SEBAB PAHLAWAN NAMAKU
Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir
Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan
Segala tetes air mata di pualam pipinya
Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia
Setua misteri yang beralis segala teka teki
Dan memberi namaku Pahlawan
Bukan aku yang meminta nama segagah itu
Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan
Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela
Merengek-rengek agar semua orang tahu
Tidak ada Pahlawan selain aku
Aku tidak harus mati dulu
Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk
Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu
Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan
Kata Pahlawan di keningku
Ooi, Aku bangun jiwa raga ini
Aku bangun cita-cita ini
Aku bangun negeri ini
Dengan nurani
sebab pahlawan namaku
Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama
Tak harus kutempuh jalan membabi buta
Tak harus kutempuh menikung suka-suka
Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa
sebab pahlawan namaku
Ooi, Sebab aku terlahir
di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu
yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata
di pualam pipinya,
Maka pahlawan namaku
Bogor, 2008
Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda
Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam
Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan
AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran
Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota
AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan
Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi
Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sbelum ditembak mati
Aku adalah dia, ingat, aku adalah dia
(Dari Budaja Djaja No. 23, April 1970)
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)
RAKYAT
Karya : Hartoyo Andangjaya
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Sastra,
No. 10-11, Th II, 1962
Karya : M. Raudah Jambak
Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir
Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan
Segala tetes air mata di pualam pipinya
Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia
Setua misteri yang beralis segala teka teki
Dan memberi namaku Pahlawan
Bukan aku yang meminta nama segagah itu
Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan
Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela
Merengek-rengek agar semua orang tahu
Tidak ada Pahlawan selain aku
Aku tidak harus mati dulu
Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk
Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu
Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan
Kata Pahlawan di keningku
Ooi, Aku bangun jiwa raga ini
Aku bangun cita-cita ini
Aku bangun negeri ini
Dengan nurani
sebab pahlawan namaku
Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama
Tak harus kutempuh jalan membabi buta
Tak harus kutempuh menikung suka-suka
Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa
sebab pahlawan namaku
Ooi, Sebab aku terlahir
di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu
yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata
di pualam pipinya,
Maka pahlawan namaku
Bogor, 2008
INDONESIA, MERAH-PUTIHKU
Karya : M. Raudah Jambak
Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta
Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka
Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan
Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam
Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal
Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu
medan, 10-12
Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta
Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka
Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan
Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam
Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal
Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu
medan, 10-12
MENJAGA INDONESIA
Karya : M. Raudah Jambak
Mungkin tak pernah terpikirkan
entah berapa helai daun yang gugur di halaman rumah kita
dan membusuk, atau hangus begitu saja di gunungan sampah
yang berhari-hari kita biarkan. Pun, ketika ia terseret di arus banjir
dan terdampar di kehilangan pandangan kita
Adakah terbaca setumpukan debu
yang menebal di datar kaca jendela, bersebab
kemarau dan bising lalulalang jalan raya. Padahal
tanpa sadar ia selalu menari di hadapan kita, ketika kita
berpatut-patut diri sebelum berangkat kerja
Lalu sempatkah terhitung
berapa usia ruang depan rumah kita yang membiarkan
tetamu datang dan pergi, serta gelas yang terjatuh dikarenakan
keriangan anak-anak berkejaran di seputar meja. Termasuk perempuan
yang kemudian dikatakan istri, dikatakan ibu, berebut kisah laksana setrika, selalu berpindah
dari kasur, dapur dan sumur. Juga lelaki yang tercatat sebagai suami, tercatat sebagai bapak
memungut kisah dari rumah sampai rumah
begitulah Indonesia
ia menyediakan diri sebagai apa saja
dan mungkin tak pernah terpikirkan, terbaca, atau terhitung
tentang daun-daun, debu atau justru sebagai rumah, tempat orang-orang
memungut istrirah
Indonesia adalah rumah kita
yang penuh dengan sesak sampah
yang penuh dengan riuh debu-debu
yang penuh dengan tamu-tamu
datang dan pergi
Indonesia adalah rumah kita
yang berpagar, yang berubah-ubah warna dindingnya
yang bagian-bagiannya dihancurkan kemudian
dibangun kembali
Indonesia adalah rumah kita
yang menyimpan begitu banyak cerita
dan sepatutnyalah kita
jaga
medan, mei 2012
Mungkin tak pernah terpikirkan
entah berapa helai daun yang gugur di halaman rumah kita
dan membusuk, atau hangus begitu saja di gunungan sampah
yang berhari-hari kita biarkan. Pun, ketika ia terseret di arus banjir
dan terdampar di kehilangan pandangan kita
Adakah terbaca setumpukan debu
yang menebal di datar kaca jendela, bersebab
kemarau dan bising lalulalang jalan raya. Padahal
tanpa sadar ia selalu menari di hadapan kita, ketika kita
berpatut-patut diri sebelum berangkat kerja
Lalu sempatkah terhitung
berapa usia ruang depan rumah kita yang membiarkan
tetamu datang dan pergi, serta gelas yang terjatuh dikarenakan
keriangan anak-anak berkejaran di seputar meja. Termasuk perempuan
yang kemudian dikatakan istri, dikatakan ibu, berebut kisah laksana setrika, selalu berpindah
dari kasur, dapur dan sumur. Juga lelaki yang tercatat sebagai suami, tercatat sebagai bapak
memungut kisah dari rumah sampai rumah
begitulah Indonesia
ia menyediakan diri sebagai apa saja
dan mungkin tak pernah terpikirkan, terbaca, atau terhitung
tentang daun-daun, debu atau justru sebagai rumah, tempat orang-orang
memungut istrirah
Indonesia adalah rumah kita
yang penuh dengan sesak sampah
yang penuh dengan riuh debu-debu
yang penuh dengan tamu-tamu
datang dan pergi
Indonesia adalah rumah kita
yang berpagar, yang berubah-ubah warna dindingnya
yang bagian-bagiannya dihancurkan kemudian
dibangun kembali
Indonesia adalah rumah kita
yang menyimpan begitu banyak cerita
dan sepatutnyalah kita
jaga
medan, mei 2012
Pahlawan Tak Dikenal
Karya : Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh
tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.
Monginsidi
karya :
Subagio Sastrowardoyo
Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda
Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam
Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan
AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran
Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota
AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan
Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi
Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sbelum ditembak mati
Aku adalah dia, ingat, aku adalah dia
(Dari Budaja Djaja No. 23, April 1970)
Diponegoro
Karya : Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
SEBUAH JAKET
BERLUMURAN DARAH
karya:
Taufik Ismail
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
Gugur
Karya : W.S
Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.
Tanah Air
Mata
Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
Karya : Sutardji Calzoum Bachri
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)
Karya : Hartoyo Andangjaya
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Sastra,
No. 10-11, Th II, 1962
No comments:
Post a Comment