Tuesday, 8 March 2011

PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA V DIADAKAN DI PALEMBANG TAHUN 2011

BRUNEI DARUSSALAM -- Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) V yang diikuti penyair dari tujuh negara, termasuk Indonesia, akan digelar di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, tahun 2011. PPN merupakan ajang tukar pikiran para penyair di tujuh negara Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Singapura, dan Brunei Darussalam. Dengan pertemuan itu, bisa diketahui perkembangan puisi dari berbagai negara bertetangga yang memiliki hampir kesamaan dalam berbahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.

PPN ke-1 digelar di Medan, pada tahun 2007, PPN ke-2 di Kediri pada tahun 2008, PPN ke-3 di Malaysia pada tahun 2009, dan PPN ke-4 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam tahun 2010. Penutupan PPN IV di Brunei Darussalam 16-19 Juli 2010 lalu dilakukan Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri Negara Brunei Darussalam, Pehin Udana Khatib Dao Paduka Seri Setia Ustaz Haji Awang Badaruddin Dato Paduka Pengarah Haji Othman, yang ditandai dengan penyerahan resolusi hasil pertemuan para penyair kepada perwakilan Indonesia yaitu Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan, Zulkhair Ali, calon tuan rumah PPN V di Palembang. "Kami belum menentukan waktunya PPN ke-5, tapi hanya perkiraan yakni berkisar Juli atau Oktober 2011," kata Zulkhair Ali.

Dalam pertemuan di Brunei Darussalam itu antara lain disepakati kegiatan PPN akan lebih ditingkatkan dengan menampilkan karya dan para penyair diharapkan berinteraksi langsung dengan pelajar dan mahasiswa. "Kalau di Brunei, para penyair membaca puisi di hadapan sesama penyair, tetapi dalam kegiatan di Palembang nanti, mereka langsung memeragakan pembacaan puisi di hadapan para siswa dan mahasiswa" tandas Zulkhair.

PPN IV itu diikuti sekitar 200 penyair dari Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Malaysia, sedangkan dari negara Kamboja, Singapura, dan Filipina tidak seorangpun penyair hadir dalam acara itu. Perwakilan dari Pusat Bahasa sebagai instansi yang membina, mengembangkan, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia hadir di acara tersebut, yaitu Dra. Dad Murniah, M.Hum. Dari Indonesia ada sekitar 30 penyair yang hadir, antara lain Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, Isbedy Stiawan, Fatin Hamama, Gunoto Saparie, Fakhrunas MA Jabbar, Jumari HS, Ahmad Syubanuddin Alwy, Zulhamdani, Asrizal Noor, Anwar Putra Bayu, Dinullah Rayes, Habiburrahman, Thomas Budi Santoso, dan Arieyoko. (DM)

Berita Temu Sastrawan Indonesia IV

SASTRAWAN LAMPUNG JADI DEWAN KURATOR TSI TERNATE

Bandar lampung, 19/1 (ANTARA) - Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan ZS, bersama sepuluh sastrawan Indonesia lainnya mendapat kehormatan dari Wali Kota Ternate, Maluku Utara, ditunjuk menjadi Dewan Kurator Temu Sastrawan Indonesia (TSI) IV, di kota tersebut pada 27-29 Oktober 2011 yang akan datang.

"Penunjukan saya sebagai salah satu dewan kurator merupakan kehormatan. Tidak saja bagi diri saya, tetapi juga untuk Lampung," ujar Isbedy Stiawan, di Bandarlampung, Rabu.

Isbedy menjelaskan, dari Sumatera yang diminta yaitu Tarmizi Rumahhitam (Kepulauan Riau), D Kemalawati, Linda Christianty (Aceh).
Sedangkan yang lain, Jamal D Rahman, Zen Hae, Sihar Ramses Simatupang, Nukila Amal (Jakarta), Joko Pinurbo (Yogyakarta), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Rudi Fofid (Maluku Utara).
Ia pun menjelaskan, menurut panitia, Dino Umahuk, penyair asal Ternate, para kurator akan bersidang kali pertama pada Maret 2011. Selanjutnya, dijadwalkan Agustus-September 2011.

Sastrawan Lampung yang giat menulis buku dan puisi itu menyambut gembira atas penunjukan tersebut, dan akan bekerja semaksimal mungkin menyukseskan TSI IV di Ternate.

"Pada TSI III di Tanjungpinang, saya hadir sebagai peserta, pembaca puisi di panggung utama, dan menulis puisi tentang Tanjungpinang. Kali ini, saya dipercaya sebagai Dewan Kurator. Karena itu harus jaga kepercayaan panitia TSI IV, apalagi yang menandatangani SK kami adalah Wali Kota Ternate," ujarnya.
Isbedy mengharapkan sastrawan Lampung lainnya bisa diundang dan pemerintah daerah setempat mendukungnya, karena tanpa dukungan pemerintah sulit bagi penggiat sastra untuk menenuhi undangan di luar daerah tersebut.

"Apalagi TSI IV itu kegiatan nasional, jadi pemerintah semestinya harus memberikan dukungan yang positif. Apalagi, para sastrawan atau seniman yang diundang karena kualitas karyanya sudah diakui," kata dia.
Isbedy yang juga aktif di Dewan Kesenian Lampung (DKL) itu memprediksi, sastrawan Lampung yang diundang ke TSI IV Ternate Oktober yang akan datang, sekitar delapan orang.

Mereka adalah Arman AZ, Fitri Yani, Inggit Putria Marga, Agit Yogi Subandi, Ari Pahala Hutabarat, Alexander Gb, S.W Teofani, Ferdinand Moses.

"Ini hanya perkiraan, sebagai salah satu kurator TSI saya tak bisa sendiri menetapkan. Pilihan dan ketetapan dari suara terbanyak Dewan Kurator," tuturnya.

Isbedy menjelaskan lebih lanjut, ia pun diminta panitia Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) V di Palembang, 15-18 Juni 2011, untuk editor buku PPN V.
Selain editor buku puisi PPN V, lanjut dia, ia pun sebenarnya salah satu kurator atau tim delegasi untuk Indonesia, di samping Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah (Jakarta), Anwar Putra Bayu (Sumsel), dan Fakhrunnas MA Jabbar (Riau).

PPN adalah kegiatan bagi penyair serumpun melayu: Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand bagian Selatan. PPN pertama berlangsung di Medan, kedua di Kediri, Jawa Timur, selanjutnya Malaysia, dan ke empat di Brunei tahun 2010.

Redaktur Seni Budaya Haluan Kepri Terpilih Jadi Dewan Kurator TSI

SEKUPANG-- Satu apresiasi bagi redaktur seni budaya Haluan Kepri, Tarmizi A Sultan, dari Walikota Ternate dan Panitia Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 4-2011. Tarmizi terpilih sebagai salah seorang dari sebelas nama sastrawan Indonesia yang dipercaya sebagai Dewan Kurator (DK) TSI 4 yang akan dilaksanakan di Ternate Oktober 2011 mendatang. DK ini merupakan lanjutan dari TSI 3 yang digelar Oktober 2010 lalu di Kota Tanjungpinang.

Tarmizi mengatakan kepastian terpilihnya sebagai salah seorang DK TSI 4, tidak hanya apresiasi secara personal baginya, tapi juga penghargaan bagi Kepri. Mengingat, dari 11 nama yang ditetapkan sebagai DK TSI 4 tersebut, hanya tiga nama dari Sumatera. Dua nama lainnya yakni Isbedi Stiawan dari Lampung, dan D Kemalawati dari Aceh.

"Saya baru lima hari lalu kembali dari Pulau Pangkor, Perak Malaysia, memenuhi undangan panitia Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa. Sekembalinya ke Batam, saya membuka email, dapat kiriman surat dari Panitia TSI 4 ternate, yang menetapkan saya sebagai salah seorang dari sebelas Dewan Kurator TSI 4,'' jelas tarmizi

Menurut pembina komunitas seni rumahitam Batam tersebut, sebelum surat dari panitai TSI 4 Ternate itu diterimanya lewat email, ia telah dihubungi melalui telepon dan pesan singkat melalui facebooknya, meminta kesediaan jadi salah seorang DK TSI 4.

Disebutkannya, dalam DK ini, selain tiga nama dari Sumatera, juga terdapat sejumlah nama dari Pulau Jawa, diantaranya Joko Pinurbo, Sihar Ramses S (Redaktur Budaya Harian Sinar Harapan). Sedangkan dari wilayah Inonesia Timur ada nama Rudy Fofid dari Ambon. Seperti halnya TSI 3 Tanjungpinang, Oktober 2010 lalu, SK Dewan Kurator langsung ditandatangani Walikota di mana TSI dilaksanakan. Untuk TSI 4 Ternate, SK Dewan Kurator dikeluarkan Walikota Ternate. Direncanakan pertemuan awal Dewan Kurator akan dilaksanakan Maret 2011 mendatang langsung di Ternate.

"Salah satu tugas utama DK TSI, melakukan seleksi terhadap karya sastrawan seluruh Indonesia yang berminat mengikuti TSi. Dari penyeleksian tersebut nantinya, ditetapkan 200 orang peserta yang akan diundang, dan karya yang lolos kurasi akan diterbitkan dalam bentuk antologi puisi, cerpen, esai TSI 4 Ternate,'' pungkas tarmizi. (hk/tz)

ANTOLOGI HASIL TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU

Bunga Rampai Puisi dan Cerpen
Berlatar Kota Tanjungpinang
(Diterbitkan, Desember 2010)

Kota Tanjungpinang merupakan salah satu pusat penting Kerajaan Melayu. Ia pernah menjadi menjadi gerbang Kerajaan Bintan sejak tahun 1673 Kerajaan Johor muncul gemilang di Hulu Sungai Carang – atau dikenal sebagai Sungai Riau. Pada masa itu dunia kalam, tulis-menulis berbagai ilmu pegetahuan, khususnya agama Islam dan sastra tumbuh subur. Maka dikenallaah nama pengarang Raja Ahmad dan Engku Putri Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Kepengarangan terus berlanjut sampai kepada Raja Ali Haji (anak Raja Ahmad dan merupakan cucu Raja Haji), Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dan sampai kepada Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu, muncul Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin dan lain-lain sampai Suryatati A. Manan.

Buku Tanjungpinang Punya Cerita ini mencoba menghimpun cerpen dan puisi yang berlatar Kota Tanjungpinang karya sejumlah pengarang/penyair dari berbagai kota di tanah air. Mereka adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Hudan Nur, Isbedi Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Sitok Srengenge, Tan Lioe Ie, Viddy AD Daery, Fakhrunnas MA Jabbar, Nanang Suryadi, Fahrudin Nasrulloh, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, M. Raudah Jambak, Raudal Tanjung Banua, dan Triyanto Triwikromo; di samping dari Tanjungpinang sendiri, Abdul Kadir Ibrahim dan Suryatati A Manan.
Ini bukan sekadar romantisme-kenangan, namun sebuah upaya membangkitkan kemungkinan kreatif dari sebuah kota, sekaligus mendokumentasikan pengalaman sastrawan atas kota yang hikmatinya. Karya sastra sebagai dokumentasi sosial niscaya menemukan persilangannya yang tepat: ia merekm jejak pergulatan Kota Tanjungpinang, dulu, sekarang dan masa datang.

Sunday, 6 March 2011

karya-karya Nina Khibrani Pasaribu (Dinda)

PUISI-PUISI



NYANYIAN UNTUK IBU YANG MEMAKAI BAJU ABU-ABU


Sinar naik ke ufuk
Kau labuhkan sepi ke penghujung
Melambai ke arahku
Lewat baju abu-abu
Kutunggu kau menghilang
Menjauh perlahan ke balik hampa dan keinginan
Namun bisik-bisik daun terus mengiringi kesunyian
Lewat baju abu-abu
Kau pergi meraih di peraduan mimpi
Tak lagi jari itik yang terus diberengi
kau mantap merajut angsa
Yang telah menanti di niagara ini
Semoga ken terus abadi


PETIR YANG MENYAMBAR


Ketika petir itu lekas menyambar di atasku
Tak henti api-api menusuk kulitku
Tak ada lagi tempat untukku
Untuk sekian lama kubiarkan mata ini terpejam
Menyambut petir yang akan luluh lantak dalam-dalam
Kuabadikan kegerahan dalam lukisan tinta
Meski kegerahan itu tak lagi kelam
Petir itu terus menyambar
Tak henti ku bersabar
Seiring laju perpisahan
Kubiarkan ia terus temaram









“Milik Kami” Yang Kau Rampas



Perut kami masih belum terisi

Pikiran kami masih dipenuhi hutang lagi

Pendidikan kami tak dapat kami penuhi

Uang kami tak sebanyak yang kau miliki



Mengertilah, hidup sedang susah

Cabai tak dapat kami nikmati

Bahkan beras mengutip di pasar pagi

Lantas, kau masih rampas harta kami?







MERAH PUTIH (bukan) TANPA MAKNA



Bersama mentari pagi yang berhembus kencang melewati

Kutatap dua warna yang terus dihormati

Sambil berkeliling kupandang satu-satu

Entah apa yang mereka hormati

Tapi tak juga dimaknai



Dari ujung anak-anak bermain

Entah apa yang mereka permainkan



Dari sela rawa beribu tikus menggerogoti brangkas bank negara

Tanpa peduli akan rakyat yang bekerja menabungnya



Bersama seorang teman

Kurekatkan kepatriotan

Tinggal anak-anak yang tak diajarkan

Juga tikus-tikus yang tak punya perikemanusiaan



Dihari istimewa

Kuberjanji akan terus setia

Pada dua warna yang selalu jadi tanda tanya

Merah putih tanpa makna

Bagi orang yang tak tahu apa itu Indonesia







NEGERI INDONESIA



Bersamanya ku berdiri tegak

Menatap dunia yang semakin rusak

Tapi ku tetap tak beranjak

Dari negeri yang banyak retak



Berkali ku coba lapangkan dada

Melawan segala masalah yang ada

Juga bencana yang melanda

Indonesia tercinta



Kini ku siap melangkah

Menyongsong kemerdekaan yang kan jadi masalah

Tapi tak apalah

Ku tetap cinta Indonesia





ISAK TANGIS DARI KAMAR SEBELAH



Dari balik selimut

Isak tangis seorang bocah tergeletak pergi ke antah berantah

Dalam kotak kubus

Kamar sebelah katanya



Decit-decit kayu tua menyaksikan

Isak-isak parau tak dipedulikan



Oh, bukan

Ia tak tonton ketidakpedulian

Yang membingungkan

Tapi betapa kehidupan menyedihkan

Diciptakan seorang yang penuh janji

Isak tangis itu sunyi kembali

Dari kamar sebelah

Dan tak terdengar apapun lagi





KAKEK TUA BUTA



Kulihat

Kakek tua menangis di atas peti

Yang akan membawanya nanti

Bersama sebercak putih di bola mata

Ia terus berorasi

Di atas peti

Hanya aku yang menatapi



Kudengar

Birunya laut, hijaunya darat, dan udara tanpa warna

Menjejak kaki di segala arah

Tanpa sebercak putih di gedungnya

Menguasai areanya



Kurasakan

Laut, darat, bahkan udara

Buta akan dunia

Tak ingat peti-peti mati

Yang membawa kakek tua abadi

Dan terus meratapi

Dengan kebutaannya yang telah menghantui








LANGIT YANG SEMAMPAI


Waktu tak akan pernah sampai
hingga tetesan terakhir sekalipun
dan aku tak akan pernah menggapai
apa yang diciptakan
meski ku telah menelanjangi langit yang semampai

pergumulan dalan hidup
tak lagi punya waktu tuk selesaikan
namun hatiku tak lagi mendendam
pada malam-malam tak berbintang




AYAH


Senyum dan derita
kau ucapkan dengan hati gundah
apa yang dapat kulakukan
ayah

Kau bagi suka duka
tanpa kau risau ada yang menggelitik sukma
tapi tetesan air mata sang bunda
mengalahkan rasa di dada

Tak tau kemana
ku akan bernagi cerita
tapi sungguh,
bagi ceritamu ayah
agar kita sama merasa
ayah
aku sayang padamu





HIDUP LAGI



Bisik pilu hati yang merajam

Bosan terangi malam

Yang tak berujung damai

Pelipur musnah diganyang amarah



Maka hidup lagi

Tuk bantai mereka yang kotor duniawi

Meski rintih kian menari

Diatas sebutir resah tak pergi



SENYUM KAN DATANG LAGI

Angan melayang

Bongkah arang pun menghalang

Wujudkan impian yang tak kunjung padam



Sebersit keraguan datang

Tak pupuskan harapan

Berlari

Terus erat semua mimpi



Pasti terjadi

Pahit lari

Dari nyata yang abadi

Kan hadir senyum lagi





IMAJINASI

Dengar!

Pintakulah pasti ada

Bebaskan cerita penuh warna

Segala oret suka duka



Lihat!

Potong ia pelan saja

Tuk lukis cerita

Tak berujung duka

Yang kuraih juga



Selongsong api membara

Hanguskan cerita kita

Hadirkan imajinasi musnah

Tuk lebih berharga











CERPEN

Aku tak punya upil?



Inilah desaku. Desa yang masih bersifat sedikit primitive ditengah hiruk-pikuknya kehidupan modern. Desa anak-anak penuh mimpi. Desa orang-orang jujur yang memegang teguh adat-istiadat serta tradisi mereka. Desa yang membesarkanku. Serta desa yang mempunyai tradisi unik, yaitu mengupil. Sebenarnya mengupil itu awalnya bukanlah menjadi suatu tradisi, tapi itu merupakan suatu hobi turun-temurun yang kemudian dianut sebagai tradisi.

Kapan saja dan dimana saja pasti warga desaku ini selalu mengupil, sebab mengupil itu seperti sudah mendarah daging pada kami. Semua orang disini selalu mengupil, kecuali aku. Aku sangat ingin mengupil, tapu fisikku tidak merestui. Ya, aku bisa dikatakan tidak mempunyai hidung layaknya manusia normal. Memang aku masih bias bernafas walaupun lubang hidungku sangat kecil. Kata ibu, aku tidak bisa mengupil.

Tradisi mengupil katanya dapat menambah semangat warga desa kami. Terutama bagi petani yang kerjanya dari dini hari hingga senja menjelang. Para petani desaku seperti tidak mengenal lelah saat bekerja karena mereka sudah mengupil sebelumnya. Mengupil juga membuat hidung warga desaku menjadi bersih. Memang menjijikkan, tapi inilah tradisi kami.

Sempat terpikir olehku untuk membuat hidung buatan. Karena saat itu aku masih kecil, aku mengutarakan keinginanku itu pada orang tuaku, tapi aku malah ditertawakan habis-habisan oleh orang tuaku. Mereka mengatakan, “Kita ini manusia yang diciptakan Tuhan. Hidung kita juga. Jadi, mana mungkin kita menciptakan hidung.”

Biasanya sore harilah yang menjadi waktu favorit warga desaku untuk mengupil. Pada saat itulah, kita akan melihat pemandangan orang-orang yang mengupil di teras rumahnya masing-masing.



***



Aku mengupil. Aku berhasil mengupil.

Saat bermain bersama teman-teman, aku mencoba mengupil, merasakan bagaimana sih rasanya mengupil yang tersohor di desaku itu. Tiba-tiba seorang temanku berteriak,

“Hei.. Ngapain kau? Mau coba ngupil? Nggak punya hidung aja pun.” Mendengar teriakan temanku itu aku langsung merasa minder. Tapi aku ingin mencoba.

Akhirnya aku mencoba mengupil, tak disangka-sangka aku berhasil mengupil. Upilku itu besar sekali. Mungkin sebesar bakso. Teman-temanku yang melihat upilku langsung terperangah, mereka belum pernah melihat upil sebesar itu. Salah seorang temanku, Budi, sibuk memanggil warga desa untuk melihat upilku.

“Mak, Pak, hee semuanya… liatlah itu upil si Bonga, besar kali. Kayak bakso.”

Akibat teriakan Budi, warga keluar dari rumahnya. Warga yang sedang mencangkul, memanjat pohon, memberi makan ayam, bergosip, bahkan yang sedang mencari kutu langsung menghentikan aktivitasnya hanya untuk melihat upil baksoku.

Berita upilku yang sebesar bakso langsung menyebar ke seluruh desa, ke desa sebelah, bahkan ke kota . Upilku kini telah terkenal di seluruh penjuru tanah air, seperti batunya Ponari yang bisa menyembuhkan penyakit. Akibatnya, desaku yang awalnya sepi, sunyi, damai, dan tenteram itu kini dipenuhi oleh banyak orang dari berbagai daerah hanya untuk melihat upil baksoku. Mata pencaharian warga yang hanya sebagai petani, kini diselingi dengan berdagang segala macam makanan dan minuman, karena orang-orang yang datang ke desaku sangat ramai, sehingga tak heran terkadang mereka merasa haus dan lapar. Pendapatan wargapun kini bertambah.

Hidupku sekarang sejahtera, sebab tak jarang orang-orang yang datang ke desaku itu memberikanku uang saku. Upilku juga seakan tidak berhenti terbentuk. Setiap jam aku pasti bisa mengupil. Aku juga mendapat uang tambahan dari orang-orang yang berniat membeli upilku sebagai kenang-kenangan.



***



Aku terbangun dari tidur lelapku. Hah, ternyata aku bisa mengupil upil sebesar bakso itu hanya mimpi. Padahal aku sangat ingin itu semua menjadi kenyataan.

Penasaran, aku mencoba mengupil. Menakjubkan, mimpiku jadi kenyataan. Upilku sekarang bahkan jauh lebih besar daripada yang ada dalam mimpiku. Upilku sekarang sebesar bola pingpong. Hahaha…

Siapa bilang aku tidak bisa mengupil?





CERPEN



Ketika putik mulai memerah



Aku tak henti memandangi pohon-pohon bunga raya di sekitar desaku. Kecintaanku pada bunga raya memaksaku untuk terus mengamati perkembangan dan pertumbuhan bunga raya di desaku. Tak ada rasa letih yang menghampiriku saat aku mengelilingi desa untuk mengamati apakah putik-putik bunga raya itu mulai memerah.

Seluruh penjuru desatelah kukitari. Masih ada 1 pohon bunga raya yang putiknya belum memerah. Mungkin sekitar 1 atau 2 minggu lagi putik-putik itu memerah.

Aku memang sangat senang melihat putik-putik pohon raya yang sudah berwarna merah, indah. Bahkan lebih indah dari sunset di pantai. Bagiku memandangi putik bunga raya itu membuatku tenang, jauh lebih tenang dibanding perasaan tenang saat mengetahui lulus ujian sekolah. Oleh karena itu, dalam waktu 1 minggu kedepan aku akan terus memperhatikan putik pohon bunga raya yang belum memerah milik Uwak Loh, tetanggaku.



***



Sore ini aku kembali melihat putik bunga raya Uwak Loh bersama Soraya, sahabatku. Aku memang sudah lama tidak bertemu Soraya, karena ia pergi ke luar kota dari 2 minggu yang lalu.

“Nita, kenapa sih kau semangat kali kalau sedangh ngeliatin putik-putik pohon bunga raya?” tanyanya padaku tepat saat kami menginjakkan kaki di depan halaman rumah Uwak Loh.

“Aku ingin semua putik-putik pohon bunga raya di desa ini memerah.” Jawabku singkat tanpa ekspresi.

“Iya. Aku tau. Tapi kenapa kau ingin putik-putik itu memerah?” tanya Soraya lagi.

“Kau akan tau jawabannya nanti.”

Aku berlalu meninggalkan Soraya yang masih terpelongo di depan halaman rumah Uwak Loh.



***



Minggu pagi yang cerah kusambut dengan raut wajah yang berbeda dengan keadaan matahari yang sedang bersemangat menyinari bumi dengan teriknya. Pagi ini kulihat ibuku memasak nasi goreng yang sedap aromanya. Bapak sedang pergi jogging bersama kepala desa. Sedangkan kedua opungku asyik berkebun. Mereka yang sudah tua saja sangat bersemangat menyambut hari ini.

Aku mengambil piring dan menuangkan nasi goreng yang mengepul ke dalamnya. Porsi sarapanku pagi ini lain dari biasanya. Piring makanku itu penuh. Maklum aku belum makan dari kemarin siang.

Sedang asyik sarapan sambil menonton acara TV favoritku, Soraya dating ke rumahku dan mengobrol bersama opungku di kebun depan rumahku.

“Nita, Soraya datang nih.” Opungku berteriak memanggilku.

Soraya masuk ke rumahku. Aku mengajaknya ikut sarapan, tapi dia menolak dan mengatakan bahwa putik pohon bunga raya Uwak Loh sudah memerah semuanya. Mendengar itu, aku segera menghabiskan nasi gorengku dan segera berjalan ke rumah Uwak Loh bersama Soraya.

Sesampainya di rumah Uwak Loh aku terpana melihat putik-putik pohon bunga raya itu memerah. Aku berlari menuju balai desa. Balai desa merupakan bangunan tertinggi di desaku yang memiliki 4 lantai bangunan. Aku segera menuju lantai 4 bangunan itu diikuti Soraya. Tampaklah desaku yang damai dikelilingi pohon bunga raya. Putik di setiap pohon itu memerah. Sungguh pemandangan yang sangat ku idamkan.

“Kenapa kau senang kali Nita?” tanya Soraya.

“Aku senang karena saat hari kematianku tiba putik pohon bunga raya di desa ini sudah berwarna merah.”

“Maksudmu?”

“Ya. Aku divonis mengidap penyakit Leukimia oleh dokter Puskesmas. Dan aku diperkirakan akan meninggal hari ini. Aku memndengarnya saat dokter itu membicarakan hal itu sama orang tuaku. Tapi mereka merahasiakannya padaku. “

Soraya terkejut atas jawabanku. “Jadi kau meninggal hari ini?”

“Ya. Kau hitung mundur dari 10 sekarang.” jawabku sambil memejamkan mata.

“10…9…8…7…6…5…4…3…2…1…”

“BRUKK..”

Tubuhku ambruk.

Ya, aku sudah meninggal sekarang. Persis seperti perkiraan dokter Puskesmas tentang hari kematianku. Tapi aku tidak takut, karena keinginan terakhirku sudah terwujud. Aku meninggal saat melihat putik pohon bunga raya terakhir yang belum memerah akhirnya memerah juga.



PENCARIAN

Kuarungi lembah-lembah Fisika

Kulayari hiruk pikuk Matematika

Kuselami seluk beluk tenses penuh warna

Kupandangi indahnya IPA

Kuselusuri belantara Sastra



Ku tak mengerti

mengapa aku di sini

tapi ku terus mencari

sampai kutemukan sendiri

arti pencarian ini



Kuingat dulu

sosok penuh kasih

mengajariku tulis baca

mengajari jari-jari

menari-nari diantara kata-kata

sehingga ku mengenal angka-angka



Kini cita telah di depan mata

Fisika, Matematika, IPA, dan Sastra

tak henti mengajakku bercerita

menemukan pencarian

yang tertunda

KEPADA IBUKU

Setetes keringat

tak berarti

di mataku



Dua tetes keringat

masih tak berarti

di mataku



Sepuluh tetes keringat

sedikit melepas bebanku



Seribu tetes keringat

mengubah kehidupanku



Kau tak tahu

Ibu

beribu tetes keringatku

bukti aku tulus

mencintaimu











TUHAN



Tuhan

andai kutahu

ku takkan bertanya



Tuhan

andai kupunya

apa lagi yang hendak ku minta



Tuhan

andai ku mati

ku takkan bertanya dan meminta

apapun lagi





TAK TERPIKIR LAGI UNTUK BERPIKIR



Entah apa lagi yang terpikir

kulukai lagi siapa saja yang kutemui



Entah lagi apa yang terpikir

kukejami lagi apa saja yang kutemui



Tapi

apa kau sempat berpikir

kau telah

menabur luka dan keji di hati

siapa saja

apa saja

yang kau temui



Aku tak mengerti

mengapa tak berguna hati

tak terpikir lagi untuk berpikir?







NYANYIAN KAUM JELATA



Bola api

di telan surga

tepiskan dunia

laksana bulan



Kita pasti bisa

menampik segala yang ada

walau asumsi mereka

memberatkan pribadi kita



Burung-burung terus juga berkicau

penderitaan lampau tak dirasa

ditelan ombak sahara

metamorfosa kemiskinan



CERPEN



Motor butut kolektor



Suara mesin terdengar sangat jelas di telingaku. Suara yang selalu kudengar setiap hari. Suara yang mungkin dapat memekakkan telingaku. Tapi, suara inilah yang memberiku makan setiap hari.

Motor butut di hadapanku ini sudah entah berapa kali diperbaiki di tempat ku bekerja sebagai montir, bengkel Adinda. Pemiliknya tak pernah bosan memasukkan motornya ke bengkel ini. Sebenarnya motor butut ini sudah waktunya diganti dengan yang baru.

Kulihat motor itu dengan saksama. Kira-kira aku harus mulai memperbaikinya dari mana. Tapi, kali ini aku harus benar-benar angkat tangan. Semua bagian motor itu sudah rusak. Tak ada harapan si pemilik motor dapat mengendarainya lagi.

“Ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Semua bagiannya sudah rusak. Tak ada harapan.” akhirnya aku mengatakan yang sejujurnya pada si pemilik motor. Sebenarnya aku tidak tega juga melihat ekspresi sedih di wajahnya.

Kulihat mata si pemilik motor itu berkaca-kaca. Dulu, si pemilik motor itu pernah bercerita bahwa motor bututnya itu adalah peninggalan almarhum ayahnya yang meninggal 30 tahun yang lalu. Saat itu ia masih berumur 10 tahun. Saat itu ayahnya mempunyai uang dari hasil kerja kerasnya bekerja sebagai buruh pabrik rendahan. Keinginannya mengajak anaknya (yang sangat ingin naik motor sampai terbawa mimpi) jalan-jalan dengan menggunakan motor membuatnya tergerak membeli motor butut tahun 60-an. Tapi, saat sedang dalam perjalanan pulang dari pabrik dengan mengendarai motor butut itu, ayah si pemilik motor itu kecelakaan dan merenggut nyawanya. Motor butut itulah satu-satunya peninggalan ayah si pemilik motor itu padanya. Oleh sebab itu, tak heran kalau pemilik motor itu sangat sedih mengetahui keadaan motornya yang sudah tidak bisa digunakan lagi.

Dengan langkah gontai, kulihat pemilik motor itu pergi meninggalkan bengkel tanpa membawa motornya ikut serta.

“Hei pak. Motornya kenapa nggak dibawa?” teriakku memanggil si pemilik motor yang sudah pergi meninggalkan bengkel.

“Sudah. Buat kamu saja.” jawabnya sambil menaiki angkot yang baru saja lewat di depannya.

Aku berusaha mengejar, tapi angkot itu tak dapat kutandingi. Sepertinya angkot itu sedang balapan dengan angkot berjalur dan bernomor sama di sampingnya. Tak ayal, 2 angkot itu saling kejar-kejaran dan berjalan sangat cepat.

Aku kembali berjalan ke bengkel. Kupandangi motor butut di hadapanku. Apa yang hendak kulakukan dengan motor ini? Sebenarnya tekstur motor ini tidak begitu jelek, unik malah. Motor ini cukup antik kalau dijual pada kolektor barang antik. Ah ya, aku jual saja motor ini pada kolektor motor antik. Tapi, apa dia mau membeli motor butut yang sudah tidak bisa digunakan ini? Ah, kucoba sajalah.



***



Akhirnya setelah pulang bekerja dari bengkel, aku memutuskan untuk pergi ke rumah kolektor motor antik dan menawarkan motor butut milik konsumen motor tadi. Tapi, aku tidak membawa motor itu ikut seta karena aku kan naik sepeda butut milikku, mana mungkin aku membawa motor butut itu.

Rumah mewah milik si kolektor telah ada di hadapanku. Segera kumasuki rumah itu setelah meminta izin dan berbincang-bincang sebentar dengan satpam rumah itu.

Agak lama juga aku menunggu pintu rumah mewah itu di buka. Aku melihat si pemilik motor butut di bengkel tadilah yang membukakan pintu. Karena heran, aku segera bertanya padanya,

“Kok bapak ada di sini? Bukannya ini rumah kolektor motor antik?” tanyaku pada sosok di hadapanku.

“Sayalah kolektornya. Ada apa kamu ke sini?” si pemilik motor (yang ternyata kolektor) itu dengan tegas balik bertanya padaku.

“Oh, ya ampun. Maafkan saya. Sebenarnya saya ke sini tadi berniat menjual motor yang bapak tinggalkan di bengkel tadi. Maafkan saya lancang.” jawabku dengan sedikit menundukkan kepala. Aku takut kalau kolektor itu marah padaku karena telah lancang berniat menjual motor peninggalan ayahnya.

“Tidak apa-apa. Motor itu sekarang milikmu. Hak kamu mau menjual motor itu atau tidak. Sebenarnya tadi saat di bengkel, saya menangis bahagia. Ayah saya dulu berpesan, kalau sudah rusak, motor itu boleh saya berikan pada orang lain. Karena walaupun sudah rusak, motor itu memiliki nilai jual yang tinggi.” Kata si kolektor itu dengan sabar sambil mempersilakanku memasuki ruang tamu rumahnya yang mewah.

“Kalau motor itu memiliki nilai jual yang tinggi, kenapa bapak tidak menjual atau mengoleksinya saja? Kenapa bapak malah memberikannya pada saya?” tanyaku antusias sambil menduduki sofanya yang empuk.

Dia tersenyum. “Justru karena motor itu memiliki nilai jual yang tinggilah makanya saya memberikannya padamu. Saya kan kolektor, masa saya menjual motor, seharusnya saya membeli motor. Lagipula ayah saya dulu juga pernah berpesan, kalau sudah rusak, motor itu bukan milik saya lagi. Saya harus memberikannya pada orang yang saya percayai untuk memiliki dan menjaga motor itu. Dan saya percaya padamu. Kamu kan montir, kamu pasti bisa menjaganya. Nah, mungkin pengetahuanmu pada motor masih kurang. Motor itu masih bisa diperbaiki. Kita juga bisa memodifikasinya agar lebih tampak menarik. Ayo.” Jelasnya. Ia mengajakku ke taman belakang rumahnya yang dipenuhi motor antik berbagai jenis dan model. Motor-motor itu terlihat menarik dengan modifikasi yang apik tanpa meninggalkan kesan vintage atau antik. Ajaibnya, sebenarnya motor-motor itu sudah rusak, tapi berkat ketelatenan anak buah si kolektor ini, motor-motor itu masih bisa digunakan.



***



Beberapa hari kemudian…

Motor butut di bengkel Adinda milik kolektor yang sekarang sudah menjadi milikku itu tampak menarik sekali. Saat aku ke rumah kolektor itu beberapa hari yang lalu, si kolektor mengajakku ke taman belakang rumahnya yang dipenuhi motor antik. Lalu, keesokan harinya ia menyuruh asistennya menjemput motor butut milikku ke rumahnya. Ia bersama anak buahnya memperbaiki dan memodifikasi motorku hingga motor itu bisa digunakan lagi dan tampak menarik dengan gaya vintage tahun 80-an.

Sekarang, aku telah siap membawa motor antikku ke jalanan dengan bangga. Berkat kolektor motor antik itu, kini aku memiliki motor bernilai jual tinggi.



BIODATA PENULIS

Nina Khibrani Pasaribu (Dinda), saat ini duduk di bangku kelas X di SMA Negeri 4 Medan. Lahir di Medan, tanggal 4 Januari 1996. Kebiasaan menulis sudah lama ditekuni, sejak kelas 4 Sekolah Dasar. Karya dalam bentuk puisi maupun cerpen sudah dimuat di harian Waspada. Kebiasaan membaca dan menulis merupakan kegiatan yang sering dilakukan di rumah bersama mama (Herni Fauziah) dan ayah (Imran Pasaribu) serta kakak-kakak (Nirma Herfina Pasaribu, Tiana Aurora Pasaribu) yang karyanya juga pernah dimuat di harian Waspada. Karya yang dikirim ini merupakan sebagian karya-karya yang sudah dimuat di harian Waspada. Terima kasih.



Salam Sastra,

Nina

Wednesday, 2 March 2011

PUISI-PUISI ISLAMI

M. Raudah Jambak

BISMILLAH

bismillahirrohmanirrohiim
demikian kumulakan segala permulaan

sesungguhnya segala perbuatan
dimulai dengan niat

bismillahirrohmanirrrohiim
mulailah dengan langkah kanan
bismillahirrohmanirrohiim
mulailah dengan tangan kanan
bismillahirrohmanirrohiim
perkuatlah dengan husnuzon
bismillahirrohmanirrahiim
enyahkanlah segala suuzon

bismillah adalah ucapan yakin melangkah
hapus segala hujjah, hapus segala resah
anak yang mengerahkan segala pada ibu
pertiwi yang selalu gelisah
lantas, alhamdulillahirobbil'alamiin,
pertanda syukur sepanjang umur
demikianlah, sejak lahirnya anak manusia
polos dan tanpa ikatan, tak ada sepotongpun
yang terbawa dibawah nisan
lantas, mengaca pada masa lalu perlu
tetapi bertindak untuk lebih maju, justru fardhu
dari tanah akan kembali ke tanah
dari air akan kembali ke air
dari angin akan kembali ke angin
innalillahi wa innailaihi roji'un
untuk apa lagi kita saling berbantah
niat ikhlash atas ridho dan rahmat
itu pencapaian memperoleh syafa'at

mari yakinkan langkah dengan bismillah
tanamkan segala pujian hanya pada Allah
semoga segala niat memperoleh rahmah

medan-2004/2005

SERATUS UNTAI BUJI TASBIH

Telah kurangkai seratus untai biji tasbih
Mengurai asmamu dalam amalan dalam ilahi
Anta maksudi waridhoka matlubi

Telah kuangkai seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai tapi gejolak jiwa ini
Tak mampu jua menampung tumpahan kerinduan
Yang membanjir air mata
Padahal telah kuarungi keluasan laut semestamu
Padahal telah kukayuh sampan sajadahku
Menuju rahmatmu

Telah kurangkai seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama ALLAH.........


Lelaki yang Berdiri Itu

Lelaki yang berdiri
Antara rumah dan mimbarnya
Pada taman di antara
taman-taman di surga
berdiri atas gundukan tanah
bersandar pada sebatang
pohon kurma yang menangis
menyaksikannya naik
atas mimbar dari kayu
laksana unta yang menangis
kehilangan anak
lalu lelaki itu memeluknya
dan berkata
"Mana yang kau pilih
hidup subur dan rimbun
atau menjadi pohonan surga?"
lelaki itu lalu menguburnya
di bawah mimbar empat tingkat
yang kemudian menjadi puing
di peti mati
hanya tercium aroma wewangi
lelaki yang berdiri
antara rumah dan mimbarnya
pada taman di antara
taman-taman di surga
pada hari berbangkit, berdiri
pertama kali, lalu diteruskan
sahabat, imam dan wali
setelahnya yang mendapat
syafaat dan rahmat Ilahi

medan,11-12-04

PUISI M. RAUDAH JAMBAK

SAJADAH BATU

Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu

Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu

2007-09-15

SAJADAH KAYU

Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do’a-do’a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu

2007-09-15

SAJADAH API

Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
“Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu,” ujarnya berseru

Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru

07

SAJADAH TANAH

Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
“Telah menyatu aku dengan Tuhanku!”
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah

O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?

07

SAJADAH AIR

Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir

07

SAJADAH UDARA

Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, memebentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya

Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah
Ya, Rabbi

07

Iqra’

:bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan

Pada masa yang penuh benalu seluas tanpa batas
Allah,izinkan aku untuk tetap bernaung dalam asma-Mu
Setegar zikir rerumputan menyulam suara azan
Yang bergema di lingkaran semesta tak terhingga
Sebab dalam ketenangan yang mengambang
Dingin terasa meluluhlantakkan
Sebab dalam keheningan yang mengawang
Bisu begitu membekukan
Sebab dalam kehampaan yang menerawang
Api berkobar-kobar menghanguskan
Aku telah mengunyah-kunyah
Segala tipu daya yang meledakkan kebenaran
Dalam kesumat dan tak jelas batasnya
Dalam sujud aku arungi lautan taubat
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi
Wa ridhoka matlubi
Tuhanku,
Pada masa yang berwarna abu-abu membekas
Di kanvas jiwa, perhelatan telahpun dikunjungi
Deraian air-mata yang mencekik nurani,
Menulikan telinga dari lantunan ayat-ayat cinta-Mu
Tentang sepotong pesawat bagai burung-burung yang
Menggapai-gapai makrifat di bandara surga-MU
Tentang sebongkah kapal, bagai lumba-lumba yang
Menelusuri maqom di pulau penuh sungai susu
Tentang sekeping kereta-api, bagai kura-kura yang
Bermunajat sepanjang stasiun hati ber-aura biru
Atau tentang muntahan, debaran, deburan, dan
Zikir dari perut-perut bumi
Bukan tak tersulam niat membungkus
Bongkahan syahwat dan karang muslihat
Membesar-memadat, membesar-memadat
Dalam sujud panjang tak berkesudahan
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Amboi,
Pada masa yang penuh belatung, virus
Dan kuman-kuman ini ajarilah kami meneguk
Setetes demi setetes embun keikhlasan dari
Segelas derai air-mata kami, derai air-mata
Kecintaan sepenuh nurani
Jangan lenakan kami dalam kebatilan
Yang membutakan
Jangan mabukkan kami dengan khamar
Yang meluluh-lantakkan
Jangan hilangkan segala kesadaran
Yang melenyapkan-tanpa bekas
Selalu kukayuh sampan sajadah
Mengarungi lautan penuh ombak,
Penuh onak, menghindari bongkahan
Karang-karang keangkuhan yang teramat tajam
Dalam sujud yang beringsut-ingsut
Naungi dan peluk kami pada kehangatan
Illahi anta maksudi wa ridhoka matlubi
Maka,
Setelah kubaca masa-masa penuh benalu
Berwarna abu-abu yang penuh belatung,
Virus dan kuman-kuman, dengan nama-Mu
Yang menciptakan: naungilah dan peluk kami
Dari teror kemaksiatan, serta persekutuan kesesatan
Agar tetap taffakur dalam syukur, dalam membaca
Rasa cinta sesama

Kutubul amin, 22 Januari 2007

PADA RUKUK AKU TERBUNGKUK PADA SUJUD AKU MAUJUD
Oleh : M.Raudah Jambak

Malam ini, sajadah telah dialiri sungai air mata, do’a-do’a
Berembun diujung lidah yang jatuh dari daun-daun tasbih
Sementara angin khusuk memeluk degap rindu yang hampir
Membeku. Entahlah, rapal kaji tak juga sampai ke hati atau
Cinta yang bertuba di jelaga

Pada setiap baris ayat, kabar pun telah disampaikan. Jiwa yang
Kosong hanyalah gudang tua yang kehilangan cahaya dan tempat
Bersemayamnya para pendosa. Tetapi butir-butir wudhu’ yang bergulir
Adalah kerjap cahaya yang siap berpijar pada taman yang telah lama
Tak bertuan

Dan malam ini, gelap hanya mengantar subuh yang selalu membasuh
Dahaga para pemburu nasuha, yang melentikkan setiap jentik zikir
Di setiap iring-iringan takbir. Harap hanya sebatas kerinduan yang
Mengawan, rindu adalah harap yang mengerjap dalam degap, sebab
Pada rukuk aku terbungkuk pada sujud aku maujud

Medan,2007

Kun

Jadilah!
maka jadilah ia
bukan batuknya ternyata
tapi degup jantung yang
mengeras tiba-tiba
dan muntahan dari bibir
yang menggila

Jadilah!
maka jadilah ia
dan do'a yang menjawab
segala

maka,
Kun!

medan,06

Demi Masa

Demi yang menguasai gugur daun daun
adakah hijau bersembunyi pada kerontang
pikiran?
Demi pemilik mata air mengalir
adakah kekeruhan terendap pada danau
hati?
Demi Sang Maha Pencipta manusia
adakah pria dan wanita diharuskan
bebas berbuat suka-suka?

Medan, 2006

LANGKAH – LANGKAH

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal – gumpal menjadi
Seonggok awan hitam , di antara
Mendung – mendung
Dan menjadi hujan dalam mataku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa – bisa
Teriknya dan menusuk jantung – jantung
Hingga berdarah , dan seketika detik – detik
Kematian menyelimuti jiwaku.
Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi limbah pada pabrik – pabrik kemaksiatan
Adalah bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi – nadi darahku
Menyumbat mulutku karena tak terbiasa
Melafaskan asma – Mu
Suara azan itu adalah
Langkah – langkah kakiku
Yang terseret satu – satu.

Puisi M. Raudah Jambak
AMSAL MUHARRAM

Allah ,
Hari – hari yang tersusun dalam hurup – hurup keabadian
Pada langit , pada bumi , pada bintang ,
Pada tanah kelahiran adalah
Hijaiyah pergantian musim ke musim
Bermula dari Adam yang mempersunting Hawa
Dalam surga
Lalu , lahirlah pasangan Kabil , lahirlah pasangan Habil
Dalam belantara dunia
Allah ,
Seperti hiasan langit yang gemerlapan
Menjadi cahaya alam semesta jiwa
Adalah Ibrahim yang mencari Sang Pencipta ,
Lalu menunggu kelahiran Ismail tiba
Yang hampir terbentur dalam usia senja Siti Hajar ,
Istrinya dan Allah kembali menguji ke – Imanan
Dalam qurbannya
Allah ,
Dalam lidah cakrawala yang terikat
Bendera – bendera curiga di antara batu karang nafsu
Dan keserakahan dunia lahirlah putra cahaya
Dari rahim Aminah berbapa Abdullah
Muhammad Rasulullah merobah peta suram dunia jahiliyah

Puisi M. Raudah Jambak
Melepas Do’a Air Mata


Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyantuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga – liwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera


SEHABIS KHATAM HUJAN


Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan

Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan

Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang

Alif ba ta cinta

Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda

Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya

Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan

Surga?”

Medan,05


Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana


Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan

Medan,03-04

Adalah rahasia dalam rahasia

mustika hati kasih adalah kata yang kau tenun
dan rasa dalam bulan purnama memecah sinar
dan binar angkara di jagad sengketa
adapun tamadun terbelah sudah,
adapun kurun berlelehan darah
dan sukma takberpantai, kekasih
selindang iman terpendam dalam-dalam
desir angin subuh membawa tualang
ke haribaan Ilahi bermakna wujud?
di sini terpampang hakikat langit
dan makrifat menyatu di purnama sabit
sayap musim dalam setaman angin terketar
membawa pusar tak bernama
tataplah cahaya dalam cahaya,
nur muhammad yang utuh, maka takkan kau bawa gaduh
dari musim ke musim, kau tak yakin bahwa
kemilau syahdunya merenggut gosong menungmu
tataplah rahasia dalam rahsia
Allah!

2006

Aliran Cahaya

tahan sengketa untuk sementara
mari kita bagi-bagi cahaya
alirannya sudah sampai pada iman
yang paling kelam
puasakan hati, pikiran dan lisan
dari dendam dan segala kemungkaran
niscaya jiwa terjaga segala satwasangka
terlindung cahaya yang paling benderang
tahan sengketa di bawah puncak
keabadian yang paling hitam
mari kita bagi-bagi cahaya
dari alirannya yang paling tentram
medan,2006

Ramadhan Ya Ramadhan

adalah hati yang lebih abadi
melahirkan cinta sang pencipta cinta
aduh, betapa tubuh begitu ringkih
jiwa usang berjuta melahirkan letih
ramadhan ya ramadhan
kemana resah do'a hendak ditumpah
selain di selembar sajadah basah?
kemana zikir terus digilir
selain pada biji tasbih yang berlebih?
kemana takbir diteriakkan dalam sir
selain tenggelam dalam derai tangis fakir?
adalah hati yang lebih abadi
melahirkan nur muhammad yang abadi
pada resah do'a di sajadah basah
pada gilir zikir pada biji tasbih berlebih
pada teriak takbir fakir-fakir
medan,2006

Suatu Hari Aku Bertemu Dengan Diri Sendiri

suatu hari aku bertemu dengan diriku sendiri, terpaku di atas sajadah basah. Tafakur menabur resah pada Allah tak ada sepotong kata gairah tak ada seiris kata bahagia tak ada setitik warna cahaya suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, betapa anehnya raudah di atas sajadah. Tafakur seperti orang-orang yang tergusur tak ada sepotong pun kata makmur tak ada seulas ceria tak ada sebutir apa-apa suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, rasa malu tak terbendung lagi. Tak terbendung lagi Subhanallah!
Medan, 06

REQUIEM KEBANGKITAN

Ruh saudara-saudara kami
ruhnya Muhajirin
yang hijrah
singgah
di negeri Anshor
Robbi,
betapa luka begitu menyayat
sepanjang hayat
seperti rintihan seudati
memapah saman
dari zaman ke zaman
seperti erangan hombo
melompati batu
dari waktu ke waktu
Saudaraku,
jangan pandangi cemas
yang menganga di tepi cadas
yang menguap di udara
yang hanyut di antara lumut
sebab,
akan kau temukan gairah keabadian
di pusaran warna-warna
maut hanyalah selimut
yang mendekap hangat
para Muhajirin
yang hijrah ke negeri angin
menggilir zikir
sepanjang takbir
Ruh saudara-saudara kami
ruhnya Muhajirin
yang meminjam jubah tsunami
menuju negeri tabi'-tabi'in
di antara nadi luka
di antara syair yang merintih
di antara erangan tertahan
Robbi,
betapa luka begitu menyayat
sepanajang hayat, tapi
bangkitkan semangat jiwa
saudara kami
agar terus melukis pelangi
pada kanvas hati
bersama
'Illahi anta maksudi
wa rdhoka matlubi...

medan , 2005

PERAHUKU BERDERAK DI HAMPARAN DO’A YANG TAK BERTEPIAN

perahuku berderak diketuk-ketuk riak,
diombang-ambingkan ombak, entahlah
kukembangkan jua layar do’a dalam elusan angin
yang menggebu

kukutip butir-butir embun dari daun-daun senja
udara terasa semakin menua pada keriput
awan kelam yang diam, lalu bersama rintik langit
yang menitik anginpun berhenti sejenak di tepian
pantai yang pasang menyambut malam, perahuku
masih berderak di ketuk-ketuk riak

ah, betapa harap ini memeras air mata, jatuh
di ribuan buih laut yang mengeram, perahuku
masih diombang-ambingkan ombak

pada ini
lukisan pantai semakin landai di rimbunan
pasir yang berambut sarat beban pada kanvas
gelombang petang dan biru yang tentram,
biru yang berpaham di hamparan do’a yang
tak bertepian

malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada
ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi
dari lorong-lorong tak bernama
rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca

purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga
cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang
siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang
sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga

ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca
lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada
pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan
do’a-do’a

medan, 2007

DAN SEGALA CINTA PUN MELEPASMU

Dan bertasbihlah burungburung bersama maut
yang menjemputmu menuju dunia keabadian

dan berzikirlah hamparan rerumputan bersama
sederet lukaluka ditubuhnya pada rebah tubuhmu

dan awanawan ikut taffakur menaungi segala suka
segala duka diiringiringan jenazah putihmu

dan mentiklah hujan disudutsudut mataku mengenang
segala cinta yang pernah berharap akan restumu

Nur Hilmi Daulay
MUHASABAH

Dan bukit-bukit mengecap sunyi pada keheningan terpekat,
Menunggu satu detik yang mengantarkannya pada satu tahun berikutnya

Dan detak jantung yang berjalan menggandeng jarum jam itupun bersaksi,
Pada ingatan yang teracik menjadi catatan kecil terbesar tahun ini.

Tahmidnya menggema menyibak malam,
Saat memorynya menghadiri pesta rakyat, kali ini tanpa darah
Karna Negri ini telah lama lelah, lidahnya tak ingin lagi latah menjilati tinta merah yang berkali-kali tumpah dari jiwa-jiwa penghuninya

Lalu bulu kuduknya berdiri,
Dengan enggan diketuknya memory tragis yang menyaksikan dirinya tertimbun pada puing-puing bangunan dengan airmata menembus lumpur, menyetubuhi air bah.
Dan jantungnya masih berjalan bergandengan dengan jarum jam
walau entah berapa ratus ribu jantung telah diam, bungkam

Ia terpekur,
Menengadahkan kepala menatap lurus menembus jantung cakrawala,
Tapi bulanpun terlihat keruh
dan bibirnya
dan hatinya
dan jiwanya
berpeluk erat pada muhasabah yang nyaris hanyut dalam laut yang gemeretak dengan amarah membirahi

Dan..
helaan nafasnya bertasbih menggaung tembus ke bukit-bukit yang mengecap sunyi pada keheningan terpekat.
Pada satu detik yang berlalu beberapa puluh detik yang lalu, mengantarnya duduk dalam I'tiraf membuka tahun berikutnya

Matanya nanar menatap bulan yang kian keruh-
Dan pemiliknya tak pernah keruh,
Ia luluh04-medan


Hasan Al Banna

BELUM JUGA, NAK
maka selamat jalan, anakku. selamat berjuang
sebab hari ini
kita belum juga merdeka
bukan, bukan belanda yang datang menyerang
tidak, tidak jepang yang kembali menerjang
tapi sanak sendiri yang mengangkang
menghadang
dengan senjata terkokang
tapi jangan takut, anakku. jangan surut
sebab kulahirkan kau
bukan sebagai pengecut
itu terik yang memanggang
itu hujan yang merajang
itu peluru yang mendesing-melintang
adalah buai-sayang yang membawamu pulang
ke rumah atau bahkan ke liang?
lantas jangan menyerah anakku, jangan kalah
sebab sepercik doa
telah kusulut di sumbu darahmu.
Medan, 2003-2004

Sajak Indrian Koto

Lebaran Untuk Seorang Perempuan

lebaran, suatu waktu saat di mana sajadahku
basah oleh sesal dan duka lara
- sungguhkah aku kembali suci sebagaimana matamu
yang bening dan kekanak-kanakkan?
setiap putaran waktu, akan mengembalikan sepenggal kisah
yang sama dan berulang;
dan lebaran.
tapi tidak kisah ini, serupa mimpi –duhai, bagaimana
aku memulai? ia, waktu yang berkelindan itu, suatu kali
mengungkungku dalam birahi –ramadhan, di mana
setan-setan istirah – kami menjelma sepasukan setan lain
yang sama liar, sama kurang ajar –apakah bernama setan?

lebaran saat di mana semua orang merasa suci, tapi aku
sedikit sangsi, adakah yang akan terkelupas
dari kenakalan remaja yang sedikit tolol ini?

pagi itu, adalah sebuah waktu yang kelak
akan kami kutuk. lebaran masih jauh, tapi sukacita
sedang kami rayakan dengan cara
yang paling dasyat. setelahnya, kami purapura melupakan
penyesalan tak begitu saja menyelesaikan
banyak kisah, setelahnya tuhan mengirimkan kami
bingkisan yang muram dan lebaran adakah dosadosa akan ditanggalkan?

dan kau, sepasang matamu yang bening dan kanakkanak
tak cukup menyelamatkanku dalam harubiru
“setiap soal, setiap beban adalah perihal yang
membesarkan.” aku tak cukup kuat menafsir ulang
banyak kisah; lebaran ini, kerinduanku dibalut gunda dan luka.

kau menafsirnafsir lukaku dan aku sedikit
berpurapura menceritakan kerinduan yang dangkal; wajah ibu,
aroma kampung, lemangtapai, ketupat dan irama takbir
tapi, rahasia itu tetaplah terus terjaga
yang barangkali kelak akan kau tau juga, saat di mana
aku tak bisa merangkulmu lagi
- jika kau benarbenar pergi.

“jangan pergi dulu,” kataku di malam itu. “ikutlah bersamaku
kita akan rayakan keriuhan di jalanjalan, di alunalun sampai
kita muak dan muntah dengan sedikit sesal yang tertunda”
ramadhan telah usai, adakah besok, waktu yang lain
akan mempertemukan kita serupa peristiwa ini?
sebab kelak, mungkin kita tidak akan menghabiskan waktu
di jalan ini lagi. barangkali aku akan berada di tempat tersunyi
dan kau sedang menyandarkan kepala di bahu entah siapa
"itu kau," katamu dengan mata yang serupa malam
tapi tidak, kita tak beranjak
kita samasama berdusta, ”tinggallah di rumah,” katamu,
“kita akan makan ketupat dan dari dalam akan kita dengan irama takbir.”
kali ini aku menjadi manusia yang sedikit patuh, setidaknya
untuk sepiring ketupat. dan kita bercerita sesuatu yang cengeng;
tentang rumah masa depan, kata seorang kawan.
jika kata adalah doa sunggukah ia akan ada?
oh, celaka! banyak hal yang begitu rahasia. dan kami
yang tak pernah kuceritakan padamu adalah peristiwa konyol
yang entah akan selesai di mana –katakanlah, bagaimana aku bisa
meninggalkanmu jika bau rambutmu terus mengejarku.

malam itu – setelah pesta kecil itu – kau menghibur
kecengenganku dan aku berdusta padamu tentang
semua kerinduan itu. “aku ditinggalkan banyak waktu,
ditinggalkan banyak kisah.” kataku.
“setiap orang tengah mencipta peristiwa lain
atau menyambung kisah yang lama.”
“dan aku ingin punya persoalan denganmu saja.”
kataku dan kau tertawa
inilah rahasianya: setiap orang, setiap kita punya peristiwa dengan
banyak orang. ini rumit dan ini jauh lebih rumit. dan kami, suatu waktu
-ah, betapa aku menjadi tolol– menjalin peristiwa kecil
yang menyesakkan.

dengarlah, aku tulis puisi ini untukmu
sebagai isyarat keberangkatanku. sebagaimana kau tak datang
di hari pertama lebaran ini. “menziarahi waktu. mengunjungi setiap orang yang
mencatat peristiwa denganku.”katamu.
“dan aku, tidakkah juga perlu sebuah ziarah?’
“ah, kau kan kisah yang lain, koto!” –atau tidak terlalu penting?
“enak aja! untukmu akan ada peristiwa lain yang sedikit berbeda.”
-ah, bukankah selalu berbeda. Serupa apa?
dan aku sakit. lalu rumah redup dari bayangku
masa kanak lindap oleh peristiwa kecil dan tuhan tengah mengucapkan
selamat lebaran padaku. tidakkah kau tahu?
ah, kau tak akan pernah tahu,
- atau adakah tengah menjelma kekasih wahai perempuan
yang kukenal lewat sebait puisi.

dan tuhan kembali mengirimkan kartu pos dan bingkisan;
dosa dan dirimu.
Di antara itu semua akan adakah kita?

poetika, 2006


Bayang-bayang Nabi
(Oleh Kang Jaz)
________________________________________
Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan para pemimpin ?
"Membela yang lemah dan membantu yang miskin" jawab Nabi.

Ya Rasulullah, apa yang harus dilakukan ulama ?
Memberi contoh yang baik dan mendukung pemimpin
YAng membela orang - arang lemah" jawabnya

Ya Rasulullah ... apa yang harus dilakukan orang-orang lemah dan miskin ?
"Bersabarlah, dan tetplah bersabar
Jangan kau lihat pemimpinmu yang suka harta
Jangan kau ikuti ulamamu yang mendekati mereka
Jangan kau temani orang-orang yang menjilat mereka
Jangan kau lepaskan pandanganmu dari para pemimpin dan ulama yang hidupnya juhud dari harta"

Ya RAsulullah... Pemimpin seperti itu sudah tidak ada
Ulama seperti itu sudah menghilang entah kemana
Yang tersisa adalah pemimpin serakah
Yang tertinggal adalah ulama-ulama yang tama'
Banyak rakyat yang mengikuti keserakahan mereka
Ummat banyak yang meneladani ketamakan mereka !
Apa yang harus aku lakukan, Ya... RAsulullah !
Siapa yang harus aku angkat jadi pemimpin ?
Siapa yang harus aku ikuti fatwa-fatwanya ?
Siapa yang harus aku jadikan teman setia ?

"Wahai ummatku...
Tinggalkan mereka semua
Dunia tidak akan bertambah baik sebab mereka
Bertemanlah dengan anak dan istrimu saja
Karena Allah menganjurkan, "Wa 'asiruhunna bil ma'ruf"
Ikutilah fatwa hatimu
Karena hadits mengatakan, "Istafti qalbaka, wa in aftaukan nas waftauka waftauka"
Dan angkatlah dirimu menjadi pemimpin
Bukankah, "Kullulkum Ra'in, ea kullukum masulun 'an ra'iyyatihi ?"

Wajahmu
(Kitab Cinta Rumi)
________________________________________


Mungkin kau berencana pergi,
seperti ruh manusia
tinggalkan dunia membawa hampir semua
kemanisan diri bersamanya

Kau pelanai kudamu

Kau benar-benar harus pergi
Ingat kau punya teman disini yang setia
rumput dan langit

Pernahkah kukecewakan dirimu ?
Mungkin kau tengah marah
Tetapi ingatlah malam-malam
yang penuh percakapan,
karya-karya bagus,
melati-melati kuning di pinggir laut

Krinduan, ujar Jibril
biarlah demikian
Syam-i Tabriz,
Wajahmu adalah apa yang coba diingat-ingat lagi oleh setiap agama

Aku telah mendobrak kedalam kerinduan,
Penuh dengan nestapa yang telah kurasakan sebelumnya
tapi tiada semacam ini

Sang inti penuntun pada cinta
Jiwa membantu sumber ilham

Pegang erat sakit istimewamu ini
Ia juga bisa membawamu pada Tuhan

Tugasku adalah membawa cinta ini
sebagai pelipur untukmereka yang kangen kamu,
untuk pergi kemanapun kaumelangkah
dan menatap lumpur-lumpur
yang terinjak olehmu

muram cahaya mentari,
pucat dingding ini

Cinta menjauh
Cahayanya berubah

Ternyata ku perlu keanggunan
lebih dari yang kupikirkan

Keindahan Fantasi Cinta
(Al Muktashim)
________________________________________

Riuh... ramai... gaduh... dan penuh kegembiraan
Taman hati berwarna warni
Panggung rumah paru-paru berdiri kokoh
Kolam cinta mengalir indah keawan kasih

Badan terasa sejuk...
Segar tak terkirakan
Rumput selaput nadi bergoyang lembut
Di tiup angin cinta sejati

Burung camar jantung menukik pelan
Hinggap di pohon tulang iga putih
Matanya melihat kearah taman hati
Pandangannya terpesona oleh pemandangan cantik

Bidadari cinta dan pangeran kasih sayang
Bersenda gurau diangan yang tinggi
Hati pun gembira...
Jiwa pun lega...

Ya Allah...
Abadikan keadaan ini
Agar menjadi pedoman
Bagi hati yang saling menyatu

Mentari sanubari tersenyum riang
Alam jiwa bergembira ria
Serentak...
Jiwa0jiwa riang berdansa di sekitar taman hati
Oooh...
Indahnya fantasi cinta
Keagungan Ilahi
(Al Muktashim)
________________________________________

Ratu malam sang rembulan
Raja siang sang matahari
Keduanya selalu bertentangan,

Tarik menarik
Dorong mendorong
Saling menguasai,
Seolah selalu bertanding tiada henti

Tiada yang kalah
Tak ada yang menag,
Karena dengan kedua sifat yang bertentangan ini
Seluruh alam semesta bergerak!

Dunia berputar,
Saling mengisi,
Yang satu melengkapi yang lain
Tanpa yang satu
Takkan ada yang lain,

Siang dan malam
Terang dan gelap
BAik dan jahat
Tanpa yang satu,
Apakah yang lain itu akan ada?
Tanpa adanya gelap,
Dapatkah kita mengenal terang?

Inilah sebuah kenyataan
Yang telah dikenhendaki Allah
Tanpa kehendaknya, takkan terjadi apa-apa


Dawai Sang Sufi
(Al Futuhat)
________________________________________
Hidup adalah ibadah
Dalam ayat-Nya Allah berfirman,
Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'bududun
Lama aku tidak percaya dengan ayat ini
Fikirku aku hanya disuruh shalat, puasa dan dzikir
Apalagiketika aku berfikir tentang ayat,
Wa'bud robbaka hatta ya'tiyakal yakin,
Demi Allah, aku tidak sanggup untuk beribadah terus menerus...
Aku bingung
Aku takut
Aku lari dari pendapatku sendiri
Suatu hari aku bertanya kepada guruku
Guruku mengatakan, "Tidak salah pendapatmu, tapi kurang".
Ketahuilah.....
Dalam ayat lain Allah juga berfirman
Wala tansa nasibaka minaddunya
Dan La yukallifullahu nafsan illa wus'aha
Jelas Allah tidak hanya menyuruh kitauntuksholat dan puasa
Allah juga menyuruh kita untukmencari dunia
Bahkan Allah melarang kita untuk membebani diri kita dengan beban yang berat
Sehingga kita tidak mampu memikulnya
Walaupun itu ibadah
Ketauhillah.....
Ibadahitu bukan bentuk lahirnya
Banyak perkara dunia yang berubah menjadi amal dunia karena niat
Banyak perkara yang kadang menurut kita tidak ada nilainya tetapi
Disisi Allah sangat berharga
Engkau makan,minum, tidur, cari nafkah, menikah
Tetapi di niati untuk menguatkan ibadah
Itulah arti Wama kholaqtul jinna wal insa illa liyakbudun
Dan engkau dapat istiqomah sholat, puasa, dzikir
Dengan bantuan makan, minum dan menikah
Itulah artiWa'bud robbaka hatta ya'tiyakal yaqin
Jikaengkau sholat, puasa tetapi tidak makan dan minum
Pasti engkau akan mati
bukankah ini bunuh diri dan jelas tidak ibadah ?
Engkau hanya sholat, puasa dan dzikir tetapi tidak menikah
Sehingga suatu ketika terjerumus zina, apakah arti semua ibadahmu ?
Ingatlah Allah pencipta manusia dengan ukuran dan aturan
Janganlah engkau mempertahankan kebodohanmu
Janganlah engkau hancur hanya karena pemahamanmu yang salah
Dan ingatlah pesan Allah Alladzina yastami'unal qoula
Fayattabi'una ahsanah.....
Orang-orang yang mendengarkan pendapat
Kemudian mengikuti pendapat yang paling bagus
Merekalah yang diberi petunjuk Allah
Dan merekalah orang-orang yang beruntung.....

FIRMANMU
Oleh:Aby Al Kahfie.

Ya ALLAH
Dua FirmanMU Yang Selalu Mengonyak Sobek
Pedih Perih Terasa Luka Dalam Menyayat Hati
Tak Mampu Ku Tahankan Gejolak Tangis
Terisak pilu Rindu AkanMU
Mengingat TuturMU Yang Kian Terabaikan

Satu Pilu Berjuta Resah Akan FIRMANMU

WAHAI SEKALIAN MANUSIA APA YANG MEMBUATMU
BERLAKU DURHAKA PADA TUHANMU

Sentak serontak Bergoncang Hati
Dalam Tangis Meratap Pilu

Satu Tangis Berjuta Pilu Akan QUDSIMU

WAHAI ANAK CUCU ADAM, KEBAIKANKU SELALU TURUN KEPADAMU
NAMUN KEJAHATANMU SELALU NAIK PADAKU

Refleks jiwa Meronta Hati
Memaki Diri Menuai Sedih

YA ALLAH
Nilailah Aku DAlam Dhoifku
Ku Ingin Kau Dalam Kesendirianku
Ku Rindu Kau Dalam Kesepianku
Ku Pilih Kau Di Antara mereka
Mendera Tangis Ketika Kau Abaikan.

YA ALLAH
Tersingkapnya Pelataran SinggasanaMU
Menjadi SAtu Pinta Tempat
Agar Ku Bisa Menyempurnakan SEMBAHKU
Ketika Tabir Mulai Terbuka Dari Segala KekuasaanMU

PINTAKU
YA ALLAH
Jadikan Aku Dalam RahmatMU Ketika KU Butuh
Jadikan Aku Dalam Sepiku Menjadi KawanMU
Jadikan Aku Dalam PETUNJUKMU KETIKA Ku Tersesat
Jadikan Aku Dalam IBADAHKU Menjadi kekasihMU

YA ALLAH
AKU dan PINTAKU
BERSERAH HARAP PADAMU.

Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /1/

Ketika rusuk tubuh menggigil ngilu
dicambuk brikade pasukan langit
peluh mengucur berbau nanah
pada pori-pori nista
isi kepala semak dengan nafsu dunia
batin ternoda berteriak:
ampun Tuhan
jiwa-jiwa keruh berguling
merayap mengais raung:
kami insyaf Tuhan
lantas jiwa-jiwa keruh dengan sedunya
bersujud pada sajadah air mata
Tembung, September 2007

Sajadah Air Mata /2/

Tuhan, hamba-Mu larut dalam kelam
berjalan mencari penerang
pada sudut-sudut yang gamang
dalam perjalanan
maksiat tertelan menjadi sarapan
entah berapa dusta yang terkunyah
entah berapa nista yang menjadi darah
tapi, Tuhan
aku tetap mencarimu
walau di atas sajadah
menjadi telaga air mata
Bilal, September 2007


Sajadah Air Mata /3/

Pada malam bergelayut alunan
zikir di bibir basah
seorang muallaf yang merindu
buah makrifat
menganyam untaian tasbih
illahi dalam hatinya
dengan linangan air mata atas sajadah
menuju sujudnya.
Sunggal, September 2007

Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /4/

Maka jatuhlah bulir-bulir
air mata di atas sajadah
pada akhir doa
seorang pemuda yang
memetik buah taubatnya
Medan, September 2007


Sajadah Air Mata /5/

Rizka, tidurlah
bentangkan air mata itu
di atas sajadah
kemarilah sayang
beri kecupan dengan bismillah
biarkan ayat-ayat Tuhan
membasuh tidur kita
berselimut Hamdalah
Medan, September 2007


Sajadah Air Mata /6/

telah kualirkan sungai air mata
pada muara sajadah yang resah
sebab Kau menyapa kami dalam lupa
lalu hadiahkan gempa berbalut gelisah
sebab Kau menegur kami dengan cinta
lalu titipkan bencana yang tak sudah-sudah

telah kualirkan sungai air mata
pada muara sajadah yang resah
tapi, kami hamba yang selalu
mengharapkan rahmat-Mu
tak sudah-sudah
Medan, September 2007




Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /7/

kemana sajadah air mata kubentangkan
di simpang jalan anak kecil menengadah tangan
kemana sajadah air mata kubentangkan
di bawah lampu merah ibu renta yang
terbungkuk-bungkuk memegang mangkuk
Sunggal, September 2007


Sajadah Air Mata /8/

walau di atas sajadah
hujan air mata
membentuk telaga
walau di atas sajadah
waktu terus menggebuk
remuk
tetapi, Tuhan
di atas sajadah
aku merindu cinta-Mu
merengkuh tubuhku
Sunggal, September 2007


Sajadah Air Mata /9/

Takkan terganti sajadah air mataku
dengan 1000 dinar
walaupun api membakar tubuhku
menggelegar bagai nar
Takkan terganti sajadah air mataku
dengan 1000 dinar
walaupun istana kau bangun
dengan muslihat dunia
yang berbagai rupa
Sunggal, September 2007





Puisi-puisi Karya Pusriza



Sajadah Air Mata /10/

Ibu, diantara doa-doamu
kau menyebut nama anak-anakmu
lalu kau bersujud
diatas sajadah bersama
bulir-bulir air mata
tapi, ibu
biarlah aku mengganti
sujudmu pada sajadah air mataku

Sunggal, September 2007