Monday, 20 February 2017

D.Rifai Harahap Kembali ke Asal


Mihar Harahap

Puisi "Asal" ditulisnya, Juni 2009. Lalu, bersama puisi lain, dibukukan berjudul "Sila"(2014) kerjasama Omong-Omong Sastra Sumut dengan Laboratorium Sastra Medan. Puisinya:"Saat ini/kita bermain/di depan pintu/rumah kita sendiri"(bait 1). "Esok/kita tercampak/ke dalam lembah gelap/ sempit/dingin/tanpa matahari/tanpa hati/itulah tandanya/kita sendiri"(bait 2). "Di sana, di dalam gelap yang pekat/hanya ibadah yang diridhoi Allah/menerangi"(bait 3). Dia pernah berumah di Sei Kera Medan, terakhir di Luat Dendang Deliserdang. Rumah besar, dihuni keluarga, berpintu, berhalaman. Katanya: "Rumah kita sendiri"(bait 1). Tetapi, bukan rumah asal. Bayangkan, lembah, gelap pengap, sempit, dingin, tanpa matahari. Itulah rumah asal. Katanya:" Itu tandanya/kita sendiri"(bait 2). Namun rumah asal bisa terang, sejuk, nyaman, kalau ibadah ridhoi Allah. Katanya: "Hanya ibadah dunia yang diridhoi Allah/menerangi"(bait 3).

Rupanya, pada hari Selasa (29/11/2016) pukul 10.45.Wib dia meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Di rumahnya,"rumah kita sendiri" (bait 1). Dan 5 jam kemudian, pada hari itu juga (setelah dia dikafani dan disholatkan) dia diantar ke pemakaman. "Itu tandanya/kita sendiri"(bait 2). Itulah rumah asal. Memang penyakit lama diderita hanya sebab. Ingin ke rumah sakit, tiba-tiba tak jadi. Jadinya, dia kembali ke rumah asal. Sesuai janji, takdir dan saatnya tidak berkurang sedetikpun.

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi Allah. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaku, masuklah ke dalam syurgaku" (Al-Qur"an, surah Al-Fajr ayat 27-30). Kembali ke rumah asal, kubur, terlihat oleh mata, mungkin untuk diziarahi. Namun hakikatnya, jiwa yang tenang itu, kembali kepada Tuhannya. Berjamaahlah "jiwa yang tenang itu" untuk masuk ke dalam syurgaku, kata Allah Swt. Semoga demikianlah adanya.

Hanya kepada yang hidup (keluarga, saudara, tetangga, teman, seniman) mari memanjatkan doa."Ya, Rab, ampunilah segala dosa saudaraku ini.Terimalah semua amal ibadahnya, selaku seorang seniman, teaterawan, sastrawan. Tempatkanlah dia di dalam surga yang Kau janjikan". Khusus untuk keluarga, untuk anak, doakan terus-menerus sampai kapanpun. Kepada teman, seniman dan anak didikan, mari memaafkan atas segala kesalahannya. Semoga lapanglah kuburnya.

Kini, tinggal mengenang riwayat kreativitasnya. Namanya Darwis Rifai Harahap atau D.Rifai Harahap, terkadang bernama Berto Wafa atau Wisnu De Rifhara. Mulai berkesenian/berteater sejak SMP. Ketika itu, dia aktif di Sanggar Setanggi Timur pimpinan Admad Setia (Pak Badu, seorang polisi). Tahun 1963, bergabung dengan Bengkel Kerja Actor Studio pimpinan Arief Husin Siregar. Tahun 1964 masuk Teater Nasional. Tahun 1972, bersama Hartono dan Aleks mendirikan Teater Imago.

Tahun 1976, terbit "Tiga Kumpulan Sandiwara Anak". Menyusul cerita anak "Culik Brewok"," Sang Ayah","Pawang Seman","Rakit dan Mimpi" serta "Menentang Badai", semua terbitan Hasmar. Tahun 1978, "Oasa" memenangkan Lomba Naskah Drama Anak-Anak Departemen P dan K.Tahun itu juga, "Balada Marlina", memenangkan Lomba Penulisan Naskah Drama Taman Budaya Yogyakarta. Tahun 1982, memenangkan Lomba Penulisan Naskah Drama Departemen P dan K lagi.

Menulis naskah drama, dipentaskan dan disutradarai sendiri, misalnya "Raja Yang", "Raja-Raja","Raja Hong", "Mimpi", "Mimpi Alam Kinaot","Buih Putih Memburu Karang", "Sarung Ajaib". Pernah menyutradarai "Sepuluh Batang Bertindih" dalam Temu Teater Indonesia di Solo (1993). Dan pernah berkunjung ke luar negeri, antara lain ke Malaysia, Singapura, Bangkok, Amsterdam, Berlin, Paris, Bonn, Brussel, Munchen, Bochum, Denhaag serta kota-kota turis lainnya di dunia.

Pengamat kesenian mengaku bahwa Darwis Rifai Harahap memang rajin, setia dan piawai dalam dunia kesenian. Sebagai teaterawan, dia menulis naskah drama, sutradara, pemain dan esais. Namun harus diakui bahwa dia juga adalah sastrawan, sebab dia juga menulis puisi, cerpen, novel dan cerita anak. Bahkan pernah ikut menggarap film dan senitron. Dia juga aktif membidani teater, pengurus kesenian (DKSU, MKM) dan aktif Omong-Omong Sastra dari rumah ke rumah.

Karya sastranya, semisal cerpen "Mak", terdapat dalam buku "Tikar" (2014). Editor Mihar Harahap, Afrion dan M.Raudah Jambak. Sedangkan karya teater seperti drama "RajaYang" terdapat dalam buku "Raja Yang Trombol" (2013). Kata Pengantar ditulis Mihar Harahap. Naskah ini beberapa kali dipentaskan di Medan dan mendapat sambutan hangat penonton. Kedua karya ini merupakan kritiknya terhadap penguasa dan kebijakannya yang dianggap menyimpang dari tugas.

Cerpen "Mak" menceritakan Mak, orang miskin, tetapi tidak memeroleh Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sementara Wak Kus, boleh dibilang bukan orang miskin (memiliki tanah, rumah, sepeda motor) justru memerolehnya. Ternyata, Kepala Lingkungan, pendistribusi BTL itu adalah menantu Wak Kus. Sedangkan Mak, tidak memiliki siapa-siapa, keculai kesabaran. Hal ini disorot pengarang, terjadi kolusi dan nipotisme. Selain melanggar hukum, juga pendistribusian tidak tepat.

Tak sampai di situ, pengarang sendiri menghukum Wak Kus. Uang BTL yang diperlihatkannya kepada Mak, disambar perampok. Ingin mengejar perampok, tak berdaya. Dimintanya anak muda, tak seorang pun yang sudi menolongnya. Wak Kus, selain orangnya angkuh karena menantu Kepala Lingkungan, anaknya ditandai masyarakat di desa itu, juga adalah perampok. Cerpen ini melukiskan bahwa kolusi, nipotisme dan kejahatan, juga terjadi di tengah-tengah masyarakat desa.

Drama "Raya Yang" menceritakan raja yang bagaimana dalam memimpin rakyatnya. Apakah raja yang lalim berindak zalim? Atau raja yang pandir berlaku kikir? Ataupun raja apa yang berlagak bagaimana? Jawabannya, akan terasa kalau naskah drama ini dipentaskan. Penonton bukan melihat bagaimana memerintahnya, melainkan tipe sosok raja yang bagaimana. Sebab, penulis mengobrak-abrik raja secara jenaka, ambigu, satire dan kontroversi di tengah-tengah rakyatnya.

Sebenarnya Raja Yang adalah raja pengganti yang telah wafat sebelumnya. Menariknya, usai terpilih, cerita pun selesai. Namun, Raja Yang dilukiskan, suka makan haram, main perempuan, main main telunjuk, berjudi, main api, main bunga dan main pundi-pundi. Akibatnya, rakyat bersikap "raja alim raja disembah (tetapi kalau) raja zalim raja disanggah", meski mungkin saja ada orang yang suka demi kepentingannya. Namun inilah kritik pengarang terhadap sosok para penguasa.

Dihari berduka, Damiri Mahmud meng-sms."Aku senang kita jumpa walau sekilas di tengah duka kehilangan sahabat.Trio teman sekolah ( A.Rahim Qahhar-Darwis Rifai Harahap-Damiri Mahmu Mahmud), tinggal aku. Demikianlah suka-duka kubawa ke pedalaman Hamparan Perak hingga senja meredup. Aku terpana membaca sms ini. Damiri bukan saja tinggal sendiri karena kehilangan teman, tetapi juga sendiri karena tinggal di Hamparan Perak sana. Begitulah hidup berkawan.

(Penulis adalah kritikus sastra, budaya, mpr-oos, ketua fosad, apwas, pengawas dan dosen UISU)

No comments: