecamuk perang tak seimbang itu, aku kembali teringat kamu. Entah mengapa. Barangkali lantaran perasaan, sedih atau senang, senantiasa membutuhkan nama.
Dan aku terkenang bagaimana pertama kali kauperkenalkan namamu. Ketika itu musim sedang gugur di Midwest, Amerika. Tiga puluh penulis dari dua puluh empat negara berkumpul di sebuah ruang bernama Common Ground, bagian dari hotel apik di pusat negara bagian Iowa. Pada dinding ruang itu terpampang peta dunia berukuran besar, agar para peserta dapat mengenalkan diri sambil menunjukkan di mana letak negeri mereka. Seorang demi seorang maju dan selalu berakhir dengan gemuruh tepuk tangan. Sampai pembawa acara memanggilmu. Oh, bukan. Ia memanggil seorang peserta dari West Bank, nama wilayah sebagaimana tercantum di kertasnya dan di peta dunia versi Amerika.
Kau beranjak ke bagian depan ruang dan berkata, “Kalian bisa memanggilku Ghaza, cara lebih mudah dibanding melafalkan nama lengkapku: Ghassan Zaqtan.” Setelah menyebut dirimu penyair, kau pun meralat penamaan yang keliru untuk tanah airmu. “Aku tidak berasal dari West Bank. Tanah airku bernama Palestina!”
Digerakkan oleh ikatan emosional, simpul gaib yang juga menautkan batin begitu banyak orang muslim di negeriku dengan warga negaramu, aku pun maju mendahuluimu mendekati peta di dinding itu. Dengan spidol merah, aku coret kata West Bank dan menggantinya dengan Palestine. Orang-orang serentak bertempik sambil tertawa. Kau memeluk dan memanggilku saudara.
Bahkan sesuatu yang tak kita bayangkan terjadi. Etgar Keret, peramu cerita dan pembuat film dari Israel, mengacungkan tangan dan mendukungmu. “Ghaza benar!” serunya. “Kita harus mengakui keberadaan negara Palestina.” Sejumlah orang Amerika yang hadir di ruangan itu seolah tak berdaya. Tak seorang pun menyanggah ketika Etgar maju berkeluh-kesah. “Politik,” katanya, “telah mengubah kedamaian di benak warga Palestina dan Israel menjadi konflik yang kian pelik.” Lalu, ia pun bercerita.
Di masa kanak dulu, sempat ia nikmati suasana damai itu. Di kotanya, Hebron, orang Arab dan orang Yahudi berhubungan layaknya handaitaulan. Di kelas ia pun belajar Quran dan bahasa Arab. Tapi, “Sekarang tidak lagi. Di banyak sekolah diajarkan bahwa orang Palestina adalah musuh, dan kami hanya boleh menggunakan bahasa Ibrani.”
Saat itu aku seakan melihat percik harapan. Kelak, ketika orang berpikir kritis tentang ajaran Hasan Al-Banna, tak lagi memuji patriotisme Amin Al-Husseini, mungkin mereka tak akan mudah terhasut oleh radikalisme Hamas, tak hanyut dalam haluan politik Benjamin Netanyahu atau Ariel Sharon yang ganas. Diperlukan seratus atau lebih banyak lagi Etgar Keret di Israel, juga seratus atau lebih banyak lagi Ghassan Zaqtan di Palestina, untuk memulihkan kerukunan cucu-cicit Ibrahim.
Tapi barangkali benar keyakinanmu, Ghaza, seteru bebuyutan itu tak mudah disudahi dengan sekian perjanjian dan genjatan senjata. “Gairah perang terus mengarus di urat nadi kami. Secara genetik gairah itu akan menurun ke sel-sel syaraf anak-cucu kami.” Dan kau pun berkisah tentang perlawanan Intifadah. Anak-anak belia Palestina yang, dengan bebutir batu dalam genggaman, gagah menghadang tank-tank Israel yang digerakkan oleh amarah dan kekejian.
“Kami adalah bangsa yang tak kunjung usai mengalami proses mimikri,” tuturmu lagi. Dulu, lanjutmu, Daud—moyang bangsa Israel—melawan raksasa Goliath seolah tanpa takut. Kini Israel telah menjelma Goliath yang lebih kuat dan orang Palestina mengandaikan diri sebagai Daud. Perang, katamu, tak melulu perkara kalah-menang, melainkan terkait erat dengan keyakinan dan harga diri—apa pun tafsir kita tentang keyakinan dan harga diri itu.
“Seperti rabuk, setiap pejuang yang gugur akan merangsang tunas-tunas baru tumbuh subur.” Tapi, sebagaimana kautulis dalam sajakmu, perang juga kenangan kelam yang muskil kaulupa.
Aku ingin mengenangmu
seperti lagu yang kuhafal di sekolah dasar dulu
lagu yang kuhafal secara lengkap tanpa kesalahan
cadel, kepala condong, sumbang
kaki-kaki kecil penuh semangat menapaki jalanan bersemen
tangan-tangan terbuka yang menepuki bangku-bangku
Mereka semua tewas dalam perang,
sahabat-sahabat dan teman-teman sekelasku
kaki-kaki kecil mereka/ tangan-tangan lincah mereka.
Mereka masih menapaki lantai setiap ruangan
menepuki meja-meja
dan masih menapaki trotoar-trotoar jalan,
menepuki punggung orang-orang lewat, pundak-pundak mereka
Ke mana pun aku pergi
aku masih mendengar mereka
aku masih melihat mereka
Di lain kesempatan, kutemukan kau tercenung di kamar hotelmu. Sebetik berita buruk baru saja kauterima. Rumah dan kantormu di Ghaza dihancurkan serdadu Israel dengan serbuan udara. “Aku sedang membangun rumah di Ramallah.”
Di atas mejaku di Ramallah
surat-surat yang belum selesai
dan foto teman-teman lamaku,
tulisan tangan seorang penyair muda dari Ghaza,
jam pasir
Larik pembuka yang mengepak di kepalaku seperti sayap
“Saya sampaikan hormat dan terima kasih atas simpati dan solidaritas kaum muslim di negerimu,” katamu. “Tapi, katakan kepada mereka, perang kami bukan perang agama. Di Palestina, orang Islam berjuang bersama orang Kristen, bahkan mereka yang ateis; melawan Israel.”
Andai kausampaikan kalimat itu sekarang. Andai kau mengabarkan keadaanmu, juga aktivitasmu, dalam bengis perang itu. Ah. Aku hanya bisa berharap kau selamat. Kubayangkan saat ini kau sedang gelisah di sebuah bukit di Ramallah, di rumah barumu yang katamu punya panggung kecil, di mana suatu waktu, ketika dunia damai, kau ingin mengundangku membaca sajak sambil memandang ke arah lembah.
Rumah Seorang Perempuan
JIMMY MARULI ALFIAN
perempuan yang baru memotong rambutnya
ingin berumah dalam sajak-sajakku
katanya ia sudah tak betah
oleh rambut panjang
dan ruang tunggu pelabuhan yang membuatnya gerah
maka kubiarkan saja ia membawa televisi,
kipas angin
dan matahari sendiri
tak lupa
ia menyempatkan membeli bibit palma
dan sebuah bel
yang akan memanggilnya ke halaman setiap senja
tapi ia terkejut
betapa gelapnya ruangan dalam kalimat-kalimatku:
tak ada tiang listrik
ataupun pijar lampu taman plastik
namun lihatlah,
sebuah kata menyala dalam kamar
merupa cahaya yang menarik tubuhnya menjauhi hingar bingar
2003
Perempuan Terluka
KRISHNA PABICHARA
perempuan itu baru saja belajar mencinta.
aku letih menjadi sarang luka, katanya.
petaka tak memberinya jeda.
ceruk di matanya menjelma telaga,
tempat nestapa riuh berdansa. oi, ingin
sekali aku menghiburnya dengan lagu
paling jenaka. sayang, dia sudah lupa
bagaimana caranya tertawa.
sudah, bersandarlah di bahuku!
Bogor, Januari 2009
Batu Penanda
aku ingin berlari ke puncak sajak. melipat jalan setapak di matamu yang berkabung. merentang telaga lengang: biar ikan-ikan dan nestapa berenang dengan bebas. menanti perempuan penyair berambut kabut, yang selalu berselisih dengan waktu, berusaha menemu bahasa suasana paling bisu. kita pernah jadi nelayan di laut itu. berenang meninggalkan semenanjung kata: tempat kita merancang istana riang.
ayo, perempuanku, kita ziarah ke makam pantun. mata kita basah mencium hujan berkali-kali. lihatlah, perempuanku, lihat: kayu nisan, huruf-huruf dan nyeri itu makin biru. sudah lama kita ingin berguru bagaimana bisa menahan gelinjang rindu, sambil memanggil masa-masa haru dan tersedu dengan pilu. sungguh, perempuanku, sungguh. tak perlu keluh-kesah. kita harus mencari penanda cinta: dalam kata, dalam makna.
Bogor, Januari 2009
Kepada Lelaki yang Mengucapkan Da
bagi Hasan Al Banna
SAJAK ILHAM WAHYUDI
Penjahit
ternyata, o, ternyata. Tak mampu kujahit ia. Baik yang baik.
Baik yang buruk sekalipun. "Mungkin harus lebih sungguh-sungguh,"
kata mereka. Adakah yang lebih sederhana dari sungguh-sungguh?
Agar mulai kujahit yang kupikir pernah kujahit.
O, betapa sakit menjadi penjahit ini!
Medan. 2010
Yang Selalu Sakit
Sakit memang sakit, memang! Sebab itu ia gulai pedih dalam
kuali waktu. Saban terus saban kali ia putar otak di kaki; kaki di otak.
Begitu pun ternyata si peramu pedih pula yang merengek-rengek
menyedihkan, minta minyak wangi, katanya. "Minyak wangi dari lubang
buaya katanya harum," kata salah satunya. "Tidak itu Cuma mitos!"
Kata satunya lagi penuh siasat.
O, tidakkah yang pedih juga yang ‘kan menanggungnya? Lalu
kemanakah perginya si peramu pedih…
Medan. 2010
Prajurit Hujan
Prajurit hujan
Datang dalam bimbang
Dalam kemurungan
Pagi
O, aku sakit
Adakah yang mahir menerjemahkan sakit
Semahir ia menerjemahkan kebahagian?
O, aku kehilangan
Adakah yang lebih menyedihkan
Melebihi kehilangan?
Prajurit hujan
Datang tibatiba
Tibatiba hilang
Seketika
Medan. 2010
Hati
ambillah pisau; belah!
iris setipis gerimis
cuci sebersih sprei pengantin
hidangkan pagipagi.
Medan, 2010
Beri Aku Sajakmu
beri aku sajakmu
rerimbun daun
butir hujan
kesegaran hidup
yang di dalamnya ribuan
planet saling memandang
jutaan bintang
saling berbincang
Medan. 2009
secarik fotomu ingin kubasuh
air kenangan yang mengenang
sajakku terbang menyunting bulan
sepanjang musim yang terus berulang
ini rindu ‘dah macam hantu
melintang panjang di jalan pulang
lutut bergetar tercemar kabar
tentang pujaan seberang angan
wahai kau pejalan sunyi
sudikah mengulang pora
selamat datang?
Medan, 2009
Suatu Malam
Di puncak kecemasan kutemui wajahmu yang basah. Yang mengajakku berlari menyusuri ceruk sepi. Angin sepoi yang menyamar kemudian menyusup di dinding-dinding batinku yang berkarat setelah terbenam sekian ribu tahun adalah bau tubuhmu, perempuanku. Bau yang terus memaksaku menerjemahkanmu ke dalam sebentuk sajak yang ganjil deretannya. Tapi sajak, sayangku, sungguh telah lama meninabobokkanku kepada persoalan-persoalan yang terus-menerus semakin tak menentu. Dan kembali hanya kecemasanlah yang setia menyelimuti tidurku malam ini. Seperti liur yang berkarat di kasur. Seperti senyummu yang memanu di bibirku.
Medan, 2009
Bola
Mungkin aku adalah bola kulit yang licin. Aku menggelinding menuju
cerukmu. Meraba kemungkinan-kemungkinan seraya bermunajat,
“Semoga hujan hanya numpang lewat.” Tapi jendelamu terlalu lebar terbuka
dan angin terlalu polos menyampaikan rahasia malam. Sebenarnya
aku ingin lebih lama lagi di sana. Tapi tidak untuk tertidur atau menelurkan
cemas ini sekejap. Tidak untuk mabuk atau mandi bunga mawar. Aku hanya
ingin berkunjung. Ya, berkunjung saja. Esok bila aku menggelinding kembali
maukah kau menari untukku dan menepikan biji pasir ini?
Medan, 2009
Sepanjang Jalan
“bersumpahlah untuk tetap menungguku kembali!” katamu
sedikit serak saat bus antarkota itu memisahkan bau mulutmu
dengan hidungku.
dan sejak itu, ya sejak itu! tak ada lagi yang menggodaku
bergelut dirapatnya gigi putihmu atau sekadar menumpahkan
kopi di kaos kutangku yang menguning.
mungkin kita terlalu buru-buru bertemu sehingga semua
menjadi terlalu lama mengendap. atau mungkin kau memang
sengaja meminangku dengan rindu tetapi kau lupa kapan
mempersetubuh hatiku.
dadaku terasa makin dingin. suara-suara ganjil memenuhi
lambungku; asam sekaligus pahit. kaukah yang mencangkulnya?
kemudian mencungkilnya pula?
seperti pemabuk, tak ada lagi yang bisa aku tuangkan
dalam kecemasan ini. “o, anggurku yang diteguk bulan,”
teriak rohku sepanjang jalan yang malam, sumpah!
Medan, 2009
Suatu Sore yang Setelahnya Gerimis Berhamburan
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan
serupa serbuk sari yang di terbangkan angin: hidungku
pucat kau todongkan segelas kopi; baunya memenuhi selasar,
seketika huruf-huruf dalam kolom olahraga menjelma
baris-baris sajak yang aneh.
“Bagaimana jika aku tak kembali?” Bisikmu mengejutkanku;
buru-buru kubersihkan tumpahan kopi di koran; pelan-pelan
kuhapus juga sesuatu; kubuang jauh jauh.
“Apakah kau tetap akan menungguku?” tanyamu curiga;
aku meraba-raba nomor telepon biro perjalanan; diam-diam aku
hafal angka-angka ganjil yang berenang di mataku.
Ahk, aku megap menghabiskan kopi ini sendirian, perempuanku;
mabuk menelan huruf-huruf yang berbisik-bisik menggoda;
merayuku untuk menuliskan sesuatu untukmu yang jauh.
Aku teringat kau, perempuanku.
Berulang kali kutelepon nomor biro perjalanan itu;
Maaf, nomor yang anda tuju belum terpasang!
entahlah, apakah aku yang salah menghafal
atau aku yang keliru memencetnya?
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan.
Sungguh!
Medan, 2009
——–
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Alumnus FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat ini bergiat di Komunitas Hape (Home Poetry) dan Komunitas Kun. Aktif menulis puisi, cerpen, esai di beberapa media. Puisinya termaktup dalam antologi Penyair Muda Malaysia-Indonesia(2009).
Sajak M. Raudah Jambak
SUNGAI PENGEMIS
1.
Seorang pengemis duduk di pusat kota
menggenggam terompet yang dibuang
oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.
Seorang pengemis duduk di simpang kota
meniup terompet yang basah terimbas
air hujan. Suaranya tersekat.
Seorang pengemis duduk di tiang
lampu jalan raya yang mati arusnya,
pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.
2.
Pada malam tahun baru ini, para pengemis
mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan
para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan
segala sisa.
sepanjang malam pengemis itu menahan
gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.
Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi
yang terburai.
Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib
yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,
lampu merah tak jua padam di antara langkah
yang tertahan
3.
dan perlahan suara malam senyap
meninabobokkan bulan di peraduan.
Suara terompet dan jerit petasan sedari
tadi telah dibungkam.
Menjelang pagi seorang pengemis
membangun kepingan mimpi. Bersama
tumpukan sisa hujan yang perlahan
meninggalkannya di sepanjang selokan
4.
Di antara pagi
Pengemis kecil duduk sendiri
Mendekap sisa hujan
Di dadanya
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu per satu
Pengemis kecil duduk sendiri
menumpukkan sisa nasib
mengumpulkan kepingan mimpi
dalam nyenyak tidurnya
5.
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
6.
Pengemis kecil bertubuh dekil
menyanyikan senandung sunyi
lagu dari segala kepedihan
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Pengemis kecil bertubuh dekil
Menghalau masa lampau
Tentang bulan dan matahari
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Sepanjang jalan raya
7.
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu rindu
Sisa mati lampu dan deru segala hujan
Entah tanggal yang ke berapa
Zikir mengalir
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
8.
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiran
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
9.
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah
Yang ditinggalkan peradaban kata-kata
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI
1.
Menyusuri sungai, ketekketek bersin
Menggeram pada isak gemuruh mesin
riakriaknya menari pada perih segala sedih
rindu muara penawar tubuh segala ringkih
di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita
di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca
tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari
melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri
bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur
yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur
di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian
ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian
selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci
di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi
Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan
yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.
Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota
yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala
Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan
dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan
sepanjang hari awan merangkak pelan
mengabarkan permulaan salam perjumpaan
2.
Menyusuri sungai, terbayang segala kenang
tongkang menerjang. Berlari kencang garang
Permukaannya membelah memberi jalan Musa
dari kejaran raja Fir'aun yang memendam luka
Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata
Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota
Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga
rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta
laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam
terjebak monopoli minyak Fir'aun sepenuh dendam
yang usianya melampaui batas keserakahan
tentang sebuah keimanan dan keyakinan
anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman
kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan
saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang
begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang
sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri
yang bergoyang kita seolah diajak menari
3.
Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir
Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair
permukaanya menggelombang sesekali
di tepiannya bocahbocah telanjang menari
Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri
Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi
SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI
1.
pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj yang berlari
hiruplah aroma kesumat birahi ini
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
2.
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa kenang
hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang
aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah
yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah
3.
dan rauplah cuka
lalulalang aroma
segala pembusukkan
segala pembusukkan
2008
UJUNG PENA SUNGAI TINTA
1.
Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.
Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,
menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam
yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam
peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.
Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,
berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan
perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.
Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,
menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-
musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
2.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis
sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.
sebuah pesta dari segala napas peristiwa
cahaya matahari menghadirkan madu makna
menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta
terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,
menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,
bertopengkan segala wawancara para dasamuka
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak
yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak
3.
langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa
membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.
Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,
meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,
lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala
rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara
Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,
memburu di setiap perhentian kata menggumulinya
untuk kemudian dilahirkan pada cerita
gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.
Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.
4.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.
Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,
mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap
pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap
di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa
membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.
Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan
yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,
Mewarta segala peristiwa.
Mewarta segala cuaca
2008
DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar Panca Budi, Budi Utomo dan UNIMED. SAAT ini aktif di Komunitas Home Poetry, sebagai Direktur Art. Alamat kontak Taman Budaya Sumatera Utara Jl. Perintis Kemerdekaan no. 33 Medan-Sumatera Utara
Subscribe to:
Posts (Atom)