Tuesday, 7 June 2011

Pendidikan, Penataan Permukiman dan Lingkungan Hidup bagi Komunitas Sastra

Oleh : Novianti

Sebuah niat yang sederhana saja awalnya, ingin berbagi cerita tentang cerpen-cerpen Hasan yang dimuat dalam antologi itu. Kebetulan hampir semua telah dibaca dan umumnya, Aih! Begitu menggetarkan! Kemudian dirancanglah sebuah diskusi sastra dengan target sekelompok mahasiswa, pelajar, guru maupun kalangan umum penyuka sastra yang ada di kota ini. Akan tetapi setelah promosi dilakukan - meskipun terbilang kecil-kecilan, tercatat hampir 600 orang yang mendaftar sebagai peserta. Sungguh jumlah yang cukup fantastis!

Acara yang berlangsung selama lebih dari tiga jam dirasa cukup efisien. Dimulai tepat waktu dengan acara seremonial sederhana saja berupa sambutan dari Pemimpin STKIP Budidaya Binjai, Drs. H. Muslim Sembiring, MH. Sebagai penyelenggara utama, dia sangat berbesar hati sebab acara diskusi ini sudah lama ditunggu-tunggu masyarakat di kota Binjai. Selama ini menurutnya aktivitas sastra di daerah ini belum begitu menggeliat. Demikian juga penyampaian laporan oleh ketua panitia Mastar Muham, M. Pd. Lelaki berkumis yang juga aktif di KSI Medan ini, menyatakan kegiatan diskusi ini sebagai upaya untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi pengembangan sastra di Sumatera Utara, khususnya di Kota Binjai. Lebih jauh ingin agar kiblat sastra dapat mengarah kembali ke Sumatera Utara, sebagaimana masa-masa kejayaan dahulu. Dengan bergeliatnya kembali sastra, terutama produk-produk tulisan sastra.

Dipandu oleh duo MC kocak bergaya Opera Van Java; Jamal dan Andi, ulasan-ulasan yang mengena didampingi moderator yang cukup mampu menghidupkan suasana diskusi. Dani Sukma sebagai moderator berusaha membuat peserta bertahan di tempat duduknya. Ditambah lagi dengan selingan penampilan musikalisasi puisi dari Komunitas Rumput Hijau SMA Negeri 2 Binjai.

Diskusi sastra yang diformat dalam bentuk talk show ini diberi tajuk Makmurkan Diskusi Sastra Sampan Zulaiha. Menghadirkan dua pembicara sebagai pengulas sastra, Saripuddin Lubis dan Ahmad Badren Siregar. Masing-masing pembicara mengemukakan titik pandangnya terhadap cerpen-cerpen Hasan Al Banna dalam antologi Sampan Zulaiha. Sesungguhnya secara garis besar hasil temuan kedua pembicara tersebut sama. Hanya saja Saripuddin Lubis lebih menekankan pada keindahan bahasa cerpen yang banyak menggunakan metafor, kekuatan deskripsi yang ditampilkan Hasan, kerapiannya mengemas alur kilas balik, sehingga konflik menjadi terasa lebih tajam. Ending-ending yang bernuansa tragis, tak luput pula menjadi sorotan, di samping warna lokal tentunya.

Ahmad Badren lebih menitikberatkan perhatiannya pada kepawaian Hasan Al Banna meramu aspek lokalitas dalam cerpen-cerpennya itu. Termasuklah bahasa yang digunakannya, tema-tema lokal yang sangat dekat dengan keseharian. Berikut pula kearifan-kearifan lokal dan problema seputar akulturasi budaya yang terjadi di masyarakat. Kedua pembicara agaknya sama berpendapat bahwa itu semua menjadi kekuatan cerpen-cerpen Hasan Al Banna. Hal senada juga pernah menggema pada acara launcing antologi ini pertama sekali di TBSU beberapa waktu lalu. Ketika itu Idris Pasaribu dan Hidayat Banjar mengungkapkan, melalui cerpen-cerpennya Hasan telah mampu membuat orang lebih kenal dan lebih ingin mengenal Sumatera Utara. Karena itu tak berlebihan rasanya apabila Ahmad Badren kemudian ‘mengupa’, mengadakan selamatan, syukuran, memanjatkan doa untuk Sampan Zulaiha sebagai buah karya yang mampu menebarkan banyak inspirasi.

Hidup adalah Misteri ala Hasan Al Ban

Antusiasme masyarakat terhadap diskusi sastra ini tidak lepas dari sosok Hasan Al Banna yang sudah cukup dikenal berkat karya-karyanya yang banyak berseliweran di berbagai media massa ternama. Hasan dengan berbagai tulisannya baik berupa fiksi, maupun artikel-artikel, telah membuat namanya termasuk sering dibicarakan sebagai sastrawan dan dibaca karya-karyanya hingga Asia Tenggara. Dengan kata lain Hasan telah punya fans sendiri, khususnya di kota ini.

Jadi tidak heran ketika dihembuskan berita, akan ada semacam launching buku disertai dengan diskusi sastra mengulas antologi cerpen Sampan Zulaiha milik Hasan Al Banna ini, langsung mendapat respon yang gempita. Tak letih panitia mempromosikannya. Buku antologinya yang jumlahnya tinggal tak seberapa lagi itu pun ludes diserbu mereka-mereka yang tak sabar ingin melahap cerpen-cerpen Hasan yang terlanjur telah mencuri hati mereka. (Menurut Hasan terbitan pertama sebanyak 600 eksemplar telah habis terjual sembari menunggu cetakan kedua-Pen.) Begitu pun manakala acara diskusi benar-benar digelar, berbagai pertanyaan bergantian dilemparkan oleh peserta, selain kepada kedua pengulas, lebih-lebih mereka berharap mendapatkan jawaban langsung dari sang pemilik sampan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar masalah proses kreatif, kiat dalam membangun alur, menajamkan konflik dan yang terlebih seru adalah tentang tema dan ending-ending yang kerap pekat, penuh teka-teki dan tanda tanya. Menanggapi berbagai pertanyaan, Hasan memunyai jawaban sendiri; hidup ini adalah misteri, penuh rahasia dan misteri itu yang membuat manusia tetap bersemangat memperjuangkan sesuatu. Bukankah apa yang dituliskannya itu hanyalah refleksi dari hidup itu sendiri? Sebagai penulis Hasan tak ingin pikiran pembaca terbingkai pada satu keseragaman pemahaman. Bebaskan saja. Pun dirinya sebagai penulis punya hak untuk menjadi apa saja, memiliki cita-cita sebesar apa saja, menuliskan apa saja. Kebahagian terbesar dan hari raya bagi seorang penulis, masih menurut Hasan; adalah manakala orang-orang membicarakan hasil karyanya dalam berbagai sudut pandang dan keberagaman penafsiran. Ah! Hasan.

Virus Sampan Zulaiha

Ada satu catatan penting dari acara diskusi sastra ini, yaitu bergemanya semangat untuk menulis di kalangan peserta diskusi khususnya. Ini tampak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, proses kreatif, serta kiat-kiat berkaitan dengan penulisan. Bahkan sampai acara selesai, di luar forum peserta masih mengerubuti Hasan untuk meminta saran, atau apalah layaknya layanan konsultasi kepenulisan, hmm!

Agaknya Hasan dengan Sampan Zulaiha-nya telah menebarkan virus, euforia, untuk coba menulis. Harapannya tentu tak hanya sesaat! Makmurkan Sampan Zulaiha, Ayo!

Itulah Hasan, dengan segala kekhasannya. Akan tetap seperti itu, dan akan tetap ditunggu karya-karya barunya. Sebelum kita menagih karya-karya barunya lagi, bukankah lebih pantas kalau kita makmurkan dulu Sampan Zulaiha ini? Kalau sementara masih enam ratusan eksemplar yang ludes terjual pada cetakan pertama, pada cetakan berikutnya mari lebih kita makmurkan lagi. Jika kita adalah orang-orang yang suka memberi ruang bagi kemajuan dan apresiasi sastra, juga nilai-nilai luhur budaya lokal, agaknya tak salah untuk membaca dan memiliki buku ini. Bersegeralah!

Penulis: pengasuh Komunitas Sastra ‘ Rumput Hijau’ SMA Negeri 2 Binjai

Menjadi Saksi Zaman

Hidayat Banjar

Menjadi saksi zaman, sejatinya adalah panggilan ontologis penulis (sastrawan). Memang menjadi saksi zaman tidaklah sama dengan menjadi saksi pada persidangan di pengadilan. Kalau saksi di pengadilan disumpah oleh hakim. Menjadi saksi zaman tidak ada yang menyumpahnya kecuali diri sendiri. Ya, menjadi saksi zaman, butuh keteguhan akan pendirian: mengapa dan untuk apa kita menulis?

Untuk mencari uang? Mengejar populeritas? Atau sebagai kebutuhan? Alasan pertama dan kedua sah-sah saja sebagai dasar (pijakan) seorang penulis. Mengapa tidak, dengan menulis, seseorang akan mendapatkan honor setelah tulisannya dimuat (terbit). Seiring dengan itu, dia pun akan dikenal (populer) pula.

Scribo

Sejatinya, seseorang menulis karena kebutuhan. Scribo er gesum, inilah landasan dalam menggeluti dunia tulis-menulis (karang-mengarang). Heraclitos pernah bertutur cogito er gesum (aku ada karena aku berpikir), bagi penulis adalah scribo er gesum (aku ada karena aku menulis). Bagi siapa saja yang menjadikan dunia tulis-menulis sebagai kebutuhan, akan merasa ada – dalam pengertian eksistensialis – karena menulis (scribo).

Menulis adalah kebutuhan. Seusai menulis -mendapat honor atau tidak- seseorang akan merasakan kepuasan. Karena -dengan menulis- seseorang dapat menyatakan diri, pikiran dan perasaan tentang sesuatu hal. Selesai menulis, seseorang merasa puas, karena telah memberikan ‘persembahan’ telah bersaksi kepada diri, orangtua, masyarakat, bangsa, serta dunia.

‘Puas’ bagi orang kreatif adalah ruang sesaat untuk berkontemplasi agar lahir tulisan-tulisan berikutnya. Bila puas bermakna kemapanan yang identik dengan stagnasi, niscaya orang kreatif tak kan pernah mengatakan atau merasa ‘puas’ bagi karya-karya yang pernah ‘lahir’ atau ‘dilahirkan’.

Pada hakekatnya ‘perburuan’ bangsa manusia terhadap hidup, tak lebih untuk meninggalkan jejak, bahwa dirinya pernah ada di dunia ini. Bagi penulis, jejak yang indah itu adalah tulisan (ilmu pengetahuan). Karena itulah penulis menulis. Sekali lagi, kalau dulu Heraclitos bertutur cogito er gesum (aku ada karena aku berpikir), bagi orang kreatif adalah scribo er gesum (aku ada karena aku menulis).

Penumpang Gelap

"Presiden Penyair" Sumut NA Hadian (alm) ketika diskusi di Taman Budaya Sumatera Utara (dulunya Taman Budaya Medan) acap kali mengecam orang-orang yang menulis satu dua puisi sudah menganggap diri penyair, satu dua cerpen sudah menganggap diri cerpenis, satu dua cerbung menganggap diri sastrawan. Orang-orang seperti ini, menurut NA Hadian adalah penumpang gelap di dalam gerbong sastra.

Bagi saya -meskipun tak hendak mengecam orang-orang seperti itu- pernyataan NA Hadian merupakan cambuk untuk melecut agar orang-orang yang berhajat tampil di kancah sastra tidak sekedar tampil, seterusnya hilang. Hadian ingin orang-orang yang bergelut di dalam dunia tulisan (sastra) sampai ke titik: old men of letters. Pada titik ini, sastrawan (penulis) akan dapat memposisikan dirinya sebagai saksi zaman.

Tua yang dimaksud bukanlah dalam pengertian umur, melainkan matang dan bersungguh-sungguh yang ditandai dengan konsistennya di jalur sastra. Ya, saya yakin old men of letters never die. Inilah yang ingin saya sampaikan kepada kawan-kawan, siapa pun yang berhajat di dunia sastra harus melakoninya dengan sungguh-sungguh, jika dia mau berhasil.

Masalah-masalah hidup yang ditulis para sastrawan sungguh berbeda dengan para wartawan. Media sastra yang dimiliki sastrawan mampu mengabadikan kisah-kisah kehiduan tetap aktual sepanjang zaman. Karena itulah, sastrawan yang baik merupakan saksi zaman.

Bila media elektronik dapat menyampaikan berita yang sedang terjadi secara langsung, media cetak hanya akan dapat menyajikan setelah berlangsung atau akan berlangsung. Sastrawan dapat mengabadikan kisah-kisah aktual itu menjadi bacaan yang mungkin untuk sepanjang zaman.

Katarsis

Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun yang lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.

Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun tak jauh beda.

Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan dapat menjadi saksi zaman, menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.

Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) -yang menurut saya- tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra dapat mencapai puncak imanen karena dia telah melalui proses katarsis.

Pemanusiaan Manusia

Immanuel Kant pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Katanya, dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentaan justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu.

Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.

Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasan manusia yang terlanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.

Ketika masyarakat pada suatu negara telah terlatih memanusiakan dirinya melalui jalur sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia.

Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the idea of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.

Humanistik

Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang, betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara yang berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produknya pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.

Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.

Apalagi?! Mari menjadi saksi zaman!

Sastra Inovasi dan Otentisitas
Hidayat Banjar

Masalah-masalah hidup yang ditulis para sastrawan sungguh berbeda dengan para wartawan. Media sastra yang dimiliki sastrawan, mampu mengabadikan kisah-kisah kehiduan, tetap aktual sepanjang zaman.

Bila media elektronik dapat menyampaikan berita yang sedang terjadi secara langsung, media cetak hanya akan dapat menyajikan setelah berlangsung atau akan berlangsung. Sastrawan dapat mengabadikan kisah-kisah aktual itu menjadi bacaan yang mungkin untuk sepanjang zaman.

Katarsis

Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.

Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun, tak jauh beda. Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.

Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) -yang menurut saya- tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra, dapat mencapai puncak imanen, karena dia telah melalui proses katarsis.

Diperbarui

Melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan “bermain” dengan bahasanya. Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju.

Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, harus terus dilakukan. Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas. Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad 21 berbasis inovasi, sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya “pohon” kreativitas dan otentisitas.

Lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini, adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beran jak maju tatkala elemen ekonomi dan industri mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra. Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.

Pemanusiaan Manusia

Immanuel Kant pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Katanya, dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentaan, justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.

Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasan manusia yang terlanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya, seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.

Ketika masyarakat pada suatu negara telah terlatih memanusiakan dirinya melalui jalur sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara itu tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the idea of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.

Humanistik

Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang, betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk itu, pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.

Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra, merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.

Pada 13 April 2011 lalu, di Bentara Budaya, Jakarta diluncurkan buku kumpulan cerpen “Dari Datuk ke Sakura Emas” yang bertepatan dengan Konser KoinSastra. Royalti dari buku itu menurut Clara Ng, menjadi dana tetap bagi PDS (Pusat Domuentasi Sastra) HB Jassin yang terancam tutup karena kekurangan dana.

Penulis:Sastrawan Menetap di Medan

Adakah Tempat Flash Fiction di Ranah Sastra?

Oleh: YS Rat

BAIK oleh pembuatnya, Onet Adithia Rizlan, maupun pihak LeutikaPrio selaku penerbit, tak ada ditegaskan dengan sepenggal kata pun sebagai flash fiction buku "Sang Penanti" yang di dalamnya terhimpun 20 cerita.

Meski demikian, nyatanya penyebutan flash fiction untuk menjeniskan cerita-cerita Onet itu nyaris mendominasi acara launching "Sang Penanti" yang menghadirkan tiga pembicara; Idris Pasaribu (sastrawan dan redaktur budaya "Rebana" Harian Analisa), Hasal Al Banna (sastrawan dan dosen Unimed), dan penulis (redaktur budaya "Rentak" Harian Medan Bisnis), di Plaza Medan Fair, Sabtu (5/3/2011) sore.

Jadi, kalau di kesempatan ini berikutnya dipakai juga istilah flash fiction terhadap "Sang Penanti," lebih dimaksudkan sebagai bentuk pengakuan atas hal yang telah menjadi "kesepakatan" bersama di acara peluncurannya itu.

Sekadar bermula dari pertanyaan sederhana yang diajukan salah seorang hadirin saat sesi tanya-jawab, dibuatlah judul tulisan ini senada dengannya. Adapun -kira-kira- pertanyaannya; Apakah flash fiction termasuk atau bisa dianggap sebagai karya sastra?

Mereka yang menggemari karya sastra -walau tak sampai mendalami- tentunya tak asing dengan istilah cerpen, sebagai akronim dari cerita pendek. Jika dicermati, kenyataan telah adanya istilah cerpen ini bertalian atau sangat mungkin sebagai perangsang mencuatnya pertanyaan; Apakah flash fiction termasuk atau bisa dianggap sebagai karya sastra? Dalam hal ini, pertanyaan bisa sekaligus diarahkan pada soal pendeknya penyajian kisah dalam cerpen maupun flash fiction dan masalah pemenuhan kriteria sebagai karya sastra.

Memang, merujuk pendapat – tentunya tak baku, konon pula harus selalu disepakati – yang berkembang, flash fiction diancar-ancar umumnya berisi 1.000 hingga 2.000 kata dan bahkan lebih pendek lagi atau rata-rata sekadar dijejali 250 hingga 1.000 kata. Sedangkan cerpen, diposisikan pada kitaran 2.000 hingga 20.000 kata dan rata-rata 3.000 hingga 10.000 kata.

Itu dalam hal jumlah kata. Soal istilah pun flash fiction punya sandingan yang masing-masingnya tak berisi perbedaan hakiki. Graffiti Imaji terbitan Yayasan Multimedia Sastra disebut sebagai cerpen pendek dan Flash! Flash! Flash! terbitan Gradien dikatakan sebagai kumpulan cerita sekilas. Ada juga cerita mini, disingkat cermin.

Mengaitkannya dengan pendapat soal jumlah kata maupun pengistilahan lain terhadapnya, tak mungkin dipungkiri flash fiction juga merupakan cerita yang pendek. Jadi, agaknya taklah penting dipermasalahkan sekiranya pun ada yang berpendapat, flash fiction atau cerpen; ya sama saja!

Lantas, soal keberadaan flash fiction untuk dikategorikan sebagai karya sastra? Terkait inilah perlu ditinjau sejauh mana kriteria sebagai karya sastra terpenuhi di dalam flash fiction. Lebih khusus lagi pertanyaannya, apakah di ke-20 flash fiction Onet Adithia Rizlan dalam "Sang Penanti" itu terpenuhi kriteria untuk melayakkannya sebagai karya sastra?

Satu hal yang menandai pada Onet ada benih bersastra adalah, kepemilikannya terhadap kemampuan merangkai kalimat, yang meskipun sederhana, namun tak meninggalkan kesan sekadar untuk menyelesaikan kisah. Sama sekali tak membumbuinya dengan untaian kalimat "diindah-indahkan," justru pencapaian bertutur Onet di ke-20 flash fiction-nya dalam "Sang Penanti" menjurus indah.

Bersebab pencapaian itulah, mereka yang sekadarnya membaca kisah-kisah "Sang Penanti" sangat mungkin tak sampai mempertanyakan apakah keberadaannya merupakan karya sastra. Pembaca yang demikian sudah merasa dipuaskan oleh kalimat-kalimat sederhana nan lancar.

Mencermati ke-20 flash fiction dalam "Sang Penanti" yang diberi judul Pada Sebuah Cafe, Bangku Peron, Terminal Sepi, Diam, Perempuan Juni, Cermin, Bangku Taman, Lelaki Pelukis Langit, Sebentuk Cincin Berlian, Sunyi Hati Anamira, Dingin di Beranda, Kamar Nomor Tujuh, Perempuan di Tepi Sungai, Absurd, Batas Mimpi, Menghilang di Ujung Jalan, Kerengal, Pulang, Puis-puisi di Bus Stand, dan De Javu itu, keberadaan tema utama sebagai pesan bagi pembaca -sejatinya hal penting dalam karya sasta- terasa kurang digarap oleh Onet.

Dikarenakan karya sastra -apapun jenisnya- bukan sekadar cerita yang diceritakan, taklah cukup menghadirkannya sebatas bermodalkan rangkaian kalimat yang "memenjarakan" pembaca pada ruang imaji selintas. Demikian pun flash fiction. Tempat untuknya ada di ranah sastra, sepanjang memenuhi elemen-elemen pengisahan yang menjadikannya layak sebagai karya sastra.

Pendidikan, Penataan Permukiman dan Lingkungan Hidup bagi Komunitas Sastra

M. Raudah Jambak, SPd

Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa di antaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra di dalamnya.

Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati. Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.

Seperti yang pernah kita baca, seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai "wajah" terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan "asupan" gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.

Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).

Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Karenanya, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.

Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.

Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.

Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Dia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.

Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.

Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.

Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.

Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.

Kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.

Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.

Di sini yang sering dilupakan, keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya. Dalam beberapa kali diskusi, kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas -terutama pemula.

Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya -tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah "luar biasa" sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah "buruk muka cermin dibelah".

Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan "mendewakan" sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.

Esensi penting dalam berkomunitas, bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas, sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.

Mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah lain, sebagai bahan perbandingan kita. Terimakasih.

Penulis: Direktur Komunitas Home Poetry

No comments: