Wednesday, 15 December 2010

Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010


Judul: Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010
Editor: Suyitno Ethexs
Kurator: Chamim Kohari-Saiful Bakri-Umi Salama
Desain cover: warung grafis indonesia
Lukisan cover: Joni Ramlan, Mojosari, Mojokerto
Layout: kang madrim
Cetakan pertama:Oktober 2010
ISBN: 978-602-97907-0-2
Tebal: 829 + xxxviii halaman
Penerbit: Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto Jl. Jayanegara 4 Kabupaten Mojokerto 61361

email : dewankeseniankabmojokerto@gmail.com, Hak cipta ada pada masing-masing penulis
Berikut catatan kurator:

PUISI DI GAPURA CANDI WRINGIN LAWANG

Sebuah Pengantar

“Ia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk didengar; nia tidak menghidangkan teka-teki, tetapi menulis untuk dimengerti” ( A. Teeuw ).

“Pikiran merubah kapas menjadi kain emas dan merubah batu menjadi cermin terang, namun penyair dengan pesona sajak yang dilakukan memerah minuman bermadu dari sengat kehidupan” (Iqbal, Tulip dari Sinai)

”Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah hayalan dan kata, dan mereka suka mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika dizalimi”. (Terjemahan QS. Asysyu’araa: 224-227)

Sungguh, kami harus tahu diri, dan kami mencoba meyakinkan bahwa tugas kurator yang hendak diamanatkan kepada kami sebenarnya salah alamat, dan kami menyodorkan beberapa nama yang layak mengemban tugas itu, tetapi ditolak dengan alasan bahwa nama-nama yang dimaksud memang layak, tetapi dianggap tidak “steeril” dari virus-virus “Primodialisme komunitas” yang justru akan menjadi “beban” bagi niat baik diselenggarakannya “Festival Bulan Purnama Majapahit”, memang selama ini jarang ada yang berani menerbitkan antologi puisi atau cerpen di luar “klik”nya.

Tugas kurator itu akhirnya tetap diamanatkan kepada kami yang “wong ndeso” yang dianggap belum terkontaminasi oleh “primordialisme komunitas” dan hirukpikuk sastra di media massa. Terus terang dengan “tergagap-gagap” kami terima amanat itu, dan betul setelah kami baca karya-karya sastra yang telah dikirim, dan kami buka lembaran-lembaran kertas yang menumpuk sekitar 7 rim, yang di dalamnya masih campur antara karya puisi dan karya cerpen, ternyata terdapat banyak nama-nama “beken” yang sudah terkenal di jagad sastra Indonesia, nyali kami menjadi semakin “mungkret”, tetapi dengan kesabaran dan keberanian yang diberani-beranikan, kami terus membenamkan diri dalam kubangan puisi-puisi dan cerpen-cerpen, ternyata semakin dalam kami menyelam semakin asyik.

Membaca puisi dan cerpen yang bertebaran dan yang hendak dikumpulkan dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, sungguh sangat mendebarkan, kami semacam menapaki “Cahaya Tajalli” yang berjajar panjang penuh pesona, kami betul-betul diajak melayari aneka pelangi warna-warni keindahan Nusantara. Dari “puisi terang” sampai “puisi gelap”. Dari penyair yang sudah terkenal seperti Ahmadun Yosi Herfanda, sampai yang baru muncul seperti Mas Hikmatul Azimah yang lulusan setingkat Kejar Paket B, mereka semua berusaha menyuguhkan karya-karyanya yang terbaik, mereka telah “ijtihad” untuk melahirkan karya-karyanya dengan mempertaruhkan seluruh jiwa dan raganya kedalam “bentuk” dan “isi” puisi, tentu dengan caranya sendiri-sendiri. Meski sangat heterogin tetapi belum ada yang ingin “merusak” konvensi bahasa, dan ia juga tidak beranjak lebih jauh, tak ada keinginan dari para penyair itu untuk menyimpang, sebagaimana disinyalir oleh Cassier, yang pada umumnya menimpa para seniman. Mereka para penyair yang mengirimkan karya-karyanya belum ada yang berani menggunakan hak “licentia poetica” nya.

Berbeda dengan Chairil Anwar, atau setidak-tidaknya Sutardji Calzoum Bachri yang berani menentukan dan membuat jalannya sendiri, sehingga ia layak dijadikan pemimpin madzhab perpuisian di Indonesia, meski kami yakin suatu saat kelak akan lahir mujaddid (pembaharu) perpuisian di Indonesia. Kami berharap dari Gapura Wringin Lawang, Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini mampu membuka pintu cakrawala sastra Indonesia, hingga melahirkan sastrawan-sastrawan terbaik Indonesia, walau pun Budi Darma menyatakan “Angkatan dalam sastra tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan dalam sastra itu sendiri. Suatu angkatan dalam sastra dapat ada, apa bila ada gejolak yang bersambung-gayung dengan dunia pemikiran”

Secara sederhana, menulis puisi itu mudah, apa bila hal itu dilihat dari persoalan teknis yang bisa dipelajari dan dilakukan oleh siapa pun. Menurut Afrizal Malna “apa sulitnya menulis puisi, tetapi menjadi seorang penyair seringkali lahir dari konstruksi kondisi-kondisi tertentu. Penghormatan terhadap puisi dan penyair justru berlangsung dalam ketegangan-ketegangan ini, karena itu tidak semua orang bisa menjadi penyair”.

Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, sengaja memberi ruang kepada siapa pun yang intens menulis karya sastra, sebuah ruang yang sangat luas untuk mereka-mereka yang sudah “tercemar” mau pun yang “terhambat” atau bahkan yang “terlempar” dari mass media, komunitas-komunitas, dan klik-klik sastra tertentu. Dan biarlah karya-karya puisi yang ada dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, hidup bebas berdiri dan berbicara sendiri dengan eksistensi dan esensinya masing-masing. Sebagai kurator kami tidak ingin menghakimi. Para penyair dan puisi-puisinya yang lolos masuk dalam Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, semoga tidak hanya “kebetulan” atau hanya sekedar “numpang beken”, atau sekedar latah biar disebut penyair. Dan kami tidak ingin menggurui, sebab hidup adalah pilihan-pilihan nurani, yang demi kehormatan harus diseriusi, bila tidak, maka cap “pecundang” akan menempel terus dan menjadi bayang-bayang yang dapat menghantui di setiap langkahnya. Penyair romantik John Keats (1795-1821) mengatakan “Sebab utama kegagalan seniman, baik dalam menggarap obyek umum maupun obyek yang sudah dikenal identitas keindahannya adalah karena kurangnya intensitas pada diri senimannya”.

Harga diri dan eksistensi penyair terdapat pada karya dan kecintaannya terhadap apa yang digelutinya, tetapi kata D. Zawai Imron “Banyak penyair yang pada akhirnya tidak setia dengan kepenyairannya. Semula menggebu-gebu menulis puisi namun dengan mudahnya meninggalkan puisi begitu saja”

Dari Gapura Candi Wringin Lawang Trowulan Mojokerto, kami dan masyarakat sastra menggantungkan harapan, semoga Antologi Cerpen Festifal Bulan Purnama Majapahit 2010 ini, mampu membuka pintu cakrawala sastra Indonesia, meskipun kami sadar bahwa hal itu seperti mimpi, tidak mudah dan memerlukan kerja besar dari semua pihak.

Akhirnya, dari 1.524 judul puisi yang dikirimkan oleh 310 penyair, hanya 620 judul puisi yang dinyatakan lolos dan dapat ditampilkan di Antologi Puisi Festifal Bulan Purnama Majapahit tahun 2010 ini, dan selebihnya yang 1.214 judul puisi dinyatakan tidak lolos, bukan karena tidak baik, tetapi hanya persoalan keterbatasan tempat saja.

Dengan ketulusan dan kerendahan hati, kami mohon maaf atas keterbatasan kami, kami yakin tiada gading yang tak retak, karena itu tegur sapa dan sumbang saran dari semua pihak sangat diharapkan.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Mojokerto, 20 Oktober 2010

Kurator, (1. Chamim Kohari , 2. Umi Salama, 3. Saiful Bakri)

Ujung Laut Pulau Marwah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III

Ujung Laut Pulau Marwah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III

"Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini.

Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya."

Begitulah tulisan pada bagian atas sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” yang diambil dari Pengantar Kuratorial, “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman”.

Buku ini diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya, “Temu Sastrawan Indonesia III” (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober lalu—setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).

Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).

Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun “sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia.

Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, “Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul “Bustan’l Katibin” (1857), dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.

Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan setelah melalui proses seleksi tentunya.

Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.

Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk “Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni:

“Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), “Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), “Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), “Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), “Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), “Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta).

“Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), “Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), “Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), “Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten).

“15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), “Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), “Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), “Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Sungailiat, Bangka-Belitung), “Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), “Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Bai Liang” (Marsel Robot, Kupang, NTT), “Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau).

“Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), “Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), “Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), “Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung).

“Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), “Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan “Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).

Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).

Lepas dari itu, “Ujung Laut Pulau Marwah” terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.

Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. “Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis “Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, “Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada “kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan “Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis “Yos Gamalama”.

Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?

Pada bagian bawah sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk.

Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan CGR: menyigi adalah sisipan atau celah, berbabit adalah ikut serta/terlibat secara langsung atau tidak langsung)

Tuesday, 7 December 2010

Pion Ratulolly

ISYARAT;

Menerawang Senandung Perih Dendang Saluang[1])[2]

Karya M. Raudah Jambak[3] Dengan Lampu Pijar Semiotika



Pengantar



Pada kegiatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III di Tanjung Pinang tanggal 28-31 Oktober 2010 lalu, seluruh sastrawan di Indonesia yang berniat mengikuti TSI III diprasyaratkan oleh penyelenggara untuk mengirim sebuah naskah puisi atau cerpen. Naskah-naskah ini pada akhirnya sudah dibukukan oleh penyelenggara setelah melewati kurasi tim kurator yang terdiri dari beberapa sastrawan senior (sebenarnya dalam sastra tidak ada senior dan junior namun pengklasifikasian yang saya lakukan ini semata untuk memudahkan pembeda antara sastrawan kurator dan sastrawan peserta TSI III). Naskah-naskah puisi dibukukan dalam Percakapan Lingua Franca: Antologi Puisi sedangkan naskah-naskah cerpen dibukukan dalam Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen. Semua sastrawan peserta kemudian dibagikan kedua buku ini oleh penyelenggara. Saya pun langsung melahap buku Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen membuka daftar isi. Cerpen yang pertama saya cari –untuk mengecek kepastian apakah naskah saya diterima atau tidak- tentunya adalah cerpen saya Tanam Pinang Tumbuh Gading. Dan ternyata cerpen saya juga ikut tergenang di atas Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen. Saya lalu membacanya -tepatnya membaca cepat.

Selepas mengkhatam Tanam Pinang Tumbuh Gading, saya kembali lagi ke daftar isi. Bagian nama sastrawan menjadi ekor mata saya. Dan M. Raudah Jambak adalah sastrawan yang ingin pertama saya baca karyanya, berhubung beliau adalah orang pertama yang saya kenal dalam kegiatan TSI III. Persis, cerpen Senandung Perih Dendang Saluang pun mulai saya lahap. Saya bahkan menghkhatam cerpen ini sampai beberapa kali. Akan tetapi, senandung perih dendang saluang itu terus saja terngiang-terngiang di telingaku. Ada apa gerangan?

Cerpen ini, sebagaimana cerpen lainnya, juga mengandung dua unsur dasar, estetika dan etika[4]. Keduanya hal ini bisa ditemukan dalam struktur atau tubuh cerpen (baik tema, alur, penokohan dan perwatakan, geya penceritaan, dll). Akan tetapi, yang membuat senandung perih dendang saluang itu terus saja terngiang-terngiang di telingaku lantaran saya dikejar beberapa pertanyaan misterius; mengapa judulnya harus Senandung Perih Dendang Saluang? Mengapa perih? Mengapa Saluang? Mengapa kejadiannya saat hujan, kilat guntur, langit muram (maksudnya tak ada cahaya bintang dan bulan). Sederetan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini lalu berelindanan liar di kepala saya. Karena itu, demi meminimalisir –tidak bermaksud mengeliminir- senandung perih dendang saluang yang terus mengiang-ngiang di telinga ini dan demi menjinakkan pertanyaan-pertanyan misterius di kepala ini maka saya akan mencoba untuk menerawangnya. Meskipun jujur saya akui bahwa tulisan ini agak jauh dari sifat keilmiahan.



Sekilas Tentang SPDS



Cerpen Senandung Perih Dendang Saluang (SPDS; pen) mengisahkan tentang kepanikan tokoh aku pada suatu malam saat hujan mengguyur rumah[5]nya. Ia khawatir akan terjadinya banjir. Kalau pun tidak banjir maka kebakaran. Kedua bencana ini sering hadir pada saat hujan dalam waktu yang relatif lama dan anehnya acap kali terjadi pada tiap bulan Ramadhan. Kepanikan tokoh aku tidak hanya habis sampai di situ. Ia juga menghawatirkan keberadaan rumah mertuanya yang ditinggal pergi oleh mertuanya ke Pariaman.

Cerita berlanjut, isrti tokoh aku yang sebelumnya sudah terlelap, tiba-tiba meraung-raung. Istrinya mimpi buruk. Mimpi tentang Mamak dan Bapak dari tokoh istri, terkubur dinding rumah Andung di kampung (baca: Pariaman). Dan setelah menenagkan istri, tokoh aku pergi ke rumah mertuanya untuk memastikan tak terjadi apa-apa. Betul saja, di rumah mertuanya tak terjadi apa-apa. Namun sekembali ke rumahnya, tokoh aku mendapati anak-anaknya menangis histeris. Di sisi anak-anak, istrinya tergeletak pingsan. Di tangan istrinya tergenggam subuah HP. Ternyata istri tokoh aku pingsan karena membaca pesan masuk di HP itu. Isi pesan masuknya adalah “Kak, Pariaman gempa. 7,6 SR. Rumah Andung hancur. Mamak….”.

Menariknya dalam beberapa peristiwa yang ada dalam cerpen SPDS selalu dimunculkan mengenai tokoh aku yang beberapa kali mendengar bunyi saluang dan suara sirine. Sejalan dengan itu, tokoh aku juga menyaksikan, awan yang terlihat buram, langit suram, hujan terus menerus mengguyur-menderas, banjir, lumpur, kilat serta guntur. Di samping itu, ada hal lain yang sempat disitir Raudah, yaitu kritik-kritik sosial. Baik terhadap masyarakat maupun pemerintah. Nah, bagi saya, beberapa hal inilah yang akan coba saya terawang. Tujuan dari proses penerawangan ini adalah agar bisa melihat salah satu aura cerpen Senandung Perih Dendang Saluang karya M. Raudah Jambak dalam rupa yang alternatif. Oleh karena itu, saya membutuhkan sebuah lampu pijar yang berkapasitas kuat untuk proses penerawangan. Dan lampu pijar yang saya gunakan adalah Semiotika de Saurse.



Lampu Pijar Semiotika Saurse



Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hipersemiotika mengutip definisi semiotika (semiotics) oleh Ferdinand de Saussure “bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dalam kehidupan sosial”. Dengan kata lain, Saussure berpendapat bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social rule) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. (Piliang, 2003:256). Senada dengan itu, mengutip pernyataan penulis Perancis, Michael Butor, bahwa Aart van Zoest (1993) dalam bukunya Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya menyatakan bahwa masalah manusia adalah mencari arti dari yang tidak mempunyai arti. Dia juga menyatakan bahwa semua mempunyai arti, atau tidak satupun mempunyai arti. Titik tolak dari pernyataan ini adalah bahwa manusia mencari arti dalam benda-benda dan gejala-gejala yang mengelilinginya dan bahwa dia, tepat atau tidak tepat, benar atau salah, memberikan arti. Karena manusia mampu, maka ia dapat memberikan arti pada benda-benda dan gejala-gejala.

Dari pandangan ini maka saya akan mencoba mengklasifikasikan pembahasan ini dari dua aspek yang sudah saya garis bawahi di atas yakni, 1) benda-benda, dan 2) gejala-gejala.



1) Benda-benda

a) Saluang.

Benda yang pertama sekali hadir dalam cerpen ini tentu saja saluang lantaran ia nampang dalam judul dan kadar keberadaannya sangat mendukung kisah dalam cerpen SPDS. Berdasarkan makna denotatif, saluang adalah alat musik tiup sejenis seruling tradisional khas Minangkabau, Sumatra Barat. Biasanya dipakai dalam pertunjukan untuk mengiringi lagu-lagu lepas yang diceritakan secara spontan. Unsur spontanitas juga terdapat dalam syair-syair untuk lagu-lagu lepasnya. Sedangkan berdasarkan konotatif saluang ini dapat mewakili suara-suara perih, sedih, duka, dan segala hal yang berkaitan dengan duka cita (bisa pula kematian). Sebagaimana kehadiran saluang dalam cerpen ini yang selalu dikaitkan dengan musibah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan cerpen, hal: 158, paragraf 1, sebagai berikut:



…..

LAMA mataku tidak mau terpejam. Dan memang aku tidak mau memejamkannya sedikit pun. Padahal, aku sudah mengantuk berat. Istri dan anak-anakku sudah lama terlelap. Sebelumnya mereka berusaha bercengkrama, sambil berjaga. Betapa tidak. Sudah hampir seminggu daerah tempat tinggal kami diguyur hujan. Awan terlihat buram. Langit terus-menerus muram. Seolah menebar kesedihan yang mendalam. Bukan hanya disebabkan jalan raya yang basah. Atau air yang menggenang sampai ke lutut orang dewasa, di beberapa tempat. Sebilah saluang seolah bersenandung di pikiranku, mengikuti irama rembesan air hujan dari langit-langit rumah kami yang rapuh itulah, yang paling mengganggu.

…..



Dalam paragraf ini diceritakan tentang kesedihan tokoh aku di suatu malam lantaran daerah tempat tinggalnya telah seminggu diguyur hujan. Dan ia merasakan kesedihan akibat itu. Namun anehnya, kesedihan yang lebih mendalam justru di saat tokoh aku mendengar sebilah seluang yang seolah bersenandung di pikirannya. Dapat dipekirakan bahwa ada sebuah berita duka yang dikabarkan atau diisyaratkan melalui bunyi saluang itu. Dan pada akhir cerita diketahui bahwa berita duka itu adalah kecelakaan (kematian? boleh jadi!) Mamak (dan Bapak? boleh jadi!) dari istri tokoh aku, karena rumah Andung (dari istri tokoh aku) hancur akibat gempa Pariaman.



b) Sirine.

Kalau saluang barangkali hanya dikenal di Pulau Sumatera umumnya. Sedangkan sirine hampir dikenal oleh seluruh warga Indonesia –boleh jadi dunia. Suara sirine ini biasanya muncul dari mobil ambulance. Mobil ambulance biasanya diasosiasikan dengan mobil jenazah. Dengan demikian, di saat tokoh aku mendengar suara sirine (meskipun dalam pikiran) maka di saat itulah kabar duka telah disuarakan oleh sirine. Hal ini bisa disandingkan pada kutipan cerpen, hal: 161, paragraf: 9, sebagai berikut:



…..

Mataku terus mengawasi sisi langit-langit yang merembeskan hujan. Aman, pikirku. Tetapi telingaku sayup-sayup mendengar sayup sirine yang melesat di antara deru irama hujan menembus gendang telingaku. Dan aku hanya bisa menelan ludah. Rumah siapa lagi, pikirku kembali.

…..



Tokoh aku mengkhawatirkan kalau-kalau bunyi sirine (yang masuk ke telinganya secara nyata atau melalui pikiran?) ini berasal dari rumah yang terbakar. Ia juga mencemaskan kalau-kalau suara sirine itu berasal dari rumah mertuanya yang kosong ditinggal pergi mertua tokoh aku ke Pariaman.



c) Rumah

Rumah secara makna denotasi adalah tempat tinggal, berteduh dari panas dan hujan, tempat prifasi, tempat segala suka dan duka ditanak di dalamnya, menjadi tempat yang vital dan sangat dibutuhkan setiap orang untuk menjalani segala urusannya di dunia ini. Singkatnya, rumah adalah surga. Maka makna konotasi rumah adalah jantung, nafas, paru-paru, nadi, urat, intinya segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup matinya seseorang.

Dalam cerpen ini tokoh aku mengkhawatirkan keberadaan rumah mertuanya yang sedang dalam keadaan kosong, tanpa penghuni. Dan ketika menenangkan istrinya yang mendapatkan mimpi buruk tentang Mamak dan Bapak (dari istri tokoh aku) yang terkubur dinding rumah Andung (dari istri tokoh aku). Naasnya, tokoh aku memahami rumah (yang diisyaratkan oleh bayang wajah mertuanya) secara denotatif. Bukan secara konotatif. Dari salah tafsir ke salah tindak.



2) Gejala-gejala

a) Gejala dari alam

Gejala dari alam yang dimaksud berkaitan dengan peristiwa-peristiwa alam yang mendukung/ mempertegas kualitas cerita. Di antaranya, awan terlihat buram, langit suram, hujan mengucur deras, genangan air, kilat dan guntur. Peristiwa-peristiwa ini biasanya menimbulkan ketidaknyamanan bagi manusia. Ketidaknyamanan ini biasanya menimbulkan kecemasan (mungkin akan terjadi banjir atau kebakaran). Kecemasan inilah terkadang akan mengantarkan orang kepada tindakan-tindakan yang gegabah. Gejala-gejala dari alam seperti ini biasanya menyiratkan tentang kesedihan, kedukaan dan kelaraan. Bahkan menghantarkan orang kepada kepasrahan.



b) Gejala dari manusia

Gejala yang dimaksud seperti mata tidak mau terpejam, cemas, terbawa mimpi buruk, serta dada bergemuruh kencang. Gejala-gejala ini menandakan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Biasanya berkaitan dengan berita duka. Contoh kasus yang sederhana adalah ketika sesorang mengalami kejadian mata yang tiba-tiba saja berkedip berulang-ulang. Hal ini mengisyaratkan akan adanya kabar buruk yang berkaitan dengan dirinya (kalau bukan dirinya maka orang-orang dekatnya). Dan kejadian-kejadian seperti ini lebih mengarah kepada mitos atau kepercayaan (bukan agama) tradisional.



Kritik Sosial



Dalam cerpen Senandung Perih Dendang Saluang juga ditemukan beberap kritik sosial. Sekali lagi demi kenyamanan telaah, saya terpaksa mengklasifikasikan kritik sosial ini ke dalam dua aspek, yakni 1) Kritik Sosial Terhadap Masyarakat dan 2) Kritik Sosial Terhadap Pemerintah.

1) Kritik Sosial Terhadap Masyarakat.

Kritik ini nampak pada beberapa kejadian yaitu: jalan raya yang basah (tentunya dalam kadar yang banyak), air yang menggenang sampai lutut orang dewasa, banjir, lumpur, kebakaran karena lilin kalau listrik padam dan petasan kalau musim Ramadhan serta gesekan arus pendek kalau liatrik menyala, lari sepeda motor yang kurang awas di saat hujan. Nah, Raudah ingin menyampaikan kritik kepada kita selaku masyarakat (sekaligus pemerintah) agar lebih memperhatikan persoalan di atas. Misalnya akibat dari jalan raya tergenang, air yang tergenang hingga lutut orang, banjir lumpur, dll, maka kebersihan harus dijaga. Buanglah sampah pada tempatnya. Kaitan dengan kebakaran agar kita lebih memperhatikan lagi posisi/ tempat lilin agar di saat tertiup angin tidak menyebabkan benda di sekitar terbakar. Begitu pun petasan yang dibakar oleh anak-anak sebaiknya penggunaannya diawasi oleh orang dewasa.



2) Kritik Sosial Terhadap Pemerintah

Selain kritik sosial terhadap masyarakat di atas juga mengena kepada pemerintah, ada kritik lainnya yang ikut mengena juga kepada pemerintah, yakni: banjir (termasuk kebakaran dan dan bencana di saat musim hujan umumnya) seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Adapun perhatian yang dimaksud adalah kerja nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah banjir. Baik pada masa sebelumnya sebagai bentuk pencegahan (prefentife) atau pun pada masa terjadi (membersihkan selokan/parit yang terendam, memperlancar arus air) maupun pada saat sesudah terjadinya banjir. Dengan demikian maka kehidupan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik adanya sebagaimana yang diharapkan oleh setiap manusia.



Penutup



Dengan beberapa uraian di atas diharapkan mampu menjadi penerawang sederhana untuk memahami cerpen Senandung Perih Dendang Saluang karya M. Raudah Jambak berdasarkan pendekatan semiotik de Saurse. Tulisan ini bukanlah sebuah kebenaran yang pasti karena itu saya memohon kiranya kalau ada hal yang bisa diterawang, silahkan menyarankan. Tulisan ini semata pembacaan saya secara subjektif atas cerpen SPDS. Bagi yang ingin menerawangnya dari aspek yang lain, saya persilahkan. Selamat melanjutkan aktifitas selanjutnya dan selamat membaca isyarat.





Kupang, Malam, November 2010, besoknya hari raya qurban…





Pion Ratulolly; Penulis Novel “atma” Putih Cinta Lamahala Kupang, Peserta Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang.





[1] Saluang merupakan alat musik tiup yang tumbuh dan berkembang di Minangkabau. Terbuat dari potongan pohon bambu pilihan, berdiameter kira-kira 2-3 cm dengan panjang kurang lebih 90 cm. Bentuknya serupa dengan seruling atau flute, hanya saja pangkal potongan pohon bambu ini tidak ditutup seperti flute atau seruling pada umumnya, alias ujung dan pangkalnya bolong.



[2] Senandung Perih Dendang Saluang adalah salah satu cerpen yang ada dalam buku Ujung Laut Pulau Marwah: Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III di Tanjung Pinang, 28-31/10/2010).



[3] Raudah Jambak, sastrawan dari Medan, Sumatera Utara.



[4] Estetika dan Etika merupakan nilai-nilai yang ada dalam Aksiologi (Salah satu cabang ilmu Filsafat Pendidikan). Estetika bermakna nilai keindahan (baik bahasa, gaya cerita, tema, dll) sedangkan nilai etika lebih kepada nilai moral, kebaikan dan kebenaran. Keduanya selalu diperjuangkan oleh setiap penulis.



[5] Bila dilihat dari penamaan tokoh, seperti Mamak maka latar tempat cerpen ini ada di Sumatera, Minang, Medan; sesuai dengan asal sang cerpenis.